REFERAT
EPILEPSI
Disusun oleh:
Halimanda Denta Putra, S.Ked 2007.04.0.0059
Windy Tiandini, S.Ked 2007.04.0.0072
RSU HAJI
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM HANG TUAH
SURABAYA
2012
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
EPILEPSI
Referat yang berjudul “Epilepsi” telah diperiksa dan disetujui
sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepanitraan
Dokter Muda di bagian Ilmu Saraf.
Referat ini dipresentasikan pada tanggal 1 Februari 2012.
Mengetahui,
Pembimbiing
Dr. Neimy Novitasari, Sp.S
BAB I
PENDAHULUAN
Kata “epilepsi” berasal dari kata Yunani “epilambanein” yang berarti
“serangan” dan menunjukkan, bahwa “sesuatu dari luar badan seseorang
menimpanya, sehingga ia jatuh”. Epilepsi tidak dianggap sebagai suatu
penyakit, akan tetapi sebabnya diduga sesuatu di luar badan penderita,
biasanya dianggap sebagai kutukan roh jahat atau akibat kekuatan gaib
yang menimpa seseorang. Anggapan demikian masih terdapat pada
sampai saat ini, terutama di kalangan masyarakat yang belum terjangkau
oleh ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.
Epilepsi sudah dikenal sekitar 2000 tahun sebelum Masehi di
daratan Cina, namun Hipocrates-lah orang pertama yang mengenal
epilepsi sebagai gejala penyakit. Ia menduga, bahwa serangan epilepsi
adalah akibat suatu penyakit otak yang disebabkan oleh keadaan yang
dapat dipahami dan bukan akibat kekuatan gaib.
Penelitian-penelitian di seluruh dunia mengenai berbagai aspek,
termasuk dasar neurokimia dan neurofisiologi serangan epilepsi,
gambaran klinik, diagnosis, pengobatan, aspek-aspek psikososial dan
lain-lain, telah banyak member sumbangan dalam meningkatkan
pengertian tentang epilepsi dan penanggulangannya. Meskipun demikian,
baik pada Negara-negara maju, penanggulangan masalah epilepsi masih
belum memuaskan. Sebab utama adalah kurangnya pengertian tentang
epilepsi di kalangan masyarakat awam, pemerintah maupun kelangan
profesi. Selain itu, anggapan bahwa penyandang epilepsi hanya dapat
ditangani oleh seorang spesialis, menyebabkan dokter umum kurang
berminat untuk mengetahui lebih banyak tentang masalah epilepsi.
BAB II
EPILEPSI
2.1Pengertian
WHO menyatakan epilepsi adalah kelainan kronis otak karena
berbagai macam penyebab yang ditandai oleh serangan/ bangkitan
(seizures) yang berulang-ulang (recurrent) akibat lepasnya muatan
listrik yang berlebih dari neuron-neuron di otak. (Ginsberg L, 2007).
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi
klinik dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlangsung secara
mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak,
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).
Epilepsy refrakter terhadap obat anti epilepsy adalah tetap
adanya bangkitan epilepsy meskipun telah memakai obat anti epilepsy
meskipun telah memakai OAE monoterapi optimal dengan 2 OAE lini
pertama bergantian atau OAE kombinasi.
Selanjutnya yang dimaksud dengan status epileptikus adalah
suatu keadaan di mana terjadi kejang berulang – ulang dan di antara
dua serangan penderita tetap tidak sadar atau lebih dari 5 menit.
Serial epilepsy adalah adanya fase sadar diantara dua fase
kejang.
Sindrom epilepsy adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis
epilepsy yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur,
awitan (onset), jenis serangan, factor pencetus dan kronisitas.
2.2 Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif,
dengan 20-50 pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per
tahunnya. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia muda, terutama
pada dekade ke-2. Angka kejadian epilepsi merosot drastis setelah
melewati usia 30 tahun dan mulai menanjak lagi hingga mencapai
puncak tertinggi ke-2 pada usia tua. Epilepsi juga sering berkembang
pada negara bekembang daripada negara maju, karena negara
berkembang memiliki tingkat kecukupan gizi, kebersihan lingkungan
yang kurang, dan masih tingginya kasus-kasus infeksi. Perkiraan
angka kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000.
Kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya
ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara
serangan tersebeut pasien tidak sadar (status epileptikus), atau jika
terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma.
Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita
epilepsi (sudden unexplained death in epilepsi – SUDEP) diasumsikan
berhubungan dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena
disfungsi kardiorespirasi. (PDSSI, 1996)
2.3 Etiologi
Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat
timbul jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan
mendadak dalam otak, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi
otak.
Ditinjau dari penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu epilepsi idiopatik (tidak ditemukan penyebabnya) dan
epilepsi sekunder ( epilepsi yang penyebabnya diketahui).
Pada epilepsi primer, tidak ditemukan kelainan pada jaringan
otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan
zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang
abnormal. Gangguan keseimbangan kimiawi ini dapat menimbulkan
cetusan listrik yang abnormal, tetapi mengapa tepatnya dapat terjadi
suatu kelainan kimiawi yang hanya terjadi sewaktu-waktu dan
menyerang orang-orang tertentu belum diketahui.
