BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perdarahan Post Partum
2.1.1. Pengertian Perdarahan Post Partum
Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada
praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan
perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat
perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti
kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan
nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
2.1.2. Jenis-Jenis Perdarahan Postpartum
Menurut pendapat (Varney, 2008).
Perdarahan post partum dibagi menjadi 2:
1. Perdarahan Post Partum Dini/Perdarahan Post Partum Primer (Early Postpartum
Hemorrhage)
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala
III. Penyebab utama perdarahan post partum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan pada Masa Nifas I Perdarahan Post Partum Sekunder (Late Postpartum
Hemorrhage)
Perdarahan post partum sekunder ialah perdarahan yang terjadi setelah anak lahir biasanya hari
ke 5-15 post partum. Penyebab utamanya robekan jalan lahir dan sisa plasenta.
2.1.3. Klasifikasi perdarahan post partum
1. Perdarahan paska persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah perdarahan berlebihan
( 600 ml atau lebih ) dari saluran genitalia yang terjadi dalam 12 - 24 jam pertama setelah
melahirkan.
2. Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/ secondary HPP adalah perdarahan yang
terjadi antara hari kedua sampai enam minggu paska persalinan.
2.1.4. Penyebab Perdarahan Post Partum
1. Atonia Uteri
a. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus
tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan
plasenta lahir (Prawirohardjo, 2011).
b. Tanda dan Gejala
1) Perdarahan pervaginam
2) Konsistensi lunak
3) Fundus uteri tinggi
4) Terdapat tanda-tanda syok
c. Etiologi
1) Umur terlalu muda 25 tahun atau tim 35 tahun
2) Paritas
3) Partus lama yang menyebabkan inersia uteri karena kelelahan pada otot-otot uterus
4) Uterus terlalu regang dan besar, pada kondisi ini miometrium teregang dengan hebat
sehingga kontraksi setelah kelahiran bayi tidak menjadi efisien.
5) Kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi uterus.
6) Solusio placenta, bila terjadi solusio maka darah di dalam rongga uterus dapat meresap
diantara serat-serat otot uterus dan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi tidak
efektif.
7) Penatalaksanaan yang salah pada kala tiga
8) Placenta yang baru lepas sebagian, maka akan terjadi robekan pada sinus-sinus
maternalis dan plasenta yang masih melekat menghambat kontraksi dan relaksasi dan
otot-otot uterus.
9) Persalinan yang terlalu cepat, bila uterus sudah berkontraksi terlalu kuat dan terus
menerus maka uterus akan kekurangan kemampuannya untuk berkontraksi (Saifudin,
2005).
d. Penatalaksanaanya
1) Pencegahan:
a) Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal
ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri
b) Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800 – 1.000 mg) segera setelah bayi lahir
(Prawirohardjo, 2011).
2) Penanganan:
a) Rangsangan taktil (pemijatan). Fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15
menit).
Pantau apakah uterus berkontraksi?
Jika Ya ® evaluasi rutin. Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa
apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
Jika ® tidak lanjutkan langkah berikutnya.
b) Bersihkanlah bekuan darah dan/atau selaput ketuban dari vagina dan lubang serviks.
c) Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.
Jika penuh atau dapat dipalpasi, kateterisasi kandung kemih menggunakan teknik aseptik.
Lakukan kompresi bimanual internal (KB1) selama 5 menit dengan cara:
(1) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, lalu keringkan dengan handuk bersih.
(2) Gunakan sarung tangan yang steril DTT.
(3) Letakkan tangan kiri seperti di atas (menekan fundus uteri dan luar)
(4) Masukkan tangan kanan dengan hati-hati ke dalam vagina dan buat kepalan tinju.
(5) Kedua tangan didekatkan dan secara bersama-sama menekan uterus.
(6) Lakukan tindakan ini sampai diperoleh pertolongan lebih lanjut, bila diperlukan.
Prinsipnya adalah menekan uterus dengan cara manual agar terjadi hemostasis.
Pantau kembali apakah uterus herkoitr
JikaYa ®
a) Teruskan KB 1 selama 2 menit
b) Keluarkan tangan perlahan - lahan.
c) Pantau kala empat dengan ketat.
