Minggu, 14 Oktober 2012 Headlines:
DEKONSTRUKSI DERRIDA DAN PENGARUHNYA PADA KAJIAN BUDAYA Ditulis oleh Teguh
Minggu, 24 April 2011 01:03
Dekonstruksi cenderung dilihat sebagai sesuatu yang antiteori dan antimetode. Karena kecenderungan yang antiteori dan antimetode
itu, ia mendapat tanggapan yang serius dari berbagai kalangan (ilmuwan), terutama kaum positivis dan kaum modernis. Mereka
keberatan dengan dekonstruksi, karena ia cenderung relativis atau bahkan nihilistik terhadap diskursus, sehingga ia dikatakan sebagai
intellectual gimmick, yang berarti ‘tipu muslihat intelektual’, yang tidak berisi apa-apa selain permainan kata-kata. Dekonstruksi juga
dikatakan merupakan tantangan terhadap arus filsafat analitik dan sains. Bahkan, untuk dekonstruksinya itu, gelar doktor honoris causa
yang diperoleh Derrida dari Universitas Cambridge pernah diprotes oleh dua belas intelektual Amerika pada tahun 1992 (lihat Al-Fayyadl,
2006: 8-9).
Meskipun begitu, yang jelas, dekonstruksi merupakan satu arus pemikiran yang besar, yang menandai munculnya pos-strukturalisme
dan modernisme. Dengan tanpa bermaksud mengabaikan tokoh pos-strukturalis lainnya, seperti Bataille, Deleuze, Foucault, dan
Levinas (lihat Lechte, 2007: 153-190), pembicaraan tentang pos-struturalisme tidak akan berarti tanpa dekonstruksi Derrida. Bahkan,
pos-strukturalisme itu sendiri sudah identik dengan dekonstruksi, atau sebaliknya, dekonstruksi identik dengan pos-strukturalisme.
Sejak munculnya hingga sekarang, dekonstruksi sebagai sebuah metode pembacaan teks mempunyai pengaruh yang besar pada
kajian budaya. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mencoba melihat dan menjelaskan dekonstruksi Derrida itu dan pengaruhnya pada
kajian budaya.
Sekilas tentang Derrida
Derrida yang mempunyai nama lengkap Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil, pada 15
Juli 1930. Pada 1949, Derrida pindah ke Prancis untuk melanjutkan sekolah. Pada 1952, Derrida resmi belajar di École Normal Supériuere, sekolah elite yang dikelola
oleh Michel Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf garda depan Prancis. Namun, pada 1957-1959, dia kembali ke Aljazair untuk memenuhi kewajiban militernya
dengan mengajar bahasa Prancis dan Inggris untuk anak-anak tentara di sana. Setelah dua tahun di Aljazair, Derrida kembali ke Prancis pada 1959. Selain di École
Normal Supériuere, dia menyempatkan diri belajar di Husserl Archive, yakni salah satu pusat kajian fenomenologi di Louvain, Prancis.
Setelah meraih gelar kesarjanaannya yang pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl Archive. Pada 1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne.
Empat tahun kemudian, sejak 1964 sampai dengan 1984, Derrida mengajar di École Normal Supériuere. Pada akhir tahun 1965, dia mulai memperoleh perhatian publik
melalui dua artikelnya yang membahas buku-buku tentang sejarah dan bentuk penulisan yang dimuat dalam jurnal Critique. Pada 1966, dia menyampaikan sebuah
ceramah legendaris di Universitas John Hopkins, dengan judul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences”.
Tahun 1967, Derrida mulai dikenal sebagai tokoh penting dalam pemikiran Prancis melalui dua karyanya, yakni: Pertama, La Voix et le Phenomene, diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris menjadi Speech and Phenomena (1973) oleh David Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis gagasan Husserl tentang tanda. Kedua, De la
Gramatologie, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh Gayatri Spivak. Masih pada tahun yang sama, dia juga
menerbitkan L’ecriture et la Difference, yang kemudian diterjemahkan oleh Allan Bas menjadi Writing and Difference (1978).
Karyanya yang tersebut kedua ditujukan, terutama bagi karangan Rousseau, berjudul Essay on the Origin of Language, yang dianalisisnya dari sudut sejarah pemikiran
tentang tanda. Dalam Of Gramatology ini, Derrida memulai sebuah proyek filsafat yang berbasis pada tulisan, sebagai perlawanan terhadap dominasi logosentrisme
dalam metafisika Barat. Selain itu, karya ini juga mengkritik paradigma strukturalisme yang berasal dari Ferdinand de Saussure, yang mementingkan bahasa lisan di atas
bahasa tulis, sinkroni di atas diakroni. Karya ini mengangkat tulisan sebagai bahasa yang man
diri dan memenuhi dirinya sendiri. Karya ini mendekonstruksi pementingan pada konsep dan melawannya dengan menunjukkan, bahwa historisitas harus menjadi
bagian dari analisis struktural. Sebagaimana diakuinya dan tampak dalam tulisan-tulisannya, pemikiran Derrida dipengaruhi oleh pemikiran Heidegger, Nietzsche, Adorno,
Levinas, Husserl, Freud, dan de Saussure.
