BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Klasifikasi
Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau sering disebut congenital club foot (kaki
gada) adalah suatu kelainan kongenital bentuk kaki dan pergelangan kaki yang berupa equinus
(plantar fleksi), varus (inversi) dan adduksi. Kata ‘talipes’ sendiri berasal dari bahasa Latin yang
terdiri dari kata ‘talus’ yang berarti ‘kaki’ dan ‘pes’ yang berarti ‘pergelangan kaki’. Kata
‘equinus’ atau horse foot menggambarkan posisi jari-jari kaki lebih rendah daripada tumit karena
tumit terangkat keatas, sedangkan ‘varus’ berarti kaki memutar ke dalam dimana bagian distal
ekstremitas terputar menuju garis tengah tubuh. 1, 2
Clubfoot atau congenital talipes equinovarus (CTEV) dapat diklasifikasikan atas : 1.
Postural atau posisional dan 2. Terfiksir atau rigid. Postural atau posisional bukan merupakan
CTEV yang sesungguhnya. CTEV rigid bisa fleksible (misalnya: dapat dikoreksi tanpa tindakan
bedah) atau resisten (membutuhkan tindakan bedah, meskipun ini tidak sepenuhnya benar
berdasarkan penelitian Ponseti). 3
2.2 Anatomi Kaki5
Pada kehidupan sehari-hari, fungsi kaki digambarkan dengan bermacam-macam
pandangan, antara lain (1) sebagai basis tumpuan, (2) sebagai peredam guncangan, (3) sebagai
penyesuai gerak dan (4) sebagai pengungkit yang rigid untuk stabilisasi. Kesemua itu
berhubungan dengan gait.
Pengenalan anatomi yang benar sangat penting dalam pengelolaan penderita CTEV.
Dasar pengetahuan yang kurang justru akan menambah kerusakan organ dan memperberat
deformitas yang ada. Oleh karena itu para fisiatris perlu menguasai struktur dan fungsi kaki.
2.2.1 Struktur Tulang
3
Kaki adalah suatu kesatuan unit yang kompleks dan terdiri dari 26 buah tulang yang
dapat menyangga berat badan secara penuh saat berdiri dan mampu memindahkan tubuh pada
semua keadaan tempat berpijak. Ke-26 tulang itu terdiri dari: 14 falang, 5 metatarsal dan 7 tarsal.
Kaki dapat dibagi menjadi 3 segmen fungsional.
a. Hindfoot (segmen posterior)
Bagian ini terletak langsung dibawah os tibia dan berfungsi sebagai penyangganya.
Terdiri dari:
▪ Talus yang terletak di apeks kaki dan merupakan bagian dari sendi pergelangan
kaki
▪ Calcaneus yang terletak dibagian belakang dan kontak dengan tanah
b. Midfoot (segmen tengah)
Terdiri dari 5 tulang tarsal yaitu:
▪ 3 cuneiforme: medial, intermedium dan lateral
▪ Cuboid
▪ Navikulare
Ke-5 tulang tersebut membentuk persegi empat ireguler dengan dasar medial dan apeks
lateral. 3 cuneiforme dan bagian anterior cuboid serta naviculare dan bagian belakang
tulang cuboid membentuk suatu garis.
c. Forefoot (segmen anterior)
Bagian ini terdiri dari:
▪ 5 metatarsal: I, II, III, IV, V
▪ 14 falang. Dimana ibu jari kaki mempunyai 2 falang sedangkan setiap jari lainnya
3 falang
4
Gambar 1. Anatomi kaki 16
2.2.2 Struktur Persendian dan Ligamen
Tulang-tulang tersebut diatas membentuk persendian-persendian sebagai berikut:
a. Artikulatio talocruralis
Merupakan sendi antara tibia dan fibula dengan trachlea talus.
Sendi ini distabilkan oleh ligamen-ligamen:
▪ Sisi medial: lig. Deltoid yang terdiri dari:
◦ Lig. tibionavikularis
◦ Lig. calcaneotibialis
◦ Lig. talotibialis anterior dan posterior
▪ Sisi lateral:
◦ Lig. talofibularis anterior dan posterior
◦ Lig. calcaneofibularis
5
Gerak sendi ini: ◦ Plantar fleksi
◦ Dorsofleksi
◦ Sedikit abduksi dan adduksi pergelangan kaki
b. Artikulatio talotarsalis
terdiri dari 2 buah sendi yang terpisah akan tetapi secara fisiologi keduanya merupakan 1
kesatuan, yaitu:
Bagian belakang: artikulatio talocalcanearis/subtalar
Ligamen yang memperkuat adalah: ligg. talocalcanearis anterior, posterior,
medial dan lateral
▪ Bagian depan: artikulatio talocalcaneonavicularis
Ligamen yang memperkuat adalah:
◦ Lig. tibionavikularis
◦ Lig. Calcaneonaviculare plantaris
◦ Lig. bifurcatum: pars calcaneonavicularis (medial) dan pars calcaneocuboid
(lateral) berbentuk huruf V
Gerak sendi ini: ◦ Inversi pergelangan kaki
◦ Eversi pergelangan kaki
c. Articulatio tarsotransversa (CHOPART)
Disebut juga sendi midtarsal atau ‘surgeon’s tarsal joint’ yang sering menjadi tempat
amputasi kaki
Terdiri dari 2 sendi, yaitu:
Articulatio talonavicularis
Articulatio calcaneocuboid, yang diperkuat oleh:
◦ Pars calcaneocuboid lig. bifurcati di medial
6
◦ Lig. calcaneocuboid dorsalis di sebelah dorsal
◦ Lig. calcaneocuboid di sebelah plantar
Gerak sendi ini: ◦ Rotasi kaki sekeliling aksis
◦ Memperluas inversi dan eversi art. Talotarsalis
d. Artikulatio tarsometatarsal (LISFRANC)
Adalah sendi diantara basis os metatarsal I-V dengan permukaan sendi distal pada os
cuneiformis I-III
Rongga sendi ada 3 buah, yaitu:
Diantara os metatarsal I dan cuneoformis I
Diantara os metatarsal II dan III dengan cuneiformis II dan III
Diantara os metatarsal IV dan V dengan cuboid
Ligamentum pengikatnya adalah:
◦ Ligg. Tarsi plantaris
◦ Ligg. Tarsi dorsalis
◦ Ligg. Basium os metatarsal dorsalis, interosea dan plantaris
e. Articulatio metacarpofalangeal
Ligamen pengikatnya adalah: lig. collateralia pada kedua sisi tiap sendi
Gerak sendi ini: ◦ Fleksi-ekstensi sendi metacarpal
◦ Abduksi-adduksi sendi metacarpal
f. Artculatio interfalangeal
Ligamen pengikat: lig. colateral di sebelah plantar pedis
Gerak sendi ini: ◦ Fleksi-ekstensi interfalang
◦ Abduksi-adduksi interfalang
7
Gambar 2. Gambar lateral kaki kanan 16
2.3 Epidemiologi
Insidens talipes ekuinovarus kongenital adalah dua dari setiap 1000 kelainan hidup. Lebih
sering ditemukan pada bayi laki-laki daripada peremupuan (2:1). Tiga puluh persen bersifat
bilateral.6
Pada tahun 1971, Sharrard menyatakan bahwa congenital talipes equinovarus (CTEV)
merupakan abnormalitas kongenital pada kaki yang paling sering dijumpai. Menurut Wynne-
Davies, 1964, insiden di negara Amerika Serikat dan Inggris adalah 1 kasus dalam 1000
kelahiran hidup, dengan perbandingan laki-laki:perempuan 2:1. Insiden akan meningkat 2,9 %
bila saudara kandung menderita CTEV. Insiden pada kaukasia adalah 1,12; Oriental: 0,57;
sedangkan yang tertinggi adalah pada suku Maori, yaitu 6,5-7 per 1000 kelahiran. Hal ini
menunjukkan bahwa ras juga mempunyai efek terhadap resiko CTEV. 5
8
2.4 Etiologi
Etiologi sesungguhnya dari CTEV masih belum diketahui. Sebagian besar anak yang
menderita CTEV tidak memiliki kesamaan dalam hal genetik, sindrom, atau kausa ekstrinsik.
Pada beberapa kelainan adanya kelainan perkembangan defek fetal dimana terjadi ketidak
seimbangan otot invertor dan evertor. 6
Faktor ekstrinsik yang diduga terkait dengan CTEV termasuk agen teratogenik (misalnya
sodium aminopterin), oligohidramnion, konstriksi cincin kongenital. Asosiasi genetic meliputi
pewarisan sifat menurut hukum mendel (contohnya: diastrophic dwarfism¸pewarisan sifat secara
autosomal resesif dari CTEV ).