Jika Tidak ® lanjutkan langkah berikutnya
1) Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal dengan cara:
a) Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas symphisis pubis.
b) Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang korpus uteri), usahakan
memegang bagian belakang uterus seluas mungkin).
c) Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi pembuluh
darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus di antara kedua tangan tersebut. Ini akan
membantu uterus berkontraksi dan menekan pembuluh darah.
2) Keluarkan tangan perlahan - lahan.
3) Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan jika hipertensi).
4) Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ini Ringer Laktat +20
unit oksitosin. Habiskan 500 ini pertama secepat mungkin.
5) Ulangi KB 1.
Pantau kembali apakah uterus berkontraksi?
Jika Ya ® pantau ibu dengan seksama selama kala empat persalinan.
Jika Tidak ® lanjutkan langkah berikutnya
a) Rujuk segera
b) Dampingi ibu ke tempat rujukan.
Lanjutkan infus Ringer Laktat + 20 unit oksitosin dalam 500 ini larutan dengan laju 500 mI/jam
hingga tiba di tempat rujukan atau hingga menghabiskan 1,5 1 infus. Kemudian berikan 125
mI/jam. Jika tidak tersedia cairan yang cukup, berikan 500 ini kedua dengan perlahan dan
berikan minuman untuk rehidrasi (Prawirohardjo, 2007).
2. Robekan Jalan Lahir
a. Definisi
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan
karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap.
Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau
vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardio, 2011).
b. Tanda/Gejala
Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir,
kontraksi uterus baik, keadaan plasenta baik (Wiknjosatro, 2006)
c. Etiologi
1) Episiotomi yang terlalu lebar
2) Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah
uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap
dan uterus sudah berkontraksi dengan baik. perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan servik uteri.
3) Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai.
Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi
dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral
dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum.
4) Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa,
kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum
ferensia suboksipitobregmatika Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi
perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat (Prawirohardjo,
2007).
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Lakukan episotomi
b) Pemijitan perineum (perineum masage)
c) Posisi meneran yang benar.
2) Penanganan
a) Periksalah dengan seksama keadaan jalan lahir, dan periksa robekan pada serviks, vagina
dan perineum.
b) Tentukan tingkatan robekan jalan lahir yaitu:
(1) Robekan tingkat 1 yang mengenai mukosa vagina dan jaringan ikat, robekan ini dapat
sembuh sendiri tidak perlu di jahit.
(2) Robekan tingkat II yang mengenai mukosa vagina dan kulit perineum, lakukan heating
dengan jahitan pada mukos vagina secara jelujur menggunakan catgut chromic 2-0 selanjutnya
dilakukan jahitan otot perineum dan jahitan kulit.
(3) Robekan tingkat III dan IV yang mengenai rectum dan spingter ani, dilakukan jabitan pada
spingter ani mengunakan catgut chromic 3-0 atau 4-0 secara interuptus dengan 0,5 cm antara
jahitan (Prawirohardjo, 2007)
3. Retensio Placenta
a. Definisi
Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30 menit setelah bayi lahir
(Prawirohardjo, 2007).
b. Tanda/Gejala
1) Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi
uterus baik.
2) Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat kontraksi berlebihan, inversi
uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan (Salemba, 2010).
c. Etiologi
1) Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena melekat dan tumbuh dalam. Menurut
tingkat perlekatannya:
2) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
3) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium
sampai ke miometrium.
4) Plasenta akreta : vili khorialais tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa.
5) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum dinding rahim.
6) Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun belum keluar karena atonia uteri atau
adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim yang akan menghalangi plasenta keluar
(plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta
sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya (WHO, 2003).
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan:
Upaya pencegahan retensio plasenta yaitu dengan cara mempercepat proses separasi dan
kelahiran plasenta dengan cara memberikan uterotonika segera setelah bayi lahir dan melakukan
peregangan tali pusat terkendali. Upaya ini juga disebut penatalaksanaan aktif kala III.
2) Penanganan
a) Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan. jika anda dapat
merasakan placenta dalam vagina, keluarkan placenta tersebut.
b) Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan lakukan kateterisasi.
c) Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10 U LM, jika belum dilakukan pada
penanganan aktif kala tiga, jangan berikan ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi
uterus yang tonik yang bisa memperlambat pengeluaran placenta.
d) Jika placenta belum lahir setelah 30 menit pemberian oksitosin dan uterus terasa
berkontraksi, lakukan peregangan tali pusat terkendali, hindari penarikan tali pusat dan
penekanan nindus yang yang terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi uterus.
e) Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobaiah untuk melakukan pengeluaran
placenta secara manual dengan cara mengeluarkan plasenta secara manual yang merupakan
tindakan darurat untuk mengatasi perdarahan pasca persaiinan cian mencegah kematian ibu.
