BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ada dua istilah yang disamakan terkait intervensi pemberdayaan masyarakat,
yaitu pengembangan masyarakat dan pengorganisasian masyarakat. Perbedaan
pengembangan masyarakat lebih memfokuskan diri pada pengembangan kehidupan
ekonomi, prasarana jalan, bangunan dam pendidikan, disamping bidang kesehatan dan
kesejahteraan dalam arti sempit. Sedangkan pengorganisasian (kesejahteraan)
masyarakat lebih memfokuskan diri pada penyesuaian antara kebutuhan dan sumber
daya yang terkait dengan kesejahteraan sosial di perkotaan, propinsi dan Negara,
seperti pula pada wilayah pedesaan.
Pengembangan masyarakat harus dilakukan melalui gerakan yang kooperatif
dan harus berhubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat (Colonial Office
1954: appendix D, h.49 dalam Brokensha dan Hdge, 1969: h.34) “A movement
designed to promote better living for the whole community with the active
participation, and, if possible, on the initiative of the community. It includes the whole
range of development activities in the district whether these are undertaken by
government or unofficial bodies”.
Dunham (1958) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai “berbagai
upaya yang terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan
masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperaitf dan mengembangkan
kemandirian dari masyarakat pedesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuanj
teknis dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga sukarela” (“organized efforts to
improve the conditions of community life, primarily through the enlistment of self-help
and cooperative effort from the villagers, but with technical assistance from
government or voluntary organizations”).
Di Indonesia, istilah ‘pembangunan masyarakat’ (pembangunan =
development, masyarakat = community) digunakan untuk menggambarkan
pembangunan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan dalam arti yang ‘sempit’ istilah
pengembangan masyarakat di Indonesia sering dipadankan dengan ‘pembangunan
masyarakat desa’ dengan mempertimbangkan desa dan kelurahan berada pada
tingkatan yang setara, sehingga pengembangan masyarakat (desa) kemudian menjadi
1
setara dengan konsep ‘pengembangan masyarakat lokal’ (locality development) yang
dikemukakan oleh Rothman dan Tropman.
Intervensi kesehatan telah banyak menerapkan model Community
Development dalam prinsipnya. Harapannya dengan model intevensi ini, masyarakat
dapat secara lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhannya yang terkait dengan upaya
pemeliharaan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan memiliki tujuan untuk
meningkatkan status kesehatan masyarakat guna mencapai kualitas hidup yang lebih
baik. Oleh karena itu community development yang menerapakan konsep kemandirian
dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pemecahan masalah
kesehatan yang ada di masyarakat. Sehingga penting kiranya membahas intervensi
pemberdayaan masyarakat menggunakan model ini yang telah banyak diterapkan oleh
pemerintah dalam tiap program promosi kesehatan
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Community Development ?
2. Bagaimana prinsip dasar Community Development menurut Dunham dan
penerapannya di negara berkembang ?
3. Bagaimana bentuk perspektif makro dan perspektif mikro dari community
development ?
4. Apa saja yang termasuk unsur dasar pendekatan community development ?
5. Bagaimana tahap intervensi dari community development ?
6. Apa saja hambatan yang terjadi dalam proses community development ?
7. Bagaimana cara untuk meminimalisir hambatan dalam proses community
development ?
8. Bagaimana bentuk aplikasi dari community development ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Community Development
2. Untuk mengetahui prinsip dasar Community Development untuk Dunham
dan negara berkembang
3. Untuk mengetahui bentuk perspektif makro dan perspektif mikro dari
community development
4. Untuk mengetahui unsur dasar pendekatan community development
2
5. Untuk mengetahui tahap intervensi dari community development
6. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam proses community
development
7. Untuk mengetahui cara untuk meminimalisir hambatan dalam proses
community development
8. Untuk mengetahui bentuk aplikasi dari community development.
1.3.2 Manfaat Penulisan
1. Manfaat untuk penyusun :
Dalam penyususnan tugas ini, manfaat yang didapat bagi penyusun adalah
menambah wawasan tentang apa yang dimaksud dengan Community
Development sebagai suatu intervensi dalam pemberdayaan masyarakat
yang banyak diterapakan dalam progam-program penunjang bidang
kesehatan.
2. Manfaat untuk pembaca :
Dalam penyusunan makalah ini penyusun berharap pembaca mampu
menangkap isi dari makalah guna menambah pengetahuannya atau
pembaca dapat menilai makalah yang telah disusun untuk memberi
penilaian dan masukan yang membangun bagi penyusun.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Community Development
Community development dapat didefinisikan sebagai kegiatan pengembangan
masyarakat yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai
kondisi sosial-ekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelum
adanya kegiatan pembangunan. Sehingga masyarakat di tempat tersebut diharapkan
menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Community development yang dimaknai sebagai pengembangan masyarakat
terdiri dari dua konsep, yaitu ‘pengembangan’ dan ‘masyarakat’. Secara singkat,
‘pengembangan atau pembangunan’ merupakan usaha bersama dan terencana untuk
meningkatkan kualitas kehidupan manusia pada umumnya. Bidang-bidang
pembangunan biasanya meliputi berbagai sektor kehidupan, yaitu sektor ekonomi,
sektor pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. Sedangkan pengertian ‘masyarakat’
menurut pandangan Mayo (1998: 162) dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu :
1. Masyarakat sebagai sebuah ‘tempat bersama’, yakni sebuah wilayah geografi yang
sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau
sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai ‘kepentingan bersama’, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan
kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat
etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu
seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan
khusus (anak cacat fisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.
Pemberdayaan masyarakat yang berbasis masyarakat seringkali diartikan
dengan pelayanan sosial gratis dan swadaya yang biasanya muncul sebagai respon
terhadap melebarnya kesenjangan antara menurunnya jumlah pemberi pelayanan
dengan meningkatnya jumlah orang yang membutuhkan pelayanan. Pemberdayaan
masyarakat juga diartikan sebagai pelayanan yang menggunakan pendekatan-
pendekatan yang lebih bernuansa pemberdayaan (empowerment) yang memperhatikan
4
keragaman pengguna dan pemberi pelayanan. Dengan demikian, pemberdayaan
masyarakat dapat diartikan sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat
meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruh terhadap
proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993: 71).
Pemberdayaan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota
masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi
kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Pemberdayaan masyarakat seringkali diimplementasikan dalam
bentuk (a) proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat
memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya; atau melalui (b) kampanye
dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi
oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (Payne, 1995: 165).
Melengkapi definisi di atas, Dunham seorang pakar community development
(dalam Suharto, 1997: 99) merumuskan community development adalah usaha-usaha
yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat,
dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri.
Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-
organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam
masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun
organisasi-organisasi sukarela.
Rumusan community development yang dikemukakan Dunham tersebut jika
dicermati secara seksama ternyata lebih berorientasi dengan pembangunan
masyarakat desa sebagai basis dari pembangunan nasional yang dicanangkan
pemerintah dalam berbagai aspek itu. Lebih lanjut Dunham mengemukakan 4 (empat)
unsur-unsur community development sebagai berikut :
1. A plan program with a focus on the total needs of the village community (suatu
program rencana dengan suatu fokus pada total kebutuhan masyarakat desa/
kampung).
2. Technical assistance (bantuan teknis)
3. integrating various specialities for the help of the community (pengintegrasian
berbagai kekhususan untuk bantuan masyarakat)
5
4. A major emphasis upon selp-help and participation by the residents of the community
(suatu penekanan utama atas bantuan diri dan partisipasi masyarakat).
Berdasarkan pandangan-pandangan tentang community development yang telah
dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Community development merupakan suatu proses pembangunan yang
berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan
dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap
kegiatan tindak lanjut dan evaluasi ‘follow-up activity and evaluation’.
2. Community development bertujuan memperbaiki ‘to improve’ kondisi ekonomi, sosial
dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
3. Community development memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-
potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka,
sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan.
4. Community development memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya
partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama ‘group action’ di dalam memecahkan
masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-
potensi yang dimiliki masyarakat.
