Download - CRS Rinitis Allergika.doc

Transcript
Page 1: CRS Rinitis Allergika.doc

CASE REPORT SESSION (cRs)

RINITIS ALERGIKA

Preseptor:

Hj. Tety H. Rahmi, dr., Sp.THT-KL. M.Kes, M.H.Kes

Disusun Oleh:

Rizki Trya Permata 12100111011

Eganata Nugraha 12100111043

M. Ifan Romli 12100111010

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK - KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH BANDUNG

2013

ANATOMI HIDUNG

Page 2: CRS Rinitis Allergika.doc

Merupakan bagian dari respiratory track superior yang terletak di belakang palatum

durumdan terdiri dari organ penciuman perifer.

Secara anatomy terdiri dari 2 bagian:

Eksternal

Nasal cavity, dimana nasal cavity dibagi lagi menjadi 2 bagian yaitu kiri dan kanan

yang dipisahkan oleh nasal septum.

Fungsi hidung:

Penciuman

Bernapas

Menyaring debu

Pelembab udara inspirasi

Menerima dan mengeluarkan secret dari paranasal sinus dan duktus nasokrimal

External nose

Hidung yang terlihat dari luar, skeletonnya cartilaginous

Dorsum, memanjang dari nasal root hingga apex (ujung) hidungpear

Permukaan inferior berbentuk piriform (pear-shaped) terbuka membentuk nares/

nostrils/ aperture yang terikat di lateralnya pada alae (wings) of the nose.

Tulang bagian superiornya termasuk akarnya ditutupi oleh kuilt tipis

Page 3: CRS Rinitis Allergika.doc

Untuk bagian cartilagonya ditutupi kulit yang lebih tebal yang banyak mengandung

kelenjar sebacea

Kulit memanjang ke vestibule, yang merupakan daerah hidung yang banyak terdapat

rambut (vibrissae) yang berfungsi untuk menyaring udara karena daerah ini lembab

(moist)

Skeleton of external nose

Sistem skeleton pada hidung terdiri dari bone, dan hyaline cartilage.

Tulang

o Nasal bones

o Frontal process of maxillae

o Nasal part of frontal bone & its nasal spine

o Bony part of nasal septum

Kartilago, terdiri dari 5 kartilago utama

o 2 lateral cartilage

o 2 alar cartilage

o 1 septal cartilage

Bentuk “U” dari alar cartilage itu bebas dan dapat digerakkan, dapat mendilatasi dan

mengkonstriksikan lubang hidung ketika otot otot hidung berkontraksi.

Nasal septum

Page 4: CRS Rinitis Allergika.doc

bagian hidung yang memisahkan kedua lubang hidung

terdiri dari bagian tulang dan kartilago lunak

Komponen utama nasal septum :

Perpendicular plate of ethmoid yang tipis membentuk bagian superior dari nasal

septum. Mulai dari cribiform plate hingga ke atas menuju crista galii.

Vomer, flat bone, tipis, membentuk bagian posteroinferior nasal septum dengan

kontribusi dari nasal crest of maxillary & palatine bones

Septal cartilage memiliki tonjolan & grove articular dengan ujung bony

septum

Nasal Cavity

Nasal cavity terdiri atas kiri dan kanan yang dipisahkan oleh septum nasal

Ujung posterior terbuka ke nasofaring melalui choana. Nasal cavity dilapisi oleh

lapisan mukosa kecuali nasal vestibule yang dilapisi oleh kulit

Nasal mucosa terikat pada periosteum & perichondrium

Nasal mucosa terus melapisi hingga ke nasopharynx, paranasal sinus, lacrimal sac dan

conjuncativa.

2/3 bagian inferior nasal cavity merupakan respiratory area dan 1/3 bagian superior

merupakan olfactory.

Boundaries of the nasal cavity

The Roof curved and narrow kecuali bagian posterior, dibagi menjadi 3 bagian,

(frontonasal, ethmoid, sphenoid)

The floor lebih luas dibandingkan dengan roof, dibentuk oleh processus palatine &

horizontal paltes of palatine bone.

Medial wall dibentuk oleh nasal septum

Lateral wall irregular owing to the bony plates

Page 5: CRS Rinitis Allergika.doc

Gambaran Kavitas Nasal

Nasal conchae

Terdapat 3 nasal conchae : superior, middle, inferior, yang membentuh curve

inferomedially

Nasal cavity memiliki 5 passage:

Sphenoethmoidal recess (posterosuperiorly)

3 nasal meatus (laterally) superior, middle, inferior

A medially common nasal meatus

Inferior concha

Terpanjang dan terluas, ditutupi oleh mucus membran yang mengandung ruang

vascular besar yang dapat membesar untuk mengontrol caliber of nasal cavity ketika

terinfeksi / teriritasi. Mukosa akan membengkak dengan cepat dan dapat menutup

passage.