Kemudian, pada 1980, Derrida memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul “The Time of a Thesis: Punctuations”. Pada 1986, dia resmi diangkat sebagai guru
besar humaniora di Universitas California, Irvine. Hingga kini, universitas ini tercatat sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang memiliki koleksi lengkap tulisan-tulisan
Derrida, terutama arsip-arsip yang belum dipublikasikan. Atas berbagai karyanya, kemudian, Derrida menerima bermacam penghargaan. Gelar doktor kehormatan
diterimanya dari Universitas Cambridge, Universitas Columbia, the New School for Sosial Research, Universitas Essex, Universitas Louvain, dan William College.
Kemudian, dia dikukuhkan sebagai anggota honorer American Academy of Arts and Science. Pada 2001, dia menerima Anugrah Adorno (Adorno-Preis) yang sangat
prestisius di Jerman. Namun, pada 2003, dia harus menerima kenyataan, menderita kanker hati. Akhirnya, pada 9 Oktober 2004, Derrida meninggal dunia tersebab kanker
hati yang dideritanya itu.
Apa Itu Dekonstruksi?
Menurut Derrida, pemaknaan merupakan suatu proses dengan cara membongkar dan menganalisis secara kritis hal yang dimaknai. Proses pemahaman makna tidak
hanya karena ada proses oposisi atau diferensiasi (difference), tetapi karena ada proses ‘penundaan’ hubungan antara penanda dan petanda untuk menemukan makna
yang baru. Proses penundaan hubungan inilah yang disebut Derrida sebagai proses dekonstruksi.
Dekonstruksi dipahami sebagai sebuah metode pembacaan untuk memahami sebuah teks secara lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam
dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, Barbara Johnson mengatakan, bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Dekonstruksi dimaksudkan sebagai
strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan dekonstruksi adalah mengungkap
oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Dengan demikian, dekonstruksi atau pembacaan dekonstruktif tidak menghancurkan makna sebuah teks, tetapi
Sriwijaya Air Salah Mendarat
BERANDA
BERITA
ARTIKEL
MINGGUAN
ARSIP
E-PAPER
TENTANG KAMI
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3920:dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya-pada-kajian-budaya&catid=41:kultur&Itemid=155Page 1 / 3
menghancurkan klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar daripada pemaknaan lain yang berbeda.
Bermula dari pembacaan dekonstruktif Derrida terhadap teks-teks filsafat dan juga sastra, dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung
bulat (univokal). Menurut Derrida, setiap satuan bahasa, penanda selalu mengisyaratkan permainan bipolar di antara berbagai hal yang sebetulnya ambivalen dan terlalu
kompleks untuk disederhanakan ke dalam satu bentuk penanda. Oleh karena itu, Derrida menyatakan, bahwa pembacaan selalu diarahkan pada hubungan tertentu, yang
tidak diterima oleh penulis, antara apa yang dituntut dan apa yang tidak dituntut dari pola-pola bahasa yang digunakannya.
Makna yang univokal itu merupakan makna yang diinginkan oleh teks atau yang dengan sengaja dimunculkan secara jelas oleh hubungan logis dari teks itu (dominan).
Namun, pembacaan dekonstruktif akan menghasilkan suatu makna tersembunyi atau yang tidak dikatakan oleh teks, yang tidak selalu sejalan dengan makna yang
dominan itu. Makna itu merupakan makna sekunder yang disepelekan. Makna itu dihasilkan dari paradoks-paradoks yang ambigu, yang melemahkan pembacaan yang
dominan itu. Logika permainan yang dibentuk oleh pembacaan dekonstruktif menunjukkan, bahwa sebuah teks dapat saja menyangkal sesuatu yang ditegaskannya,
meskipun sering dalam bentuk implisit dan samar. Dengan demikian, pembacaan dekonstruktif menghasilkan makna yang majemuk (polivokal). Dalam pembacaan
dekonstruktif, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja (lihat Al-Fayyadl, 2006: 80-82).
Dengan bertolak dari konsep de Saussure tentang penanda-petanda, dekonstruksi memandang relasi atau hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat statis,
tetapi dapat ‘ditunda’ untuk memperoleh hubungan yang baru. Makna suatu tanda diperoleh tidak berdasarkan pembedaan antartanda, melainkan dapat berubah-ubah
sesuai kehendak pemakai tanda (dinamis) melalui differance. Differance adalah sebuah neologi yang diciptakan Derrida yang menggambarkan sifat dasar yang terbagi,
yang berarti menangguhkan sekaligus membedakan. Pengertian ganda pada kata differance ini disebabkan oleh ambivalensi huruf a dalam differ(a)nce, yang memiliki
dua makna, yakni ‘membedakan’ atau ‘menjadi berbeda’ (to differ) dan ‘menunda’ (to defer). Huruf a, sekaligus, menggabungkan dua makna tersebut dalam satu kata.
