i
DESKRIPSI JENIS-JENIS STRESSOR FISIOLOGIS DAN
PSIKOLOGIS YANG MENYEBABKAN KEKAMBUHAN
PADA PENDERITA RHEUMATOID ARTHRITIS
DI KOMUNITAS
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
pada Jurusan Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
MAULIDA UMMI SYAFA
J 210 144 018
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
i
ii
iii
1
DESKRIPSI JENIS-JENIS STRESSOR FISIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS
YANG MENYEBABKAN KEKAMBUHAN PADA PENDERITA
RHEUMATOID ARTHRITIS DI KOMUNITAS
Abstrak
Pendahuluan:Penyakit kronis menjadi fenomena yang banyak terjadi dikalangan
masyarakat.Salah satu penyakit kronis yang sering dijumpai di komunitas ialah
rheumatoid arthritis (RA).Jumlah penderita RAdari 2.130 juta populasi telah
mencapai angka 335 juta penduduk dunia yang mengalami RA.Prevalensi
penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes (tenaga kesehatan) di Indonesia
(2013) berjumlah 11,9% dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7%. Di Jawa
Tengah penyakit sendi merupakan urutan tertinggi diantara Penyakit Tidak
Menular (PTM) lainnya, yakni sebesar 11,2%. Tujuanpenelitian: Untuk
mengetahui jenis stressor fisiologis dan psikologis yang menyebabkan
kekambuhan pada penderita rheumatoid arthritis di komunitas. Metode
penelitian: deskriptif survey, serta menggunakan teknik accidental sampling
dengan jumlah 80 sampel. Analisis data menggunakan deskriptif presentase.Hasil
Penelitian: Stressor Fisiologis, faktor predisposisi,riwayat penyakit RAmayoritas
berasal dari Ibu (31,3%), riwayat merokok dialami 3 dari 4 pria, 1-15 batang
rokok perhari dengan lama merokok masing-masing 1-5 tahun, 6-10 tahun, dan
>20 tahun, mengalami menopause sebanyak 65 responden (85.5%), melakukan
aktivitas berat mayoritas dengan kategori selalu (27.5), jenis aktivitas berat
dominan duduk lama (28.8%), jumlah tidur malam ≤ 5 jam (53.8%), diet dominan
mengkonsumsi telur ayam (43.8%). Stressor Psikologis : faktor sosioekonomi
mayoritas pendidikan Sekolah Dasar (SD) (33.8%) dan pendapatan mayoritas <1
juta (62.5%), faktor pasien gejala yang paling mengganggu nyeri sendi (68.8%),
kurangnya dukungan emosional (20.8%), faktor kelurga/koping
kurangnyabantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (20.8%), konsekuensi
kerja berkurangnya durasi bekerja (43%). Kesimpulan:Jenis stressor fisiologis
penyebab kekambuhan rheumatoid arthritis terbanyak adalah menopause yakni
85%, dan jenis stressor psikologis penyebab kekambuhan rheumatoid arthritis
terbanyak adalah gejala yang paling mengganggu yakni nyeri sendi 68.8%.
Kata kunci: Rheumatoid Arthritis, Stressor Fisiologis, Stressor Psikologis
Abstract
Introduction: Chronic disease becomes a phenomenon that occurs among
community. One of the most common chronic diseases in the community is
rheumatoid arthritis (RA). The number of RA reached 335 million people from
2,130 million populations in the world. Based on health workers in Indonesia
(2013) the prevalence of joint disease is 11.9% and for diagnosis or symptoms
reached 24.7%. Joint disease is diseases highest in Central Java rather than Non-
Communicable Diseases which is 11.2%. Objective: To know the type of
2
physiological and psychological stressors that caused by rheumatoid arthritis
recurrence in community. Research method: Survey Descriptive and used
accidental sampling technique with number of samples are 80. The Data analyzed
by using descriptive percentage. Research result: Physiological Stressors,
predispositions factor there are history of RA mostly experienced by Mother
(31,3%), menopause (85.5%), respondent with heavy activity (27.5%), dominantly
with prolonged sitting type (28.8%), respondent that sleep ≤ 5 hours at night
(53.8%), and excess chicken eggs consumer (43.8%) respondent with smoking
history that experienced by three out of four men that smoked cigarettes 1-15 per
day around 1-5 years, 6-10 years, and >20 years. Psychological Stressor,
socioeconomic factor there are the majority comes from primary school (33.8%),
and respondent with income <1 million (62.5%), patient factor is respondent with
the most disturbing symptoms of joint pain (68.8%), family factor/coping are lack
of emotional support (20.8%), and lack of help to perform daily activities (20.8%)
and consequences of work that is factor respondent with few working duration
because of symptom (43%). Conclusion: the most recurrence cause of rheumatoid
arthritis in physiological stressors is menopause respondent with 85% and
psychological stressor is respondent with disturbing symptom of joint pain that
reached 68.8%.
Keywords: Physiological Stressor, Psychological Stressors, Rheumatoid Arthritis
1. PENDAHULUAN
Menurut WHO (2016) Jumlah penderita RA dari 2.130 juta populasi telah
mencapai angka 335 juta penduduk dunia yang mengalami RA.Prevalensi
penyakit sendi berdasarkan diagnosis nakes (tenaga kesehatan) di Indonesia
(2013) berjumlah 11,9% dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7%.
Sedangkan prevalensi tertinggi pada provinsi di Indonesia tahun 2013 terdapat
di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%) dan Bali (30%).