Sphenoethmoidal recess, terletak superoposterior dari superior concha, menerima

opening dari sphenoidal sinus.

Superior nasal meatus passage sempit diantara superior dan middle nasal concha

Middle nasal meatus lebih panjang dan lebih dalam dari superior nasal meatus.

bagian anterosuperiornya menuju funnel-shaped opening (ethmoidal infundibulum)

yang menghubungkan dengan fontal sinus (frontonasal duct)

Page 6: CRS Rinitis Allergika.doc

Semilunar hiatus merupakan semi circular groove which frontal sinus open

Ethmoidal bulla tonjolan bulat yang terletak di superior dari hiatus. Akan terlihat

ketika middle concha diangkat.

Bulla dibentuk dari cell middle ethmoidal yang membentuk ethmoidal sinus.

Inferior nasal meatus horizontal passage dibagian inferolaterall dari inferior nasal

concha.

Nasolacrmal duct open into the anterior part of inferior meatus

Common nasal meatus bagian tengah dari nasal cavity diantara concha dan nasal

septum.

Vaskularisasi dan Inervasi Hidung

Suplai arteri untuk dinding medial dan lateral of the nasal cavity berasal dari 5 sumber.

1. anterior ethmoidal artery (cabang dari ophthalmic artery)

2. posterior ethmoidal artery (cabang dari ophthalmic artery)

3. sphenopallatine artery (cabang dari maxillae artery)

4. greater palatine artery (cabang dari maxillae artery)

5. septal branch of the superior labial (cabang dari facial artery)

tiga arteri pertama dari urutan diatas, terbagi menjadi bagian lateral dan medial

(septal branch)

greater palatine artery mencapai septum lewat incisive canal melalui hard

pallatum

anastomosis pleksus dari arteri-arteri (5 arteri) terdapat di anterior nasal

septum (kiesselbach area)

external nose juga menerima supply darah dari (1) & (5) juga nasal branch

dari infraorbital artery dan lateral nasal branches dari facial artery.

A rich submucosal venous plexus terdapat di dalam nasal mucosa drainase

ke sphenopalatine , facial dan ophthalmic vein.

Page 7: CRS Rinitis Allergika.doc

Inervasi

Mukosa hidung untuk inervasi, dibagi menjadi 2 bagian, posteroinferior dan

anterosuperior.

Bagian posteroinferior mendapatkan innervasi dari

1. maxillary nerve

2. nasopalatine nerve

3. nasal septum

4. superior lateral nasal

Bagian anterosuperior menerima inervasi dari

1. cranial nerve V (trigeminal)-1

2. allae cranial nerve V (trigeminal)-2

Olfactory nerve (CN I)muncul dari sel sel di olfactory epithelium yang berada di

bagian atas dinding lateral & septal nasal cavity

Page 8: CRS Rinitis Allergika.doc

RINITIS ALERGI

Definisi Rinitis Alergi

Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2001, Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin (sneezing),

rhinorea, rasa gatal (itching) dan tersumbat (obstruction) setelah mukosa hidung terpapar

alergen yang diperantarai oleh IgE.

Epidemilogi

Rinitis alergi terjadi pada 10% orang Amerika.

80% pasien mengalami gejala rinitis alergi sebelum usia 20 tahun.

Resiko meningkat pada pasien dengan riwayat orang tua alergi/atopi.

Prevalensi rinitis alergi sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita tetapi bervariasi

pada tiap negara mungkin karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.

Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda tergantung

perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi.

Patogenesis & Patofisiologi Rinitis Alergi

Page 9: CRS Rinitis Allergika.doc

Reaksi alergi di hidung diawali dengan tahap sensitisasi, kemudian diikuti reaksi

alergi yang menghasilkan mediator antara lain molekul histamin yang terlepas dari kompleks

Ig E-mastosit dan atau Ig E-basofil yang berkontak ulang dengan alergen spesifiknya. Reaksi

alergi terdiri dari dua fase yaitu reaksi alergi fase cepat (immediate phase allergic reaction)

yang berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen dan puncaknya pada 15-20

menit pertama. Reaksi alergi fase lambat (late phase allergic reaction) yang berlangsung

sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian, dengan puncak pada 4-8 jam pertama.