Waktu sangat menentukan, dan kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai
tindakan.
f) Peralatan yang diperlukan adalah:
(1) Alat dan bahan untuk pemberian cairan intravena
(2) Kateter
(3) Analgesia atau anastesia
(4) Kocher
(5) Sarung tangan steril
(6) Desinfektan
(7) Partus set
g) Prosedur yang diiakukan adaiah:
(1) Berikan analgesia secara intramuskuler (misalnya pethidin 25 mg) dan sedatif (misalnya
diazepam 10 mg i.m, fenobarbital 30 mg atau fènergan 50 mg melaiui karet infus) untuk
menenangkan ibu. Jika obat tersebut tidak tersedia, langsung lakukan pengeluaran plasenta
secara manual. Ibu mungkin tidak tenang dan tidak nyaman, tetapi tindakan ini dilakukan untuk
menyelamatkan nyawanya.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(2) Pasang infus 5% Dextrose dalam cairan NaC1 0,9 % atau cairan infus apapun yang tersedia.
Cairan infus kan menggantikan sebagian cairan yang hilang akibat perdarahan. Hal ini dapat
mencegah syok.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah lahir.
(3) Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan. Baringkan ibu terlentang dengan kedua
lututnya ditekuk. Jika ia tidak dapat buang air kecil sendiri, pasang kateter dengan benar dan
kosongkan kandung kencingnya. Kandung kencing yang penuh dapat menahan lahirnya plasenta.
Cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan. Jika plasenta terlihat dalam vagina, mintalah
ibu untuk mengedan sedikit. Jika plasenta belum keluar dalam 15 menit, berikan oksitosin 10
unit I.M sekali lagi. Dan minta suami untuk memilin-milin putting susu ibu dan meminta
keluarga menyiapkan surat rujukan.
(4) Lakukan masase uterus agar berkontraksi. Jepit tali pusat dengan kocher kemudian
tegangkan tali pusat sejajar lantai. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit cobalah untuk
melakukan pengeluaran plasenta secara manual.
(5) Cuci tangan dengan 6 langkah. Kenakan sarung tangan steril, waktu sangat menentukan,
lanjutkan prosedur.
(6) Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan antiseptic kemudian jari tangan kiri membuka
labia minora.
(7) Kemudian masukkan tangan dengan posisi obstetrik (ibu ditekuk ke dalam telapak tangan
dengan punggung tangan ke bawah) ke dalam vagina. Telusuri tali pusat bagian bawah sampai
ke plasenta. Jika tangan sudah, dimasukkan ke dalam uterus, jangan mengeluarkannya sampai
plasenta berhasil dilepaskan dan dikeluarkan. Tangan tidak boleh keluar masuk dan uterus,
karena hal ini dapat memperbesar resiko infeksi.
(8) Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta asisten untuk memegang kocher,
kemudian tangan lain penolong menahan fundus uteri. Hal ini akan mencegah uterus bergerak
dan membantu kontraksi uterus.
(9) Sambil menahan rundus uteri, masukkan tangan dalam ke kavum uteri sehingga mencapai
tempat implantasi plasenta.
Melepas Plasenta Dari Dinding Uterus
a) Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi salam (ibu jari merapat ke pangkai jari
telunjuk. Jaringan terasa seperti spons (bahan busa) yang terlepas ketika plasenta terpisah dan
uterus. Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
b) Bila berada di belakang, tali pusat tetap di sebelah atas. Bila di bagian depan, pindahkan
tangan ke bagian depan tali pusat dengan punggung tangan menghadap ke atas.
c) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan
menyelipkan ujung jari di antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan
menghadap ke dinding dalam uterus.
d) Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan pada dinding
kavurn uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan kanan.
e) Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke kranial sehingga
semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan.
Catatan: Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien), lakukan penanganan yang
sesuai bila terjadi penyulit.