Selanjutnya prevalensi di Jawa Tengah berjumlah 26,9% dan berdasarkan
diagnosis atau gejala 11,2%(Kementrian Kesehatan RI, 2013). Di Jawa
Tengah, penyakit sendi merupakan urutan tertinggi diantara Penyakit Tidak
Menular (PTM) lainnya, yakni sebesar 11,2% (Kementrian Kesehatan RI,
2013) dan wilayah Sukoharjo merupakan salah satu wilayah yang memiliki
jumlah penderita RA yang cukup tinggi. Pada Tahun 2017 penderita RA di
wilayah Sukoharjo sebanyak 968 penderita (Dinas Kesehatan Kabupaten
Sukoharjo, 2017).
RAmerupakanpenyakit kronis yang terjadi karena berbagai
stressor.Menurut Lacan (2016) stressor merupakan kejadian stimulus
mencakup berbagai variasi eksternal dan internal, sedangkan menurut Anisman
(2015) stressor merupakah rangsangan atau kejadian yang dinilaiatau dianggap
3
tidak menyenangkan dan menyebabkan "respons stres", respon stres terdiri dari
perubahan kognitif, perilaku,biologis.
Menurut Center of Studies on Human Stress(CSHS) (2012) terdapat
dua kategori stressor, physiological (physical) stressor dan physicological
stressor.Stressor psikologis merupakan kejadian, situasi, individu, komentar,
atau apapun yang penderita tafsirkan sebagai hal negatif atau
mengancam.Sedangkan Stressor fisiologis (physical) adalah stressor yang
menyebabkan ketegangan pada tubuh penderita (i.e,: suhu sangat dingin/panas,
luka, sakit kronis atau nyeri) dan dapat diartikan sebagai kejadian, situasi,
individu, komentar atau apapun yang penderita tafsirkan sebagai hal negatif
atau mengancam.
Stressor fisiologis dan psikologis merupakan faktor pencetus yang bisa
menyebabkan penyakit ini kambuh kembali, kedua faktor ini pada umumnya
sama, namun fenomena menggambarkan bahwa faktor pencetus ini
dipengaruhi berbagai latar belakang individu yang berbeda (Colebatch &
Edwards, 2011). Faktor fisik yang umumnya menyebabkan kekambuhan
adalah infeksi dengan presentase 49.6% dan physical trauma 46.4% yang pada
umunya physical traumaberkaitan dengan penggunaan berlebih pada sendi
yang mengakibatkan keparahan pada pasien RA (Yılmaz et al.,2017).
Kemudian faktor fisiologis seperti faktor genetik. Sebagai contoh, prevalensi
tertinggi yang telah diamati pada suku Indian Amerika Utara mencapai 30%
(Ingegnoli et al., 2013).
Sedangkan faktor psikologis yang berpengaruh terhadap kekambuhan
penyakit RA adalahfaktor physicoligical stress/ gangguan mood. Kehidupan
yang penuh tekanan mengakibatkan serangan RA sebanyak 86% kasus, dan
tingginya tingkat stress dapat diprediksi prognosis penyakit yang lebih buruk
sehingga dapat diperkirakan bahwa orang dengan RA mungkin sangat sensitif
terhadap stressor tertentu dan/atau menghasilkan respon stres yang lebih besar,
sehingga memiliki hubungan yang signifikan antara trauma, gangguan mood,
dan kualitas hidup yang meningkatakan sensasi rasa nyeri atau persepsi nyeri
pada penderita RA(Tillmann et al., 2013).
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada 8 Februari 2018 di
wilayah kerja Puskesmas Kartasura beberapa orang yang menderita rheumatoid
arthritis belum mengetahui secara pasti penyebab penyakit yang mereka alami.
Lima dari tujuh orang mengatakan bahwa mereka memiliki riwayat keturunan
dan mengalami kekambuhanapabila terjadikecemasan psikologis.Sekitar 57%
penderita RA mengalami kekakuan pagi/ nyeri yang timbul ketika bangun
dipagi hari dan seluruh penderita mengalami gejala fisiologi seperti kelemahan,
demam, benjolan dan memiliki riwayat merokok.Seluruh penderita
mengatakan nyeri timbul saat melakukan aktivitas berlebih dan reda atau
4
berkurang saat beristirahat, namun mereka belum mengetahui pasti penyebab
kekambuhan yang dialami.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif survey.
Penelitian deskriptif survey adalah suatu rancangan yang digunakan untuk
menyediakan informasi berhubungan dengan prevalensi dan distribusi, dapat
digunakan untuk mengumpulkan informasi dari tindakan seseorang,
pengetahuan, kemauan, pendapat, perilaku, dan nilai.Pada survey tidak terdapat
intervensi (Nursalam, 2013).Populasi penelitian ini adalah pasien kekambuhan
Rheumatoid Arthritis di wilayah kerja Puskesmas Kartasura yang berjumlah
386 penderita dan sampel yang digunakan sebanyak 80 sampel, diambil dengan
menggunakan accidental sampling. Instrumen dalam penelitian ini adalah
kuesioner semi-tertutup, terdiri dari kuesioner demografi, lembar kuesioner
stressor fisiologis dan psikologis penyebab kekambuhan RA, dan beberapa
item dari kuesioner demografi yang hasilnya akan dimasukkan kedalam
stressor psikologis penyebab kekambuhan.
