BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehati bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.Dalam kerangka mencapai
tujuan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan secara sistematis dan
berkesinambungan. Program pembangunan kesehatan yang akan diselenggarakan
oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, diarahkan dengan memberdayakan
masyarakat di desa agar mampu menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan
yang terjadi dimasyarakat (Depkes RI, 2004).
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan (zoonosis).Penyakit ini disebabkan oleh leptospira bakteri aerob
(termasuk golongan spirochaeta) yang berbentuk spiral dan bergerak aktif
(Gasem, 2002).Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di
dunia.Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil
dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati
dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut disebut sebagai Weil’s Disease
(Levett, 2001).
Leptospirosis adalah salah satu kegawatan penyakit menular. Secara
epidemiologik, kejadian leptospirosis dipengaruhi oleh 3 faktor pokok, yaitu
faktor agen penyakit, seperti jumlah, virulensi, dan paogenitas bakteri leptospira;
faktor host (penjamu), seperti kebersihan perorangan, kebiasaan menggunakan
alat pelindung diri ketika sedang bekerja di tempat berisiko leptospirosis, keadaan
gizi, usia, dan tingkat pendidikan; dan faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik,
kimia, biologi, dan sosial (Suratman, 2006).
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,
khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki
curah hujan yang tinggi.Lingkungan optimal untuk hidup dan
1
berkembangbiaknya leprospira ialah pada suasana lembab, suhu sekitar 250c, serta
pH mendekati netral (pH sekitar 7).Pada keadaan tersebut leptospira dapat
bertahan hidup sampai berminggu-minggu (Syukran, 1996). WHO menyebutkan
kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar 0,1-1 kejadian tiap
100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10-100
kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003).
Kejadian leptospirosis di Indonesia pertama kali ditemukan di Sumatera pada
tahun 1971.Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara
pasti.Hal ini disebabkan oleh belum lengkapnya sarana laboratorium, khususnya
di negara-negara berkembang. Pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember
2001 proporsi penderita leptospirosis tertinggi terjadi di bangsal penyakit infeksi
RS sanglah Denpasar Bali. Pada bulan februari 2002 sampai April 2002 terjadi
kejadian luar biasa leptospirosis di kota Jakarta. Angka kematian akibat penyakit
leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, dengan angka Case Fatality rate (CFR)
bias mencapai 2,5%-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih 50 tahun kematian
bias menyampai 56% (Widarso, 2002). Di beberapa publikasi angka kematian
dilaporkan 3%-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi (Saban, 2004).
Berdasarkan profil puskesmas Pekuncen periode agustus sampai dengan
september 2012 tercatat dalam data 1 pasien terdiagnosis leptospirosis.
Sistem surveilans kejadian leptospirosis samapi saat ini belum dilaksanakan
secara optimal, data penderita leptospirosis sebagian besar berasal dari fasilitas
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Sebagian besar masyarakat nelum
mengetahui penyebab, faktor resiko, dan cara penanggulangan leptospirosis,
sehingga upaya penganggulangan leptospirosis di provinsi Jawa Tengah saat ini
terbatas pada pengobatan penderita. Sedeangkan pencarian penderita, pencegahan
penularan leptospirosis dan pengendalian tikus sebagai penular utamanya belum
dilakukan optimal (Dinkes Jateng, 2005).
Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
kejadian leptospirosis berkaitan dengan faktor lingkungan, baik lingkungan
abiotik maupun biotic. Komponen lingkungan abiotik yang diduga merupakan
2
faktor resiko kejadianleptospirosis di Indonesia antara lain adalah vegetasi,
kberhasilan penangkapan tikus, dan prevalensi leptospirosis pada tikus
(Ristiyanto, 2006).
Oleh karena itu, masalah ini perlu mendapat perhatian yang seirus agar dapat
diupayakan cara pencegahan dan penanggulangannya. Hasil studi CHA ini
diharapkan dapat menjadi dasar untuk pelaksanaan intervensi komunitas guna
menghilangkan angka kejadian leptospirosis di Kecamatan Pekuncen.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan masyarakat
tentang penyakit leptospirosis di Desa Cikembulan.
C. Manfaat
1 Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi pada warga masyarakat di wilayah Puskesmas
Pekuncen khususnya tentang masalah kesehatan yang telah dianalisis
beserta solusinya yang terdiri dari tindakan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif dalam upaya menurunkan angka kejadian leptospirosis.
b. Membantu Puskesmas dalam menjalankan salah satu dari enam program
pokok yang ada ke masyarakat.
2 Manfaat Teoritis
a. Menambah ilmu dan wawasan pengetahuan di bidang kesehatan dalam
mencegah kejadian leptospirosis.
b. Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah
kesehatan yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Pekuncen.
3
BAB II
ANALISIS SITUASI
A. Deskripsi Situasi dan Kondisi Puskesmas dan Wilayah Kerjanya
1. Keadaan Geografi Kecamatan Pekuncen
Kecamatan Pekuncen merupakan salah satu wilayah bagian kabupaten
Banyumas yang berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten lain yaitu
Kabupaten Brebes. Kecamatan Pekuncen memiliki luas wilayah kurang lebih
92.70 Km2 dan terdiri dari 16 desa yaitu: Desa Pekuncen, Desa Kranggan,
Desa Karangkemiri, Desa Banjaranyar, Desa Cikawung, Desa Krajan, Desa
Glempang, Desa Pasiraman Lor, Desa Pasiraman Kidul, Desa Karangklesem,
Desa Candinegara, Desa Cikembulan, Desa Cibangkong, Desa Semedo dan
Desa Petahunan. Desa Krajan merupakan desa dengan wilayah terluas di
Kecamatan Pekuncen, yaitu sekitar 24,61 Km2. Sedangkan Desa Pasiraman
Kidul merupakan desa yang mempunyai wilayah paling sempit yaitu sekitar
0,79 Km2.
Luas penggunaan lahan di Kecamatan Pekuncen dapat dirinci sebagai
berikut:
a. Tanah sawah : 1.858,29 Ha
b. Tanah pekarangan : 919,74 Ha
c. Tanah hutan : 38.434,7 Ha
d. Tanah Perkebunan : 1.743,7 Ha
e. Lain-lain : 224,8 Ha
Secara geografis, Kecamatan Pekuncen memiliki batas wilayah
sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Paguyangan Kabupaten
Brebes
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cilongok Kabupaten
Banyumas
4
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ajibarang Kabupaten
Banyumas
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gumelar Kabupaten
Banyumas
Gambar 2.1. Peta Kecamatan Pekuncen
2. Keadaan Demografi Kecamatan Pekuncen
a. Pertumbuhan penduduk
Berdasarkan BPS Kecamatan Pekuncen hasil registrasi penduduk akhir
tahun 2011 jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen adalah 64.689 jiwa
terdiri dari 32.056 jiwa lali-laki (49,55%) dan 32.633 jiwa perempuan
(50,44%) tergabung dalam 17.068 rumah tangga/KK dengan rata-rata
jiwa/rumah tangga adalah 3 orang.
Jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen tahun 2011 yang
tertinggi/terbanyak adalah di desa Pekuncen yaitu sebanyak 6.575 jiwa
dan paling sedikit adalah Desa Pasiraman Kidul sebanyak 1.587 jiwa. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2010 , terjadi penurunan
sebesar1,85 %pada tahun 2011.
5
Krajan
Tumiyang
Semedo
Pekuncen
Glempang
Cibangkong
Karang Kemiri
Petahunan
Pasiraman Lor
Karang KlesemBanjar Anyar
Kranggan
Cirawung CikembulanCandi Nggara
Pasiraman Kidul CilongokPekuncen
Gumelar
Ajibarang
Bataskec
Pekuncen.shpBanjar AnyarCandi NggaraCibangkongCikembulanCirawungGlempangKarang KemiriKarang KlesemKrajanKrangganPasiraman KidulPasiraman LorPekuncenPetahunanSemedoTumiyang
SungaiSungai.shp
BataskecBatas KabupatenBatas Kecamatan
Jalan1Jalan KAJalan KA LamaJalan LokalJalan Propinsi
N
EW
S
Pekuncen
b. Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk Kecamatan Pekuncen Tahun 2011 sebesar 698
jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu di desa Cikembulan
sebesar 2.433 jiwa/km2, sedangkan tingkat kepadatan terendah yaitu di
desa Krajan sebesar 184 jiwa/km2.
c. Jumlah penduduk menurut golongan umur
Berdasarkan data statistik kecamatan, dapat diketahui bahwa proporsi
penduduk menurut umur di Kecamatan Pekuncen adalah kelompok umur
terbesar pada umur 10-14 tahun yaitu sebanyak 5.998 jiwa, sedangkan
kelompok umur terkecil yaitu pada kelompok umur > 75 tahun sebanyak
415 jiwa.
d. Keadaan Sosial Ekonomi
1. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Pekuncen pada
tahun 2010 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kecamatan Pekuncen
No. Jenis PendidikanJenis Kelamin
JumlahLaki-laki Perempuan
1.
2.
3
4.
5
6
Tidak/ Belum pernah
sekolah
Tidak/ Belum tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Perguruan Tinggi
1.475
6.558
16.209
3.742
3.060
446
1.365
6.060
14.378
3.321
3.060
339
2.840
12.618
30.587
7.063
2.214
785
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat
pendidikan penduduk sebagian besar adalah tamat SD sebesar 30.587
orang atau 54,51% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah tingkat
6
pendidikan terkecil yaitu Perguruan tinggi sebanyak 785 orang atau
1,40 % dari jumlah penduduk.Angka melek huruf di Kecamatan
Pekuncen juga sudah cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari penduduk
usia 10 tahun ke atas yang melek huruf di kecamatan Pekuncen yaitu
sebesar 83,01%.