Mengeluarkan Plasenta
a) Sementara satu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk
memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada dinding uterus.
b) Pindahkan tangan luar ke supra sinifisis untuk menahan uterus pada saat plasenta
dikeluarkan.
c) Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk menarik tali pusat sambil tangan dalam
menarik plasenta keluar (hindari percikan darah).
d) Keluarkan plasenta dengan hati-hati pada saat uterus berkontraksi. Jangan hanya menarik
sebagian plasenta karena plasenta dapat robek. Selaput ditarik keluar secara perlahan dan hati-
hati, dengan cara yang sama seperti mengeluarkan plasenta. Ingat, selaput sekecil apapun yang
tertinggal di dalam uterus dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan dan/atau inteksi.
e) Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan.
f) Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsokranial setelah plasenta
lahir.
g) Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar tidak lebih dari 500 cc
h) Dekontaminasi pasca tindakan, cuci tangan pasca tindakan.
Perawatan Pascatindakan
a) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan instruksi apabila masih
diperlukan.
b) Catat kondisi pasiendan buat laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia.
c) Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal penting untuk dipantau.
d) Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai tetapi pasien
masih memerlukan perawatan.
e) Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang masih diperlukan, lama perawatan dan
apa yang perlu dilaporkan (Anggraini, 2010).
4. Rest Placenta
a. Definisi
Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh darah
(Prawirohardio, 2011).
b. Tanda dan gejala
1) Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah)
tidak lengkap dan perdarahan segera
2) Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak
berkurang (WHO, 2003).
c. Etiologi
1) Kesalahan penatalaksanaan kala tiga
2) Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui
3) Jaringan yang melekat dengan kuat
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan
plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut,
sebagian besar pasien-pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan
setelah 6-10 hari pulang ke rumah dan sub-involusi uterus.
2) Penanganan
a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang
dipilih adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G intravena dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral
dikombinasi dengan metronidazole 1 G supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen,
lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau D&K.
c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB ³ 8 gr %, berikan Sulfas
Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
5. Robekan Servik
a. Konsep Dasar
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda
dengan yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan
perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi rahan yang tidak
berhenti walaupun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan
adanya perlukan jalan lahir khususnya robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus
diperiksa dengan spekulum. Pemeriksaan juga harus dilakukan secara rutin setelah tindakan
obstetrik yang sulit (Sumarah, 2009).
Perdarahan pasca persalinan pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa kita untuk
memeriks aserviks uteri dengan pemeriksaan spekulum sebagai profilaksis sebaiknya semua
persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan spekulum (obstetric patologi
Unpad, edisi 2, 2005).
b. Diagnosa
Jika perdarahan post partum pada uterus yang berkontraksi baik harus idlakukan pemeriksaan
serviks secara inspekulo. Sebagai profilaksis sebaiknya semua pesalinan buatan yang sulit
menjadi indikasi untuk pemeriksaan inspekulo.
c. Etiologi
Etiologi robekan serviks yaitu : partus presipitatus, trauma karena pemakaian alat seperti cunam,
vakum ekstraktor, melahirkan kepala janin dengan letak sungsang secara paksa padahal
pembukaan serviks uteri belum lengkap, partus lama dimana telah terjadi serviks edem sehingga
jaringan serviks sudha menjadi rapuh dan mudah robek.
d. Pencegahan
Tindakan : siapkan pasiend alam posisi lithotomic, bila penderita tidak dapat berkemih, lakukan
kateterisasi; cabut kateter setelah kandung kemih dikosongkan; masukkan kateter di tempat yang
tersedia (dekontaminasi); pasang bilah spekulum bawah secara vertikal, kemudian putar gagang
speculum ke bawah; pasang speculum atas, atur sedemikian rupa sehingga dinding vagina dan
porsio tampak dengan jelas.
e. Penanganan
1) Ambil kedua klem yang menandai tempat robekan
2) Perbaiki posisi klem kiri dan kanan (di antara tempat robekan) dengan memindahkan
masing-masing klem ke lateral kiri dan kanan (dengan jarak 2,5 cm dari tepi robekan kiri dan
kanan).
3) Upayakan agar cakupan jepitan klem dapat mencapai garis yang malaluyi titik paling
ujung dari robekan.