3. HASIL PENELITIAN
3.1 Stressor Fisiologis Penyebab Kekambuhan RA
Tabel 4.2 Distribusi riwayat penyakit RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Bapak 7 8.8
80
Ibu 25 31.3
Kakek dari bapak 1 1.3
Nenek dari ibu 1 1.3
Tidak ada riwayat 46 57.5
Total 80 100.0
Tabel 4.3 Distribusi Riwayat Merokok Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak 77 96.3 80
Ya 3 3.8
Total 80 100.0
Tabel 4.4 Distribusi Lama Durasi Merokok Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
>20 1 25.0
3 1-5 tahun 1 25.0
6-10 tahun 1 25.0
Total 3 100.0
5
Tabel 4.5 Distribusi Jumlah Konsumsi Rokok Perhari
Karakteristik Frekwensi % N
1-14 batang 3 100.0 3
Tabel 4.6 Distribusi Menopause Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Belum 11 14.5
76 Sudah 65 85.5
Total 76 100.0
Tabel 4.7 Distribusi akivitas berat responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Jarang 4 5.0
80
Kadang 13 16.3
Selalu 22 27.5
Sering 13 16.3
Tidak 28 35.0
Total 80 100.0
Tabel 4.8 Distribusi Jenis Aktivitas berat responden RA di Komunitas
Tabel 4.9 Distribusi Jumlah tidur malam responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
≤ 5 jam 43 53.8
80 6-8 jam 37 46.3
Total 80 100.0
Tabel 4.10 Distribusi Konsumsi Daging Sapi Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Berdiri lama 11 21.2
52
Bergerak lama 3 5.8
Duduk lama 15 28.8
Jalan jauh 13 13.5
Macul 2 3.8
Memegang es 1 1.9
Mengangkat beban
berat 11 21.2
Naik sepeda 1 1.9
Naik turun tangga 1 1.9
Total 52 100.0
6
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 11 13.8
80
Jarang 50 62.5
Kadang-kadang 16 20.0
Sering 3 3.8
Total 80 100.0
Tabel 4.11 Distribusi Konsumsi Daging Kambing Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 28 35.0
80
Jarang 38 47.5
Kadang-kadang 12 15.0
Sering 2 2.5
Total 80 100.0
Tabel 4.12 Distribusi Konsumsi Telur Ayam Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 4 5.0
80
Jarang 14 17.5
Kadang-kadang 26 32.5
Sering 35 43.8
Selalu 1 1.3
Total 80 100.0
Tabel 4.13 Distribusi Konsumsi Ikan Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 3 3.8
80
Jarang 27 33.8
Kadang-kadang 26 32.5
Sering 22 27.5
Selalu 2 2.5
Total 80 100.0
Tabel 4.14 Distribusi Konsumsi Susu Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 20 25.0
80
Jarang 24 30.0
Kadang-kadang 15 18.8
Sering 13 16.3
Selalu 8 10.0
Total 80 100.0
7
Tabel 4.15 Distribusi Konsumsi Jeroan Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 32 40.0 40.0
Jarang 22 27.5 27.5
Kadang-kadang 15 18.8 18.8
Sering 10 12.5 12.5
Selalu 1 1.3 1.3
Total 80 100.0 100.0
Tabel 4.16 Distribusi Konsumsi Keju Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 34 42.5
80
Jarang 30 37.5
Kadang-kadang 11 13.8
Sering 5 6.3
Total 80 100.0
Tabel 4.17 Distribusi Konsumsi Mentega Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 33 41.3
80
Jarang 32 40.0
Kadang-kadang 11 13.8
Sering 3 3.8
Selalu 1 1.3
Total 80 100.0
Tabel 4.18 Distribusi Konsumsi Keju Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 4 5.0 5.0
Jarang 24 30.0 30.0
Kadang-kadang 27 33.8 33.8
Sering 23 28.8 28.8
Selalu 2 2.5 2.5
Total 80 100.0 100.0
Tabel 4.19 Distribusi Konsumsi Fastfood Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 23 28.8 28.8
Jarang 33 41.3 41.3
Kadang-kadang 13 16.3 16.3
Sering 9 11.3 11.3
Selalu 2 2.5 2.5
Total 80 100.0 100.0
8
Tabel 4.20 Distribusi Konsumsi gorengan Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak pernah 2 2.5
80
Jarang 5 6.3
Kadang-kadang 16 20.0
Sering 29 36.3
Selalu 28 35.0
Total 80 100.0
3.2 Stressor Psikologis Penyebab Kekambuhan RA
Tabel 4.21 Distribusi Tingkat Pendidikan Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
TS 15 18.8
80
SD 27 33.8
SMP 9 11.3
SMA 18 22.5
Sarjana 11 13.8
Tabel 4.22 Distribusi Penghasilan Responden RA di Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
< 1 juta 50 62.5
80 1 – 3 juta 20 25
> 3 juta 10 12.5
Tabel 4.23 Distribusi Informasi Kesehatan RA Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Tidak 57 71.3 80
Ya 23 28.8
Tabel 4.24 Distribusi Kejadian Gejala RA Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Kaku sendi 45 23.9
80
Kelemahan dan
keletihan 13 6.9
K elemahan pada sendi 5 2.7
Nodul 3 1.6
Nyeri pada sendi 2 1.1
Nyeri saat gerak 42 22.3
9
Nyeri sendi 60 31.9
Pembengkakan sendi 6 3.2
Penurunan nafsu makan 12 6.4
Total 188 100.0
Tabel 4.25 Distribusi Kejadian Gejala RA Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Kaku sendi 12 15.0
80
Kelemahan dan keletihan 4 5.0
Nyeri saat gerak 9 11.3
Nyeri sendi 55 68.8
Total 80 100.0
Tabel 4.26 Distribusi Dukungan Keluarga Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Membantu dalam melakukan
aktivitas sehari-hari 33 20.8
80
Memberi dukungan emosional 33 20.8
Memberikan informasi dan
saran 44 27.7
Menyediakan bantuan materi 36 22.6
Tidak memberi dukungan
apapun 13 8.2
Total 159 100.0
Tabel 4.27 Distribusi Permasalahan Aktifitas Responden RA di
Komunitas
Karakteristik Frekwensi % N
Banyak pikiran 1 1.0
80
Berkurangnya durasi bekerja 43 43.0
Kehilangan pekerjaan 3 3.0
Sulit menyelesaikan aktivitas 34 34.0
Tidak ada permasalahan 19 19.0
Total 100 100.0
10
4 PEMBAHASAN
4.1 Stressor Fisiologis
4.1.1 Riwayat RA
Berdasarkan tabel 4sebagian besar keluarga tidak memiliki
riwayat penyakit RA (57, 5%), dan yang memiliki riwayat RA
mayoritas berasal dari pihak ibu (31,3%), karena setidaknya dua
pertiga risiko RA dianggap oleh faktor risiko genetik (Yarwood, et
al., 2014). Didukung dengan kejadian penyakit pada tingkat
keluarga sebesar 0,8% bila dibandingkan 0,5% dengan populasi
umum (Steenbergen et.al., 2013). Namun 50-60% menunjukkan
bahwa sebagian besar penyakit bisa disebabkan oleh faktor risiko
lingkungan (Frisell T et al., 2013).
