DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP SATWA LIAR 1)
Oleh : Firmansyah Kuz 2)
A. PENDAHULUAN
Dampak atau pengaruh kebakaran hutan terhadap satwaliar diperkirakan banyak
orang adalah dari mulai sangat dramatis sampai berpengaruh positif. Misalnya dampak
kebakaran terhadap banyak herbivora dikatakan sebagai justru akan memberikan jumlah
makanan yang lebih banyak bagi kelompok ini, sehingga populasi satwa pemakan daun
ini di hutan-hutan bekas kebakaran meningkat. Dampak api terhadap satwaliar dengan
daerah jelajah yang kecil atau kemampuan mobilitasnya yang rendah, dikatakan banyak
terpengaruh. Kalau mereka tidak dapat pindah ke tempat yang lebih baik, tentu mereka
akan mengalami kematian. Namun demikian, untuk daerah kita sendiri tidak terdapat
banyak data tentang hal itu. Padahal kejadian kebakaran hutan di Indonesia, khususnya
di Kalimantan Barat sudah hampir berlangsung secara rutin.
Tulisan ini akan menyampaikan sedikit ulasan tentang bagaimana populasi
satwa akan berubah seiring dengan perubahan perilaku, khususnya perilaku makan
dengan adanya perusakan habitat akibat amukan sijago merah ini. Dengan bekal sedikit
data dari penelitian sendiri, khususnya pengaruh daripada pemanenan hutan terhadap
keanekaragaman jenis burung, disampaikan analisa akibat api sebagai perusak habitat
kedua yang biasanya datang setelah pemanenan hutan. Data dari kebakaran tahun
1982/1983 menyebutkan bahwa 80% areal yang terbakar adalah hutan-hutan bukan
tebangan (Lennertz & Panzer 1983). Begitu juga areal yang terbakar pada tahun-tahun
setelah itu, adalah sebagian besar areal yang sama dengan areal kebakaran sebelumnya.
Selain itu juga disampaikan beberapa hasil penelitian dari data setelah kebakaran tahun
1997 dari beberapa peneliti lainnya.
1). Disampaikan pada Pelatihan Fire Suppression and Environmental Management yang diselenggarakan oleh PPLH UNTAN bekerjasama dengan Bapedal Pusat, Pontianak : 26 April - 8 Mei 1999;
2). Program Manager – Bornean Orangutan Conservation Program’s – BOCP’s -Yayasan Cassia Lestari - Pontianak Kalimantan Barat
B. PERUSAKAN HABITAT SATWA
Tersedianya makanan adalah hal utama untuk kehadiran satwa di dalam hutan.
Banyak peneliti percaya bahwa kualitas daripada makanan adalah merupakan faktor
pembatas bagi banyak Herbivore (Klein 1970, Moss 1967, Schultz 1969, Watson &
Moss 1972 dalam Kozlowski 1974). Dari data kebakaran tahun 1982/1983, Mark
Leighton mencatat sekitar 52% tanaman buah-buahan yang menjadi makanan burung
Enggang mati dimakan api, 44% tanaman buah makanan primata mati, begitu juga 84%
Ficus besar, 100% Ficus pemanjat adalah mati, begitu juga halnya dengan semua liana.
Tabel berikut memperlihatkan kondisi dari pohon buah yang besar untuk masing-
masing jenis satwa yang memanfaatkannya (Leighton 1985).
Tabel 1. Kondisi Pohon Buah yang Besar Setelah Kebakaran Hutan untuk Masing-masing Jenis Satwa yang Memanfaatkannya
Jenis SatwaTajuk padat
Tajuk tipis
Tajuk matiHanya cabang/batang pohon
Jumlah contoh
Burung 24% 18% 30% 28% 103Primata 45% 12% 29% 14% 56Kelelawar 36% 14% 36% 13% 55
Selain itu kebakaran hutan menjadikan perubahan yang begitu banyak terhadap
iklim mikro, sehingga menjadikannya tempat yang tidak lagi cocok untuk banyak jenis
binatang. Kehilangan vegetasi setelah kebakaran menjadikan hutan terbuka, sehingga
memudahkan predator mendapatkan mangsanya. Kehilangan vegetasi penutup (escape
cover) sejalan juga dengan kehilangan makanan satwa.