4) Bila pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri yang disebabkan oleh penjepitan atau pasien
tidak kooperatif (gelisah), instruksikan asisten untuk menyuntikkan sedatif dan analgetika
5) Bila ujung robekan dapat dicapai, teruskan jarum dimulai dari 1 cm di atas luka, ikat
dengan jahitan angka delapan.
6) Operator sebagai patokan arah: mulai penjahitan dari bagian paling distal terhadap
operator, tusukkan jarum pada bagian luar karena porsio tembuskan ke dalam dan silangkan ke
dalam kiri, tembuskan ke kiri luar distal, menyeberangi garis robekan ke luar kanan distal
menembus dalam kanan distal, silangkah ke kiri dalam proksimal kemudian menembus ke kiri
luar proksimal, buat simpul kunci dan jepit sisa benar sebagai panduan jahitan berikut : lanjutkan
penjahitan dengan cara yang sama hingga ke ujung luar robekan hingga seluruh robekan porsio
terjahit dengan baik dan perdarahan dapat diatasi.
f. Perawatan pasca tindakan
1) Periksa kembali tanda vital pasien, segera lakukan tindakan dan buat instruksi, apabila
diperlukan
2) Catat kondisi pasien pasca tindakan dan buat laporan tindakan di dalam kolom yang
tersedia pada status penderita
3) Buat instruksi pengobatan lanjutan, pemantauankondisi pasien dan kondisi yang harus
segera dilaporkan.
6. Robekan Uteri (Ruptur Uteri)
a. Konsep Dasar
Faktor predisposisi yang menyebabkan ruptur uteri yaitu multiparitas hal ini disebabkan karena
dinding perut yang lembek dengan kedudukan uterus dalam posisi antefleksi sehingga terjadi
kelainan letak dan posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga dapat menimbulkan CPD,
pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan yang tidak tepat, kelainan letak dan implantasi
plasenta umpamnya pada plasenta akreta, plasenta inkreta atau perkreta, kelainan bentuk uterus,
hidramnion.
b. Jenis
Jenis ruptur uteri yaitu meliputi:
1) Ruptur uteri spontan ; terjadi pada keadaan dimana terdapat rintangan pada waktu
persalinan yaitu pada kelainanletak dan persentasi janin, panggul sempit, kelainan panggul,
tumor jalan lahir.
2) Ruptur uteri traumatik; terjadi karena ada dorongan pada uterus misalnya fundus akibat
melahirkan anak pervaginam seperti ekstraksi, p enggunaan cunam, manual plasenta.
3) Ruptur uteri jaringan parut; terjadi karena bekas operasi sebelumnya pada uterus seperti
bekas SC.
4) Pembagian jenis menurut anatomik: ruptur uteri komplit : dimana dinding uterus robek,
lapisan serosa (peritoneum) robek sehinga janind apat berada dalam rongga perut dan ruptur uteri
inkomplit: dinding uterus robek sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
c. Gejala
His kuat dan terus-menerus, rasa nyeri perut yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu
ditekan, gelisah atau ketakutan, nadi dan pernafasan cepat, cincin cvan Bandl meninggi. Setelah
terjadi ruptur uteri dijumpai gejala syok (akral dan ekstremitas dingin, nadi melemah, kadang
hilang kesadaran), perdarahan (bisa keluar dari vagina atau dalam rongga perut), pucat, nadi
cepat dan halus, pernafasan cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian
bawah janin teraba langsung dibawah dinding perut, ada nyeri tekan, dan dibagianbawah teraba
uterus kira-kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.
d. Penanganan
Penanganan pad aruptur uteri yaitu :
1) Melakukan laparotomi. Sebelumnya penderita diberi transfuse darah sekurang-kurangnya
infus RL untuk mencegah syok hipovolemik.
2) Umumnya histerektomi dilakukan setelah janin yang berada di dalam rognga perut
dikeluarkan, penjahitan luka robekan hanya dilakukan pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir
robekan masih segera dan rata serta tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat
jaringan yang rapuh dan nekrosis.