RA pada wanita 25 kali lebih tinggi dibandingkan pria
(Hochberg et al., 2014) karena Hormon estrogen dan progesterone
pada wanita merupakan hal penting dalam pathogenesis RA
(Karlson et al dikutip dalam Di Giuseppe et al., 2013).
4.1.2 Riwayat Merokok
Sebagian besar responden penderita RA adalah wanita
dengan jumlah wanita 76 dan 4 pria, dan tidak ada satupun wanita
yang memiliki riwayat merokok, namun 3 dari 4 pria memiliki
riwayat merokok dengan intensitas lama merokok masing-masing
1-5 tahun, 6-10 tahun, dan >20 tahun dengan jumlah batang rokok
yang dikonsumsi seluruh responden 1-15 batang rokok perhari.
Merokok merupakan faktor resiko lingkungan yang paling
berpengaruh terhadap RA, dan beberapa penelitian menunjukkan
terdapat interaksi yang kuat antar merokok dan alel HLA-DRB1
SE. Merokok membawa SE alel berada pada peningkatan risiko
pengembangan RF atau ACPA-positif RA (Frisell T et al., 2013).
Merokok juga dapat meningkatkan stres oksidatif dalam
tubuh dan stres oksidatif meningkat pada peradangan rheumatoid
karena sistem antioksidan yang terganggu akibat radikal bebas dan
durasi merokok berkaitan dengan peningkatan resiko RA dan
seropositif RA (Chang, 2014).
4.1.3 Menopouse
Ketika wanita mendekati masa menopause, wanita akan
mengalami penurunan fungsi ovarium secara ilmiah. Kurangnya
hormone estrogen setelah menoupose akan memperburuk masa
tulang yang sudah berkurang karena usia usia (Costenbader et al.,
dikutip dalam Chang et al, 2014).
11
Estrogen dan progesteron telah terbukti menekan kekebalan
yang dimediasi oleh sel T, dengan demikian dapat melindungi
terhadap penyakit (Giuseppe et al., 2013). Seperti pada penelitian
yang dilakukan oleh Hazes, et al., (2011) pasien RA melaporkan
mengalami penurunan nyeri pada saat menstruasi dan kehamilan,
serta resiko meningkatnya gejala RA terjadi 3 bulan
pascamelahirkan.
4.1.4 Aktivitas Berat
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Yılmaz et
al., (2017) trauma fisik (19%) merupakan faktor kekambuhan
ketiga tertinggi setelah stress psikologis (86,1%) dan infeksi
(49,6%). Sikap badan yang salah dalam melakukan pekerjaan
sehari-hari memudahkan timbulnya kekambuhan RA, seperti
mengangkat beban berat dari lantai dengan badan membungkuk,
dapat mengakibatkan sakit pinggang dan pada pemain tenis yang
melakukan pukulan back hand yang keras atau cedera lain, dapat
menimbulkan rasa nyeri dan peradangan pada jaringan otot siku
lengan (Hembing, 2008).
4.1.5 Jumlah Tidur Malam
Seperti pada penelitian yang telah dilakukan Kimura &
Kishimoto (2010) Kurang tidur sangat mengganggu fungsional
ritme sel T dan sel CD4+ dan peningkatan produksi sel IL-17 Th17
yang telah terbukti memainkan peran penting dalam induksi
penyakit autoimun seperti RA. Kurang tidur juga dikaitkan dengan
peningkatan sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL)-6 dan
faktor nekrosis tumor-alfa, sebagai mediator dampak negatif dari
kerja shift (Kimura & Kishimoto, 2010).
Menurut Horwitz & Muller (2010) kondisi RA sangat
berhubungan dengan kurangnya jumlah tidur.National Sleep
Foundation di Amerika mengemukakan bahwa 46% dewasa tua
dengan arthritis, 15% melaporkan tidur kurang dari 6 jam per
malam, 29% buruknya kualitas tidur, 18% didiagnosa gangguan
tidur, 18% melaporkan kantuk di siang hari, 34% bangun tidur
tidak segar, dan 56% gejala insomnia. Didukung dengan penelitian
yang dilakukan oleh Irwin et al., (2012) adanya peningkatan gejala
mood dan rasa sakit pada pasien RA setelah berkurangnya waktu
tidur, bersamaan dengan aktivasi nyeri sendi..