Community development secara esensial merupakan suatu proses adaptasi
sosial budaya yang dilakukan oleh perusahaan, pemerintah pusat dan daerah terhadap
kehidupan komunitas-komunitas lokal. Artinya perusahaan adalah sebuah elemen dan
serangkaian elemen hidup yang berlaku di masyarakat. Sebagai salah satu elemen
berarti perusahaan masuk dalam struktur masyarakat sosial setempat dan berfungsi
terhadap elemen lainnya. Dengan kesadarannya perusahaan-perusahaan harus dapat
membawa komunitas-komunitas lokal bergerak menuju kemandiriannya tanpa
merusak tatanan sosial budaya yang ada. (Rudito, 2003:17). Dengan kata lain
masyarakat terdiri dari komunitas lokal, komunitas pendatang dan komunitas
perusahaan, yang kesemua komunitas itu saling mempengaruhi, berinteraksi dan
beradaptasi sebagai anggota masyarakat.
Implementasi lebih lanjut berarti adanya kesetaraan, saling menghargai dalam
sosial budaya yang beragam atau multikultural. Kesetaraan sebagai suatu kesatuan
komunitas, saling menghargai dan mengakui adanya perbedaan yang berarti tidak
6
adanya usaha untuk mendominasi antar masing-masing stakeholder yang di dalamnya
terkandung pengutamaan hak azasi manusia. (Rudito, 2003:23). Secara umum
community development adalah kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan
secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna
mencapai kondisi sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila
dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya. (Budimanta, 2003: 27)
2.2 Prinsip dasar Community Development menurut Dunham
Pada tahun 1958, Dunham menunjukkan adanya keterkaitan yang sangat
erat, atau dapat pula dikatakan ketumpangtindihan, antara pengembangan masyarakat
dan pengorganisasian kesejahteraan masyarakat (community welfare organisation).
Dunham meyakini bahwa pengembangan masyarakat dan pengorganisasian
masayarakat adalah dua konsep yang berbeda. ‘Pengembangan masyarakat lebih
memfokuskan diri pada pengembangan kehidupan ekonomi, prasarana jalan,
bangunan, bangunan dan pendidikan, disamping bidang kesehatan dan kesejahteraan
dalam arti sempit. Sedangkan ‘pengorganisasian (kesejahteraan) masyarakat’ lebih
memfokuskan diri pada penyesuaian antara kebutuhan dan sumber daya yang terkait
dengan kesejahteraan sosial di perkotaan, provinsi dan negara, seperti pula pada
wilayah dan pedesaan. Dunham percaya bahwa apa yang dikenal sebagai
‘pengembangan masyarakat’ (community development) di Inggris, di Amerika dikenal
dengan nama ‘peningkatan masyarakat’ (community improvement).
Dunham (1958) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai
“berbagai upaya yang terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi
kehidupan masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperatif dan mengembangkan
kemandirian diri masyarakat pedesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bentuan
tehnis dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga sukarela”. Dalam usaha
menggambarkan hubungan antara pengorganisasian dan pengembangan masyarakat,
Dunham menyatakan ada lima prinsip dasar yang amat penting bagi mereka yang
berminat pada pengorganisasian masyarakat ataupun pengembangan masyarakat.
Prinsip tersebut adalah :
1. Penekan pada pentingnya kesatuan kehidupan masyarakat dan hal yang terkait
dengan hal tersebut dimana pengorganisasian (ataupun pengembangan) masyarakat
harus dilakukan dengan mempertimbnagkan keseluruhan kehidupan masyarakat,
dan tidak dilakukan hanya untuk segmen tertentu dalam kehidupan masyarakat,
7
seperti halnya untuk aspek kesehatan, rekreasi, ataupun kesejahteraan dalam arti
sempit saja.
2. Perlu adanya pendekatan antar tim dalam pengembangan masyarakat, dimana tidak
ahanya menekankan pada pendekatan multi-profesi, tetapi juga multi-lapisan
profesi (multi vocational) karena diperlukan adanya keterlibatan layanan yang sub-
profesional, selain layanan yang profesional.
3. Kebutuhan akan adanya communityworker yang serba bisa (multi purpose) pada
wilayah pedesaan, dimana petugas harus mampu bekerja pada berbagai basis
pekerjaan yang berbeda.
4. Pentingnya pemahaman akan pola budaya masyarakat lokal. Lebih jauh lagi, para
petugas haruslah benar-benar tulus ingin mengembangkan masyarakat yang ada,
bukan sekedar memperkenalkan ataupun membawa teknologi yang baru ke
masyarakat sasaran.
5. Adanya prinsip kemandirian yang menjadi prinsip utama dalam pengembangan
masyarakat. Pengembangan masyarakat harus dilaksanakan ‘bersama’ masyarakat
dan ‘bukan sekedar untuk’ masyarakat.
Disamping ‘kerancuan’ mengenai istilah pengorganisasian masyarakat dan
pengembangan masyarakat, Milson (1974) mengemukakan bahwa ada
ketumpangtindihan lain yang terkait dengan istilah pengembangan masyarakat, dalam
kaitan dengan penggunaannya di negara ‘sedang berkembang’ dan di negara ‘yang
berkembang’.
2.2.1 Community Development untuk negara berkembang
Pada negara yang sudah berkembang (develop countries),
pengembangan masyarakat tidak terlalu difokuskan pada penyediaan
kebutuhan dasar masyarakat (seperti layanan kesehatan, makanan, air bersih,
pendidikan dasar menengah), tetapi lebih diarahkan pada mengembangkan
proses demokrasi, memperbaiki proses demokrasi yang ada, dan
mengembangkan konklusi logis dari masalah-masalah yang ada. Tujuan utama
pergerakan adalah pengembangan ‘harga diri’ (dignity) dan kepuasan
berpartisipasi
8
2.2.2 Community Development untuk negara sedang berkembang
Pada berbagai negara yang sedang berkembang, fokus perhatian dari
pengembangan masyarakat lebih diarahkan pada peningkatan kesehatan
masyarakat, peningkatan kondisi ekonomi komunitas, pembuatan fasilitas
infrastruktur, membangun fasilitas rumah untuk kelompok miskin,
mengembangkan pendidikan dasar, menengah dan kejuruan, serta menyiapkan
lapangan kerja.
Pengertian pengembangan masyarakat pada berbagai negara yang
sedang berkembang kemudian menjadi lebih meluas bila dibandingkan dengan
apa yang dikembangkan di negara yang sudah berkembang. Hal ini terjadi
karena adanya perbedaan masalah dan kondisi dari negara-negara yang
menggunakan pendekatan ini, dan juga adanya perbedaan konsepsi dari
pemerintah dan lembaga non pemerintah (aktor pelaksana) yang melaksanakan
pendekatan ini.
2.3 Perspektif Makro dan Mikro Community Develompment
Pengertian pengembangan masyarakat yang terdapat pada beberapa negara
sedang berkembang menjadi lebih luas bila dibandingkan dengan yang dikembangkan
oleh negara yang sudah berkembang. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
masalah, kondisi serta konsepsi dari pemerintah dan lembaga non pemerintah dari
masing-masing negara yang menggunakan pendekatan ini.
Pengembangan masyarakat (community development) dapat dilihat dari dua
sudut pandang yaitu perspektif makro ataupun mikro pada negara-negara yang sedang
berkembang.
Dilihat dari perspektif makro, pada negara sedang berkembang istilah
community development atau pengembangan masyarakat digunakan sebagai
pembangunan seluruh bangsa. Dalam perspektif makro terdapat istilah komunitas,
istilah ini dapat menggambarkan komunitas lokal serta komunitas seluruh bangsa
(tingkat nasional). Hal tersebut menyebabkan banyak kegiatan di negara-negara
berkembang yang sering dikategorikan sebagai pengembangan masyarakat. Di
Indonesia menggunakan istilah pembangunan masyarakat untuk menggambarkan
pembangunan bangsa secara keseluruhan.