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah
sekunder atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.
Menurut Ginsberg L (2007), penyebab spesifik dari epilepsi
antara lain:
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu,
seperti ibu mengalami infeksi, minum alcohol atau terjadi trauma.
Kelainan yang terjadi selama proses kelahiran, seperti kurang
oksigen yang mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena
tindakan (forsep) atau trauma lain pada otak bayi
Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
Tumor otak. Akan tetapi masih merupakan penyebab tidak umum
pada epilepsi dan biasanya menyerang anak-anak.
Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah
otak.
Radang atau infeksi. Misalnya radang selaput otak (meningitis)
Penyakit keturunan seperti fenilketonuria, sklerosis tuberosa, dan
neurofibromatosis dapat menimbulkan kejang berulang.
Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini
disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah
dari normalnya yang diturunkan pada anak. Bila salah satu orang
tua atau saudara kandung menyandang epilepsi, maka
kesempatan mendapat epilepsi pada anak adalah 5%, tetapi bila
kedua orang tua menyandang epilepsi, maka kesempatan anak
dengan epilepsi adalah 10%.
Adapun menurut beberapa teori, terjadinya epilepsy dapat
disebabkan:
Berubahnya keseimbangan neurotransmitter
Neurotransmitter eksitasi di SSP umumnya diwakili oleh
asam amino Glutamat dan sebagian kecil oleh Aspartat.
Sedangkan untuk pengendalian fungsi hambat/pengereman
diserahkan pada GABA (Gamma Amino Butiric Acid). Pada orang
normal fungsi eksitasi dan inhibisi berada dalam keadaan yang
seimbang. Namun pada epilepsy diduga terjadi pergeseran
keseimbangan ini sehingga fungsi ektasi menjadi berlebihan, atau
sebaliknya terjadi penurunan fungsi inhibisi.
Perubahan homeostatic ionic
Menurunnya kemampuan untuk mengatur secara ketat
milieu ion ekstra seluler. Secara teoritis diduga menjadi penyebab
terjadinya seizure. Calcium dan Kalium banyak berperan disini.
Namun chloride, Magnesium dan terkadang Zinc juga punya
peranan. Ion-ion ini terlibat dalam stabilisasi potensial membran
neuron, mengatur pelepasan neurotransmiiter dan memodulasi
respon dari reseptor neurotransmitter.
Penyusunan kembali sirkuat neuronal
Pemutusan perjalanan neuron oleh sebab apapun dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan hubungan antar neuron
yang dikenal sebagai Synaptic Rearrangement. Kemampuan
untuk menyusun kembali hubungan antar neuron (synaps) ini
adalah normal untuk otak yang sehat, yang juga terjadi sebagai
sebagai reaksi terhadapnya adanya jejas (injury). Penyusunan
kembali ini alamiahnya terjadi secara acak, sehingga lesi yang
identik sekalipun tidak selalu mengakibatkan terjadinya epilepsy,
tergantung keseimbanan komposisi antara synaps yang bersifat
inhibisi dan eksitasi. Epilepsy timbul bila synaps yang bersifat
inhibisi berkurang atau synaps yang bersifat eksitasi tumbuh
berlebihan.
2.4Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan
lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin
melalui impuls listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal
sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron
berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang
mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking
system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi
secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme
pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s
inhibitory neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah
aspartat dan asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya
adalah noradrenalin, dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida.
Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan
masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh
transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal,
sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau
kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh
neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara
klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan
epilepsi.
2.5Faktor Pencetus
Adapun berbagai faktor yang dapat mencetuskan timbulnya
epilepsi, antara lain:
a. Kurang tidur
Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas sel-sel otak
sehingga dapat mencetuskan serangan
b. Stres emosional
Stress dapat meningkatkan frekuensi serangan.
c. Infeksi
Infeksi biasanya disertai demam. Dan demam inilah yang
merupakan pencetus serangan karena demam dapat
mencetuskan terjadinya perubahab kimiawi dalam otak, sehingga
mengaktifkan sel-sel otak yang dapat menimbulkan serangan.
d. Obat-obat tertentu
Beberapa obat dapat menimbulkan serangan seperti
penggunaan obat-obat antidepresan trisiklik, obat tidur (sedative)
atau fenotiasin. Begitu pula menghentikan obat penenang
mendadak seperti barbiturate da valium dapat mencetuskan
kejang.
e. Alkohol
Alcohol dapat menghilangkan faktor penghambat terjadinya
serangan. Biasanya peminum alcohol juga mengalami kekurangan
tidur sehingga memperburuk keadaan.
f. Perubahan hormonal
Pada masa haid dapat terjadi perubahan siklus hormone
(berupa peningkatan kadar estrogen) dan stress, dan hal ini
diduga merupakan pencetus terjadinya serangan.
g. Terlalu lelah
Terlalu lelah atau stress fisik dapat menimbulkan
hiperventilasi dimana terjadi peningkatan kadar CO2 dalam darah
yang mengakibatkan terjadinya penciutan pembuluh darah otak
yang dapat merangsang terjadinya serangan epilepsi.
h. Fotosensitif
Ada beberapa dari penderita epilepsi yang sensitive
terhadap kerlipan/ kilatan sinar pada kisaran 10-15 Hz. Hal itu
ditemukan pada tempat diskotik ataupun pada pesawat televisi.