Fase SensitisasiAlergen yang menempel pada permukaan mukosa saluran pernafasan ditangkap oleh sel

penyaji (APC)

Terbentuk fragmen peptida imunogenik.

Fragmen pendek peptida + HLA kelas II MHC kelas II yang berada di permukaan sel APC

Komplek peptida-MHC-II dipresentasikan Helper-T cells (TH0).

Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tesebut.

Sel APC akan melepas sitokin IL-1.

IL-1 akan mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2.

Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 ditangkap reseptornya pada permukaan limfosit-B.

Aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini memproduksi IgE.

Reaksi Alergi Fase Cepat

Page 10: CRS Rinitis Allergika.doc

Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah.

Memasuki jaringan & ditangkap oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau sel basofil.

Degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator alergi (terutama histamin) Histamin menyebabkan hipersekresi mukosa & kelenjar goblet rinore. Histamin merangsang reseptor H1 di ujung saraf vidianus gatal di hidung & bersin-

bersin. Vasodilatasi sinusoid hidung tersumbat Histamin merangsang mukosa hidung pengeluaran ICAM 1 (Inter Cellular

Adhesion Molecule 1).

Reaksi alergi fase cepat mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian.

Sepanjang reaksi alergi fase cepat mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil

chemotactic factor of anaphylatic).

Kedua molekul itu menyebabkan penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.

Reaksi Alergi Fase Lambat

Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat

yang berlangsung sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah terlihatnya

pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi seperti eosinofil, lomfosit, netrofil, basofil

dan mastosit di mukosa hidung yang berakumulasi di jaringan sasaran dengan puncak

akumulasi antara 4-8 jam. Selain itu pada fase ini juga terjadi peningkatan sitokin seperti IL3,

IL4, IL5, molekul adhesi, chemokin-chemokin lain. Sel yang paling konstan bertambah

banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan korelasi dengan tingkat beratnya

gejala pasca paparan adalah eosinofil. Pada fase ini selain faktor spesifik (alergen), iritasi

faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,

perubahan cuaca, dan kelembapan udara yang tinggi.

Gambaran Histologi

Gambaran rinitis alergi secara mikroskopik saat serangan, yaitu:

- Tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet

dan sel pembentuk mukus.

- Terdapat pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal.

- Ditemukannya infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Page 11: CRS Rinitis Allergika.doc

Serangan dapat terjadi terus-menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga terjadi

perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,

sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Etiologi

Berdasarkan masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, masuk bersamaan dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu

rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang

(kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Altermaria).

2. Alergen ingestan, masuk melalui saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi,

telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan

lebah.

4. Alergen kontaktan, masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan

kosmetik, perhiasan.

Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor

nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang,

perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.

Antigen masuk ke dalam tubuh mengakibatkan terjadi reaksi yang secara garis besar

terdiri dari:

1. Respon Primer:

- Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag).

- Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir disini.

- Bila Ag tidak berhasil dihilangkan seluruhnya, reaksi berlanjut menjadi respon

sekunder.

2. Respon Sekunder:

- Reaksi bersifat spesifik, yang memiliki 3 kemungkinan, yaitu sistem imunitas seluler

atau humoral atau keduanya dibangkitkan.

- Bila Ag masih tetapa ada atau sudah terdapat defek dari sistem imunologi maka reaksi

berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon Tersier:

- Reaksi imunologi ini yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh.

- Reaksi ini dapar bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag

oleh tubuh.

Page 12: CRS Rinitis Allergika.doc

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu:

1. Tipe 1 atau reaksi anfilaksis (immediate hypersensitivity).

2. Tpe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik.

3. Tipe 3 atau reaksi kompoleks imun.

4. Tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1

yaitu rinitis alergi.

Klasifikasi Rinitis Alergi

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO

Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan

sifat berlangsungnya terbagi menjadi:

1. Intermitten (kadang-kadang): gejala < 4 hari/minggu atau < 4 minggu.

2. Persisten/menetap: gejala > 4 hari/minggu atau > 4 minggu.

Berdasarkan tingkat berat-ringan penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan: bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat: bila terdapat 1 atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).

Nama lainnya: polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak

ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

Di Indonesia tidak ada, biasanya terdapat di negara yang memiliki 4 musim.

Alergen: tepungsari (pollen) dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial).