9
Sedangkan dilihat dari perspektif mikro istilah pengembangan masyarakat
pada negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia sering disama artikan
dengan pembangunan masyarakat desa dengan mempertimbangkan desa dan
kelurahan ada pada tingkatan yang setara, sehingga pengembangan masyarakat desa
menjadi setara dengan konsep pengembangan masyarakat lokal seperti yang
dikemukakan oleh Rothman dan Tropman. Perspektif mikro menekankan pada
pembangunan individual, keluarga, kelompok dan terkadang termasuk juga
organisasi. Sehingga program-program pembangunan harus diarahkan kepada
penguatan individu, keluarga dan kelompok agar mereka dapat memperoleh
kesejahteraan.
2.4 Unsur Dasar Pendekatan Community Developmet
Pengalaman pada berbagai Negara menunjukkan bahwa terdapat tiga
pendekatan dalam praksis community development. Ketiga pendekatan itu adalah
pendekatan bantuan teknis (technical assistance), pemandirian (self-help) dan konflik
(conflict). (Christenson dan Robinson, 1999).
1. Pendekatan Bantuan Teknis (technical assistance)
Pendekatan ini mengasumsikan komunitas sebagai sebuah sistem yang
kompleks dengan struktur yang fungsional dan dikelola oleh figur otoritas tersebut,
ia hanya ditujukan untuk mengingatkan kapasitas dan struktur.
Pendekatan ini mempercayai bahwa ilmu pengetahuan mampu
menyediakan sarana untuk memecahkan permasalahan atau memenuhi kebutuhan,
karena itu inti masalah yang ingin dipecahkan adalah bagaimana komunitas
memiliki kapsitas untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam memecahkan
permasalahan manusia, tetapi permasalahan tersebut lebih banyak pada hal-hal
teknis. Peranan seorang outsider (fasilitator) dalam konteks ini adalah bagaimana
menghantarkan kemampuan teknis.
2. Pendekatan Pemandirian (self-help)
Pendekatan ini mengasumsikan masyarakat sebagai unit mekanik yang
didalamnya tercampurkan individu yang memiliki kemampuan dengan tidak yang
memiliki kamempuan. Perubahan dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dari
komunitas melalui konsolidasi struktur dan kesadaran-kesadaran kritis.
10
Pendekatan ini mempercayai bahwa orang-orang mempunyai hak dan
kemampuan mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan atau memenuhi
kebutuhan secara kolektif, artinya potensi kolektivitas dalam pemecahan masalah
atau pemenuhan kebutuhan selalu terdapat dalam masyarakat, masalahnya adalah
bagaimana mengkonsolidasikan dan mendorong kapasitas orang untuk mengambil
aksi kolektif.
Peranan seorang outsider (fasilitator) dalam pendekatan ini adalah
bagaimana menanamkan kesadaran kritis tentang pentingnya aksi kolektif dalam
pemecahan masalah. Selain itu, fasilitator juga berperan dalam pengorganisasian
masyarakat (community organizing), karena dengan organisasi itulah mereka
memiliki wadah untuk mengkonsolidasi diri dan sumberdaya dalam menggalang
aksi kolektif.
3. Pendekatan Konflik (conflict)
Pendekatan konflik membayangkan masyarakat berisi kelompok-kelompok
yang secara kontinyu berjuang untuk memelihara atau menambah basis kekuatan
atau kekuasaan mereka. Individu dibayangkan sebagai diri yang malang, yang
terhimpit dan tertindas. Karena itu, perubahan dimaksudkan untuk merubah
struktur agar kekuasaan tidak berada ditangan satu pihak saja.
Pendekatan ini berasumsi bahwa kekuasaan adalah hal paling mendasar dari
semua sumberdaya. Upaya tiap orang adalah bagaimana merebut kekuasaan yang
hanya pada beberapa orang saja. Tujuan dari community development adalah
terjadinya pembagian kembali kekuasaan (redistribution of power).
Peranan seorang fasilitator atau outsider dalam pendekatan ini adalah
menanamkan kesdaran kritis tentang ketimpangan kekuasaan yang menyebabkan
limitasi dalam akses sumberdaya. Selain itu, fasilitator juga harus mendampingi
pertentangan yang berlangsung agar tidak meledak menjadi konflik besar yang
mendorong disintregasi komunitas.
Dalam implementasi community development, terlepas dari perspektif yang
dianut terdapat tiga unsur yang selalu terkait. Ketiga unsur itu adalah pendidikan
komunitas (community education), pengorganisasian komunitas (community
organizing) dan maajemen sumberdaya komunitas (community resource
management). (Christinson dan Robinson, 1994).
11
1. Pendidikan Komunitas (community education)
Terdapat dua model pendidikan yang menjadi pilihan yakni pendidikan
teknis dan pendidikan penyadaran. Pendidikan teknis bertujuan
meningkatkan/mengubah pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan
keterampilan (skill) dari individu untuk bisa menjalankan rencana tertentu.
Pendidikan seperti ini lebih identik dengan penyuluhan, bayangkan komunitas
berada dalam kegelapan, lalu penyuluh datang membawa suluh penerang bagi
kegelapan.
Pendidikan penyadaran bertujuan menanamkan kesadaran kritis kepada
individu atau komunitas tentang situasi masalah yang mereka hadapi dan alternatif
pemecahan masalahnya. Dalam kaitan ini, terdapat tiga tingkat kesadaran yang
perlu ditransformasikan pada diri individu yakni pergeseran dari kesadaran magik
(magic consciousness) ke kesadaran naif (naïve consciousness) dan akhirnya ke
kesadaran kritis (critical consciousness) (Freire dalam Smith, 2001).
2. Pengorganisasian Komunitas (Community organizing)
Untuk memanifestasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan baru yang
diperoleh, begitu pula dengan kesadaran kritis yang dicapai, diperlukan sebuah
wadah yang sifatnya kolektif. Pengorganisasian komunitas memegang tugas untuk
mewujudkan wadah tersebut. Terdapat dua alternatif wadah untuk mewujudkan
entitas kolektivitas tersebut yakni pengorganisasian di tingkat kelompok dan
pengorganisasian di tingkat komunitas. Dalam pengorganisasian di tingkat
kelompok, individu diorganisir dalam cakupan kolektivitas yang terbatas pada
kesamaan identitas tertentu seperti pekerjaan, umur dan sebagainya.
Dalam pengorganisasian tingkat komunitas, solidaritas yang dibangun tidak
terbatas pada tingkat kelompok, ia mencakupi sebuah unit wilayah dalam suatu
konsolidasi sumberdaya dan keberlakuan norma kolektivitas. Pengelolaan
Sumberdaya Komunitas (Community resources management).
3. Unsur ketiga dari community development adalah pengelolaan asset komunitas itu
sendiri.
Sebuah komunitas seyogianya memiliki asset kolektif yang dimiliki oleh
komunitas dan pengelolaannya di tangan komunitas tersebut. Community resources
management merupakan substansi utama dari keberdayaan komunitas.
12
Ketersadaran dan keterorganisasian tidak cukup bermakna tanpa adanya asset atau
resources yang secara otoritatif atau legitimatif dikelola.
2.5 Tahap intervensi Community Development
Dalam menjalankan sebuah program intervensi, dibutuhkan beberapa tahapan-
tahapan yang perlu dilakukan agar program intervensi yang direncanakan dapat
berjalan dan berhasil sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
Beberapa ahli telah merumuskan tahapan intervensi, seperti yang telah dikemukakan
oleh Lippit, Watson, dan Westley (1958). Lippit mengemukakan bahwa untuk
mendapatkan suatu perubahan ke tingkat yang lebih baik maka diperlukan suatu
proses yang harus dilalui. Hal ini didasari atas pemikiran Lewin tentang perubahan
berencana. Adapun proses yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Tahap pengembangan kebutuhan
Pada tahapan ini, yang diperlukan adalah kesadaran akan masalah yang
dihadapai oleh komunitas (problem awareness). Dari pemahaman akan
masalah yang dihadapi oleh komunitas maka dapat diketahui keinginan untuk
berubah demi menyelesaikan masalah tersebut. Namun pada beberapa kasus,
ditemukan bahwa masyarakat kurang dapat memahami kebutuhan yang
mereka rasakan dan kebutuhan riil. Sehingga diperlukan adanya agent of
change dari luar komunitas untuk menstimulasi masyarakat dalam memahami
kebutuhan mereka.
