DETERMINAN PENGGUNAAN METODE KONTRASEPSI
JANGKA PANJANG (MKJP) PADA AKSEPTOR KB DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG
TAHUN 2014
Skripsi
Disusun untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh:
PUTRI ANGGRAENI
1111101000045
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, September 2015
Putri Anggraeni, NIM: 1111101000045
Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Pada
Akseptor KB Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Xix+128 halaman,17 tabel, 4 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Angka kelahiran di Indonesia mengalami stagnansi pada 4 periode
terakhir. Dilihat dari cakupan penggunaan kontrasepsi, jenis kontrasepsi yang
digunakan di Indonesia didominasi oleh metode kontrasepsi jangka pendek (pil
dan suntik). Padahal metode kontrasepsi jangka pendek merupakan metode yang
paling banyak menyumbang angka drop out. Penggunaan kontrasepsi diarahkan
pada Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Puskesmas Pamulang
merupakan salah satu Puskesmas di Kota Tangerang Selatan yang mempunyai
cakupan MKJP rendah sebesar 6,4%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
determinan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014.
Desain studi yang digunakan yaitu case control unmatched. Sampel
penelitian sebanyak 164 dengan perbandingan kasus kontrol 1:3. Sampel diambil
dari akseptor yang terdaftar pada kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014.
Pengambilan sampel kasus dan kontrol dilakukan dengan cara purposive sampling
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar menggunakan KB suntik
(55,5%). Faktor yang memberi peluang akseptor menggunakan MKJP yaitu umur
lebih dari 30 tahun (OR=4,565), bekerja (OR=4,737), berpenghasilan tinggi
(OR=2,206), telah berdiskusi dengan suami tentang MKJP (OR=22,579),
memiliki anak hidup 3 atau lebih (OR=3,386), memiliki riwayat aborsi
(OR=3,284), dan memanfaatkan pelayanan swasta (OR=0,084), sedangkan faktor
yang tidak berhubungan yaitu pendidikan dan umur pertama kali melahirkan.
Peningkatan sosialisasi tentang MKJP dengan melakukan penyuluhan
pada pasangan usia subur baik yang baru menikah maupun yang berencana
mempunyai anak perlu dilakukan dengan menekankan bahwa MKJP merupakan
metode yang efektif, aman, dan murah. Selain itu perlu adanya pembinaan pada
BPS dan unit pelayanan swasta untuk turut serta meningkatkan cakupan MKJP.
Kata kunci: MKJP, Akseptor KB, Kontrasepsi, IUD, Implan, MOW
Daftar Bacaan: 72 (1995-2015)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
MAYOR OF PUBLIC HEALTH
DEPARTEMENT OF EPIDEMIOLOGY
Undergraduated Thesis, September 2015
Putri Anggraeni, NIM: 1111101000045
Determinants of Using Long-Term Contraception Method (LTCM) On
Acceptors FP In The Work Area of Pamulang CHC 2014
xix+128 page,17 tables, 4 chart, 4 attachments
ABSTRACT
The birth rate in Indonesia stagnant in the last four periods. Judging
from the coverage of contraceptive use, the type of contraception used in
Indonesia is dominated by short-term contraceptive methods (pills and
injections). Though short-term contraceptive method is the method most
contributors drop out rate. The use of contraceptives is directed at Long Term
Contraception Method (LTCM). Pamulang Community Health Center (CHC)
is one of the health centers in South Tangerang City that has LTCM coverage
was low by 6.4%. This study aims to determine the determinant of the use of
LTCM in Puskesmas Pamulang 2014.
The study design used is case control unmatched. The research sample
as many as 164 by the comparison case-control 1: 3. Samples were taken from
the acceptor registered at cohort FP CHC Pamulang 2014. Sampling of cases
and controls was done by purposive sampling based on inclusion criteria and
exclusion.
Results showed mostly using injections (55.5%). Factors that provide
opportunities acceptor using LTCM were age over 30 years (OR = 4.565),
work (OR = 4.737), higher income (OR = 2.206), had a discussion with her
husband about LTCM (OR = 22.579), have children living 3 or more (OR =
3.386), had a history of abortion (OR = 3.284), and utilize private services (OR
= 0.084), whereas the unrelated factors, namely education and the age of first
childbirth.
Increased socialization of LTCM to do counseling in couples of
childbearing age either recently married or are planning to have children needs
to be done to emphasize that the LTCM is a method that is effective, safe, and
inexpensive. Besides of this, need to guidance on BPS and private service units
to participate and improve coverage LTCM.
Key word: LTCM, Acceptor KB, contraception, IUDs, implants, MOW
Reading List: 72 (1995-2015)
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Putri Anggraeni
Tempat tanggal lahir : Jakarta, 14 September 1993
Jenis Kealamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Suku : Jawa
No. Telp : 085693149737
Alamat email : [email protected]
Alamat : Jln. H. Mencong IX Rt. 001/010 No. 5, Sudimara
Timur, Ciledug, Tangerang
Hobi : Membaca
Kemampuan : Pengoperasian komputer dan bahasa Inggris
Nama Orang Tua : Ayah: Yanta
Ibu : Titi Sularti (Alm.)
Pekerjaan Orang Tua : Ayah: Pensiunan PNS
Ibu : -
RIWAYAT PENDIDIKAN
Taman Kanak-Kanak : TPA Al-Hikmah (1997-1999)
Sekolah Dasar : SDN Larangan 09 (1999-2005)
Sekolah Menengah
Pertama
: SMPN 142 Jararta Barat (2005-2008)
Sekolah Menengah
Atas
: SMAN 101 Jakarta Barat (2008-2011)
Perguruan Tinggi : Peminatan Epidemiologi
Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas
Kedokteran dan Ilmu
(2011-sekarang)
viii
Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN
ORGANISASI
: Anggota OSIS SMAN 101 Jakarta Periode 2009-2010
Anggota Teater Stratsone in Art SMAN 101 Jakarta
Periode 2009-2010
Anggota Paduan Suara SMAN 101 Jakarta Periode
2009-2010 dan Periode 2010-2011
Anggota Vokal Grup SMAN 101 Jakarta Periode
2009-2010 dan 2010-2011
Anggota Rohani Islam SMAN 101 Jakarta periode
2010-2011
Sekertaris Keputrian SMAN 101 Jakarta periode 2010-
2011
Ketua Divisi Pelatian Paduan Suara Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (PASIFIK) UIN
Syarif Hidayatullah jakarta periode 2013-2014
Deputi Kominfo Pami Jakarta Raya periode 2013-2014
Sekertaris Departemen Sosial Masyarakat (Sosmas)
Epidemiology Student Association (ESA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN
PENELITIAN
Pola Distribusi Balita dengan Status Gizi Kurang dan
Gizi Buruk Berdasarkan Analisis Spasial di
Kelurahan Bakti Jaya, Kelurahan Muncul dan
Kelurahan Keranggan, Kecamatan Setu Tahun 2013
Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu terkait
Kelengkapan dan Ketepatan Pemberian Imunisasi
Dasar pada Anak Berusia 9-60 Bulan (Balita) di
Kelurahan Pamulang Barat Tahun 2013
Faktor-faktor yang mempengaruhi gastritis pada
mahasiswi Asrama Putri Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan Tahun 2013
ix
Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang
Penyakit Gastritis Mahasiswi Asrama Putri Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada Tahun 2013
Penyusunan Rencana Program Penanggulangan Status
Gizi Kurang dan Gizi Buruk Pada Balita di Kecamatan
Setu, Kota Tangerang Selatan Tahun 2014
(Pendekatan One Health)
Masalah Kesehatan Reproduksi Perempuan dan
Pencarian Pengobatan pada Mahasiswi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2014
PENGALAMAN
KERJA
Enumerator baseline data Kesehatan Masyarakat
Tahun 2013
Pengalaman Belajar Lapangan di Wilayah Puskesmas
Pamulang, Pamulang Tahun 2014
Orientasi Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas
1 Soekarno Hatta Tahun 2014
Magang di Puskesmas Pamulang Tahun 2015
Ciputat, 30 November 2014
Putri Anggraeni
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyusun laporan skripsi ini. Laporan skripsi ini disusun untuk
mengetahui determinan penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
(MKJP) pada Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun
2015.
Ucapan terimakasih penulis tuturkan secara ikhlas dan penuh dengan
kerendahan hati atas terselesaikannya laporan skripsi ini kepada:
1. Bapak Yamta dan (almh.) Ibu Titi Sularti selaku orang tua penulis yang
selalu menjadi semangat penulis dalam menyelesaikan laporan skripsi
2. Mas Agung, Mas Yudi, Mba Heni, Teteh Pepi dan Kak Fery selaku
kakak penulis yang selalu memberi semangat dan dukungan penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini
3. Ibu Minsarnawati SKM M.Kes selaku pembimbing 1 yang selalu siap
memberikan bimbingan akademik dan pengarahan membangun dalam
proses penyusunan laporan skripsi.
4. Ibu Fase Badriah Ph.D selaku pembimbing 2 yang selalu siap
memberikan bimbingan akademik dan pengarahan membangun dalam
proses penyusunan laporan skripsi.
5. Keponakan penulis (Anindita Lakeishia Maheswari dan Rayyandra
Abinaya Atharizki) yang selalu menjadi penyemangat penulis dikala
jenuh dalam menyelesaikan skripsi
6. Lina Sri Marlinawati selaku sahabat yang setia menemani turun lapangan
7. Teman-teman epidemiologi 2011 yang selalu memberi semangat dalam
penyelesaian laporan skripsi.
8. Eka Lestari Sitepu dan Ajrina Winasari selaku sahabat yang selalu
mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi
9. drg. Rosmawati, MM selaku kepala UPT Puskesmas Pamulang yang
telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang
xi
10. Ibu Ida Farida selaku pemegang program KB di Puskesmas Pamulang
yang selalu siap membantu penulis untuk menyediakan data terkait KB di
Puskesmas Pamulang
11. Ibu Kader di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang senantiasa
memudahkan penulis dalam mencari alamat responden
Sungguh Maha Sempurna itu adalah Allah SWT, kekurangan dan
kekhilafan mungkin terdapat pada laporan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan laporan
skripsi ini.
Ciputat, Mei 2015
Penulis
xii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii
ABSTRAK ...................................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................................. v
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................... vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xvi
DAFTAR BAGAN ..................................................................................................... xviii
DAFTAR ISTILAH ...................................................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 9
C. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 10
D. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 12
1. Tujuan Umum ........................................................................................... 12
2. Tujuan Khusus .......................................................................................... 12
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 14
F. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................. 15
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 16
A. Keluarga Berencana .......................................................................................... 16
B. Epidemiologi Keluarga Berencana .................................................................... 16
C. Kontrasepsi ........................................................................................................ 19
1. Definisi Kontrasepsi ............................................................................... 19
2. Macam-macam Metode Kontrasepsi...................................................... 21
3. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) ....................................... 21
D. Kontrasepsi dalam Perspektif Islam .................................................................. 28
E. Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) .......... 30
F. Kerangka Teori .................................................................................................. 50
BAB III KERANGKA KONSEP ................................................................................ 53
A. Kerangka Konsep .............................................................................................. 53
B. Definisi Operasional .......................................................................................... 57
C. Hipotesis Penelitian ........................................................................................... 60
BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................... 61
A. Desain Penelitian ............................................................................................... 61
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................. 62
C. Populasi dan Sampel ......................................................................................... 62
1. Populasi .................................................................................................. 62
2. Sampel .................................................................................................... 65
D. Instrumen Penelitian ......................................................................................... 67
xiv
E. Metode Pengumpulan Data ............................................................................... 67
F. Manajemen Data ............................................................................................... 68
G. Analisis Data ..................................................................................................... 69
BAB V HASIL PENELITIAN...................................................................................... 72
A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................................. 72
B.Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi Akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 73
C.Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi
Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ................. 74
D.Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif Akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 75
E.Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi Akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 76
F.Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan Akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 77
G.Determinan Penggunaan MKJP Akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .................................................................... 78
BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................................. 87
A.Keterbatasan dalam Penelitian ........................................................................... 87
B.Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 87
C.Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ............................................ 88
D.Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 91
E.Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 91
xv
F.Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 93
G.Determinan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014 ....................................................................................... 94
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 121
A. Simpulan ............................................................................................................ 121
B. Saran .................................................................................................................. 123
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 125
LAMPIRAN ................................................................................................................... xx
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional` ...................................................................................... 57
Tabel 4.1 Besar Sampel Penelitian .................................................................................. 66
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ............ 73
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Jenis Kontrasepsi
yang Digunakan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .......................... 73
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor
Sosiodemografi dan Sosioekonomi di Wilayah Kerja Puskesmas
PamulangTahun 2014 ...................................................................................................... 75
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Kognitif di
Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 ........................................................... 76
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Reproduksi di
Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 ........................................................... 77
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Pelayanan di
Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014 ........................................................... 77
Tabel 5.7 Analisis Hubungan Umur Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP
di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................................................... 79
Tabel 5.8 Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 80
Tabel 5.9 Analisis Hubungan Status Pekerjaan Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 80
Tabel 5.10 Analisis Hubungan Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 81
Tabel 5.11 Analisis Hubungan Akseptor KB yang Berdiskusi dengan Suami
dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang .............................. 82
Tabel 5.12 Analisis Hubungan Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB
dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun
2014 ................................................................................................................................. 83
xvii
Tabel 5.13 Analisis Hubungan Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 84
Tabel 5.14 Analisis Hubungan Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 ...................... 85
Tabel 5.15 Analisis Hubungan Tempat Pelayanan KB dengan Penggunaan
MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 .......................................... 86
xviii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .............................................................................................. 52
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 56
Bagan 4.1 Desain Penelitian ........................................................................................... 62
Bagan 4.2 Sampel............................................................................................................ 66
xix
DAFTAR ISTILAH
AKDR : Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
ASEAN : Association of Southest Asian Nations
BKKBN : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BPS : Bidan Praktik Swasta
IUD : Intrauterine Device
KB : Keluarga Berencana
MAL : Metode Amenore Laktasi
MKJP : Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
MOP : Metode Operasi Pria
MOW : Metode Operasi Wanita
PLKB : Petugas Lapangan Keluarga Berencana
PUS : Pasangan Usia Subur
SDKI : Survei Demografi Kependudukan Indonesia
WUS : Wanita Usia Subur
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka kelahiran merupakan ukuran yang menunjukkan pertumbuhan
penduduk di suatu negara. Di tingkat ASEAN, pada tahun 2013 rata-rata angka
kelahiran sebesar 2,4 per 1.000 wanita usia subur. Laos merupakan negara dengan
angka kelahiran tertinggi sebesar 3,2 per 1000 wanita usia subur, sedangkan
Singapura mempunyai angka kelahiran terendah di tingkat ASEAN sebesar 1,3
per 1.000 wanita usia subur (Kemenkes, 2014). Indonesia memiliki angka
kelahiran diatas rata-rata negara ASEAN dan terus mengalami fase stagnan dalam
4 periode terakhir yaitu pada tahun 2002, 2007, 2012 dan 2013 sebesar 2,6 anak
per 1000 wanita usia subur. Melihat kondisi ini, target menurunkan angka
kelahiran menjadi 2,11 per 1000 wanita usia subur pada tahun 2015 memerlukan
usaha yang keras. Salah satu upaya konkrit dalam menurunkan angka kelahiran
adalah penerapan Keluarga Berencana (KB) dengan menggunakan kontrasepsi
(Kemenkes, 2013).
Penggunaan kontrasepsi berkaitan dengan kesehatan reproduksi dimana
komponen kesehatan reproduksi merupakan bagian dari kesehatan ibu. Program
KB berperan besar untuk mencapai pengurangan kematian ibu melalui
perencanaan keluarga dengan mengatur kehamilan yang aman, sehat dan
2
diinginkan. Kehamilan yang tidak ideal (terlalu banyak, terlalu muda, terlalu tua,
dan terlalu dekat jarak kelahiran) akan sangat membahayakan bagi kesehatan ibu
(Kemenkes, 2013).
Dalam Islam, KB termasuk ke dalam aghayyuru al-ahkaami bitaghayyuri al-
azminati wa-al-amkinati wa al-ahwaali (hukum-hukum yang bisa berubah sesuai
dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan) (Nurmila, 2011). Dilihat dari
keadaannya, Indonesia merupakan negara yang padat penduduk, namun terbatas
dalam ketersediaan lapangan kerja yang memadai serta lemah dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Keadaan ini hanya akan meninggalkan generasi
yang banyak, tetapi lemah secara agama, ekonomi, serta lemah dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi (Sudaryanto dkk, 2014).
Firman Allah dalam surat An-Nisa’ (4): 9 menyebutkan bahwa: ”Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Dalam ayat
tersebut, orang tua diperintahkan untuk melahirkan dan mendidik anak dengan
baik sehingga menciptakan generasi yang berkualitas dalam memimpin bangsa
(Nurmila, 2011). Melihat kemampuan Indonesia dalam mempersiapkan generasi
yang berkualitas sangat terbatas, maka Indonesia harus fokus dalam
mempersiapkan generasi yang kecil tetapi berkualitas. Langkah yang dapat
3
dilakukan salah satunya dengan penerapan Keluarga Berencana (KB) (Sudaryanto
dkk, 2014).
Walaupun dalam Alqur’an tidak tertulis secara literal tentang KB, namun
secara substantif terdapat ayat-ayat Alqur’an dan hadist yang mendukung
pengaturan jarak kelahiran, misalnya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2):
233 yang berisikan tentang anjuran menyusui anak hingga 2 tahun (Nurmila,
2011). Jika Alqur’an menyebutkan bahwa menyusui secara sempurna adalah 2
tahun, maka jarak kelahiran ideal antara anak yang satu dengan yang berikutnya
adalah minimal 2 hingga 3 tahun. Semakin jarang jarak kelahiran anak, semakin
menambah kekuatan fisik ibu untuk merawat dan membesarkan anak yang telah
dilahirkannya dan bertambah pula kesiapan mental untuk menyambut kelahiran
anak berikutnya (Nurmila, 2011).
Di negara-negara ASEAN, rata-rata penggunaan kontrasepsi dari 2005-
2012 tertinggi adalah Thailand yaitu 80%, kemudian kamboja 79%. Di Indonesia
penggunaan kontrasepsi masih di bawah Thailand dan Kamboja yaitu hanya 61%
(Kemenkes, 2013). Pada tahun 2013, cakupan KB aktif di Indonesia sebesar
75,88%. Berdasarkan provinsi, cakupan KB aktif tertinggi adalah Provinsi
Bengkulu sebesar 87,70% dan terendah yaitu Provinsi Papua sebesar 67,15%.
Provinsi Banten termasuk pada 3 provinsi terendah berdasarkan cakupan KB aktif
yaitu hanya sebesar 69,92% (Kemenkes, 2014).
4
Di Indonesia, metode kontrasepsi yang digunakan akseptor KB
didominasi oleh metode kontrasepsi jangka pendek yaitu suntikan dan pil KB
dengan prevalensi berturut-turut 36% dan 15,1% (BKKBN, 2013). Padahal,
metode kontrasepsi suntikan dan pil selain merupakan metode kontrasepsi yang
paling banyak digunakan, juga penyumbang angka drop out paling banyak. Drop
out rate kontrasepsi suntik pada tahun 2003 sebesar 18,4% dan meningkat
menjadi 23 pada tahun 2007. Sedangkan drop out rate kontrasepsi pil pada tahun
2003 sebesar 31,9% dan meningkat menjadi 38,8% pada tahun 2007 (Kemenkes,
2013).
Mengingat tingginya angka drop out pada Metode Kontrasepsi Jangka
Pendek (non MKJP) maka pengguna KB aktif diarahkan untuk meningkatkan
cakupan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (selanjutnya akan disingkat MKJP).
Hal ini dikarenakan, MKJP lebih efektif dalam mencegah kehamilan tidak
diinginkan dari pada non MKJP (Winner dkk, 2012).
Penggunaan MKJP di Indonesia jauh dari target (26,7%) dan menurun tiap
tahunnya dari 13,7% pada tahun 1991 sampai 10,6% pada tahun 2012
(Kemenkes, 2013). Pada tahun 2013 berdasarkan survei mini Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), cakupan MKJP di Indonesia
hanya sebesar 12,4% dengan persentase berdasarkan jenis metode yaitu susuk
(implan) KB (5,2%), AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)/Intrauterine Device
(IUD) (4,7%), dan Metode Operasi Wanita (MOW) (2,2%), padahal target MKJP
yang diharapkan dapat dicapai adalah 26,7%.
5
Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, hanya 13 provinsi menunjukkan
prevalensi MKJP di atas angka nasional (Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sumatera
Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan
Gorontalo). Prevalensi MKJP terendah ditemui di Provinsi Kalimantan Selatan
4,1%, sedangkan tertinggi di Provinsi Bali 29,7% (BKKBN, 2013).
Salah satu provinsi yang memiliki prevalensi MKJP di bawah nasional
adalah Provinsi Banten yang hanya sebesar 9,8% (BKKBN, 2013). Provinsi
Banten memiliki 8 kabupaten/kota. Tangerang Selatan merupakan kota yang pada
tahun 2013 memiliki prevalensi pemakaian MKJP paling tinggi yaitu 14,5%,
sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Pandeglang sebesar 5,4%. Walaupun
tertinggi diantara kota-kota di Provinsi Banten, persentase cakupan MKJP di
Tangerang Selatan masih jauh dibawah target nasional yaitu 26,7% (BKKBN,
2013).
Ketidakberhasilan kontrasepsi yang digunakan oleh pasangan usia subur
yang ingin menunda, menjarangkan, atau menghentikan kelahiran dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (Winner dkk, 2012).
Kontrasepsi yang sering menyebabkan kegagalan adalah kontrasepsi jangka
pendek. Risiko kegagalan kontrasepsi jangka pendek (pil atau kondom) sebesar
4,55 per 100 partisipan per tahun (Winner dkk, 2012). Dampak yang lebih serius
dapat terjadi jika kehamilan terjadi pada ibu dengan usia diatas 35 tahun atau
kurang dari 19 tahun, anak lebih dari 3, dan jarak kelahiran yang terlalu dekat
6
dapat mengalami kehamilan risiko tinggi yang dapat meningkatkan risiko
kematian ibu (Kemenkes, 2013).
Kegagalan kontrasepsi juga dapat menyebabkan tingginya pertumbuhan
penduduk. Dampak negatif dari tingginya pertumbuhan penduduk dapat terjadi
akibat sarana dan prasarana tidak memadai dan mendukung keberlangsungan
hidup penduduk yang bersangkutan. Dari segi ekonomi, tingginya pertumbuhan
penduduk yang tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang cukup akan
menimbulkan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Kebutuhan
ekonomi yang tidak memadai juga dapat berpengaruh pada tingkat pendidikan
dan kesehatan seseorang. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan tidak akan
terpenuhi ketika ekonomi tidak memadai. Selain itu, masalah ekonomi juga dapat
menyebabkan angka kriminalitas yang meningkat akibat kebutuhan ekonomi yang
mendesak (BKKBN, 2012).
Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP baik dari segi
program terkait ketersediaan layanan, dari segi lingkungan terkait peran orang-
orang terdekat dan media massa dalam pemberian informasi maupun dari segi
masing-masing individu sebagai pengguna layanan. Penggunaan MKJP sangat
dipengaruhi oleh faktor individu, karena keputusan akan menggunakan atau
tidaknya jenis kontrasepsi tetap berada pada level individu (BKKBN, 2009).
Faktor kognitif seperti pengetahuan (Dewi dan Notobroto, 2014; Getinet
dkk, 2014; Gebremichael dkk, 2013), sikap (Gebremichael dkk, 2013; Shegaw
Getinet dkk, 2014), diskusi dengan pasangan tentang penggunaan MKJP
7
(Gudaynhe dkk, 2014; Yalew dkk, 2015) mempunyai hubungan dengan
penggunaan MKJP berdasarkan hasil yang diperoleh dari berbagai penelitian.
Penelitian Meskele dan Mekonnen (2014) memperoleh hasil wanita yang
memiliki sikap positif 2,5 kali lebih mungkin menggunakan MKJP dibandingkan
dengan wanita yang memiliki sikap negatif terhadap MKJP (Meskele dan
Mekonnen, 2014).
Faktor reproduksi yang merupakan bagian dari faktor individu juga dapat
mempengaruhi penggunaan MKJP seperti jumlah anak hidup (Nasution, 2011;
Kavanaugh dkk, 2011; Goldstone dkk, 2014), riwayat aborsi (Mestad dkk, 2011;
Connolly dkk, 2014; goldstone dkk, 2014; Kavanaugh dkk, 2011), umur pertama
melahirkan (Jingbo dkk, 2013; Teffera dan Wondifraw, 2015; Gudayne et al,
2014). Pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015), wanita yang memiliki
lebih dari 4 anak berpeluang 5,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan
wanita yang tidak memiliki anak. Pada penelitian Jingbo dkk (2013) diperoleh
adanya hubungan yang signifikan dan korelasi yang positif antara umur pertama
melahirkan dengan penggunaan MKJP.
Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi seperti umur (Nasution, 2011;
Bernadus dkk, 2013; Getinet dkk, 2014; Goldstone dkk, 2014; Meskele dan
Mekonnen, 2014), tingkat pendidikan (Dewi dan Notobroto, 2014; Teffera dan
Wondifraw, 2015; Getinet dkk, 2014; Nasution, 2011), tingkat penghasilan
(Teffera dan Wondifraw, 2015; Kurniawati, 2002), status pekerjaan (Teffera dan
Wondifraw, 2015; Kurniawati, 2002) juga memiliki pengaruh terhadap
8
penggunaan MKJP. Pada penelitian Shegaw Getinet et al (2014) wanita yang
memperoleh pendidikan formal mempunyai peluang 2 kali menggunakan MKJP
dibandingkan dengan wanita yang tidak memperoleh pendidikan formal. Pada
penelitian yang dilakukan di Etiopia, wanita yang memiliki pendidikan tinggi
memiliki peluang 2,8 kali memakai MKJP dibandingkan yang tidak
berpendidikan (Meskele dan Mekonnen, 2014). Selain pendidikan, pada
penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil bahwa wanita yang
bekerja mempunyai peluang 1,7 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan
wanita yang tidak bekerja. Selain pendidikan dan pendapatan, pada penelitian
Teffera dan Wondifraw (2015) juga menemukan bahwa wanita dengan
pendapatan keluarga tinggi memiliki peluang 4,8 kali menggunakan MKJP
dibandingkan dengan wanita yang memiliki pendapatan keluarga rendah.