Gejala timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat

ditemukan sepanjang tahun,

Penyebab yang paling sering:

- Alergen inhalan (terutama pada dewasa): alergen di dalam rumah (indoor) dan

alergen di luar rumah (outdoor).

- Alergen ingestan: sering pada anak-anak dan biasanya disertai gejala alergi lain,

seperti urtikaria, gangguan pencernaan.

Gangguan fisiologi pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan golongan

musiman tetapi karena lebih persisten maka lebih sering mengalami komplikasi.

Page 13: CRS Rinitis Allergika.doc

Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis penting, hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

Dalam anamnesis perlu ditanyakan mengenai gangguan alergi selain yang menyerang

hidung, seperti asma, ekzema, urtikaria, atau sensitivitas obat dan riwayat penyakit

alergi dalam keluarga.

Gejala rinitis alergi yang khas: terdapatnya bersin berulang.

Gejala yang lain: keluar sekret (rinorea) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,

hidung dan mata gatal, kadang-kadang disertai banyak keluar air mata (lakrimasi).

Kadang-kadang gejala hidung tersumbat merupakan keluhan utama pasien.

Gejala sering timbul tidak lengkap terutama pada anak.

2. Pemeriksaan fisik

Rinoskopi anterior: mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya

sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten: mukosa inferior tampak hipertrofi.

Jika terdapat infeksi penyerta: sekret encer dan mukoid sampai dengan kental dan

purulen, mukosa menjadi merah dan meradang, terbendung atau bahkan kering.

Pemeriksaan nasondoskopi jika fasilitas tersedia.

Gejala spesifik pada anak:

- Terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung (allergic shiner).

- Anak tampak sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan karena

gatal (allergic salute) mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi

bagian sepertiga bawah (allergic/nasal crease).

- Mulut sering terbuka dengan langit-langit yang tinggi sehingga menyebabkan

gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid).

- Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appaearance),

serta dinding lateral faring menebal.

- Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

Septum nasi dapat mengalami deviasi atau perforasi akibat rhinitis alergi kronik,

penyakit granulomatous.

Page 14: CRS Rinitis Allergika.doc

Pemeriksaan otoskopi: perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-fluid level,

atau bubble. Kelainan mobilita dari membran timpani dapat dilihat dengan

menggunakan otoskopi pneumatik. Kelainan tersebut dapat terjadi pada rhinitis alergi

yang disertai disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.

3. Pemeriksaan penunjang

In vitro:

Hitung eosinofil dalam darah dapat normal/meningkat.

Pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) sering menunjukkan

nilai normal, kecuali bila terdapat lebih dari satu macam penyakit, misalnya: rinitis

alergi dan asma bronkial atau urtikaria.

Pemeriksaan IgE total berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau

anak dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.

Pemeriksaan yang lebih bermakna yaitu pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST

(Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent

Assay Test).

Pemeriksaan sitologi hidung: berguna sebagai pemeriksaan pelengkap walaupun

tidak dapat memastikan diagnosis Hasil:

- Jika jumlah eosinofil banyak kemungkinan alergi inhalan.

- Jika basofil (> 5 sel/lap) alergi makanan.

- Jika sel PMN infeksi bakteri.

In vivo:

Cara pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab: test cukit kulit (Prick Test), uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

Titration/SET) dan uji gores (Scratch Test).

SET dilakukan untuk alergen inhalan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi yang setingkat kepekatannya.

Keuntungan SET: dapat menentukan alergen penyebab, derajat alergi dan mengetahui

dosis inisial desensitisasi.

Uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IIPDFT): untuk alergi

makanan, tetapi sebagai baku emas dapat dilakukan diet eliminasi dan provokasi

(“Chalenge Test”).

Page 15: CRS Rinitis Allergika.doc

Pada “Chalenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah

berpantang selama 5 hari, kemudian diamati reaksinya karena alergen ingestan akan

tuntas tidak ada dalam tubuh dalam waktu 5 hari.

Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai

suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Ko-Morbiditas

Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai komorbiditas telah

diketahui berhubungan dengan rinitis.

1. Asma atau dermatitis atopik.

Pasien dengan rinitis alergi sebanyak 20% juga memiliki gejala asma. Rinitis alergi yang

tidak terkontrol akan memperburuk asma atau dermatitis atopik.

Pada Asma:

Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan.

Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan hipereaktivitas bronkus

yang non-spesifik.

Banyak penderita rinitis juga menderita asma.