2. Tahap pemantapan relasi
Dengan adanya agen perubahan dalam komunitas, maka akan tercipta suatu
relasi kerja. Pengembangan relasi kerja ini sangatlah diperlukan karena adanya
keterbatasan diantara community worker sebagai agent of change dengan
keinginan masyarakat sendiri (self determination).
Pada tahapan ini perlu diadakannya suatu pembentukan dan pembinaan relasi
yang berupa kerja sama dalam perubahan ke arah yang lebih baik. Selain itu
juga membantu untuk memperoleh data yang akurat mengenai kebutuhan dan
sumber daya yang dimiliki oleh komunitas. Relasi juga dapat membentuk
kepercayaan komunitas untuk berpartisipasi dalam perubahan.
13
3. Tahap klarifikasi atau diagnosis masalah
Setelah data terkumpul, maka dimungkinkan akan ada suatu pelebaran
masalah, yang semula tampak sederhana akan lebih rumit untuk dihadapi.
Oleh karenanya diperlukan suatu klarifikasi dan analisa untuk mendiagnosis
masalah yang sebernarnya, sesuai hakekat permasalahan yang terjadi pada
komunitas, sehingga terhindar dari kepentingan-kepentingan pribadi kelompok
tertentu, dan masalah lain yang dapat makin memperumit perubahan yang
direncanakan.
4. Tahap pengkajian dan penentuan tujuan program
Apabila klarifikasi masalah telah dilakukan maka diperlukan suatu tujuan
operasional program dan alternatif cara pelaksanaan dari program yang akan
dilakukan.
5. Tahap transformasi program
Pada tahap ini dilakukan transfer program planning pada program acting.
Yaitu pelaksanaan kegiatan nyata dari program yang telah direncanakan
sebelumnya. Pada proses ini diperlukan suatu tindakan efisien dan efektif guna
mencapai tujuan program. Tingkat keberhasilan program dapat diukur dengan
cara melihat seberapa besar kehendak yang direncanakan dapat
ditransformasikan kedalam suatu bentuk pencapaian yang nyata (actual
achievement).
6. Tahap generalisasi dan stabilisasi perubahan
Suatu program perubahan yang berhasil akan membawa kegiatan yang stabil
dalam komunitas tersebut, dan juga dapat diikuti oleh komunitas lainnya.
Untuk itu diperlukan suatu dukungan secara total dari komunitas (general
system). Hal ini dapat diperoleh dari proses evaluasi yang dilakukan bersama
oleh masyarakat dan community worker.
7. Tahap terminasi
Tahap terminasi merupakan akhir dari suatu kegiatan relasi perubahan. Pada
tahap ini diharapkan komunitas sudah dapat mendiri dan siap untuk terus
mengembangkan kegiatan yang ada, sehingga tidak diperluan lagi bimbingan
dari community worker sebagai pendamping komunitas. Pada banyak kasus,
tahap terminasi dapat terjadi karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh
community worker dalam mendampingi komunitas, atau dapat terjadi karena
14
keterbatasan dana. Padahal pada tahap ini seharusnya masyarakat sebagai
komunitas yang mampu berubah karena telah siap dan mandiri.
Pada kenyataannya di lapangan, tahapan-tahapan diatas bukan merupakan suatu
tahapan dengan penjenjangan yang ketat. Tahapan diatas sebagai suatu proses tidak
harus diselesaikan dahulu sebelum masuk ke tahap berikutnya, karena pelaksanaan
tahapan diatas dapat berupa spiral. Yaitu suatu tahapan dapat dilakukan secara
bersamaan dalam suatu waktu.
Tahapan intervensi pengembangan masyarakat, pada umumnya difokuskan pada
upaya mengembangkan kemandirian komunitas (self-help), serta pendekatan non-
direktif yag didasarkan pada pilihan komunitas (self determination). Intervensi
pengembangan masyarakat dapat berbeda dan memiliki variasi tahapan dalam
mengintervesi kelompok satu dengan kelompok lainnya. Namun pada dasarnya
tahapan intervensi memiliki tahapan pokok yang secara sederhana dikemukakan oleh
Isbandi (2003), yaitu sebagai berikut.
1. Tahapan persiapan, termasuk didalamnya adalah persiapan petugas dan
persiapan lapangan.
2. Tahapan assessment, yaitu tahap penilaian atau pengkajian dan identifikasi
masalah serta sumber daya yang dimiliki dalam komunitas.
3. Tahap perencanaan alternatif program atau kegiatan.
4. Tahap penentuan rencana aksi.
5. Tahap pelaksanaan (implementasi) program.
6. Tahap evaluasi.
7. Tahap terminasi.
15
Tahapan diatas merupakan suatu siklus untuk menciptakan suatu perubahan ke
arah yang lebih baik. Sehingga pada suatu tahapan dapat terjadi pengulangan dan
kembali pada tahap sebelumnya, dan dengan kata lain tahapan intervensi
pengembangan masyarakat dapat digambarkan dalam skema berikut.
2.6 Hambatan dalam Proses Pengembangan Masyarakat dan Meminimalisasinya
Meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses
yang berkesinambungan. Dalam penerapannya memang disadari bahwa tidak semua
yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Kadangkala,
dan tidak jarang, ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan
penolakan terhadap pembaharuan ataupun inovasi yang muncul. Watson, dalam buku
Planning of Change edisi kedua, menggambarkan ada beberapa hambatan (kendala)
yang dapat menghalangi terjadinya suatu perubahan (pembangunan). Hal ini tentunya
akan terkait dengan kendala dalam upaya pemberdayaan melalui intervensi
komunitas. Kendala-kendala di bawah ini menurut Watson :
1. Kendala yang berasal dari kepribadian individu
a) Kestabilan (Homeostatis)
Homeostatis, seperti yang dikemukakan oleh Cannon (1932),
merupakan dorongan internal individu yang berfungsi untuk menstabilkan
(stabilizing forces) dorongan-dorongan dari luar. Tubuh manusia mempunyai
16
mekanisme untuk mengatur perubahan fisiologis, seperti temperatur, kadar
gula dan lain sebagainya. Beberapa tahun sebelumnya, Raup (1925),
menggambarkan di samping kemampuan mengadaptasi perubahan fisiologis,
manusia juga mempunyai kemampuan untuk mengadaptasi perubahan
psikologis dalam batas tertentu. Terkait dengan hal ini, suatu proses pelatihan
yang diberikan dalam waktu yang relatif singkat belum tentu dapat membuat
perubahan yang permanen pada diri individu, bila tidak diikuti dengan
penguatan yang relatif terus menerus dari sistem yang melingkupinya (tidak
diikuti program lanjutan untuk menstabilkan hasil latihan).
Misalnya saja, perilaku mahasiswa yang baru saja mengikuti sensitivity
training (pelatihan untuk meningkatkan kepekaan individu) cenderung akan
lebih terbuka dan mau menerima masukan (receptive) dari rekan-rekannya.
Tetapi setelah beberapa bulan kemudian, dorongan yang didapat melalui
sensitivity training tersebut melemah, dan dorongan asal kembali muncul
sehingga ia kurang receptive lagi. Dari hal tersebut, dapat terlihat bahwa
dorongan yang sudah stabil di dalam diri seseorang (homeostatis) dapat
menghambat perubahan yang telah direncanakan. Hal ini perlu diperhatikan
oleh community worker, terutama bila ia hanya mengembangkan pelatihan
yang bersifat sesaat dan tidak berkelanjutan.
b) Kebiasaan (Habit)
Di samping homeostatis, konsep atau faktor lain yang dapat
menghambat suatu perubahan adalah faktor kebiasaan. Sebagian besar pakar
dari teori belajar (learning theory) mempunyai asumsi bahwa bila tidak ada
perubahan situasi yang tak terduga, maka setiap individu pada umumnya akan
bereaksi sesuai dengan kebiasaannya. Allport (1937) memperkenalkan istilah
otonomi fungsional (functional autonomy) untuk menggambarkan fakta yang
terjadi bahwa aktivitas ataupun tindakan yang dilakukan seseorang sebagai
suatu cara untuk mencapai suatu kepuasan seringkali, secara intrinsik diterima
sebagai suatu tindakan yang sebaiknya ia lakukan. Misalnya saja, kebiasaan
merokok, kebiasaan makan malam lebih banyak dari makan pagi, dan lain
sebagainya.