2.6 Klasifikasi
Menurut International Classification of Epilepsi 1981,
pembagian epilepsi adalah sebagai berikut: (Prof. Chandra, 1994)
I. Serangan parsial (fokal, local), kesadaran tidak berubah
Epilepsi parsial adalah serangan epilepsi yang bangkit akibat
lepas muatan listrik di suatu daerah di korteks serabut (terdapat
suatu fokus di korteks serebri)
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran tetap baik)
i. Dengan gejala motorik
Fokus epilepsi biasanya pada girus presentralis lobus
frontalis (pusat motorik). Kejang dimulai dari ibu jari, meluas
ke seluruh tangan, lenga, muka, dan tungkai.kadang-
kadang berhenti pada satu sisi. Akan tetapi bila
rangsangannya sangat kuat maka menjadi kejang umum
yang disebut Jackson motoric epilepsi.
ii. Dengan gejala sensorik
Fokus epilepsi di girus postsentralis lobus parietali.
Penderita merasa kesemutan pada daerah ibu jari, lengan,
muka dan tungkai, tanpa kejang motoris, yang dapat
meluas ke sisi yang lain. Diseut dengan Jackson sensoric
epilepsi.
iii. Dengan gejala autonom
iv. Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun)
Epilepsi parsial komplek adalah epilepsi parsial yang
disertai dengan gangguan kesadaran. Tanda-tanda yang
menonjol terutama adalah gejala psikis dan automatisme.
Disebut juga epilepsi psikomotor.
Pada epilepsi jenis ini, meskipun penderita
mengalami gangguan kesadaran, akan tetapi masih bisa
melakukan gerakan otomatis seperti mengunyah, menguap,
menggunakan pakaian, mandi, naik sepeda dan lain-lain.
Epiliepsi jenis ini dibagi menjadi:
i. Berasal dari parsial sederhana dan berkembang ke
penurunan kesadaran.
ii. Dengan penurunan kesadaran sejak awal.
c. Serangan umum sekunder
Adanya perubahan dari serangan parsial sederhana
dan serangan parsial komplek menjadi serangan umum
(biasanya grandmal)
II. Serangan umum
Pada kelompok ini gambaran klinik ataupun perubahan
EEG menunjukkan bahwa dari awalnya cetusan epileptic
melibatkan kedua hemisfer dengan serentak dan tidak ada
petunjuk adanya suatu fokus epileptic di korteks serebri.
Adapun jenis epilepsi serangan umum ini dibagi menjadi:
a. Absence seizures (petit mal)
Pada epilepsi ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini
ditandai oleh terjadinya gangguan kesadaran dalam waktu
singkat (6-10 detik), sehingga penderita tidak sampai jatuh.
Penderita berhenti dari aktivitasnya, seakan-akan melamun,
kemudian melakukan aktivitas kembali. Serangan ini
terkadang dapat mencapai 10-20 kali dalam sehari. Epilepsi
petit mal sering terdapat pada anak-anak, sehingga sering
dimarahi gurunya karena melamun.
b. Myoclonic seizures
Banyak terdapat pada anak-anak. Saat serangan terjadi,
gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan involunter
yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian
atas (bahu dan lengan) yang disebut dengan myoclonic
jerking.
c. Clonic seizures
d. Tonic seizures
e. Tonic clonic seizures (grand mal)
Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai. Aura tidak
terdapat pada grand mal, namun bila ada aura berarti bukan
grand mal murni, karena aura adalah suatu tanda fokal.
Seranga dimulai dengan fase tonik selama 30 detik
dilanjutkan dengan fase klonik selama 60 detik, kemudian
terjadi fase post iktal selama 15-30 menit.
Fase tonik
Semua lengan dan tungkai ekstensi, penderita tampak
mengejan sehingga wajah tampak merah. Kemudian
penderita menahan nafas (apnea) selama 30 detik, pada
akhir masa ini terjadi sianosis, tekanan darah meningkat,
pupil melebar, refleks patologis positif.
Fase klonik
Terjadi kejang ritmik, penderita bernafas kembali, kadang-
kadang lidah tergigit, sehingga ludah bercampur darah
(buih kemerahan). Pada fase ini wajah menjadi normal
kembali, tekanan darah menurun dan tanda vital
membaik.
Fese post iktal
Setelah kejang penderita tertidur. Waktu bangun penderita
mula-mula mengalamu disorientasi, tetapi beberapa menit
setelah fase ini penderita menjadi normal kembali dan
berjalan seperti biasa.
f. Atonic seizures (astatic seizures)
Penderita secara mendadak kehilangan tonus otot. Hal ini
dapat mengenai bagian tubuh maupun seluruh tubuh misalnya
tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher
atau secara tiba-tiba penderita terjatuh karena penderita
kehilangan tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung singkat
yang disebut dengan drop attack.