Faktor eksternal diluar inidividu juga dapat berpengaruh terhadap
penggunaan MKJP seperti tempat pelayanan KB (Greenberg dkk, 2013; Nasution,
2011). Pada penelitian Nasution (2011) di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara
diperoleh hasil akseptor KB yang mendapatkan pelayanan KB di fasilitas
pemerintah memiliki peluang 6,33 kali lebih besar menggunakan MKJP
dibandingkan dengan akseptor KB yang mendapatkan pelayanan KB di fasilitas
lainnya.
Kota Tangerang Selatan memiliki 25 Puskesmas di wilayah kerjanya.
Puskesmas Pamulang merupakan salah satu Puskesmas yang terdapat di
Tangerang Selatan. Cakupan MKJP di Puskesmas Pamulang masih jauh di bawah
9
capaian Dinas Kesehatan Tangerang Selatan. Cakupan MKJP di Puskesmas
Pamulang hanya 6,4% (Profil Dinkes Tangsel, 2013). Diantara 25 Puskesmas di
Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Pamulang menempati urutan ke 20
berdasarkan persentase cakupan MKJP. Sebagai Puskesmas yang sudah lebih
dulu ada dibandingkan dengan Puskesmas lain di Tangerang Selatan, seharusnya
Puskesmas Pamulang dapat meningkatkan kualitas pelayanan dibandingkan
dengan Puskesmas lainnya, salah satunya dengan meningkatkan cakupan MKJP.
Puskesmas Pamulang, selain memiliki cakupan MKJP yang rendah, juga
memiliki persentase kehamilan risiko tinggi yang meningkat tiap tahun. Pada
tahun 2012 persentase kehamilan risiko tinggi di Puskesmas Pamulang mencapai
19%, pada tahun 2013 meningkat menjadi 20%. Dilihat dari situasi tersebut, perlu
adanya peningkatan cakupan MKJP.
Berdasarkan studi pendahuluan, pada tahun 2014 diantara akseptor KB di
wilayah Puskesmas Pamulang hanya 4,9% yang memakai MKJP, sedangkan
Januari 2015 sebesar 7,5%. Melihat rendahnya pemakaian MKJP di Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang, peneliti ingin mengetahui determinan penggunaan
metode kontrasepsi jangka panjang pada akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2014.
B. Rumusan Masalah
Angka kelahiran di Indonesia mengalami stagnansi dari 2002 sampai
2013. Target untuk menurunkan angka kelahiran belum tercapai. Salah satu
10
langkah konkrit dalam penurunan angka kelahiran adalah dengan penggunaan
kontrasepsi. Penggunaan kontrasepsi selama ini didominasi oleh kontrasepsi
jangka pendek yaitu pil dan suntik yang memiliki angka drop out tinggi. Keadaan
ini mendorong adanya peningkatan penggunaan MKJP. Kontrasepsi yang tidak
efektif menyebabkan kehamilan tidak diinginkan. Banyak faktor yang
mendorong penggunaan MKJP diantaranya umur menggunakan KB, tingkat
pendidikan, status pekerjaan, tingkat penghasilan, jumlah anak hidup, riwayat
aborsi, umur melahirkan pertama kali, serta diskusi dengan pasangan tentang
penggunaan kontrasepsi dan tempat pelayanan KB. Puskesmas Pamulang
berdasarkan studi pendahuluan memiliki prevalensi MKJP rendah (<26,7%).
Oleh karena itu, peneliti tertarik mengetahui determinan penggunaan MKJP pada
Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan jenis kontrasepsi
yang digunakan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014?
2. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor
sosiodemografi dan sosioekonomi (umur menggunakan KB, tingkat
pendidikan, status pekerjaan dan tingkat penghasilan) di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2014?
11
3. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor kognitif
(status diskusi dengan suami tentang MKJP) di wilayah kerja Puskemas
Pamulang tahun 2014?
4. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor reproduksi
(umur melahirkan, jumlah anak hidup, dan riwayat aborsi) di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2014?
5. Bagaimana distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor pelayanan
(tempat pelayanan KB) di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014?
6. Apakah umur menggunakan KB akseptor KB berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
7. Apakah tingkat pendidikan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
8. Apakah status pekerjaan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP
di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
9. Apakah tingkat penghasilan akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
10. Apakah status diskusi dengan pasangan tentang MKJP berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
11. Apakah umur pertama melahirkan akseptor KB berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
12. Apakah jumlah anak hidup akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
12
13. Apakah riwayat aborsi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP
di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
14. Apakah tempat pelayanan KB berpeluang terhadap penggunaan MKJP di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya determinan penggunaan MKJP pada Akseptor KB di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan jenis
kontrasepsi yang digunakan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
tahun 2014
b. Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor
sosiodemografi dan sosioekonomi (umur menggunakan KB, tingkat
pendidikan, status pekerjaan dan tingkat penghasilan) di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2014
c. Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor
kognitif (status diskusi dengan suami tentang MKJP) di wilayah kerja
Puskemas Pamulang tahun 2014
13
d. Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor
reproduksi (umur melahirkan, jumlah anak hidup, dan riwayat aborsi) di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014
e. Diketahuinya distribusi frekuensi akseptor KB berdasarkan faktor
pelayanan (tempat pelayanan KB) di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2014
f. Diketahuinya umur menggunakan KB akseptor KB yang berpeluang
terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
g. Diketahuinya tingkat pendidikan akseptor KB yang berpeluang
terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
h. Diketahuinya status pekerjaan akseptor KB yang berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
i. Diketahuinya tingkat penghasilan akseptor KB yang berpeluang
terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
j. Diketahuinya status berdiskusi dengan pasangan tentang MKJP
berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
14
k. Diketahuinya umur pertama melahirkan akseptor KB berpeluang
terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
l. Diketahuinya jumlah anak hidup akseptor KB berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
m. Diketahuinya riwayat aborsi akseptor KB berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
n. Diketahuinya tempat pelayanan KB berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan diharapkan penelitian
ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam pembuatan program untuk
meningkatkan cakupan penggunaan MKJP
2. Bagi Puskesmas Pamulang dan Petugas Lapangan Keluarga Berencana
(PLKB)
Bagi Puskesmas Pamulang khususnya pemegang program KB dan
PLKB di masing-masing kelurahan diharapkan penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan masukan dalam strategi peningkatan cakupan penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.
15
3. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat khususnya Wanita Usia Subur (WUS), penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai MKJP sehingga dapat
termotivasi untuk menggunakan metode tersebut dalam mengontrol angka
kelahiran.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan referensi terkait penggunaan
MKJP sebagai dasar pengembangan penelitian lebih lanjut.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan epidemiologi analitik dengan desain studi case
control unmatched. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui determinan
penggunaan MKJP pada akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah akseptor KB yang tercatat di
register kohort KB di Puskesmas Pamulang. Kelompok kasus (MKJP) dan
kontrol (non MKJP) diambil secara purposive sampling berdasarkan status
penggunaan MKJP yang tercatat di kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014.
Data di kumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Penelitian ini dilakukan
oleh mahasiswa peminatan Epidemiologi program studi Kesehatan Masyarakat
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Analisis data dilakukan dengan
perangkat lunak pengolah data untuk menggambarkan analisis univariat dan
bivariat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-September 2015.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keluarga Berencana
Berdasarkan Undang-Undang No.52/2009, keluarga berencana adalah
upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan umur ideal melahirkan, mengatur
kehamilan, melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak
reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (Bakar, 2014).
Keluarga berencana juga merupakan suatu proses yang disadari oleh pasangan
untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran serta waktu kelahiran anak
(Stright, 2004).
B. Epidemiologi Keluarga Berencana
Di dunia, Pada dari tahun 2005 sampai 2012 diantara Wanita Usia Subur
(WUS), CPR (Contraception Prevalens Rate) sebesar 63%. Negara dengan CPR
tertinggi adalah Norway dengan 87% dan negara terendah adalah Sudan Selatan
dengan 4%. Dari data tersebut, Indonesia memiliki CFR yang lebih rendah dari
capaian dunia yaitu 61% (WHO, 2013).
Di Indonesia, pada periode 2009-2011 prevalensi KB cenderung tetap
pada kisaran angka 67,5 persen. Pada tahun 2013, berdasarkan hasil survei 2013
prevalensi KB cara modern sebesar 64,6%. Secara keseluruhan terdapat 17
provinsi yang mencapai prevalensi KB modern di atas nasional (>64,6 persen). 16
17
provinsi lainnya masih mencapai posisi prevalensi KB modern lebih rendah dari
angka nasional (<64,6 persen). 16 provinsi tersebut mencakup DI Yogyakarta,
Kalimantan Barat, Sumatra Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,
Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Aceh,
Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan
Papua (BKKBN, 2013).
Metode kontrasepsi yang digunakan peserta KB didominasi oleh suntikan,
selanjutnya pil KB, berturut-turut 36,0 persen dan 15,1 persen. Metode
kontrasepsi yang dipakai berikutnya adalah susuk KB (5,2 persen), IUD (4,7
persen), dan MOW (2,2 persen). Sedangkan pemakaian metode kontrasepsi
modern untuk pria masih rendah yaitu 1,2 persen, terdiri dari sterilisasi pria 0,2
persen dan kondom 1,0 persen (BKKBN, 2013).
MKJP, termasuk IUD dan implan didalamnya, mempunyai efektifitas
tinggi dalam mencegah kehamilan tidak diinginkan. Di Amerika Serikat, sejak
digunakan tahun 2002, IUD menyumbang proporsi MKJP terbanyak.
Perbandingan 2006-2010 dengan 2011-2013, penggunaan IUD meningkat 83%
(dari 3,5% menjadi 6,4%), dibandingkan dengan penggunaan implan (dari 0,3
menjadi 0,8) (Branum and Jones, 2015).
Penggunaan MKJP lebih tinggi pada wanita umur 25-34 tahun
dibandingkan dengan umur 15-24 dan usia 35-44 tahun sejak tahun 2002 sampai
tahun 2013 di Amerika Serikat. Selain memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari
pada kelompok umur lain, penggunaan MKJP umur 25-34 tahun juga meningkat
18
tiap tahunnya, dari 2,9% pada tahun 2002 menjadi 5,3% pada tahun 2006-2010,
kemudian naik kembali menjadi 11,1% pada tahun 2011-2013. Peningkatan tiap
tahunnya juga terjadi pada penggunaan MKJP umur 15-24 tahun dan 35-44 tahun,
dari 0,6% dan 1,1% pada tahun 2002 menjadi 2,3% dan 3,8% pada tahun 2006-
2010. Prevalensi MKJP umur 15-24 tahun dan 35-44 tahun naik kembali pada
tahun 2011-2013 menjadi 5,0% dan 5,3% (BKKBN, 2013).
Di Indonesia, Dalam target RPJMN periode tahun 2010-2014, telah
ditetapkan bahwa target MKJP peserta KB aktif pada akhir 2014 adalah 27,5
persen (BKKBN, 2011, BKKBN, 2013). Selanjutnya pada target tahunan,
ditetapkan bahwa pada tahun 2013 target MKJP yang diharapkan dapat dicapai
adalah 26,7 persen. Namun demikian beberapa hasil penelitian kesertaan KB di
Indonesia belum mencapai angka tersebut.
Prevalensi MKJP (MOW, MOP, Susuk KB dan IUD) selama periode
survei 2003-2013 juga berfluktuasi. Pada awal tahun 2003 – 2004 prevalensi
MKJP mengalami kenaikan, yaitu dari 14,9% menjadi 16,2%. Hasil survei pada
tahun 2005-2010 mengalami penurunan, yaitu dari 13,7 p ke 11,6 persen;
kemudian meningkat kembali pada tahun 2011 menjadi 12,7% dan sedikit
menurun pada tahun 2013 menjadi 12,4% (BKKBN, 2013).
Bila diamati perkembangan mix MKJP yaitu peserta KB MKJP di antara
semua peserta KB modern juga menunjukkan pola serupa dengan perkembangan
prevalensi MKJP. Mix MKJP cenderung menurun pada 2003 s/d 2007, yaitu dari
22-24 persen menjadi 17,2%, selanjutnya secara perlahan meningkat sehingga
19
menjadi 19,1% pada 2013. Sementara itu SDKI 2012 mencatat hasil mix MKJP
17,6%. Pencapaian MKJP bersumber utama dari pemakaian IUD dan Implan.
Penggunaan IUD sebelumnya terus menurun, namun tiga tahun terakhir tampak
bertahan atau tidak berubah. Perkembangan pemakaian implant relatif stabil.
Sementara pencapaian MOP, MOW sampai dengan sekarang relatif rendah dan
tidak terjadi peningkatan (BKKBN, 2013).
C. Kontrasepsi
Kontrasepsi merupakan suatu langkah pencegahan kehamilan yang masuk
kedalam program Keluarga Berencana pemerintah. Berikut penjelasannya:
1. Definisi Kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata “kontra” dan “konsepsi”. Kontra berarti
mencegah atau melawan; konsepsi berarti pertemuan antara sel telur (sel
wanita) yang matang dengan sel sperma yang mengakibatkan terjadinya
kehamilan. Kontrasepsi berarti menghindari/mencegah terjadinya pertemuan
antara sel telur yang matang dengan sel sperma, sehingga tidak terjadinya
kehamilan (BKKBN, 2015). Kontrasepsi adalah pencegahan kehamilan yang
disadari pemakainya. Keputusan dalam penggunaan kontrasepsi dapat
berimplikasi pada individu maupun sosial.
Dalam memilih kontrasepsi yang sesuai, seorang wanita harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain orientasi agama, nilai-nilai
sosial dan budaya, kontraindikasi medis, kontraindikasi psikologis, ekspresi
20
seksual individu, biaya, ketersediaan fasilitas kamar mandi dan kerahasiaan,
dukungan padangan dan kerelaan untuk bekerja sama, gaya hidup personal
(Stright, 2004).
Metode kontrasepsi yang paling baik adalah metode yang paling
nyaman dan alamiah bagi pasangan tersebut dan harus digunakan dengan
benar dan konsisten.
Efektivitas kontrasepsi (Stright, 2004):
a. Efektivitas maksimal adalah efektivitas metode dalam kondisi-kondisi
yang ideal (misalnya, bila metode secara lengkap dipahami dan
digunakan sesuai prosedur dan rekomendasi yang ada)
b. Efektivitas tipikal adalah efektivitas metode pada penggunaan aktual,
hal ini dapat terjadi saat sebagian orang menggunakan metode tersebut
dengan benar dan sesuai prosedur, namun sebagian lain menggunakan
metode tersebut secara sembarangan dan tidak tepat sehingga
menghasilkan efek yang berbeda tergantung dengan tipe pemakainya.
Contohnya, pada kontrasepsi pil, terdapat akseptor yang meminum pil
sesuai jadwal dan rekomendasi yang diberikan. Disisi lain terdapat
akseptor yang meminum pil tidak tepat waktu dan tidak sesuai dengan
rekomendasi yang diberikan. Hal ini menyebabkan risiko kehamilan
tidak diinginkan besar terjadi pada akseptor KB pil yang meminum
dengan jadwal yang tidak teratur dan tidak sesuai dengan rekomendasi.
21
2. Macam-Macam Metode Kontrasepsi
Pilihan metode kontrasepsi yang ada sangat beragam. Selain beragam,
banyak pula kelompok pembagian metode kontrasepsi. Berdasarkan
kandungannya, kontrasepsi dapat dibagi menjadi kontrasepsi hormonal dan
kontrasepsi non hormonal. Kontrasepsi hormonal terdiri dari pil, injeksi
(suntik) dan implan sedangkan kontrasepsi non hormonal terdiri dari MAL
(Metode Amenore Laktasi), kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR) dan Kontrasepsi Mantap (Tubektomi dan Vasektomi) (BKKBN,
2012).
Kontrasepsi merupakan salah satu strategi pemerintah dalam upaya
menurunkan angka fertilitas. Dewasa ini, efektifitas metode kontrasepsi
menurun dikarenakan faktor pemakainya yang terkadang tidak patuh
prosedur. Terdapat pula pembagian metode kontrasepsi berdasarkan lama
efektivitasnya, kontrasepsi dibagi menjadi:
a. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) yang terdiri dari IUD,
implan, MOP, dan MOW (BKKBN, 2011).
b. Non Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (Non MKJP) yang terdiri dari
kondom, pil, suntik, dan metode-metode lain yang tidak termasuk dalam
MKJP.
3. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang atau disingkat dengan MKJP
merupakan kontrasepsi yang dapat dipakai dalam jangka waktu lama lebih
22
dari 2 tahun, efektif dan efisien untuk tujuan pemakaian menjarangkan
kelahiran lebih dari 3 tahun atau mengakhiri kehamilan atau sudah tidak
ingin tambah anak lagi (BKKBN, 2009). Kontrasepsi yang tergolong dalam
MKJP terdapat beberapa jenis. Implan, IUD, MOW dan MOP merupakan
jenis MKJP. Penjelasan lebih lanjut mengenai MKJP adalah sebagai berikut
(Glasier, 2005):
a. Kontrasepsi Implan
Metode kontrasepsi hormonal ini paling efektif, tidak permanen
dan dapat mencegah kehamilan antara 3 hingga 5 tahun. Terdapat
beberapa jenis kontrasepsi implan yaitu (Glasier, 2005):
1) Norplant
6 kapsul yang bermuatan 216 mg levonorgestrel, panjang kapsul 34
mm dengan diameter 2,4 mm, dipasang menurut konfigurasi kipas
di lapisan subdermal lengan atas
2) Jadell (Norplant)
2 kapsul, memakai levonorgestrel 150 mg dalam kapsul 43 mm dan
diameter 2,5 mm
3) Implanon (Organon, Oss, Netherlands)
Kapsul tunggal yang mengandung etonogestrel (3-ketodesogestrel),
dikemas dalam trokar steril yang sekaligus disertai dengan
pendorong (inserter) kapsul sehingga pemasangan hanya butuh
waktu 1-2, 5 menit, pemakaian hanya untuk 3 tahun. Keefektifan
23
implanon mendekati 100% dalam mencegah kehamilan, pertama
dengan menghambat ovulasi dan kedua dengan mempertebal mukus
serviks (Andrews, 2009).
4) Implan lainnya
Implan-1 menggunakan Nestorone atau ST-1435, menghambat
ovulasi dan tidak terikat dengan sex hormone-binding globulin
(SHBG) serta tanpa efek estrogenik atau androgenik, satu kapsul.
Implan-2 setara dengan 1095-1460 pil progestin yang harus
diminum tiap hari, kemasan 2 kapsul yang masing-masing berisi 75
mg levonorgestrel dalam kantong plastik steril, diinsersikan
subdermal pakai trokar, hanya diperlukan pendorong untuk
menempatkan kedua kapsul pada lapisan subdermal pakai trokar,
hanya diperlukan pendorong untuk menempatkan kedua kapsul
pada lapisan subdermal lengan atas klien, masa pakai 3-4 tahun,
efektivitas tinggi.
Cara kerja kontrasepsi implan ini adalah dengan menghambat
ovulasi, menyebabkan endometrium tidak siap untuk nidasi dan
mempertebal lendir serviks serta menipiskan lapisan endometrium.
Efektivitas metode ini sangat tinggi, dengan tingkat kegagalan hanya 1-
3%. Metode ini tidak boleh dipakai oleh wanita dengan indikasi
hamil/diduga hamil, perdarahan pervaginam, tumor/keganasan, penyakit
jantung, kelainan haid, darah tinggi, kencing manis.
24
b. Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR)/Intrauterine Device (IUD)
Metode kontrasepsi IUD sangat efektif, reversibel dan berjangka
panjang (sampai 10 tahun: CuT-380°). Ketika memakai metode ini, haid
akan menjadi lebih lama dan lebih banyak. Metode ini juga dapat
dipakai oleh semua perempuan usia produktif. Namun, metode ini tidak
boleh dipakai oleh perempuan yang terpapar Infeksi Menular Seksual
(IMS). Terdapat 2 jenis IUD yaitu IUD CuT-380° dan NOVA T
(Glasier, 2005).
Cara kerja metode kontrasepsi model ini adalah dengan
menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii, IUD juga
mempengaruhi fertilitas sebelum ovum mencapai kavunm uteri,
mencegah sperma dan ovum bertemu serta memungkinkan untuk
mencegah implantasi telur dalam uterus.
Sebagai salah satu metode kontrasepsi jangka panjang, pemakai
metode kontrasepsi jenis ini harus memenuhi syarat sebagai berikut:
usia produktif, keadaan nulipara (tidak hamil), menginginkan
kontrasepsi jangka panjang, status menyusui tidak dipermasalahkan
(AKDR tidak mempengaruhi produksi ASI), dapat dipasang pada wanita
setelah abortus atau setelah melahirkan, tidak menghendaki metode
hormonal, tidak menghendaki kehamilan dalam waktu dekat, dan tidak
mengidap penyakit menular seksual atau infeksi menular seksual
(BKKBN, 2011).
25
IUD dapat dipasang setiap waktu dalam siklus haid (wanita
dipastikan tidak hamil), hari 1 sampai hari ke 7 siklus haid, segera
setelah persalinan (48 jam pertama atau 4 minggu pasca persalinan),
setelah 6 bulan bila menggunakan metode amenorea laktasi (MAL),
setelah abortus (segera atau dalam kurun waktu 7 hari) apabila tidak ada
gejala infeksi, dan selama 1 sampai 5 hari setelah sanggama yang tidak
dilindungi (Glasier, 2005).
Pengguna metode IUD harus kembali memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan setelah 4 sampai 6 minggu pemasangan IUD.
Selama bulan pertama pemasangan IUD, benang IUD harus diperiksa
secara rutin terutama setelah haid, setelah melewati bulan pertama
pemasangan, pemeriksaan keberadaan benang hanya perlu dilakukan
setelah haid. Akseptor perlu kembali ke pelayanan kesehatan apabila
benang IUD tidak teraba, merasakan bagian yang keras dari IUD, IUD
terlepas, siklus terganggu atau meleset, keluar cairan dari vagina yang
mencurigakan dan adanya infeksi. Jenis IUD Copper T-380A perlu
dilepas setelah 10 tahun pemasangan, tetapi dapat dilakukan lebih awal
apabila diinginkan.
Efektivitas IUD sangat tinggi dapat mencapai 10 tahun. Namun,
IUD tidak dapat digunakan pada wanita yang memiliki indikasi
diantaranya, sedang hamil, perdarahan vagina, sedang mengalami
infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), sering menderita abortus septik,
26
kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim, penyakit
tropoblas yang ganas, menderita TBC pelvik, kanker alat genital dan
ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm (Glasier, 2005).
c. Kontrasepsi Mantap
Kontrasepsi Mantap atau yang biasa disebut “Kontap” adalah
metode kontrasepsi dengan tindakan pembedahan pada saluran telur
wanita atau saluran mani pria yang mengakibatkan akseptor KB ini
tidak akan memperoleh keturunan. Karena kontrasepsi ini menyebabkan
akseptor tidak akan memperoleh keturunan selamanya (steril) maka
penggunaan kontrasepsi ini harus dilakukan atas dasar sukarela.
Terdapat beberapa metode kontrasepsi mantap yaitu (Glasier, 2005):
1) Tubektomi
Tubektomi atau Metode Operasi Wanita (MOW) adalah
salah satu metode Kontap dengan cara operasi pada wanita dengan
cara dilakukannya tindakan penutupan (pemotongan, pengikatan,
pemasangan cincin) pada kedua saluran telur kanan dan kiri
sehingga sel telur tidak dapat melewati saluran telur. Walaupun
masuk kedalam metode sterilisasi, tubektomi bukan merupakan
tindakan pengebirian atau pembuangan kedua indung telur.
27
2) Vasektomi
Vasektomi atau Metode Operasi Pria (MOP) adalah salah
satu metode kontrasepsi mantap dengan cara operasi pada pria yang
dilakukan dengan menutup (pemotongan, pengikatan, atau
pemasangan cincin) terhadap kedua saluran mani kanan dan kiri
sehingga sel mani tidak bisa keluar pada waktu sanggama.
Walaupun masuk kedalam metode sterilisasi, tubektomi bukan
merupakan tindakan pengebirian atau pembuangan buah zakar.
Metode kontrasepsi mantap ini tidak dapat digunakan pada
Akseptor yang memiliki indikasi keadaan kesehatan kurang baik,
mengalami gangguan pembekuan darah, alergi terhadap obat-obat
anastesi, infeksi waktu melahirkan (intrapartum) dan nipas,
peradangan panggul dan atau organ reproduksi, obesitas, kelainan
patologik organ reproduksi.
Akseptor yang telah melakukan kontap seperti tubektomi dapat
melakukan rekanalisasi Tuba Falopii. Rekanalisasi tuba falopii adalah
operasi rekanalisasi dengan teknik bedah micro. Teknik ini selain
menyambung kembali tuba falopii juga menjamin kembalinya fungsi
tuba falopii. Namun, tidak semua pasien pasca tubektomi dapat mudah
menjalankan rekanalisasi.
Rekanalisasi tidak dapat dilakukan pada wanita yang usianya >
37 tahun, mempunyai masalah pada ovarium, memiliki suami
28
oligospermi atau azoospermi, kesehatan tidak baik dimana kehamilan
dapat memperburuk kesehatannya, mengidap tuberkulosis genital
interna, perlekatan organ-organ pelvik yang luas dan berat, memiliki
tuba yang sehat terlalu pendek (kurang dari 4 cm) dan memiliki infeksi
pelvis yang masih aktif.
