BAB I
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana glukosa darah tidak
dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia. 1,2 DM merupakan
kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai.3 Penderita DM mempunyai risiko untuk menderita
komplikasi yang spesifik akibat perjalanan penyakit ini, yaitu retinopati (bisa menyebabkan
kebutaan), gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), gangren, dan
penyakit arteria koronaria (Coronary artery disease).1,2,3
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda.
Berdasarkan kriteria American Diabetes Association (ADA), sekitar 10,2 juta orang di Amerika
Serikat (AS) menderita DM dan yang tidak terdiagnosis sekitar 5,4 juta. Dengan demikian,
diperkirakan lebih dari 15 juta orang di AS menderita DM. Sementara itu, di Indonesia
prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di daerah Manado prevalensi
DM sebesar 6,1%.4
Pemeriksaan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk menegakkan diagnosis serta
memonitor Tx dan timbulnya komplikasi spesifik akibat penyakit. Dengan demikian,
perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat mencegah komplikasi.1,5,6 Tujuan penulisan ini
adalah untuk menentukan pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakan
diagnosis Diabetes mellitus
.
BAB II
2.1 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah kelainan endokrin yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa
darah.1,2,3 Menurut anjuran PERKENI yang sesuai dengan anjuran ADA 1997, DM bisa
diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam
kehamilan, dan diabetes tipe lain.2,3,4 Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia
kronik disertai berbagai kelainan metabolic akibat gangguan hormlonal, yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembulu darah, disertai lesi pada
membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop electron.
2.2 Etiologi
Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI)
disebabkan oleh destruksi sel beta pulau lengerhans akibat proses autoinum. Sedangkan non
insulin dependent diabetes mellitus (DMTTI) disebabkan kegagalan relative sel beta dan resisten
insulin. Resisten insulin adalah turunya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glokosa oleh hati. Sel beta tidak
mampu mengembangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relative insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sektret insulin pada rangsangan glukosa, maupun
pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang secret insulin lain. Berarti sel beta pancreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
2.3 Manifestasi klinis
Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia,
puliuria,polydipsia, lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah
kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
2.4.1 Diabetes Tipe 1
DM tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM),
terjadi karena kerusakan sel b pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah
mencapai 80--90% maka gejala DM mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi
pada anak-anak daripada dewasa.2,3 Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi
yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun.
Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi sebelum
usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk kriteria untuk klasifikasi.2
2.4.2 Diabetes Tipe 2
DM tipe 2 merupakan 90% dari kaaus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di
jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu
memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif.2,3 Gejala minimal dan kegemukan sering
berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa
normal, rendah, maupun tinggi, sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.2
2.4.3 DM Dalam Kehamilan
DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang
disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia).
Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan
morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini
terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang
pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3--5% dan para ibu tersebut
meningkat risikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.2
2.4.4 Diabetes Tipe Lain
Subkelas DM di mana individu mengalami hiperglikemia akibat kelainan spesifik (kelainan
genetik fungsi sel beta), endokrinopati (penyakit Cushing’s, akromegali), penggunaan obat yang
mengganggu fungsi sel beta (dilantin), penggunaan obat yang mengganggu kerja insulin (b-
adrenergik), dan infeksi/sindroma genetik (Down’s, Klinefelter’s).2
2.5 Pemeriksaan Gula darah
Untuk Dx DM: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa, 2 jam setelah makan/post
prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).1,2,3,4,5,7
2.5.1 Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Untuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6--12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah
diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum
glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 15--20 menit. Dua jam
kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.2,3,4
Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar glukosanya. Bila
pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa
ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari
terjadinya glukosa darah yang rendah palsu.2,8,9 Ini sangat penting untuk diketahui karena
kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan
sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita DM.
