Download - Cha Leptospirosis Fix

Transcript
Page 1: Cha Leptospirosis Fix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehati bagi setiap orang agar terwujud

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.Dalam kerangka mencapai

tujuan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan secara sistematis dan

berkesinambungan. Program pembangunan kesehatan yang akan diselenggarakan

oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, diarahkan dengan memberdayakan

masyarakat di desa agar mampu menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan

yang terjadi dimasyarakat (Depkes RI, 2004).

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia

maupun hewan (zoonosis).Penyakit ini disebabkan oleh leptospira bakteri aerob

(termasuk golongan spirochaeta) yang berbentuk spiral dan bergerak aktif

(Gasem, 2002).Leptospirosis merupakan zoonosis yang paling tersebar luas di

dunia.Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil

dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati

dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut disebut sebagai Weil’s Disease

(Levett, 2001).

Leptospirosis adalah salah satu kegawatan penyakit menular. Secara

epidemiologik, kejadian leptospirosis dipengaruhi oleh 3 faktor pokok, yaitu

faktor agen penyakit, seperti jumlah, virulensi, dan paogenitas bakteri leptospira;

faktor host (penjamu), seperti kebersihan perorangan, kebiasaan menggunakan

alat pelindung diri ketika sedang bekerja di tempat berisiko leptospirosis, keadaan

gizi, usia, dan tingkat pendidikan; dan faktor lingkungan, seperti lingkungan fisik,

kimia, biologi, dan sosial (Suratman, 2006).

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,

khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki

curah hujan yang tinggi.Lingkungan optimal untuk hidup dan

1

Page 2: Cha Leptospirosis Fix

berkembangbiaknya leprospira ialah pada suasana lembab, suhu sekitar 250c, serta

pH mendekati netral (pH sekitar 7).Pada keadaan tersebut leptospira dapat

bertahan hidup sampai berminggu-minggu (Syukran, 1996). WHO menyebutkan

kejadian leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar 0,1-1 kejadian tiap

100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10-100

kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003).

Kejadian leptospirosis di Indonesia pertama kali ditemukan di Sumatera pada

tahun 1971.Angka kejadian leptospirosis di seluruh dunia belum diketahui secara

pasti.Hal ini disebabkan oleh belum lengkapnya sarana laboratorium, khususnya

di negara-negara berkembang. Pada periode 1 Januari 1996 sampai 31 Desember

2001 proporsi penderita leptospirosis tertinggi terjadi di bangsal penyakit infeksi

RS sanglah Denpasar Bali. Pada bulan februari 2002 sampai April 2002 terjadi

kejadian luar biasa leptospirosis di kota Jakarta. Angka kematian akibat penyakit

leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, dengan angka Case Fatality rate (CFR)

bias mencapai 2,5%-16,45% (rata-rata 7,1%). Pada usia lebih 50 tahun kematian

bias menyampai 56% (Widarso, 2002). Di beberapa publikasi angka kematian

dilaporkan 3%-54% tergantung sistem organ yang terinfeksi (Saban, 2004).

Berdasarkan profil puskesmas Pekuncen periode agustus sampai dengan

september 2012 tercatat dalam data 1 pasien terdiagnosis leptospirosis.

Sistem surveilans kejadian leptospirosis samapi saat ini belum dilaksanakan

secara optimal, data penderita leptospirosis sebagian besar berasal dari fasilitas

pelayanan kesehatan seperti rumah sakit. Sebagian besar masyarakat nelum

mengetahui penyebab, faktor resiko, dan cara penanggulangan leptospirosis,

sehingga upaya penganggulangan leptospirosis di provinsi Jawa Tengah saat ini

terbatas pada pengobatan penderita. Sedeangkan pencarian penderita, pencegahan

penularan leptospirosis dan pengendalian tikus sebagai penular utamanya belum

dilakukan optimal (Dinkes Jateng, 2005).

Beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

kejadian leptospirosis berkaitan dengan faktor lingkungan, baik lingkungan

abiotik maupun biotic. Komponen lingkungan abiotik yang diduga merupakan

2

Page 3: Cha Leptospirosis Fix

faktor resiko kejadianleptospirosis di Indonesia antara lain adalah vegetasi,

kberhasilan penangkapan tikus, dan prevalensi leptospirosis pada tikus

(Ristiyanto, 2006).

Oleh karena itu, masalah ini perlu mendapat perhatian yang seirus agar dapat

diupayakan cara pencegahan dan penanggulangannya. Hasil studi CHA ini

diharapkan dapat menjadi dasar untuk pelaksanaan intervensi komunitas guna

menghilangkan angka kejadian leptospirosis di Kecamatan Pekuncen.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan masyarakat

tentang penyakit leptospirosis di Desa Cikembulan.