C. PENGARUH KEBAKARAN TERHADAP MAMMALIA
Primata memberikan respon terhadap perubahan habitat akibat kebakaran hutan
dengan banyaknya mereka ditemukan di lantai hutan dan memilih jenis makanan
tertentu di hutan primer atau mengkonsumsi dalam jumlah besar daun-daun yang belum
matang dan insekta.
Produksi buah pada hutan bekas terbakar adalah rendah, sehingga orangutan
sangat tergantung kepada kulit-kulit pohon dan dedaunan muda, pucuk dan tunas-tunas
muda (Suzuki 1988). Disamping kompleksnya perubahan ekologi yang terjadi setelah
kebakaran hutan, Serangga penggerek kayu (wood boring insect) menaik populasinya
dimana jenis-jenis Macaca (Beruk) dan Gibbon (Uwa-uwa) mengambil keuntungan
daripadanya.
Jika musim kering telah datang dan kebakaran hutan terjadi, mungkin terjadi
perubahan dalam banyak hal terutama populasi, perilaku ataupun aktivitas. Adalah
sesuatu yang menarik setelah kebakaran hutan, banyak jenis primata khususnya
orangutan dan monyet yang memakan nyamuk ataupun jenis makanan lainnya yang
sebelumnya mereka tidak pernah memakannya. Dari penelitian Susilo (1986) terlihat
bahwa makanan orang utan pada hutan bekas kebakaran masih cukup tersedia. Tidak
ada perubahan yang signifikan dalam lamanya waktu makan, perjalanan dan istirahat
setelah kebakaran. Tabel berikut ini memperlihatkan bagaimana keadaan sebelum dan
setelah kebakaran untuk beberapa perilaku daripada Orang utan.
Tabel 2. Perilaku Orang Utan Sebelum dan Setelah Kebakaran Hutan (%)
Sebelum Kebakaran Hutan Setelah Kebakaran HutanPeneliti Rodman (1977) Galdikas (1980) A.Susilo (1986)Lokasi ? T. Puting Mentoko PrefabWaktu 5.30-18.30 ? 6.00-19.00 6.00-19.00Feeding 45,9 60,1 48,6 32,2Travel 14,1 8,7 9,5 11,3Resting 39,2 31,2 41,9 56,5
Setelah kebakaran hutan, aktivitas istirahat (resting) dari pada orang utan terlihat
meningkat. Hal ini mungkin disebabkan lingkungan sumberdaya makanan, sehingga
penghematan energi untuk bergerak harus mereka lakukan.
Orang Utan adalah pemakan buah (Rodman 1977 dan Susilo 1986). Hal ini
dibuktikan bahwa 61% dari waktu makannya digunakan untuk memakan buah
(Galdikas 1980). Tabel berikut memperlihatkan kondisi makanan Orangutan sebelum
dan setelah kebakaran hutan berlangsung.
Tabel 3. Konsumsi Makanan Orang Utan Sebelum dan Setelah Kebakaran Hutan (%)
J e n i sSebelum Api Setelah Api
Rodman(1978)
Suzuki(1985)
A. Susilo (1986)Terbakar Tidak terbakar
Buah 75 10 56 67,1Daun 15 30 7,0 8,1Kulit Kayu - 50 35,9 24,8Herba - 10 - -Serangga - - 0,3 -Lainnya 10 - 0,8 -
Setelah kebakaran hutan, buah tetap saja merupakan komoditi makanan utama
daripada orang utan. Hanya saja konsumsi terhadap kulit kayu terlihat cukup tinggi
persentasinya pada hutan yang terbakar.
Persediaan buah di hutan bekas kebakaran adalah sangat rendah (Suzuki 1985).
Bahkan dikhabarkan bahwa Orangutan sudah menjadi hama untuk tegakan Acacia
mangium di HTI Batuampar dan hal ini terulang lagi sekarang ini di HTI Sumalindo
pada tahun 1999.
Bagian dari kambium kayu banyak mengandung air yang dibutuhkan oleh
binatang. Di hutan alam orangutan juga mencari pohon Jabon (Anthocephalus
cadamba) atau Trema untuk memakan kambiumnya. Di daerah Sangata ditemukan
beberapa dari mereka bersarang pada pohon Jabon, yang mana hal tersebut belum
pernah terjadi sebelumnya.