Penggantian huruf e dengan a pada kata differ(e)nce menunjukkan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambigu bahasa. Makna yang senantiasa ditangguhkan tidak
pernah hadir secara lengkap, senantiasa tidak ada dan ada (lebih jauh lihat Al-Fayyadl, 2006: 109-112).
Penundaan oleh Derrida bersifat melingkar, dalam prinsip, bahwa ‘penundaan’ itu berlangsung secara tidak terhingga. Makna substansial, pada hakikatnya, tidak ada,
dalam arti, tidak berakar pada dunia empiris yang berada di luar tanda. Makna yang pasti, baru terwujud dalam kaitan dengan suatu wacana tertentu dan makna itu akan
mengalami perubahan atau mempunyai nilai berlainan dalam konteks wacana yang berbeda (lebih jauh, lihat Storey, 2008).
Hubungan antara penanda-petanda melingkar terus tanpa berhenti pada realitas yang kongkret. Penanda-petanda tidak mempunyai realitas yang kongkret, karena
merupakan unit-unit mental. Penanda tidak menghasilkan petanda, tetapi memproduksi lebih banyak penanda. Makna sebuah kata di kamus, misalnya, menggambarkan
penundaan makna yang tiada tara, karena satu penanda menghasilkan sebuah petanda, yang pada gilirannya menjadi penanda lainnya. Hanya dalam sebuah wacana
dan dibaca dalam sebuah kontekslah terdapat perhentian sementara bagi permainan penanda ke penanda yang tiada akhir. Bahkan, wacana dan konteks tidak dapat
sepenuhnya mengontrol makna.
Untuk memperjelas hal itu, dengan meminjam contoh yang diberikan Masinambow (2004: 26), kata sepak, misalnya, merupakan penanda, yang merujuk pada kata atau
bermakna ‘tendang’ (petanda). Namun, kata ‘tendang’ kembali menjadi penanda, yang merujuk pada kata atau bermakna ‘terjang’ (petanda). Seterusnya, kata terjang
kembali menjadi penanda, yang kembali merujuk atau bermakna sepak (petanda). Dengan demikian, hubungan antara penanda-petanda itu melingkar terus, tanpa
berhenti pada realitas yang kongkret. (Bersambung Minggu Depan)
ZURIATI
(Kandidat Doktor Ilmu Budaya di UI)
COMMENTS (3)
Derrida
written by , Juli 05, 2012
sy masih belum begitu jelas ttg konsep derrida, apalagi penarapannya dalam keseharian, jd mohon penjelasannya?
...
written by , Pebruari 11, 2012
masih bingun nih arti dari konsep derridda,,, tp gmana ych klw kita mw menghubungkannya dalam aspek pendidikan kita sekarang,,, but thanks a lot..
Maaf ijin copy buat referensi
post strukturalis
written by , Juni 07, 2011
dari dulu aku masih belum mudeng dengan post strukturalis ini, bisa jelaskan maksud kata-kata kuncinya, trus penerapannya terhadap sebuah tex. tarohlah
teks itu adalah sebuah ayat al quran
WRITE COMMENT
Name
Set as favorite Bookmark Email thisHits: 1737
+0
+0
+0
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3920:dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya-pada-kajian-budaya&catid=41:kultur&Itemid=155Page 2 / 3
Title
Comment
smaller | bigger
Please enable JavaScript to post a new comment
Newer news items:
l 15/05/2011 01:44 - Sastra dan Agama
l 08/05/2011 01:19 - Bandit-bandit di Minangkabau Masa Kolonial
l 08/05/2011 01:18 - Nasib Kesenian Tradisional
l 01/05/2011 01:24 - Bahasa Indonesia Ala Padang
l 01/05/2011 01:22 - Dekonstruksi Derrida dan Pengaruhnya pada Kajian …
Older news items:
l 24/04/2011 01:02 - Antara Sastra dan Teknologisasi
l 17/04/2011 01:38 - Chairil Anwar, Sang Pelopor Antara Biografis dan R…
l 17/04/2011 01:37 - Melukis Kekecewaan dalam “Melukis Gonjong”
l 10/04/2011 01:02 - Kaitan Antara Teks dan Relasi Kuasa
l 10/04/2011 01:00 - Arsip dan Bahaya Desintegrasi Bangsa
<< Previous page Next page >>
55
66
Add Comment Preview
Haluan.com@2010
All Rights Reserved
Haluan Kepri Haluan Riau Haluan BASKO MEDIA GRUP
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3920:dekonstruksi-derrida-dan-pengaruhnya-pada-kajian-budaya&catid=41:kultur&Itemid=155Page 3 / 3
Top Related