2.5.2 Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa
Metode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling
sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode
heksokinase.1,2,8,9
Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD
spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang
bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.2,8
Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi yang
sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan spesifik untuk
glukosa.8 Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998) 3,4,7
Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaring negatif, perlu pemeriksaan
penyaring ulang setiap tahun. Bagi pasien yang berusia > 45tahun tanpa faktor resiko,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Table 1. kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum DM DM
Kadar glokosa darah
sewaktu
Plasma vena <110 110 – 199 > 200
Darah kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah
puasa
Plasma Vena <110 110 – 125 >126
Darah Kapiler <90 90 – 109 >110
Cara pemeriksaan TTGO, adalah :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa selama 10 – 12 Jam.
4. Pemeriksaan glukosa darah puasa.
5. Berikan glukosa 75 g yang dilakukan dalam air 250 ml, minum dalam waktu 5 menit.
6. Pemeriksaan glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. WHO
(1985) menganjurkan pemeriksaan standart seperti ini, tetap kita hanya memakai
pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja.
Pemeriksaan Gula darah Postprandial
Pemeriksaan ini dilakukan setelah pemeriksaan gula darah puasa. Pasien diminta menghabiskan
75 gram glukosa yang dilarutkan ke 200 mL air dalam 5 menit. Selanjutnya Anda istirahat tanpa
melakukan aktivitas berlebihan selama 2 jam kemudian diperiksa. Nilai normalnya adalah <140
mg/dl. Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan
toleransi glukosa normal adalah 70 – 110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan
meningkat, namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum
yang < 200 mg/dl setelah ½. 1, dan 1 ½ jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dl setelah
2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO normal.
Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DM
Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated
hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin.2,3,4,7,10 Pemeriksaan fruktosamin
saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu
lama.7 Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan
sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.1,7
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N
terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui
proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel.7,10,11 Metode pemeriksaan HbA1C:
ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography),
Electroforesis, Immunoassay, Affinity chromatography, dan analisis kimiawi dengan
kolorimetri.1,2,10,11
Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom,
kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC
yang bisa memberikan hasil negatif palsu.2,10
Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta
memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi
metode referensi.10
Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang
dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan
HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.2
Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil maupun
HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.2
Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak
mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS,
ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan
glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode
HPLC.2,10
Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-
glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan
pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.10
Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa
digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak
terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat:
pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari komplikasi 2,3,4,5,7,10,11
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi, HbA1C penting
untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum.1,18 Sebaiknya, penentuan
HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.4
Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DM
Komplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan retinopati. Pemeriksaan
laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari komplikasi spesifik tersebut,
misalnya untuk memprediksi nefropati dan gangguan aterosklerosis.2,3,4,6,7
Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine
(pemeriksaan ini jarang dilakukan).1,2,3,4,5,6,7,12,13,1,15,16 Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah
pemeriksaan serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.4
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau sebesar 20-200
mg/menit.2,3,6,14 Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi makroalbuminuria. Sekali
makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol
DM yang ketat dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan
menuju ke nefropati bisa diperlambat.3,4,6 Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif
dengan menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien
tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif: metode
Radial Immunodiffusion (RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay
(ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi, sensitivitas, dan range
yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi terhadap human albumin.2,6,12,14 Sampel yang
digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam.15
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria normal (<20
mg/menit), mikroalbuminuria (20--200 mg/menit), Overt Albuminuria (>200 mg/menit).2,17
Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada semua penderita DM
usia > 12 tahun.17
Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid, yaitu kolesterol
total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density lipoprotein cholesterol (HDL-
C), dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.4,5,7,18 Pada pemeriksaan profil lipid ini,
penderita diminta berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan
mencapai puncaknya 6 jam setelah makan).21
Pemeriksaan untuk Komplikasi Lainnya
Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin. Pemeriksaan ini bisa
untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada penderita DM.3
Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya kultur
darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan adalah
pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah
atau tidak. Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi
dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik
maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah. Pada keadaan ketoasidosis
juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies, misalnya aceton/keton di urine, kadar asam
laktat darah, kadar beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk
penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte
Antigen) serta pemeriksaan genetik lain.