Jumlah Orang Utan di Kutai adalah sekitar 30 individu per 30 Km2 yang
terdapat disebelah selatan sungai Sangata, sedangkan Suzuki mengatakan kepadatan
Orangutan adalah 1,8 ekor per Km2 (Suzuki 1988).
Hasil penelitian Susilo dan Tangketasik pada tahun 1988 di Taman Nasional
Kutai menyebutkan bahwa bangsa monyet (Macaca fascicularis) berhasil
menyesuaikan diri pada kondisi baru setelah kebakaran hutan dengan mengubah pola
makan dan memperluas ruang pengembaraan. Namun suatu kebiasaan yang tidak wajar
dalam menu makanan mereka adalah adanya pemanfaatan beberapa jenis
Dipterocarpaceae.
Kelompok Macaca sering disebut-sebut sebagai kelompok satwa yang berhasil
beradaptasi dengan perubahan habitat akibat kebakaran hutan. Kemampuan itu
disebabkan kemampuan Macaca untuk melakukan perubahan dalam kebiasaan
makanannya dan memperluas daerah jelajahnya (homerange). Perubahan habitat diatasi
dengan melakukan perjalanan di atas tanah secara ekstensif, perjalanan harian yang
ketat dan pergantian menu makanan primer dari buah-buahan kepada dedaunan masak
dan banyak serangga.
Empat bulan sebelum kebakaran Macaca mengkonsumsi 61 jenis pohon buah
dan bunga dari 18 jenis tanaman. Empat bulan setelah kebakaran konsumsi makanan
Macaca bervariasi menjadi 31 jenis buah dan bunga dari 8 jenis tanaman. Macaca
merubah kebiasaan makanananya di Kutai kepada buah muda dan jenis Dipterocarpus
confertus, D. lanceolata, D. validus, Dipterocarpus sp, Shorea johorensis, S.
palembanica dan jenis lainnya.
Tabel 4. Kematian Pohon Makanan Primata
Jenis Famili % KematianAlangium (3 jenis) Alangiaceae 60Dracontomelon Anacardiaceae 25Koordersiodendron pinnatum Anacardiaceae 22Beberapa genus Annonaceae 44Fissitigma, Uvaria (liana) Annonaceae 94Eriocybe (liana) Convolvulaceae 100Diospyros sp Ebenaceae 20Drypetes (3 jenis) Euphorbiaceae 88Baccaurea (5 jenis) Euphorbiaceae 67Phytocrene racemosa Icacinaceae 100Aglaia, Reinwardtiodendron Meliaceae 50Tetrastigma sp Vitaceae 90Jenis lainnya Beberapa 55Liana lainnya 100Semua pohon buah primata 44Semua liana primata 97
Adalah merupakan hubungan yang tidak sederhana antara efek kebakaran
dengan sisa nutrient pada tanaman yang mungkin masih dapat digunakan oleh satwa.
Level daripada nutrient tumbuhan setelah kebakaran mungkin tidak berubah, berubah
atau menurun, tergantung kepada musim, tanah, cuaca, bahan bakar alami dan api serta
banyak faktor lain (Wagle & Kitchen 1972 dalam Kozlowski 1974).
Banyak babi hutan mati pada saat terjadi kebakaran. Kebakaran membuat
mereka panik dan bisa saja terjadi mereka lari tidak tentu arah dan bahkan meloncat ke
dalam api yang sedang menyala. Namun setelah kebakaran banyak informasi
mengatakan, bahwa populasi babi hutan kembali banyak, seperti juga yang dilaporkan
Doi (1988) di Taman Nasional Kutai. Sedangkan jenis Banteng (Bos javanicus)
dilaporkan oleh Wirawan dalam Kompas 26 Juni 1984, kembali hadir setelah kebakaran
hutan dengan memanfaatkan kulit kayu dan tunas-tunas muda yang baru tumbuh.
Begitu juga dengan Payau (Cervus unicolor) dan Kijang (Muntiacus muntjak)
meningkat populasinya setelah kebakaran hutan, karena lantai hutan dipenuhi oleh
tanaman bawah dan banyak jenis yang merupakan makanan satwa ini (Leighton 1983).