III. Serangan epilepsi yang tak terklasifikasikan. Misalnya:
gerakan ritmis pada mata, gerakan mengunyah dan berenang.
Selain klasifikasi diatas, terdapat klasifikasi berdasarkan ILAE
1989, dimana klasifikasi ini berkaitan dengan: (1) lokasi kelainan;
(2)epilepsy umum dan berbagai syndrome epilepsy berurutan sesuai
dengan peningkatan luhur; (3) epilepsy dan syndrome yang tidak
dapat ditentukan focal ataupun umum; (4) sindrom khusus. Adapun
pembagian menurut ILAE 1989 yaitu:
I. Berkaitan dengan lokasi
a. Idiopatik (primer)
i. Epilepsy benigna gelombang paku daerah sentrotemporal
(Childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
ii. Epilepsy benigna gelombang daerak paroksismal daerah
oksipital
iii. Epilepsy membaca (primary reading epilepsy)
b. Simptomatik (sekunder)
i. Epilepsy parsial kontinua kronik pada anak-anak (sindrom
kojenikow)
ii. Sindrom bangkitan. Dipresipitasi rangsangan (kurang tidur,
alcohol, obat, hiperventilasi, epilepsy refleks, stimulasi fungsi
kortikal tinggi, membaca)
iii. Epilepsy lobus temporal
iv. Epilepsy lobus frontal
v. Epilepsy lobus parietal
vi. Epilepsy lobus oksipital
c. Kriptogenik
II. Epilepsy umum dan sindorme epilepsy berurutan umur
a. Idiopatik (primer)
i. Kejang neonatus familial beningna
ii. Kejang neonatus benigna
iii. Kejang epilepsy mioklonik pada bayi
iv. Epilepsy Absan anak
v. Epilepsy Absan remaja
vi. Epilepsy mioklonik remaja
vii. Epilepsy bangkitan tonik-klonik saat terjaga
viii. Epilepsy umum idiopatik lain
ix. Epilepsy tonik-klonik dipresipitasi aktivitas tertentu
b. Kriptogenik/ simptomatik berurutan sesuai peningkatan usia
i. Sindom west (spasme infantile dan dpasme salam)
ii. Sindrom lennox-gastaut
iii. Epilepsy mioklonik astatik
iv. Epilepsy Absan mioklonik
c. Simptomatik
i. Etiologi non spesifik
Enselofati mioklonik dini
Eselofati infantile dini dengan brust suppression
Epilepsy simptomatik lainnya
ii. Etiologi spesifik
Bangkitan epilepsy komplikasi penyakit
III.Epilepsy dan syndrome yang tidak dapat ditentukan fokal atau
umum
a. Bangkitan umum dan fokal
i. Bangkitan neonatal
ii. Epilepsy mioklonik berat pada bayi
iii. Epilepsy spike wave selama tidur dalam
iv. Epilespi afasia
v. Epilepsy tidak terklasifikasikan
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
IV.Sindrom khusus
a. Kejang demam
b. Bangkitan kejang/ status epileptikus hanya sekali (Isolated)
c. Bangkitan hanya pada kejadian Metabolik akut, atau toksis,
alcohol, obat-obatan, eklampsia, hiperglikemia non ketotik.
d. Bangkitan dengan pencetus spesifik (epilepsy reflektorik)
2.7 Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis. Kan tetapi
pada beberapa kasus epilepsy ditemukan beberapa pertanda pada
kejang epilepsy antara lain:
Gejala yang dialami penderita sebelum kejang. Ditemukannya
aura, takikardia, pusing ringan, mengencangkan dada, dan
beberapa mengalami gerakan lambat sebelum kejang.
Gejala pada saat kejang. Gejala yang dialami oleh seseorang
selama kejang tergantung di mana di otak gangguan dalam
aktivitas listrik terjadi. Sebagian gejala saat kejang yaitu dapat
ditemukan deficit kognisi antara lain: probelma persepsi, antensi,
emosi, praxis, atau bicara. Disitorsi memori dapat bersifat negative
seperti gangguan formasi dan pengulangan memori da dapat pula
bersifat positif seperti déjà vu. Dan juga status memori perlu
dipertimbangkan, karena terkadang pasien merasa takut, rasa
puas, cemas, gembira, dan sedih yang tidak dapat diterangkan
dengan sensasi primer.
Gejala setelah kejang. Pada fase ini, keadaan otak sudah mulai
pulih. Dapat ditemukan gejala kerugian sementara memori,
biasanya memori jangka pendek.
Sedangkan untuk gejala klinisnya sendiri, sebaiknya dicari
tentang deskripsi kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak
sadar akan gejalanya. (Prof. Chandra, 1994)
I. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis bertujuan untuk menentukan ada
tidaknya kelainan fokal, yaitu dengan:
Tentukan ada tidaknya aura. Bila ada aura berarti kelainan
fokal.
Perhatikan pemutaran kepala. Bila waktu kejang kepala tidak
di tengah-tengah, tetapi menoleh ke salah satu sisi, berarti
ada kelainan fokal (dengan fokus yang berlawanan dengan
arah kepala)
Adanya lidah yang tergigit
Ada tidaknya hemiparesis post ikal(todd’s paralisis). Bila ada
hemiparesis berarti ada kelainan fokal.