Abnormalitas sitogenik seperti CTEV dapat terlihat pada sindrom yang melibatkan delesi
kromosom. Diduga bahwa CTEV idiopatik pada anak sehat merupakan hasil dari system
pewarisan sifat multifactorial. Bukti dari dugaan tersebut adalah sebagai berikut:
Prevalensi CTEV di populasi dunia adalah 1 per kelahiran hidup
Prevalensi pada relasi derajat pertama (hubungan langsung di keluarga) kurang lebih 2%
Jika salah satu dari kembar monozigot menderita CTEV, kembar kedua hanya memiliki
kemungkinan menderita CTEV sebesar 32%.3
Berbagai macam teori tentang etiologi, antara lain:5
1. Mekanik
Teori ini merupakan teori tertua yang dikemukakan oleh Hippocrates yang menyatakan
bahwa posisi equinovarus kaki fetus disebabkan oleh tekanan mekanik eksternal. Teori
ini diperkuat oleh observasi bahwa insiden CTEV tidak meningkat pada kondisi
lingkungan prenatal yang cenderung membuat uterus terlalu penuh, seperti kembar, janin
besar, primipara, hydramnion dan oligohidramnion. Teori ini bertentangan dengan teori
kedua tentang faktor lingkungan intrauterin berikut ini.
2. Environmental
Browne (1936) menyatakan teori peningkatan tekanan intrauterin yang
menyebabkan imobilisasi ekstremitas sehingga menyebabkan deformitas. Teori
9
lain adalah perubahan ukuran uterus atau karena bentuk, seperti misalnya terdapat
lekukan pada konveksitas uterus dan oligohydramnion.
Karena obat-obatan, seperti yang sering ditemukan pada ‘thalidomide baby’
3. Herediter
Wynne-Davies (1964) meneliti lebih dari 100 penderita dan generasi pertamanya.
Didapatkan hasil bahwa deformitas tersebut terjadi pada 2,9% saudara kandung.
Sedangkan pada populasi umum terdapat 1 : 1000 kelahiran.
Idelberger meneliti pada anak kembar dan mendapatkan angka 32,5% penderita
CTEV pada kembar monozygotik dan 2,9% pada dizygotik. Angka terakhir sama
seperti insiden pada saudara kandung bukan kembar.
4. Idiopatik
Böhm menyatakan teori terhambatnya perkembangan embrio. Kaki embrio normal saat
usia 5 minggu kehamilan dalam posisi equinovarus, jika terjadi terhambatnya
perkembangan kaki pada salah satu fase fisiologis dalam kehidupan embrio, maka
deformitas ini akan persisten hingga kelahiran.
Terdapat 4 fase dalam evolusi kaki manusia saat pertengahan kehidupan prenatal, yaitu:
~ Fase I (Bulan ke-2): bentuk kaki dalam posisi equinus berat (plantarfleksi
± 90º). Dan adduksi hind dan forefoot yang berat.
~ Fase II (Awal bulan ke-3): kaki berotasi ke posisi supinasi, tetapi tetap
plantarfleksi 90º, adduksi metatarsal.
~ Fase III (Pertengahan bulan ke-3): Inklinasi equinus berkurang menjadi
derajat ringan, posisi supinasi dan varus metatarsal tetap.
~ Fase IV (Awal bulan ke-4): Kaki dalam posisi midsupinasi dan varus
metatarsal yang ringan. Pada fase ini, secara bertahap, bidang kaki dan
tungkai bawah mulai tampak dalam posisi seperti kaki dewasa.
5. Defek neuromuskular dan tulang prenatal
Gangguan anatomik intrisik pada sendi talocalcaneus dan pada inervasi m.
peroneus karena perubahan segmental medula spinalis.
Displasia tulang primer dan defek kartilago pada embrio 5-6 minggu.
Defek benih plasma primer
Insersi tendon yang abnormal dan displasia m. peroneus. 5
10
2.5 Patofisiologi3
Teori patofisiologis CTEV diantaranya sebagai berikut:
Terhambatnya perkembangan janin pada fase fibula
Defek anlage kartilago talus
Factor neurogenic: abnormalitas histokimia telah ditemukan pada kelompok otot
posteromedial dan peroneus pada pasien CTEV. Ini disimpulkan berdasarkan perubahan
inervasi pada kehidupan intrauterus secara sekunder terhadap penyakit neurologis, seperti
stroke yang menyebabkan hemiparesis ringan atau paraparesis. Hal ini lebih lanjut
didukung oleh terdapatnya deformitas varus dan equinovarus pada spina bifida.
Fibrosis retraksi (atau miofibrosis) secara sekunder terhadap peningkatan jaringan
fibrotic pada otot dan ligament. Pada penelitian terhadap janin dan cadaver, Ponseti juga
menemukan kolagen pada seluruh struktur ligament dan tendon. (kecuali tendon Achilles)
dan kolagen ini tersusun longgar dan dapat diregangkan. Di sisi lain, tendon Achilles,
terdiri dari kolagen yang tersusun rapat dan tidak dapat dilonggarkan. Zimny et al
menemukan mioblas di fasia medial pada mikroskop electron dan menyimpulkan bahwa
hal ini menyebabkan kontraktur medial.
Anomali insersi tendon: Inclan menyatakan bahwa anomali insersi tendon mengakibatkan
CTEV. Meskipun demikian, penelitian lainnya tidak mendukung pernyataan ini. Lebih
mungkin bahwa anatomi CTEV yang terdistorsi menyebabkan seolah-olah terdapat
anomaly insersi tendon.
Variasi musiman: Robertson mencatat bahwa terdapat variasi musiman sebagai factor
penyebab pada penelitian epidemiologisnya di Negara berkembang. Ini berkaitan dengan
variasi sejenis pada kejadian poliomyelitis pada anak-anak di Negara berkembang. CTEV
juga diperkirakan sebagai sekuel dari kondisi mirip-polio prenatal. Teori ini lebih lanjut
didukung oleh terdapatnya perubahan neuron motoric pada cabang anterior di medulla
spinalis anak yang menderita penyakit tersebut.
2.6 Patologi
11
Ditemukan adanya kaki dalam keadaan posisi adduksi dan inversi pada sendi subtalar,
midtarsal dan sendi-sendi tarsal depan. Terdapat ekuinus atau fleksi plantar pada tumit. Juga
pada kebanyakan kasus terlihat adanya pengecilan dari otot-otot betis dan peroneal.
Deformitas bentuk kaki dikarakterisasi dengan komponen-komponen anatomis sebagai
berikut: 7, 8, 9
Adduksi midtarsal
Inversi pada sendi subtalar (varus)
Plantarfleksi sendi talocruralis (equinus)
Kontraksi jaringan di sisi medial kaki
Tendo Achilles memendek
Gastrocnemius kontraktur dan kurang berkembang
Otot-otot evertor sisi lateral tungkai bawah kurang berkembang
12
Gambar 4. Perubahan patologis CTEV 16
Kombinasi deformitas equinus pergelangan kaki dan sendi subtalar, inversi hindfoot dan
adduksi mid-forefoot disebabkan oleh displacement dari sisi medial dan plantar serta rotasi
medial sendi talocalcaneonavicular
Schlicht (1963) melaporkan suatu penelitian CTEV yang dilakukannya pada bayi-bayi
yang lahir mati atau mati segera sesudah lahir. Dilakukan diseksi kaki, yang semuanya
menunjukkan deformitas dengan derajat yang berat. Dia menyatakan bahwa tulang-tulang
mengalami distorsi, khususnya talus, calcaneus, navicularis, cuboid dan metatarsal, tetapi yang
paling parah adalah talus. Tidak hanya terjadi malformasi tulang, tetapi jaringan-jaringan lain
13
yang berhubungan dengannya juga mengalami distorsi. Pada semua kaki yang didiseksinya, talus
memperlihatkan distorsi facet pada permukaan superior, oleh karena itu tidak pas masuk dalam
lekukan tibia-fibula. Inilah penyebab terpenting persistensi deformitas equinus.
Talus dan calcaneus pada kaki deformitas berat sering lebih kecil daripada normal,
sehingga kakipun terlihat lebih kecil. Bentuk konveks pada sisi lateral kaki disebabkan bukan
saja oleh tarikan otot sisi medial kaki dan tungkai bawah yang kontraktur, tetapi juga karena
subluksasi sendi calcaneocuboid, ligamen dan kapsul yang teregang.