12
4.1.6 Diet
4.1.6.1 Daging Merah
Menurut Shapiro, et al., dikutip dalam Giuseppe, et
al., (2014) Asupan daging dianalisis secara ekstensif di
NHS (National Health Services), dimana total daging,
daging merah dan unggas tidak terkait dengan
pengembangan RA. Namun, studi kasus-kontrol lainnya
menemukan peningkatan risiko polyarthritis infamatory
dengan asupan tinggi daging merah (OR: 1,9; 95% CI: 0,9-
4,0, untuk> 58 vs <25,5 g / hari) dan daging merah
dikombinasikan dengan lainnya. Produk daging (OR: 2.3:
95% CI: 1.1–4.9, untuk> 87.8 vs <49 g / hari) (Pattison DJ
et al., dikutip dalam Giuseppe, et al., 2014)
Hubungan daging merah terhadap perburukan
kondisi RA didukung pada penelitian yang dilakukan He, et
al., (2016).Konsumsi daging merah secara biologis
dikaitkan dengan pengembangan RA, sementara ikan, buah-
buahan dan sayuran terkait dengan penurunan risiko
RA.Hubungan antara konsumsi daging merah dan
peningkatan risiko RA dapat dikaitkan dengan sumbernya
yang kaya zat besi, yang telah terbukti menumpuk
dimembran rheumatoid sinovial dan memperparah
peradangan sinovial. Sebuah studi kasus-kontrol
menemukan bahwa asupan daging dan protein total yang
tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko RA (Pattison, et
al., dikutip dalam He, et al., 2016).
4.1.6.2 Ikan
Seperti pada penelitian Xu & Lin (2017) setiap
kenaikan asupan 30 g lemak ikan (≥8 g lemak/ 100 g ikan)
per hari dikaitkan dengan 49% pengurangan risiko RA (P =
0,06), sedangkan ikan dengan lemak sedang (3- 7 g lemak /
100 g ikan) dikaitkan dengan peningkatan risiko RA secara
signifikan.
Makanan ikan dan minyak ikan telah disarankan
untuk menjadi pelindung dalam berkembangnya RA karena
asam lemak omega-3 rantai panjang mereka yang
merupakan prekursor eicosanoids anti-inflamasi. Sebuah
studi kasus-kontrol dengan 1.889 kasus RA menemukan
bahwa dengan mengkonsumsi ikan minyak tinggi memiliki
20% penurunan risiko RA dibandingkan dengan mereka
13
yang tidak pernah atau jarang asupan ikan (Rosell, et al.,
dikutip dalam Hu et al., 2015).
Sementara studi kohort prospektif lainnya
menunjukkan bahwa efek protektif hanya terbatas pada ikan
gemuk, dan ikan ukuran sedang dikaitkan dengan
peningkatan risiko RA secara signifikan (Pedersen et al.,
dikutip dalam Hu et al., 2015).
4.1.6.3 Produk Susu
Menurut penelitian yang telah dilakukan Frank Hu,
MD, PhD, seorang profesor epidemiologi dan nutrisi di
Harvard T. H. Chan School ofPublic Health di Boston
sangat jelas mengatakan bahwa diet tinggi lemak jenuh
yang berlimpah dalam keju dan produk susu berlemak dapat
meningkatkan peradangan. Tetapi asam lemak lain yang
ditemukan dalam produk susu telah dikaitkan dengan
manfaat kesehatan seperti penurunan risiko diabetes.
(Arthritis Foundation, 2018).
Dijelaskan kembali pada dua studi yang meneliti
produk susu konsumsi dalam kaitannya dengan risiko RA,
dan hasilnya tidak konsisten. Studi kasus-kontrol dilakukan
di Washington (DC, USA) tidak menunjukkan hubungan
antara produk susu dan minuman susu dan risiko RA
(Shapiro, et al., dikutip dalam Giuseppe et al., 2013)
Sebaliknya, kohor prospektif IWHS melaporkan hubungan
terbalik antara total susu produk (termasuk susu skim, susu
utuh, es krim, yogurt, keju cottage, krim keju, dan lainnya)
dan risiko RA (RR: 0,66; 95% CI: 0,42-1,01, untuk ≥68 vs
1-35 porsi per bulan) (Merlino LA, et al., dikutip dalam
Giuseppe et al., 2013).Didukung dengan mengenai
polyarthritis infamatory, studi kasus-kontrol dalam kohort
EPIC-Norfolk menemukan peningkatan risiko yang terkait
dengan konsumsi produk susu (OR: 1,9; 95% CI: 0,9-4,2,
untuk> 260 vs <153 g / hari) (Pattison DJ, dikutip dalam
Giuseppe et al., 2013).
4.1.6.4 Jeroan, Gorengan, Telur Ayam, Santan, dan Fast Food
(tinggi kolestrol)
Pasien arthritis secara khas menderita
atherosclerosis, dan kadar kolesterol darah mereka
cenderung lebih tinggi dari biasanya. Lemak dan kolestrol
yang terakumulasi pada lapisan pembuluh darah pada
14
aterosklerosis mencegah perpindahan secara normal
oksigen ke jaringan sendi.Jaringan sendi tersebut sering
ditemukan didekat sendi rematik.