Waktu terjadinya. Bila kejang terjadi pada waktu mau bangun
tidur atau waktu akan tidur, berarti ada kelainan fokal.
Umur. Epilepsi grand mal yang murni terjadi mulai umur 3
tahun sampai pubertas. Bila kejang terjadi mulai umur kurng
dari 3 tahun atau setelah pubertas, cari kelainan fokal.
Pada anak, perhatikan ekstremitas. Sering kali pada sisi yang
hemiparesis ringan terlihat atrofi otot, kuku lebih kecil.
Pemeriksaan neurologis (refleks tendon, refleks patologis,
tonus serta permeriksaan fundus okuli) perlu dilakukan.
II. Pemeriksaan tambahan
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah dan urin berguna untuk mengetahui
adanya ganguan metabolic, seperti: hipokalsemia, uremia, dll
yang bisa sebagai penyebab kejang. Pemeriksaan likuor,
dilakukan bila curiga adanya suatu peradangan otak.
b. EEG
Pada EEG dicari adanya spike dan sharp wave, maupun
kelainan fokal (perlambatan)
c. Foto polos kepala
Pada pemeriksaan ini dapat terlihat impression digitetae,
kerusakan sella tursika, kalsifikasi galdula pineale, dsb.
Impression digitalis adalah normal pada anak-anak.
d. CT scan dan MRI
Untuk beberapa tipe epilepsy maka neuroimaging mungkin
tidak diperlukan. Pertimbangan neuroimaging bila penyebab
epileptic seizure adalah sesuatu yang berubah, seperti benign
tumor yang dapat membesar dan malformasi vascular yang
dapat pecah dan menimbulkan perdarah. MRI juga berguna
untuk kausa eplileptic seizure itu suspected tapi but indefinite,
seperti trauma kepala ringan (Bahrudin, 2008).
e. Arteriografi
Pemeriksaan ini bersifat invasive dengan memasukkan
kontras ke dalam arteria karotis/ vertebralis. Pemeriksaan ini
dikerjakan terutama bila dicurigai adanya malformasi
pembuluh darah.
Setelah melakukan pemeriksaan klinis dan juga dibantu
dengan pemeriksaan penunjang, maka sebaiknya untuk
mendiagnosa epilepsy sebaiknya mengikuti tahap-tahapan sebagai
berikut: (Bahrudin, 2008)
1 Apakah penderita epilepsi atau bukan?
Untuk mengetahui lebih pasti, sebaiknya dalam
menegakkan diagnose epilepsi harus dibandingkan dengan
diagnose banding.
Biasanya diagnose epilepsy adalah sutau events dengan
ciri:
Paroxysmal onset
Stereotipi
Durasi singkat (detik-menit)
Serangan berulang
Diluar serangan penderita normal
Sebaiknya diketahui juga suatu seizure yang merupakan
suatu non epileptic event. Adapun non epileptic event seizure
dibagi menjadi 2 kelompok:
a. Psikologis atau non organic seizure, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah:
Sinkop
Vertigo
Migraine
TIA
b. Psikogenik non epilepsy seizure, yang termasuk dalam
kelompok ini adalah:
Depresi
Ansietas
Stress emosional
Ketakuan
Marh/ gusar
Panik
Gangguan Mental Lain
2 Bila memang benar epilepsi, maka termasuk bentuk yang
mana?
Menetapkan bentuk epilepsi sangat penting untuk
pemberian terapi pada penderita. Misalnya bila kejang parsial,
sebaiknya pengobatan dimulai dengan karbamazepin, bila petit
mal dimulai dengan etosuksimid (karena belum ada di Indonesia,
diberikan asam valproat)
3 Apakah etiologinya.?
Pada kejang parsial, ingat akan AVM (arteriovenous
malformation). Selanjutnya bila ada kejang dengan panas, maka
ingat akan meningitis
II.7 Diagnosa banding
Setiap penyakit yang menyebabkan kesadaran menurun
mendadak, atau disertai gejala yang datang dengan tiba-tiba, perlu
dibedakan dengan epilepsi. Diagnose banding epilepsi antara lain:
Sindrom neurologis yang periodic tanpa gangguan kesadaran.
Seperti : TIA, migren, tetani dan hiperventilasi.
Gangguan neurologis yang disertai gangguan kesadaran, seperti:
sinkop (perhatikan: lamanya serangan, inkontinensia, luka pada
lidah, warna muka, keadaan post iktal dan gambaran EEG)
Kejang histeris (perhatikan: lama serangan, inkontinensia, luka-
luka, pola kejang, keadaan post iktal, dsb)
Breath-holding spells (tidak kejang tetapi menangis keras,
menahan nafas pada waktu ekspirasi, terjadi anoksemia,
kemudian penderita tidak sadar. Setelah itu bernafas lagi, lalu
penderita sadar dan tidur)
II.8 Terapi
I. Tujuan Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup
optimal untuk pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya
tujuan tadi diperlukan beberapa upaya antara lain : menghentikan
bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah timbulnya efek
samping, menurunkan angka kesakitan dan kematian, dan mencegah
timbulnya efek samping OAE.