Pada beberapa tempat pada waktu itu, dilaporkan bahkan populasi Payau sempat
menjadi hama di tegakan Acacia mangium, Hutan Tanaman Industri Batuampar.
Beberapa pekerja hutan menginformasikan bahwa Kancil (Tragulus sp) yang cerdik
sekalipun tidak luput dari kebakaran hutan.
Beruang madu (Helarctos malayanus) adalah salah satu spesies beruang terkecil
yang memiliki tinggi 1,4 Meter dan berat antara 50-65 kg. Walaupun termasuk
kelompok Carnivore, jenis ini sebenarnya lebih bersifat Omnivore, memakan buah,
telur burung, serangga dan madu. Kebakaran hutan telah memiskinkan persediaan
makanan di dalam hutan, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi jenis ini. Dua
spesies tupai hilang setelah kebakaran hutan di Taman Nasional Kutai. Tiga species
yang tersisa dari lima jenis sebelum kebakaran adalah Ratufa affinis, Callosciurus
prevostii dan C. notatus ditemukan aktif melakukan perjalanan untuk mencari makan
di hutan bekas terbakar (Leighton 1983).
Kelelawar adalah jenis mammalia yang memiliki kemampuan terbang dengan
mobilitas yang tinggi. Pengaruh kebakaran terhadap satwa ini dapat dilihat dari
kematian pohon buah yang menjadi makanan mereka, seperti disampaikan pada tabel di
bawah ini (Leighton 1983)
Tabel 5. Kematian Pohon Buah Makanan Kelelawar
Jenis pohon Famili % KematianDillenia reticulata Bombacaceae 6Dillenia (3 jenis) Bombacaceae 11Syzygium tawahense Myrtaceae 14Various genera Sapotaceae 67Irvingia malayana Simaroubaceae 0Jenis lainnya Beberapa famili 22Semua buah makanan Kelelawar Beberapa famili 26
D. PENGARUH KEBAKARAN TERHADAP AVIFAUNA
Suatu hasil penelitian menyebutkan bahwa sebagian besar burung-burung tetap
diam ditempatnya setelah kebakaran (136 jenis sebelum kebakaran, 146 jenis setelah
kebakaran) dan sedikit jenis yang hilang dan hanya sedikit jenis baru yang datang.
Sebagian besar populasi burung adalah tidak berubah kepadatannya setelah kebakaran
(50%), yang bertambah sekitar 35% yang populasinya relatif menurun 15%. Begitu
juga kecenderungan pada populasi mammalia, 80% adalah tidak berubah seperti halnya
pada burung.
Burung adalah kelompok satwa yang dapat beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan sebagian besarnya. Namun demikian beberapa diantaranya justru sangat
peka dengan adanya perubahan lingkungan yang sedikit saja. Itulah sebabnya burung
dapat digunakan sebagai indikator biologi tentang adanya perubahan lingkungan.
Kebakaran hutan menyebabkan penurunan populasi dari banyak species Enggang
(Hornbills). Mark Leighton (1983) mencatat, bahwa 7 jenis Enggang meninggalkan
daerah teritorinya pada saat kebakaran terjadi. Perusakan habitat yang berupa hilangnya
beberapa pohon buah makanan burung Enggang, diperlihatkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 6. Kematian Daripada Pohon Buah Makanan Burung
Jenis atau Genus Famili % KematianDurio sp Bombacaceae 40Neoscorthechinia forsbii Euphorbiaceae 50Aglaia (3 jenis) Meliaceae 78Chisocheton granatus Meliaceae 67Jenis Chisocheton lainnya Meliaceae 43Dysoxylum (7 jenis) Lauraceae 57Myristica, Horsfieldia, Knema Myristicaceae 47Cananga odorata Annonaceae 60Friesodelsia sp (liana) Annonaceae 100Polyalthia sumatrana Annonaceae 53Xylopia malayana Annonaceae 50Dacryodes, santiria Burseraceae 38
Tabel 6. Kematian Daripada Pohon Buah Makanan Burung (lanjutan)
Jenis atau Genus Famili % KematianBeberapa genus liana Connaraceae 100Myranthes corymbosa Chrysobalanaceae 0Macaranga Euphorbiaceae 73Gnetum cuspidatum Gnetaceae 100Litsea (15 jenis) Lauraceae 53Nothaphoebe sp Lauraceae 73Banyak genera Lauraceae 65Elmerrilia mollis Magnoliaceae 25Baccaurea Euphorbiaceae 71Banyak genus Rubiaceae 20Pohon lainnya Variasi 38Liana Variasi 83
Sekitar 52% makanan khas burung Enggang adalah mati setelah kebakaran
hutan. Makanan Enggang yang penting seperti dari famili Meliaceae dan Lauraceae
juga rusak dan mati sekitar 62% dan 57%. Buah makanan burung yang kaya akan
daging buah adalah makanan utama dua species burung pergam Ducula dan Ptilonopus,
enam jenis Barbet, dan jenis Tiong (Gracula religiosa) dan Burung daun hijau
(Calyptomena viridis). Hanya jenis Myranthes corymbusa yang dapat bertahan setelah
kebakaran yang mana jenis ini sangat penting sebagai makanan jenis enggang nomadik
Rhyticeros undulatus.