2. Jenis Pekerjaan
Berdasarkan data statistik Kecamatan Pekuncen, dapat diketahui
bahwa sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian pada
sektor informal yaitu sebesar 50,33 % dari jumlah penduduk,
sedangkan yang memiliki mata pencaharian pada sektor formal sebesar
1,89 % dari total penduduk. Secara spesifik, mata pencaharian
sebagian besar penduduk Kecamatan Pekuncen adalah sebagai buruh
tani yaitu sebanyak 11.890 orang atau sebesar 18,50% dari jumlah
penduduk. Sedangkan jumlah terkecil adalah penduduk yang bekerja
pada BUMN/BUMD yaitu sebanyak 18 orang atau sebesar 0,03 % dari
total penduduk.
B. Capaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat
Untuk memberikan gambaran derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Pekuncen pada tahun 2011 disajikan situasi mortalitas dan morbiditas.
I. Angka Kesakitan (Morbiditas)
1. Penyakit Diare
Kejadian atau kasus penyakit diare di wilayah Puskesmas Pekuncen,
berdasarkan data dari programer P2 Diare Puskesmas Pekuncen adalah
sebanyak 1.041 kasus atau sebesar 16,09 per 1000 penduduk. Berdasarkan
analisis pelaporan kasus dapat diketahui bahwa kejadian diare tahun 2011,
terbanyak terjadi pada bulan Januari dan Juli.
2. Penyakit Malaria
Kasus penyakit Malaria Klinis tahun 2011 sebanyak 0 kasus atau
sebesar 0,00 per 1.000 penduduk. Kasus Malaria di Puskesmas Pekuncen
7
biasanya merupakan kasus import dari luar jawa. Meski demikian ini perlu
diwaspadai oleh petugas kesehatan dan masyarakat terutama untuk Desa
Tumiyang, Cikembulan, Semedo, Petahunan dan Cibangkong yang
memiliki letak geografis yang memungkinkan untuk terjadinya malaria.
3. TB Paru
Jumlah kasus TB Paru Positif pada tahun 2011 sebanyak 32 kasus atau
CDR (Case Detection Rate) BTA positif sebesar 46,43 per 100.000
penduduk. Pada tahun 2011 jumlah pasien TB Paru yang diobati sebanyak
33 kasus dan yang sembuh sebanyak 16 atau 48,48% sembuh, dengan
pengobatan lengkap sebanyak 15 atau sebesar 45,45%.
4. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Jumlah kasus DBD di Kecamatan Pekuncen tahun 2011 sebanyak 6
kasus atau sebesar 9,28 per 100.000 penduduk. Dari semua kasus DBD
yang ada tersebut, semuanya (100%) mendapat penanganan dan tidak
terdapat kematian akibat DBD.
5. HIV
Jumlah kasus HIV-AIDS di kecamatan Pekuncen pata tahun 2011
adalah 0 kasus.Kasus HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es sehingga
kemungkinan adanya kasus HIV-AIDS yang tidak terdeteksi atau tidak
terdata.
6. Acute Flaccid Paralysis (AFP)
Jumlah penemuan kasus AFP di kecamatan Pekuncen pada tahun 2011
sebanyak 0 kasus. Standar penemuan kasus polio adalah 2 per 100.000
penduduk usia kurang dari 15 tahun.
7. Pneumonia pada Balita
Jumlah kasus ISPA pada balita ditemukan/ditangani di Kecamatan
Pekuncen adalah sebanyak 20 kasus dari jumlah perkiraan penemuan kasus
pneumonia balita sebanyak 485 atau hanya sebesar 9,93%.
8
II. Angka Kematian (Mortalitas)
Berikut ini akan diuraikan perkembangan tingkat kematian pada
periode tahun 2011 yaitu sebagai berikut :
1. Angka Kematian Bayi
Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pekuncen dapat diketahui
bahwa, pada tahun 2011 terdapat 1.076 kelahiran hidup dan jumlah lahir
mati sebanyak 19 bayi. Angka kematian bayi (AKB) di kecamatan
Pekuncen pada tahun 2011 adalah sebesar 11,2 per 1000 kelahiran
hidup.
2. Angka Kematian Ibu
Berdasarkan hasil laporan dari petugas KIA Puskesmas Pekuncen
diketahui bahwa jumlah kematian ibu hamil di Kecamatan Pekuncen
sebanyak 0 orang, jumlah kematian ibu bersalin sebanyak 1 orang, dan
jumlah kematian ibu nifas sebanyak 1 orang. Sehingga Angka Kematian
Ibu (AKI) di Kecamatan Pekuncen sebesar 185,9 per 100.000 kelahiran
hidup.
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN)
tahun 2010-2014 di bidang kesehatan, target angka kematian ibu adalah
118 per 100.000 penduduk, dan Millenium Development Goals (MDG)
tahun 2015 adalah 102 per 100.000 penduduk. Angka kematian ibi di
Kecamatan Pekuncen masih tinggi. Namun bila dibandingkan dengan
data tahun 2010 (262,93 per 100.000), angka kematian ibu di
Kecamatan Pekuncen sudah mengalami penurunan.
3. Angka Kecelakaan
Kejadian kecelakaan lalu lintas di Kecamatan Pekuncen pada tahun
2011 sebanyak 145 kejadian, dengan korban mati sebanyak 3 orang,
luka berat sebanyak 23 orang, dan luka ringan sebanyak 139 orang.
Dengan demikian rasio kejadian kecelakaan per 100.000 penduduk
adalah sebesar 255,07.
9
III. Status Gizi Masyarakat
Tujuan umum upaya perbaikan gizi puskesmas adalah meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan setiap keluarga di wilayah Puskesmas
untuk mencapai Keluarga Sadar Gizi agar terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Meningkatkan cakupan dan kualitas pemberdayaan Keluarga menuju
Keluarga Sadar Gizi.
2. Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi (Pelayanan gizi
masyarakat dan pelayanan gizi perorangan).
Berdasarkan pemantauan status gizi Balita pada tahun 2011 dengan
jumlah balita yang ditimbang 3.594 ditemukan:
a. Balita dengan Gizi Lebih sebanyak 16 anak (0,45%)
b. Balita dengan Gizi Baik sebanyak 3.534 anak (98,33%)
c. Balita dengan Gizi Kurang sebanyak 30 anak (0,83%)
d. Balita dengan Gizi Buruk sebanyak 14 anak (0,39%)
Jumlah balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk sebanyak 44 anak dan dari
jumlah tersebut semuanya mendapat perawatan.SPM untuk balita gizi
buruk mendapatkan perawatan adalah sebesar 100%.Sehingga cakupan gizi
buruk mendapat perawatan di Kecamatan Pekuncen dibanding dengan
SPM sudah memenuhi target.Disamping itu berdasarkan laporan petugas
gizi puskesmas, Kecamatan Pekuncen termasuk kecamatan yang bebas
rawan gizi.
IV. Upaya Kesehatan
Upaya pelayanan kesehatan merupakan langkah awal yang sangat
penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan
cepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat sudah
dapat diatasi. Kegiatan pokok Puskesmas biasa dikenal dengan istilah basic
six atau enam program pokok puskesmas yang meliputi: Pencegahan dan
10
Pemberantasan Penyakit Menular, KIA-KB, Gizi Masyarakat, Kesehatan
Lingkungan, Promosi Kesehatan (Promkes), dan Pelayanan Kesehatan
Dasar. Tiap program tersebut dilaksanakan melalui suatu rangkaian yang
sistematis, meliputi perencanaan (P1), penggerakan dan pelaksanaan (P2),
pengawasan, pengendalian dan penilaian (P3).
A. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
1. Pencegahan dan Pemberantasan TB Paru
Berdasarkan data dari programer TB Paru Puskesmas dapat
diketahui bahwa pada tahun 2010 kasus TB Paru sebanyak 10 kasus,
diobati 10 kasus dan yang sembuh sebanyak 10 kasus atau 100%.
Sedangkan pada tahun 2011 terdapat 32 kasus baru BTA positif, dari
perkiraan kasus baru sebanyak 69 kasus.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk kesembuhan penderita
TBC BTA positif adalah > 85%.Sehingga jika dibandingkan dengan
SPM maka kesembuhan penderita TBC BTA positif sudah memenuhi
target.
2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD
Pada tahun 2011 berdasarkan data petugas P2 DBD Puskesmas
Pekuncen diketahui bahwa kasus penyakit DBD sebanyak 6 kasus, dan
jumlah tersebut semuanya telah mendapat pelayanan/ditangani (100%).
Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal yaitu:
Peningkatan kegiatan surveilance penyakit dan vektor; Diagnosis dini
dan pengobatan dini; serta Peningkatan upaya pemberantasan vektor
penular DBD.
3. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA dan Pneumonia
Pada tahun 2011 berdasarkan data petugas P2 ISPA Puskesmas
Pekuncen, dapat diketahui bahwa kasus pneumonia balita sebanyak 20
kasus, yang ditangani sebanyak 20 kasus (100%). Perkiraan kasus
pneumonia balita adalah sebanyak 485 kasus, sehingga pneumonia balita
yang ditemukan/ ditangani belum memenuhi target. Sedangkan jika
11
dibandingkan dengan SPM untuk balita dengan pneumonia yang
ditangani sebesar 100% maka Puskesmas Pekuncen sudah memenuhi
standar SPM.
4. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta
Berdasarkan data petugas P2 Kusta Puskesmas Pekuncen, pada
tahun 2011 terdapat 2 penderita Kusta tipe MB (Kusta Basah) dan 1
penderita Kusta tipe PB (Kusta Kering). Angka ini mungkin merupakan
keadaan sebenarnya dan bisa juga bukan.Upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit kusta dilakukan dengan melakukan penemuan
dini kasus kusta dan pengawasan terhadap penderita, keluarga penderita
dan orang-orang yang melakukan kontak dengan penderita.