Kandungan kolestrol (mg/10gr) pada makan
tersebut terbagi kedalam dua kategori, yakni kategori
berhati-hati dan kategori berbahaya.Kategori berhati-hati
yakni daging sapi berlemak 125, sedangkan dalam kategori
berbahaya sosis daging (salah satu jenis fast food) 150,
santan 185, jeroan sapi 380, jeroan kambing 610, kuning
telur ayam 2000 (Warianto, 2011).Kandungan omega 6
dalam makanan seperti gorengan, makanan olahan,
mengkonsumsi garam yang berlebih dan bahan pengawet
makanan dapat menyebabkan radang sendi (Sharma, 2014).
4.2 Stressor Psikologis
4.2.1 SSE (Status Sosial Ekonomi)
Pada penelitian yang telah dilakukan Tillmann et al., (2013)
kecemasan, depresi dan stres disebabkan oleh faktor
sosiodemografi (umur, jenis kelamin, tempat tinggal, latar
belakang pendidikan, status pekerjaan, pendapatan rumah tangga
dan praktek agama.
Istilah 'status sosial ekonomi', 'kelas sosial' dan 'posisi
sosial ekonomi' secara kolektif dikenal sebagai SSE.SSE yang
rendah berkaitan dengan morbiditas kejiwaan tinggi, depresi dan
mortalitas. SSE terdiri dari:
4.2.1.1Pendidikan dan Pendapatan
A Sebuah survei nasional AS baru-baru ini
menemukan bahwa beberapa ukuran SSE termasuk tingkat
pendidikan rendah dan pendapatan rendah berkaitan dengan
kesehatan mental dan radang sendi yang memburuk
(Tillmann et al., 2013).Status sosioekonomi rendah
dikaitkan dengan depresi pada RA dan mencakup
pendapatan, pendidikan, pekerjaan, ras / etnis dan kondisi
lingkungan (Margaretten et al, 2011).Sebuah penelitian
baru-baru ini melaporkan peningkatan persepsi nyeri pada
pasien dengan RA yang memiliki pendidikan formal <12
tahun (Yılmaz, et al, 2017).
Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Vine et
al, (2012) terdapat peningkatan skor kecemasan sosial di
kalangan perempuan rumah tangga berpendapatan rendah
dibandingkan dengan rumah tangga berpenghasilan tinggi
15
(b = 1,65, P = 0,10), sementara laki-laki rumah tangga
berpendapatan rendah memiliki kecemasan sosial yang
lebih rendah, tetapi tidak signifikan dibandingkan dengan
skor laki-laki di rumah tangga berpenghasilan tinggi (b =
−0.73, P = .52). Sehingga terdapat hubungan antara
pendapatan rumah tangga yang rendah dan kecemasan fisik/
panik dengan semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa hasil kesehatan mental dan fisik yang memburuk.
4.2.2 Faktor Pasien
4.2.2.1 Gejala RA
The Seperti pada penelitian yang telah dilakukan
Yılmaz, et al (2017) berdasarkan persepsi pasien, stres
psikologis, trauma fisik, dan infeksi dikaitkan dengan
suasana depresi dan kualitas hidup yang lebih rendah.
Pada penelitian ini penderita dominan menganggap nyeri
sendi sebagai gejala yang paling mengganggu, yakni
sebanyak 55 responden (68.8%).
Gejala yang timbul pada RA dapat meningkatkan
kondisi depresi seperti peradangan, nyeri dan kecacatan
fungsional. Hubungan kecacatan dengan depresi lebih
kuat terjadi pada orang dengan status sosial ekonomi
(SSE) yang rendah, karena orang dengan SSE yang
rendah mungkin tidak memiliki dukungan dan sumber
coping yang baik, sehingga menyababkan tingginya
tingkat depresi (Tillmann et al., 2013). Pada penelitian
longitudinal menunjukkan bahwa kecemasan dan depresi
yang besar menyebabkan peningkatan persepsi nyeri,
sehingga tingkat nyeri dan kecacatan yang lebih tinggi
memprediksi tingkat distres yang lebih tinggi (Klippel,
2014).
4.2.2.2 Dukungan Keluarga
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ryan
(2014) ketika seseorang menderita RA ada peran dalam
unit keluarga yang harus berubah dan tidak setiap anggota
keluarga dapat menerima perubahan.Sebagai contoh,
seorang ibu dengan rheumatoid arthritis mungkin merasa
sulit untuk bergabung dalam kegiatan fisik dengan anak-
anaknya karena ketidaknyamanan fisik dipersendiannya.
Penderita RA membutuhkan periode istirahat dan
periode aktivitas yang seimbang, karena akan membantu
16
mengurangi rasa sakit dan kelelahan. Oleh karenanya
membantu keluarga memahami penderita RA untuk
beristirahat merupakan bagian penting dari mengatasi
kondisi dan menghindari mereka merasakan istirahat
sebagai aktivitas negatif.
Penderita RA ketika sudah menikah tidak terkait
dengan perubahan kesehatan yang lebih baik, tetapi berada
dalam pernikahan yang diharapkan atau tidak tertekan
dikaitkan pengurangan rasa nyeri dan fungsi yang lebih
baik (Reese, et al 2010).
4.2.2.3 Permasalahan Aktivitas
Tantangan bagi orang-orang rheumatoid arthritis
untuk tetap bekerja secara fisik.Hal ini menyebabkan stres
harian dan regangan berulang pada sendi dan
otot.Ketidakpastian gejala mereka dapat menyulitkan untuk
bekerja tepat waktu (Ryan, 2014).Pasien dengan nyeri
terus-menerus, kelelahan, dan cacat fungsional berakibat
harus meninggalkan pekerjaan (Daniel, et al 2013).