17
Pada satu sisi, kebiasaan dapat membantu community worker untuk
mengembangkan rencana perubahan. Tetapi, pada sisi yang lain, kebiasaan
dapat menjadi faktor penghambat. Misalnya saja, bila seorang community
worker ingin mengembangkan pola hidup sehat pada komunitas di pemukiman
kumuh, antara lain, membiasakan buang air besar di WC; membiasakan
menggunakan air bersih untuk memasak; membiasakan untuk tidak jajan
sembarangan. Padahal di pemukiman tersebut, nilai individual yang ada pada
umumnya menganggap bahwa buang air besar di kali ataupun di selokan
depan rumah; menggunakan air apa adanya; dan jajan di sembarang tempat
(tanpa mempedulikan kebersihan) adalah hal yang biasa, serta mereka bisa
melakukannya. Bila hal ini terjadi maka kebiasaan yang ada pada individu
dapat menjadi faktor penghambat terjadinya suatu perubahan.
c) Hal yang Utama (Primacy)
Hal yang utama (primacy) yang dimaksudkan disini adalah hal-hal
yang berhasil mendatangkan hasil yang memuaskan. Bila tindakan yang
pertama dilakukan seseorang mendatangkan hasil yang memuaskan ketika
menghadapi suatu situasi tertentu, maka ia cenderung mengulanginya pada
saat yang lain (ketika menghadapi situasi yang sama). Hal ini juga dapat
menghambat terjadinya perubahan, apalagi bila tindakan tersebut sudah begitu
terpola pada individu tersebut. Misalnya saja, orang yang sudah menganggap
obat “X” sebagai obat yang cocok untuk meredakan rasa pusing yang diderita,
cenderung menggunakan obat tersebut ketika ia menderita pusing. Bila ia
disarankan untuk beristirahat saja dan tidak menggunakan obat “X” , misalnya
karena obat tersebut merupakan salah satu obat penenang, maka ia cenderung
untuk menolak informasi tersebut.
d) Seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention)
Bila sikap seseorang terhadap objek sikap sudah terbentuk, maka
tindakan yang dilakukannya di saat-saat yang berikutnya akan disesuaikan
dengan objek sikap yang ia jumpai. Misalnya saja, bila “X” menganggap
bahwa orang Batak itu orang kasar dan suka berterus terang, sedangkan orang
Jawa itu tutur katanya halus tetapi berbelit-belit jalan pemikirannya, maka bila
18
“X” berjumpa dengan orang Batak (objek sikap pertama) ia akan memberikan
respon yang berbeda bila dibandingkan ia berbicara dengan orang Jawa.
Dalam hal ini, stereotip (stereotype) mengenai orang Batak dan Jawa yang
diketahui oleh X menentukan cara “X” bertindak.
Keadaan di atas merupakan salah satu bentuk penyeleksian persepsi
yang diterima oleh individu (“X” mempersepsikan orang Batak berbeda
dengan orang Jawa disesuaikan dengan dasar pengalamannya), di satu sisi
penyeleksian persepsi yang ada dapat membantu community worker dan
masyarakat dalam mengambil keputusan. Tetapi, di sisi yang lain penyeleksian
ini dapat pula menghambat perubahan yang akan terjadi. Misalnya saja, bila
seseorang merasa antipasti terhadap salah satu pembimbing keterampilan yang
berasal dari suku tertentu hanya berdasarkan stereotip yang ia kembangkan
sebelumnya tanpa memperhatikan kemampuan dari pembimbing keterampilan
tersebut. Padahal tenaga pembimbing tersebut merupakan salah satu yang
terbaik dalam bidangnya. Hal ini tentu akan dapat berakibat kurang baik bila
tidak dicarikan jalan penyelesaiannya.
e) Ketergantungan (Dependence)
Ketergantungan seseorang terhadap orang yang lebih dewasa dapat
pula menjadi faktor yang menghambat terjadinya suatu perubahan dalam
masyarakat. Ketergantungan seseorang terhadap orang yang lebih dewasa
sudah dimulai sejak masa kanak-kanak. Tetapi, sejalan dengan bertambahnya
usia maka tingkat ketergantungan terhadap orang yang lebih tua dapat semakin
diperkecil, sehingga pada akhirnya dapat dicapai kemandirian baik dalam
aspek psiko-sosial maupun financial. Bila dalam suatu kelompok masyarakat
terlalu banyak orang yang mempunyai ketergantungan terhadap orang lain
maka proses pemandirian masyarakat tersebut dapat menjadi lebih dari waktu
yang diperkirakan.
f) Superego
Superego yang terlalu kuat cenderung membuat seseorang tidak mau
menerima pembaharuan, dan kadangkala menganggap pembaharuan sebagai
suatu hal yang tabu. Dorongan superego yang berlebihan ini menimbulkan
19
kepatuhan yang berebihan pula, karena dorongan dari luar diri lebih sering
teredam dan tak tersalurkan. Padahal keberadaan luar diri sendiri, dalam sisi
yang positif adalah memunculkan keinginan seseorang untuk mendapatkan
hasil yang lebih baik dengan cara yang lebih sederhana (hal ini sesuai dengan
pleasure principle dari luar diri itu sendiri). Keadaan seperti inilah yang dapat
menyebabkan terhambatnya suatu inovasi yang akan diperkenalkan oleh
community worker terhadap masyarakat tersebut.
g) Rasa Tidak Percaya Diri (Self Distrust)
Rasa tidak percaya diri menurut Watson dapat merupakan konsekuensi
dari ketergantungan pada masa kanak-kanak yang berlebihan, serta dorongan
dari superego yang terlalu kuat sehingga ia merasa perlu menghidari dorongan
yang dating dari dirinya sendiri, dengan menyatakan “rasanya apa yang saya
inginkan ini bukan merupakan hal yang patut untuk dilakukan”. Rasa tidak
(kurang) percaya diri ini bila terus berlanjut sampai seseorang menginjak usia
dewasa pada akhirnya dapat mempengaruhi keterampilan dan kinerjanya.
h) Rasa Tidak Aman dan Regresi (Insecurity and Regression)
Faktor lain yang lebih bersifat individual yang dapat mengambat
partispasi yang efektif adalah kecenderungan untuk mencari rasa aman yang ia
peroleh di masa lalu. Masa kanak-kanak bagi mereka seperti surga yang
hilang, sehingga mereka mencoba mencarinya di masa kini. Orang-orang ini
cenderung bernostalgia untuk mencari masa bahagia yang pernah dulu ia
alami. Kenyataan akan rasa tidak aman di masa kini ini juga cenderung diikuti
oleh terjadinya regresi pada individu tersebut, dan cenderung selalu merasa
kecewa dengan keadaan saat ini. Meskipun mereka cenderung merasa tidak
senang dengan keadaan saat ini, Watson melihat bahwa, mereka merasa bahwa
perubahan yang akan terjadi justru akan dapat meningkatkan kecemasan dan
ketakutan mereka (anxiety) mereka. Berdasarkan hal ini mereka menjadi pihak
yang cenderung untuk menolak pembaharuan, terutama pembaharuan yang
berbeda dengan masa keemasan (masa kanak-kanak) mereka.
20
2. Kendala yang Berasal dari Sistem Sosial
a) Kesepakatan terhadap Norma Tertentu (Conformity to Norms)
Norma dalam suatu sistem sosial berkaitan erat dengan kebiasaan dari
kelompok masyarakat tersebut. Norma sebagai suatu aturan yang tidak tertulis
mengikat sebagian besar anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu.