5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS)
Berdasarakan data Puskesmas, jumlah kasus penyakit HIV-AIDS
dan IMS pada tahun 2011 sebanyak 0 kasus. Angka ini bisa merupakan
keadaan sebenarnya dan bisa juga bukan. Hal ini karena kasus penyakit
HIV-AIDS dan IMS merupakan fenomena gunung es, sehingga bisa saja
di kecamatan Pekuncen ada penderita HIV-AIDS dan IMS tapi tidak
terdata karena penderita sulit terdeteksi.
B. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar
1. Pendataan Rumah Sehat
Salah satu usaha guna pembinaan kesehatan lingkungan adalah
dengan dilakukannya pendataan rumah sehat. Berdasarkan hasil
pendataan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dari jumlah
rumah sebanyak 17.299 rumah dengan jumlah rumah yang diperiksa
sebanyak 837 rumah atau 4,8%. Didapatkan bahwa sebanyak 624 rumah
atau sebesar 74,6 % termasuk dalam rumah sehat.
12
2. Akses Rumah Tangga Terhadap Air Bersih
Akses rumah tangga terhadap air bersih dapat dilihat dalam tabel
64 lampiran profil kesehatan puskesmas pekuncen. Dari 20.181 kepala
keluarga (KK) yang ada dengan jumlah KK yang diperiksa sebanyak
837 KK atau sebesar 4,1 %, didapatkan bahwa sebanyak 66 KK atau 7,9
% mengunakan ledeng sebagai sumber air bersihnya.
3. Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar
3.1 Persediaan Air Bersih
Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah
KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa semua KK
yang dijadikan sampel pemeriksaan memiliki persediaan air bersih
(100%). Keadaan ini menggambarkan bahwa sebagian besar warga di
Kecamatan Pekuncen memiliki persediaan air bersih dan sehat.
3.2 Kepemilikan Jamban
Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah
KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak
638 KK atau 76,2 % memiliki jamban dan dari jumlah tersebut,
jumlah jamban yang sehat sebanyak 407 atau 63,8 %.
3.3 Kepemilikan Tempat Sampah
Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah
KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak
710 KK atau 84,8% memiliki tempat sampah dan jumlah tempat
sampah yang sehat sebanyak 131 atau sebesar 18,50%.
4. Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) Sehat
Berdasarkan data petugas sanitarian Puskesmas Pekuncen, dapat
diketahui bahwa terdapat 6 restauran dan Jumlah yang diperiksa ada 4,
dengan hasil pemeriksaan terdapat 3 restauran atau 75 % sehat. Jumlah
pasar yang ada yaitu sebanyak 1 pasar dan setelah dilakukan
pemeriksaan diketahui bahwa pasar tersebut tidak memenuhi syarat
sehat.
13
5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan bagi Institusi
Jumlah sarana kesehatan yang ada di Kecamatan Pekuncen adalah
sebanyak 18 buah, yang terdiri dari Puskesmas, Puskesmas Pembantu
(Pustu), PKD, Balai Pengobatan/Klinik Swasta. Sedangkan jumlah
sarana pendidikan yang ada adalah sebanyak 94 buah, tempat ibadah
sebanyak 98 buah, perkantoran sebanyak 29 buah, instalasi pengelolaan
air minum sebanyak 2 buah dan sarana lain sebanyak 28 buah. Sehingga
jumlah keseluruhan dari institusi yang ada di wilayah Kecamatan
Pekuncen adalah sebanyak 269 buah dengan jumlah intitusi yang dibina
kesehatan lingkungannya adalah sebanyak 140 buah atau 52,0% dibina.
C. Perbaikan Gizi Masyarakat
1. Cakupan Bayi dan Balita Mendapat Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan laporan dari petugas gizi puskesmas Pekuncen tahun
2011, dapat diketahui bahwa jumlah bayi umur 6-11 bulan sebanyak 600
orang dan seluruhnya telah mendapat vit A 1x atau 100%. Balita umur
12 – 59 bulan sebanyak 4.854 orang dan 3.767 balita atau (77,60%)
telah mendapat vit A 2x.
2. Cakupan Ibu Hamil Mendapat Tablet Fe
Berdasarkan laporan petugas gizi Puskesmas Pekuncen diketahui
bahwa jumlah ibu hamil di wilayah. Puskesmas Pekuncen pada tahun
2011 adalah sebanyak 1.057 orang. Dari jumlah tersebut yang sudah
mendapat tablet Fe1 sebanyak 932 orang atau sebesar 88,17%, dan yang
sudah mendapat tablet Fe3 sebanyak 945 orang atau sebesar 89,40%.
Sedangkan jumlah ibu nifas adalah sebanyak 989 orang dengan 868
orang atau 87,76% diantaranya telah mendapat vit A.
D. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) – KB
1. Cakupan Kunjungan Neonatus, Bayi Dan Bayi BBLR yang Ditangani
Berdasarkan data koordinator KIA Puskesmas Pekuncen diketahui
bahwa cakupan kunjungan neonatus KN1 adalah sebanyak 1.076 orang
atau 100%, adapun cakupan kunjungan KN Lengkap adalah sebanyak
14
1.076 atau sebesar 100%. Jumlah bayi lahir hidup sebanyak 1.076 orang
dengan jumlah bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak
16 orang atau sebesar 1,50%. Dari sejumlah 16 bayi dengan BBLR
tersebut, semuanya atau 100% telah mendapat penanganan.
2. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (K1, K4), Persalinan Ditolong Tenaga
Kesehatan, Dan Pelayanan Ibu Nifas
Jumlah ibu hamil di wilayah Puskesmas Pekuncen pada tahun
2011 tercatat sebanyak 1.057 orang. Dari jumlah tersebut yang
melakukan pemeriksaan kesehatan ke petugas kesehatan untuk
kunjungan pertama (K1) sebanyak 1.224 orang atau 100%, sedangkan
yang melakukan kunjungan ke empat (K4) sebanyak 987 orang atau
93,4%.
Jumlah ibu bersalin sebanyak 997 orang, dan ibu bersalin yang
ditolong tenaga kesehatan sebanyak 967 atau sebesar 97%.Sedangkan
jumlah ibu nifas sebanyak 1.024 orang dan yang mendapat palayanan
nifas sebanyak 1.024 orang atau 100%.
3. Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita, Pemeriksaan
Kesehatan Siswa SD/SMP/SMU
Pada tahun 2011, di Kecamatan Pekuncen terdapat balita (Pra
sekolah) sebanyak 4.861 orang, dan yang dideteksi sebanyak 3.506
orang atau sebesar 72,13%. Sedangkan jumlah anak usia SD sebanyak
7.286 orang dengan jumlah diperiksa sebanyak 1.312 orang atau sebesar
16,68%.
4. Jumlah PUS, Peserta KB, Peserta KB Baru, Dan KB Aktif
Berdasarkan data koordinator KB Puskesmas Pekuncen, diketahui
bahwa jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di wilayah Puskesmas
Pekuncen sebanyak 14.012 orang. Dari jumlah PUS yang ada tersebut
jumlah peserta KB baru sebanyak 2.562 orang atau 18,3%. Sedangkan
jumlah peserta KB aktif sebanyak 10.470 orang atau 74,7%.
15
5. Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi
Jumlah seluruh peserta KB aktif di kecamatan Pekuncen pada
tahun 2011 sebanyak 10.470 orang. Dari jumlah tersebut yang
menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) jenis IUD
sebanyak 1.018 orang, MOP/MOW sebanyak 456 orang dan implant
sebanyak 1.395 orang. Sedangkan yang mengunakan Non MKJP jenis
suntik sebanyak 5,855 orang, jenis PIL sebanyak 1.554 orang, dan
kondom sebanyak 192 orang.
6. Cakupan Imunisasi Bayi
Berdasarkan data petugas koordinator imunisasi Puskesmas
Pekuncen diketahui bahwa jumlah bayi di Kecamatan Pekuncen pada
tahun 2011 sebanyak 600 bayi. Sedangkan cakupan imunisasinya untuk
tiap jenis imunisasi adalah sebagai berikut: bayi mendapat imunisasi
BCG sebanyak 1.057 atau sebesar 176%, bayi mendapat imunisasi
DPT1+HB1 sebanyak 1.041 atau sebesar 173,5%, bayi mendapat
imunisasi DPT3+HB3 sebanyak 1.063 atau 177.2%, bayi mendapat
imunisasi polio 3 sebanyak 1.045 atau sebesar 174,167%, bayi
mendapat imunisasi campak sebanyak 1.037 atau 172,8% . Sedangkan
angka Drop Out (DO) sebesar 0,4%.
7. Bumil dan Neonatal Risiko Tinggi
Data petugas KIA Puskesmas Pekuncen menunjukan bahwa
jumlah ibu hamil sebanyak 1.057 orang, dan dari jumlah tersebut ibu
hamil dengan resiko tinggi/komplikasi sebanyak 211 orang dengan
jumlah bumil risti ditangani sebanyak 287 orang. Jumlah neonatal
sebanyak 1.076, dengan jumlah perkiraan neonatal risti/komplikasi
sebanyak 161 orang dan ditangani sebanyak 42 orang atau sebesar
26%.Rendahnya neonatal risti yang ditangani diakibatkan jumlah
neonatal risti yang bisa ditangani di PKD tidak terlaporkan.
16
E. Promosi Kesehatan
Program-program yang dilakukan oleh Puskesmas Pekuncen khususnya
dalam bidang Promosi Kesehatan adalah melalui kegiatan-kegiatan berikut:
1. Penyuluhan Kesehatan
Penyuluhan kesehatan bisa dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan kelompok (secara
langsung) yang dilakukan sebanyak 4.818 dan yang jumlah kegiatan
penyuluhan massa adalah 18. Materi penyuluhan adalah mengenai
masalah-masalah kesehatan seperti PHBS, KIA, Kesehatan Lingkungan,
Gizi, NAPZA dan Penyakit Menular.