Daftar Pustaka
1. Dods R.F, Diabetes Mellitus, In Clinical Chemistry: Theory, Analysis, Correlation, Eds,
Kaplan L.A, Pesce A.J, 3rd Edition, Mosby Inc, USA, 1996:613-640
2. Sacks D.B., Carbohydrates, In Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A,
Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company, USA, 2001:427-461
3. Foster D.W, Diabetes Mellitus, In Harrison’s Principles of Internal Medicine, Eds Fauci,
Braunwald, Isselbacher, et al, 14th Edition, McGraw-Hill Companies, USA, 1998:623-75
4. Hendromartono, Consensus on The Management of Diabetes Mellitus (Perkeni 1998), In
Surabaya Diabetes Update VI, Eds Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A,
Tandra H., Pranoto A., Surabaya, 1999:1-14
5. Kaplan, L.A., Laboratory Approaches, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J,
Kaplan L.A., 1987:94-96
6. Tabaei B.P., Al-Kassab A.S., Ilag L.L., et al, Does Microalbuminuria Predict Diabetic
Nephropathy?, Diabetes Care, 24:9, 2001:1560-1566
7. Alberti K.G.M.N., Zimmet P., DeFronzo R.A., International Textbook of Diabetes
Mellitus, Second Edition, John Wiley & Sons Ltd., England, 1997:1027-1074
8. Kaplan, L.A, Carbohydrates and Metabolites, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds
Amadeo J, Kaplan L.A., 1989:850-856
9. Landt M., Glyceraldehide Preserves Glucose Concentrations in Whole Blood Specimens,
Clinical Chemistry, 46:8, 2000:1144-1149
10. King, M.E., Glycosylated Hemoglobin, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo
J, Kaplan L.A., 1987:113-116
11. Peterson, K.P., Pavlovich J.G., Goldstein D., et al., What is Hemoglobin A1c? An
Analysis of Glycated Hemoglobins by Electrospray Ioni-zation Mass Spectrometry,
Clinical Chemistry, 44:9, 1998:1951-1958
12. Gendler, S.M., Albumin, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A.,
1987:1066-1073
13. Larson, T.S., Santanello N., Shahinfar S., O’Brien P.C., et al, Trend in Persistent
Proteinuria in Adult-Onset Diebetes, Diabetes Care, 23:1, 2000:51-56
14. Mogensen C.E., Viberti G.C., Peheim E., Kutter D., et al, Multicenter Evaluation of
Micral-Test II Test Strip, an Immunologic Rapid Test for the Detection of
Microalbuminuria, Diabetes Care, 20:11, 1997:1642-1646
15. Newman D, Price C.P, Renal Function, In Tietz Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds
Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B. Saunders Company, USA, 2001:698-722
16. Pedrinelli R., Glampletro O., Carmassi F., Melillo E., et al, Microalbuminuria and
Endothelial Dysfunction In Essential Hypertension, Lancet, 344, 1994:14-18
17. Yogiantoro M., Management of Diabetic Nephropathy, In Surabaya Diabetes Update VI,
Eds Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, Tandra H., Pranoto A., Surabaya,
1999:63-68
18. Rifai N, Albers J.J., Bachorik P.S, Lipids, Lipoproteins and Apolipoproteins, In Tietz
Fundamentals of Clinical Chemistry, Eds Burtis C.A, Ashwood E.R, 5th Edition, W.B.
Saunders Company, USA, 2001:462-493
19. Naito, H.K., Cholesterol, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A.,
1987:1156-1176
20. Naito, H.K., High-density Lipoprotein (HDL) Cholesterol, In Method’s in Clinical
Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan L.A., 1987:1179-1192
21. Naito, H.K., Triglycerides, In Method’s in Clinical Chemistry, Eds Amadeo J, Kaplan
L.A., 1987:1215-1226
Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolic akibat gangguan hormlonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf, dan pembulu darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan
dengan mikroskop electron.