Pada titik tertentu , norma dapat menjadi faktor yang menghambat ataupun
halangan terhadap perubahan (pembaharuan) yang ingin diwujudkan. Pada
kelompok masyarakat yang mempunyai norma yang mendukung untuk
berjudi, minum-minuman keras serta menjual obat terlarang maka betapa
sulitnya community worker membantu merubah masyarakat tersebut untuk
menjadi masyarakat sehat bukan saja dari segi fisik tetapi juga sehat rohani.
Untuk beberapa komunitas di pemukiman kumuh, dapat terlihat pula bahwa
norma masyarakat mendukung kebiasaan untuk buang air besar sembarangan;
buang sampah sembarangan; menggunakan air yang kurang bersih untuk
memasak; dan beberapa kebiasaan yang tidak mendukung kesehatan fisik
mereka. Dalam keadaan seperti ini, norma masyarakat bukan menjadi faktor
pendukung suatu inovasi ke arah yang lebih baik, tetapi lebih berupa faktor
penghambat pembaharuan. Karena orang-orang yang ingin melakukan
pembaharuan tidak jarang dianggap sebagai orang yang melakukan
penyimpangan. Dalam keadaan seperti ini, nilai-nilai baru lebih baik
diperkenalkan melalui kelompok per kelompok dan bukan melalui orang
perorang saja.
b) Kesatuan dan Kepaduan Sistem dan Budaya (Systemic and Cultural
Coherence)
Seperti apa yang pernah dipahami sebagai prinsip dasar dalam Gestalt
dimana “setiap bagian dari suatu bentuk tertentu mempunyai karakteristik dari
bentuk tersebut sebagai hasil dari interaksi dengan totalitas bentuk tersebut”.
Berdasarkan pandangan ini dapat dipahami bahwa perubahan yang dilakukan
pada suatu area akan dapat mempengaruhi area yang lain. Hal ini terjadi
karena dalam suatu komunitas tidak hanya berlaku satu sistem saja, tetapi
berbagai sistem yang saling terkait menyatu dan terpadu, sehingga
21
memungkinkan masyarakat itu hidup dalam keadaan yang ‘mantap’ (steady
state).
Perubahan dalam sistem mata pencaharian (pola bercocok tanam) suatu
kelompok masyarakat dari berladang dengan sistem ‘ladang-pindah’ dari suatu
area ke area lain menjadi ‘bertani menetap’ menimbulkan dampak yang tidak
sedikit pada beberapa kebiasaan yang lain, seperti pada cara mereka mengasuh
anak, bermasyarakat, membersihkan diri. Dalam keadaan seperti ini maka
masyarakat tersebut melakukan penyesuaian kembali kebiasaan-kebiasaan
mereka. Disamping itu, perubahan ini juga berpengaruh pada beberapa daerah
ataupun komunitas yang sering berinteraksi (misalnya saja, disinggahi) dengan
mereka. Hal yang serupa, tetapi dalam bentuk berbeda pula terjadi pada
komunitas pemukiman kumuh, remaja ataupun komunitas masyarakat lain.
c) Kelompok Kepentingan (Vested Interests)
Salah satu sumber yang dapat menghambat perubahan ekonomi dalam
masyarakat antara lain adalah adanya kelompok kepentingan yang mempunyai
tujuan yang berbeda dengan tujuan pengembangan masyarakat. Misalnya saja,
berdasarkan pandangan teori konflik dapat diperkirakan bahwa beberapa
kelompok mempunyai kepentingan tertentu dengan adanya ‘kantung-kantung’
kemiskinan. Karena dengan adanya kantung kemiskinan, persediaan untuk
‘tenaga kerja upah rendah’ tetap tersedia, sehingga pada kelompok
kepentingan tertentu niat untuk mengembangkan suatu masyarakat menjadi
mendua karena adanya kepentingan tertentu yang bertentangan prinsip dasar
untuk memandirikan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
d) Hal yang Bersifat Sakral (The Sacrosanct)
Berdasarkan penelitian beberapa antropolog, Watson, melihat bahwa
pada berbagai budaya beberapa kegiatan tertentu tampak lebih berubah
dibandingkan beberapa kegiatan yang lain. Salah satu yang mempunyai nilai
kesulitan untuk berubah yang tinggi adalah ketika suatu teknologi ataupun
program inovatif yang akan dilontarkan ternyata terbentur nilai-nilai
keagamaan ataupun nilai-nilai yang dianggap ‘sakral’. Contohnya yaitu ketika
terjadi isu mengenai ‘lemak babi’ yang digunakan untuk bahan campuran
22
beberapa produk makanan tertentu. Begitu isu tersebut tersebar (yang
sebenarnya menyentuh hal yang bersifat sakral dalam pandangan umat Islam),
maka tentangan pun muncul dari berbagai macam pihak, yang merupakan
manifestasi ketidaksetujuan masyarakat.
Hal seperti di atas perlu diperhatikan bila seorang community worker
ingin mengintrodusir suatu teknologi maupun gagasan (ideas) yang baru
terhadap suatu komunitas. Diperlukan sikap hati-hati agar teknologi ataupun
gagasan yang ingin diperkenalkan tersebut tidak malah merusak dan
mengacaukan sesuatu yang dianggap sakral (kecuali dalam keadaan yang
sangat khusus, misalnya saja bila komunitas yang ingin dirubah ternyata
mempunyai upacara keagamaan yang melibatkan pembunuhan anak-anak bayi
ataupu pengorbanan gadis-gadis muda). Karena apabila dengan ‘menghantam’
kebiasaan yang mereka anggap sakral maka relasi antara community worker
dengan masyarakat akan menjadi rusak, dan lebih jauh lagi adalah dapat
terjadi terminasi tanpa ada penyelesaian.
e) Penolakan terhadap ‘Orang Luar’ (Rejection of ‘Outsiders’)
Penolakan terhadap ‘orang luar’ juga perlu diperhatikan oleh
community worker, karena community worker biasanya merupakan orang yang
berasal dari luar komunitas tersebut. Meskipun community worker tersebut
berasal dari luar daerah itu, tetapi ia tidak boleh menjadi ‘orang luar’
(outsiders) dalam komunitas tersebut.
Dari sudut pandang psikologi dikatakan bahwa manusia mempunyai
sifat yang universal, salah satunya adalah ia mempunyai rasa curiga dan rasa
‘terganggu’ (hostility) terhadap orang asing. Oleh karena itu, seorang worker
harus mempunyaai ketrampilan berkomunikasi yang baik agar ia tidak menjadi
‘orang luar’ dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan keadaan di atas, maka
perubahan yang dilakukan oleh community worker haruslah dilakukan secara
bertahap, dan tahap pertama adalah menjalin relasi terlebih dahulu, agar ia
tidak menjadi ‘orang luaar’. Bila relasi telah terbentuk barulah ia dapat
melanjutkan ke langkah selanjutnya, dan dapat dikatakan kurang tepat bila
worker melanjutkan ke langkah berikutnya tanpa terbentuk relasi terlebih
dahulu.
23
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat diketahui bahwa tidak semua
intervensi dapat berhasil secara mutlak. Dengan kata lain, berbagai inovasi yang
ditawarkan dan dikembangkan oleh community worker berkerja sama dengan
masyarakat belum tentu dapat mencapai sasaran secara keseluruhan. Masih banyak
tantangan dan hambatan yang harus dihadapi oleh community worker agar tujuan
perubahan tersebut dapat tercapai.
Untuk mengurangi hambatan tersebut, Watson juga, memberikan beberapa
rekomendasi yang perlu diperhatikan. Pada intinya rekomendasi tersebut terkait
dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu:
1. Siapa yang melakukan perubahan
a) Kendala yang ada dapat dikurangi bila komunitas dapat merasakan bahwa
perubahan yang mereka lakukan bukanlah perubahan yang diakukan oleh
‘orang luar’.
b) Kendala dapat dikurangi bila proyek pengembangan masyarakat didukung
baik oleh masyarakat dan para pemimpin puncak yang terkait.