D. Kontrasepsi dalam Perspektif Islam
Kontrasepsi adalah alat atau obat yang bertujuan untuk menjarangkan
kehamilan atau membatasi jumlah anak (Sinsin, 2008). Pada orang yang telah
menikah keputusan untuk menunda kehamilan dan mencegah kehamilan
tergantung pada masing-masing pasangan. Dalam hal ini terdapat perbedaan
antara menunda kehamilan dan membatasi kehamilan (Sudaryanto, 2014).
Menunda kehamilan adalah ditundanya masa kehamilan pada waktu
tertentu. Sedangkan, membatasi kehamilan adalah masa kehamilan ditunda untuk
selama-lamanya. Dalam islam membatasi kehamilan dengan alasan yang tidak
jelas hukumnya haram. Sedangkan, untuk menunda kehamilan diperbolehkan
(Sudaryanto, 2014).
Islam memperbolehkan umatnya menggunakan KB jika jarak kehamilan
membuat ibu lebih sehat secara fisik dan ayah secara keuangan lebih nyaman dan
terlebih lagi karena tindakan ini tidak melanggar larangan dalam Al-Quran atau
tradisi Nabi (Sunnah). Jika kesuburan yang berlebihan menyebabkan risiko
kesehatan yang telah terbukti untuk ibu dan anak-anak, atau kesulitan ekonomi
29
serta ketidakmampuan orang tua untuk membesarkan anak-anak mereka dengan
baik, umat Islam diizinkan untuk mengatur jumlah kehamilan (Azzam, 2012).
Ada beberapa alasan dalam islam untuk memperbolehkan penggunaan
kontrasepsi diantaranya adalah (Azzam, 2012):
1. Menghindari risiko kesehatan untuk anak yang menyusui.
2. Menghindari risiko bagi ibu yang memiliki interval kelahiran yang
pendek.
3. Menghindari kehamilan istri yang sudah sakit.
4. Menghindari penularan penyakit dari orang tua kepada keturunannya.
Jika penggunaan kontrasepsi ini dengan alasan karena takut miskin, takut
tidak bisa membiayai kehidupan anak-anak, dsb, maka ini hukumnya haram
secara mutlak karena telah berprasangka buruk kepada Allah (Gray, 2010).
Terkait dengan kebijakan pemerintah dalam penggunaan kontrasepsi,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu forum islam di Indonesia
mengeluarkan fatwa terkait dengan keluarga berencana dan kontrasepi. Isi dari
fatwa MUI tersebut adalah sebagai berikut:
1. Islam membenarkan isi pelaksanaan Keluarga Berencana yang ditujukan
demi kesehatan ibu dan anak, dan demi kepentingan pendidikan anak.
Pelaksanaannya harus dilakukan atas dasar sukarela, dan menggunakan
alat kontrasepsi yang tidak dilarang oleh Islam
2. Pengguguran kandungan dalam bentuk apa pun dan pada tingkat
kehamilan kapanpun diharamkan oleh islam, karena perbuatan itu
30
tergolong pembunuhan. Ini termasuk pengaturan waktu haid dengan
menggunakan pil. Pengecualian diberikan hanya jika pengguguran
dilakukan demi menolong jiwa si ibu.
3. Vasektomi dan tubektomi dilarang dalam islam, kecuali dalam keadaan
darurat, seperti untuk menolong jiwa orang yang hendak menjalani
vasektomi atau tubektomi.
4. Penggunaan IUD (Intra Uterine Devices) dalam Keluarga Berencana
(KB) dibenarkan, asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita
atau, dalam keadaan tertentu, oleh dokter lelaki dengan dihadiri oleh
kaum wanita lain atau suami pasien.
E. Determinan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)
Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP. Faktor eksternal
maupun faktor internal dapat mempengaruhi penggunaan MKJP. Berikut faktor-
faktor yang mempengaruhi status penggunaan MKJP berdasarkan hasil-hasil
penelitian terdahulu adalah sebagai berikut:
1. Umur
Umur wanita usia subur berhubungan erat dengan penggunaan MKJP.
Umur dalam pengaruhnya dengan pemakaian KB berperan sebagai faktor
intrinsik. Umur berpengaruh dengan struktur organ, fungsi organ, komposisi
biokimiawi dan sistem hormonal. Pada suatu periode umur tertentu, dapat
menyebabkan perbedaan pada kontrasepsi yang dibutuhkan. Periode umur
31
wanita di atas 30 tahun sebaiknya mengakhiri kehamilan setelah mempunyai 2
orang anak, sehingga pilihan utama alat kontrasepsinya adalah kontrasepsi
mantap misalnya vasektomi atau tubektomi, karena kontrasepsi ini dapat
dipakai untuk jangka panjang dan tidak menambah kelainan yang sudah ada.
Pada masa usia tua kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi, keganasan
dan metabolik biasanya meningkat, oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan
cara kontrasepsi yang menambah kelainan tersebut (Dewi dan Notobroto,
2014).
Pada penelitian Mengistu Meskele dan Wubegzier Mekonnen (2014),
yang meneliti mengenai faktor yang berhubungan dengan minat wanita dalam
menggunakan MKJP, memperoleh hasil bahwa wanita dengan umur 25-34
tahun berpeluang 0,59 tidak berminat menggunakan MKJP dibandingkan
dengan wanita dengan umur 15-24 tahun, namun hasil yang tidak
berhubungan antara umur dengan penggunaan MKJP diperoleh saat analisis
dikontrol dengan variabel pengganggu (confounding).
Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil bahwa
jumlah yang paling besar adalah akseptor KB pengguna non MKJP berumur
20-30 tahun sebesar 33,3%, sedangkan akseptor KB pengguna MKJP
persentase lebih besar berumur >30 tahun sebesar 29,8%. Uji logistik
pengaruh umur akseptor KB dengan rendahnya keikutsertaan PUS
menggunakan MKJP menunjukkan nilai p= 0,005 < α= 0,05 sehingga dapat
32
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh umur responden dengan rendahnya
keikutsertaan PUS menggunakan MKJP.
Pada penelitian Nasution (2011) yang meneliti faktor-faktor
penggunaan MKJP di 6 Provinsi di Indonesia, diperoleh hasil umur juga
memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Maluku, Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara. Umur Pasangan Usia
Subur (PUS) < 30 tahun memiliki risiko untuk tidak menggunakan MKJP
lebih tinggi dibandingkan dengan PUS umur > 30 tahun. Namun, Hasil yang
tidak berhubungan antara umur dengan penggunaan MKJP diperoleh pada
Provinsi Sumatera.
Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil sejalan
dimana akseptor KB yang berumur 30 tahun atau lebih berpeluang 4,2 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur kurang
dari 30 tahun. Pada penelitian Mestad dkk (2012) juga menunjukkan hasil
adanya hubungan antara umur dengan jenis kontrasepsi yang digunakan.
Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) pun demikian, didapatkan
hasil akseptor KB yang berumur 25-34 tahun berpeluang 1,99 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur 15-24
tahun, sedangkan akseptor KB yang berumur ≥ 35 tahun berpeluang 2,12 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang berumur 15-24
tahun.
33
Pada penelitian Shegaw Getinet dkk (2014) juga diperoleh hubungan
antara umur dengan pemakaian MKJP, umur 30-34 berpeluang 2 kali
menggunakan MKJP daripada umur 15-24 tahun. Namun hasil yang tidak
berhubungan juga diperoleh pada hubungan yang telah dikontrol dengan
variabel pengganggu.
Hasil yang berbeda didapat pada penelitian Gudaynhe dkk (2013).
Pada penelitian tersebut didapatkan hasil hubungan yang negatif antara wanita
dengan umur 30-34 terhadap penggunaan MKJP (AOR: 0,345). Hal ini berarti
wanita yang memiliki umur 20-24 tahun 3,69 kali mempunyai peluang untuk
menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki umur 30-34
tahun.
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan menjadi salah satu faktor yang mencegah atau mendorong
seseorang dalam bertindak, misalnya dalam memilih metode kontrasepsi yang
akan digunakan. Pendidikan pada hakikatnya merupakan sesuatu yang
diberikan seseorang kepada orang lain yang sedang berusaha mencapai
kedewasaan dalam arti normatif dengan menggunakan cara berupa alat,
bahasa atau media guna mencapai perubahan tingkah laku dan tujuan
(Herijulianti, 2001). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi mampu menyerap
informasi dan lebih mampu mempertimbangkan hal-hal yang menguntungkan
atau efek samping bagi kesehatan. Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi
seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya.
34
Orang yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. (Dewi
dan Notobroto, 2014).
Menurut Teffera dan Wondifraw (2015) wanita yang berpendidikan
mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya keluarga
berencana untuk dirinya dan untuk keluarganya. Wanita yang berpendidikan
mempunyai pengetahuan yang lebih tentang ketersediaan metode kontrasepsi
dan mempunyai kesempatan untuk memutuskan tempat pelayanan yang
diinginkan.
Pada penelitian Shegaw Getinet dkk (2014), wanita yang memperoleh
pendidikan formal mempunyai peluang 2 kali menggunakan MKJP
dibandingkan dengan wanita yang tidak memperoleh pendidikan formal. Pada
penelitian Nasution (2011) juga diperoleh hasil tingkat pendidikan memiliki
hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara. Hasil
penelitian menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan tingkat
pendidikan tidak sekolah/tidak tamat SLTP dan tamat SD/ tamat SLTP saja
memiliki peluang yang lebih tinggi untuk tidak menggunakan MKJP
dibandingkan dengan Pasangan Usia Subur (PUS) dengan tingkat pendidikan
tamatan SMA ke atas di 6 Provinsi yang menjadi wilayah penelitian. Pada
penelitian Dewi dan Notobroto, 2014 diperoleh hasil terdapat pengaruh
tingkat pendidikan responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS
35
menggunakan MKJP yang dapat dilihat dari hasil uji logistik menunjukkan
nilai p= 0,015 < α= 0,05.
Namun, pada penelitian Pangestika (2010) diperoleh hasil tidak ada
hubungan antara pendidikan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian
Adhyani dkk (2011) juga diperoleh hasil yang tidak signifikan antara
pendidikan dengan penggunaan MKJP. Sama halnya pada hasil penelitian
Mestad dkk (2012) juga diperoleh hasil tidak ada hubungan antara pendidikan
SMA dengan pendidikan Perguruan Tinggi dalam penggunaan MKJP. Pada
penelitian Gudaynhe dkk (2014) yang dilakukan di Etiopia Barat juga
diperoleh hasil tidak ada hubungan antara akseptor KB yang tidak sekolah
atau jenjang pendidikan kedua dengan penggunaan MKJP jika dibandingkan
dengan akseptor yang kuliah.
3. Status Pekerjaan
Pekerjaan ada berbagai jenis, jenis pekerjaan adalah macam-macam
kegiatan melaksanakan tugas pokok, setiap pekerjaan juga mempunyai sifat
yang berbeda-beda, ada yang membutuhkan waktu 24 jam ada pula yang
hanya beberapa jam (Bratakusumah dan Solihin, 2004). Pekerjaan
mempengaruhi seseorang dalam menggunakan MJKP. Ibu yang bekerja
cenderung lebih mudah bergaul dan menerima informasi baru yang
didapatkan.
Hubungan antar status pekerjaan dengan pemakaian MKJP dapat
disebabkan karena akseptor KB yang bekerja memiliki kesempatan untuk
36
memperoleh informasi baik dari teman kerja atau dari media lain sehingga
kesempatan untuk menggunakan MKJP dapat lebih besar. Selain itu, akseptor
KB yang bekerja juga mempertimbangkan berbagai hal seperti waktu
pemakainan KB jangka pendek (Non MKJP) yang harus diminum tiap hari
seperti pil atau tiap bulan seperti suntik yang dapat menyita banyak waktu
serta tidak efektif. Menurut Fienalia (2012), wanita bekerja kemungkinan
lebih menyadari kegunaan dan manfaat KB serta lebih mengetahui pilihan
metode yang ada jika dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja
Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil bahwa
wanita yang bekerja mempunyai peluang 1,7 kali (CI:1,3-2,2) menggunakan
MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Pada penelitian Asih
dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil yang signifikan antara status
pekerjaan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian tersebut diketahui
bahwa akseptor KB dengan status bekerja berpeluang 1,529 menggunakan
MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja. Namun hasil
yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati (2002) dimana diperoleh
hasil yang tidak berhubungan antara pekerjaan dengan penggunaan MKJP.
4. Tingkat Penghasilan
Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang
dilakukan orang perorangan, badan, dan bentuk usaha lainnya yang dapat
digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsikan dan/atau
menimbun serta menambah kekayaan. Menurut Pasal 4 ayat 1 UU PPh yang
37
dimaksudkan dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama
dan dalam bentuk apapun (Judisseno, 2005).
Penghasilan memiliki pengaruh terhadap penggunaan MKJP. Semakin
tinggi penghasilan seorang keluarga/wanita semakin memungkinkan untuk
menggunakan MKJP. Hal ini dapat disebabkan karena dengan penghasilan
yang cukup dapat membuat seseorang mampu untuk membayar transportasi
dan biaya prosedural penggunaan MKJP (Teffera dan Wondifraw, 2015).
Berdasarkan penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil
bahwa indeks kekayaan berpengaruh terhadap penggunaan MKJP. Wanita
yang memiliki indeks kekayaan tinggi memiliki peluang 4,8 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang memiliki indeks
kekayaan rendah. Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh
hubungan yang signifikan antara indeks kekayaan dengan status penggunaan
MKJP, dimana akseptor KB yang mempunyai indeks kekayaan dalam
kategori mampu berpeluang 1,440 kali menggunakan MKJP dibandingkan
dengan akseptor KB dengan kategori miskin.
Namun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati (2002)
dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara penghasilan dengan
penggunaan MKJP. Pada penelitian Pangestika (2010) juga memperoleh hasil
38
tidak ada hubungan antara penghasilan dengan penggunaan MKJP, begitu
pula yang ditemukan pada penelitian Fienalia (2012) diperoleh hasil tidak ada
hubungan antara tingkat penghasilan dengan status penggunaan kontrasepsi.
Kota Tangerang Selatan mempunyai UMK (Upah Minimum Kota) yang
lebih tinggi dibandingkan DKI Jakarta. Berdasarkan Badan Pusat Statistik
Tahun 2014, UMK Tangerang Selatan Mencapai 2.440.000 rupiah. Tahun
2015 UMK Tangerang Selatan naik kembali menjadi 2.710.000 rupiah
(Keputusan Gubernur, 2014).
5. Tempat Tinggal
Daerah tempat tinggal dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku
seseorang. Daerah tempat tinggal biasanya dibedakan berdasarkan rural dan
urban. Pada penelitian Nasution (2011) diperoleh hasil tempat tinggal
memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Sumatera,
Kalimantan, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara. Hasil penelitian
menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) yang tinggal di perkotaan
memiliki peluang yang lebih tinggi untuk menggunakan MKJP dibandingkan
dengan Pasangan Usia Subur (PUS) yang tinggal di pedesaan di 4 Provinsi
yang menjadi wilayah penelitian. Hasil yang tidak berhubungan diperoleh
pada Provinsi Jawa dan Sulawesi.
6. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris
khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan
39
domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt
behaviour). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat terus
menerus dan bertahan lama (Sunaryo, 2004).
Proses adopsi perilaku menurut Rogers (1974) dimulai dari kesadaran
akan stimulus yang diberikan, kemudian ada rasa ketertarikan terhadap
stimulus, lalu dilanjutkan dengan proses menimbang-nimbang tentang baik
tidaknya stimulus tersebut. Setelah menimbang-nimbang, individu masuk
pada tahapan mencoba menerapkan perilaku baru yang dipaparkan, kemudian
setelah dicoba dan merasa nyaman, individu akan mengadopsi perilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, sikap, dan kesadarannya terhadap stimulus yang
diberikan (Sunaryo, 2004). Tingkatan pengetahuan didalam kognitif ada 6
yaitu (Sunaryo, 2004):
a. Tahu
Tahu artinya dapat mengingat suatu informasi yang telah
diberikan sebelumnya. Ukuran seseorang tahu akan sebuah informasi
adalah orang tersebut dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan
dan menyatakan. Tahu merupakan tingkatan paling rendah dalam
pengetahuan
b. Memahami
Pada tingkat memahami seseorang tidak hanya dapat
menyebutkan dan menguraikan, tetapi juga dapat menjelaskan,
40
memberikan contoh dan juga dapat menyimpulkan suatu informasi yang
diberikan
c. Penerapan
Penerapan yaitu kemampuan menggunakan informasi yang
diterima pada situasi dan kondisi nyata.
d. Analisis
Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek kedalam
bagian-bagian kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut
dan masih terkait satu sama lain.
e. Sintesis
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan
bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi
yang ada. Ukuran seseorang memiliki pengetahuan pada tingkatan ini
adalah orang tersebut dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan,
dan menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi
Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek atau informasi yang diberikan. Evaluasi dapat
menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.
Pengetahuan berhubungan dengan penggunaan MKJP. Pengetahuan
akseptor KB sangat erat kaitannya terhadap pemilihan alat kontrasepsi, karena
41
dengan adanya pengetahuan yang baik terhadap metode kontrasepsi tertentu
akan merubah cara pandang akseptor dalam menentukan kontrasepsi yang
paling sesuai dan efektif digunakan sehingga membuat pengguna KB lebih
nyaman terhadap kontrasepsi tersebut. Pengetahuan yang baik akan alat
kontrasepsi dapat menghindari kesalahan dalam pemilihan alat kontrasepsi
yang paling sesuai bagi pengguna itu sendiri (Dewi dan Notobroto, 2014).
Pada penelitian Gebremichael dkk (2013) diperoleh hasil bahwa
wanita dengan pengetahuan sedang berpeluang 4,2 kali lebih besar
menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita dengan pengetahuan
rendah, dan wanita dengan pengetahuan tinggi berpeluang 4,2 kali lebih besar
menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita dengan pengetahuan
rendah. Pada penelitian Shegaw Getinet dkk (2014), juga diperoleh hubungan
yang signifikan antara pengetahuan dengan penggunaan MKJP. Pengetahuan
menengah meningkatkan peluang 3,4 kali dan pengetahuan tinggi
meningkatkan peluang 2,3 kali menggunakan MKJP.
Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014), tingkat pengetahuan
responden kelompok pengguna non MKJP cenderung lebih kurang daripada
kelompok pengguna MKJP, dimana hasil persentase menunjukkan sebesar
91,7% dibandingkan reponden pengguna MKJP hanya 8,3%. Pengaruh
pengetahuan responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan
MKJP nilai p= 0,000 < α= 0,05. Disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
pengetahuan responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan
42
MKJP. Namun, hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Mengistu
Meskele dan Wubegzier Mekonnen (2014) yang memperoleh hasil bahwa
tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan minat wanita dalam
menggunakan MKJP.
7. Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau
informasi, baik yang bersifat internal maupun eksternal sehingga
manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara realitas
menunjukkan adanya kesesuaian respon terhadap stimulus tertentu. Tingkatan
sikap adalah menerima, merespon, menghargai, dan bertanggung jawab
(Sunaryo, 2004).
Sikap berhubungan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian
Gebremichael dkk (2013) diperoleh hasil bahwa wanita dengan sikap positif
terhadap MKJP mempunyai peluang 2 kali lebih besar menggunakan MKJP
dibandingkan dengan wanita yang memiliki sikap negatif terhadap MKJP.
Hasil yang serupa diperoleh pada penelitian Mengistu Meskele dan
Wubegzier Mekonnen (2014) yang memperoleh hasil wanita yang memiliki
sikap positif 2,5 kali lebih mungkin menggunakan MKJP dibandingkan
dengan wanita yang memiliki sikap negatif terhadap MKJP. Pada penelitian
Shegaw Getinet et al (2014) juga diperoleh hasil bahwa wanita dengan sikap
43
positif berpeluang 3 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita
dengan sikap negatif terhadap MKJP.
8. Mendengar Mitos dan Kesalahpahaman tentang MKJP
Mitos adalah cerita-cerita yang menyingkapkan atau menerangkan
pandangan hidup seseorang. Pada zaman sekarang, pembuat mitos yang
paling berpengaruh adalah media massa (F Fore, 2002). Mitos dan
kesalahpahaman yang terdapat di masyarakat mengenai MKJP seperti IUD
dapat menyebabkan radang panggul, IUD dapat mengakibatkan kemandulan,
kontra indikasi pada wanita yang belum pernah hamil, MKJP dapat
meningkatkan berat badan, implan menyebabkan perdarahan, IUD tidak dapat
menghentikan kehamilan, MKJP menyebabkan kehamilan ektopik, MKJP
menyebabkan siklus menstruasi menjadi tidak teratur, IUD menyakitkan,
MKJP menyebabkan rambut rontok, MKJP menyebabkan osteoporosis, IUD
tidak muat di panggul wanita dan masih banyak lagi kesalahpahaman dan
mitos mengenai MKJP di masyarakat (SH&FPA, 2013 dan Russo et al, 2013).
Berbagai penelitian menunjukan adanya hubungan antara pernah
mendengar mitos dan kesalahpahaman terkait kontrasepsi dengan status
penggunaan kontrasepsi. Pada penelitian Mengistu Meskele dan Wubegzier
Mekonnen (2014), yang meneliti mengenai faktor yang berhubungan dengan
minat wanita dalam menggunakan MKJP, memperoleh hasil bahwa wanita
yang tidak pernah mendengar mitos dan kesalahpahaman tentang MKJP
berpeluang 1,7 kali menggunakan MKJP. Pada penelitian Kakaire O et al
44
(2014) yang dilakukan dengan metode kualitatif juga memperoleh hasil bahwa
mitos dan kesalahpahaman mengenai MKJP dapat mempengaruhi persepsi
wanita.
9. Diskusi dengan Pasangan/Suami tentang MKJP
Ketika sudah menjadi pasangan suami istri, suami merupakan orang
pertama yang berpengaruh terhadap berbagai pengambilan keputusan. Salah
satunya adalah pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan. Suami
berperan penting dalam menentukan kontrasepsi yang akan dipakai sebagai
aplikasi program keluarga berencana. Salah satu hal yang memberikan
peluang akseptor untuk menggunakan MKJP adalah dengan berdiskusi oleh
pasangan (Gudaynhe dkk, 2014).
Adhyani dkk (2011) mengatakan bahwa seorang istri di dalam
pengambilan keputusan untuk memakai atau tidak memakai alat kontrasepsi
membutuhkan persetujuan dari suami karena suami dipandang sebagai kepala
keluarga, pelindung keluarga, pencari nafkah dan seseorang yang dapat
membuat keputusan dalam suatu keluarga. Pengetahuan yang memadai
tentang alat kontrasepsi, dapat memotivasi suami dan untuk menganjurkan
istrinya memakai alat kontrasepsi tersebut.
Berdasarkan penelitian Gudaynhe dkk (2014) diskusi suami istri
ditemukan memiliki hubungan yang signifikan, wanita yang sudah menikah
yang memiliki pengalaman berdiskusi dengan suami tentang kontrasepsi 1,8
kali memiliki peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan yang tidak
45
pernah berdiskusi dengan suami [AOR (95%CI) = 1.876(1. 159, 3.036)]. Hal
ini mungkin terjadi karena jika tidak ada diskusi antara suami dan istri, akan
menghasilkan pengaruh yang negatif terhadap penggunaan MKJP. Pada
penelitian Yalew dkk (2015) diperoleh hasil wanita yang memiliki frekuensi
sering berdiskusi dengan pasangan tentang MKJP memiliki peluang 3,89 kali
lebih tinggi menggunakan MKJP dibandingkan dengan yang hanya berdiskusi
sekali atau dua kali saja.
10. Umur Pertama Melahirkan
Umur pertama melahirkan yang ideal, menurut UU no 1 tahun 1974
tentang perkawinan, ditentukan dan dipengaruhi oleh risiko yang diakibatkan
dari melahirkan, kemampuan tentang perawatan kehamilan, pasca persalinan
dan masa diluar kehamilan dan persalinan, serta derajat kesehatan reproduksi.
Di beberapa penelitian, umur pertama melahirkan dikaitkan dengan
penggunaan MKJP. Pada penelitian Jingbo dkk (2013) diperoleh adanya
hubungan antara umur pertama melahirkan dengan penggunaan MKJP
(p<0,001) dan korelasi yang positif (CC=0,598). Namun, banyak penelitian
yang mendapatkan hubungan yang tidak signifikan antara usia pertama
melahirkan dengan penggunaan MKJP seperti pada penelitian Teffera dan
Wondifraw (2015) dan penelitian Gudayne dkk (2014).
11. Jumlah Anak Hidup
Jumlah anak yang dimiliki Pasangan Usia Subur (PUS) dapat
mempengaruhi status penggunaan MKJP. Salah satu faktor yang menentukan
46
keikutsertaan PUS dalam berKB adalah banyaknya anak yang dimilikinya,
diharapkan pasangan yang memiliki jumlah anak lebih banyak kemungkinan
untuk memulai kontrasepsi lebih besar dibandingkan pasangan yang
mempunyai anak lebih sedikit (Dewi dan Notobroto, 2014).
Jumlah anak mulai diperhatikan setiap keluarga karena semakin
banyak anak semakin banyak pula tanggungan kepala keluarga dalam
mencukupi kebutuhan materil selain itu juga untuk menjaga kesehatan sistem
reproduksi karena semakin sering melahirkan semakin rentan terhadap
kesehatan ibu. Semakin banyak anak yang dimiliki maka semakin besar
kecenderungan untuk menghentikan kesuburan sehingga lebih cenderung
untuk memilih metode kontrasepsi mantap. Jumlah anak hidup yang dimiliki
seorang wanita, akan memberikan pengalaman dan pengetahuan, sehingga
wanita dapat mengambil keputusan yang tepat tentang cara atau alat
kontrasepsi yang akan dipakai (Dewi dan Notobroto, 2014).
Berdasarkan laporan dari SDKI 2012, hampir 50% wanita menikah
menyatakan tidak ingin mempunyai anak lagi (termasuk yang telah
disterilisasi). Kelompok ini diharapkan akan melakukan penjarangan
kelahiran. Sekitar 15% wanita menikah menyatakan ingin menambah anak
segera; 6% belum memutuskan kapan ingin menambah anak; dan 5% belum
memutuskan apakah akan menambah anak. Sebagian besar (sekitar 50%)
responden SDKI 2012, baik wanita maupun pria, menyatakan ingin memiliki
47
2 anak dan sekitar 20% menginginkan 3 anak. Relatif sedikit yang
menyebutkan ingin memiliki 5 anak atau lebih.
Pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil yang
signifikan antara jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP. Wanita yang
memiliki lebih dari 4 anak berpeluang 5,8 kali menggunakan MKJP
dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki anak. Hal ini dapat
disebabkan wanita yang telah memiliki anak telah mencapai targetnya dalam
ukuran keluarga. Oleh karena itu, wanita lebih menyukai metode yang efektif
dalam mencegah kehamilan.
Pada penelitian Nasution (2011) yang dilakukan di 6 Provinsi di
Indonesia memperoleh hasil bahwa jumlah anak memiliki hubungan dengan
penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Papua, serta Bali dan Nusa Tenggara. Hasil penelitian menyatakan
bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan jumlah anak 0-2 berpeluang lebih
tinggi tidak menggunakan MKJP dibandingkan dengan PUS yang memiliki
anak 3 atau lebih di 6 Provinsi di Indonesia yang menjadi tempat penelitian.
Penelitian Megan L. Kavanaugh dkk (2011) yang dilakukan di United
States menggunakan data sekunder pada tahun 2002 dan 2006-2008 juga
memperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian Nasution (2011) yaitu
jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP baik tahun 2002 maupun 2006-
2008 memiliki hubungan signifikan (1-2 anak 2002 OR=5,8; 2006-2008 OR
22,1, ≥3 anak 2002 OR=5,0; 2006-2008 OR=8,7).
48
Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil responden
pengguna non MKJP sebagian besar memiliki anak >4 dibandingkan dengan
responden pengguna MKJP yang memiliki anak ≤2. Uji logistik menunjukkan
nilai p= 0,000 < α= 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh
jumlah anak responden dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan
MKJP. Namun pada penelitian Philip Goldstone dkk (2014) diperoleh hasil
bahwa tidak ada hubungan jumlah anak dengan penggunaan MKJP.
12. Riwayat Aborsi
Aborsi adalah tindakan menggugurkan kandungan atau dalam dunia
kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”, yang berarti pengeluaran hasil
konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan. Hal ini merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin
sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Aborsi pada wanita yang
sedang mengandung anak dapat terjadi dengan cara sengaja maupun tidak
sengaja (aborsi.org, 2004).
Aborsi dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan sifat kejadiannya yaitu
spontan/alamiah, aborsi sengaja, dan aborsi terapetik. Aborsi spontan/alamiah
berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang
baiknya kualitas sel telur dan sel sperma atau dapat disebabkan karena
kelalaian atau ketidaksiapan ibu saat mengandung seorang anak (Chang,
2009). Aborsi buatan/sengaja adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia
kandungan 28 minggu sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan
49
disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter,
bidan atau dukun beranak). Aborsi terapeutik/medis adalah pengguguran
kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon
ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau
penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu
maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis
yang matang (aborsi.org, 2004).
Dalam berbagai penelitian, riwayat aborsi dihubung-hubungkan
dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian kavanaugh dkk (2011) riwayat
aborsi dihubungkan dengan penggunaan MKJP, namun diperoleh hasil yang
negatif antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian
goldstone dkk (2014) dibahas bahwa wanita yang memiliki riwayat aborsi
lebih dari 3 kali cenderung memilih IUD (RR: 3,30;95% CI, 2.67-4.85) dan
implant (RR,1,51;95%CI,1.12-2.03) dalam penggunaan kontrasepsi
dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat aborsi sebelumnya.
Pada penelitian Connolly dkk (2014) juga diperoleh hubungan yang signifikan
antara penurunan aborsi dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang
(p=0,04) pada remaja. Pada penelitian Mestad dkk (2011) diperoleh hasil tidak
ada hubungan antara riwayat aborsi dengan penggunaan MKJP.
13. Tempat Pelayanan KB
Tempat pelayanan KB dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi penggunaan MKJP. Fasilitas pelayanan KB dibagi atas
50
pemerintah dan swasta. Baik pelayanan pemerintah maupun swasta, semua
fasilitas pelayanan KB harus melakukan upaya-upaya dalam peningkatan
akseptor KB. Salah satu peranan fasilitas pelayanan KB baik pemerintah
maupun swasta adalah melakukan pelayanan preventif yaitu dengan
mengutamakan metode terpilih MKJP (IUD, implan, MOW, MOP) selain non
MKJP) (BKKBN, 2014).
Pada penelitian Nasution (2011) diperoleh hasil sumber pelayanan KB
memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi serta Bali dan Nusa Tenggara. Hasil penelitian
menyatakan bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan sumber pelayanan
KB dari Pemerintah dan Swasta memiliki peluang yang lebih tinggi untuk
menggunakan MKJP dibandingkan dengan Pasangan Usia Subur (PUS)
dengan sumber pelayanan KB lain di 4 Provinsi yang menjadi wilayah
penelitian. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada Provinsi
Jawa dan Sumatera. Pada penelitian Katherine Blumoff Greenberg dkk
(2013), tempat pelayanan KB juga memiliki hubungan yang signifikan dengan
penggunaan MKJP.
F. Kerangka Teori
Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan metode kontrasepsi
jangka panjang. Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi adalah faktor yang
melekat dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi seseorang dalam
51
melakukan suatu tindakan (Maulana, 2009). Faktor sosiodemografi yang
mempengaruhi seseorang dalam bertindak misalnya umur, jenis kelamin,
pendidikan dan tempat tinggal, sedangkan faktor sosioekonomi misalnya
pekerjaan dan pendapatan (Gaol, 2013).
Faktor kognitif adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
berpikir lebih kompleks, serta kemampuan penalaran dan pemecahan masalah.
Faktor kognitif seseorang dapat dibentuk oleh paparan lingkungan eksternal.
Suatu tindakan seperti pemilihan metode kontrasepsi dipengaruhi faktor kognitif
seperti pengetahuan, sikap, mitos yang didengar serta diskusi dengan pasangan
atau suami (Semiun, 2006).
Faktor reproduksi merupakan karakteristik yang terkait dalam sistem
reproduksi seorang wanita, yang juga menggambarkan risiko-risiko kesehatan
yang ada sehingga dapat dijadikan pertimbangan seseorang dalam hal kehamilan
dan kelahiran (BKKBN, 2011). Faktor reproduksi yang berpengaruh terhadap
penggunaan kontrasepsi yaitu jumlah anak hidup, umur pertama kali melahirkan,
dan riwayat aborsi.
KB merupakan suatu program yang dibuat pemerintah untuk menekan
laju pertumbuhan penduduk. Sebagai suatu program, faktor pelayanan sangat
berpengaruh terhadap tingkat penggunaan kontrasepsi di masyarakat (BKKBN,
2014). Faktor pelayanan yang dapat mempengaruhi pemilihan metode
kontrasepsi adalah tempat pelayanan KB. Berdasarkan sifatnya tempat pelayanan
KB dibagi berdasarkan kategori pelayanan swasta (praktik bidan swasta, RS
52
swasta atau klinik swasta) dan pelayanan pemerintah (Puskesmas atau RS
pemerintah). Berikut kerangka teori determinan penggunaan MKJP:
Bagan 2.1
Kerangka Teori
Sumber: Dimodifikasi dari Gudayne dkk (2014)
Faktor Sosiodemografi dan
Sosioekonomi:
1. Umur
2. Tingkat pendidikan
3. Status pekerjaan
4. Tingkat penghasilan
5. Tempat tinggal
Faktor Reproduksi:
1. Umur pertama kali
melahirkan
2. Jumlah anak hidup
3. Riwayat aborsi
Faktor Kognitif:
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Mitos dan ketidakpahaman
tentang MKJP
4. Status diskusi dengan
suami tentang MKJP
Faktor Pelayanan:
1. Tempat pelayanan
Penggunaan
Metode
Kontrasepsi
Jangka Panjang
53
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan bagian dari kerangka teori yang akan
diteliti, untuk mendeskripsikan secara jelas antara variabel dependen dengan
variabel independennya (Kemenkes RI, 2012). Variabel independen yang diteliti
adalah faktor sosiodemografi dan sosioekonomi, faktor kognitif faktor
reproduksi, dan faktor pelayanan. Berikut penjelasan pentingnya variabel
tersebut diteliti:
1. Umur penting untuk diteliti, karena ketika seorang wanita sudah berada
pada umur yang cukup tua (>30 tahun) maka risiko kesehatan yang dialami
akan meningkat, sehingga berbahaya jika terjadi kehamilan. Hal tersebut
dapat mendorong wanita menggunakan metode kontrasepsi yang lebih
efektif untuk mencegah kehamilan seperti MKJP.
2. Tingkat Pendidikan juga penting untuk diteliti karena tingkat pendidikan
dapat berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam menerima
informasi yang diberikan, salah satunya informasi mengenai pilihan
metode kontrasepsi. Hal ini dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
terkait metode kontrasepsi yang akan digunakan.
54
3. Status pekerjaan ibu juga penting untuk diteliti karena hal ini terkait
dengan akses terhadap informasi dan pengaruh orang sekitar yang dapat
berpengaruh terhadap pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
4. Tingkat penghasilan penting diteliti karena berpengaruh terhadap
penggunaan kontrasepsi. Hal ini menyangkut dengan biaya penggunaan
kontrasepsi jangka panjang dan biaya transportasi yang digunakan untuk
mengakses pelayanan.
5. Status diskusi dengan suami juga penting diteliti, karena suami merupakan
orang paling dekat dan orang pertama yang dapat memberikan pengaruh
pada akseptor. Diskusi dengan suami tentang MKJP dapat mempengaruhi
keputusan akseptor untuk menggunakan MKJP.
6. Umur melahirkan pertama kali juga penting diteliti karena umur
melahirkan memberikan pengaruh terhadap faktor reproduksi wanita.
Wanita akan memiliki risiko lebih besar terhadap komplikasi jika
melahirkan pada umur < 18 tahun.
7. Jumlah anak juga penting untuk diteliti karena ketika seseorang merasa
anak yang dimiliki sudah cukup maka orang tersebut cenderung untuk
memilih metode kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan.
8. Riwayat aborsi juga penting untuk diteliti karena aborsi/keguguran dapat
terjadi akibat kegagalan kontrasepsi. Wanita yang pernah memiliki riwayat
aborsi atau keguguran cenderung akan memilih metode kontrasepsi yang
lebih efektif untuk mencegah kehamilan.
55
9. Tempat pelayanan KB juga penting untuk diteliti karena penggunaan
MKJP oleh akseptor KB dapat disebabkan oleh pengaruh tempat pelayanan
yang dikunjungi. Hal ini juga terkait dengan ketersediaan fasilitas di
pelayanan tersebut.
Berdasarkan kerangka teori yang ada, terdapat variabel yang tidak diteliti
dari kerangka teori yaitu pengetahuan, sikap, kesalahpahaman tentang MKJP
yang termasuk pada kategori faktor kognitif. Variabel ini tidak diteliti karena
penelitian ini merupakan penelitian retrospektif yaitu variabel ditanyakan adalah
variabel sebelum atau awal ketika menggunakan kontrasepsi. Maka akan
menimbulkan bias informasi jika variabel pengetahuan, sikap, dan
kesalahpahaman terhadap MKJP dijadikan variabel penelitian. Variabel lain yang
tidak diteliti adalah variabel tempat tinggal karena homogen. Semua wilayah
yang dijadikan lokasi penelitian masuk kedalam daerah urban.
56
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Umur Menggunakan KB
Penggunaan
Metode
Kontrasepsi
Jangka Panjang
Status Pekerjaan
Tingkat Pendidikan
Tingkat Penghasilan
Status Diskusi dengan
Suami tentang MKJP
Umur Pertama Melahirkan
Jumlah Anak Hidup
Riwayat Aborsi
Tempat Pelayanan KB
57
B. Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
1. Penggunaan
Metode
Kontrasepsi
Jangka Panjang
Responden yang
menggunakan salah satu dari
MKJP seperti IUD, Implan,
atau MOW
Kuesioner
Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. Kasus (Jika
menggunakan
MKJP)
1. Kontrol (Jika tidak
menggunakan
MKJP)
Ordinal
Variabel Independen
1. Umur
menggunakan
KB
Umur responden setelah
persalinan terakhir dan mulai
menggunakan kontrasepsi
yang digunakan saat ini,
dihitung dalam tahun
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. > 30 tahun
1. ≤ 30 tahun
(Asih dan Oesman, 2009)
Ordinal
2. Tingkat
Pendidikan
Jenjang sekolah formal
tertinggi yang dicapai oleh
responden pada saat awal
menggunakan kontrasepsi
yang saat ini digunakan
setelah persalinan terakhir
Kuesoiner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. Pendidikan tinggi
(SMA, Diploma atau
Perguruan Tinggi)
1. Pendidikan rendah
(SD atau SMP)
(Nasution, 2011)
Ordinal
58
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
3. Status Pekerjaan Kegiatan ekonomi yang
dilakukan responden dengan
maksud memperoleh
pendapatan atau keuntungan
saat mulai menggunakan
kontrasepsi yang sekarang
digunakan
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. Bekerja
1. Tidak Bekerja
(Teferra dan Wondifraw,
2015)
Ordinal
4. Tingkat
Penghasilan
Penghasilan yang diperoleh
rumah tangga dalam 1 bulan
sebelum menggunakan
kontrasepsi yang sekarang
digunakan saat ini, bentuk
rupiah diklasifikasikan
berdasarkan Upah Minimum
Kota Tangerang Selatan
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. Tinggi jika
>2.442.000
1. Rendah jika ≤
2.442.000
(BPS, 2014)
Ordinal
5. Status diskusi
dengan suami
tentang MKJP
Status responden pernah atau
tidak pernah
membicarakan/berbincang-
bincang/berdiskusi dengan
pasangan tentang MKJP
sebelum menggunakan
kontrasepsi yang digunakan
saat ini
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. Ya (jika pernah
berdiskusi dengan
pasangan tentang
MKJP)
1. Tidak (jika tidak
pernah berdiskusi
dengan pasangan
tentang MKJP)
(Gunaydhe dkk, 2014)
Ordinal
6. Umur pertama
kali melahirkan
Umur saat responden
pertama kali melahirkan
dalam satuan tahun
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. < 18 tahun
1. ≥ 18 tahun
(Getinet dkk, 2014)
Ordinal
59
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
7. Jumlah anak
hidup
Total anak yang dilahirkan
dan masih hidup sampai pada
saat responden mulai
menggunakan kontrasepsi
yang digunakan saat ini
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. 3 atau lebih
1. 1 atau 2
(Fienalia, 2012)
Ordinal
8. Riwayat Aborsi Pengalaman aborsi
responden baik aborsi
spontan maupun medis
sebelum menggunakan
kontrasepsi yang sekarang
digunakan
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. Ada
1. Tidak ada
(Kavanaugh et al, 2011)
Ordinal
9. Tempat
pelayanan KB
Tempat awal responden
memperoleh pelayanan
kontrasepsi yang digunakan
saat ini
Kuesioner Dengan cara
menyebarkan
kuesioner
kepada
responden
0. Swasta (praktik
bidan swasta, RS
swasta, atau klinik
swasta)
1. Pemerintah
(Puskesmas dan RS
permerintah
(Nasution, 2011)
Ordinal
60
C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian. Dalam
penelitian ini yang dirancang oleh peneliti adalah:
1. Umur akseptor >30 tahun berpeluang terhadap penggunaan MKJP di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
2. Akseptor yang bekerja berpeluang terhadap penggunaan MKJP di wilayah
kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
3. Tingkat pendidikan tinggi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
4. Tingkat penghasilan tinggi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
5. Diskusi dengan suami tentang MKJP berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
6. umur pertama kali melahirkan <18 tahun akseptor KB berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
7. Jumlah anak hidup 3 atau lebih akseptor KB berpeluang terhadap
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
8. Adanya riwayat aborsi akseptor KB berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
9. Tempat pelayanan KB di fasilitas swasta berpeluang terhadap penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
61
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan
desain studi case control unmatched. Studi kasus kontrol adalah rancangan
studi epidemiologi yang mempelajari hubungan sebab akibat (exposure-
outcome), dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok
kontrol berdasarkan status paparan. Dalam penelitian ini, kelompok kasus
adalah pengguna MKJP, sedangkan kelompok kontrol adalah bukan
pengguna MKJP (Non MKJP). Desain studi case control dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui besar peluang dari faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2014. Kelemahan desain case control adalah dapat terjadinya
bias informasi akibat pertanyaan yang bersifat masa lalu (recall). Oleh karena
itu, untuk meminimalisir bias informasi, informasi yang dikumpulkan sesuai
kondisi awal menggunakan kontrasepsi yang saat ini digunakan setelah
persalinan terakhir.
62
Bagan 4.1
Desain Penelitian
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang,
yang terdiri dari 4 kelurahan yaitu kelurahan Pamulang Barat, Pamulang
Timur, Pondok Cabe Udik dan Pondok Cabe Ilir. Penelitian ini dilakukan
pada Februari-September 2015. Lokasi penelitian dipilih karena penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014 rendah yaitu hanya
6,4% dimana target BKKBN yang harus dicapai adalah 26,7%.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian (population study) adalah akseptor KB si
Puskesmas Pamulang tahun 2014. Populasi penelitian terdiri dari kelompok
kasus dan kontrol. Kelompok kasus merupakan akseptor KB yang
Apakah ada faktor
risiko/peluang?
Kasus (Pengguna Metode
Kontrasepsi Jangka
Panjang)
Kontrol (Pengguna
Metode Kontrasepsi Non
Jangka Panjang)
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Penelitian Mulai dari sini Retrospektif
63
menggunakan MKJP yaitu IUD, implan atau MOW. Sedangkan kontrol
merupakan akseptor KB yang tidak menggunakan MKJP (Non MKJP) yaitu
suntik dan pil.
Selain itu, penentuan populasi penelitian yang dapat diteliti (eligible
population) adalah akseptor yang telah memenuhi kriteria inklusi dan
kriteria eksklusi pada masing-masing kelompok kasus maupun kontrol.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kasus dan kontrol
yaitu:
a. Kasus
Kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kasus adalah
sebagai berikut :
1) Kriteria Inklusi
a) Akseptor KB yang menggunakan salah satu MJKP yaitu
implan, IUD, atau MOW dan tercatat di kohort KB Puskesmas
Pamulang tahun 2014 (n=48)
b) Akseptor KB yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang. Wilayah kerja Puskesmas Pamulang
terdiri dari empat kelurahan yakni Kelurahan Pamulang Barat,
Pamulang Timur, Pondok Cabe Udik dan Pondok Cabe Ilir
(n=46).
2) Kriteria Eksklusi
a) Tidak mempunyai suami (meninggal/cerai) pada saat
penelitian (n=0)
64
b) Tidak pernah melahirkan (n=0)
c) Alamat tempat tinggal tidak jelas (n=5)
Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah diterapkan pada
kelompok kasus, diperoleh kasus yang eligible untuk diteliti sebanyak 41
akseptor KB MKJP.
b. Kontrol
Kriteria inklusi dan eksklusi pada kelompok kontrol adalah
sebagai berikut :
1) Kriteria Inklusi
a) Akseptor KB yang tidak menggunakan Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang (Non MJKP) yaitu pil atau suntik minimal
sejak tahun 2014 (n=640).
b) Akseptor KB yang bertempat tinggal di wilayah kerja
Puskesmas Pamulang. Wilayah kerja Puskesmas Pamulang
terdiri dari empat kelurahan yakni Kelurahan Pamulang Barat,
Pamulang Timur, Pondok Cabe Udik dan Pondok Cabe Ilir
(n=637).
2) Kriteria Eksklusi
a) Tidak mempunyai suami (meninggal/cerai) pada saat
penelitian (n=1)
b) Akseptor yang hamil pada saat penelitian (n=2)
c) Tidak pernah melahirkan (n=0)
d) Alamat tidak jelas pada kohort KB (n=58)
65
Berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah diterapkan pada
kelompok kontrol, diperoleh kontrol yang eligible untuk diteliti sebanyak
576 akseptor KB Non MKJP.
2. Sampel
Besar sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini yaitu
(Ariawan, 1998)
dimana :
dan P = (P1 + kP2)/(1+k)
P1 : proporsi paparan pada kelompok kasus
P2 : proporsi paparan pada kelompok kontrol
Peneliti akan menggunakan :
a. Perbandingan jumlah kasus dan kontrol sebesar 1:3
b. Tingkat kemaknaan ( 2/1 z ) = 5% (1,96)
c. Kekuatan uji ( 1z )= 80% (0,84)
Dari penelitian sebelumnya, hasil sebagai berikut:
2
21
2
221112/1
)(
/))1(()1(()1()/11(
pp
kppppzppkzn
66
Tabel 4.1
Besar Sampel Penelitian
Variabel P1 P2 OR N
Kasus
N
Kontrol
N
Total
Umur 0,87
(Asih dan
Oesman,
2009)
0,62 (Asih
dan
Oesman,
2009)
4,2 (Asih
dan
Oesman,
2009)
28,65=29 87 116
Jumlah
anak
0,60
(Fienalia
2012)
0,28
(Fienalia
2012)
3,9
(Fienalia
2012)
19,34=20 60 80
Diskusi
dengan
pasangan
terkait
penggunaan
kontrasepsi
0,87
(Yalew
dkk, 2015)
0,64
(Yalew
dkk, 2015)
3,89
(Yalew
dkk, 2015)
33,06=34 102 136
Berdasarkan perhitungan sampel diperoleh sampel minimal sebanyak
136 dengan 34 kasus dan 102 kontrol.
Bagan 4.2
Sampel
Catatan kohort KB Puskesmas Pamulang Tahun 2014 (n= 688)
Akseptor MKJP (Kasus) (n=48) terdiri
dari IUD 34, Implan 8, MOW 6
Akseptor Non MKJP (Kontrol) (n=640)
terdiri dari suntik 582 dan pil 58
Alamat tidak jelas (n=5) Alamat tidak lengkap (n=58)
Tinggal di luar wilayah (n=2) Tinggal di luar wilayah (n=3)
Tidak mempunyai suami
(meninggal/cerai) pada saat penelitian
(n=0)
Tidak mempunyai suami (meninggal/cerai)
pada saat penelitian (n=1)
Akseptor hamil saat penelitian (n=2)
Total Akseptor penggunan MKJP = 41 Total Akseptor Non MKJP = 576
Semua Kasus (n=41)
Kontrol dengan perbandingan 1:3 (n=123)
67
Berdasarkan kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014 didapatkan
pengguna MKJP sebanyak 48, namun 7 kasus dikeluarkan karena tidak
memenuhi kriteria inklusi dan memenuhi kriteria eksklusi. Dengan
demikian, sampel yang diteliti pada penelitian ini sebanyak 41 kasus dan
123 kontrol. Total sampel yang akan diambil adalah 164. Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Kelompok kasus dan
kontrol dibagi berdasarkan status penggunaan KB akseptor yang terdapat
dikohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Kuesioner. Kuesioner berisi pertanyaan tertutup dan terstruktur sesuai dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP. Variabel-variabel yang
ditanyakan dalam kuesioner yaitu umur menggunakan KB, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, umur pertama menikah, umur pertama melahirkan,
jumlah anak hidup, riwayat aborsi, dan tempat pelayanan KB.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua
cara yaitu tela’ah dokumen dan menyebar kuesioner yang berisi pertanyaan-
pertanyaan kepada responden terkait determinan penggunaan MKJP. Tela’ah
dokumen dilakukan pada kohort KB Puskesmas Pamulang tahun 2014 untuk
memperoleh jenis kontrasepsi (MKJP atau Non MKJP) yang digunakan
Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang dalam menentukan
68
sampel kasus dan kontrol, alamat lengkap, dan nama Pasangan Usia Subur
(PUS). Sedangkan, kuesioner yang digunakan dalam pengumpulan data pada
penelitian ini adalah kuesioner terstruktur dan tertutup. Kuesioner dibagikan
pada akseptor yang terdaftar di Kohort KB Puskesmas Pamulang dan masuk
sebagai sampel penelitian baik pada kelompok kasus maupun kelompok
kontrol. Peneliti mencari alamat responden yang masuk sebagai sampel
penelitian kemudian memberikan inform consent dan kuesioner untuk diisi.
F. Manajemen Data
Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan
penelitian setelah pengumpulan data. Data yang masih mentah (raw data)
perlu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yang akhirnya
dapat digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data ini
dilakukan dengan bantuan sofware pengolah data melalui tahap-tahap sebagai
berikut:
1. Editing
Peneliti melakukan pengecekan isian kuesioner responden dan
memastikan responden sudah mengisi dengan benar semua pertanyaan
yang telah disajikan. Data yang belum lengkap atau terjadi kekeliruan
dalam pengumpulan data diperbaiki dan dilakukan pendataan ulang
terhadap responden
2. Coding
Pengkodean dilakukan pertama kali dalam pembuatan jawaban
kuesioner. Pilihan jawaban menggunakan kode berupa angka untuk
69
memudahkan dalam tahap pengelolahan data selanjutnya. Variabel
yang di coding yaitu status penggunaan MKJP, umur menggunakan
KB, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkatpenghasilan, diskusi
dengan suami tentang kontrasepsi, umur pertama kali melahirkan,
jumlah anak hidup, riwayat aborsi, dan tempat pelayanan KB.
3. Entry Data
Data, yakni jawaban-jawaban dari masing-masing responden
dalam bentuk kode (angka) dimasukkan kedalam software pengolah
data.
4. Cleaning
Setelah data dimasukkan, dilakukan pengecekkan kembali data
yang telah dimasukkan. Pengecekkan kembali ini guna melihat
kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode,
ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan pembenaran
atau koreksi.