Saluran nafas atas dan bawah diduga diepngaruhi oleh suatu proses inflamasi yang

serupa yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling

berhubungan ini.

Penyakit alergi dapat bersifat sistemik.Provokasi bronkial menyebabkan inflamasi

nasal dan provokasi nasal menyebabkan inflamasi bronkial.

2. Kondisi lain.

Kondisi lain yang terjadi yang menyertai rinitis alergi adalah konjungtivitis. Kondisi

lainnya yang juga menyertai dan dapat terjadi sebagai komplikasi adalah sinusitis, otitis

media, gangguan tidur atau apneu, abnormal palatum dan polip nasal.

Penatalaksanaan

Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi:

a. Penghindaran alergen.

Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk mencegah

kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga degranulasi sel mast

tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari. Namun, dalam praktiknya sangat sulit

Page 16: CRS Rinitis Allergika.doc

mencegah kontak dengan alergen tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk

mengetahui pentingnya peranan penghindaran alergen.

b. Pengobatan medikamentosa

Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau menetralisasi

kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau

mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang

digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara

inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik

yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Antihistamin

diabsorbsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada

respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi

obstruksi hidung pada fase lambat.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin atau topikal.

Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk

menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat

tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi

jumlah sel mast pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari

eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.

Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas

inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk

rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.

Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan. Karenanya pada

penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.

Tabel 1. Efek terapi terhadap gejala-gejala rinitis

Bersin Rinorea Sumbatan Hidung Gatal hidung Keluhan mataH1-antihistamin- oral- intranasal- intaokular

++++0

++++0

++0

+++++0

++0

+++Kortikosteroid

Page 17: CRS Rinitis Allergika.doc

- intranasal ++++ +++ +++ ++ ++Kromolin-Intranasal-Intraokular

+0

+0

+0

+0

0++

Dekongestan- Intranasal- Oral

00

00

+++++

00

00

Antikolinergik 0 ++ 0 0 0Anti-leukotrin 0 + ++ 0 ++

c. Imunoterapi spesifik

Imunoterapi spesifik efektif 80-90% jika diberikan secara optimal. Imunoterapi

subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena

itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis

atau dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen

utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih

dan penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.

Indikasi imunoterapi spesifik subkutan:

Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional

Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan

antihistamin H1 dan farmakoterapi.

Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi.

Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak

diinginkan.

Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.

Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi spesifik oral:

Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali lebih besar

dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.

Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak imunoterapi

subkutan.

Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan

Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan

untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur 5 tahun.

d. Imunoterapi non-spesifik

Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti

pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama mampu menekan

Page 18: CRS Rinitis Allergika.doc

reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat

berbeda.

Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam

sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga

tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-

inflammatory.

e. Edukasi

Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam

menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan

populasi limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui

mekanisme imunopsikoneurologis.

f. Operatif

Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa penderita yang

sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi

memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung

Alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip

hidung dan kekambuhan polip hidung.

Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan manifestasi

utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan sekitar ostia sinus

di meatus medius.

Tanda patognomonis polip:

- Inspisited mucous glands

- Akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil

dan limfosit T CD4+)

- Hiperplasia epitel

- Hiperplasia goblet

- Metaplasia skuamosa.

Page 19: CRS Rinitis Allergika.doc

- Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang

berperan meningkatkan reaksi alergis.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis paranasal

Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus paranasal.

Proses alergi berperan dalam terbentunya sinusitis paranasal dan dapat pula

memperburuk sinusitis.

Mekanisme:

Proses alergis dalam mukosa.

Edema mukosa ostia sinus

Sumbatan ostia

Penimbunan mukus

Penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus

Menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob.

Proses alergi

Sel eosinofil melepas mediator-mediator protein basa (MBP)

Destruksi mukosa sinus paranasal

Fungsi barier epitel sinus paranasal rusak

Sinusitis semakin parah.

Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan obstruksi

ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral

maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatan rasionalnya

adalah pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi

dan bila perlu operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi E., Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2008.

Page 20: CRS Rinitis Allergika.doc

2. Adams G., Boies L., Higler P. Boies Fundamentals of Otolaryngology. Edisi ke-6. W. B. Saunders Company. Philadelphia: 1989.

3. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.

4. Lee K. J. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi ke-8. McGraw-Hill. USA: 2003.

5. Baratawidjaja K. Garna. Imunologi Dasar. Edisi ke-7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006.

6. McCance K. L. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Edisi ke-5. Elseiver Mosby. USA: 2006.