Dalam mengobati epilepsi kita harus memperhatikan bahwa
selain pengobatan medisional, harus juga memberikan bimbingan
psikis pada penderita. Yang penting dalam memberikan obat
antiepilepsi adalah mempertimbangkan antara lain :
1. Efek samping
2. Tipe Kejang
3. Umur
4. Latar belakang
Pengobatan epilepsi baiknya dilakukan sedini mungkin, yaitu
setelah penderita mengalami satu serangan. Dan karena pengobatan
epilepsi merupakan pengobatan jangka panjang maka sebaiknya
diberi pengarahan yang jelas dan praktis.
II.Prinsip Terapi Farmakologi
Pemberian OAE menurunkan risiko separuh kekambuhan.
Pengobatan dini dengan OAE mengubah prognosis epilepsi.
Prognostik epilepsi diprediksi dengan banyaknya bangkitan dalam 6
bulan pertama sesudah diagnose ditegakkan dan respon terhadap
OAE pertama. OAE dapat langsung diberikan sesudah serangan
pertama bangkitan dalam keadaan berikut : (Bahrudin, 2008)
1. Pasien telah mengalami serangan myoclonic
2. Absan atau bangkitan parsial sebelumnya
3. Congenital neurogical deficit
4. Pasien takut risiko kekambuhan
Keputusan pemberian OAE bila :
1. Diagnosis epilepsi telah dipastikan
2. Setelah pasien dan atau keluarganya telah menerima penjelasan
tentang tujuan pengobatan.
3. Pasien dan atau keluarganya setuju dengan jenis dan dosis OAE
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk
diberi terapi bila :
1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
2. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi bangkitan misalnya neoplasma otak, AVM, abses otak,
ensefalitis herpes.
3. Pada pemeriksaan neurologic dijumpai kelainan yang mengarah
pada kerusakan otak
4. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara kandung
5. Riwayat bangkitan simtomatik
6. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan
kesadaran stroke, infeksi
7. Bangkitan pertama berupa status epileptikus
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan
sesuai dengan jenis epilepsi. Monoterapi mempunyai keuntungan
efektif, sederhana, kurang toksisitas, kemungkinan interaksi OAE
sedikit dan murah. Pengobatan epilepsi dimulai dengan dosis rendah,
kemudian tingkatkan dosis secara perlahan- lahan. Dosis baru boleh
dinaikkan bila kadar obat di serum stabil. Umumnya kadar obat baru
stabil setelah 5 kali waktu paruh obat tersebut.
Obat – obat utama untuk epilepsi yang ada di Indonesia
antara lain Phenytoin (Dilantin), Carbamazepine (Tegretol), Valproate
(Depakote). Pemilihan obat bergantung dari jenis seizurenya, selain
pertimbangan – pertimbangan lain: (Chandra, 1994)
1. Grand Mal :
Drug of Choice adalah Difenilhidantoin. Hal ini karena obat
tersebut efektif, murah, dan mempunyai efek samping minimal.
Kecuali untuk wanita hamil tidak dianjurkan. Dosis 3 x 100mg
(dewasa). Dimulai dengan 3x60mg, kemudian setiap 5 hari dosis
ditingkatkan. Bila penggunaan Difenilhidantoin tidak menolong, maka
dianjurkan pemakaian Karbamazepin atau sodium valproat. Bila
penggunaan obat tersebut masih refrakter maka ditambah dengan
Flunarizin.
2. Epilepsi Parsial :
Drug of Choice adalah Karbamazepine. Dosis 3 x 200mg
(dewasa), dimulai dengan 3 x 100 mg. Bila Karbamazepin tidak
menolong maka dianjurkan untuk menggunakan Difenilhidantoin atau
sodium valproat. Bila masih belum menolong maka digunakan
Flunarizin. Efek samping dari penggunaan Karbamazepin yang paling
ditakuti adalah terjadinya Sindroma Steven Johnson.
3. Mioklonik atau Petit mal :
Drug of Choice adalah Sodium Valproat, karena hingga
sekarang Ektosuksimid sulit didapatkan di Indonesia. Dosis 3 x 300mg
(4x300mg), dimulai dengan 3 x 100mg. Bila masih belum menolong
maka dianjurkan untuk menggunakan Klonazepam. Hati – hati pada
penggunaan Valproat karena mempunyai sifat hepatotoksik, terutama
bila digunakan kepada anak – anak yang berusia kurang dari 2 tahun.
Tipe Kejang Obat Pilihan
Parsial Karbamazepin
Natrium Valproat
Fenitoin
Lamotrigin
Absans Etosuksimid
Natrium Valproat
Lamotrigin
Mioklonik Natrium Valproat
Klonazepam
Lamotrigin
Tonik – klonik generalisata Natrium Valproat
Fenitoin
Karbamazepin
Lamotrigin
Efek Samping Obat Anti Epilepsi
Nama Obat Efek Samping
Terkait Dosis Idiosinkrasi
Karbamazepin Diplopia, dizziness,
nyeri kepala, mual,
mengantuk,
Netropenia,
hiponatremi
Ruam morbiliform,
agranulositosis,
anemia aplastik,efek
hepatotoksik, sindrom
steven Johnson
syndrome, efek
teratogenik
Fenintoin Nistagmus, ataksia,
mual,muntah, hipertofi
gusi, depresi,
mengantuk,anemia
megaloblastik
Jerawat, hirsutism,
lupus like syndrome,
ruam, sindrom steven
johson, efek
hepatotoksik,efek
teratogenik
Asam Valproat Tremor, berat badan
bertambah, dyspepsia,
mual,muntah,
kebotakan, teratogenik
Pankreatitis akut, efek
hepatotoksik,
trombositopenia,
ensefalopati, udem
perifer.