G. Analisis Data
Analisis data yang akan digunakan pada penelitian ini meliputi dua
tahapan, yaitu analisis univariat dan analisis bivariat:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan pada semua variabel penelitian
untuk melihat frekuensi (jumlah dan proporsi) dari setiap variabel
70
penelitian. Hasil dari analisis univariat disajikan dalam bentuk tabel
frekuensi.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini akan membandingkan
antara kelompok kasus dan kontrol untuk menghasilkan odds ratio
(OR) dengan 95% confidence interval (CI). Uji Chi-square digunakan
untuk melihat hubungan variabel dependen dengan variabel
independen. Data yang digunakan berupa data kategorik dan hasil
analisis berupa OR dan 95% CI pada tiap variabel. Odds Ratio (OR)
merupakan ukuran relatif studi kasus kontrol yang menunjukkan berapa
banyak kemungkinan paparan (odds exposure) antara kelompok kasus
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kriteria odds ratio sebagai
berikut (Budiman, 2009):
1. Nilai OR = 1, bukan merupakan faktor yang berisiko/berpeluang
menyebabkan terjadinya kasus
2. Nilai OR > 1, merupakan faktor yang berisiko/berpeluang
menyebabkan terjadinya kasus
3. Nilai OR < 1, merupakan faktor protektif terjadinya kasus
Rumus dari Odds Ratio adalah:
OR= =
Keterangan:
OR :Odds ratio peluang terhadap penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang
71
a/d :Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus
yang tidak terpapar
c/d :Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan
kontrol yang tak terpapar
Adapun signifikansi/kemaknaan nilai OR dalam interpretasi CI
95% yaitu jika rentang nilai lower limit dan upper limit tidak terdapat
nilai 1 maka disimpulkan OR bermakna. Sedangkan jika CI 95% dan
OR terdapat nilai 1, maka disimpulkan bahwa nilai OR tidak bermakna
(Szumilas, 2010).
72
BAB V
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Pamulang adalah salah satu puskesmas di Kota
Tangerang Selatan. Puskesmas Pamulang menempati tanah seluas ± 2400
m2 di Jalan Surya Kencana No. 1, RT 01, RW 22, Kecamatan Pamulang,
Kota Tangerang Selatan. Jumlah penduduk berdasarkan data dari
Kecamatan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang sebanyak 155.016
orang dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 33.047 kepala keluarga,
tersebar di empat kelurahan. Jumlah Posyandu yang ada sebanyak 69,
Posbindu sebanyak 19, dan Puskesmas Pembantu (Pustu) sebanyak 1 buah
di Kelurahan Pondok Cabe Udik. Jumlah BPS (Bidan Praktik Swasta)
yang ada dan memberikan laporan ke Puskesmas Pamulang sebanyak 27
BPS. UPT Puskesmas Pamulang berada di sebelah timur Kota Tangerang
Selatan, terletak di wilayah Kecamatan Pamulang dan mempunyai luas
wilayah 16,38 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat
2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Setu
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Depok
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Timur dan
Kota Depok
Puskesmas Pamulang mempunyai 4 Kelurahan dalam wilayah kerjanya,
yaitu:
73
Tabel 5.1
Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
No Nama Kelurahan Jumlah Penduduk
1 Pamulang Barat 56.458
2 Pamulang Timur 36.951
3 Pondok Cabe Ilir 37.663
4 Pondok Cabe Udik 23.944
Jumlah 155.016
Sumber: Data Kecamatan Pamulang Tahun 2014
Dari tabel 5.1 tersebut terlihat bahwa kelurahan yang mempunyai
jumlah penduduk paling banyak adalah Kelurahan Pamulang Barat,
sedangkan kelurahan yang mempunyai jumlah penduduk paling sedikit
adalan Kelurahan Pondok Cabe Udik.
B. Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi Akseptor KB di Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang menggunakan
berbagai jenis kontrasepsi yang dikelompokkan berdasarkan MKJP (IUD,
implan, MOW) dan non MKJP (suntik dan pil). Dapat dilihat distribusi
frekuensi jenis kontrasepsi yang digunakan akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Jenis Kontrasepsi yang
Digunakan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Jenis Kontrasepsi Jumlah Persentase (%)
Non MKJP Pil 32 19,5
Suntik 91 55,5
MKJP IUD 28 17,1
Implan 7 4,3
MOW 6 3,7
Total 164 100,0
74
Berdasarkan tabel 5.2, dapat dilihat bahwa sebagian besar akseptor
KB menggunakan jenis metode kontrasepsi non MKJP yaitu suntik
(55,5%). Pada penelitian ini, akseptor KB pengguna MKJP adalah
kelompok sampel kasus yang berjumlah 41 akseptor, terdiri dari 27 IUD, 7
implan dan 6 MOW. Sedangkan pengguna non MKJP adalah kelompok
sampel kontrol yang berjumlah 123 akseptor, terdiri dari 31 pil dan 91
suntik.
C. Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi
Akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Faktor sosiodemografi akseptor KB diwilayah kerja Puskesmas
Pamulang yang diteliti pada penelitian ini yaitu umur menggunakan KB
dan tingkat pendidikan, sedangkan faktor sosioekonomi yang diteliti yaitu
status pekerjaan dan tingkat penghasilan. Dapat dilihat distribusi frekuensi
faktor sosiodemografi dan sosioekonomi pada akseptor KB di Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut:
75
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Sosiodemografi dan
Sosioekonomi di Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014
Kategori Akseptor KB
n (%)
Umur Menggunakan KB
>30 tahun 76 (46,3)
≤30 tahun 88 (53,7)
Jumlah 164 (100,0)
Tingkat Pendidikan
Tinggi (SMA, Diploma, atau Perguruan Tinggi) 87 (53,0)
Rendah (Tidak sekolah, Tidak lulus SD, SD, atau SMP) 77 (47,0)
Jumlah 164 (100,0)
Status Pekerjaan
Bekerja (Buruh, Wiraswasta, PNS, pegawai BUMN/Swasta) 33 (20,1)
Tidak Bekerja 131 (79,9)
Jumlah 164 (100,0)
Tingkat Penghasilan
Tinggi (>2.442.000) 72 (43,9)
Rendah (≤2.442.000) 92 (56,1)
Jumlah 164 (100,0)
Berdasarkan tabel 5.3 terlihat bahwa akseptor KB lebih banyak
yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun yaitu sebesar 53,7%.
Dari segi pendidikan, lebih banyak yang memiliki kategori pendidikan
tinggi (53,0%), sedangkan dari status pekerjaan, sebagian besar akseptor
KB tidak bekerja (79,9%). Pada kategori penghasilan, lebih banyak
akseptor yang berpenghasilan rendah (56,1%).
D. Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif Akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Faktor kognitif akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
pada penelitian ini diukur melalui status diskusi akseptor KB dengan
suami tentang MKJP. Dapat dilihat distribusi frekuensi faktor kognitif
76
akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada
tabel berikut:
Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Kognitif di Wilayah
Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014
Kategori Akseptor KB
n (%)
Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP
Ya 96 (58,5)
Tidak 68 (41,5)
Jumlah 164 (100,0)
Berdasarkan tabel 5.4 terlihat bahwa sebelum menggunakan
kontrasepsi, akseptor KB lebih banyak yang melakukan diskusi dengan
suami terlebih dahulu tentang MKJP (58,5%).
E. Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi Akseptor KB di Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Faktor reproduksi akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang pada penelitian ini terdiri dari umur melahirkan pertama kali,
jumlah anak hidup dan riwayat aborsi. Dapat dilihat distribusi frekuensi
faktor reproduksi akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014 pada tabel berikut:
77
Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Reproduksi di
Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014
Kategori Akseptor KB
n (%)
Umur Pertama Kali Melahirkan
Umur < 18 tahun 10 (6,1)
Umur ≥ 18 tahun 154 (93,9)
Jumlah 164 (100,0)
Jumlah Anak Hidup
3 atau lebih anak 47 (28,7)
1 atau 2 anak 177 (71,3)
Jumlah 164 (100,0)
Riwayat Aborsi
Ada 21 (12,8)
Tidak Ada 143 (87,2)
Jumlah 164 (100,0)
Berdasarkan tabel 5.5 terlihat bahwa sebagian besar akseptor KB
melahirkan pada umur diatas 18 tahun (93,9%), memiliki anak 1 atau 2
(71,3%) dan tidak memiliki riwayat aborsi/keguguran (87,2%).
F. Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan Akseptor KB di Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Faktor pelayanan akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang dilihat berdasarkan tempat pelayanan yang dikunjungi. Dapat
dilihat distribusi frekuensi faktor pelayanan akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014 pada tabel berikut:
Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Akseptor KB Berdasarkan Faktor Pelayanan di
Wilayah Kerja Puskesmas PamulangTahun 2014
Kategori Akseptor KB
n (%)
Tempat Pelayanan KB
Swasta (Bidan Swasta, Klinik Swasta, RS Swasta) 127 (77,4)
Pemerintah (Puskesmas, RS Pemerintah) 37 (22,6)
Jumlah 164 (100,0)
78
Berdasarkan tabel 5.6 terlihat bahwa sebagian besar akseptor KB
lebih banyak mengunjungi tempat pelayanan kesehatan swasta (77,4%)
dibandingkan dengan pelayanan kesehatan pemerintah untuk mendapatkan
pelayanan Keluarga Berencana (KB).
G. Determinan Penggunaan MKJP Akseptor KB di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Penggunaan MKJP oleh Akseptor KB dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang dianalisis untuk mengetahui
peluang akseptor KB dalam menggunakan MKJP adalah umur
menggunakan KB, tingkat pendidikan, status pekerjaan, tingkat
penghasilan, status diskusi dengan suami tentang MKJP, riwayat aborsi,
umur pertama kali melahirkan, jumlah anak hidup, dan jenis tempat
pelayanan KB yang dikunjungi. Dapat dilihat analisis determinan
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2014
sebagai berikut:
1. Umur Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis umur akseptor KB dengan penggunaan MKJP di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel
berikut:
79
Tabel 5.7
Analisis Hubungan Umur Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Umur
Menggunakan
KB
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
>30 tahun 30 73,2 46 37,4 76 46,3 4,565 2,090-9,973
≤30 tahun 11 26,8 77 62,6 88 53,7
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.7 terlihat bahwa jumlah akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok yang berumur lebih
dari 30 tahun (73,2%), sedangkan pada akseptor KB pengguna non
MKJP lebih banyak pada kelompok yang berumur kurang atau sama
dengan 30 tahun (62,6%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI
95% adalah sebesar 4,565 (2,090-9,973), dengan demikian nilai OR
bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang
berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 4,565 kali menggunakan
MKJP dari pada akseptor KB yang berumur kurang atau sama dengan
30 tahun.
2. Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis tingkat pendidikan akseptor KB dengan penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada
tabel berikut:
80
Tabel 5.8
Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
Tingkat
Pendidikan
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
Tinggi 22 53,7 65 52,8 87 53,0 1,033 0,509-2,099
Rendah 19 46,3 58 47,2 77 47,0
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.8 terlihat bahwa jumlah akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok pendidikan tinggi
(53,7%) dibandingkan dengan kelompok pendidikan rendah (46,3%),
begitu pula pada akseptor KB pengguna non MKJP menunjukkan pola
distribusi yang sama. Nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu
sebesar 1,033 (0,509-2,099), dengan demikian nilai OR tidak
bermakna.
3. Status Pekerjaan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis status pekerjaan akseptor KB dengan penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada
tabel berikut:
Tabel 5.9
Analisis Hubungan Status Pekerjaan Akseptor KB dengan Penggunaan
MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
Status
Pekerjaan
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
Bekerja 17 41,5 16 13,0 33 20,1 4,737 2,100-10,687
Tidak bekerja 24 58,5 107 87,0 131 79,9
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
81
Berdasarkan tabel 5.9 terlihat bahwa jumlah akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok tidak bekerja (58,5%)
dibandingkan kelompok bekerja (41,5%), sedangkan akseptor KB
pengguna non MKJP sebagian besar tidak bekerja (87,0%). Adapun
nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 4,737 (2,100-
10,687), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat
disimpulkan bahwa akseptor KB yang bekerja berpeluang 4,737 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak
bekerja.
4. Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis tingkat penghasilan akseptor KB dengan penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada
tabel berikut:
Tabel 5.10
Analisis Hubungan Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
Tingkat
Penghasilan
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
Tinggi 24 58,5 48 39,0 72 43,9 2,206 1,075-4,528
Rendah 17 41,5 75 61,0 92 56,1
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa jumlah akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak pada kelompok dengan tingkat
penghasilan tinggi (58,5%), sedangkan pada akseptor KB pengguna
non MKJP lebih banyak pada kelompok dengan tingkat penghasilan
82
rendah (61,0%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu
sebesar 2,206 (1,075-4,528), dengan demikian nilai OR bermakna,
sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang berpenghasilan
tinggi berpeluang 2,206 kali menggunakan MKJP dibandingkan
dengan akseptor KB yang berpenghasilan rendah.
5. Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP dengan Penggunaan
MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis status diskusi dengan suami akseptor KB dengan
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan
dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 5.11
Analisis Hubungan Akseptor KB yang Berdiskusi dengan Suami dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
Status Diskusi
dengan Suami
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
Ya 39 95,1 57 46,3 96 58,5 22,579 5,220-97,665
Tidak 2 4,9 66 53,7 68 41,5
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.11 terlihat bahwa sebagian besar (95,1%)
akseptor KB pengguna MKJP melakukan diskusi dengan suami
tentang MKJP, sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP
lebih banyak yang tidak berdiskusi dengan suami (53,7%)
dibandingkan dengan yang berdiskusi dengan suami (46,3%). Adapun
nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 22,579 (5,220-
97,665), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat
disimpulkan bahwa akseptor KB yang telah berdiskusi dengan suami
83
tentang MKJP terlebih dahulu berpeluang 22,579 kali menggunakan
MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak berdiskusi
dengan suami mengenai MKJP.
6. Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
Analisis umur pertama kali melahirkan akseptor KB dengan
penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan
dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 5.12
Analisis Hubungan Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB
dengan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Umur
Pertama Kali
Melahirkan
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
Umur < 18 tahun 2 4,9 8 6,5 10 6,1 0,737 0,150-3,620
Umur ≥ 18 tahun 39 95,1 115 93,5 154 93,9
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.12 terlihat bahwa sebagian besar akseptor
KB melahirkan pertama kali pada umur 18 tahun atau lebih, baik pada
akseptor KB pengguna MKJP (95,1%) maupun akseptor KB
pengguna non MKJP (93,5%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada
CI 95% yaitu sebesar 0,737 (0,150-3,620), dengan demikian nilai OR
tersebut tidak bermakna.
84
7. Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis jumlah anak hidup akseptor KB dengan penggunaan
MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada
tabel berikut:
Tabel 5.13
Analisis Hubungan Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan
Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
Jumlah
Anak
Hidup
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
3 atau lebih 20 48,8 27 22,0 47 28,7 3,386 1,605-7,144
1 atau 2 21 51,2 96 78,0 117 71,3
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.13 terlihat bahwa jumlah akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak yang memiliki anak 1 atau 2 (51,2%)
dibandingkan dengan yang memiliki anak 3 atau lebih (48,8%)
sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP sebagian besar
memiliki anak 1 atau 2 (78%). Adapun nilai OR yang diperoleh pada
CI 95% yaitu sebesar 3,386 (1,605-7,144), dengan demikian nilai OR
tersebut bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB
yang memiliki anak 3 atau lebih berpeluang 3,386 kali menggunakan
MKJP dibandingkan dengan akseptor yang memiliki anak 1 atau 2.
85
8. Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan MKJP di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis riwayat aborsi akseptor KB dengan penggunaan MKJP
di wilayah kerja Puskesmas Pamulang akan dijelaskan pada tabel
berikut:
Tabel 5.14
Analisis Hubungan Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan
MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Riwayat
Aborsi
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
Ada 10 24,4 11 8,9 21 12,8 3,284 1,278-8,444
Tidak Ada 31 75,6 112 91,1 143 87,2
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.14 terlihat bahwa jumlah akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak yang memiliki tidak memiliki riwayat
aborsi (75,6%) dibandingkan yang memiliki riwayat aborsi (24,4%),
sedangkan pada akseptor KB pengguna non MKJP sebagian besar
memiliki tidak memiliki riwayat aborsi (91,1%). Adapun nilai OR
yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 3,284 (1,278-8,444),
dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat disimpulkan
bahwa akseptor KB yang memiliki riwayat aborsi berpeluang 3,284
kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang
tidak memiliki riwayat aborsi.
86
9. Tempat Pelayanan KB dengan Penggunaan MKJP di wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Analisis tempat pelayanan KB yang dimanfaatkan akseptor KB
dengan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
akan dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 5.15
Analisis Hubungan Tempat Pelayanan KB dengan Penggunaan MKJP
di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Tempat
Pelayanan
KB
Akseptor KB Total OR 95% CI
MKJP Non MKJP
n % n % N %
Swasta 17 41,5 110 89,4 127 77,4 0,084 0,036-0,195
Pemerintah 24 58,5 13 10,6 37 22,6
Jumlah 41 100,0 123 100,0 164 100,0
Berdasarkan tabel 5.15 terlihat bahwa jumlah akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak yang memanfaatkan tempat pelayanan
KB pemerintah (58,5%) dibandingkan dengan yang memanfaatkan
pelayanan KB swasta (41,5%), sedangkan akseptor KB pengguna non
MKJP sebagian besar memanfaatkan pelayanan swasta (89,4%).
Adapun nilai OR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 0,084
(0,036-0,195), dengan demikian nilai OR bermakna namun bersifat
protektif, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor yang
memanfaatkan tempat pelayanan KB di swasta mencegah penggunaan
MKJP sebesar 0,084 kali dibandingkan dengan akseptor yang
memanfaatkan tempat pelayanan KB di Pemerintah.
87
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan dalam Penelitian
1. Pada hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, terdapat nilai OR
yang memiliki rentang CI (Confident Interval) cukup lebar yaitu pada
variabel status diskusi dengan suami tentang MKJP. Walaupun nilai OR
yang didapat bermakna, namun rentang yang terlalu lebar ini menandakan
nilai presisi pada analisis tersebut rendah sehingga informasi yang
didapatkan kurang bernilai. Rentang CI yang terlalu lebar ini dapat
mengindikasikan bahwa jumlah sampel terlalu sedikit.
2. Pada penelitian ini tidak diteliti faktor terkait budaya seperti mitos dan
ketidakpahaman mengenai MKJP yang hanya dapat digali informasinya
secara mendalam dengan cara kualitatif
B. Distribusi Frekuensi Jenis Kontrasepsi di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Kontrasepsi adalah tindakan menghindari/mencegah terjadinya
pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma, sehingga tidak
terjadinya kehamilan (BKKBN, 2015). Terdapat berbagai macam metode
kontrasepsi. Berdasarkan lama efektifitasnya, kontrasepsi dibagi menjadi
MKJP dan non MKJP. Kontrasepsi yang termasuk dalam kelompok MKJP
yaitu IUD, implan, MOP, dan MOW, sedangkan kontrasepsi yang termasuk
dalam kelompok non MKJP yaitu kondom, pil, suntik, dan metode-metode
lain yang tidak termasuk dalam MKJP (BKKBN, 2011).
88
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa metode kontrasepsi yang
paling banyak digunakan adalah suntik sebesar 55,5%. Sebagian besar
masyarakat Indonesia memang masih banyak yang menggunakan metode
kontrasepsi jangka pendek seperti suntik dan pil. Padahal, angka kegagalan
metode KB non MKJP masih cukup tinggi. Angka kegagalan suntik
mencapai 6 per 100 akseptor pengguna suntik, yang artinya 6 dari 100
penggunanya tetap mengalami kehamilan setelah menggunakan kontrasepsi
suntik, sedangkan angka kegagalan pil mencapai 6-8 kehamilan dari 100
akseptor pengguna pil (Susanto, 2015).
Berdasarkan penelitian Asih dan Oesman (2009) yang melakukan
analisis lanjut pada data SDKI diperoleh jumlah pemakaian non MKJP
sebesar 82,2% sedangkan pemakai MKJP hanya sebesar 17,8%. Data yang
diperoleh BKKBN terkait metode kontrasepsi yang digunakan di Indonesia
juga menunjukkan hasil sejalan yaitu metode kontrasepsi yang digunakan
akseptor KB didominasi oleh suntikan (36%) dan pil KB (15,1%). Oleh
karena itu pemerintah sedang melakukan upaya untuk peningkatan MKJP
karena dinilai lebih efektif dalam menekan laju pertumbuhan penduduk
(Dewi, 2013).
C. Distribusi Frekuensi Faktor Sosiodemografi dan Sosioekonomi di
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi adalah faktor yang melekat
dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi seseorang dalam melakukan
suatu tindakan (Maulana, 2009). Faktor sosiodemografi yang mempengaruhi
seseorang dalam bertindak misalnya umur, jenis kelamin dan pendidikan,
89
sedangkan faktor sosioekonomi misalnya pekerjaan dan pendapatan (Gaol,
2013). Faktor sosiodemografi dan sosioekonomi yang diteliti dalam
penelitian ini yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan.
Pada penelitian ini, diperoleh hasil lebih banyak akseptor
menggunakan KB pada umur kurang atau sama dengan 30 tahun (53,7%).
Menurut Fienalia (2012), umur akseptor KB mempengaruhi metode
kontrasepsi yang akan digunakan. Hal ini sejalan jika dilihat dari jenis
kontrasepsi yang banyak dipakai adalah non MKJP. Akseptor non MKJP
sebagian besar adalah ibu-ibu muda yang memiliki umur kurang dari 30
tahun. Hasil yang diperoleh pada penelitian Nasution (2011) juga diperoleh
jumlah Non MKJP di Papua dan Maluku lebih banyak pada umur kurang dari
30 tahun yaitu sebesar 84,91%. Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014)
diperoleh hasil bahwa akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak
berumur 20-30 tahun (33,3%), sedangkan akseptor KB pengguna MKJP lebih
banyak berumur >30 tahun (29,8%).
Berdasarkan kategori pendidikan lebih banyak yang memiliki
pendidikan tinggi sebesar 53%. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang
menentukan pengetahuan dan persepsi seseorang terhadap pentingnya suatu
hal termasuk dalam pemilihan kontrasepsi (Fienalia, 2012). Pada penelitian
Meskele dan Mekonnen (2014) di Etiopia Selatan juga memperoleh hasil
pendidikan tinggi memiliki jumlah yang cukup besar pada kelompok
pengguna MKJP yaitu sebesar 63,2%. Di Indonesia, pada penelitian Cindra
Paskaria (2015) juga memperoleh hasil lebih banyak kategori pendidikan
tinggi yaitu 68,77%, sedangkan pada penelitian Asih dan Oesman (2009)
90
menunjukkan jumlah yang sedikit berbeda dimana lebih tinggi pendidikan
rendah yaitu 53,7% dari pada pendidikan tinggi, walaupun tidak terpaut jauh.
Pada kategori status pekerjaan, lebih banyak Akseptor KB yang tidak
bekerja yaitu 79,9%. Pada penelitian Gudaynhe dkk (2014) di Barat Laut
Etiopia juga diperoleh jumlah akseptor KB yang tidak bekerja (ibu rumah
tangga) lebih banyak dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain yaitu sebesar
32,5% pada kelompok MKJP dan 39,5% pada kelompok Non MKJP. Di
Indonesia, pada penelitian Asih dan Oesman (2009), diperoleh hasil yang
berbeda dimana jumlah akseptor KB yang bekerja lebih banyak dibandingkan
dengan akseptor KB yang tidak bekerja yaitu sebesar 59,2%.
Berdasarkan tingkat penghasilan, lebih banyak akseptor KB yang
memiliki penghasilan rendah yaitu sebesar 56,1%, walaupun tidak terpaut
jauh dengan akseptor KB yang memiliki penghasilan tinggi (43,9%). Menurut
Fienalia (2012) penghasilan seseorang dapat berpengaruh dalam keikutsertaan
akseptor menggunakan KB. Pada penelitian Mestad dkk (2012) juga
menunjukkan akseptor KB dengan kategori penghasilan rendah lebih banyak
yaitu sebesar 73,4%. Namun, pada penelitian Asih dan Oesman, berdasarkan
kategori indeks kekayaan menunjukkan hasil yang berbeda dimana lebih
banyak akseptor KB yang berada pada kategori mampu yaitu sebesar 63,2%.
Begitu pula pada penelitian Paskaria (2015) ditemukan lebih banyak akseptor
KB berada pada kategori sosial ekonomi mampu (58,64%) dari pada sosial
ekonomi miskin.
91
D. Distribusi Frekuensi Faktor Kognitif di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Faktor kognitif adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
berpikir lebih kompleks, serta kemampuan penalaran dan pemecahan
masalah. Faktor kognitif seseorang dapat dibentuk oleh paparan lingkungan
eksternal. Suatu tindakan seperti pemilihan metode kontrasepsi sangat
berpengaruh terhadap pengaruh eksternal terutama dari pasangan atau suami.
Faktor kognitif yang diteliti pada penelitian ini adalah status telah atau tidak
pernah akseptor KB berdiskusi dengan suami tentang MKJP (Semiun, 2006).
Pada penelitian ini diperoleh lebih banyak akseptor KB yang
melakukan diskusi dengan suami tentang MKJP yaitu sebesar 58,5%. Pada
penelitian Gudaynhe dkk (2014) juga diperoleh hasil lebih banyak akseptor
KB yang melakukan diskusi dengan pasangan baik pada kelompok MKJP
(80,8%) maupun pada kelompok Non MKJP (70%). Namun pada penelitian
yalew dkk (2015) diperoleh hasil lebih banyak akseptor yang jarang
melakukan diskusi dengan suami dibandingkan yang sering melakukan
diskusi dengan suami yaitu sebesar 74,7%.
E. Distribusi Frekuensi Faktor Reproduksi di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Faktor reproduksi merupakan karakteristik yang terkait dalam sistem
reproduksi seorang wanita, yang juga menggambarkan risiko-risiko kesehatan
yang ada sehingga dapat dijadikan pertimbangan seseorang dalam hal
kehamilan dan kelahiran (BKKBN, 2011). Pada penelitian ini, faktor
reproduksi yang diteliti yaitu jumlah anak hidup, umur pertama kali
melahirkan, dan riwayat aborsi.