2. Posyandu
Standar Pelayanan Minimal (SPM) 2011 untuk prosentase
posyandu dengan strata purnama adalah sebesar 40% dan strata mandiri
sebesar >2%. Sehingga pencapaian strata Posyandu purnama belum
mencapai target dan posyandu mandiri di Kecamatan Pekuncen sudah
mencapai target. Sedangkan tingkat partsipasi masyarakat di posyandu
(D/S) adalah sebesar 74,04%, tingkat keberhasilan program posyandu
(N/D) sebesar 70,01%. D/S belum mencapai target SPM yaitu 80%
disebabkan kesadaran masyarakat yang kurang dan menganggap di
posyandu hanya ditimbang saja. Untuk N/D juga belum mencapai target
SPM yaitu 80% karena usia diatas 1-5 tahun kebanyakan mengalami
kesulitan dalam hal makan.
F. Pelayanan Kesehatan Dasar
Salah satu upaya kesehatan wajib yang ditetapkan berdasarkan
komitmen nasional, regional dan global serta yg mempunyai daya ungkit
tinggi untuk meningkatkan derajat kesehatan masyrakat.Upaya ini harus
diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di Indonesia.
17
Salah satu upaya kesehatan wajib adalah upaya kesehatan dasar, upaya-
upaya kesehatan dasar yang dilakukan oleh Puskesmas Pekuncen
diantaranya adalah:
1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir
2. Pelayanan Kesehatan Bayi dan Anak Pra Sekolah
3. Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja
4. Pelayanan Kesehatan Usia Subur
5. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut
6. Pelayanan Imunisasi
7. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat
8. Pelayanan Pengobatan / Perawatan
G. Kefarmasian
Gambaran stok obat, pemakaian rata-rata obat per bulan, dan tingkat
kecukupan obat di puskesmas pekuncen berdasarkan data dari petugas obat
dapat diketahui bahwa secara umum tingkat kecukupan obat di puskesmas
pekuncen sudah cukup terpenuhi.
18
BAB III
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH
A. Daftar Permasalahan Kesehatan Yang Ada (Berdasar Data Sekunder
Puskesmas Pekuncen) Januari-Agustus 2012
Masalah merupakan sesuatu yang menunjukkan adanya kesenjangan antara
harapan dan sesuatu yang dicapai, sehingga menimbulkan rasa tidak
puas.Masalah dapat menyebabkan ketidakmaksimalan dalam melaksanakan
suatu kegiatan.Dalam penetapan masalah, perlu diperhatikan hal-hal yang
diinginkan dan keadaan yang terjadi sekarang, sehingga dapat dicari penyebab
atau hal-hal yang dapat membuat tujuan tidak tercapai.
Untuk memutuskan adanya masalah, diperlukan tiga syarat yang harus
dipenuhi, antara lain: adanya kesenjangan, adanya rasa tidak puas, adanya rasa
tanggung jawab untuk menanggulangi masalah.
Tabel 3.1. Daftar 10 Penyakit Tertinggi dan KLB di Puskesmas Pekuncen dan Periode Januari-Agustus 2012
Sumber: Data Sekunder Puskesmas Pekuncen 2012
B. Penentuan Prioritas Masalah (Berdasarkan Metode Tertentu)
19
No Penyakit Jumlah Kasus1 ISPA (Common Cold) 17612 Hipertensi 5563 Dyspesia 4744 Mialgia 3325 Dermatitis Kontak Alergika (DKA) 3316 Faringitis 3107 TB BTA Positif 2118 Chepalgia Cluster 1829 Abses, Furunkel, Karbunkel 13810 Diare Non Spesifik 12411 Leptospirosis 1 (KLB)
Penentuan prioritas masalah di Kecamatan Tambak dengan menggunakan
metode Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini digunakan 4 kelompok kriteria,
yaitu:
1. Kelompok kriteria A: besarnya masalah
2. Kelompok kriteria B: kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak, urgensi
dan biaya
3. Kelompok kriteria C: kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian
terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah
4. Kelompok kriteria D: PEARL faktor, yaitu penilaian terhadap propriety,
economic, acceptability, resources availability, legality
Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah di
Puskesmas Tambak adalah sebagai berikut :
Kriteria A (besarnya masalah)
Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya penduduk
yang terkena efek langsung.
20
Masalah Kesehatan
Besarnya Masalah per 10000 penduduk Nilai<150(1)
151-300(2)
310-450(3)
451-600(4)
>600(5)
ISPA (Common Cold)
X 5
Hipertensi X 4Dyspesia X 4Mialgia X 3DKA X 3Faringitis X 3TB BTA Positif
X 2
Chepalgia Cluster
X 2
Abses, Furunkel, Karbunkel
X 1
Diare Non Spesifik
X 1
Leptospirosis X
Kriteria B (kegawatan masalah)
Severity (Memberikan mortalitas atau fatalitas yang tinggi)
1. Tidak gawat
2. Kurang gawat
3. Cukup gawat
4. Gawat
5. Sangat gawat
Urgency (Apakah masalah tersebut menuntut penyelesaian segera, menjadi
perhatian publik)
1. Tidak urgent
2. Kurang urgent
3. Cukup urgent
4. Urgent
21
Tabel 3.2. Skor Besarnya Masalah
5. Sangat urgent
Cost (Besarnya dampak ekonomi kepada masyarakat)
1. Sangat murah
2. Murah
3. Cukup mahal
4. Mahal
5. Sangat mahal
Masalah kesehatan
Severity Urgency Cost Nilai
ISPA (Common Cold)
4 4 4 4
Hipertensi 10 8 8 8,7Dyspesia 6 4 6 5,3Mialgia 6 6 6 6DKA 4 4 6 4,7Faringitis 8 8 6 7,3TB BTA Positif
8 10 6 8
Chepalgia Cluster
6 4 6 5,3
Abses, Furunkel, Karbunkel
4 2 4 3,3
Diare Non Spesifik
10 10 6 8,7
Leptospirosis 10 10 10 10
Kriteria C (Kemudahan dalam Penanggulangan)
Kriteria C digunakan untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan
masalah, maka dinilai apakan sumber daya dan teknologi yang ada dapat
menyelesaikan masalah.Skor yang digunakan dari skala 1 sampai 5.Semakin sulit
penanggulangan, skor yang diberikan semakin kecil.
22
Tabel 3.3. Skor KegawatanMasalah
Tabel 3.4 Skor yang Diberikan Tiap-Tiap Anggota
Masalah Septi Eko Puput Rina Prima Jml N ISPA 5 4 4 4 5 22 4,4Hipertensi 5 5 5 5 5 25 5Dyspesia 4 4 5 4 5 22 4,4Mialgia 4 5 4 5 4 22 4,4DKA 5 5 5 5 5 25 5Faringitis 4 4 4 4 4 20 4TB BTA Positif
2 3 3 2 3 13 2,6
Chepalgia Cluster
5 5 5 5 5 25 5
Abses, Furunkel, Karbunkel
5 5 5 5 5 25 5
Diare Non Spesifik
5 5 5 5 5 20 5
Leptospirosis 5 5 5 5 5 25 5
Kriteria D (PEARL factor)
Kriteria D terdiri dari beberapa faktor yang saling menentukan dapat
tidaknya suatu program dilaksanakan. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Kesesuaian (Propriety)
b. Murah (Economic)
c. Dapat diterima (Acceptability)
d. Tersedianya sumber (Resources Availability)
e. Legalitas terjamin (Legality)
Dari diskusi kelompok, didapatkan nilai PEARL untuk masing-masing
masalah
23
Tabel 3.5 Kriteria PEARL
Masalah Kesehatan P E A R L Hasil Perkalian
ISPA 1 1 1 1 1 1
Hipertensi 1 1 1 1 1 1
Dyspesia 1 1 1 1 1 1
Mialgia 1 1 1 1 1 1
DKA 1 0 1 1 1 0
Faringitis 1 1 1 1 1 1
TB BTA Positif 1 1 1 1 1 1
Chepalgia Cluster 1 1 1 1 1 1
Abses, Furunkel, Karbunkel
1 0 1 1 1 0
Diare Non Spesifik 1 1 1 1 1 1
Leptospirosis 1 1 1 1 1 1
Penetapan nilai
Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut
dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :
Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B)x C
Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D
24
Tabel 3.5. Skor total penilaian Hanlon
Masalah A B C D NPD NPT Urutan
prioritasP E A R L
ISPA 5 4 4,4 1 1 1 1 1 39,6 39,6 6
Hipertensi4 8,7 5 1 1 1 1 1 63,5 63,5 1
Dyspesia4 5,3 4,4 1 1 1 1 1 40,9 40,9 5
Mialgia3 6 4,4 1 1 1 1 1 39,6 39,6 7
DKA3 4,7 5 1 0 1 1 1 38,5 0 10
Faringitis3 7,3 4 1 1 1 1 1 41,2 41,2 4
TB BTA Positif
2 8 2,6 1 1 1 1 1 26 26 9
Chepalgia Cluster
2 5,3 5 1 1 1 1 1 36,5 36,5 8
Abses, Furunkel, Karbunkel
1 3,3 5 1 0 1 1 1 21,5 0 11
Diare Non Spesifik
1 8,7 5 1 1 1 1 1 48,5 48,5 3
Leptospirosis1 10 5 1 1 1 1 1 55 55 2
Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi. Berdasarkan hasil
perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan prioritas masalahnya adalah sebagai
berikut :
1. Hipertensi
2. Leptospirosis
3. Diare non spesifik
4. Faringitis
5. Dyspepsia
6. ISPA
7. Mialgia
8. Chepalgia Cluster
9. TB BTA positif
10.DKA
11.Abses, Furunkel, Karbunkel
25
BAB IV
KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH
A. Daftar Teori dan Pembahasan Berdasar Referensi Yang Berkaitan Dengan
Penyebab Masalah
1. Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro
organisme Leptospira Interogans tanpa memandang bentuk serotipenya (Levetta,
2003). Bentuk yang beratnya dikenal sebagai Weil’s Disease. Penyakit ini dikenal
dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever,
infectious jaundice, field fever, came cutter, dan lain-lain (Zein, 2006).
2. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar diseluruh dunia, semuja benua kecuali benua
Antartika.Leptospira biasa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu,
kuda, kucing, kelinci, atau binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang,
kelelawar, tikus, dan sebagainya (Zein, 2006). Kejadian infeksi leptospira pada
negara subtropik jarang ditemukan, Di Amerika terdapat 100-200 kasus leptospirosis
pertahunnya, hal tersebut juga terjadi di Hawai terdapat 50-100 kasus per tahunnya
(Meites et al., 2004).Angka kejadian tersebut tergolong sedikit dibanding negara-
negara beriklim tropis, iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospira adalah
udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis.Keadaan yang demikian dapat
dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun (Priyanto et al., 2008).
Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat.Angka
insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per
tahun.Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Angka insidensi
leptospirosis di New Zealand antara tahun 2001 sampai 2010 sebesar 44 per 100.000
penduduk. Angka insiden tertinggi terjadi pada pekerja yang berhubungan dengan
daging (163/100.000 penduduk), peternak (91,7/100.000 penduduk) dan pekerja yang
berhubungan dengan hutan sebesar 24,1 per 100.000 penduduk. Di Indonesia
26
dilaporkan bahwa sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari
hewan liar maupun hewan peliharaan (Priyanto et al., 2008).
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara,Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian leptospirosis di
Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun
kematian mencapai 56%. Penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna
kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi. Beberapa
publikasi angka kematian di laporkan antara 3 % - 54 % tergantung system organ
yang terinfeksi.Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan,
pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Ancaman ini
berlaku pula bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di
sungai seperti berenang (Priyanto et al., 2008)..
3. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponematacecae, suatu
mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini adalah berbelit, tipis, fleksibel,
panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah
satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait.Terdapat
gerakrotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella.Spirochaeta ini demikian
halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai
kokus kecil-kecil.Pemeriksaan lapang pandang redup pada mikroskop biasa
morfologi leptospira secara umum dapat dilihat.Untuk mengamati lebih jelas gerakan
leptospira digunakan mikroskop lapang pandang gelap (darkfield microscope).
Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin
membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan
medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob (Zein, 2006).
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies :L.interrogans yang
pathogen dan L.biflexa yang non pathogen/ saprofit. Tujuh spesies dari leptospira
pathogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA nya, namun lebih praktis
dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas
27
perbedaan serologis.Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogroup dan
serogroup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya.Saat ini
telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogroup.
Bebebrapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya
adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. grippothyposa, L. javanica,
L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. automnalis, L. hebdomadis, L. bataviae, L.
tarassovi, L. panam, L. andamana, L. shermani, L. rararum, L. bufonis, L. australis, L.
noguchii, L. santarosai, L. meyeri, L. borgpetersenii, L. kirschneri, L. weilii, L.
inadai, L. fainei and L. alexanderi, dan lain-lain (OIE, 2005 dan Zein, 2006).
4. Faktor Resiko
Manusia dapat dapat terinfeksi melalui kontak air, atau tanah, lumpur, yang telah
terkontaminasi oleh urin binatang yang terinfeksi leptospira.Infeksi tersebut terjadi
jika luka/erosi pada kulit ataupun selaput lender (Dutta, 2005). Air tergenang atau
mengalir lambat yang terkontaminasi urin yang infeksius memainkan peranan
penting dalam penularan penyakit ini, bahkan air deraspun dapat berperan, jarang
dijumpai penyakit ini akibat gigigtan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira,
atau kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada
genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan
leptospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi terinfeksi penyakit
leptospirosis adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan,
pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-orang yang mengadakan
perkemahan di hutan, dokter hewan, seperti yang ditampilkan pada table dibawah ini :
Kelompok Pekerjaan Kelompok Aktivitas Kelompok LingkunganPetani dan peternak Berenang di sungai Anjing piaraanTukang potong hewan Bersampan TernakPenangkap/ penjerat hewan Kemah Genangan air hujanDokter/ mantra hewan Berburu Lingkungan tikusPenebang kayu Kegiatan di hutan BanjirPekerja selokan
Pekerja perkebunan
(Zein, 2006 dan Lau et al., 2009).
28
5. Patogenesis
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki
aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan
tubuh.Selanjutnya terjadi respon imunologi baik secara seluler atau secara humoral
sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Permasalahannya
ada beberapa organisme ini yang masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara
imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai
convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat
dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan
sampai berbulan-bulab bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.Leptospira dapat
dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat
lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Pada fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.Pada fase
leptospiruria berlangsung 1-4minggu.Tiga mekanisme yang terlihat pada patogenesis
adalah invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi
(Zein, 2006).
6. Patofosiologi
Pada fase leptospiremia, leptospira akan mengeluarkan toksin yang bertanggung
jawab atas terjadinya keadaan patologis pada beberapa organ. Lesi muncul terjadi
karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler.Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik.Pada
leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan
kelainan fungsional yang nyata pada organ tersebut.Perbedaan ini menunjukkan
bahwa kerusakan bukan pada struktur organ.Lesi inflamasi menunjukkan edema dan
infiltrasi sel monosti, limfosit, dan sel plasma.Pada kasus yange rat terjadi kerusakan
kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatiseluler dengan retensi
bile.Leptospira juga dapat bertahan hidup di otak dan mata. Leptospira dapat masuk
kedalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia, hal ini akan menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi leptospirosis. Organ-organ yangs sering dikenai leptospira adalah ginjal,
hati, oto, dan pembuluh dara. Kelainan spesifik pada organ yaitu :
29
a. Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal.Gagal ginjal terjadi
akibat nekrosis tubular akut.Adanya peranan nefrotoksi, reaksi imunologi, iskemia
ginjal, hemolysis, dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan
kerusakan pada ginjal.
b. Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
prpliferasi sel Kupfer dengan kolestatis.Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian
ditemukan leptospira dalam hepar.Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel
parenkim.
c. Jantung
Epikardium, endocardium, dan miokardium dapat terlibat pada keadaan patologis
yang disebabkan oleh leptospira.Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa
interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.Nekrosis
berhubungan dengan infiltrasi neutrophil.Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan dapat juga terjadi endokarditis.
d. Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan
kehilangan striata.Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung
leptospira.Pada otot rangka dapat juga ditemukan antigen leptospira.
e. Mata
Leptospira dapat masuk ke ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan
bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi, hal tersebut
menyebabkan uveitis.
f. Pembuluh darah
Pada pembuluh dara terjadi perubahan akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Perdarahan/ ptekie sering ditemukan pada mukosa,
permukaan serosa, dan organ-organ viscera.
30
g. Susunan saraf pusat
Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan
terjadinya meningitis.Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak
pada saat memasuki CSS.Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh oleh
mekanisme imunologis.Terjadi penebalan meningens dengan sedikit peningkatan sel
mononuclear arachnoid.Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya
paling sering disebabkan oleh L. canicola.
h. Weil disease
Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus, biasanya disertai
perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua.
Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus leptospirosis. Penyebab weil
disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan serotype
copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,
hepatic, dan disfungsi vaskular (Zein, 2006).
7. Gambaran Klinis
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis
mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.
a. Fase Leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat (terutama pada gluteus,
gastroknemeus, dan, femur) disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan
hiperestesia kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual
dengan atau tanpa muntah, mencret, bradikardia relatif, ikterus, bahkan sekitar
25% kasus terjadi penurunan kesadaran. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya
konjungtiva suffusion dan fotofobia.Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk makular, makulopapular atau utikaria.Kadang-kadang dijumpai
splenomegaly, hepatomegaly, serta limfadenopati.Fase ini berlangsung 4-7 hari.
Pasien apabila cepat ditangani maka akan membaik, suhu akan segera normal,
penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal dalam 3-6
minggu (Zein, 2006 dan Fransiska, 2008).
31
b. Fase Imun
Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh
bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.Keadaan
tersebut disebut dengan fase imun.Fase ini ditandai dengan peningkatan titer
antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40o C disertai menggigil dan
kelemahan umum.Tedapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-
otot kaki terutama otot betis.Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala
kerusakan ginjal dan hati, uremia, ikterik.Perdarahan paling jelas terlihat pada
fase ikterik, purpura, ptechie, epistaksis, perdarahan pada gusi merupakan
manifestasi yang paling sering.Conjunctiva injection dan conjunctivial suffusion
dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis. Terjadinya
meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda
meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-
tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya
mengilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira akan dijumpai dalam urin
(Zein, 2006 dan Fransiska, 2008).
Leptospirosis memiliki gambaran klinis yang sering ditemui dan jarang ditemui
seperti table dibawah ini :
Gambaran klinis yang sering ditemui Gambaran klinis yang jarang ditemuiDemam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, myalgia, conjunctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, foto fobia.
Penumonitis, hemaptoe, perdarahan, diare, edema, splenomegaly, atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididymitis, hematemesis, asites, miokaditis.
(Zein, 2006).
8. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit ditegakkan, karena pasien
biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, sindroma syok
toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan
beberapa kasus datang dengan pankreatitis (Sejvar et al., 2003 dan Zein, 2006).