Etiologi
Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI)
disebabkan oleh destruksi sel beta pulau lengerhans akibat proses autoinum. Sedangkan non
insulin dependent diabetes mellitus (DMTTI) disebabkan kegagalan relative sel beta dan resisten
insulin. Resisten insulin adalah turunya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan
glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glokosa oleh hati. Sel beta tidak
mampu mengembangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relative insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sektret insulin pada rangsangan glukosa, maupun
pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang secret insulin lain. Berarti sel beta pancreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Manifestasi klinis
Diagnosis DM awalnya dipikirkan dengan adanya gejala khas berupa polifagia,
puliuria,polydipsia, lemas, dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin ditemukan adalah
kesemutan, gatal, mata kabur, dan impotensi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Pemeriksaa penunjang
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi untuk DM, yaitu
kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM,
riwayat kehamilan dengan berat badan bayi > 4000 g, riwayat DM pada kehamilan, dan
dyslipidemia.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar
glukosa darah puasa (Tabel 1), kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa oral
(TTGO) standar. Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaring negatif, perlu
pemeriksaan penyaring ulang setiap tahun. Bagi pasien yang berusia > 45tahun tanpa faktor
resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Table 1. kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum DM DM
Kadar glokosa darah
sewaktu
Plasma vena <110 110 – 199 > 200
Darah kapiler <90 90 – 199 >200
Kadar glukosa darah
puasa
Plasma Vena <110 110 – 125 >126
Darah Kapiler <90 90 – 109 >110
Cara pemeriksaan TTGO, adalah :
8. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
9. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
10. Pasien puasa selama 10 – 12 Jam.
11. Pemeriksaan glukosa darah puasa.
12. Berikan glukosa 75 g yang dilakukan dalam air 250 ml, minum dalam waktu 5 menit.
13. Pemeriksaan glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
14. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. WHO
(1985) menganjurkan pemeriksaan standart seperti ini, tetap kita hanya memakai
pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja.
Pada keadaan sehat, kadar glukosa darah puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi
glukosa normal adalah 70 – 110 mg/dl. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan
meningkat, namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam. Kadar glukosa serum
yang < 200 mg/dl setelah ½. 1, dan 1 ½ jam setelah pemberian glukosa, dan <140 mg/dl setelah
2 jam setelah pemberian glukosa, ditetapkan sebagai nilai TTGO normal.
Tes Benedict
Pada tes ini, digunakan reagen Benedict, dan urin sebagai spesimen
Cara kerja :
1. Masukkan 1 – 2 ml urin spesimen ke dalam tabung reaksi
2. Masukkan 1 ml reagen Benedict ke dalam urin tersebut, lalu dikocok
3. Panaskan selama kurang lebih 2-3 menit
4. Perhatikan jika adanya perubahan warna
Tes ini lebih bermakna ke arah kinerja dan kondisi ginjal, karena pada keadaan DM, kadar
glukosa darah amat tinggi, sehingga dapat merusak kapiler dan glomerulus ginjal, sehingga pada
akhirnya, ginjal mengalami ”kebocoran” dan dapat berakibat terjadinya Renal Failure, atau
Gagal Ginjal. Jika keadaan ini dibiarkan tanpa adanya penanganan yang benar untuk mengurangi
kandungan glukosa darah yang tinggi, maka akan terjadi berbagai komplikasi sistemik yang pada
akhirnya menyebabkan kematian karena Gagal Ginjal Kronik.
Hasil dari Benedic Test
Interpretasi (mulai dari tabung paling kanan) :
0 = Berwarna Biru. Negatif. Tidak ada Glukosa.. Bukan DM
+1 = Berwarna Hijau . Ada sedikit Glukosa. Belum pasti DM, atau DM stadium dini/awal
+2 = Berwarna Orange. Ada Glukosa. Jika pemeriksaan kadar glukosa darah
mendukung/sinergis, maka termasuk DM
+3 = Berwarna Orange tua. Ada Glukosa. Positif DM
+4 = Berwarna Merah pekat. Banyak Glukosa. DM kronik
Rothera test
Pada tes ini, digunakan urin sebagai spesimen, sebagai reagen dipakai, Rothera agents, dan
amonium hidroxida pekat
Test ini untuk berguna untuk mendeteksi adanya aceton dan asam asetat dalam urin, yang
mengindikasikan adanya kemungkinan dari ketoasidosis akibat DM kronik yang tidak ditangani.