2. Bentuk perubahan seperti apa yang akan dilakukan
a) Kendala dapat dikurangi bila partisipan (warga komunitas) dapat melihat
bahwa perubahan yang dilakukan dapat mengurangi beban mereka rasakan dan
bukan sebaliknya.
b) Kendala dapat dikurangi bila proyek atau program pengembangan masyarakat
yang dijalankan sesuai (tidak bertentangan) dengan norma dan nilai dalam
masyarakat.
c) Kendala dapat dikurangi bila program yang dikembangkan dapat menampilkan
hal yang baru dan menarik minat warga masyarakat.
d) Kendala dapat dikurangi bila warga masyarakat merasa bahwa otonomi dan
‘keamanan’ mereka tidak terancam.
24
3. Bagaimana prosedur untuk melakukan perubahan tersebut
a) Kendala yang ada dapat dikurangi bila warga masyarakat dilibatkan dalam
proses pendiagnosisan masalah, sehingga mereka mengetahui dan menyetujui
bahwa hal tersebut merupakan masalah yang penting dan harus mereka atasi.
b) Kendala dapat dikurangi bila proyek yang dikembangkan diadopsi berdasarkan
diskusi dan kesepakatan kelompok.
c) Kendala dapat dikurangi bila kelompok yang mendukung dapat meyakinkan
kelompok yang menentang, sehingga mereka (kelompok yang menentang)
menyadari tujuan perubahan tersebut, serta mengurangi rasa ‘kekuatiran’
dalam masyarakat.
d) Kendala dapat dikurangi bila warga masyarakat dapat memberikan umpan
balik dan mengklarifikasikan program inovatif yang ditawarkan, sehingga
kesalahpahaman dan ketidakmengertian warga dapat dikurangi.
e) Kendala dapat dikurangi bila warga masyarakat mempercayai, mau menerima
dengan senang hati, serta mendukung relasi yang sudah berkembang.
f) Kendala dapat dikurangi bila proyek tetap memberikan kesempatan dan
terbuka untuk memperbaiki dan dikaji ulang, jika pengalaman-pengalaman
yang muncul adalah hal yang tidak diinginkan atau tidak menyenangkan.
2.7 Aplikasi Community Development
Pada dasarnya, pemberdayaan masyarakat yang menggunakan model
intervensi Community Development atau pengembangan masyarakat menekankan
pada kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya serta dibutuhkan
kerjasama yang kuat dari masyarakat sasaran dan menitik beratkan pada pendekatan
non-direktif.
Salah satu program pemberdayaan masyarakat yang menggunakan model
intervensi ini telah banyak ditekankan oleh berbagai lembaga pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk bidang kesehatan, program yang
berbasis pengembangan masyarakat telah dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan
25
RI berupa pemberdayaan masyarakat melalui UKBM (Usaha Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat).
Kegiatana UKBM tersebut difokuskan kepada upaya survailans berbasis
masyarakat, kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan
lingkungan. Survailans berbasis masyarakat adalah pengamatan dan pencatatan
penyakit yang diselenggarakan oleh masyarakat (kader) dibantu oleh tenaga
kesehatan, dengan berpedoman kepada petunjuk teknis dari Kementerian Kesehatan.
Kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana adalah upayaupaya yang
dilakukan oleh masyarakat dalam mencegah dan mengatasi bencana dan kedaruratan
kesehatan, dengan berpedoman kepada petunjuk teknis dari Kementerian
Kesehatan. Penyehatan lingkungan adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menciptakan dan memelihara lingkungan desa/kelurahan dan
permukiman agar terhindar dari penyakit dan masalah kesehatan, dengan berpedoman
kepada petunjuk teknis dari Kementerian Kesehatan
Sebagai contoh dari pelaksanaan UKBM adalah adanya program Desa Siaga.
Desa siaga merupakan Desa/Kelurahan yang penduduknya memiliki kesiapan sumber
daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-
masalah kesehatan, bencana dan kegawat daruratan kesehatan secara mandiri.
Program ini sangat memerlukan kontribusi dari masyarakat, karena keberhasilan
program Desa Siaga ini tergantung dari tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi
tingkat partisipasi masyarakat maka, semakin tinggi tingkat keberhasilannya,
begitupun sebaliknya. Untuk itu partisipasi masyarakat sangat diperlukan guna
menunjang keberhasilan dari program Desa Siaga.
Adapun kegiatan dalam pelaksanaan program desa siaga adalah sebagai berikut :
1. Persiapan
a. Persiapan Petugas Pelaksana :
1) Pelatihan bidan
2) Pelatihan tokoh masyarakat ( toma) dan kader
b. Persiapan Masyarakat :
1) Pembentukan Forum Masyarakat Desa (FMD)
2) Survey Mawas Diri (pendataan keluarga/lapangan-rembuk desa)
3) Musyawarah Masyarakat Desa (di awal pembentukan)
26
2. Pelaksanaan
a. Pelayanan kesehatan dasar sesuai dengan kewenangan bidan, bila tidak dapat
ditangani dirujuk ke Puskesmas Pembantu atau Puskesmas.
b. Kader dan toma melakukan surveilance (pengamatan sederhana) berbasis
masyarakat tentang kesehatan ibu anak, gizi, penyakit, lingkungan dan perilaku.
c. Pertemuan Forum Masyarakat Desa untuk membahas masalah kesehatan desa
termasuk tindak lanjut penemuan pengamatan sederhana untuk meningkatkan
kewaspadaan dini masyarakat dan menyepakati upaya pencegahan dan
peningkatan.
d. Alih pengetahuan dan keterampilan melalui pertemuan dan kegiatan yang
dilakukan oleh jejaring penyebaran informasi kesehatan di desa (Jejaring Promosi
Kesehatan), pelaksanaan kelas ibu, kelas remaja, pertemuan dalam rangka swa-
medikasi, dsb.
e. UKBM misalnya pelaksanaan Posyandu, Posbindu, Warung Obat, Upaya
Kesehatan Kerja, UKBM Maternal (tabulin, calon donor darah, dsb.), dana sehat
serta UKBM lain sesuai kebutuhan dan kesepakatan.
f. Gerakan masyarakat dalam kesigaan bencana dan kegawatdaruratan, Kesehatan
Lingkungan, PHBS dan Keluarga Sadar Gizi.
3. Pemantauan dan Evaluasi
Keberhasilan pengembangan Desa siaga dapat dilihat dari empat indikatornya
yaitu masukan, proses, keluaran dan dampak.
Contoh Kasus :
Contoh kasus diambil dari laporan PKL tahun 2012, mengenai pelaksanaan
program Desa Siaga yang ada di Desa Gading Kulon Kecamatan Bnyu Anyar
Kabupaten Probolinggo. Desa Siaga tersebut didirikan sejak tahun 2010. Dalam
pelaksanaannya, Desa Siaga memang telah menekankan pada partisipasi masyarakat
Desa Gading Kulon, yaitu dengan ditetapkannya 13 anggota kepengurusan dan 8
kegiatan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Kedelapan program yang
ada antara lain Tabulin, donor darah, pendanaan, ambulan desa, sanitasi, gizi
keluarga, pengamatan penyakit, dan pengelolaan obat. Dari kedelapan program itu
hanya tiga program saja yang berjalan, yaitu donor darah, ambulan desa dan gizi
keluarga. Sedangkan program yang lain tidak berjalan lancar disebabkan oleh tidak
27
adanya dana untuk menjalankan program tersebut serta untuk memberi upah pengurus
Desa Siaga. Permasalahan lainnya adalah pengurus Desa Siaga adalah pekerja tidak
tetap sehingga kurang rela untuk meluangkan waktu kerjanya untuk Desa Siaga.
Adanya program Desa Siaga pun tidak diketahui oleh beberapa masyarakat yang
tinggal di dusun yang menjadi bagian dari Desa Gading Kulon. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya program Desa Siaga kurang dapat disosialisasikan secara merata.