7. Inversio Uteri
a. Definis
Suatu keadaan dimana fundus uteri mausk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau
terjadi perlahan, selain dari pada itu pertolongan pesalinan yang makin banyak dilakukan tenaga
terlatih maka kejadian inversio uteripun makin berkurang.
b. Diagnosa untuk menentukan keadaan inversio uteri
Untuk menegakan diagnosa, maka periksa fundus dan hasilnya adalah fundus uteri menghilang
dari abdomen; pemeriksaan dalam; fundis uteri di dalam lingkungan/ ruangan rahim dapat
dengan atau tanpa plasenta, disertai rahim.
c. Penanganan (dilakukan oleh dokter)
1) Jika ibu kesakitan, berikan petidin 1 mg/kg BB (tetapi jangan lebih dari 100 mg) I.M. atau
I.V secara perlahan atau berikan Morfin 0.1 mg/kg Bb I.M.
2) Catatan jangan diberikan oksitosi sampai inversi telah direposisi
3) Jika perdarahan berlanjut, l akukan uji pembekuan darah dengan cara sederhana
4) Berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal setelah mereposisi uterus misal : ampisilin 2g
I.V ditambah metronidazol 500 mg I.V. atau sefazolin 1 gr I.V ditambah metronidazol 500 mg
I.V.
5) Jika terdapat tanda-tanda infeksi berikan antibiotik untuk metritis
6) Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan histerektomi vaginal. Hal ini mungkin
membutuhkan rujukan ke pusat pelayanan kesehatan primer.
7) Cara melakukan reposisi inversio uteri: pasang infus, masukkan tangan ke vagina, fundus
didorong ke atas berikan uterotonika, lakukan plasenta manual.
8. Pembekuan Darah
a. Definisi
Adalah kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang
dapat pecah dengan mudah (Anggraini, 2010).
b. Tanda dan gejala
1) Perdarahan tidak berhenti setelah placenta lahir, dan perdarahar terjadi secara terus
menerus padahal tidak terdapat robekan jalan lahir dan tidak ada sisa placenta, serta bekuan
lunak darah cepat pecah dengan mudah.
2) Perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi trombosis sampai keadaan klinis yang
stabil dan hanya terdeteksi oleh tes laboratorium (Prawirohardjo, 2007).
c. Etiologi
Sering disebabkan oleh:
1) Solusio placenta
2) Kematian janin dalam uterus
3) Eklampsia
4) Emboli air ketuban
5) Penyakit darah
6) Kelainan pembekuan darah
7) Afibrinogenemia/hipofibrinogenemia (Prawirohardjo, 2007)
d. Penatalaksanaan
1) Pencegahan
a) Perbaiki keadaan umum ibu jangan sampai anemia.
b) Pemberian vitamin K.
2) Penanganan
a) Bila dicurigai adanya koagulapati maka tangani kemungkinan penyebab kegagalan
pembekuan ini.
b) Gunakan produk darah untuk mengontrol perdarahan:
(1) Berikan darah lengkap segar, jika tersedia untuk menggantikan faktor pembekuan dan sel
darah merah.
(2) Jika darah lengkap segar tidak tersedia, sediakan Plasma beku segar untuk menggantikan
faktor pembekuan (15 ml/kg BB) atau sel darah merah packed (yang tersedimentasi) untuk
penggantian sel darah merah. Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen dan konsentrasi
trombosit (jika perdarahan berlanjut dan trombosit dibawah 20.000) (Prawirohardjo, 2007).
9. Manual Plasenta
a. Pengertian
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari tempat implantasinya pada dinding
uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri secara manual yaitu dengan melakukan tindakan
invasi dan manipulasi tangan penolong persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum
uteri. Pada umumnya ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya plasenta secara spontan atau
dengan tekanan ringan pada fundus uteri yang berkontraksi. Bila setelah 30 mnenit plasenta
belum lepas sehingga belum dapat dilahirkan atau jika dalam waktu menunggu terjadi
perdarahan yang banyak, pasenta sebaiknya dikeluarkan dengan segera.
Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan untuk melahirkan retensio plasenta.
Teknik operasi plasenta manual tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan
agar tindakan tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
b. Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada keadaan perdarahan pada kala tiga
persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase,
retensio plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep
tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu
30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh
gangguan kontraksi uterus.
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta yang berkaitan dengan :
1) Plasenta belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a) Plasenta adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
b) Plasenta akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium
c) Plasenta inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai/memasuki
miometrium
d) Plasenta perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang disebabkan oleh
konstriksi ostium uteri.