Jaringan lunak juga ambil bagian dalam deformitas ini dan menyebabkan posisi equinus
dan varus dipertahankan karena ketegangan pada jaringan ini. Posisi equinus disebabkan oleh
kontraktur dari otot-otot sebagai berikut:
Gastrocnemius
Soleus
Tibialis posterior
Fleksor hallucis longus
Fleksor digitorum longus
Sedangkan posisi varus disebabkan oleh kontraktur pada otot-otot sebagai berikut:
Tibialis anterior dan posterior
Fleksor hallucis longus
Fleksor digitorum longus
Ligamentum deltoid
Otot-otot kecil sisi medial kaki
2.7 Manifestasi Klinis
Kelainan ini bisa bersifat bilateral atau unilateral. Kelainan yang ditemukan berupa:
Inversi pada kaki depan
Adduksi atau deviasi interna dari kaki depan terhadap kaki belakang
Ekuinus atau plantar fleksi
14
Pengecilan dari otot-otot betis dan peroneal
Kaki tidak dapat digerakkan secara pasif pada batas eversi dan dorsofleksi normal. 6
Deformitas biasanya terlihat nyata pada waktu lahir, kaki terputar dan terbelit sehingga
tapak kaki menghadap posteromedial. Lebih tepatnya pergelangan kaki dalam equinus, tumit
terinversi dan kaki depan mengalami adduksi dan supinasi; kadang-kadang juga terdapat kavus.
Talus dapat menonjol keluar pada permukaan dorsolateral kaki. Tumit biasanya kecil dan tinggi,
dan betis mungkin kurus.
Usaha koreksi pasif secara perlahan-lahan memperlihatkan bahwa deformitas ini
menetap; pada bayi yang normal dengan equinovarus postural, kaki dapat mengalami dorsifleksi
dan eversi hingga jari-jari kaki menyentuh bagian depan tungkai.
Bayi harus selalu diperiksa untuk mencari ada tidaknya penyakit yang menyertai,
misalnya bifida spina artrogriposis. Pada anak yang lebih tua, deformitas beragam dari equinus
dan adduktus yang cukup ringan sampai penampilan gada yang paling berat dengan berat tubuh
disangga dengan punggung kaki.10
Pergelangan kaki dalam posisi equinus, kaki supinasi (varus) dan adduksi. Bayi normal
umumnya dapat di dorsifleksi-kan dan eversi, sehingga kaki dapat menyentuh tibia anterior.
Dorsifleksi lebih 90º tidak dapat dilakukan pada kaki normal.3
Navikular tergeser secara medial, begitu juga dengan kuboid. Terdapat kontraktur
jaringan lunak plantar medial. Tidak hanya calcaneus yang berada pada posisi equinus, tapi juga
aspek anterior terotasi secara medial dan posterior aspek terotasi secara lateral.
Tumit kecil dan kosong. Tumit terasa lunak ketika disentuh (seperti perabaan pipi).
Seiring dengan berjalannya pengobatan, tumit akan terasa makin berisi dan makin terasa keras
(seperti perabaan hidung dan dagu).
Leher talus dapat teraba dengan mudah pada sinus tarsal karena ia terbuka secara lateral.
Normalnya, ini tertutup oleh navicular, dan badan talus berada dalam lubang. Malleolus medial
sulit untuk diraba dan sering berkontak dengan navicular. Interval malleolus-navicular normal
tidak dapat diukur.
15
Kaki belakang supinasi, tetapi kaki sering berada pada posisi pronasi relatif terhadap kaki
belakang. Sinar pertama sering jatuh untuk menmberi kesan posisi kavus. Metode ponseti berupa
tatalaksana CTEV tertutup dengan manipulasi dan gips menggambarkan elevasi metatarsal
pertama sebagai langkah awal, meskipun itu berarti sering terjadi eksaserbasi supinasi kaki. 3
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.8.1 Foto Polos
Metode evaluasi radiologis yang standar digunakan adalah foto polos. Pemeriksaan harus
mencakup gambaran tumpuan berat karena stress yang terlibat dapat terjadi berulang-ulang. Pada
infant, tumpuan berat dapat disimulasikan dengan pemberian stress dorsal flexi.4
Gambaran radiologi normal kaki dan pergelangan kaki, pada gambar di bawah:
Gambar 5. Gambaran AP pergelangan
kaki13
Gambar 6. Gambaran lateraral pergelangan
kaki 13
Gambaran standar yang digunakan
adalah gambaran dorsoplantar (DP)
dan lateral. Untuk gambaran
dorsoplantar, sinar diarahkan
dengan sudut 150 terhadap tumit
untuk mencegah overlap dengan
struktur tungkai bawah. Gambaran
lateral harus mencakup pergelangan
kaki, dan bukan kaki, untuk
penggambaran yang lebih tepat dari talus.4
16
Foto polos mempunyai kerugian yaitu tereksposnya pasien terhadap radiasi. Ditambah
lagi, pengaturan posisi yang tepat juga akan sulit dilakukan. Pemosisian yang tidak tepat dapat
menghasilkan gambaran seperti deformitas. Lebih jauh lagi, karena CTEV adalah kondisi
kongenital, kurangnya osifikasi pada beberapa tulang yang terlibat merupakan salah satu
keterbatasan lainnya. Pada neonates, hanya talus dan calcaneus yang terosifikasi. Navikular tidak
terosifikasi sampai anak berusia 2-3 tahun.
Metode imaging lainnya tidak dilakukan secara rutin pada pemeriksaan CTEV.
Tiga komponen utama dari deformitas ini ditemukan pada radiograf dan dapat diukur
secara berulang. Dengan pemosisian dan eksposur yang tepat, pengukuran abnormalitas
kesejajaran pada foto polos dapat dipercaya. Tidak ada imaging konfirmasi yang rutin dilakukan.
Posisi oblique tumit pada gambaran dorsoplantar (DP) dapat mensimulasikan varus kaki
belakang. Bila gambaran lateral hanya meliputi salah satu kaki dan tidak termasuk pergelangan
kaki, maka akan terlihat gambaran palsu dari lengkungan talus yang mendatar.
Equinus kaki belakang adalah plantar fleksi dari calcaneus anterior (mirip kuku kuda) di
mana sudut antara axis panjang tibia dan axis panjang calcaneus (sudut tibiocalcaneal) lebih
besar dari 900.
Gambar 7. Gambaran lateral talipes equinovarus menunjukkan elevasi sudut tibiocalcaneal yang abnormal. Sudut
yang normal adalah 60-900.
Pada varus kaki belakang, talus diperkirakan terfiksasi secara relatif terhadap tibia.
Calcaneus berputar mengitari talus menuju posisi varus (kearah garis tengah). Pada gambaran
17
lateral, sudut antara axis pajang talus dan axis panjang calcaneus (sudut talocalcaneal) kurang
dari 250, dan kedua tulang tersebut lebih paralel dibandingkan kondisi normal.
Gambar 8. Gambaran lateral normal menunjukkan pengukuran sudut talocalcaneal. Axis panjang calcaneal ditarik
sepanjang permukaan plantar. Rentang normalnya adalah 25-450. Perhatikan overlap normal metatarsal pada
gambaran lateral.
Gambar 9. Gambaran lateral CTEV menunjukkan talus dan calcaneus yang hampir parallel, dengan sudut talocalcaneal kurang dari 250.
Pada gambaran DP, sudut talocalcaneus kurang dari 15º, dan dua tulang terlihat lebih
tumpang tindih daripada pada kaki normal. Selain itu, aksis longitudinal yang melalui
18
pertengahan talus (garis midtalar) melintas secara lateral ke arah dasar metatarsal pertama,
karena garis depan terdeviasi secara medial (lihat gambar dibawah)
Gambar 10. Proyeksi dorsoplantar dari kaki normal menunjukkan bahwa garis yang melalui aksis panjang talus
melintasi secara medial ke arah dasar metatarsal pertama. Ukuran sudut talokalkaneus dapat terlihat. Ukuran
normalnya yaitu 15º-40º.
Gambar 11. Gambaran Dorsoplantar dari pasien dengan CTEV unilateral menunjukkan bahwa talus dan kalkaneus
lebih tumpang tindih (overlapping) daripada kaki normal. Sudut talocalcanues 15º atau kurang. Perhatikan bahwa
garis yang melalui aksis panjang dari talus melintas secara lateral ke metatarsal pertama karena posisi varus dari
kaki depan.
19
Varus kaki depan dan supinasi meningkatkan konvergensi dari basis metatarsal pada
gambaran DP, jika dibandingkan dengan sedikit konvergensi pada kaki normal (lihat gambar di
bawah)
Gambar 12. Gambaran Dorsoplantar dari talipes equinovarus menunjukkan bahwa konvergensi dari basis metatarsal
secara abnormal meningkat jika dibandingkan dengan konvergensi normal.
Pada gambaran lateral, CTEV tidak memiliki gambaran tumpang tindih yang normal.
(lihat gambar di bawah).
Gambar 13. Gambaran lateral menunjukkan konfigurasi seperti tangga (ladderlike) dari metatarsal pada varus kaki
depan pada CTEV.
20
Tabel 1.