C. Manfaat

1 Manfaat Praktis

a. Memberikan informasi pada warga masyarakat di wilayah Puskesmas

Pekuncen khususnya tentang masalah kesehatan yang telah dianalisis

beserta solusinya yang terdiri dari tindakan promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif dalam upaya menurunkan angka kejadian leptospirosis.

b. Membantu Puskesmas dalam menjalankan salah satu dari enam program

pokok yang ada ke masyarakat.

2 Manfaat Teoritis

a. Menambah ilmu dan wawasan pengetahuan di bidang kesehatan dalam

mencegah kejadian leptospirosis.

b. Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang masalah

kesehatan yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Pekuncen.

3

Page 4: Cha Leptospirosis Fix

BAB II

ANALISIS SITUASI

A. Deskripsi Situasi dan Kondisi Puskesmas dan Wilayah Kerjanya

1. Keadaan Geografi Kecamatan Pekuncen

Kecamatan Pekuncen merupakan salah satu wilayah bagian kabupaten

Banyumas yang berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten lain yaitu

Kabupaten Brebes. Kecamatan Pekuncen memiliki luas wilayah kurang lebih

92.70 Km2 dan terdiri dari 16 desa yaitu: Desa Pekuncen, Desa Kranggan,

Desa Karangkemiri, Desa Banjaranyar, Desa Cikawung, Desa Krajan, Desa

Glempang, Desa Pasiraman Lor, Desa Pasiraman Kidul, Desa Karangklesem,

Desa Candinegara, Desa Cikembulan, Desa Cibangkong, Desa Semedo dan

Desa Petahunan. Desa Krajan merupakan desa dengan wilayah terluas di

Kecamatan Pekuncen, yaitu sekitar 24,61 Km2. Sedangkan Desa Pasiraman

Kidul merupakan desa yang mempunyai wilayah paling sempit yaitu sekitar

0,79 Km2.

Luas penggunaan lahan di Kecamatan Pekuncen dapat dirinci sebagai

berikut:

a. Tanah sawah : 1.858,29 Ha

b. Tanah pekarangan : 919,74 Ha

c. Tanah hutan : 38.434,7 Ha

d. Tanah Perkebunan : 1.743,7 Ha

e. Lain-lain : 224,8 Ha

Secara geografis, Kecamatan Pekuncen memiliki batas wilayah

sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Paguyangan Kabupaten

Brebes

b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cilongok Kabupaten

Banyumas

4

Page 5: Cha Leptospirosis Fix

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ajibarang Kabupaten

Banyumas

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gumelar Kabupaten

Banyumas

Gambar 2.1. Peta Kecamatan Pekuncen

2. Keadaan Demografi Kecamatan Pekuncen

a. Pertumbuhan penduduk

Berdasarkan BPS Kecamatan Pekuncen hasil registrasi penduduk akhir

tahun 2011 jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen adalah 64.689 jiwa

terdiri dari 32.056 jiwa lali-laki (49,55%) dan 32.633 jiwa perempuan

(50,44%) tergabung dalam 17.068 rumah tangga/KK dengan rata-rata

jiwa/rumah tangga adalah 3 orang.

Jumlah penduduk Kecamatan Pekuncen tahun 2011 yang

tertinggi/terbanyak adalah di desa Pekuncen yaitu sebanyak 6.575 jiwa

dan paling sedikit adalah Desa Pasiraman Kidul sebanyak 1.587 jiwa. Jika

dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2010 , terjadi penurunan

sebesar1,85 %pada tahun 2011.

5

Krajan

Tumiyang

Semedo

Pekuncen

Glempang

Cibangkong

Karang Kemiri

Petahunan

Pasiraman Lor

Karang KlesemBanjar Anyar

Kranggan

Cirawung CikembulanCandi Nggara

Pasiraman Kidul CilongokPekuncen

Gumelar

Ajibarang

Bataskec

Pekuncen.shpBanjar AnyarCandi NggaraCibangkongCikembulanCirawungGlempangKarang KemiriKarang KlesemKrajanKrangganPasiraman KidulPasiraman LorPekuncenPetahunanSemedoTumiyang

SungaiSungai.shp

BataskecBatas KabupatenBatas Kecamatan

Jalan1Jalan KAJalan KA LamaJalan LokalJalan Propinsi

N

EW

S

Pekuncen

Page 6: Cha Leptospirosis Fix

b. Kepadatan penduduk

Kepadatan penduduk Kecamatan Pekuncen Tahun 2011 sebesar 698

jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu di desa Cikembulan

sebesar 2.433 jiwa/km2, sedangkan tingkat kepadatan terendah yaitu di

desa Krajan sebesar 184 jiwa/km2.

c. Jumlah penduduk menurut golongan umur

Berdasarkan data statistik kecamatan, dapat diketahui bahwa proporsi

penduduk menurut umur di Kecamatan Pekuncen adalah kelompok umur

terbesar pada umur 10-14 tahun yaitu sebanyak 5.998 jiwa, sedangkan

kelompok umur terkecil yaitu pada kelompok umur > 75 tahun sebanyak

415 jiwa.

d. Keadaan Sosial Ekonomi

1. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat di Kecamatan Pekuncen pada

tahun 2010 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kecamatan Pekuncen

No. Jenis PendidikanJenis Kelamin

JumlahLaki-laki Perempuan

1.