92
Pada penelitian ini, diperoleh hasil berdasarkan kategori jumlah anak
akseptor KB sebagian besar memiliki jumlah anak 1 atau 2 (71,3%). Menurut
Fienalia (2012), jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita akan
mempengaruhi tingkat pemakaian kontrasepsi. Jika dilihat dari jenis
kontrasepsi yang paling banyak dipakai adalah non MKJP (suntik 55%), hal
ini menunjukkan terdapat pola kecenderungan antara umur dan jenis
kontrasepsi, dimana peserta non MKJP sebagian besar adalah ibu yang masih
ingin memiliki anak lagi. Data SDKI 2012, jumlah anak yang dimiliki
akseptor KB sebagian besar (70,96%) (Paskaria, 2015). Pada penelitian
Meskele and Mekonnen (2014) di Etiopia Selatan diperoleh hasil yang sedikit
berbeda, akseptor KB justru lebih banyak yang memiliki anak 3 atau lebih
yaitu sebesar 50,4%, walaupun tidak terpaut jauh dengan yang memiliki anak
1 atau 2.
Pada kategori umur melahirkan, sebagian besar (93,3%) akseptor KB
melahirkan pertama kali pada usia 18 tahun atau 18 tahun keatas. Pada
penelitian Gudaynhe dkk (2014) juga diperoleh hasil bahwa lebih banyak
akseptor KB melahirkan pertama kali pada umur diatas 18 tahun yaitu sebesar
41,7% pada kelompok kasus (MKJP) dan 51,7% pada kelompok kontrol (non
MKJP). Pada penelitian Gebremichael dkk (2014) juga demikian, jumlah
akseptor yang melahirkan diatas usia 18 tahun lebih banyak dari usia dibawah
18 tahun yaitu sebesar 84,3%.
Pada kategori riwayat aborsi, sebagian besar akseptor KB tidak
memiliki riwayat aborsi (87,2%). Pada penelitian Gebremichael dkk (2014)
juga diperoleh hasil bahwa sebagian besar akseptor KB tidak memiliki
93
riwayat aborsi yaitu sebesar 89,5%. Penelitian lain yaitu penelitian Mestad
dkk (2012) juga diperoleh hasil lebih banyak yang tidak memiliki riwayat
aborsi yaitu sebesar 75,8% dibandingkan yang memiliki riwayat aborsi. Jika
dilihat berdasarkan kelompok MKJP dan non MKJP pun pada kedua
kelompok lebih banyak yang tidak memiliki riwayat aborsi yaitu berturut-
turut sebesar 75,6% dan 76%.
F. Distribusi Frekuensi Faktor Pelayanan di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
KB merupakan suatu program yang dibuat pemerintah untuk menekan
laju pertumbuhan penduduk. Sebagai suatu program, faktor pelayanan sangat
berpengaruh terhadap tingkat penggunaan kontrasepsi di masyarakat. Pada
penelitian ini faktor pelayanan yang diteliti adalah tempat pelayanan KB yang
dibagi berdasarkan kategori pelayanan swasta (praktik bidan swasta, RS
swasta atau Klinik swasta) dan pelayanan pemerintah (Puskesmas atau RS
pemerintah).
Tempat pelayanan KB yang banyak dipilih oleh akseptor KB adalah
pelayanan swasta yaitu sebesar 77,4%. Pada penelitian Nasution (2011) di
Provinsi Maluku dan Papua pada kelompok MKJP paling banyak yang
memanfaatkan pelayanan pemerintah yaitu sebesar 29,49% sedangkan pada
kelompok Non MKJP paling banyak yang memanfaatkan pelayanan swasta
yaitu sebesar 90,29%. Namun hasil yang berbeda di dapat di Provinsi Bali
dan Nusa Tenggara dimana kelompok MKJP lebih banyak yang
memanfaatkan pelayanan swasta yaitu sebesar 35,86% dan pada kelompok
non MKJP lebih banyak yang memanfaatkan pelayanan pemerintah yaitu
94
sebesar 64,84%. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan ketersediaan tempat
pelayanan di masing-masing daerah.
G. Determinan Penggunaan MKJP di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014
Penggunaan MKJP dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pada
penelitian ini, faktor-faktor yang dihubungkan mempunyai pengaruh terhadap
penggunaan MKJP yaitu umur menggunakan KB, tingkat pendidikan, status
pekerjaan, tingkat penghasilan, status diskusi dengan pasangan/suami, umur
melahirkan pertama kali, riwayat aborsi, jumlah anak hidup, dan tempat
pelayanan KB. Berikut pembahasan dari hasil statistik yang diperoleh
berdasarkan determinan penggunaan MKJP di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2014:
1. Umur Akseptor KB dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Umur Wanita Usia Subur (WUS) dapat mempengaruhi metode
kontrasepsi yang akan digunakan. Umur merupakan faktor instrinsik yang
mempengaruhi keputusan seseorang dalam menggunakan metode
kontrasepsi. Umur berpengaruh dengan struktur organ, fungsi organ,
komposisi biokimiawi dan sistem hormonal (Dewi dan Notobroto, 2014).
Pada penelitian ini, nilai OR yang diperoleh pada CI 95% sebesar
4,565 (2,090-9,973), dengan demikian nilai OR tersebut bermakna,
sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang berumur lebih dari
30 tahun berpeluang 4,565 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan
akseptor KB yang berumur kurang atau sama dengan 30 tahun. Pada
analisis univariat terlihat pula bahwa jumlah Akseptor KB pengguna
95
MKJP lebih banyak yang berumur lebih dari 30 tahun sebesar 73,2%,
sedangkan jumlah Akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang
berumur kurang atau sama dengan 30 tahun sebesar 62,2%, dengan
demikian terlihat bahwa terdapat kecenderungan umur dengan penggunaan
metode kontrasepsi.
Di wilayah kerja puskesmas pamulang, akseptor KB yang
menggunakan kontrasepsi jangka pendek seperti pil dan suntik didominasi
ibu muda yang masih ingin memiliki anak lagi. Hubungan antara umur
dengan penggunaan MKJP yang didapatkan pada analisis juga
menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang menganggap MKJP
hanya digunakan ketika sudah tidak menginginkan anak lagi untuk
menghentikan kehamilan. Padahal MKJP merupakan kontrasepsi yang
juga efektif untuk menjarangkan kelahiran dan tidak berpengaruh terhadap
tingkat kesuburan contohnya implan dan IUD. Menurut Rosana (2013),
memang paradigma masyarakat di Indonesia masih menganggap bahwa
MKJP hanya digunakan ketika ingin menghentikan kehamilan.
Periode umur tertentu, misal umur diatas 30 tahun, dapat
meningkatkan risiko-risiko kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi,
keganasan dan penyakit metabolik lainnya. Risiko kelainan tersebut dapat
membahayakan keselamatan jiwa, terlebih ketika terjadinya kehamilan.
Hal ini membuat seseorang membutuhkan alat kontrasepsi yang lebih
efektif untuk mencegah kehamilan, karena semakin tinggi umur seseorang,
risiko kesehatan yang terjadi dapat semakin berat (Dewi dan Notobroto,
2014).
96
Pada penelitian yang dilakukan Dewi dan Notobroto (2014)
diperoleh hasil sejalan dengan penelitian ini, yaitu adanya pengaruh antara
umur akseptor KB dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan
MKJP. Pada analisis univariat diketahui bahwa pada kelompok MKJP
lebih banyak pada umur >30 tahun (29,8%) sedangkan kelompok non
MKJP lebih banyak pada umur 20-30 tahun (33,3%).
Penelitian lain yang sejalan yaitu penelitian Nasution (2011) yang
meneliti faktor-faktor penggunaan MKJP di 6 Provinsi di Indonesia,
diperoleh hasil umur memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di 5
provinsi yaitu Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, serta Bali dan
Nusa Tenggara. Penelitian tersebut menarik kesimpulan bahwa umur
Pasangan Usia Subur (PUS) < 30 tahun memiliki risiko untuk tidak
menggunakan MKJP lebih tinggi dibandingkan dengan PUS umur > 30
tahun. Namun, hasil yang tidak berhubungan antara umur dengan
penggunaan MKJP diperoleh pada Provinsi Sumatera.
Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil
sejalan dimana akseptor KB yang berumur 30 tahun atau lebih berpeluang
4,2 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang
berumur kurang dari 30 tahun. Pada penelitian Mestad et al (2012) juga
menunjukkan hasil adanya hubungan antara umur dengan jenis kontrasepsi
yang digunakan. Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) pun
demikian, didapatkan hasil akseptor KB yang berumur 25-34 tahun
berpeluang 1,99 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor
KB yang berumur 15-24 tahun, sedangkan akseptor KB yang berumur ≥
97
35 tahun berpeluang 2,12 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan
akseptor KB yang berumur 15-24 tahun.
Hasil yang berbeda didapat pada penelitian Gudaynhe dkk (2013).
Pada penelitian tersebut didapatkan hasil hubungan yang protektif antara
akseptor KB dengan umur 30-34 terhadap penggunaan MKJP. Pada
penelitian tersebut, wanita yang memiliki usia 20-24 tahun 3,69 kali
mempunyai peluang untuk menggunakan MKJP dibandingkan dengan
wanita yang memiliki umur 30-34 tahun. Namun, hasil yang tidak sejalan
dengan penetilian ini juga diperoleh pada penelitian Meskele dan
Mekonnen (2014) dan Shegaw Getinet dkk (2014) dimana diperoleh hasil
tidak ada hubungan antara umur dengan keinginan menggunakan MKJP.
Hubungan yang diperoleh antara umur dengan penggunaan MKJP
pada penelitian ini dapat dijadikan masukkan untuk meningkatan cakupan
penggunaan MKJP. Hal ini dapat dilakukan dengan penyuluhan yang
difokuskan pada akseptor KB berumur kurang atau sama dengan 30 tahun
tentang kelemahan dan kelebihan tiap metode kontrasepsi dan penekanan
bahwa MKJP merupakan metode yang aman dan efektif dalam menunda
atau menjarangkan kelahiran.
2. Tingkat Pendidikan Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Pendidikan menjadi salah satu faktor yang mencegah atau
mendorong seseorang dalam bertindak, misalnya dalam memilih metode
kontrasepsi yang akan digunakan. Pendidikan pada hakikatnya merupakan
sesuatu yang diberikan seseorang kepada orang lain yang sedang berusaha
98
mencapai kedewasaan dalam arti normatif dengan menggunakan cara
berupa alat, bahasa atau media guna mencapai perubahan tingkah laku dan
tujuan (Herijulianti, 2001). Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang
dalam menyerap informasi dan mempertimbangkan hal-hal yang
menguntungkan atau efek samping bagi kesehatan terhadap pilihan metode
kontrasepsi yang ada. Orang yang berpendidikan akan lebih mudah
menerima gagasan baru (Dewi dan Notobroto, 2014).
Pada penelitian ini, diperoleh nilai OR pada CI 95% yaitu sebesar
1,033 (0,509-2,099), dengan demikian nilai OR tersebut tidak bermakna.
Hal ini dimungkinkan karena pada penelitian ini distribusi pendidikan baik
pada kelompok kasus maupun kontrol sama-sama lebih banyak pada
akseptor KB kelompok pendidikan tinggi.
Hasil yang tidak berhubungan juga dapat dikarenakan pemilihan
metode kontrasepsi yang akan digunakan tidak hanya diputuskan oleh
akseptor, tetapi terdapat pengaruh dari orang-orang disekitar akseptor
misalnya suami, orang tua atau teman dekat maupun tokoh yang dianggap
penting seperti kader kesehatan dan petugas kesehatan di wilayah
setempat. Hal ini didukung oleh Faizahlaili (2009) yang mengatakan
bahwa penggunaan kontrasepsi dipengaruhi berbagai faktor salah satunya
pengaruh orang-orang terdekat.
Selain itu, hasil yang tidak berhubungan pada penelitian ini dapat
dikarenakan kategori pengelompokkan yang digunakan dimana pendidikan
SMA masuk pada kategori pendidikan tinggi sehingga baik kelompok
MKJP maupun non MKJP lebih banyak pada kategori pendidikan tinggi.
99
Walaupun pemerintah masih menerapkan wajib belajar 9 tahun yaitu
sampai SMP, masyarakat di kota besar saat ini seperti Tangerang Selatan
sudah banyak yang mencapai pendidikan sampai SMA.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pangestika (2010)
diperoleh hasil tidak ada hubungan antara pendidikan dengan penggunaan
MKJP. Pada penelitian Adhyani dkk (2011) juga diperoleh hasil yang
tidak signifikan antara pendidikan dengan penggunaan MKJP. Sama
halnya pada hasil penelitian Mestad dkk (2012) juga diperoleh hasil tidak
ada hubungan antara pendidikan SMA dengan pendidikan Perguruan
Tinggi dalam penggunaan MKJP. Pada penelitian Paskaria (2015) yang
menganalisis data SDKI tahun 2012 juga diperoleh hasil tidak ada
hubungan antara tingkat pendidikan akseptor KB dengan penggunaan
MKJP.
Pada penelitian Gudaynhe dkk (2014) yang dilakukan di Etiopia
Barat juga diperoleh hasil tidak ada hubungan antara akseptor KB yang
tidak sekolah atau jenjang pendidikan kedua dengan penggunaan MKJP
jika dibandingkan dengan akseptor yang kuliah. Namun hasil yang
berhubungan diperoleh pada kelompok pendidikan perguruan tinggi
dengan pendidikan primer, yang berarti akseptor KB yang mencapai level
pendidikan sampai perguruan tinggi berpeluang menggunakan MKJP
dibandingkan dengan akseptor KB yang hanya mencapai level pendidikan
primer.
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian Asih dan Oesman
(2009) dimana pada penelitian tersebut disimpulkan akseptor KB dengan
100
pendidikan diatas SLTP berpeluang 1,086 kali menggunakan MKJP
dibandingkan dengan akseptor KB dengan pendidikan SLTP kebawah.
Perbedaan hasil juga ditemukan pada penelitian Meskele dan Mekonnen
(2014) yang memperoleh hasil bahwa akseptor KB dengan tingkat
pendidikan tinggi berpeluang 2,8 kali meningkatkan keinginan untuk
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak
berpendidikan.
Hasil yang tidak berhubungan pada penelitian ini dapat dijadikan
masukkan untuk meningkatkan cakupan MKJP dengan pemberian edukasi
yang tidak hanya pada wanita usia subur saja melainkan juga kepada
orang-orang terdekat akseptor seperti suami, agar mendorong dan
mendukung pasangannya menggunakan MKJP. Selain itu, peran orang
berpengaruh seperti kader kesehatan dan petugas kesehatan dengan cara
menjadi role model di masyarakat dengan menggunakan MKJP juga dapat
dilakukan dalam upaya peningkatan cakupan MKJP.
3. Status Pekerjaan Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Pekerjaan ada berbagai jenis, jenis pekerjaan adalah macam-
macam kegiatan melaksanakan tugas pokok, setiap pekerjaan juga
mempunyai sifat yang berbeda-beda, ada yang membutuhkan waktu 24
jam ada pula yang hanya beberapa jam (Bratakusumah dan Solihin, 2004).
Pekerjaan mempengaruhi seseorang dalam menggunakan Metode MJKP.
Pada penelitian ini pekerjaan dibagi berdasarkan status bekerja dan tidak
bekerja.
101
Pada penelitian ini, diperoleh nilai OR pada CI 95% yaitu sebesar
4,737 (2,100-10,687), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga
dapat disimpulkan akseptor KB yang bekerja berpeluang 4,737 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak
bekerja. Pada analisis univariat terlihat pula adanya kecenderungan dimana
kelompok non MKJP sebagian besar berstatus tidak bekerja (87%).
Akseptor KB di wilayah kerja Puskesmas Pamulang memang
sebagian besar merupakan ibu rumah tangga sehingga lebih memiliki
banyak waktu untuk menggunakan kontrasepsi jangka pendek seperti pil
dan suntik. Akseptor KB yang bekerja berpeluang lebih untuk
menggunakan MKJP karena mempertimbangkan berbagai hal seperti
waktu pemakaian KB jangka pendek (Non MKJP) yang harus diminum
tiap hari seperti pil atau tiap bulan seperti suntik yang dapat menyita
banyak waktu serta tidak efektif. Selain itu, Akseptor KB yang bekerja
memiliki kesempatan untuk memperoleh informasi baik dari teman kerja
atau dari media lain sehingga kesempatan untuk menggunakan MKJP
dapat lebih besar. Menurut Fienalia (2012), wanita bekerja kemungkinan
lebih menyadari kegunaan dan manfaat KB serta lebih mengetahui pilihan
metode yang ada jika dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.
Pada penelitian Teferra dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil
sejalan dengan penelitian ini, yaitu wanita yang bekerja mempunyai
peluang 1,7 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan wanita yang
tidak bekerja. Pada penelitian Yalew dkk (2015) di Barat Laut Etiopia,
102
juga diperoleh hubungan antara pekerjaan dengan penggunaan MKJP
dimana akseptor KB dengan pekerjaan buruh dan pelajar meningkatkan
peluang menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor yang tidak
bekerja.
Pada penelitian Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hasil yang
signifikan antara status pekerjaan dengan penggunaan MKJP. Pada
penelitian tersebut diketahui bahwa akseptor KB dengan status bekerja
berpeluang 1,529 menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB
yang tidak bekerja. Namun, hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian
Kurniawati (2002) dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara
pekerjaan dengan penggunaan MKJP.
Hasil yang berhubungan antara pekerjaan dengan penggunaan
MKJP ini dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan cakupan
penggunaan MKJP yaitu dengan melakukan penyuluhan tentang MKJP
yang difokuskan pada ibu-ibu rumah tangga melalui kegiatan-kegiatan di
lingkungan Rumah Tangga (RT) seperti arisan atau pengajian ibu-ibu oleh
kader kesehatan atau ibu-ibu PKK wilayah setempat.
4. Tingkat Penghasilan Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Penghasilan adalah jumlah uang yang diterima atas usaha yang
dilakukan orang perorangan, badan, dan bentuk usaha lainnya yang dapat
digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsikan dan/atau
menimbun serta menambah kekayaan. Menurut Pasal 4 ayat 1 UU PPh
yang dimaksudkan dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
103
ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun (Judisseno, 2005).
Penghasilan memiliki pengaruh terhadap penggunaan MKJP. Pada
penelitian ini, penghasilan akseptor KB dibagi menjadi 2 kategori yaitu
tinggi dan rendah. Kategori penghasilan tinggi adalah penghasilan diatas
upah minimum kota Tangerang Selatan tahun 2014 berdasarkan Badan
Pusat Statistik (BPS) yaitu > 2.442.000, sedangkan penghasilan rendah
yaitu ≤ 2.442.000. Berdasarkan analisis diperoleh nilai OR pada CI 95%
sebesar 2,206 (1,075-4,528), dengan demikian nilai OR bermakna,
sehingga dapat disimpulkan akseptor KB yang berpenghasilan tinggi
berpeluang 2,206 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor
KB yang berpenghasilan rendah.
Pada analisis univariat terlihat pula bahwa jumlah Akseptor KB
pengguna MKJP lebih banyak yang berpenghasilan tinggi (58,5%),
sedangkan jumlah Akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang
berpenghasilan rendah sebesar 62,2%, dengan demikian terlihat bahwa
terdapat kecenderungan tingkat penghasilan dengan penggunaan metode
kontrasepsi.
Penghasilan yang rendah dapat berpengaruh terhadap pilihan metode
kontrasepsi yang akan digunakan karena berkaitan dengan kemampuan
akseptor dalam membayar biaya pelayanan. Kelompok penghasilan tinggi
memiliki kesempatan lebih besar menggunakan MKJP karena memiliki
104
aksesibilitas yang lebih tinggi khususnya dalam segi finansial untuk
membayar biaya pemasangan MKJP. Akseptor KB pengguna non MKJP
di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang menjadi sampel lebih banyak
pada kategori penghasilan rendah dan sebagian besar mengakses
pelayanan swasta.
Biaya pemasangan MKJP di pelayanan swasta memang lebih mahal
dibandingkan dengan pelayanan pemerintah. Namun, jika dihitung biaya
yang dikeluarkan perbulan untuk KB non MKJP dibandingkan dengan
sekali pemasangan MKJP yang memberikan efektiftifitas beberapa tahun,
lebih banyak uang yang dihabiskan untuk menggunakan non MKJP
perbulan (Yudi, 2015). Selain itu, subsidi terhadap MKJP juga telah
dilakukan pemerintah. Rata-rata pada setiap tahunnya, BKKBN
mengeluarkan alokasi dana hingga Rp500 miliar (Susanto, 2015). Bahkan,
Puskesmas Pamulang sebagai salah satu institusi kesehatan pemerintah
yang berada di wilayah tempat tinggal responden tidak memungut biaya
untuk pelayanan KB termasuk pelayanan pemasangan MKJP.
Menurut Teffera and Wondifraw (2015) Semakin tinggi
penghasilan seorang keluarga/wanita semakin memungkinkan untuk
menggunakan MKJP. Hal ini dapat disebabkan karena dengan penghasilan
yang cukup dapat membuat seseorang mampu untuk membayar
transportasi dan biaya prosedural penggunaan MKJP.
Berdasarkan penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh
hasil sejalan dengan penelitian ini yaitu indeks kekayaan berpengaruh
terhadap penggunaan MKJP. Wanita yang memiliki indeks kekayaan
105
tinggi memiliki peluang 4,8 kali menggunakan MKJP dibandingkan
dengan wanita yang memiliki indeks kekayaan rendah. Pada penelitian
Asih dan Oesman (2009) juga diperoleh hubungan yang signifikan antara
indeks kekayaan dengan status penggunaan MKJP, dimana akseptor KB
yang mempunyai indeks kekayaan dalam kategori mampu berpeluang
1,440 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB dengan
kategori miskin.
Pada penelitian Paskaria (2015) yang menganalisis lanjut data
SDKI 2012 juga diperoleh hasil adanya hubungan antara status ekonomi
dengan penggunaan MKJP. Akseptor KB dengan status ekonomi mampu
berpeluang 1,76 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor
KB dengan status ekonomi miskin. Pada penelitian Arliana dkk (2013)
juga diperoleh adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan
pilihan metode kontrasepsi, akseptor non MKJP cenderung pada kelompok
yang memiliki pendapatan rendah.
Namun hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Kurniawati
(2002) dimana diperoleh hasil yang tidak berhubungan antara penghasilan
dengan penggunaan MKJP, begitu pula yang ditemukan pada penelitian
Fienalia (2012) diperoleh hasil tidak ada hubungan antara tingkat
penghasilan dengan status penggunaan kontrasepsi.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat dijadikan masukan
untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP dengan melakukan
penyuluhan pada kelompok berpenghasilan rendah mengenai manfaat
menggunakan MKJP baik segi efektifitas dan finansial serta sosialisasi
106
mengenai pemasangan MKJP yang tidak dipungut biaya di Puskesmas
Pamulang.
5. Status Diskusi dengan Suami tentang MKJP dengan Penggunaan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Salah satu hal yang memberikan peluang akseptor untuk
menggunakan MKJP adalah dengan berdiskusi oleh pasangan/suami
(Gudaynhe dkk, 2014). Pada penelitian ini, nilai OR yang diperoleh pada
CI 95% sebesar 22,579 (5,220-97,665), dengan demikian nilai OR
bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang telah
berdiskusi dengan suami tentang MKJP berpeluang 22,579 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak pernah
berdiskusi dengan suami mengenai MKJP. Pada analisis univariat terlihat
pula bahwa jumlah Akseptor KB pengguna MKJP sebagian besar telah
berdiskusi dengan suami tentang MKJP (95,1%), sedangkan jumlah
Akseptor KB pengguna non MKJP lebih banyak yang tidak berdiskusi
dengan suami tentang MKJP (53,7%), dengan demikian terlihat bahwa
terdapat kecenderungan status diskusi dengan suami tentang MKJP
terhadap penggunaan metode kontrasepsi.
Ketika sudah menjadi pasangan suami istri, suami merupakan
orang pertama yang berpengaruh terhadap berbagai pengambilan
keputusan. Salah satunya adalah pilihan metode kontrasepsi yang akan
digunakan. Suami berperan penting dalam menentukan kontrasepsi yang
akan dipakai sebagai aplikasi program keluarga berencana. Akseptor KB
di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang menjadi sampel dalam
107
penelitian ini sebagian besar melakukan diskusi dengan suami tentang
MKJP pada kelompok MKJP, hal ini menunjukkan adanya kontribusi
suami dalam mempengaruhi keputusan seorang istri dalam memilih
kontrasepsi.
Adhyani dkk (2011) mengatakan bahwa seorang istri di dalam
pengambilan keputusan untuk memakai atau tidak memakai alat
kontrasepsi membutuhkan persetujuan dari suami karena suami dipandang
sebagai kepala keluarga, pelindung keluarga, pencari nafkah dan seseorang
yang dapat membuat keputusan dalam suatu keluarga. Pengetahuan yang
memadai tentang alat kontrasepsi, dapat memotivasi suami dan untuk
menganjurkan istrinya memakai alat kontrasepsi tersebut.
Pada penelitian Yalew dkk (2015) di Barat Laut Etiopia, diperoleh
hasil sejalan dengan penelitian ini yaitu frekuensi sering berdiskusi
akseptor KB dengan suami memberikan peluang untuk menggunakan
MKJP lebih besar dibandingkan dengan akseptor KB yang jarang
berdiskusi dengan suami. Berdasarkan penelitian Gudaynhe dkk (2014)
diskusi suami istri juga ditemukan memiliki hubungan yang signifikan,
wanita yang sudah menikah yang memiliki pengalaman berdiskusi dengan
suami tentang kontrasepsi 1,8 kali memiliki peluang menggunakan MKJP
dibandingkan dengan yang tidak pernah berdiskusi dengan suami. Hal ini
berarti jika pasangan suami istri tidak berdiskusi tentang pilihan metode
KB yang akan digunakan khususnya terkait MKJP akan memberikan
pengaruh negatif terhadap penggunaan MKJP.