Leptospirosis memiliki manifestasi klinis hampir sama dengan influenza, DBD
(demam berdarah dengue), dan malaria sehingga tidak mudah menegakkan diagnosis
dalam praktek klinik (Bajani et al., 2002). Pada anamnesis, penting diketahui tentang
32
riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompik berisiko tinggi atau
tidak.Gejala/ keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama
di bagian frontal, nyeri otot (biasanya adalah gluteus, gastroknemeus, femur), mata
merah/ fotofobia, mual atau muntah.Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam,
bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegaly, dan lain-lain.Pada pemeriksaan
laboratorium darah rutin dijumpai lekositosis, normal, atau sedikit menurun disertai
gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi.Pada urin dijumpai
proteinuria, leukosituria, dan torak (cast).Bila organ hati terlibat, bilirubin direk
mingkat tanpa peningkatan transaminase.BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa
meninggi apabila terjadi komplikasi pada ginjal.Trombositopenia terdapat pada 50%
kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi :
a. Kultur
Mengambil specimen dari darah atau CSS segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk
melakukan kultur ganda dan mengambil specimen pada fase leptospiremia serta
belum diberi antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada
specimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan (Zein, 2006).
b. Serologi
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya letospira dengan cepat adalah dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR),silver stain atau flouroscent
antibody, dan mikroskop lapangan gelap.
(Levetta, 2003).
9. Penatalaksanaan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi
keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada
leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik
dengan membaiknya kondisi pasien, namun pada beberapa pasien membutuhkan
tindakan hemodialisa temporer. Pemberian antiniotik harus dimulai secepat mungkin,
biasanya pemberian 4 hari setelah onset cukup efektif. Pemberian antibiotik dibagi
menjadi 3 kategori yaitu pemberian pada leptospirosis ringan, sedang/ berat, dan
kemoprofilaksis seperti pada table dibawah ini :
33
Indikasi Regimen DosisLeptospirosis ringan Doksisiklin
AmpisilinAmoksisilin
2 x 100 mg4 x 500-750 mg4 x 500 mg
Leptospirosis sedang/ berat Penisilin GAmpisilinAmoksisilin
1,5 juta unit/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/mingguSampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun
perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di dalam darah (fase
leptospiremia).Penisilin G apabila dikombinasikan dengan Ceftriakson sangat efektif
untuk mengobati leptospirosis berat (Panaphut et al., 2003).Pengobatan dengan
antibiotika seperti streptomycin, chlortetracycline, atau oxytetraxycline, efektif bila
diberikan sedini mungkin.Dihydrostreptomycin 10 mg/ pound atau 10 g/1000 pound
berat badan sapi dilaporkan sangat efektif untuk menyembuhkan hewan karier.Pada
outbreak, pada kasus leptospirosis akut, direkoinendasikan pengobatan dengan
chlortetracycline atau oxytetracvcline selama 2-3 minggu; pada saat bersamaan
diberikan vaksinasi.Dengan prosedur ini, kekebalan dapat berkembang pada sapi
sebelum pemberian antibiotika selesai.Dihydrostreptomycin juga dapat diberikan
pada babi jantan dengan dosis tunggal 10 mg/pound untuk mengeliminasi Leptospira
pada hewan karier.Pemberian dihydrostreptomycin 25 mg/kg berat badan sapi yang
diinfeksi Leptospira serovar hardjo dapat menghilangkan pengeluaran bakteri tersebut
bersama urin (Kusmiyati et al., 2008).Tindakan supportif diberikan sesuai dengan
keparahan penyakit dan komplikaso yang timbul.Keseimbangan cairan, elektrolit, dan
asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum.Kalau
terjadi azotemia/ uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis (Zein, 2006).
10. Prognosis
Prognosis pada penyakit leptospirosis ditentukan oleh cepatnya penegakkan
diagnosis, penanganan dan organ yang sudah mengalami kerusakan.Apabila diagnosis
segera ditegakkan dan penanganan awal segera dilakukan maka prognosisnya
baik.Apabila sudah ada kerusakan pada organ, misalnya pada ginjal maka
prognosisnya pun buruk.Apabila tidak ada ikterus maka penyakit jarang fatal. Pada
kasus dengan ikterus angka kematian 5 % pada umur dibawah 30 tahun, dan pada
usia lanjut mencapai 30-40% (Zein, 2006).
34
11. Pencegahan
Pencegahan penularan Leptospira dapat dilakukan melalui 3 aspek yang meliputi
hewan sebagai sumber infeksi, jalur penularan, dan manusia sebagai incidental host.
Melakukan vaksinasi untuk hewan ternak dan hewan kesayangan guna meningkatkan
kekebalan merupakan salah satu cara yang cukup efektif. Meskipun vaksinasi tidak
mencegah atau mengobati infeksi tetapi dapat mengurangi pengeluaran Leptospira
melalui urin, menurunkan kasus prematur, lahir lemah atau lahir mati, serta
menurunkan jumlah sapi yang seropositif Leptospira. Kerugian ekonomi yang
disebabkan adanya abortus dan penurunan produksi susu juga dapat dicegah dengan
dilakukannya vaksinasi Leptospirosis. Pada sapi perah, vaksinasi dapat menormalkan
kembali produksi susu. Pada anjing, vaksinasi leptospirosis dilakukan untuk anjing-
anjing yang beresiko tinggi terinfeksi Leptospira (Kusmiyati et al., 2008).
Vaksinasi pada anjing juga dapat menurunkan jumlah Leptospira yang
dikeluarkan melalui urin. Vaksin komersial untuk anjing yang berisi Leptospira
serovar canicola dan icterohaemorrhagiae tidak efektif terhadap Leptospira serovar
grippotyphosa dan pomona. Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh Wang et al.,
2007 kombinasi antara vaksin outer membrane protein (OMP), vaksin
lipopolisakaradia, dan vaksin DNA cukup efektif sebagai upaya preventif terhadap
kejadian penyakit leptospirosis. Untuk hewan yang terinfeksi Leptospira, pemberian
antibiotik efisien untuk mempersingkat durasi penyakit, mengurangi penularan, dan
menurunkan kerusakan hati dan ginjal.Membersihkan tempat-tempat yang Inenjadi
habitat atau sarang tikus dan meniadakan akses tikus ke lingkungan manusia juga
dapat dilakukan dalam upaya pengendalian leptospirosis (Kusmiyati et al., 2008).
Pencegahan melalui jalur penularan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak
dengan sumber infeksi seperti air tercemar Leptospira, satwa liar dan hewan yang
terinfeksi atau hewan karier.Untuk kelompok individu beresiko tinggi dianjurkan
untuk memakai pakaian pelindung seperti sepatu bot, pakaian kerja/praktek dan
sarung tangan, untuk menghindari kemungkinan kontak dengan percikan urin, darah,
atau jaringan fetus waktu menolong kelahiran hewan.Pada manusia, pengobatan
terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik
bersamaan dengan pengobatan simtomatik dan terapi suportif.Selain itu diperlukan
35
adanya pendekatan kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi terinfeksi
Leptospira untuk meningkatkan pemahaman mengenai leptospirosis agar dapat
melakukan tindakan pencegahan penularannya (Kusmiyati et al., 2008).
B. Skema Kerangka Konseptual Dari Penyebab Masalah
36
LeptospirosisPengetahuan
BAB V
METODOLOGI PENELITIAN
1. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan metode wawancara
mendalam(indept interview).
2. Ruang Lingkup Kerja
Ruang lingkup kerja pada penelitian ini di wilayah cakupan Puskesmas Penkuncen
khususnya di Desa Cikembulan.
3. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
a. Populasi Target
Populasi target pada penelitian ini adalah warga Desa
CikembulanKecamatan Pekuncen.
b. Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah keluarga yang tinggal
serumah dengan penderita.
2. Subjek Penelitian
Responden diambildari semua anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan
penderita leptospirosis.
4. Faktor Yang Diteliti
Variabel yang diteliti adalah pengeathuan masyarakat tentang penyakit leptospirosis.
37
5. Definisi Operasional
No.
Definisi Alat Ukur Cara Pengukuran
Skala
1. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptospirosis adalah masyarakat pernah mendengar tentang penyakit leptospirosis, mengetahui penyebab penyakit leptospirosis, mengetahui cara penularan leptospirosis, mengetahui hubungan pekerjaan dengan penyakit leptospirosis, mengetahui hubungan hewan piaraan dengan penyakit leptospirosis, mengetahui tanda dan gejala penyakit leptospirosis, mengetahui cara menanggulangi penyakit leptospirosis, dan mengetahui cara mencegah penyakit leptospirosis.
Kuesioner Wawancara dengan panduan kuesioner
Nominal-Kualitatif
6. Instrumen Pengambilan Data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan
merupakan jenis data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
sumbernya.Kuesioner dan observasi langsung digunakan untuk mengetahui seberapa jauh
pengetahuan masyarakat mengenai penyakit leptospirosis. Pertanyaan yang terdapat pada
kuesioner meliputi pengetahuan responden tentang leptospirosis,gejala klinis, riwayat
pengobatan, riwayat pekerjaan, riwayat mandi, riwayat luka, kondisi lingkungan, riwayat
status gizi, riwayat sosial, kegiatan waktu senggang, riwayat penderita yang mengeluhkan
38
demam di lingkungan sekitar pasien, keadaan penderita sekarang, dan hasil pemeriksaan
laboratorium.
7. Rencana Analisis Data
Analisis dan pengolahan data merupakan suatu langkah penting agar data hasil
wawancara penelitian mampu ditafsirkan oleh peneliti serta dibaca oleh orang lain.
Langkah-langkah analisis dan pengolahan data adalah sebagai berikut:
1. Transkrip Wawancara.
Transkrip wawancara adalah menulis hasil wawancara penelitian antara peneliti dan
informan.Transkrip wawancara dilakukan setelah selesai melakukan pengambilan
data penelitian.
2. Pengkodean Data (Coding).
Pengkodean data (coding) adalah memberikan tanda atau kode dalam setiap jawaban
informan.Pengkodean data dilakukan setelah peneliti menyelesaikan transkrip
wawancara penelitian. Selanjutnya peneliti menentukan topik atau tema-tema yang
akan dibahas lebih mendalam.