Penghentian obat merupakan suatu keputusan yang sulit,
karena :
1. Dapat terjadi relaps terutama pada bangkitan parsial dan secondary
generalized seizures.
2. Ulangan (relaps) kejang setelah obat dihentikan sering terjadi bila
terdapat suatu kelainan neurologis atau psikiatris, atau bila terdapat
kelainan dari struktur otak (tumor).
Karena itu penghentian obat dilakukan secara perlahan
(phasing out setahun) bila :
1. Bebas bangkitan selama tiga tahun.
2. Menderita kejang umum primer.
3. Tidak ada kelainan neurologis – psikiatris
4. Waktu datang untuk berobat belum lama menderita kejang.
5. EEG normal.
Bila faktor – faktor ini tidak dipenuhi maka sebaiknya obat
dihentikan setelah 4 – 5 tahun bebas kejang. Kekambuhan setelah
penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan
sebagai berikut :
1. Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan makin
tinggi
2. Epilepsi simtomatik
3. Gambaran EEG yang abnormal
4. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita. Epilepsi
mioklonik pada anak adalah yang paling sering kambuh.
5. Mendapat terapi lebih dari 10 tahun.
Pertolongan pertama pada saat kejang :
1. Bersikap tenang
2. Bantulah pasien berbaring, jauhkanlah pasien dari sesuatu yang
keras dan tajam.
3. Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ke tanah agar air
ludah tidak masuk jalan nafas dan mencegah lidah menutup jalan
nafas
4. Longgarkan baju, lepaskan kaca mata
5.Jangan mencoba memasukkan apapun ke dalam mulut pasien.
Lidah tak dapat berfungsi untuk menelan, sehingga akan
menyebabkan pasien tersedak.
6. Sesudah kejang berhenti sebaiknya jangan menahan pasien, hal ini
akan mengakibatkan perlawanan atau agitasi. Hal ini disebabkan
pasien belum 100 persen pulih kesadarannya. Tempatkan pasien
dalam lingkungan yang aman.
7. Hindari pemberian makanan, minuman dan obat sebelum pasien
pulih 100 persen kesadarannya.
8. Tanyakanlah beberapa pertanyaan. Jika pasien menjawab benar
maka kesadarannya sudah pulih
9. Kalau kejang baru pertama kali dan lebih dari 5 menit segera
panggil ambulans.
III. Terapi Pembedahan
Tujuan Terapi Bedah Epilepsi
1. Pasien dapat hidup senormal mungkin
2. Meningkatkan kualitas hidup pasien
3. Menurunkan morbiditas
4. Menurunkan kecacatan psikososial
5. Meminimalkan deficit neurologic fokal
Tipe Pembedahan Epilepsi dibagi berdasarkan :
1. Lokasi Pembedahan (temporal, frontal, oksipital)
2. Ada tidaknya lesi structural
3. Luasnya pembedahan
4. Tekhnik pembedahan (open vs stereotactic)
5. Probabilitas dari outcome
Syarat yang Memberikan Hasil Baik Pembedahan Epilepsi
1. Lesi struktural yang terbatas jelas pada MRI
2. Adanya gelombang epileptiform interiktal yang jelas fokal pada
EEG
3. Gejala klinis memberikan lesi fokal
4. Tak adanya perbedaan pengamatan diantara hal tersebut diatas
5. Fokus tersebut memang surgical accessible
6. Tak adanya epiloptogenic lainnya
Kriteria Pasien yang Layak untuk Menjalani Bedah Epilepsi
1. Sindrom epilepsi fokal dan simtomatik yang refrakter terhadap
OAE
2. IQ >70
3. Tidak ada kontra indikasi pembedahan
4. Usia < 45 tahun
5. Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas
Indikasi
1. Epilesi refrakter
2. Secara umum pada epilepsi dengan durasi lama
3. Mengganggu kualitas hidup
4. Manfaat operasi lebih besar disbanding risiko
Kontra Indikasi Absolut
1. Penyakit neurologic yang progresif (baik metabolic maupun
degenerative)
2. Sindrom epilepsi benigna, dimana diharapkan terjadi remisi
dikemudian hari
Kontra Indikasi Relatif
1. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan
2. Psikosis interiktal
3. Retardasi mental
II.9 Prognosis
Prognosis tergantung dari :
1. Bentuk epilepsi : Epilepsi mioklonik lebih sulit untuk diobati.
2. Umur penderita : Kejang yang mulai pada neonatus prognosis
lebih jelek.