108
Pada penelitian Paskaria (2015) yang menganalisis lanjut data
SDKI 2012 diperoleh hasil adanya hubungan antara peran suami dengan
status penggunaan MKJP. Pada penelitian tersebut diperoleh kesimpulan
suami yang berperan dalam pemilihan kontrasepsi berpeluang 11,9 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan suami yang tidak berperan
dalam pemilihan kontrasepsi.
Hasil yang bermakna pada penelitian ini dapat dijadikan masukan
untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP dengan melakukan
sosialisasi dan penyuluhan tentang metode kontrasepsi khususnya MKJP
pada pasangan usia subur sehingga baik istri maupun suami dapat
mengetahui pilihan metode kontrasepsi yang efisien dan efektif.
6. Umur Pertama Kali Melahirkan Akseptor KB dengan Penggunaan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2014
Umur pertama melahirkan yang ideal, menurut UU no 1 tahun
1974 tentang perkawinan, ditentukan dan dipengaruhi oleh risiko yang
diakibatkan dari melahirkan, kemampuan tentang perawatan kehamilan,
pasca persalinan dan masa diluar kehamilan dan persalinan, serta derajat
kesehatan reproduksi. Di beberapa penelitian, umur pertama melahirkan
dikaitkan dengan penggunaan MKJP. Pada penelitian ini, dilihat dari OR
yang diperoleh pada CI 95% sebesar 0,737 (0,150-3,620), dengan
demikian nilai OR tersebut bersifat protektif namun tidak bermakna. Hal
ini disebabkan baik kelompok kasus (MKJP) maupun kontrol (Non MKJP)
sebagian besar melahirkan pada umur lebih dari 18 tahun.
109
Efek protektif yang terjadi menandakan bahwa umur melahirkan
pertama kali kurang dari 18 tahun mencegah orang untuk menggunakan
MKJP. Walaupun hasil yang diperoleh pada analisis hubungan tidak
bermakna, namun hal ini menunjukkan bahwa semakin muda umur
akseptor ketika melahirkan pertama kali mencegah terhadap penggunaan
MKJP. Hasil yang tidak berhubungan ini dapat disebabkan pengkategorian
umur yaitu 18 tahun, terdapat sumber yang mengatakan bahwa batas umur
melahirkan pertama kali yang ideal adalah 20 tahun keatas (Desefentison,
2013). Selain itu hasil yang tidak berhubungan dapat juga terjadi akibat
tidak dilakukannya matching sampel terhadap potensi variabel
counfonding yang mungkin ada.
Hasil yang tidak berhubungan seperti pada penelitian ini ditemukan
pula di berbagai penelitian terdahulu, seperti penelitian Teffera dan
Wondifraw (2015) dan penelitian Gudayne dkk (2014) yang memperoleh
hasil bahwa umur pertama melahirkan tidak memiliki hubungan dengan
status penggunaan MKJP. Namun, hasil berbeda diperoleh pada penelitian
Jingbo dkk (2013) diperoleh adanya hubungan antara umur pertama
melahirkan dengan penggunaan MKJP dan korelasi yang positif.
Efek protektif pada hasil analisis hubungan yang diperoleh perlu
dipertimbangkan untuk dijadikan masukan terhadap peningkatan
penggunaan MKJP pada PUS yang menikah namun umur istri belum
cukup untuk melahirkan. Hal ini dikarenakan, umur pertama melahirkan
masuk ke dalam faktor risiko maternal. Umur melahirkan yang terlalu
muda dapat meningkatkan risiko perdarahan dan infeksi serta dapat
110
meningkatkan risiko kematian ibu. Selain itu, melahirkan usia muda juga
dapat meningkatkan risiko keguguran, persalinan prematur dan cacat
bawaan pada anak (Anggarani dan Subakti, 2013).
Risiko-risiko melahirkan terlalu dini juga diperparah dengan
kurangnya pengetahuan dan informasi tentang kehamilan dan kelahiran
sehat (Anggarani dan Subakti, 2013). Oleh karena itu, perlu adanya
penyuluhan pada pasangan usia subur ketika awal menikah mengenai
risiko kesehatan reproduksi yang mungkin terjadi, misalkan jika umur istri
ketika pernikahan masih terlalu muda, pasangan tersebut dapat
menggunakan kontrasepsi terlebih dulu sampai umur istri matang untuk
mengalami kehamilan dan melahirkan.
7. Jumlah Anak Hidup Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Salah satu faktor yang menentukan keikutsertaan PUS dalam
berKB adalah banyaknya anak yang dimilikinya. PUS yang memiliki
jumlah anak lebih banyak kemungkinan untuk memulai kontrasepsi lebih
besar dibandingkan daripada pasangan yang mempunyai anak lebih sedikit
(Dewi dan Notobroto, 2014).
Pada penelitian ini, nilai OR yang diperoleh pada CI 95% sebesar
3,386 (1,605-7,144), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat
disimpulkan bahwa akseptor KB yang memiliki anak 3 atau lebih
berpeluang 3,386 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor
yang memiliki anak 1 atau 2. Pada analisis univariat terlihat pula
111
kecenderungan dimana pada kelompok non MKJP sebagian besar
memiliki anak 1 atau 2 (78,0%).
Hubungan antara jumlah anak 3 atau lebih dengan penggunaan
MKJP ini menggambarkan pola kecenderungan di masyarakat yang
menganggap bahwa MKJP hanya cocok untuk dipakai ketika jumlah anak
yang dimiliki sudah cukup (tidak menginginkan anak lagi). Padahal MKJP
tidak hanya efektif untuk mengakhiri kehamilan tetapi juga menjarangkan
kelahiran. WUS yang memiliki anak 1 atau 2 tetap memiliki risiko
kesehatan apabila jarak antara anak satu dengan yang lain berdekatan,
sehingga perlu penggunaan MKJP seperti IUD dan implan sebagai metode
yang efektif dalam menjarangkan kelahiran dan tidak berpengaruh
terhadap tingkat kesuburan.
Jumlah anak mulai diperhatikan setiap keluarga karena semakin
banyak anak semakin banyak pula tanggungan kepala keluarga dalam
mencukupi kebutuhan materil. Selain itu, pembatasan jumlah anak juga
dilakukan untuk menjaga kesehatan sistem reproduksi, karena semakin
sering melahirkan semakin rentan terhadap kesehatan ibu. Semakin
banyak anak yang dimiliki PUS maka semakin besar kecenderungan untuk
menghentikan kesuburan sehingga lebih cenderung untuk memilih metode
kontrasepsi yang lebih efektif. Jumlah anak hidup yang dimiliki seorang
wanita, akan memberikan pengalaman dan pengetahuan, sehingga wanita
dapat mengambil keputusan yang tepat tentang cara atau alat kontrasepsi
yang akan dipakai (Dewi dan Notobroto, 2014).
112
Menurut Teffera dan Wondifraw (2015), jumlah anak yang
dimiliki berpengaruh terhadap pilihan metode kontrasepsi yang digunakan
dikarenakan ketika seseorang telah memiliki anak sesuai dengan target
anak yang ingin dimiliki, maka orang tersebut akan memilih metode
kontrasepsi yang lebih efektif untuk mencegah kehamilan.
Pada penelitian Teffera dan Wondifraw (2015) diperoleh hasil
yang signifikan antara jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP.
Wanita yang memiliki lebih dari 4 anak berpeluang 5,8 kali menggunakan
MKJP dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki anak. Pada
penelitian Nasution (2011) yang dilakukan di 6 Provinsi di Indonesia
memperoleh hasil bahwa jumlah anak memiliki hubungan dengan
penggunaan MKJP di Provinsi Jawa, Sumatera, Bali dan Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Hasil penelitian menyatakan
bahwa Pasangan Usia Subur (PUS) dengan jumlah anak 0-2 berpeluang
lebih tinggi tidak menggunakan MKJP dibandingkan dengan PUS yang
memiliki anak 3 atau lebih di 6 Provinsi di Indonesia yang menjadi tempat
penelitian.
Penelitian Megan L. Kavanaugh dkk (2011) yang dilakukan di
Amerika Serikat menggunakan data sekunder pada tahun 2002 dan 2006-
2008 juga memperoleh hasil yang sejalan dengan penelitian ini, dimana
jumlah anak hidup dengan penggunaan MKJP baik tahun 2002 maupun
2006-2008 memiliki hubungan signifikan. Akseptor KB yang mempunyai
anak 1-2 mempunyai peluang 5,8 kali (pada tahun 2002) dan 22,1 kali
(pada tahun 2006-2008) menggunakan MKJP dibandingkan dengan
113
akseptor KB yang tidak memiliki anak, sedangkan akseptor KB yang
memiliki anak ≥ 3 mempunyai peluang 5 kali (pada tahun 2002) dan 8,7
kali (pada tahun 2006-2008) menggunakan MKJP dibandingkan dengan
akseptor KB yang tidak memiliki anak.
Pada penelitian Dewi dan Notobroto (2014) diperoleh hasil
responden pengguna non MKJP sebagian besar memiliki anak > 4
dibandingkan dengan responden pengguna MKJP yang memiliki anak ≤ 2.
Uji logistik menunjukkan terdapat pengaruh jumlah anak responden
dengan rendahnya keikutsertaan PUS menggunakan MKJP. Pada
penelitian Asih dan Oesman (2009) ditemukan adanya efek protektif
dimana akseptor KB yang memiliki anak 0-2 mencegah penggunaan
MKJP 0,493 kali dibandingkan dengan akseptor KB yang memiliki anak
lebih dari 2.
Pada penelitian Yalew dkk (2015) di Barat Laut Etiopia, juga
diperoleh hasil akseptor KB yang memiliki anak 5 atau lebih berpeluang
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak
memiliki anak. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada
akseptor KB yang memiliki jumlah anak 1-4 dibandingkan dengan
akseptor yang tidak mempunyai anak. Penelitian Philip Goldstone dkk
(2014) juga memperoleh hasil tidak sejalan yaitu tidak ada hubungan
jumlah anak dengan penggunaan MKJP.
Hasil yang bermakna pada penelitian ini dapat dijadikan masukan
untuk meningkatkan pengguna MKJP dengan meningkatkan sosialisasi
dan ajakan pada akseptor KB yang memiliki anak 1 atau 2 untuk mau
114
menggunakan MKJP dengan menekankan informasi bahwa MKJP tidak
hanya efektif untuk menghentikan kehamilan namun juga efektif untuk
menunda kehamilan dan menjarangkan kelahiran tanpa mempengaruhi
kesuburan.
8. Riwayat Aborsi Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Aborsi adalah tindakan menggugurkan kandungan atau dalam
dunia kedokteran dikenal dengan istilah “abortus”, yang berarti
pengeluaran hasil konsepsi (pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan. Hal ini merupakan suatu proses
pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.
Aborsi pada wanita yang sedang mengandung anak dapat terjadi dengan
cara sengaja maupun tidak sengaja (aborsi.org, 2004).
Aborsi dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan sifat kejadiannya yaitu
spontan/alamiah, aborsi sengaja, dan aborsi terapetik. Aborsi
spontan/alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan
disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma atau
dapat disebabkan karena kelalaian atau ketidaksiapan ibu saat
mengandung seorang anak (Chang, 2009). aborsi buatan/sengaja adalah
pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu sebagai suatu
akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si
pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak). Aborsi
terapeutik/medis adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan
atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi
115
mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang
parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang
dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang
dan tidak tergesa-gesa (aborsi.org, 2004).
Dalam berbagai penelitian, riwayat aborsi dihubung-hubungkan
dengan penggunaan MKJP. Salah satu jenis MKJP adalah IUD atau spiral,
kontrasepsi ini aman dipasang pasca terjadinya aborsi atau keguguran.
Selain aman, IUD juga memiliki efektifitas tinggi hingga 5 tahun.
Pemakaian IUD pasca keguguran atau aborsi sangat dianjurkan karena
IUD merupakan metode non hormonal yang efektifitasnya tinggi
(Bednarek dan Edelma, 2011).
Pada penelitian ini, dilihat dari OR yang diperoleh pada CI 95%
sebesar 3,284 (1,278-8,444), dengan demikian nilai OR bermakna,
sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptor KB yang memiliki riwayat
aborsi berpeluang 3,284 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan
akseptor KB yang tidak memiliki riwayat aborsi. Pada analisis univariat
terlihat kecenderungan dimana kelompok non MKJP sebagian besar tidak
memiliki riwayat aborsi (91,1%).
Hasil yang bermakna pada penelitian ini menandakan bahwa
pengalaman aborsi atau keguguran yang dialami akseptor KB
meningkatkan peluang akseptor KB dalam menggunakan MKJP. Namun,
penelitian ini merupakan penelitian retrospektif bukan penelitian
prospektif sehingga tidak dapat memastikan apakah pengalaman aborsi
atau keguguran yang dialami memang merupakan faktor yang
116
menyebabkan seseorang menggunakan MKJP. Tetapi jika aborsi atau
keguguran yang dialami merupakan efek dari kegagalan kontrasepsi yang
digunakan akseptor KB, tentu akan mendorong akseptor KB menggunakan
metode kontrasepsi yang lebih efektif dalam mencegah kehamilan seperti
MKJP.
Berdasarkan penelitian Collony dkk (2014) MKJP efektif untuk
menurunkan angka aborsi akibat kehamilan tidak diinginkan. Kasus
kehamilan tidak diinginkan paling banyak disebabkan karena
ketidakpatuhan menggunakan alat kontrasepsi. MKJP merupakan
kontrasepsi jangka panjang yang praktis, sekali dilakukan pemasangan
bisa efektif hingga jangka waktu yang lama. Pada penelitian Ford dan
MacCormac (1995) diperoleh hasil menggunakan kontrasepsi pil 9 tahun
atau lebih berhubungan dengan jumlah aborsi spontan (keguguran) sebesar
11,3%. Hasil penelitian kualitatif Prassana (2014) mengungkapkan bahwa
abortus yang dialami informan dalam penelitiannya disebabkan oleh faktor
kegagalan KB karena informan merupakan akseptor KB Pil dan responden
tidak mengkonsumsi pil KB tersebut sesuai dengan aturan konsumsi.
Pada penelitian yang dilakukan Bednarek dan Edelman (2011)
yang meneliti efek komplikasi pada wanita yang memasang IUD setelah
keguguran atau aborsi dibandingkan dengan wanita yang memasang IUD
untuk menunda kehamilan, diperoleh hasil yaitu tidak ada perbedaan
komplikasi yang terjadi pada dua kelompok, artinya pemasangan IUD
setelah keguguran atau aborsi aman dan tidak menimbulkan komplikasi
tambahan. Selain itu, perempuan yang menggunakan IUD pasca aborsi
117
memiliki risiko melakukan aborsi ulangan yang lebih rendah (Bednarek
dan Edelman, 2011).
Pada penelitian Goldstone dkk (2014) diperoleh hasil yang sejalan
dengan penelitian ini. Goldstone dkk menyebutkan bahwa wanita yang
memiliki riwayat aborsi lebih dari 3 kali cenderung memilih IUD dan
implant dalam penggunaan kontrasepsi dibandingkan dengan wanita yang
tidak memiliki riwayat aborsi sebelumnya. Pada penelitian Connolly dkk
(2014) juga diperoleh hubungan yang signifikan antara penurunan aborsi
dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang pada remaja.
Hasil yang tidak sejalan diperoleh pada penelitian Kavanaugh dkk
(2011) yang memperoleh hasil yang negatif antara riwayat aborsi dengan
penggunaan MKJP. Hasil yang tidak sejalan dengan penelitian ini juga
diperoleh pada penelitian Mestad dkk (2011) dan Gebremichael dkk
(2014). Pada dua penelitian tersebut diperoleh hasil tidak ada hubungan
antara riwayat aborsi dengan penggunaan metode kontrasepsi jangka
panjang.
Riwayat aborsi atau keguguran dapat terjadi akibat kegagalan
kontrasepsi. Kegagalan KB dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak
direncanakan. Kehamilan yang terjadi pada usia diatas 35 tahun sangat
mungkin menimbulkan kelainan pada janin yang lebih besar dan sangat
berisiko menyebabkan abortus spontan (keguguran) (Desefentison, 2013).
Kehamilan yang tidak direncanakan juga dapat menyebabkan keguguran
karena endometrium yang belum siap untuk menerima implantasi hasil
konsepsi atau dapat juga terjadi akibat gizi wanita kurang karena terlalu
118
pendek jarak kehamilan sehingga risiko keguguran atau aborsi spontan
menjadi lebih tinggi (Manuaba, 2000).
Hubungan yang bermakna antara riwayat aborsi dengan
penggunaan MKJP ini dapat dijadikan acuan untuk memberikan
pemahaman pada pasangan usia subur mengenai kehamilan risko tinggi
(risti) sehingga PUS dapat waspada jika istri telah masuk kedalam
golongan risti pilihan metode kontrasepsi yang digunakan akan lebih
efektif untuk mencegah kehamilan. Selain itu, jika akseptor memang sudah
tidak berkeinginan memiliki anak lagi disarankan untuk menggunakan
metode kontrasepsi yang lebih efektif sehingga tidak terjadi kehamilan
yang tidak diinginkan dan tidak meningkatkan risiko aborsi atau
keguguran.
9. Tempat Pelayanan KB Akseptor KB dengan Penggunaan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2014
Tempat pelayanan KB dapat menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi penggunaan MKJP. Fasilitas pelayanan KB dibagi atas
pemerintah dan swasta. Baik pelayanan pemerintah maupun swasta, semua
fasilitas pelayanan KB harus melakukan upaya-upaya dalam peningkatan
akseptor KB. Salah satu peranan fasilitas pelayanan KB baik pemerintah
maupun swasta adalah melakukan pelayanan preventif yaitu dengan
mengutamakan metode terpilih MKJP (IUD, implan, MOW, MOP) selain
non MKJP (BKKBN, 2014).
Pada penelitian ini, diperoleh nilai OR pada CI 95% sebesar 0,084
(0,036-0,195), dengan demikian nilai OR bermakna, sehingga dapat
119
disimpulkan bahwa akseptor KB yang memanfaatkan tempat pelayanan
KB di swasta mencegah penggunaan MKJP sebesar 0,084 kali
dibandingkan dengan akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB
di Pemerintah. Pada analisis univariat terlihat kecenderungan dimana
Akseptor KB pengguna MKJP justru lebih banyak memanfaatkan
pelayanan pemerintah (58,5%) sedangkan akseptor KB pengguna non
MKJP sebagian besar memanfaatkan pelayanan swasta (77,4%)
Efek protektif yang didapat pada penelitian ini terjadi dikarenakan
pengguna Non MKJP seperti pil dan suntik sebagian besar memanfaatkan
tempat pelayanan bidan swasta dibandingkan pelayanan pemerintah
seperti Puskesmas. Hal ini juga dapat disebabkan oleh jarak pelayanan
antara bidan swasta lebih dekat dibandingkan dengan puskesmas (BPS
yang ada dan melapor ke Puskemsas junlahnya 27 BPS), serta
ketersediaan layanan yang diberikan oleh puskesmas karena puskesmas
Pamulang hanya memberikan pelayanan KB suntik 3 bulan dan tidak
melayani KB Suntik 1 bulan.
Pada penelitian Nasution (2011) diperoleh hasil sumber pelayanan
KB memiliki hubungan dengan penggunaan MKJP di Provinsi
Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara. Pada penelitian tersebut
diperoleh hasil bahwa pelayanan akseptor KB yang mendapatkan sumber
pelayanan pemerintah meningkatkan peluang menggunakan MKJP
dibandingkan dengan akseptor KB yang memanfaatkan pelayanan selain
pemerintah. Namun, hasil yang tidak berhubungan diperoleh pada Provinsi
Jawa dan Sumatera. Pada penelitian Katherine Blumoff Greenberg dkk
120
(2013), tempat pelayanan KB juga memiliki hubungan yang signifikan
dengan penggunaan MKJP.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan penggunaan MKJP di
wilayah kerja Puskesmas Pamulang, dapat dilakukan dengan pembinaan
yang dilakukan oleh dinas kesehatan kepada Bidan Praktik Swasta (BPS)
untuk turut berpartisipasi dalam upaya peningkatan MKJP dengan cara
mengajak dan mendorong akseptor KB yang datang ke BPS untuk
memilih MKJP sebagai pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
121
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Sebagian besar akseptor KB di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
menggunakan metode non MKJP yaitu suntik sebesar 55,5%
2. Akseptor KB lebih banyak menggunakan KB umur kurang atau 30
tahun (53,7%) dan lebih banyak yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi (53,0%). Sebagian besar akseptor KB merupakan ibu rumah
tangga (tidak bekerja) yaitu sebesar 79,9%, sedangkan tingkat
penghasilan akseptor KB lebih banyak pada kelompok penghasilan
rendah yaitu 56,1%
3. Sebagian besar Akseptor KB melakukan diskusi dengan suami tentang
MKJP (58,5%).
4. Sebagian besar akseptor KB memiliki umur pertama kali melahirkan 18
tahun keatas (93,9%), jumlah anak yang dimiliki anak 1 sampai 2 anak
(71,3%) dan tidak memiliki riwayat aborsi (87,2%)
5. Sebagian besar akseptor KB memanfaatkan pelayanan swasta (77,4 %)
6. Akseptor KB yang berumur lebih dari 30 tahun berpeluang 4,565 kali
menggunakan MKJP dari pada akseptor KB yang berumur kurang atau
sama dengan 30 tahun
7. Tingkat pendidikan akseptor KB bukan faktor yang berpeluang
mendorong akseptor menggunakan MKJP
122
8. Akseptor KB yang bekerja berpeluang 4,737 kali menggunakan MKJP
dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak bekerja
9. Akseptor KB yang berpenghasilan tinggi berpeluang 2,206 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang
berpenghasilan rendah
10. Akseptor KB yang pernah berdiskusi dengan suami terkait MKJP
berpeluang 22,579 kali menggunakan MKJP dibandingkan dengan
akseptor KB yang tidak pernah berdiskusi dengan suami mengenai
MKJP
11. Umur pertama melahirkan akseptor KB bukan merupakan faktor yang
berpeluang mendorong akseptor menggunakan MKJP
12. Akseptor KB yang memiliki anak 3 atau lebih berpeluang 3,386 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor yang memiliki
anak 1 sampai 2
13. Akseptor KB yang memiliki riwayat aborsi berpeluang 3,284 kali
menggunakan MKJP dibandingkan dengan akseptor KB yang tidak
memiliki riwayat aborsi.
14. Akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di swasta
mencegah penggunaan MKJP sebesar 0,084 kali dibandingkan dengan
akseptor yang memanfaatkan tempat pelayanan KB di Pemerintah.
123
B. Saran
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Melakukan pembinaan kepada Bidan Praktik Swasta (BPS) agar
turut serta mengajak akseptor KB untuk menggunakan atau mau
beralih menggunakan MKJP
2. Bagi Puskesmas Pamulang dan Petugas Lapangan Keluraga Berencana
a. Meningkatkan penyuluhan dan sosialisasi mengenai pilihan
metode kontrasepsi terutama MKJP pada Pasangan Usia Subur
(PUS) baik suami maupun istri, kelompok akseptor KB yang
tidak bekerja (ibu rumah tangga), kelompok akseptor KB
berpenghasilan rendah, akseptor KB berumur < 30 tahun serta
akseptor KB yang memiliki 1 atau 2 anak .
b. Memberikan penyuluhan terkait kondisi-kondisi kehamilan
risiko tinggi pada akseptor KB sehingga dapat menjadi
pertimbangan dalam pemilihan metode kontrasepsi.
c. Menjadi role model di masyarakat dengan menggunakan atau
ikut serta dalam penggunaan MKJP
3. Bagi Pasangan Usia Subur (PUS)
Disarankan pada Pasangan Usia Subur (PUS) untuk memilih
MKJP sebagai pilihan metode kontrasepsi karena lebih efektif baik
untuk menjarangkan kehamilan atau pengakhiri kelahiran.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Peneliti lain dapat melakukan penelitian lanjutan terkait MKJP
dengan desain yang berbeda misalnya dengan desain studi kohort
124
yaitu dengan mengikuti wanita usia subur yang baru melakukan
persalinan atau baru mengalami aborsi, kemudian untuk menggali
informasi lebih dalam dapat dilakukan dengan metode kualitatif.
125
DAFTAR PUSTAKA
Aborsi.org. 2004. Definisi Aborsi. Diakses pada 14 September 2015 dari
http://www.aborsi.org/definisi.htm
Adhyani, Annisa Rahma, dkk., 2011. Faktor yang Berhubungan dengan
Pemilihan Kontrasepsi Non IUD Pada Akseptor KB Wanita Usia 20-39
Tahun. Universitas Diponegoro. Semarang
Anggarani, Deri Rizki dan Subakti, Yazid. Kupas Tuntas Seputas Kehamilan.
Cetakan I. Jakarta: AgroMedia Pustaka, 2013
Arliana, Wa Ode Dita, dkk. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) Bagi Akseptor KB di
Puskesmas Jailolo. Jurnal e-NERS (eNS), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013,
hlm. 1- 10
Azzam, Ummu. La Tahzan untuk Wanita Haid. Jakarta: Qultum Media, 2012
Bednarek, Paula H and Edelman. 2011. Contraception Following Ectopic
Pregnancy, and Induced or Spontaneous Abortion. Contraception. Willey
online Library. DOI: 10.1002/9781444342642.ch24
Bernadus, Johana D dkk. 2013. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (Akdr) Bagi Akseptor Kb Di
Puskesmas Jailolo. Jurnal e-NERS (eNS), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013,
hlm. 1- 10
BKKBN. 2014. Peranan Rumah Sakit Swasta dalam Mendukung Pelayanan KB.
Subid Bina Kesertaan KB Jalur Pemerintah dan Swasta.
BKKBN, 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan MKJP.
Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional
BKKBN. 2011. Kajian Implementasi Kebijakan Penggunaan Kontrasepsi IUD.
Pusat Penelitian dan Pengembangan KB-KS.