3. Penyajian Data.
Selanjutnya data disajikan ke dalam hasil dan pembahasan penelitian yang lebih
mendalam.Apabila dalam menyajikan data masih merasa ada data yang kurang, maka
peneliti dapat melihat kembali dalam pengkodean data (coding).
4. Penarikan kesimpulan/verifikasi.
Langkah berikutnya adalah pengambilan kesimpulan dan verifikasi terhadap data
yang telah disusun secara deskriptif.Kedua hal tersebut dapat dilakukan secara
bersamaan selama penelitian berlangsung. Data yang telah disajikan akan ditarik
kesimpulan sehingga menghasilkan informasi yang lebih jelas.
39
BAB VI
HASIL DAN ANALISIS PENYEBAB MASALAH
A. Deskripsi Data Dasar
1. Proses penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 hari, yaitu tanggal 28 Sepetember 2012 sampai
1 Oktober 2012. Jumlah informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 6 orang,
namun, keluarga yang tinggal 1 rumah dengan Bapak Catung hanya 1 orang yaitu ibu
kandung informan. Pengambilan data pada penelitian ini dilaksankan pada tempat yang
berbeda, yaitu di rumah Bapak Catung dan di tempat bekerja Bapak Catung. Hal tersebut
dikarenakan ingin melihat keadaan lingkungan rumah dan tempat bekerja Bapak Catung
sebagai salah satu pertimbangan untuk mengetahui perbedaan faktor resiko.
Waktu pengambilan data berbeda. Durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
wawancara adalah dari 11 menit 38 detik hingga 25 menit 23 detik. Keenam informan
dapat menyelesaikan wawancara dalam 1 sesi. Hasil wawancara ditulis ulang (transkripsi)
dan dibaca oleh tim peneliti untuk reduksi data dan proses coding (mencari kode dari kata-
kata atau kalimat informan). Proses tersebut dapat juga menentukan apakah ada tambhaan
informasi yang diperlukan. Bila ada informasi yang dirasa belum lengkap maupun
diperdalam, maka dilakukan wawancara lanjutan terhadap informan. Selanjutnya peneliti
menentukan tema-tema yang akan didiskusikan lebih dalam pada pembagian pembahasan.
2. Karakteristik informan
Karakteristik informan dalam penelitian ini cukup bervariasi. Dari segi jenis kelamin
sebagian besar adalah perempuan. Pendidikan terakhir informan sebagian besar lulusan
SD. Usia informan pada penelitian ini juga beragam, kisaran usia tersebut antara 30 tahun
sampai 60 tahun, dengan rerata 40 tahun. Karakteristik informan tersebut disajikan sesuai
dengan diagram dibawah ini :
40
a. Pendidikan
17%
67%
17%
Pendidikan Informan
Tidak Lulus SD : 1Lulus SD : 4Lulus SMP : 1
Gambar 6.1. Karaktersitik Pendidikan Informan
Hasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan pendidikan terakhir tidak
lulus SD adalah 1 orang (16 %), lulus SD adalah 4 orang (67%), dan lulus SMP
adalah 1 orang (17%).
b. Usia
17%
50%
17%
17%
Usia Informan20 - 30 th : 130 - 40 th : 340 - 50 th : 1> 50 th : 1
Gambar 6.2. Karaktersitik Usia Informan
Hasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan usia 20 - 30 tahun adalah
1 orang (16%), usia 30 – 40 tahun adalah 3 orang (50%), usia 40 – 50 tahun adalah 1
orang (17%), dan usia lebih dari 50 tahun adalah 1 orang (17%).
41
c. Jenis kelamin
38%
62%
Jenis Kelamin
Laki-laki : 2Perempuan : 4
Gambar 6.3. Karaktersitik Jenis Kelamin Informan
Hasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan jenis kelamin laki-laki
adalah 2 orang ( 38%) dan jenis kelamin perempuan adalah 4 orang (68%).
B. Analisis Hubungan Faktor Penyebab
Hasil penelitian pengetahuan masyarakat tentang penyakit Leptospirosis
1. Pengalaman informan mendengar tentang penyakit Leptospirosis
17%
83%
Pernah mendengar : 1Tidak pernah mendengar : 5
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang pernah mendengar tentang
penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.
42
2. Pengetahuan informan tentang penyebab penyakit Leptospirosis
1; 17%
5; 83%
Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang penyebab
penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.
3. Pengetahuan informan tentang penularan penyakit Leptospirosis
1; 17%
5; 83%
Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang penularan
penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.
4. Pengetahuan informan tentang hubungan pekerjaan dengan penyakit Leptospirosis
1; 17%
5; 83%
Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang hubungan
pekerjaan dengan penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.
5. Pengetahuan informan tentang hubungan hewan piaraan dengan penyakit Leptospirosis
43
1; 17%
5; 83%
Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang hubungan
piaraan dengan penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.
6. Pengetahuan informan tentang gejala dan tanda penyakit Leptospirosis
1; 17%
5; 83%
Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5
Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang gejala dan tanda
penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.
7. Pengetahuan informan tentang cara menanggulangi penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan tidak mengetahui cara
menanggulangi penyakit Leptospirosis.
8. Pengetahuan informan tentang cara mencegah penyakit Leptospirosis
Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan tidak mengetahui cara
mencegah penyakit Leptospirosis.
C. Pengambilan Kesimpulan Penyebab Utama Masalah
Berdasarkan hasil penelitian diatas. Dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat
masih sangat rendah tentang penyakit leptospirosis. Pengetahuan tersebut diantaranya adalah
penyebab, cara penularan, hubungan pekerjaan dengan kejadian penyakit, hubungan hewan
piaraan dengan kejadian penyakit, gejala dan tanda, cara penganggulangan, dan cara
pencegahan penyakit leptospirosis, maka penyebab utama masalah kejadian penyakit
leptospirosis di Desa Cikembulan, Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas adalah
kurangnya pengetahuan msayarakat tentang penyakit leptospirosis.
44
VII. RENCANA KEGIATAN (PLAN OF ACTION)
45
A. Latar Belakang
Perilaku merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia
dengan lingkungannya. Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi
seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku dapat dibagi dua yaitu
perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku tertutup
adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon
atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan
sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus dan belum dapat diamati secara jelas
oleh orang lain. Bentuk perilaku terbuka (overt behavior) berupa respon seseorang terhadap
stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati oleh
orang lain (Hurlock, 2002 dan Nursallam, 2003).
Pengetahuan yang kurang baik akan mengakibatkan sikap dan perilaku seseorang
menjadi kurang tepat dalam menanggapi suatu hal. Dan setelah dilakukan Community
Health Analysis di Desa Cikembulan, Kecamatan Pekuncen, faktor paling utama yang
menyebabkan terjadinya penyakit leptospirosis adalah faktor kurangnya tingkat pengetahuan
masyarakat mengenai penyakit leptospirosis. Untuk menyikapi rendahnya tingkat
pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptopspirosis maka diperlukan suatu upaya
tertentu. Upaya yang dapat dilaksanakan sesuai dengan penentuan prioritas pemecahan
masalah adalah dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit leptospirosis dengan
harapan nantinya dapat mengubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Kecamatan
Pekuncen, hususnya Desa Cikembulan terkait dengan penyakit leptospirosis.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan masyarakat dalam mencegah, mengenali faktor resiko, dan menangggulangi
tanda, gejala, kompilkasi dari penyakit leptospirosis di Desa Cikembulan, Kecamatan
Pekuncen.
2. Tujuan Khusus
46
Tujuan dilakukannya penyuluhan adalah untuk meningkatkan jumlah masyarakat
yang mengetahui tentang :
a. Penyebab leptospirosis
b. Cara penularan leptospirosis
c. Hubungan pekerjaan dengan kejadian penyakit leptospirosis
d. Hubungan hewan piaraan dengan kejadian penyakit leptospirosis
e. Gejala dan tanda penyakit leptospirosis
f. Cara penganggulangan penyakit leptospirosis
g. Cara pencegahan penyakit leptospirosis.
C. Bentuk Kegiatan (Termasuk Materi Kegiatan)
Penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis yang terdiri dari pengertian, etiologi, cara
penyebaran, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis, serta upaya
pencegahan terhadap penyakit leptospirosis.
D. Sasaran
Warga desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen sebanyak 35 orang.
E. Pelaksanaan (Waktu dan Tempat)
a. Waktu : Senin, 8 Oktober 2012 jam 08.00 WIB
b. Tempat : Posyandu Khusnul Khotimah Desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen
F. Anggaran
Pembuatan leaflet = Rp 50.000,00
Pembuatan surat edaran edukasi = Rp. 20.000,00
Snack = Rp 100.000,00
Doorprize = Rp 100.000,00
Total = Rp 270.000,00
47
G. Evaluasi
1. Formatif
a. Mengevaluasi kesesuaian antara pemecahan masalah dengan masalah yang ada.
Berdasarkan hasil analisis masalah ternyata keluarga pasien memiliki pegetahuan
yang kurang tentang penyakit leptospirosis cara penyebaran penyakit, faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis, serta bagaimana cara mencegah
kejadian penyakit leptospirosis. Oleh sebab itu metode penyuluhan kepada keluarga
pasien dan masyarakat di lingkungan sekitar pasien, yaitu warga desa Cikembulan,
merupakan metode yang cukup tepat.
b. Anggaran kegiatan
Anggaran kegiatan yang digunakan dan perinciannya dalam pelaksanaan kegiatan
adalah :
Pembuatan leaflet = Rp 50.000,00
Pembuatan surat edaran edukasi = Rp 20.000,00
Snack = Rp 100.000,00
Doorprize = Rp 100.000,00
Total = Rp 270.000,00
Dengan demikian terdapat sisa penggunaan anggaran dana. Terjadi ketidaksesuaian
rencana anggaran dengan saat pelaksanaan kegiatan
2. Promotif
Mengevaluasi pelaksanaan program yang meliputi :
a. Waktu pelaksanaan kegiatan
Pelaksanaan kegiatan berjalan tepat waktu sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat
yaitu pukul 08.30 WIB.
b. Jumlah peserta yang ditargetkan
Jumlah peserta yang hadir dengan yang ditargetkan mengalami kesesuian. Jumlah
peserta yang hadir sebanyak 35 orang.