Tabel berikut memuat rangkuman dari ukuran dari kaki normal dan CTEV
Ukuran Kaki normal CTEV
Sudut
Tibiocalcaneal
60-90° pada gambaran
lateral
>90° ( equinus kaki belakang ) pada gambaran
lateral
Sudut
Talocalcaneal
25-45° pada gambaran
lateral, 15-40° pada
gambaran DP
< 25° (varus kaki belakang) pada gambaran
lateral, < 15° (varus kaki belakang) pada
gambaran DP
Konvergensi
Metatarsal
Sedikit pada gambaran
lateral, sedikit pada
gambaran DP
Tidak ada (supinasi kaki depan) pada gambaran
lateral, peningkatan (supinasi kaki depan) pada
gambaran DP
Pada CTEV yang tidak dikoreksi hingga tuntas atau pada CTEV rekuren, terdapat
abnormalitas yang khas. Sudut kalkaneus normal pada gambaran DP (lihat gambar di bawah)
tapi kesejajaran (paralelisasi) menetap pada gambaran lateral.
21
Gambar 14. Gambaran CTEV yang didapat setelah perbaikan menunjukkan perubahan sudut talokalkaneus normal
pada gambaran dorsoplantar. Garis di sepanjang aksis panjang talus sekarang melintas secara medial ke metatarsal
pertama; temuan ini mengindikasikan overkoreksi dari varus kaki depan.
Pendataran lengkungan talus juga menetap pada gambaran ini
Gambar 15. Gambaran lateral CTEV menunjukkan paralelisme dari talus dan kalkaneus. Perhatikan pendataran
lengkungan talus pada gambaran lateral dari pergelangan kaki.
Kavum lengkungan plantar mungkin terlihat, terutama jika tidak dilakukan pemotongan
plantar. Selain itu, reaksi periosteum, sclerosis atau fraktur lateral metatarsal dapat terjadi
22
sebagai hasil dari tumpuan berat yang abnormal pada sisi kaki yang terkena dalam kasus koreksi
yang tidak adekuat dari varus kaki depan (lihat gambar di bawah ini)
Gambar 16. Gambaran foto polos lateral dari wanita usia 12 tahun setelah tindakan operatif CTEV menunjukkan
varus kaki depan yang menetap dan menghasilkan menghasilkan resultan penekanan (penebalan kortikal) pada
sebagian besar metatarsal lateral.
Gambar 17. Gambaran radiografi DP dari pasien wanita yang sama dengan gambar diatas setelah tindakan operatif
CTEV menunjukkan varus kaki depan yang menetap dan perubahan resultan stress terhadap metatarsal lateral.
Tarraf dan Carrol menemukan bahwa adduksi kaki depan residual dan supinasi, sejauh
ini, merupakan deformitas yang paling sering terjadi dan menyebabkan dibutuhkannya tindakan
23
operatif berulang. Sebagai tambahan atas alignment kaki belakang, deformitas ini harus
dievaluasi secara aktif pada foto polos intraoperatif.
2.8.2 CT-Scan4
Beberapa artikel mengenai kegunaan CT scan pada elevasi di CTEV telah dipublikasikan.
Kerugian dari CT scan termasuk risiko radiasi ionisasi, kurangnya osifikasi pada tulang tarsal,
suseptibilitas dari artifak gambar dan gerakan, dan dibutuhkannya peralatan yang mahal dan
aplikasi software untuk rekonstruksi multiplanar. Di sisi lain, deformitas 3 dimensi yang
kompleks ini dapat dinilai dengan lebih baik dengan rekonstruksi 3 dimensi jika dibandingkan
dengan radiografi 2 dimensi. Penggunaan CT dalam evaluasi artikulasi talus pada trauma dan
koalisi tarsal telah digunakan secara luas.
Pada penelitian pendahuluan mengenai CT dengan rekonstruksi 3 dimensi, Johnston et al
menunjukkan bahwa kerangka kawat luar yang dapat memantau tulang pada CTEV bias
diterapkan dan aksis inersia dapat ditentukan di sekitar pusat massa dengan 3 bidang
perpendikuler untuk setiap tulang yang terlibat.
Kawat ini dapat dirotasi secara manual untuk mengurai deformitas dan kelainan susunan
tulang yang tidak jelas karena overlapping pada foto polos. Hubungan antara tulang kaki
belakang dan pergelangan kaki dapat dinilai dengan cara ini, karena gambaran dari kaki bagian
bawah tidak saling berhimpit (overlapping). Begitu pula halnya dengan aksis vertical dari talus
dan lubang kalkaneus dapat dibandingkan dengan garis acuan perpendicular terhadap dasar pada
rekonstruksi koronal dari tumit. Gambaran ini hanya dapat diperoleh dengan CT scan.
Analisis diatas menunjukkan bahwa pada kaki normal, baik talus maupun kalkaneus
relative terotasi secara medial terhadap garis perpendicular pada lubang di bidang transversal,
namun rotasi di kalkaneus sangat kecil. Perbedaan ini merupakan divergensi normal dari aksis
panjang 2 tulang. Pada CTEV, talus terotasi secara lateral dan kalkaneus terotasi lebih medial
daripada kaki normal; rotasi ini menyebabkan terjadinya konvergensi dari aksis panjang.
Sebagai tambahan, peneliti mengamati pronasi ringan dari talus dan kalkaneus di bidang
koronal pada CTEV, berlawanan dengan supinasi ringan pada kaki normal. Penemuan ini
24
mengindikasikan bahwa koreksi operasi harus meliputi supinasi dan rotasi medial dari talus pada
lubangnya dan supinasi dan lateral rotasi dari kalkaneus.
2.8.3 MRI4
Saat ini MRI tidak dilakukan untuk pemeriksaan radiologi CTEV, dan terbatasnya
pengalaman penggunaan MRI telah dipublikasikan dalam literature. Penggunaan MRI terbatas
karena berbagai kerugian, diantaranya:dibutuhkan alat khusus dan sedasi pasien, besarnya
pengeluaran untuk software yang digunakan, hilangnya sinyal yang disebabkan oleh efek
feromagnetik dari alat fiksasi, dan waktu tambahan yang dibutuhkan untuk transfer data dan
postprocessing. Di sisi lain, keuntungan dari MRI jika dibandingkan dengan foto polos dan CT
adalah kapabilitas imaging multiplanar dan penggambaran yang sangat baik untuk nucleus
osifikasi, kartilago anlage (primordium) serta struktur jaringan lunak disekitarnya.
Hasil dari penelitian mandiri terhadap MRI dan penelitian pendahuluan mengenai
resonansi magnetic rekonstruksi multiplanar menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan
untuk menjelaskan patoanatomi kompleks pada kelainan ini. Gambaran intermediate dan
multiplanar menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk menjelaskan patoanatomi
kompleks pada kelainan ini. Gambaran intermediate dan multiplanar menunjukkan bahwa
metode ini dapat digunakan untuk menjelaskan patoanatomi kompleks pada kelainan ini.
Gambaran intermediate dan multiplanar menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk
menjelaskan patoanatomi kompleks pada kelainan ini. Gambaran intermediate dan gambaran T2-
weighted spin-echo dapat menggambarkan secara jelas anlage (primordium) kartilago dan
permukaan articular secara berurutan. Ketika akusisi gradient-echo 3 dimensi digunakan untuk
membentuk rekonstruksi multiplanar, pusat dari massa dan axis utama dari inersia tiap tulang
atau struktur kartilago dapat ditentukan. Axis ini dapat dibandingkan satu sama lain atau dapat
dirumuskan standar referensi mengenai pengukuran objektif dari deformitas ini yang dapat
digunakan secara menyeluruh.
Deformitas talus, yang oleh banyak ilmuwan dipercaya sebagai kelainan primer pada
CTEV, tidak dapat ditentukan dengan tepat jika dilakukan dengan modalitas lain. Bagaimanapun
juga, dengan metode yang dideskripsikan diatas, MRI dengan rekonstruksi multiplanar dapat
25
menggambarkan deformitas intraoseus dari talus yang didefinisikan dengan elevasi sudut body-
neck talus.
Hubungan talonavicular dapat didefinisikan dengan baik, yang tidak terlihat pada
radiograf pada anak kecil karena kurangnya osifikasi pada navicular. Pada sebagian besar pasien,
terjadi dislokasi navicular secara medial.
2.8.4 Ultrasonografi (USG)4
Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai temuan USG pada kaki normal ataupun
CTEV, meskipun kegunaan klinis dari modalitas ini tidak umum digunakan. Kekurangan
terbesar dari USG adalah ketidakmampuan gelombang suara untuk menembus seluruh tulang,
terutama jika terdapat bekas luka post operasi. Keuntungan ultrasonografi termasuk tidak ada /
kurangnya radiasi pengion, tidak membutuhkan obat sedative, kemampuannya untuk
menggambarkan bagian tulang yang tidak terosifikasi, dan kapasitasnya dalam hal imaging
dynamics.
Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa gambaran reproducible dan penilaian
objektif dari beberapa hubungan antartulang (interosseous) pada kaki normal dan pada CTEV
dapat dilakukan dengan USG. Untuk selanjutnya, USG mungkin dapat digunakan dalam operasi
tertuntun dan terapi konservatif untuk CTEV dalam menilai hasilnya.
Transduser linear 7.5 MHz dan tempat meletakkan kaki digunakan untuk menghasilkan
gambaran yang berguna dan reproducible. Gambaran posterior-sagital didapatkan dengan cara
transduser disejajarkan dengan pertengahan bidang sagittal dan ditempatkan pada bagian
posterior atas tumit. Gambaran anteromedial didapatkan dari posisi pertemuan pergelangan kaki
dan telapak kaki, dengan kaki dalam keadaan plantar flexi. Transduser disejajarkan dengan tibia
distal, talus, dan navicular. Gambaran medial transversal yaitu dalam posisi transversal di kaki ke
arah medial. Gambaran transversal lateral kaki juga dapat berguna. Selain itu, gambaran-
gambaran ini dapat didapatkan dengan menggerakkan transduser secara dinamis.
Tendon Achilles dapat diukur dengan menggunakan gambaran posterior-sagital.
Umumnya tendon Achilles ini memendek pada CTEV dan deformitas spastik. Pada gambaran
posterior sagittal ini, tibia distal, talus, dan kalkaneus sejajar sepenuhnya. Jarak antara tibia distal
26
yang terosifikasi dan calcaneus superior yang terosifikasi dapat diukur. Dalam keadaan plantar
fleksi, pada kaki normal jarak ini akan berkurang, tapi tidak pada CTEV. Gambaran ini
memungkinkan evaluasi dari hubungan talonavicular pada bidang DP, yang seringnya tetap
abnormal bahkan setelah pemotongan subtalar komplit.
Pada gambaran anterior-medial, malleolus medial, talus, navicular dan cuneiformis
medial dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 18. CTEV. Hasil USG dari aspek medial kaki normal, menggambarkan hubungan antara kartilago malleolus
medial (M), talus terosifikasi (T), dan navicular yang tidak terosifikasi (N). metatarsal pertama juga telah
terosifikasi.
Hubungan talonavicular yang penting dan sukar ditangkap dapat dihitung dengan
mengukur jarak atau sudut. Jarak antara epifisis malleolus medial dan kartilago navicular dapat
diukur. Dengan adanya displacement medial dari navicular pada CTEV, ukurannya akan menjadi
lebih pendek dari pada kaki normal. Hal ini terlihat pada gambar dibawah ini:
27
Gambar 19. Jarak antara malleolus medial (M) dan navicular (N) dapat diThe distance between the medial malleolus
(M) and navicular (N dapat diukur pada dengan menggerakkan transduser secara dinamis. Disini ditunjukkan posisi
normal dari kaki normal.
Gambar 20. Dengan abduksi dari kaki normal, jarak antara malleolus medial dan navicular akan bertambah.
28
Gambar 21. USG medial menunjukkan CTEV pada posisi normal
Gambar 22. Gambaran CTEV pada posisi abduksi menunjukkan sedikit penambahan jarak antara malleolus medial
dan navicular, jika dibandingkan dengan jarak pada kaki normal. Keadaan pasien ini dapat membaik dengan
dilakukan pemotongan jaringan lunak medial.
29
Hamel dan Becker memperkenalkan sebuah sudut untuk menghitung hubungan
talonavicular. Dengan subluksasi medial dari navicular, besar sudut ini akan lebih positif
bukannya negatif, seperti pada kaki normal. Pengukuran ini dapat digunakan pada saat pre-
operasi untuk memperkirakan pelepasan medial yang dibutuhkan untuk menentukan keberhasian
manipulasi konservatif dan penggunaan kawat dan atau gips.
Gambaran lateral transversal dapat digunakan untuk menentukan hubungan
calcaneocuboid (kolum lateral) yang penting. Pemeriksaan lebih lanjut dapat menunjukkan
penghitungan dari hubungan ini yang dapat berguna dalam menuntun tindakan operasi dari sendi
ini.
Gambaran dinamis / dynamic imaging yang bisa dilakukan dengan USG dapat
melengkapi pemeriksaan fisik untuk menilai rigiditas dari kaki. Sehingga, USG ini dapat
membantu memilah pasien yang harus dilakukan operasi dan tidak bisa dengan terapi konservatif
saja.
Kesimpulannya, pemeriksaan USG dapat digunakan untuk menentukan kepentingan,
bidang, dan jumlah jaringan lunak yang harus dipotong atau dilepaskan dan untuk mengevaluasi
keberhasilan terapi konservatif.
2.8.5 Angiografi4
Angiogram dapat menunjukkan abnormalitas ukuran dan distribusi pembuluh darah kecil
pada CTEV, tapi temuan ini masih terbatas dalam kegunaannya secara klinis.
2.9 Diagnosis18
Menegakkan Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dini perlu dilakukan skrining motivasi semua tenaga
kesehatan:
[1] untuk melakukan skrining terhadap semua bayi baru lahir dan balita terhadap adanya
kelainan pada kaki
30
[2] dan kelainan lainnya
[3]. Bayi-bayi dengan kelainan dapat dirujuk untuk dirawat di klinik kaki pengkor.
Memastikan kasus yang ditemukan pada tahap skrining tersebut, kemudian dipastikan
diagnosanya oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman mengenai kelainan muskuloskeletal.
Ciri-ciri penting kaki pengkor adalah cavus, varus, adductus dan equinus [4].Dalam evaluasi ini
dapat disingkirkan kelainan lain seperti metatarsus adductus dan sindroma lain yang
mendasarinya. Kaki pengkor diklasifikasikan menjadi beberapa kategori untuk menentukan
prognosis dan merencanakan terapi.18
Foto Polos
Sinar X terutama digunakan untuk menilai kemajuan setelah terapi. Film anteroposterior
diambil dengan kaki plantarfleksi 300 dan tabung sinar X bersudut 30 derajat terhadap garis
tegak lurus. Ditarik garis melalui poros panjang talus yang sejajar perbatasan medial dan poros
panjang kalkaneus yang sejajar perbatasan lateralnya; garis-garis itu biasanya menyilang dengan
sudut sebesar 20-400. Tetapi pada kaki gada, kedua garis itu mungkin hampir sejajar.
Film lateral diambil dengan kaki dalam keadaan dipaksa dorsifleksi. Garis yang ditarik
melalui poros longitudinal tengah talus dan perbatasan bawah dari kalkaneus harus bertemu
dengan sudut sekitar 400. Sudut yang kurang dari 200 menunjukkan bahwa kalkaneus tidak dapat
ditekuk ke atas ke dalam dorsifleksi sempurna; kaki mungkin tampak dorsifleksi tetapi
sebenarnya mungkin ‘patah’ pada tingkat tarsal pertengahan, sehingga menghasilkan apa yang
disebut deformitas kaki kursi goyang. 10
2.10 Diagnosis Banding5
Diagnosa CTEV sangat mudah karena bentuknya yang khas. Akan tetapi ada beberapa kelainan
yang secara anatomis menyerupainya. Sedangkan untuk memberi penanganan yang sesuai
dengan kelainan ini, perlu mengetahui kelainan-kelainan lain yang serupa untuk
membedakannya. Beberapa diantaranya adalah:
1. Absensi atau hipoplasia tibia kongenital
2. Dislokasi pergelangan kaki kongenital
31
Pada keduanya, kaki tampak seperti clubfoot. Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menegakkan diagnosa adalah:
Palpasi secara teliti hubungan anatomik hindfoot dengan maleolus lateral dan
medial
Pemeriksaan radiografi.
3. Acquired type of clubfoot
Pada bayi baru lahir biasanya tipe ini mudah dibedakan dengan tipe kongenital, tetapi
pada anak yang lebih besar lebih sulit.
Biasanya sering terjadi karena penyakit paralitik karena itu disebut juga paralytic
clubfoot, antara lain: myelomeningocele, tumor intraspinal, diasmatomyelia,
poliomyelitis, atrofi muskular progresif tipe distal, cerebral palsy dan penyakit Guillain-
Barré. Pemeriksaan:
Periksa vertebra secara teliti untuk mencari abnormalitas
Muscle testing
Radiogram seluruh kolum vertebra
Nilai sistem neuromuskular dengan teliti untuk menyingkirkan penyalit paralitik
Pada poliomyelitis kaki teraba dingin dan biru, bukti paralisa (+)
Pada spina bifida terdapat gangguan sensasi dan perubahan trofi
Ada pula beberapa anomali lain yang ditemukan bersamaan dengan CTEV, antara lain:
1. Arthroghyposis multipleks kongenital
Anomali ini sering disertai CTEV, oleh karena itu untuk mendiagnosanya perlu
pemeriksaan:
sendi panggul, lutut, siku dan bahu perlu diperiksa dengan teliti untuk mencari
adanya subluksasi atau dislokasi.