Sesuai dengan penelitian ini mayoritas penderita
mengalami berkurangnya durasi bekerja sebanyak 43
responden (43%) didukung pada penelitian yang telah
dilakukan Arthritis Care Scotland (2016) lebih dari dua
pertiga responden mengemukakan dampak nyeri terhadap
kemampuan bekerja sehingga berkurangnya durasi bekerja
sebanyak 67%, selanjunya kelemahan membuat penderita
RA sulit untuk bekerja sebanyak 66%, lebih dari separuh
penderita tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sendiri
karena keterbatasan fisik sebanyak 53%, dan sebanyak 14%
meniggalkan pekerjaannya.
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
a. Distribusi karakteristik responden menurut umur pada
menunjukkan distribusi tertinggi adalah usia >55 tahun sebanyak
57 responden (66.9%), jenis kelamin didominasi perempuan 76
responden (95%), selanjutnya kebanyakan responden mengenyam
tingkat pendidikan SD sebanyak 27 responden (33.8%), sebagian
besar responden bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT)
sebanyak 48 responden (60%), sebagian besar penghasilan
responden <1 juta sebanyak 50 (62.5), lama diagnosis responden
17
didominasi selama 6-12 bulan sebanyak 39 (48.8%), sebagian besar
responden belum pernah mendapatkan informasi kesehatan RA
sebanyak 57 (71.3%).
b. Gejala yang paling mendominasi nyeri sendi 60 responden
(31.9%), dilanjutkan kekakuan sendi 45 responden (23.9%), nyeri
saat gerak 42 responden (22.3%), kelemahan dan keletihan 13
responden (6.9%), penurunan nafsu makan 12 responden (6.4%),
kelemahan pada sendi 5 responden (2.7), pembengkakan sendi 6
responden (3.2%), dan nodul 3 responden (1.6), nyeri pada sendi 2
(1.1%)
c. Jenis stressor fisiologis penyebab kekambuhan rheumatoid arthritis
terbanyak adalah menopause yakni sebesar 85%.
d. Jenis stressor psikologis penyebab kekambuhan rheumatoid
arthritis terbanyak adalah gejala yang paling mengganggu yakni
nyeri sebesar 68.8%.
5.2 Saran
a. Penderita RA
Bagi penderita RA agar menghindari stressor-stressor penyebab
kekambuhan baik secara fisiologis maupun psikologis, sehingga
meminimalisir terjadinya keparahan penyakit RA.
b. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan diharapkan untuk melakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk memastikan diagnosa RA yang diderita responden dan
meningkatkan pemberian informasi (penyuluhan) kesehatan terkait
rheumatoid arthritis pada masyarakat, sehingga masyarakat dapat
menghindari dan meminimalisir terjadinya penyakit maupun
kekambuhan RA.
c. Penelitian yang lain
Bagi peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian ini, karena
begitu banyak faktor-faktor penyebab kekambuhan RA yang
lainnya sehingga dapat dieksplor kembali baik dari segi faktor
fisiologis maupun psikologis dan dapat dihubungkan antara satu
faktor dengan faktor lainnya, ataupun dilanjutkan dengan penelitian
faktor penyebab redanya penyakit RA.
DAFTAR PUSTAKA
Anisman, H. (2015). Stress and Your Health From Vulnerability to Resilience.
United Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd
Arthritis Care Scotland. (2016). Arthritis and Work: Result of A Survey in
Scotland. University of Glasgow, United Kingdom.
18
Budiarto, Eko & Dewi Anggraeni.(2012). Pengantar Epidemiologi.Ed. 2. Jakarta:
EGC
Colebatch, A. N., & Edwards, C. J. (2011). The influence of early life factors on
the risk of developing rheumatoid arthritis. Clinical and Experimental
Immunology, 163(1)
Daniel, F., Patrick, D., David, A., Mcwilliams, D. F., Varughese, S., Young,
A.,Walsh, D. A. (2013). Work disability and state benefit claims in early
rheumatoid arthritis : the ERAN cohort . Rheumatology , Original article
Work disability and state benefit claims in early rheumatoid arthritis : the
ERAN cohort, 53, 473–481.
Davis, J. M., & Matteson, E. L. (2012).My Treatment Approach to Rheumatoid
Arthritis. Mayo Clinic Proceedings, 87(7), 659–673.
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. (2017). Penderita Rheumatoid Arthritis.
Di Giuseppe, D., Orsini, N., Alfredsson, L., Askling, J., & Wolk, A.
(2013).Cigarette smoking and smoking cessation in relation to risk of
rheumatoid arthritis in women.Arthritis Research & Therapy, 15(2), R56.
Fink, G. (2010). Stress Consequences: Mental, Neuropsychological and
Socioeconomic. United Kingdom: Elsevier Inc
Frisell, T. , Holmqvist, M. , Källberg, H. , Klareskog, L. , Alfredsson, L. and
Askling, J. (2013), Familial Risks and Heritability of Rheumatoid Arthritis:
Role of Rheumatoid Factor/Anti–Citrullinated Protein Antibody Status,
Number and Type of Affected Relatives, Sex, and Age. Arthritis &
Rheumatism, 65: 2773-2782.
Giuseppe, D.D., Crippa, A., Orsini, N., & Wolk, A. (2014). Fish consumption and
risk of rheumatoid arthritis: a dose-response meta-analysis. Arthritis research
& therapy.