Zat – zat tersebut terbentuk dari hasil pemecahan lipid secara masif oleh tubuh karena glukosa
tidak dapat digunakan sebagai sumber energi dalam keadaan DM, sehingga tubuh melakukan
mekanisme glukoneogenesis untuk menghasilkan energi. Zat awal dari aceton dan asam asetat
tersebut adalah Trigliseric Acid/TGA, yang merupakan hasil pemecahan dari lemak.
Cara kerja :
1. Masukkan 5 ml urin ke dalam tabung reaksi
2. Masukkan 1 gram reagens Rothera dan kocok hingga larut
3. Pegang tabung dalam keadaan miring, lalu 1 - 2 mlmasukkan amonium hidroxida secara
perlahan – lahan melalui dinding tabung
4. Taruh tabung dalam keadaan tegak
5. Baca hasil dalam setelah 3 menit
6. Adanya warna ungu kemerahan pada perbatasan kedua lapisan cairan menandakan adanya
zat – zat keton
Daftar Pustaka
1. Price and Wilson.2006.Patofisiologi.EGC.Jakarta
2. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi ketiga
3. Gandra Soebrata, Penuntun Laboratorium Klinik
PEMERIKSAAN untuk PEMANTUAN PENGELOLAAN DIABETES
Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated
hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin. Pemeriksaan
fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang
memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin.
Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya
glukosa melalui reduksi urin.
1. Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara
glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk
yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil
dan ireversibel.
Metode pemeriksaan HbA1C
Metode Ion-exchange chromatography: harus dikontrol perubahan suhu
reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang
mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil
negatif palsu.
Metode HPLC (high performance liquid chromatography): prinsip sama
dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki
akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan
menjadi metode referensi.
Metode Electroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi
presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu,
tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh
pada metode ini.
Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur
HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang
baik.
Metode Affinity chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk
labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak
dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit
mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan
glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih
tinggi dari metode HPLC.
Metode Analisis kimiawi dengan Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2
jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun
glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan
pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena
itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada
penderita diabetes (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya
) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat: pemberian Tx lebih
intensif untuk menghindari komplikasi.Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk
HbA1C (terkontrol): 4%-5,9%. Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah
penatalaksanaan sudah ada kuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini
dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.
2. Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi Diabetes
Komplikasi spesifik DM: Aterosklerosis, Nefropati, Neuropati, dan Retinopati.
Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari
komplikasi spesifik tersebut, misalnya untuk memprediksi Nefropati dan
gangguan Aterosklerosis.
Memprediksi Nefropati
Pemeriksaan mikroalbuminuria untuk memantau komplikasi nefropati:
mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine (pemeriksaan ini jarang
dilakukan). Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah pemeriksaan serum
ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam
atau sebesar 20-200 mg/menit. Mikroalbuminuria ini dapat berkembang
menjadi makroalbuminuria. Sekali makroalbuminuria terjadi maka akan
terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol DM yang ketat
dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga
perjalanan menuju ke nefropati bisa diperlambat.
Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif dengan
menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk
memonitor pasien tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan.
Yang sering adalah cara kuantitatif: metode Radial Immunodiffusion
(RID), Radio Immunoassay (RIA), Enzym-linked Immunosorbent assay
(ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi,
sensitivitas, dan range yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi
terhadap human albumin. Sampel yang digunakan untuk pengukuran ini
adalah sampel urine 24 jam.