Periksa LGS sendi-sendi perifer
kontraktur yang menyebabkan fleksi atau ekstensi abnormal
Yang khas pada arthroghyposis multipleks kongenital adalah penurunan massa otot dan
fibrosis.
2. Konstriksi pita annular kongenital (Streeter’s dysplasia)
32
Cowell dan Hensinger meneliti 25 kasus konstriksi pita annular kongenital pada
ektremitas dan menemukan clubfeet pada 56% diantaranya.
3. Diasthrophic dwarfism
Bentuk tubuh kecil, masa kistik lunak pada daun telinga, palatum terbelah, pemendekan
metacarpal V dengan ibu jari yang hipermobil, kontraktur fleksi dan berbagai derajat
webbing pada sendi lutut, panggul, siku, bahu dan interfalangeal. Deformitas equinovarus
kaki derajat berat dan bilateral.
4. Displasia craniocarpotarsal (Freeman-Sheldon syndrome)
Wajah anak sangat khas. Dahi penuh, mata cekung kedalam, wajah bagian tengah datar,
mulut kecil dengan bibir maju seperti ‘bersiul’. Lipatan kulit berbentuk huruf H pada
dagu. Palatum tinggi dan suara sengau karena pergerakan palatum terbatas. Jari-jari tanfan
berdeviasi keatas. Deformitas equinus disebabkan karena kontraktur fleksi jari-jari kaki.
5. Larsen’s syndrome
Ditandai dengan dislokasi sendi multipel (terutama lutut, sendi panggul dan siku), wajah
datar, tulang hidung terdorong kedalam, dahi menonjol, jarak antar mata lebar, metacarpal
pendek dengan ibu jari tangan berbentuk sendok.
6. Möbius syndrome
Yang khas adalah wajah seperti topeng dengan abduksi kedua mata dan paralisis nercus
fasialis parsial atau komplit. Anomali lain adalah syndactyly dengan ankilosis tulang sendi
interfalangeal proksimal, absensi pektoralis mayor, microdactylia dan kegagalan
pembentukan semua falang.
Jika CTEV dihubungkan dengan anomali-anomali lain, atau bayi terlihat tidak normal,
perlu disarankan untuk mendapatkan konsultasi genetik. Pengelolaan awal talipes equinovarus
pada sindrome-sindroma ini prinsipnya sama dengan CTEV tanpa anomali lain. Umumnya,
mempunyai prognosis yang lebih buruk dan deteksi dini akan membantu mengurangi keanehan
di masa depan.
33
2.11 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan CTEV adalah: 5
1. Mencapai reduksi konsentrik dislukasi atau subluksasi sendi talocalcaneonavikular
2. Mempertahankan reduksi
3. Mengembalikan alignment persendian tarsal dan pergelangan kaki yang normal
1. Mewujudkan keseimbangan otot antara evertor dan invertor; dan otot dorsofleksor
dan plantarfleksor
5. Mendapatkan kaki yang mobile dengan fungsi dan weight bearing yang normal
Penatalaksanaan harus dimulai sedini mungkin, lebih baik segera sesudah lahir. Tiga
minggu pertama setelah lahir merupakan periode emas/golden period, sebab jaringan
ligamentosa bayi baru lahir masih kendor karena pengaruh hormon maternal. Fase ini adalah fase
kritis dimana jaringan lunak yang kontraktur dapat dielongasi dengan manipulasi berulang setiap
hari. Jika mengharapkan metoda reduksi tertutup akan mencapai keberhasilan, inilah waktu yang
tepat.5
a. Terapi non-operatif
1. Koreksi Gips Ponseti18
Persiapan
Termasuk didalamnya adalah upaya menenangkan anak dengan memberikan botol susu
[1] atau dengan menyusuinya. Jika memungkinkan didampingi oleh asisten terlatih.
Kadang-kadang dibutuhkan bantuan dari orang tua penderita. Persiapan sangatlah penting
[2]. Asisten (titik biru) memegang kaki, sementara manipulator (titik merah) melakukan
koreksi.
Manipulasi dan Pengegipan
Mulailah sedapat mungkin segera setelah lahir. Buat penderita dan keluarga nyaman.
Biarkan anak minum selama manipulasi dan proses pengegipan.
34
Menentukan letak kaput talus dengan tepat
Tahap ini sangat penting [3]. Pertama, palpasi kedua malleoli (garis biru) dengan ibu jari
dan jari telunjuk dari tangan A sementara jari-jari dan metatarsal dipegang dengan tangan
B. Kemudian [4], geser ibu jari dan jari telunjuk tangan A ke depan untuk dapat meraba
caput talus (garis merah) di depan pergelangan kaki. Karena navicular bergeser ke
medial dan tuberositasnya hampir menyentuh malleolus medialis, kita dapat meraba
penonjolan bagian lateral dari caput talus (merah) yang hanya tertutup kulit di depan
malleolus lateralis. Bagian anterior calcaneus dapat diraba dibawah caput talus. Dengan
menggerakkan forefoot dalam posisi supinasi kearah lateral, kita dapat meraba navicular
bergeser -- meskipun sedikit -- didepan caput talus sedangkan tulang calcaneus akan
bergerak ke lateral di bawah caput talus.
Gambar 23. Persiapan Pemasangan Gips Ponseti dan Manipulasi
35
Manipulasi
Tindakan manipulasi adalah melakukan abduksi dari kaki dibawah caput talus yang telah
distabilkan. Tentukan letak talus. Seluruh deformitas kaki pengkor, kecuali equinus ankle,
terkoreksi secara bersamaan. Agar dapat mengoreksi kelainan ini, kita harus dapat menentukan
letak caput talus, yang menjadi titik tumpu koreksi.
Mengoreksi (memperbaiki) cavus
Bagian pertama metode Ponseti adalah mengoreksi cavus dengan memposisikan kaki depan
( forefoot ) dalam alignment yang tepat dengan kaki belakang ( hindfoot). Cavus, yang
merupakan lengkungan tinggi di bagian tengah kaki [ 1 garis lengkung kuning], disebabkan oleh
pronasi forefoot terhadap hindfoot. Cavus ini hampir selalu supel pada bayi baru lahir dan
dengan mengelevasikan jari pertama dan metatarsal pertama maka arcus longitudinal kaki
kembali normal [2 dan 3]. Forefoot disupinasikan sampai secara visual kita dapat melihat arcus
plantar pedis yang normal -- tidak terlalu tinggi ataupun terlalu datar. Alignment (kesegarisan)
forefoot dan hindfoot untuk mencapai arcus plantaris yang normal sangat penting agar abduksi --
yang dilakukan untuk mengoreksi adduksi dan varus -- dapat efektif.
Langkah-langkah Pemasangan Gips
Dr. Ponseti merekomendasikan penggunaan bahan gips karena lebih murah dan molding lebih
presisi dibanding dengan fiberglass.
Manipulasi Awal. Sebelum gips dipasang, kaki dimanipulasi lebih dahulu. Tumit tidak disentuh
sedikitpun agar calcaneus bisa abduksi bersama-sama dengan kaki [4].
Memasang padding. Pasang padding yang tipis saja [5] untuk memudahkan molding.
Pertahankan kaki dalam posisi koreksi yang maksimal dengan cara memegang jari-jari dan
counter pressure pada caput talus selama pemasangan gips.
Pemasangan Gips. Pasang gips di bawah lutut lebih dulu kemudian lanjutkan gips sampai paha
atas. Mulai dengan tiga atau empat putaran disekeliling jari-jari kaki [6] kemudian ke proksimal
sampai lutut [7]. Pasang gips dengan cermat. Saat memasang gips diatas tumit, gips
36
dikencangkan sedikit. Kaki harus dipegang pada jari-jari, gips ”dilingkarkan” di atas jari-jari
pemegang agar tersedia ruang yang cukup untuk pergerakan jari-jari.
Gambar 24. Pemasangan Gips
Molding gips. Koreksi tidak boleh dilakukan secara paksa dengan menggunakan gips.
Gunakanlah penekanan yang ringan saja. Jangan menekan caput talus dengan ibu jari terus
menerus, tapi ”tekan-lepas-tekan” berulangkali untuk mencegah pressure sore. Molding gips di
atas caput talus sambil mempertahankan kaki pada posisi koreksi [1]. Perhatikan ibu jari tangan
37
kiri melakukan molding gips di atas caput talus sedangkan tangan kanan molding forefoot
(dalam posisi supinasi). Arcus plantaris dimolding dengan baik untuk mencegah terjadinya
flatfoot atau rocker-bottom deformity. Tumit dimolding dengan baik dengan ”membentuk” gips
di atas tuberositas posterior calcaneus. Malleolus dimolding dengan baik. Proses molding ini
hendaknya merupakan proses yang dinamik, sehingga jari-jari harus sering digerakkan untuk
menghindari tekanan yang berlebihan pada satu tempat. Molding dilanjutkan sambil menunggu
gips keras.