Hasil penelitian Boer (1999) memperlihatkan bahwa beberapa jenis burung
bawah tajuk dapat bertahan hidup setelah kebakaran hutan. Beberapa dari mereka yang
ditangkap dengan menggunakan jala (mist net) pada sekitar 3 tahun yang lalu sebelum
kebakaran di hutan lindung Bukit Soeharto, berhasil kembali tertangkap ulang pada
bulan Februari 1999. Jenis-jenis tersebut adalah Arachnothera longirostra, Criniger
phaeocephalus, Trichastoma rostratum Trischastoma bicolor dan Rhinomyas
umbratilis. Penelitian lanjutan masih terus dilakukan untuk melihat bagaimana jenis-
jenis tersebut dapat bertahan pada kebakaran 1997 yang lalu.
Gambar berikut ini memperlihatkan data hasil kelimpahan jenis burung di tiga
lokasi penelitian yang berbeda (Hutan primer Meratus, dan hutan bekas tebangan lama
yang kembali terbakar pada tahun 1982/1983 dan juga tahun 1997 yang lalu, yaitu
Taman Nasional Kutai dan Hutan Lindung Bukit Soeharto). Bagaimana kondisinya
apabila areal-areal bekas tebangan tersebut kembali terbakar, kiranya dapat di prediksi
melalui grafik-grafik tersebut.
B. Soeharto Kutai Meratus
1
10
100
1000
Species Sequence
Gambar 1. Kurva species abundance jenis-jenis burung di tiga lokasi penelitian yang berbeda (Hutan Primer Meratus, Hutan terbakar Bukit Soeharto & Taman Nasional Kutai)
Adalah sangat sulit untuk melihat pengaruh suatu aktivitas manusia terhadap
banyak jenis secara bersamaan. Namun sangat sulit juga untuk melihat pengaruh
tersebut terhadap satu atau dua jenis saja, karena kondisi populasi dari banyak jenis
adalah juga sangat rendah. Alasan inilah yang mungkin menyebabkan kenapa
penelitian-penelitian tentang dampak kebakaran terhadap satwaliar sampai sekarang ini,
masih sangat sedikit dilakukan orang.
E. PERUBAHAN SETELAH KEBAKARAN HUTAN
Banyak hal dapat terjadi setelah kebakaran hutan, khususnya terhadap habitat
satwa. Perubahan secara biotik dan abiotik dalam jangka waktu yang pendek adalah
sudah menjadi suatu keharusan. Bahkan perubahan tersebut sudah terjadi saat musim
kering panjang berlangsung, dimana kadar air hutan berkurang dengan sangat drastis
sehingga begitu potensial untuk terjadinya kebakaran hutan. Perubahan secara abiotik
(tanah, iklim mikro dan sebagainya) bukan menjadi bagian dari tulisan ini, karena sudah
dituliskan oleh penulis yang lain dalam makalah yang berbeda. Namun demikian dalam
kenyataannya perubahan tersebut menjadi penyebab utama terjadinya perubahan
terhadap satwaliar yang menjadi penghuninya. Dengan kata lain dapat dikatakan,
bahwa dampak kebakaran terhadap satwaliar adalah secara tidak langsung, yaitu
terhadap habitatnya. Perubahan dapat terjadi kepada: 1. Komposisi jenis 2. Struktur
populasi (kematian tingkat bayi, remaja dan sebagainya), 3. Perubahan kerapatan, 4.