BKKBN, 2012. Analisis Dampak Kependudukan Terhadap Ketahanan Pangan. Direktorat Analisis Dampak Kependudukan, Jl. Permata No. 1 Halim
Perdanakusuma, Jakarta Timur
BKKBN, 2012. “Metode Kontrasepsi”, diakses pada 27 November 2014 dari
http://www.bkkbn.go.id/infoprogram/Documents/METODE%20%20KONT
RASEPSI%20BERDASARKAN%20SARAN%20DITJALPEM.pdf
126
BKKBN. 2013. Pemantauan Pasangan Usia Subur Melalui Mini Survei
Indonesia. Puslitbang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
BKKBN. Cara-cara Kontrasepsi yang Digunakan Dewasa Ini. Diakses pada 8
Oktober 2015 dari http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/cara.htm
Bratakusumah, Deddy Supriady dan Solihin, Dadang. Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Cetakan IV. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Agustus 2004.
Budiman, Chandra. Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas. Jakarta: EGC,
2009
Chang, William. Bioetika Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 2009
Connolly, Anne dkk. 2014. Association between long-acting reversible
contraceptive use, teenage pregnancy, and abortion rates in England.
International Journal of Women’s Health 2014:6 961–974
Desefentison, W. Ngir. Bukan Lagi Dua Melainkan Satu, Panduan Konseling
Pranikah dan Pascanikah. PT Visi Anugerah Indonesia: Bandung, 2013
Dewi, Denok Maya. 2013. MKJP Lebih Efektif Dalam Mencegah Kematian Ibu.
Diakses pada 3 September 2015 dari
http://kepri.bkkbn.go.id/_layouts/mobile/dispform.aspx?List=c5f91c96-
5b3c-4ed9-ae57-fd504e8beabe&View=83451488-c54c-4643-
a629eda410c30b13&ID=4094
Dewi, Putri Hariyani Chandra dan Notrobroto, Hari Basuki. Rendahnya
Keikutsertaan Pengguna Metode Kontrasepsi Jangka Panjang Pada
Pasangan Usia Subur. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 3, No. 1
Juli 2014: 66-72
Faizahlaili, Gadi Gusnanti. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Praktek Keluarga Berencana (KB) Wanita Usia Subur (WUS) (Studi
Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat) Tahun 2009. Universitas
Indonesia, Depok.
Fore, Wiliam. Para Pembuat Mitos: Injil, kebudayaan dan media. Penerjemah:
Wenas Kalangit. Cet. 3. Jakarta: Gunung Mulia, 2002
Fienalia, Rainy Alus. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Wilayah Kerja
Puskesmas Pancoran Mas Kota Depok Tahun 2011. Depok. FKM UI
127
Ford JH dan MacCormac L. Pregnancy and lifestyle study: the long-term use of
the contraceptive pill and the risk of age-related miscarriage. Human
Reproductive 1995 Jun;10(6):1397-402.
Gaol, Tiomarni Lumban. 2013. Pengaruh Faktor Sosiodemografi, Sosioekonomi
dan Kebutuhan Terhadap Perilaku Masyarakat Dalam Pencarian Pengobatan
Di Kecamatan Medan Kota Tahun 2013. Universitas Sumatera Utara
Gebremichael, Hailay dkk. 2014. Acceptance Of Long Acting Contraceptive
Methods And Associated Factors Among Women In Mekelle City, Northern
Ethiopia. Science Journal of Public Health
Getinet, Shegaw dkk. 2014. Long Acting Contraceptive Method Utilization and
Associated Factors among Reproductive Age Women in Arba Minch Town,
Ethiopia. Greener Journal of Epidemiology and Public Health.
Glasier, Anna. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Edisi 4. Jakarta:
EGC, 2005
Goldstone, Philip dkk. 2014. Factors predicting uptake of long acting reversible
methods of contraception among women presenting for abortion. The
medical journal of Australia
Greenberg, Katherine Blumoff dkk. 2013. Factors associated with provision of
long-acting reversible contracepton among adolescent health care
providers. Journal Adolescent health
Gudaynhe, Shimels Wudie dkk. 2014. Factors Affecting the use of Long-Acting
Reversible Contraceptive Methods among Married Women in Debre
Markos Town, Northwest Ethiopia 2013. Global Journal of Medical
Research: Gynecology and Obstetrics Volume 14 Issue 5 Version 1.0 Year
2014 Type: Double Blind Peer Reviewed International Research Journal
Publisher: Global Journals Inc. (USA) Online ISSN: 2249-4618 & Print
ISSN: 0975-5888
Hastono, Sutanto Priyo. Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia. 2007
Herijulianti, Eliza. Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC, 2001
Jingbo yu, Merck dkk. 2013. Association of Long Acting Reversible Contraceptive
Use and Public Health Measures in Kenya and Ethiopia. International
Conference on Family Planning
128
Judisseno, Rimsky K. Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang
Kepastian Hukum dan Penerapam Akuntansi di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2005
Kakaire O et al. 2014. Post Abortion Women’s Perceptions of Utilizing Long
Acting Reversible Contraceptive Methods in Uganda. A Qualitative Study.
Journal of Obstetrics and Gynecology
Kavanaugh, Megan L. 2011. Characteristics of women in the united states who
use long-acting reversible contraceptive methods. Journal of obstetricians
and gynecologists vol. 117 no. 6, june 2011
Kemenkes RI. 2012. Panduan Penyusunan Proposal, Protokol dan Laporan Akhir
Penelitian. Jakarta: Balitbangkes, Kemenkes RI
Kemenkes. 2013. Buletin Kesehatan Reproduksi, Situasi Keluarga Berencana di
Indonesia. Semester II ISSN 2088-270x
Kemenkes. 2014. Situasi dan Analisis Keluarga Berencana. Infodatin. Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan.
Keputusan Gubernur No:561/Kep.506.Huk/2014 tentang Penetapan Upah
Minimum Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2015
Kurniawati, Ediana. 2002. Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemakaian Alat Kontrasepsi Pada Ibu Pasangan Usia Subur Di Desa
Hargorejo Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo DIY Tahun 2002.
Yogyakarta
Laporan Tahunan 2013. Dinas Kesehatan Tangerang Selatan
Loue, Sana. Gender, Ethnicity, and Health Research. Kluwer Academic/Plenum
Publishers. United States : 1999.
MacNaughton, Neil Scot. Health-Seeking Behaviour and Health Services Use by
Latino Men in Rural. ProQuest Information and Learning Company, United
States: 2006.
Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu kebidanan, peyakit kandungan dan keluarga
berencana untuk pendidikan. Jakarta: EGC, 2000
Maulana, Heri D.J. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC, 2009
129
Meskele, Mengistu dan Mekonnen, Wubegzier. 2014. Factors affecting women’s
intention to use long acting and permanent contraceptive methods in
wolaita Zone, Southern Ethiopia: A cross sectional study. BMC Women’s
Health
Mested, Renee dkk. 2011. Acceptance Of Long-Acting Reversible Contraceptive
Methods by Adolescent Participants in The Contraceptive CHOICE Project.
NIH Public Access. Contraception. 2011 November ; 84(5): 493–498.
doi:10.1016/j.contraception.2011.03.001
Mochtar. Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC, 2009 Murti, Bhisma. 2011. Struktur Riset. Fakultas Kedokteran, UNS
Nasution, Sri Lilestina. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan
MKJP Di Enam Wilayah Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
KB dan Keluarga Sejahtera. BKKBN
Nurmila, Nina. 2011. Tafsir Edisi 36: Keluarga Berencana dan Pemberdayaan
Perempuan. Rahima (Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-Hak
Perempuan. Diakses pada 2 Maret 2015 dari
http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
827:tafsir-alquran-keluarga-berencana-dan-pemberdayaan-
perempuan&catid=35:tafsirtafsiralquran&Itemid=306
Nuryati, Sinta dan Fitria, Dedes. 2014. Pengaruh Faktor Internal dan Faktor
Eksternal terhadap Pemilihan Alat Kontrasepsi pada Akseptor KB Baru di
Kabupaten Bogor. Jurnal ilmiah kesehatan Diagnosis Volume 5 Nomor 5
Tahun 2014. ISSN: 2302-1721
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi.
Cet. I, Jakarta: Rineka Cipta
Pangestika, Meitri Widya. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pemilihan Alat Kontrasepsi Pada Pasangan Usia Subur Di Desa
Kaligangsa Kulon Kecamatan Brebes Tahun 2010. Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Dian Nuswantoro. Semarang
Paskaria, Cindra. 2015. Faktor - Faktor Non Medis Yang Mempengaruhi
Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) Pada Wanita
Pascasalin Di Indonesia. Journal of Medicine and Health Vol. 1 No. 2.
August 2015
130
Prassana, Rhaditya. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya
Abortus Di Badan Layanan Umum Daerah (Blud) Rumah Sakit Umum Kota
Banjar. Jurnal Penelitian
Rosana, Dolly. 2013. BKKBN Optimis Peserta KB Beralih ke MKJP. Diakses
pada 4 September 2015 dari
http://www.antarasumsel.com/berita/279154/bkkbn-optimistis-peserta-kb-
beralih-ke-mk
Russo, Jennefer A dkk. 2013. Myths and Misconceptions About Long-Acting
Reversible Contraception (LACR). Journal of Adolescent Health 52 (2013)
S14-S21.
Semiun, Yustinus. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta, Kanisius: 2006
SH&FPA, 2013. Time For A Change: Increasing The Use Of Long Acting
Reversible Contraseptive Methods in Australia. Sexual Health and Famili
Planing Australia and Public Health Association Australia.
Sinsin, Iis. Seri Kesehatan Ibu dan Anak Masa Kehamilan dan Persalinan.
Gramedia, Jakarta: 2008.
Sudaryanto dkk. 2014. Buku Panduan Program Kependudukan Dan KB Sebagai
Materi Khotbah Jum’at di Jawa Tengah. Tim Penyusun: Majelis Uiama
Indonesia (MUI), BKKBN, Biro Bina Mental dan Sosial, BP3AKB, IAIN
Walisongo
Sunaryo. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC, 2004
Susanto, Cornelius Eko. 2015. Pemakaian MKJP Menurun. Diakses pada 4
September 2015 dari
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/13420/Pemakaian-MKJP-
Menurun/2015/07/11
Szumilas, Magdalena. Explaining Odds Ratios. J Can Acad Child Adolesc
Psychiatry, 19:3, August 2010
Teffera, Alemayehu Shimeka and Wondifraw, Abebach Asmamaw. 2015.
Determinants of long acting contraceptive use among reproductive age
women in Ethiopia: Evidence from EDHS 2011. Science Journal of Public
Health 2015; 3(1): 143-149. ISSN: 2328-7942 (Print); ISSN: 2328-7950
(Online)
131
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan undang-undang
nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga-
Cetakan 1. Jakarta: Visimedia, 2007
Winner, Brooke dkk. 2012. Effectiveness of Long-Acting Reversible
Contraception. The New England Journal of Medicine
Yudi. 2015. Program Keluarga Berencana di Kuningan Terus Digaungkan.
Diakses pada 22 September 2015 dari
http://infopublik.id/read/122579/program-keluarga-berencana-di-kabupaten-
kuningan-terus-digaungkan.html
xx
LAMPIRAN
Lampiran 1
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DETERMINAN PENGGUNAAN METODE KONTRASEPSI JANGKA PANJANG DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG
TAHUN 2014
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya, Putri Anggraeni mahasiswa semester 8 Peminatan Epidemiologi Program Studi
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam melakukan penelitian terkait “Determinan Penggunaan
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Tahun 2014” memohon kesediaan Ibu menjadi partisipan dalam penelitian ini. Adapun
pertanyaan dalam kuesioner ini bersifat sangat pribadi dan sensitif sehingga mungkin
dapat mengganggu kenyamanan dan privasi Anda. Semua informasi yang Ibu berikan
terjamin kerahasiannya. Kejujuran Ibu dalam menjawab setiap pertanyaan sangat
diharapkan demi kevalidan dan kebenaran data.
Setelah Ibu membaca maksud dan tahapan penelitian di atas, maka saya mohon untuk
mengisi nama dan tanda tangan dibawah ini sebagai persetujuan. Demikian lembar
persetujuan ini saya buat. Atas perhatian dan kerjasama Ibu, saya ucapkan terimakasih.
Contact Peneliti: 089519725889
Dengan ini saya bersedia mengikuti penelitian dan bersedia mengisi lembar kuesioner yang
telah disediakan dibawah ini dengan sadar tanpa paksaan.
__________, 2015
(.........................................)
BACALAH PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER
IR. IDENTITAS PARTISIPAN
Identitas partisipan diperlukan untuk menghindari pemberian kuesioner pada orang yang sama dan
untuk mengkonfirmasi ketika ada pertanyaan yang belum dijawab atau ada jawaban partisipan yang
kurang jelas.
IR1 Kelurahan
IR2 Nama Ibu
IR3 Tanggal Lahir, Umur
IR4 No Telp/HP (Mohon diisi)
IR5 Jumlah anggota dalam keluarga _____ jiwa
IR6 Alamat sekarang (sesuai tempat
tinggal)
IR7 Metode kontrasepsi apa yang
sekarang ibu gunakan?
1. Pil
2. Suntik
3. IUD/spiral
4. Implan/susuk
5. MOW/steril wanita
A. SOSIODEMOGRAFI DAN EKONOMI
BERIKAN TANDA SILANG (X) PADA PILIHAN JAWABAN ANDA. Diisi
Petugas
A1 Tahun berapa ibu pertama
menggunakan alat KB yang
sekarang ibu pakai?
Bulan________Tahun ________
A2. Berapa usia ibu ketika persalinan
terakhir dan menggunakan alat KB
yang sekarang ibu pakai?
________________Tahun
A3. Saat mulai menggunakan alat KB
yang ibu gunakan saat ini, Apa
pendidikan terakhir ibu?
0. Tidak Sekolah
1. Tidak Tamat SD
2. Tamat SD
3. Tamat SMP
4. Tamat SMA
5. Tamat Akademi (Diploma)
6. Tamat Perguruan Tinggi S1/S2/S3
[ ]
A4 Saat mulai menggunakan alat KB
yang ibu gunakan saat ini, Apa
pekerjaan ibu pada ?
0. Tidak bekerja
1. Buruh
2. Wiraswasta/ Pedagang
3. PNS
4. Pegawai BUMN/SWASTA
5. Lainnya.......................(sebutkan)
[ ]
A5. Saat mulai menggunakan alat KB
yang ibu gunakan saat ini, berapa
rata-rata pendapatan perbulan
keluarga?
___________________ rupiah
B. FAKTOR KOGNITIF
B1 Apakah ibu berdiskusi dengan
suami ketika akan menggunakan
alat KB?
1. Selalu (lanjut B2)
2. Sering (lanjut B2)
3. Jarang (lanjut B2)
4. Tidak pernah
[ ]
B1a Jika jawaban jarang atau tidak
pernah, mengapa? ________________
B2 Apakah ibu pernah berdiskusi/
membicarakan/berbincang-bincang
dengan suami tentang alat KB
jangka panjang seperti IUD/spiral,
susuk/implan, atau steril wanita?
1. Selalu (lanjut C1)
2. Sering (lanjut C1)
3. Jarang (lanjut C1)
4. Tidak pernah
B2a Jika jawaban jarang atau tidak
pernah, mengapa? ________________
C. FAKTOR REPRODUKSI
C1 Berapa umur ibu ketika pertama kali
melahirkan?
_______________ tahun
C1a Tanggal lahir anak pertama Tanggal__ Bulan__ Tahun_____
C2 Apakah ibu pernah mengalami
aborsi/keguguran?
1. Ya
2. Tidak (lanjut C4) [ ]
C2a Jika ya, berapa kali? _________ kali
C3
Berapa jumlah anak kandung yang
ibu lahirkan dan masih hidup?
_________ orang
Laki-laki = ______orang
Perempuan = ______ orang
D. FAKTOR PELAYANAN
D1 Dimana ibu paling sering
memperoleh pelayanan KB yang ibu
gunakan saat ini?
1. Puskesmas
2. Bidan Swasta
3. Rumah Sakit Pemerintah
4. Rumah Sakit Swasta
5. Lainnya_______________
[ ]
Lampiran 2 1. Analisis Univariat
Metode_KB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Pil 32 19.5 19.5 19.5
Suntik 91 55.5 55.5 75.0
IUD 28 17.1 17.1 92.1
Implan 7 4.3 4.3 96.3
MOW 6 3.7 3.7 100.0
Total 164 100.0 100.0
Jenis_KB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid MKJP 41 25.0 25.0 25.0
Non MKJP 123 75.0 75.0 100.0
Total 164 100.0 100.0
kategori_umurKB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid umur KB>30 tahun 76 46.3 46.3 46.3
umur KB <= 30 tahun 88 53.7 53.7 100.0
Total 164 100.0 100.0
kategori_pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid pendidikan tinggi 87 53.0 53.0 53.0
pendidikan rendah 77 47.0 47.0 100.0
Total 164 100.0 100.0
pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid bekerja 33 20.1 20.1 20.1
tidak bekerja 131 79.9 79.9 100.0
Total 164 100.0 100.0
kategori penghasilan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid penghasilan tinggi >2442000 72 43.9 43.9 43.9
penghasilan rendah
<=2442000 92 56.1 56.1 100.0
Total 164 100.0 100.0
diskusi_MKJP
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ya 96 58.5 58.5 58.5
tidak 68 41.5 41.5 100.0
Total 164 100.0 100.0
umur melahirkn
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid umur < 18 tahun 10 6.1 6.1 6.1
umur >= 18 tahun 154 93.9 93.9 100.0
Total 164 100.0 100.0
jumlah anak
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 3 atau lebih anak 47 28.7 28.7 28.7
0 sampai 2 anak 117 71.3 71.3 100.0
Total 164 100.0 100.0
riwayat_aborsi
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ya 21 12.8 12.8 12.8
tidak 143 87.2 87.2 100.0
Total 164 100.0 100.0
Kat_tempatpelayanan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid swasta 127 77.4 77.4 77.4
pemerintah 37 22.6 22.6 100.0
Total 164 100.0 100.0
2. Analisis Bivariat
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
kategori_umurKB *
Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
kategori_pendidikan *
Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
pekerjaan * Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
kategori penghasilan *
Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
diskusi_MKJP * Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
umur melahirkn * Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
jumlah anak * Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
riwayat_aborsi * Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
Kat_tempatpelayanan *
Jenis_KB 164 100.0% 0 .0% 164 100.0%
A. kategori_umurKB * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
kategori_umurKB umur KB>30 tahun Count 30 46 76
Expected Count 19.0 57.0 76.0
% within Jenis_KB 73.2% 37.4% 46.3%
umur KB <= 30 tahun Count 11 77 88
Expected Count 22.0 66.0 88.0
% within Jenis_KB 26.8% 62.6% 53.7%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 15.825a 1 .000
Continuity Correctionb 14.419 1 .000
Likelihood Ratio 16.170 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 15.728 1 .000
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .311 .072 4.159 .000c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .311 .072 4.159 .000c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
kategori_umurKB (umur
KB>30 tahun / umur KB <=
30 tahun)
4.565 2.090 9.973
For cohort Jenis_KB =
MKJP 3.158 1.701 5.864
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP .692 .567 .843
N of Valid Cases 164
B. kategori_pendidikan * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
kategori_pendidikan pendidikan tinggi Count 22 65 87
Expected Count 21.8 65.2 87.0
% within Jenis_KB 53.7% 52.8% 53.0%
pendidikan rendah Count 19 58 77
Expected Count 19.2 57.8 77.0
% within Jenis_KB 46.3% 47.2% 47.0%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .008a 1 .928
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .008 1 .928
Fisher's Exact Test 1.000 .537
Linear-by-Linear
Association .008 1 .928
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,25.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .007 .078 .090 .929c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .007 .078 .090 .929c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
kategori_pendidikan
(pendidikan tinggi /
pendidikan rendah)
1.033 .509 2.099
For cohort Jenis_KB =
MKJP 1.025 .602 1.744
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP .992 .831 1.184
N of Valid Cases 164
C. kategori pekerjaan * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
pekerjaan Bekerja Count 17 16 33
Expected Count 8.2 24.8 33.0
% within Jenis_KB 41.5% 13.0% 20.1%
tidak bekerja Count 24 107 131
Expected Count 32.8 98.2 131.0
% within Jenis_KB 58.5% 87.0% 79.9%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 15.491a 1 .000
Continuity Correctionb 13.771 1 .000
Likelihood Ratio 13.959 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 15.396 1 .000
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,25.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .307 .086 4.111 .000c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .307 .086 4.111 .000c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pekerjaan
(bekerja / tidak bekerja) 4.737 2.100 10.687
For cohort Jenis_KB =
MKJP 2.812 1.722 4.591
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP .594 .414 .852
N of Valid Cases 164
D. kategori penghasilan * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
kategori penghasilan penghasilan tinggi >2442000 Count 24 48 72
Expected Count 18.0 54.0 72.0
% within Jenis_KB 58.5% 39.0% 43.9%
penghasilan rendah
<=2442000
Count 17 75 92
Expected Count 23.0 69.0 92.0
% within Jenis_KB 41.5% 61.0% 56.1%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 4.754a 1 .029
Continuity Correctionb 3.994 1 .046
Likelihood Ratio 4.731 1 .030
Fisher's Exact Test .045 .023
Linear-by-Linear
Association 4.725 1 .030
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .170 .078 2.199 .029c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .170 .078 2.199 .029c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kategori
penghasilan (penghasilan
tinggi >2442000 /
penghasilan rendah
<=2442000)
2.206 1.075 4.528
For cohort Jenis_KB =
MKJP 1.804 1.052 3.094
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP .818 .676 .989
N of Valid Cases 164
E. diskusi_MKJP * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
diskusi_MKJP ya Count 39 57 96
Expected Count 24.0 72.0 96.0
% within Jenis_KB 95.1% 46.3% 58.5%
tidak Count 2 66 68
Expected Count 17.0 51.0 68.0
% within Jenis_KB 4.9% 53.7% 41.5%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 30.147a 1 .000
Continuity Correctionb 28.171 1 .000
Likelihood Ratio 36.711 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 29.963 1 .000
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17,00.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .429 .051 6.040 .000c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .429 .051 6.040 .000c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
diskusi_MKJP (ya / tidak) 22.579 5.220 97.665
For cohort Jenis_KB =
MKJP 13.812 3.452 55.268
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP .612 .516 .726
N of Valid Cases 164
F. umur melahirkn * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
umur melahirkn umur < 18 tahun Count 2 8 10
Expected Count 2.5 7.5 10.0
% within Jenis_KB 4.9% 6.5% 6.1%
umur >= 18 tahun Count 39 115 154
Expected Count 38.5 115.5 154.0
% within Jenis_KB 95.1% 93.5% 93.9%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .142a 1 .706
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .149 1 .700
Fisher's Exact Test 1.000 .523
Linear-by-Linear
Association .141 1 .707
N of Valid Casesb 164
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R -.029 .073 -.375 .708c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.029 .073 -.375 .708c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for umur
melahirkn (umur < 18 tahun
/ umur >= 18 tahun)
.737 .150 3.620
For cohort Jenis_KB =
MKJP .790 .222 2.809
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP 1.071 .775 1.480
N of Valid Cases 164
G. jumlah anak * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
jumlah anak 3 atau lebih anak Count 20 27 47
Expected Count 11.8 35.2 47.0
% within Jenis_KB 48.8% 22.0% 28.7%
0 sampai 2 anak Count 21 96 117
Expected Count 29.2 87.8 117.0
% within Jenis_KB 51.2% 78.0% 71.3%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 10.826a 1 .001
Continuity Correctionb 9.553 1 .002
Likelihood Ratio 10.213 1 .001
Fisher's Exact Test .002 .001
Linear-by-Linear
Association 10.760 1 .001
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11,75.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .257 .082 3.384 .001c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .257 .082 3.384 .001c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for jumlah anak
(3 atau lebih anak / 0 sampai
2 anak)
3.386 1.605 7.144
For cohort Jenis_KB =
MKJP 2.371 1.423 3.949
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP .700 .540 .908
N of Valid Cases 164
H. riwayat_aborsi * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
riwayat_aborsi ya Count 10 11 21
Expected Count 5.2 15.8 21.0
% within Jenis_KB 24.4% 8.9% 12.8%
tidak Count 31 112 143
Expected Count 35.8 107.2 143.0
% within Jenis_KB 75.6% 91.1% 87.2%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.572a 1 .010
Continuity Correctionb 5.261 1 .022
Likelihood Ratio 5.859 1 .015
Fisher's Exact Test .015 .014
Linear-by-Linear
Association 6.532 1 .011
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,25.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R .200 .089 2.600 .010c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .200 .089 2.600 .010c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
riwayat_aborsi (ya / tidak) 3.284 1.278 8.444
For cohort Jenis_KB =
MKJP 2.197 1.272 3.793
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP .669 .441 1.015
N of Valid Cases 164
I. Kat_tempatpelayanan * Jenis_KB
Crosstab
Jenis_KB
Total MKJP Non MKJP
Kat_tempatpelayanan swasta Count 17 110 127
Expected Count 31.8 95.2 127.0
% within Jenis_KB 41.5% 89.4% 77.4%
pemerintah Count 24 13 37
Expected Count 9.2 27.8 37.0
% within Jenis_KB 58.5% 10.6% 22.6%
Total Count 41 123 164
Expected Count 41.0 123.0 164.0
% within Jenis_KB 100.0% 100.0% 100.0%
Chisquare Test
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 40.497a 1 .000
Continuity Correctionb 37.798 1 .000
Likelihood Ratio 36.485 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear
Association 40.250 1 .000
N of Valid Casesb 164
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,25.
b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value
Asymp. Std.
Errora Approx. T
b Approx. Sig.
Interval by Interval Pearson's R -.497 .079 -7.288 .000c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -.497 .079 -7.288 .000c
N of Valid Cases 164
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.
c. Based on normal approximation.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
Kat_tempatpelayanan
(swasta / pemerintah)
.084 .036 .195
For cohort Jenis_KB =
MKJP .206 .125 .341
For cohort Jenis_KB = Non
MKJP 2.465 1.583 3.840
N of Valid Cases 164
Top Related