Lanjutankan gips sampai paha. Gunakan padding yang tebal pada proksimal paha untuk
mencegah iritasi kulit [2]. Gips dapat dipasang berulang bolak-balik pada sisi anterior lutut untuk
memperkuat gips disisi anterior [3] dan untuk mencegah terlalu tebalnya gips di fossa poplitea,
yang akan mempersulit pelepasan gips.
Potong gips. Biarkan gips pada sisi plantar pedis untuk menahan jari-jari [4] dan potong gips
dibagian dorsal sampai mencapai sendi metatarsophalangeal. Potong gips dibagian tengah dulu
kemudian dilan jutkan kemedial dan lateral dengan menggunakan pisau gips. Biarkan bagian
dorsal semua jari-jari bebas sehingga dapat ekstensi penuh. Perhatikan bentuk gips yang pertama
[5]. Kaki equinus, dan forefoot dalam keadaan supinasi.
Gambar 25. Molding Gips
38
Hasil akhir
Setelah pemasangan gips selesai, kaki akan tampak over-koreksi dalam posisi abduksi
dibandingkan kaki normal saat berjalan. Hal ini bukan suatu over-koreksi. Namun merupakan
koreksi penuh kaki dalam posisi abduksi maksimal. Koreksi kaki hingga mencapai abduksi yang
penuh, lengkap dan dalam batas normal ini, membantu mencegah rekurensi dan tidak
menciptakan over-koreksi atau kaki pronasi.
2. Bracing18
Pada akhir pengegipan, kaki dalam posisi sangat abduksi -- sekitar 60-70 derajat (tight-foot axis).
Setelah tenotomi, gips terakhir dipakai selama 3 minggu. Protokol Ponseti selanjutnya adalah
memakai brace (bracing) untuk mempertahankan kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi.
Brace berupa bar (batang) logam direkatkan pada sepatu yang bertelapak kaki lurus dengan
ujung terbuka (straight-last open-toe shoes). Abduksi kaki dengan sudut 60-70 derajat ini
diperlukan untuk mempertahankan abduksi calcaneus dan forefoot serta mencegah kekambuhan
(relaps). Jaringan lunak pada sisi medial akan tetap teregang hanya jika dilakukan bracing setelah
pengegipan. Dengan brace, lutut tetap bebas, sehingga anak dapat ”menendangkan” kaki
kedepan sehingga meregangkan otot gastrosoleus. Abduksi kaki dalam brace, ditambah dengan
bar yang sedikit melengkung, akan membuat kaki dorsofleksi. Hal ini membantu
mempertahankan regangan pada otot gastrocnemius dan tendo Achilles. Ankle-foot orthose
(AFO) tidak berguna sebab hanya menahan kaki lurus dengan dorsofleksi netral.
Aturan pemakaian brace
Tiga minggu setelah tenotomi, gips dilepas, dan brace segera dipakai. Alat ini terdiri dari sepatu
open-toe high-top straight-last shoes yang terpasang pada sebuah batang logam [1]. Pada kasus
unilateral, brace dipasang pada 60-70 derajat eksternal rotasi pada sisi sakit dan 30-40 derajat
eksternal rotasi pada sisi yang sehat [2] . Pada kasus bilateral, brace diatur 70 derajat eksternal
rotasi pada kedua sisi. Bar harus cukup panjang sehingga jarak antar tumit sepatu selebar bahu
[2]. Kesalahan yang sering terjadi adalah bar yang terlalu pendek yang membuat anak merasa
tidak nyaman. Bar harus dilengkungkan 5-10 derajat kearah bawah (menjauhi badan) agar kaki
39
tetap dorsofleksi. Brace harus dipakai sepanjang hari selama 3 bulan pertama semenjak gips
terakhir dilepas. Setelah itu anak harus memakai brace ini selama 12 jam pada malam hari dan 2-
4 jam pada siang. Sehingga total pemakaian 14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4
tahun.
Gambar 26. Brace
Jenis-jenis brace
Modifikasi terhadap Ponseti brace yang orisinil memberi banyak keuntungan. Untuk mencegah
kaki merosot keluar dari sepatu maka suatu pad ditempatkan dibagian belakang sepatu [1].
Berbagai desain yang baru mebuat bracing lebih aman, lebih mudah dikenakan pada bayi dan
memungkinkan bayi bergerak. Kemudahan-kemudahan ini akan meningkatkan ketaatan.
Berbagai pilihan brace diperlihatkan pada [1-7].
H.M. Steenbeek bekerja untuk Christoffel Blinden Mission, di Katalemwa Chesire Home di
Kampala, Uganda telah mengembangkan bracing yang dapat dibuat dari bahan yang sederhana
dan mudah didapatkan [2]. Brace tersebut efektif mempertahankan koreksi, mudah dipakai,
mudah dibuat, tidak mahal, dan cocok dipakai untuk pemakaian luas.
John Mitchell telah mendesain sebuah brace dibawah pengawasan Dr. Ponseti. Brace terdiri dari
sepatu terbuat dari kulit lembut dan sol plastik yang dibentuk sesuai bentuk kaki anak, membuat
sepatu ini sangat nyaman dan mudah dipakai [3].
Dr. Matthew Dobbs dari Washington University School of Medicine di St Louis, AS membuat
dynamic brace yang memungkinkan kaki anak bergerak sambil tetap mempertahankan rotasi
kaki yang diperlukan [4]. Diperlukan AFO pada alat ini untuk mencegah plantar fleksi ankle.
40
M.J. Markel telah mengembangkan bracing yang memungkinkan orang tua penderita
memasang sepatu pada anak terlebih dahulu dan kemudian baru dikaitkan pada alat bar nya [5].
Dr. Jeffrey Kessler dari Kaiser Hospital, Los Angeles, AS telah membuat brace yang fleksibel
dan tidak mahal. Bar dibuat dari polypropylene setebal 1/8 inchi [6]. Brace ini sangat disukai
bayi sehingga meningkatkan ketaatan pemakaiannya.
Dr. Romanus mengembangkan brace ini di Swedia [7]. Sepatunya terbuat dari plastik yang
mudah dibentuk sesuai kaki anak. Bagian dalam sepatu dilapisi kulit yang lembut sehingga
membuatnya sangat nyaman. Sepatu ini di tempelkan pada batang dengan sekrup.
Gambar 27. Jenis-jenis Brace
b. Terapi operatif
41
Indikasi pemilihan pelaksanaan terapi operatif adalah adanya komplikasi yang terjadi setelah
terapi konservatif. Pada kasus resisten, terapi operatif paling baik dilakukan pada usia 3-6
minggu, ketika tidak tampak adanya perbaikan yang signifikan setelah menjalani terapi
konservatif yang teratur.
1. Koreksi jaringan lunak
Koreksi jaringan lunak dilakukan pada bayi dan anak dibawah 5 tahun. Pada usia ini, biasanya
belum ada deformitas pada tulang-tulang kaki, bila dilakukan operasi pada tulang dikhawatirkan
malah merusak tulang dan sendi kartilago anak yang masih rentan.
Koreksi dilakukan pada:
otot dan tendon
Achilles : tehnik pemanjangan tendo (Z-lengthening)
Tibia posterior: tehnik pemanjangan tendo atau transfer
Abduktor hallucis longus: tehnik reseksi atai eksisi
Fleksor hallucis longus dan fleksor digitorum longus: tehnik pemanjangan atau
reseksi muskulotendineus
Fleksor digitorum brevis
Tenotomi 18
Indikasi tenotomi
Tenotomi dilakukan untuk mengoreksi equinus setelah cavus, adduksi, dan varus
sudah terkoreksi baik akan tetapi dorsofleksi ankle masih kurang dari 10 derajat.
Pastikan abduksi sudah adekuat sebelum melakukan tenotomi.
Tahap Persiapan
Mempersiapkan keluarga. Jelaskan kepada keluarga mengenai tindakan yang akan
dilakukan, jelaskan bahwa tenotomi merupakan operasi minor, dengan anestesi
lokal, dan dilakukan di klinik rawat jalan.
Peralatan. Siapkan semua alat yang dibutuhkan, pilih pisau tenotomy no 11 atau
15, atau pisau kecil lainnya seperti pisau untuk operasi mata.
42
Skin preparation. Desinfeksi kulit mulai dari pertengahan betis sampai pertengahan
kaki dengan asisten memegang ujung jari dengan satu tangan dan paha dengan
tangan lainnya [1].