2.

3

4.

5

6

Tidak/ Belum pernah

sekolah

Tidak/ Belum tamat SD

SD

SLTP

SLTA

Perguruan Tinggi

1.475

6.558

16.209

3.742

3.060

446

1.365

6.060

14.378

3.321

3.060

339

2.840

12.618

30.587

7.063

2.214

785

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat

pendidikan penduduk sebagian besar adalah tamat SD sebesar 30.587

orang atau 54,51% dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah tingkat

6

Page 7: Cha Leptospirosis Fix

pendidikan terkecil yaitu Perguruan tinggi sebanyak 785 orang atau

1,40 % dari jumlah penduduk.Angka melek huruf di Kecamatan

Pekuncen juga sudah cukup tinggi, hal ini dapat dilihat dari penduduk

usia 10 tahun ke atas yang melek huruf di kecamatan Pekuncen yaitu

sebesar 83,01%.

2. Jenis Pekerjaan

Berdasarkan data statistik Kecamatan Pekuncen, dapat diketahui

bahwa sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian pada

sektor informal yaitu sebesar 50,33 % dari jumlah penduduk,

sedangkan yang memiliki mata pencaharian pada sektor formal sebesar

1,89 % dari total penduduk. Secara spesifik, mata pencaharian

sebagian besar penduduk Kecamatan Pekuncen adalah sebagai buruh

tani yaitu sebanyak 11.890 orang atau sebesar 18,50% dari jumlah

penduduk. Sedangkan jumlah terkecil adalah penduduk yang bekerja

pada BUMN/BUMD yaitu sebanyak 18 orang atau sebesar 0,03 % dari

total penduduk.

B. Capaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat

Untuk memberikan gambaran derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja

Puskesmas Pekuncen pada tahun 2011 disajikan situasi mortalitas dan morbiditas.

I. Angka Kesakitan (Morbiditas)

1. Penyakit Diare

Kejadian atau kasus penyakit diare di wilayah Puskesmas Pekuncen,

berdasarkan data dari programer P2 Diare Puskesmas Pekuncen adalah

sebanyak 1.041 kasus atau sebesar 16,09 per 1000 penduduk. Berdasarkan

analisis pelaporan kasus dapat diketahui bahwa kejadian diare tahun 2011,

terbanyak terjadi pada bulan Januari dan Juli.

2. Penyakit Malaria

Kasus penyakit Malaria Klinis tahun 2011 sebanyak 0 kasus atau

sebesar 0,00 per 1.000 penduduk. Kasus Malaria di Puskesmas Pekuncen

7

Page 8: Cha Leptospirosis Fix

biasanya merupakan kasus import dari luar jawa. Meski demikian ini perlu

diwaspadai oleh petugas kesehatan dan masyarakat terutama untuk Desa

Tumiyang, Cikembulan, Semedo, Petahunan dan Cibangkong yang

memiliki letak geografis yang memungkinkan untuk terjadinya malaria.

3. TB Paru

Jumlah kasus TB Paru Positif pada tahun 2011 sebanyak 32 kasus atau

CDR (Case Detection Rate) BTA positif sebesar 46,43 per 100.000

penduduk. Pada tahun 2011 jumlah pasien TB Paru yang diobati sebanyak

33 kasus dan yang sembuh sebanyak 16 atau 48,48% sembuh, dengan

pengobatan lengkap sebanyak 15 atau sebesar 45,45%.

4. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Jumlah kasus DBD di Kecamatan Pekuncen tahun 2011 sebanyak 6

kasus atau sebesar 9,28 per 100.000 penduduk. Dari semua kasus DBD

yang ada tersebut, semuanya (100%) mendapat penanganan dan tidak

terdapat kematian akibat DBD.

5. HIV

Jumlah kasus HIV-AIDS di kecamatan Pekuncen pata tahun 2011

adalah 0 kasus.Kasus HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es sehingga

kemungkinan adanya kasus HIV-AIDS yang tidak terdeteksi atau tidak

terdata.

6. Acute Flaccid Paralysis (AFP)

Jumlah penemuan kasus AFP di kecamatan Pekuncen pada tahun 2011

sebanyak 0 kasus. Standar penemuan kasus polio adalah 2 per 100.000

penduduk usia kurang dari 15 tahun.