Pada prinsipnya, pelaksanaan dari desa siaga menggunakan model intervensi
Community Development, yang merujuk pada prinsip utama yaitu kemandirian dan
partisipasi. Untuk menciptakan masyarakat yang peduli dengan program Desa Siaga
tersebut sebaiknya perlu mendasarkan pada kebutuhan yang dirasakan (felt needs)
oleh masyarakat untuk mengawali proses pengembangan masyarakat. Jika program-
program yang ada pada Desa Siaga tersebut kurang dirasakan sebagai pemenuhan
kebutuhan oleh masyarakat, maka yang terjadi adalah kurangnya kepedulian dan
partisipasi masyarakat terhadap program.
Permasalahan lainnya adalah kurang adanya partisipasi masyarakat, bahkan
pengurus Desa Siaga tersebut terhadap jalannya program-program Desa Siaga. Hal ini
disebabkan oleh adanya permasalahan ekonomi yang ada di masyarakat. Masalah
yang berawal dari hal ini akan dapat menjadi tantangan utama yang harus
diperhatikan dalam meningkatkan keterlibatan masyarakat.
Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan masyarakat menitik
beratkan pada pendekatan non-direktif. Namun untuk mengoptimalkan pendekatan
Non-direktif dibutuhkan beberapa persyaratan seperti adanya ketidakpuasan
masyarakat terhadap keadaan mereka, masyarakat mau berusaha memenuhi
kebutuhannya, dan adanya sumberdaya di masyarakat untuk dapat dioptimalkan. Pada
permasalahan Desa Siaga yang ada di Desa Gading Kulon ini, mungkin persyaratan
pertama dan kedua telah terpenuhi, akan tetapi persyaratan sumberdaya belum
terpenuhi, hal inilah yang menjadi tantangan dan harus ditindak oleh penggagas
program dalam mengaplikasikan program Desa Siaga.
Selain itu sumber daya manusia yang meliputi sosialisasi dan advokasi,
pelatihan tenaga pelaksana, keaktifan tenaga pelaksana dan pergerakan pemberdayaan
masyarakat tidak berjalan maksimal. Dapat di simpulkan bahwa desa siaga tidak
berjalan dengan baik.
Pada dasarnya, penerapan model intervensi yang ada di masyarakat haruslah
tetap memperhatikan kondisi masyarakat sasaran. Pengembangan masyarakat dapat
28
digunakan sebagai langkah intervensi jika masyarakat sasaran telah memiliki
kemampuan dan kemauan yang cukup untuk memenuhi permasalahan kebutuhan
yang mereka rasakan.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Community development merupakan suatu proses pembangunan yang
berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan
dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap
kegiatan tindak lanjut dan evaluasi ‘follow-up activity and evaluation’ yang bertujuan
memperbaiki ‘to improve’ kondisi ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat untuk
mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Community development memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan
potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi
kenyataan. Selain itu, Community development memberikan penekanan pada prinsip
kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama ‘group action’ di
dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan
berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat.
Community development dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu perspektif
makro dan mikro. Dilihat dari perspektif makro, pada negara sedang berkembang
seperti Indonesia istilah community development atau pengembangan masyarakat
digunakan sebagai pembangunan seluruh bangsa. Sedangkan dilihat dari perspektif
mikro istilah pengembangan masyarakat disama artikan dengan pembangunan
masyarakat desa.
Pengalaman pada berbagai Negara menunjukkan bahwa terdapat tiga
pendekatan dalam praksis community development. Ketiga pendekatan itu adalah
pendekatan bantuan teknis (technical assistance), pemandirian (self-help) dan konflik
(conflict). Dalam implementasi community development, terlepas dari perspektif yang
dianut terdapat tiga unsur yang selalu terkait. Ketiga unsur itu adalah pendidikan
komunitas (community education), pengorganisasian komunitas (community
organizing) dan manajemen sumberdaya komunitas (community resource
management).
30
Tahapan intervensi pengembangan masyarakat, pada umumnya difokuskan
pada upaya mengembangkan kemandirian komunitas (self-help), serta pendekatan
non-direktif yang didasarkan pada pilihan komunitas (self determination). Intervensi
pengembangan masyarakat dapat berbeda dan memiliki variasi tahapan dalam
mengintervesi kelompok satu dengan kelompok lainnya. Namun pada dasarnya
tahapan intervensi memiliki tahapan pokok yang secara sederhana dikemukakan oleh
Isbandi (2003), yaitu tahapan persiapan, tahapan assessment, tahap perencanaan
alternatif program atau kegiatan, tahap penentuan rencana aksi, tahap pelaksanaan
(implementasi) program, tahap evaluasi, dan tahap terminasi.
Dalam proses pengembangan masyarakat tidak semua yang direncanakan
dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Hal ini tentunya akan terkait
dengan kendala dalam upaya pemberdayaan melalui intervensi komunitas. Kendala-
kendala tersebut menurut Watson berasal dari kepribadian individu dan sistem sosial.
Untuk mengurangi hambatan tersebut, Watson juga, memberikan beberapa
rekomendasi yang perlu diperhatikan. Pada intinya rekomendasi tersebut terkait
dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu siapa yang melakukan perubahan, bentuk
perubahan seperti apa yang akan dilakukan, bagaimana prosedur untuk melakukan
perubahan tersebut
Pendekatan yang digunakan dalam pengembangan masyarakat menitik
beratkan pada pendekatan non-direktif. Namun untuk mengoptimalkan pendekatan
Non-direktif dibutuhkan beberapa persyaratan seperti adanya ketidakpuasan
masyarakat terhadap keadaan mereka, masyarakat mau berusaha memenuhi
kebutuhannya, dan adanya sumberdaya di masyarakat untuk dapat dioptimalkan. Pada
permasalahan Desa Siaga yang ada di Desa Gading Kulon ini, mungkin persyaratan
pertama dan kedua telah terpenuhi, akan tetapi persyaratan sumberdaya belum
terpenuhi, hal inilah yang menjadi tantangan dan harus ditindak oleh penggagas
program dalam mengaplikasikan program Desa Siaga.
3.2 Saran
Penerapan model intervensi yang ada di masyarakat haruslah tetap
memperhatikan kondisi masyarakat sasaran. Pengembangan masyarakat dapat
digunakan sebagai langkah intervensi jika masyarakat sasaran telah memiliki
31
kemampuan dan kemauan yang cukup untuk memenuhi permasalahan kebutuhan
yang mereka rasakan.
32
DAFTAR PUSTAKA
Soraya nadia, 26 Mei 2012. Pengembangan masyarakat.
http://nadhia-soraya.blogspot.com/2012/05/pengembangan-masyarakat.html. Diakses
tanggal 15 November 2013.
Salman, Darmawan. 2009. Kerangka Community Development Untuk Pengelolaan Social
Forestry. Universitas Hasanudin. Makassar. http://darmawasalman.blogspot.com.
Diakses tanggal 15 November 2013
Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi
Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Fahrudin, Adi. Pembangunan Sosial:Satu Tinjauan Teoritis dari Perspektif Mikro.
http://www.academia.edu/2111844/Teori_Mikro_Pembangunan_Sosial disitasi
Jum’at 15 November 2013 16:17
Anonim, 2013. Pemberdayaan Masyarakat MelaluiPengembangan UKBM.
http://www.promkes.depkes.go.id/index.php/program/desa-siaga/146-
pemberdayaan-masyarakat-melalui-pengembangan-ukbm. 17 Nopember 2013
(9:40)
Ridwan. 2012. Analisa Faktor Penghambat Tidak Berhasilnya Pelaksanaan Desa Siaga Di
Desa Tongko Kecamatan Lage Kabupaten Poso. Tesis. Program Pascasarjana Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.
Vani Nps, Dkk. 2012. Praktek Kerja Lapangan di Desa Gading Kulon, Kecamatan Banyu
Anyar, Kabupaten Probolinggo. Laporan. Program Sarjana Ilmu Kesehatan
Masyaraka Universitas Airlangga. Surabaya.
33
Zuliastia, R. 2013. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Desa Siaga di Desa
Pulau Harapan Kecamatan Sembawa Kabupaten Banyuasin. Skripsi. Jurusan
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya. Palembang.
34
Top Related