Anestesi. Sejumlah kecil obat anestesi disuntikkan disekitar tendo Achilles [2].
Hati-hati terlalu banyak obat anestesi membuat tendo sulit diraba dan tindakan
menjadi lebih sulit.
Persiapan untuk tenotomi
Dengan asisten mempertahankan ankle dalam posisi dorsoflesi maksimal, tentukan
letak tenotomi, kurang lebih 1,5 cm diatas calcaneus. Suntikkan sedikit anestesi
lokal disebelah medial tendo, pada tempat akan dilakukan tenotomi. Ingatlah
anatomi, neurovaskular bundle berada di anteromedial tendo Achilles. Tendo ini
berada didalam tendon sheath.
Tenotomi
Tusukkan ujung pisau dari sisi medial, sedikit disebelah anterior tendo [3]. Sisi
datar pisau dijaga tetap sejajar dengan tendo. Tempat tusukan ini menimbulkan
sayatan kecil. Tendon sheath tidak diiris dan dibiarkan utuh. Pisau kemudian
diputar, sehingga bagian tajam pisau mengarah ke tendo. Pisau kemudian
digerakkan sedikit ke posterior. Dirasakan sebagai ”pop” saat pisau memotong
tendo. Tendo belum dianggap terpotong seluruhnya, sampai sensasi ”pop” sudah
dirasakan. Setelah tenotomi, dorsofleksi ankle akan bertambah 15-20 derajat [4].
Gips paskatenotomi
Setelah equinus terkoreksi dengan tenotomi, pasang gips ke 5 [5] dengan kaki
abduksi 60-70 derajat dan dorsofleksi 15 derajat. Kaki tampak overkoreksi. Gips
dipertahankan selama 3 minggu setelah koreksi komplet. Gips dapat diganti jika
rusak atau kotor sebelum 3 minggu. Pasien dapat pulang, analgesik jarang
diperlukan.
43
Gambar 28. Tenotomi
Kapsul dan ligamen
Talonavicular
Subtalar
Sendi calcaneocuboid
Kapsul pergelangan kaki, antara lain bagian dari lig. deltoid
Ligamen yang kontraktur pada sisi posterolateral pergelangan kaki dan sendi
subtalar:
◦ Lig. calcaneofibular
◦ Lig. Talofibular posterior
◦ Retinakulum peroneal superior
Ligamen interoseus talocalcaneal
2. Koreksi jaringan keras
44
Operasi pada tulang atau osteotomi dilakukan setelah usia anak 5-10 tahun. Karena pada usia ini
biasanya telah terjadi deformitas struktur tulang dan koreksi yang diharapkan tidak mungkin
berhasil tanpa pembenahan tulang. Tindakan berupa:
1. Osteotomi calcaneus untuk koreksi inversi
2. Wedge reseksi sendi calcaneocuboid
3. Osteotomi cuboid
4. Osteotomi cuneiformis untuk koreksi adduksi yang berlebihan
5. Osteotomi tibia dan fibula, jika torsi tibia berlebihan (jarang terjadi)
Tindakan pada anak dengan usia lebih tua, lebih dari 10 tahun, biasanya:
1. Rekonstuksi tarsal, termasuk triple arthrodesis. Dilakukan pada kaki yang rigid dan
seringkali diserta nyeri serta tidak berespon pada gips serial atau prosedur operasi yang
lain.
2. Osteotomi femur
2.12 Prognosis
Rata-rata 50% CTEV pada neonatus dapat diperbaiki secara non-operatif. Ponseti
melaporkan 89% tingkat kesuksesan dengan menggunakan tekhniknya (termasuk tenotomi
Achilles). Sebuah penelitian menganalisis proses perbaikan pada pasien dengan CTEV idiopatik
setelah dilakukan tekhnik Ponseti. Data melaporkan bahwa gips yang baik akan menghasilkan
pengurangan cavus dan lipatan medial dengan perbaikan bertahap dari rotasi kaki tengah,
adduksi, dan varus tumit. Menarikanya, terjadi perbaikan pada equinus tumit bersamaan dengan
variable kaki tengah dan dengan gips yang paling akhir.3
Kebanyakan penelitian melaporkan 75-90% kepuasan dari tatalaksana operatif (tampilan
dan fungsi kaki). Kemampuan pergerakan sendi-sendi kaki dan pergelangan kaki berhubungan
dengan derajat kepuasan pasien.3
Kepuasan pasien didaptkan pada 81% kasus, dan rentang pergerakan dari pergelangan
kaki merupakan factor utama dalam menentukan hasil fungsional, yang dipengaruhi oleh tingkat
pendataran lengkung talus. Pada empat puluh empat persen pasien tidak terjadi dorsofleksi yang
45
melebihi keadaan normal, dan 38% pasien membutuhkan operasi lanjutan (hampir dua pertiga
diantaranya adalah operasi tulang). 3
Tingkat rekurensi dari deformitas ini dilaporkan sekitar 25%, dengan rentang 10-50%.
Menelaus melaporkan tingkat rekurensi 38%.3
Asalkan terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar selalu dapat diperbaiki;
walau demikian, keadaan ini tidak dapat sembuh sempurna dan sering kambuh, terutama pada
bayi dengan kelumpuhan otot yang nyata atau disertai penyakit neuromuskuler.10
46
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau sering disebut congenital club foot (kaki
gada) adalah suatu kelainan kongenital bentuk kaki dan pergelangan kaki yang berupa equinus
(plantar fleksi), varus (inversi) dan adduksi.
CTEV diklasifikasikan atas : 1. Postural atau posisional dan 2. Terfiksir atau rigid.
Postural atau posisional bukan merupakan CTEV yang sesungguhnya. CTEV rigid bisa fleksible
(misalnya: dapat dikoreksi tanpa tindakan bedah) atau resisten (membutuhkan tindakan bedah,
meskipun ini tidak sepenuhnya benar berdasarkan penelitian Ponseti).
Insidens talipes ekuinovarus kongenital adalah dua dari setiap 1000 kelainan hidup. Lebih
sering ditemukan pada bayi laki-laki daripada peremupuan (2:1). Tiga puluh persen bersifat
bilateral
Diagnosa CTEV dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Untuk pemeriksaan radiologis, metode evaluasi radiologis yang
standar digunakan adalah foto polos. Modalitas pemeriksaan tambahan lainnya yaitu CT-Scan,
USG dan MRI.
Penatalaksanaan harus dimulai sedini mungkin, lebih baik segera sesudah lahir.
Asalkan terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar selalu dapat diperbaiki; walau
demikian, keadaan ini tidak dapat sembuh sempurna dan sering kambuh.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Cailliet Rene. Foot and Ankle Pain. 12th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company, 1980.
2. Crenshaw AH. Campbell‘s Operative Orthopaedics. 7th ed. Missouri: Mosby Co, 1987.
3. Clubfoot. Taken from http://emedicine.medscape.com/article/1237077-overview on
January 1, 2012.
4. Clubfoot Imaging. Taken from http://emedicine.medscape.com/article/407294-
overview#showall on January 1, 2012.
5. Orto-CTEV. Taken from www.staff.undip.ac.id/FK/tantiajoe/files/2010/07/orto-ctev.doc
6. Rasjad Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed 2. Makassar: Bintang
Lamumpatue, 2003.
7. Campbell Suzanna K. Physical Therapy in Children. Philadelphia: W.B. Saunders
Company, 1995.
8. Lovell Wood W, Winter Robert B. Pediatric Orthopaedics. 2nd ed. Philadelphia: J.B.
Lippincott company; 1986.
9. Ferner H, J. Staubesand. The Sobotta Atlas of Human Anatomy, Vol II, Ed. Bahasa
Indonesia. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1985.
10. Apley Graham A. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Ed 7. Jakarta: Penerbit
Widya Medika, 1995.
11. Ribes Ramon. Learning Diagnostic Imaging. Heidelberg: Springer, 2008.
12. Misra, Rakesh R. Radiology for Surgeons. London: Greenwich Medical Media, 2002.
13. Chen, Michael Y M. Basic Radiology. New York: McGraw-Hill, 2004.
14. Mettler, Fred A. Essentials of Radiology. 2nd ed. Pennsylvania: Elsevier, 2005.
15. Lisle, David A. Imaging for Students. London: Arnold, 2001.
16. Thompson, Jon C. Netter’s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy. Philadelphia:
Elsevier, 2002.
17. Moeller, Torsten B. Pocket Atlas Of Radiographic Anatomy. 2nd ed. New York: Thieme,
2000.
18. Stahell, Lynn. Kaki Pengkor: Penanganan Dengan Metode Ponseti. Ed 3. Global Help
Organization, 2008.
48
Top Related