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu
albuminuria normal (<20 mg="" menit="" mikroalbuminuria="" 20=""
200="" overt="" albuminuria="">200 mg/menit). Pemeriksaan
albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada semua
penderita DM usia > 12 tahun.
Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil
lipid, yaitu kolesterol total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C),
high density lipoprotein cholesterol (HDL-C), dan trigliserida serum, serta
mikroalbuminuria. Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita diminta
berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam
dan mencapai puncaknya 6 jam setelah makan).
PEMERIKSAAN untuk KOMPLIKASI LAINnya
Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin. Pemeriksaan ini bisa
untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada penderita diabetes.
Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya kultur
darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan adalah
pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah
atau tidak.
Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi dari diabetes,
misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik maka perlu
dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah.
Pada keadaan ketoasidosis juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies, misalnya
aceton/keton di urine, kadar asam laktat darah, kadar beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-
lainnya. Selain itu, mungkin untuk penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler,
misalnya HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta pemeriksaan genetik lain.
(http://www.bioactives-morinda.com/tahitiannoni/nonikesehatan/11-pemeriksaan-diabetes-
melitus )
Kontrol HbA1C
Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat
sebagai A1C, merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi
pengendalian gula darah. Hasil pemeriksaan A1C memberikan gambaran rata-rata gula darah
selama periode waktu enam sampai dua belas minggu dan hasil ini dipergunakan bersama
dengan hasil pemeriksaan gula darah mandiri sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian
terhadap pengobatan diabetes yang dijalani.
Hemoglobin adalah salah satu substansi sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut
oksigen ke seluruh tubuh. Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah
tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata
kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar gula darah
tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula. Ikatan HbA1C yang
terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia sel darah
merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3
bulan sebelum pemeriksaan.
Korelasi antara Kadar A1C dan Rata-rata Kadar Gula Darah
HbA1C (%) Rata-rata Gula Darah (mg/dl)
6 135
7 170
8 205
9 240
10 275
11 310
12 345
Kadar HbA1C normal pada bukan penyandang diabetes antara 4% sampai dengan 6%. Beberapa
studi menunjukkan bahwa diabetes yang tidak terkontrol akan mengakibatkan timbulnya
komplikasi, untuk itu pada penyandang diabetes kadar HbA1C ditargetkan kurang dari 7%.
Semakin tinggi kadar HbA1C maka semakin tinggi pula resiko timbulnya komplikasi, demikian
pula sebaliknya. Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan United Kingdom
Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengungkapkan bahwa penurunan HbA1C akan banyak
sekali memberikan manfaat. Setiap penurunan HbA1C sebesar 1% akan mengurangi risiko
kematian akibat diabetes sebesar 21%, serangan jantung 14%, komplikasi mikrovaskular 37%
dan penyakit vaskuler perifer 43% (UKPDS 35. BMJ 2000:321:405-12).
Penyandang diabetes direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan HbA1C setiap tiga bulan
untuk menentukan apakah kadar gula darah telah mencapai target yang diinginkan. Pada
penyandang diabetes dengan gula darah terkontrol baik maka frekuensi pemeriksaan dapat
dilakukan sedikitnya dua kali setahun. Berdasarkan data medical outcome Klinik Diabetes
Nusantara (KDN) sampai dengan bulan Mei 2007, didapatkan rasio rata-rata penyandang
diabetes yang berobat di KDN mencapai kadar HbA1C kurang dari 7% setelah menjalani
pengobatan selama 6 bulan adalah sebesar 56.8%, dan rasio tertinggi dicapai pada bulan Maret
2007 sebesar 60.8%. Semua ini berkat kerja sama yang baik antara pasien dan dokter dalam
program pengobatan diabetes yang dijalankan untuk mencapai kadar HbA1C yang dinginkan
bersama.
Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell
cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadap glutamic acid
decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin
pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA
menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim
yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD
ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan
sebagai uji saring sebelum gejala DM muncul.2
Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-
peptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk
memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat
pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas.2