2) Plasenta sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
3) Mengganggu kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
4) Retensio plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
a) Darah penderita terlalu banyak hilang,
b) Keseimbangan baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi,
c) Kemungkinan implantasi plasenta terlalu dalam.
c. Patofisiologi
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
1) Terdapat riwayat perdarahan postpartum berulang.
2) Terjadi perdarahan postpartum melebihi 400 cc
3) Pada pertolongan persalinan dengan narkosa.
4) Plasenta belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi perdarahan di atas 400 cc dan teriadi
retensio plasenta (setelah menunggu ½ jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita
retensio plasenta dapat dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan
yang adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan memasang infuse dan
memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga yang dapat memberikan
pertolongan darurat.
d. Tanda dan Gejala Manual Plasenta
1) Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai
episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus dan
polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan
atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2) Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi
secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3) Perdarahan yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4) Placenta tidak segera lahir > 30 menit.
2.1.5. Faktor Predisposisi
1) Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan
faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian
maternal. Pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang
dengan sempurna, jalan lahir mudah robek, kontraksi uterus masih kurang baik, rentan terjadi
perdarahan. Pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita mengalami penurunan
kemungkinan komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan lebih besar.
2) Perdarahan pascapersalinan dan gravid
Ibu-ibu dengan kehamilan multigravida mempunyai risiko > dibandingkan primigravida. Pada
Multigravida fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya
perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.
3) Perdarahan pascapersalinan dan paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari perdarahan pascapersalinan yang dapat
mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai
kejadian perdarahan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu) ketidak siapan ibu
dalam menghadapi persalinan yang pertama adalah faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil
dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
4) Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai
normal. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih,
jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat à mengakibatkan
turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.
4.1.1. Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka.
Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-
sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian
pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya
gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab
perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan
servix, vagina dan perinium.
Manifestasi Klinis
Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan sehingga pengelolaannya
tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala dan tanda PenyulitDiagnosa
penyebab
· Uterus tidak
berkontraksi dan lembek
· Perdarahan segera
setelah bayi lahir
· Syok
· Bekuan darah pada
serviks atau pada posisi
terlentang akan
menghambat aliran darah
keluar
· Atonia
uteri
· Darah segar mengalir
segera setelah anak lahir
· Uterus berkontraksi dan
keras
· Plasenta lengkap
· Pucat
· Lemah
· Mengigil
· Robekan
jalan lahir
· Plasenta belum lahir
setelah 30 menit
· Perdarahan segera,
uterus berkontraksi dan keras
· Tali pusat putus
· Inversio uteri
· Perdarahan lanjutan
· Retensio
plasenta
· Plasenta atau sebagian
selaput tidak lengkap
· Perdarahan segera
· Uterus berkontraksi
tetapi tinggi fundus uteri
tidak berkurang
·
Tertinggalnya
sebagian plasenta
· Uterus tidak teraba
· Lumen vagina terisi
massa
· Neurogenik syok,
pucat dan limbung
· Inversio
uteri
4.1.4. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan umum
a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan
masalah dan komplikasi
e. Atasi syok jika terjadi syok
f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus,
beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40
tetes/menit ).
g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir
h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan
terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
2. Penatalaksanaan khusus
a. Atonia uteri
v Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
v Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus
v Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
v Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
v Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan
saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan
berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau
dibawa ke fasilitas kesehata rujukan.
v Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
v Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat
akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.
b. Retensio plasenta dengan separasi parsial
v Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
v Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan
traksi terkontrol tali pusat.
v Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu
kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
v Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan
halus.
v Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
v Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
v Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).
c. Plasenta inkaserata
v Tentukan diagnosis kerja
v Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan
infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus
oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang
mungkin timbul.
v Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.
v Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
v Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum
v Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
v Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit
sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
v Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
v Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar
perlahan-lahan.
d. Ruptur uteri
v Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
v Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar
harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
v Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi
uterus
v Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan
histerektomi
v Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
v Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.
e. Sisa plasenta
v Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
v Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
v Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan,
bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi
dan kuret.
v Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.
f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
v Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
v Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
v Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
v Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
v Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan
busi pada rektum, sebagai berikut :
v Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
v Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan
benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan
klem dan jahit dengan benang no 2/0.
v Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama
( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
v Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
v Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.
g. Robekan serviks
v Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada
posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
v Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka
segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
v Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di
hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan,
jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat
dijahit
v Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska
tindakan
v Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
v Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi
darah
Top Related