Hamdi, A. A dan Bahrudin. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi Dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish
Hazes, J. M. W., Coulie, P. G., Geenen, V., Vermeire, S., Carbonnel, F., Louis,
E., … De Keyser, F. (2011). Rheumatoid arthritis and pregnancy: evolution
of disease activity and pathophysiological considerations for drug use.
Rheumatology (Oxford, England), 50(11), 1955–1968.
Hembing, M. W.(2006). Atasi Rematik dan Asam Urat Ala Hembing. Jakarta:
Puspa Swara
He, J., Wang, Y., Feng, M., Zhang, X., Jin, Y.-B., Li, X., … Li, Z.-G. (2016).
Dietary intake and risk of rheumatoid arthritis—a cross section multicenter
study. Clinical Rheumatology, 35(12), 2901–2908.
Hochberg, M.,Alan J. S., Josef S., Michael W.,&Michael W. (2014).
Rheumatology, 2-Volume Set 6th Edition. Elsevier Health Sciences, Jun 24,
2014- 1976 pages
Horwitz, R., &Daniel M. (2010).Integrative Rheumatology. New York: Oxford
University Press inc
Hu, Y., Costenbader, K. H., Gao, X., Hu, F. B., Karlson, E. W., & Lu, B. (2015).
Mediterranean diet and incidence of rheumatoid arthritis in women. Arthritis
Care & Research, 67(5), 597–606.
19
Ingegnoli, F., Castelli, R., & Gualtierotti, R. (2013). Rheumatoid Factors: Clinical
Applications. Disease Markers, 35(6), 727–734.
Institute Universitaire En Sante Mental De Montreal. 2010-2017. Center For
Studies On Human Stress. Francais. http://www.humanstress.ca/about-
cshs.html
Irwin, M. R., Olmstead, R., Carrillo, C., Sadeghi, N., FitzGerald, J. D.,
Ranganath, V. K., & Nicassio, P. M. (2012). Sleep Loss Exacerbates Fatigue,
Depression, and Pain in Rheumatoid Arthritis. Sleep, 35(4), 537–543.
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Badan Litbangkes, Depkes RI, 2013
Kimura, A.., & Kishimoto, T. (2010), IL‐6: Regulator of Treg/Th17 balance. Eur.
J. Immunol., 40: 1830-1835.
Lacan, Jacques. (2016). Person of The Month. The International Journal Of Indian
Psychology, Volume: 3 Issue: 4 No. 60
Margaretten, M., Julian, L., Katz, P., & Yelin, E. (2011). Depression in patients
with rheumatoid arthritis: description, causes and mechanisms. International
Journal of Clinical Rheumatology, 6(6), 617–623.
Mayasari, D., & Pratiwi, A. (2009). Hubungan respon imun dan stres dengan
tingkat kekambuhan demam tifoid pada masyarakat di wilayah Puskesmas
Colomadu Karanganyar.
Reese JB., Somers TJ., Keefe FJ., Mosley-Williams A., &Lumley MA. (2010).
Pain and functioning of rheumatoid arthritis patients based on marital status:
is a distressed marriage preferable to no marriage? Journal of Pain. 11, 10,
958-964.
Ryan, S. (2014). Psychological effects of living with rheumatoid arthritis. Nursing
Standard, 29(13), 52-59. doi: 10.7748/ns.29.13.52.e9484
Silva BN., Araujo IL., Queiroz PM., Duarte AL., &Burgos MG. (2014). Intake of
antioxidants in patients with rheumatoid arthritis. Revista da Associação
Médica Brasileira 60:555-559
Steenbergen van HW., T. W. J. Huizinga A. H., M. van der Helm-van Mil.(2013).
Review: The Preclinical Phase of Rheumatoid Arthritis: What Is
Acknowledged and What Needs to be Assessed?. Arthritis & Rheumatism,
vol. 65 issue 9 (2013) pp: 2219-2232
Sturgeon, J. A., Finan, P. H., & Zautra, A. J. (2016). Affective disturbance in
rheumatoid arthritis: psychological and disease-related pathways. Nature
Reviews. Rheumatology, 12(9), 532–542.
Tillmann, T., Krishnadas, R., Cavanagh, J., & Petrides, K. (2013). Possible
rheumatoid arthritis subtypes in terms of rheumatoid factor, depression,
diagnostic delay and emotional expression: an exploratory case-control
study. Arthritis Research & Therapy, 15(2), R45.
Vine, M., Vander, S. A., Bell, J., Rhew, I. C., Gudmundsen, G., & McCauley, E.
(2012). Associations Between Household and Neighborhood Income and
Anxiety Symptoms in Young Adolescents. Depression and Anxiety, 29(9),
824–832.
20
Warianto, C. (2011). Kolestrol. Diperoleh 13 Mei 2018, dari
http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/kolesterol_ChaidarWarianto_32.pdf
WHO.(2016). Chronic Disease and Health Promotion..Diperoleh 4 Januari 2017,
dari http://www.who.int/chp/topics/rheumatic/en/
Xu, B., & Lin, J. (2017). Characteristics and risk factors of rheumatoid arthritis in
the United States: an NHANES analysis. PeerJ, 5, e4035.
Yarwood, A., Huizinga, T. W. J., & Worthington, J. (2016). The genetics of
rheumatoid arthritis: risk and protection in different stages of the evolution of
RA. Rheumatology (Oxford, England), 55(2), 199–209.
Yılmaz, V., Umay, E., Gündoğdu, İ., Karaahmet, Z. Ö., & Öztürk, A. E. (2017).
Rheumatoid Arthritis: Are psychological factors effective in disease flare?
European Journal of Rheumatology, 4(2), 127–132.
Top Related