Pengecilan ruang gerak atau homerange, 5. Perubahan biomassa (Penurunan berat
badan satwaliar). Gambar berikut ini memperlihatkan secara sederhana kemungkinan
perubahan yang terjadi setelah terjadinya gangguan (kebakaran, penebangan hutan atau
lainnya) terhadap habitat hutan (diambil dari Spellerberg 1991).
(1)
B A C
D
(2)
BA
C
E
(3)
B
C A
D
E
(4)
BA
C
D
(5)
B
A C
D
Gambar 2. Perubahan yang mungkin terjadi setelah adanya perubahan habitat akibat kebakaran, penebangan atau lainnya. A-E menunjukan jenis, Luas Juring memperlihatkan kepadatan masing-masing jenis, Besarnya lingkaran memperlihatkan biomassa. Pembandingan selalu dilakukan pada kondisi awal (1), kondisi (2) memperlihatkan pengurangan jenis, kondisi (3) memperlihatkan penambahan jenis, kondisi (4) memperlihatkan perubahan dalam kepadatan jenis, kondisi (5) memperlihatkan perubahan biomassa karena misalnya makanan tersedia cukup banyakDaftar Pustaka
Alikodra, H.S. 1989: Penelitian satwaliar di hutan lindung Bukit Soeharto. Media Konservasi Vol. II (3): 19-23
Boer, C. 1998: Zur Bedeutung von Baumsturzlücken für die Verteilung und Abundanz von Vogelarten des Unterholzes in Primär- und Sekundärregenwäldern Ostkalimantan. Universität Würzburg. Dissertation
Boer, C. 1999: Effects of fire on the community of forest birds. Research Cooperation among University of (PPHT-FAHUTAN), Center for Int. Forestry Research Organization (CIFOR) and Japan Int. Coop. Agency (JICA) Tropical Rain Forest Research Project
Doi, T. 1988. Present status of the large mammals in the Kutai National Park, after a large scale fire in East Kalimantan, Indonesia. In A research on the process of earlier recovery of tropical rain forest after a large scale fire in Kalimantan Timur, Indonesia. Papers No. 14, Kagoshima Univ.
Galdikas, B.R.F. 1978: Adaptasi Orangutan di Suaka Alam Tanjung Putting, kalimantan Tengah. Ph.D. Thesis. University of California, Los Angeles
Huston, M.A. 1994: Biological Diversity: The coexistence of species on changing landscapes. Cambridge, University
Kozlowski, T.T., dan C.E. Ahlgren. 1974. Fire and Ecosystem. Academic Press. New York, San Fransisco, London
Leighton, M. & D. R. Leighton. 1983: Vertebrate responses to fruiting seasonally within a Bornean Rain Forest in „Tropical Rain Forest : Ecology and Management“. Blackwell Scientific Publications, Oxford
Leighton, M. 1985: The El Nino-Southern oscillation event in Southeast Asia: Effects of droght and fire in tropical forest in Eastern Borneo. Department of Anthropology. Harvard University
Lennertz, R. dan Panzer, K.F. 1983. Preliminary assesment of the drought and forest fire damage in Kalimantan Timur. Transmigration Areas Development Project (TAD), German Agency for International Cooperation
Susilo, A., dan Tangketasik, J. 1986: Dampak kebakaran hutan terhadap perilaku orangutan (Pongo pygmaeus) di Taman Nasional Kutai. Wanatrop 1 (2)
Susilo, A., dan Tangketasik, J. 1988: Habitat dan perilaku makan Macaca fascicularis di hutan bekas terbakar Mentoko Taman Nasional Kutai, Kalimantan timur. Wanatrop 3 (2)
Suzuki, A. 1988: The socio-ecological study of Orangutan and the forest conditions after the big forestr fire and droght 1983 in Kutai National Park, Indonesia. In: A research on the process of earlier recovery of tropical rain forest after a large scale fire in East Kalimantan, Indonesia. Research Ceter for the South Pacific, Kagoshima University
Spellerberg, I.F. 1991. Monitoring Ecological Change. Cambridge University Press, Cambridge
Top Related