3. Kelainan Neurologis, prognosis lebih jelek.
4. Adanya penyakit hepar, prognosis lebih jelek.
II.10 Prevensi
Untuk mencegah terjadinya epilepsi, beberapa faktor perlu
diperhatikan antara lain :
1. Pencegahan cedera kepala (traumatic brain injury)
2. Pengobatan yang dini dan efektif dari meningoensephalitis
3. Perawatan obstetric yang lebih sempurna.
4. Pengobatan yang efektif dari kejang demam.
II.11 Status Epileptikus
I. Definisi
Keadaan di mana terjadi kejang berulang – ulang dan di antara
dua serangan penderita tetap tidak sadar atau lebih dari 5 menit.
II. Etiologi
1. Penderita epilepsi yang mendadak berhenti minum obat anti
epilepsi.
2. Meningitis
3. Tumor Otak
4. Ensefalopati hipertensi
5. Abses Otak
6. Hipoglikemi
7. Perdarahan otak
8. Sindroma reye ( pada anak – anak)
III. Klasifikasi
1. SE konvulsif (bangkitan umum tonik klonik)
2. SE non kinvulsif (bangkitan bukan umum tonik klonik)
IV. Penanganan Status Epileptikus
Status epileptikus tonik klonik merupakan keadaan kegawatan
neurologis membutuhkan tindakan segera dan terencana sesudah
diagnosastatus epileptikus perlu segera dihentikan sebab :
1. Semakin lama kejang berlangsung semakin sulit dikontrol
dan semakin banyak kerusakan sel otak itu terjadi.
2. Kerusakan sel otak terjadi terutama oleh bangkitan eksitasi
yang terus menerus dan bukan oleh komplikasi aktivitas
kejangnya.
3. Tetapi faktor sistemik (hiperpireksia) dapat menimbulkan
kerusakan sel otak
4. Oleh karenanya sebaiknya seizure dapat dihentikan dalam
waktu 30 menit baik secara klinik maupun elektrik.
Oleh karena itu kalau kejang berlangsung lebih dari 5 menit
atau terjadi status epileptikus bawalah pasien ke rumah sakit. Secara
ringkas penanganan yang terpenting adalah menghentikan kejang
dengan cara sebagai berikut :
1. Berilah Diazepam secara Intravena
2. Pemberian Fenitoin secara intravena
3.Pemberian klonazepam secara intravena (di Indonesai hanya
ada dalam bentuk tablet)
4. Bila dengan cara di atas kejang belum berhenti maka harus
dicoba pemberian narkose umum dengan short acting
barbiturate (oleh ahli anastesi)
Penanganan Status epileptikus konvulsivus
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0 – 10 menit) Mermperbaiki fungsi kardio dan
respirasi
Memperbaiki jalan nafas, pemberian
oksigen, resusitasi
Stadium II (1 – 60 menit) Pemeriksaan status neurologis
Ukur tekanan darah, nadi, dah suhu
EKG
Pasang infuse pada pembuluh
darah besar
Ambil 50 – 100cc darah untuk
pemeriksaan lab
Pemberian OAE emergensi :
diazepam 10 – 20 mg iv (kecepatan
pemberian > 2 – 5 mg/menit dapat
diulang 15 menit kemudian)
Masukkan 50cc glukosa 50%
dengan atau tanpa thiamin 250 mg
iv
Tangani asidosis
Stadium III ( 0 – 60/90 menit) Tentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus
selama 30 menit setelah pemberian
diazepam pertama , beri phenintoin
iv 15 – 18 mg/kg dengan kecepatan
50 mg/menit
Memulai pemberian terapi dengan
vasopresor
Koreksi adanya komplikasi
Stadium IV ( 30 – 90 menit) Bila kejang tidak teratsi selama 30 –
60 menit , transfer pasien ke ICU
beri propofol (2mg/kgBB bolus iv,
diulang bila perlu) atau thiopentone
(100 – 250 mg bolus iv) pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan
bolus 50 mg setiap 2 – 3 menit)
dilanjutkan 12 – 24 jam setelah
bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir lalu lakukan tapering off
Pantau bangkitan dan EEg, tekanan
intra cranial, mulai pemberian OAE
dosis rumatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Epilepsi merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai di
Indonesia. Dan mulai menjadi masalah yang serius karena dapat
menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan segera
3.2 Saran
Perlunya pengetahuan yang memadai dalam penanganan kasus epilepsi untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin M, Dasar-Dasar Neurologi, Malang, 2008.
Chandra B, Neurologi Klinik, Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK Unair,
Surabaya, 1994
Ginsberg L., 2007 Lecture Notes Neurology, Erlangga Medical Series
Lewis P. Rowland. Dkk, Merritt’s Neurology 10th Ed, Lippincott Williams
and Wilkins, 2000.
Mardjono M,Prof,Dr dan Sidharta dan Sidharta Priguna, Prof, Dr .
Neurologi Klinis Dasar. Jakarta, 2009
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996, Gadjah Mada
University Press
Gejala Kejang Epilepsi. 6 Februari 2012.
http://www.news-medical.net/health/Epileptic-Seizure-
Symptoms(28Indonesian).aspx