BAB IX
48
LAPORAN HASIL PELAKSANAAN
Kegiatan penyuluhan tentang leptospirosis berupa pemberian informasi kepada kader dan
sebagian masyarakat Desa Cikembulan yang diselenggarakan pada hari Senin, 8 Oktober
2012 pukul 08.30 – 10.00 di Posyandu Khusnul Khotimah Desa Cikembulan Kecamatan
Pekuncen.
Sebelum penyuluhan dimulai, peserta yang datang mendaftarkan diri kepada ibu bidan
desa Cikembulan yang merupakan pengurus posyandu Khusnul Khotimah. Kemudian peserta
diberikan kegiatan penyuluhan mengenai leptospirosis. Media yang digunakan adalah laptop
yang memuat gambar-gambar serta slide penjelasan penyakit leptospirosis dan lembar balik
mengenai leptospirosis. Para peserta menunjukkan antusiasmenya selama penyuluhan
berlangsung. Dalam kesempatan itu pula, peserta diberi kesempatan untuk bertanya tentang
hal-hal yang belum dipahami. Peserta sangat aktif untuk bertanya ketika diberikan
kesempatan untuk bertanya.
Acara penyuluhan ini diakhiri dengan pemberian soal untuk mengetahi sejauhmana para
peserta memahami yang telah diberikan mengenai penyakit leptospirosis, bagi peserta yang
dapat menjawab akan diberikan hadiah sebagai bentuk penghargaan atas perhatiannya selama
mengikuti penyuluhan. Kegiatan dilanjutkan dengan acara tanya jawab mengenai berbagai
penyakit dan segera dikonsultasikan dengan dokter puskesmas yang saat itu berkenan hadir
menemani penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis.
Pelaksanaan penyuluhan ini tidak terlepas dari beberapa kendala. Kendala yang
dihadapi diantaranya adalah kurang kondusifnya suasana ketika penyuluhan, dikarenakan
para peserta membawa balita mereka yang kadang-kadang rewel, sehingga terdapat peserta
yang kurang memperhatikan isi penyuluhan. Selain itu media yang digunakan (berupa laptop
tanpa penggunaan LCD) dirasa kurang memadai sehingga mungkin dapat mengurangi
maksud dan isi penyampaian tentang penyakit leptospirosis. Peserta yang mengikuti
penyuluhan ± 35 orang.
BAB X
49
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Masalah kesehatan yang sekarang menjadi fokus perhatian oleh semua pihak adalah kasus
Leptospirosis yang menjadi Kejadia4 Luar Biasa (KLB).
b. Masalah utama yang ada pada daerah tersebut adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) yang
menjadi perhatian semua pihak.
c. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat tentang penyakit Leptospirosis sehingga secara tidak langsung menjadi
penyebab terjadinya kasus Leptospirosis.
d. Penyuluhan dan pembagian leaflet tentang penyakit Leptospirosis menjadi alternatif yang
dilakukan.
e. Tujuan penyuluhan dan pembagian leaflet adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang penyakit Leptospirosis sehingga diharapkan dapat mempengaruhi sikap para
masyarakat untuk dapat melakukan tindakan preventif (pencegahan).
f. Kegiatan penyuluhan ini dianggap berhasil, karena sebagian besar peserta penyuluhan
dapat menjawab pertanyaan yang diajukan seputar penyakit Leptospirosis.
2. Saran
Berkaitan dengan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus Leptospirosis pada wilayah
kerja Puskesmas Pekuncen maka disarankan pada para tenaga kesehatan agar lebih
meningkatkan promosi kesehatan tentang usaha pencegahan penyakit Leptospirosis. Hal ini
dapat dititik beratkan pada bidan dan kader kesehatan desa. Bidan dan kader kesehatan desa
diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat dan memonitoring upaya preventif
(pencegahan) terhadap penyakit Leptospirosis setiap minggunya melalui kerja bakti di Desa
masing-masing. Harapan peneliti, dengan adanya penyuluhan tersebut, para peserta juga
dapat mebagikan pengetahuan serta informasi yang didapat kepada kerabat, tetangga, maupun
masyarakat lainnya sehingga tidak ada lagi kasus Leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas
Pekuncen.
LAMPIRANFoto Kegiatan POA (Plan Of Action)
50
Gambar 1. Penyuluhan materi leptospirosis
Gambar 2. Warga dan kader kesehatan yang sedang mendengarkan materi
51
Gambar 3. Penjelasan materi oleh dr. Nurul Eka Santi (Dokter Puskesmas Pekuncen)
Gambar 4. Sesi tanya jawab dengan peserta penuluhan
52
Gambar 5. Sesi penyerahan doorprize kepada peserta penyuluhan
Gambar 6. Sesi penyerahan doorprize kepada peserta penyuluhan
53
DAFTAR PUSTAKA
Bajani DM, Ashford AD, Bragg LS, Woods WC, Aye T, Spiegel AR, Plikaytis DB, Perkins AB,
Phelan M, Levett NP, Weyant SR. 2002. Evaluation of Four Commercially Available
Rapid Serologic Tests for Diagnosis of Leptospirosis.Journal of Clinical Microbiology.
(41) : 802-809.
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2004. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan
Kabupaten/ Kota Provinsi Jawa tengah. Availble: SPM
http://www.jawatengah.go.id/dinkes/new/SPM/lamp1.htm. diakses: 20 September 2012.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2005. Spot Survey Leptospirosis di Kabupaten Demak
dan Semarang.
Dutta TK, Christopher M. 2005. Leptospirosis- Jawaharlal Institute of Postgraduate Medical
Education and Research.Review Article. (53) : 545-551.
Esen Saban. 2004. Impact of Clinical and Laboratory Findings on prognosis in Leptospirosis.
Swiss Medical Weekly. (40) : 347-352.
Fransiska B. 2008. Manifestasi Klinis dan Laboratoris Gangguan Perdarahan Pada Penderita
Leptospirosis Berat.Karya Tulis Ilmiah.Program Pendidikan SarjanaFakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Gasem MH. 2002. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.Kumpulan
Makalah Simposium Leptospirosis.Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Institute for International Cooperation in Animal Biologics (OIE), The Center For Food Security
and Public Health College of Veterinary Medicine Lowa State Univesity. 2005.
Leptospirosis Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Diunduh di
http://www.cfsph.iastate.edu.Pada tanggal 21 September 2012.
Kusmiyati, Noor MS, Supar. 2008. Leptospirosis Pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Balai
Penelitian Veteriner. Pusat Penelelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.
Lau C, Smythe L, Weinstein L. 2009. Leptospirosis: An emerging disease in travelers. The
Journal of Travel Medicine and Infectious Disease. (12) : 33- 40.
Levett. 2001. Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews. (32) : 296-326.
Levetta NP. 2003. Usefulness of Serologic Analysis as a Predictor of the Infecting Serovar in
Patients with Severe Leptospirosis. Major Article. (36) : 447-452.
54
Hurlock, 2002. Pengetahuan dan Perilaku Manusia. Psikologi Perkembangan. Edisi 5. Jakarta:
EGC.
Meites E, Jay TM, Deresinski S, Shieh JW, Zaki RS, Tompkins L, Smith SD. 2004.
Reemerging Leptospirosis California.Article. (10) : 406-412.
Moleong JL. 2002. Menyusun Rancangan Penelitian Kualitatif. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Remaja Rosdakarya, Bandung :85-86 hal.
Nursallam,2003.Pengetahuan dan Perilaku Manusia.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan,
Cetakan Kedua. Rineka Cipta: Jakarta.
Panaphut T, Domrongkitchaiporn S, Vibhagool A, Thinkamrop B, Susaengrat B. 2003.
Ceftriaxone Compared with Sodium Penicillin G for Treatment of Severe Leptospirosis.
Major Article. (36) : 1507-1513.
Priyanto A, Hadisaputro S, Santoso L, Gasem H, Adi S. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang
Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis.Tesis.Program Magister Epidemiologi
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Ristiyanto. 2006. Leptospirosis di Dataran rendah Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Studi
Epidemiologi.
Sastroasmoro S, Sofyan I. 2008.Menyusun Proposal Penelitian.Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Binarupa Aksara, Jakarta : 78-83 hal.
Sejvar J, Bancroft E, Winthrop K, Bettinger J, Bajani M, Bragg S, Shutt K, Kaiser R, Marano N,
Popovic J, Tappero, Ashford D, Mascola L, Vugia D, Perkins B, Rosenstein N.
2003.Leptospirosis in “Eco-Challenge” Athletes, Malaysian Borneo, 2000.The Journal of
Infectious Diseases.(9) : 702-707.
Soedin K, Syukran OLA. 1996. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 477-482 hal.
Sugiyono. 2010. Populasi dan Sampel Pada Penelitian Kualitatif. Memahami Penelitian
Kualitatif. Alfa Beta, Bandung : 49-52 hal.
Suratman.2006. Analisis Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptopirosis Berat Di Kota Semarang.Karya tulis Ilmiah.Program pendidikan
Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang.
Wang Z, Jin L, Wegrzyn A. 2007. Leptospirosis vaccines.Microbial Cell Factories Biomed
Central.(6) : 1-10.
55
WHO. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control, Geneva, 2003.
Widarso HS dan Wilfried P. 2002.Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam penanggulangan
Leptospirosis di Indonesia.Kumpulan Makalah Symposium Leptospirosis.Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang.
Zein U. 2006.Leptospirosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Edisi IV Jilid III. Jakarta : EGC, 1823-1826 hal.
56