7. Pneumonia pada Balita

Jumlah kasus ISPA pada balita ditemukan/ditangani di Kecamatan

Pekuncen adalah sebanyak 20 kasus dari jumlah perkiraan penemuan kasus

pneumonia balita sebanyak 485 atau hanya sebesar 9,93%.

8

Page 9: Cha Leptospirosis Fix

II. Angka Kematian (Mortalitas)

Berikut ini akan diuraikan perkembangan tingkat kematian pada

periode tahun 2011 yaitu sebagai berikut :

1. Angka Kematian Bayi

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Pekuncen dapat diketahui

bahwa, pada tahun 2011 terdapat 1.076 kelahiran hidup dan jumlah lahir

mati sebanyak 19 bayi. Angka kematian bayi (AKB) di kecamatan

Pekuncen pada tahun 2011 adalah sebesar 11,2 per 1000 kelahiran

hidup.

2. Angka Kematian Ibu

Berdasarkan hasil laporan dari petugas KIA Puskesmas Pekuncen

diketahui bahwa jumlah kematian ibu hamil di Kecamatan Pekuncen

sebanyak 0 orang, jumlah kematian ibu bersalin sebanyak 1 orang, dan

jumlah kematian ibu nifas sebanyak 1 orang. Sehingga Angka Kematian

Ibu (AKI) di Kecamatan Pekuncen sebesar 185,9 per 100.000 kelahiran

hidup.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN)

tahun 2010-2014 di bidang kesehatan, target angka kematian ibu adalah

118 per 100.000 penduduk, dan Millenium Development Goals (MDG)

tahun 2015 adalah 102 per 100.000 penduduk. Angka kematian ibi di

Kecamatan Pekuncen masih tinggi. Namun bila dibandingkan dengan

data tahun 2010 (262,93 per 100.000), angka kematian ibu di

Kecamatan Pekuncen sudah mengalami penurunan.

3. Angka Kecelakaan

Kejadian kecelakaan lalu lintas di Kecamatan Pekuncen pada tahun

2011 sebanyak 145 kejadian, dengan korban mati sebanyak 3 orang,

luka berat sebanyak 23 orang, dan luka ringan sebanyak 139 orang.

Dengan demikian rasio kejadian kecelakaan per 100.000 penduduk

adalah sebesar 255,07.

9

Page 10: Cha Leptospirosis Fix

III. Status Gizi Masyarakat

Tujuan umum upaya perbaikan gizi puskesmas adalah meningkatkan

kesadaran, kemauan dan kemampuan setiap keluarga di wilayah Puskesmas

untuk mencapai Keluarga Sadar Gizi agar terwujud derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya.

Sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. Meningkatkan cakupan dan kualitas pemberdayaan Keluarga menuju

Keluarga Sadar Gizi.

2. Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi (Pelayanan gizi

masyarakat dan pelayanan gizi perorangan).

Berdasarkan pemantauan status gizi Balita pada tahun 2011 dengan

jumlah balita yang ditimbang 3.594 ditemukan:

a. Balita dengan Gizi Lebih sebanyak 16 anak (0,45%)

b. Balita dengan Gizi Baik sebanyak 3.534 anak (98,33%)

c. Balita dengan Gizi Kurang sebanyak 30 anak (0,83%)

d. Balita dengan Gizi Buruk sebanyak 14 anak (0,39%)

Jumlah balita Gizi Kurang dan Gizi Buruk sebanyak 44 anak dan dari

jumlah tersebut semuanya mendapat perawatan.SPM untuk balita gizi

buruk mendapatkan perawatan adalah sebesar 100%.Sehingga cakupan gizi

buruk mendapat perawatan di Kecamatan Pekuncen dibanding dengan

SPM sudah memenuhi target.Disamping itu berdasarkan laporan petugas

gizi puskesmas, Kecamatan Pekuncen termasuk kecamatan yang bebas

rawan gizi.

IV. Upaya Kesehatan

Upaya pelayanan kesehatan merupakan langkah awal yang sangat

penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan

cepat, diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat sudah

dapat diatasi. Kegiatan pokok Puskesmas biasa dikenal dengan istilah basic

six atau enam program pokok puskesmas yang meliputi: Pencegahan dan

10

Page 11: Cha Leptospirosis Fix

Pemberantasan Penyakit Menular, KIA-KB, Gizi Masyarakat, Kesehatan

Lingkungan, Promosi Kesehatan (Promkes), dan Pelayanan Kesehatan

Dasar. Tiap program tersebut dilaksanakan melalui suatu rangkaian yang

sistematis, meliputi perencanaan (P1), penggerakan dan pelaksanaan (P2),

pengawasan, pengendalian dan penilaian (P3).

A. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular

1. Pencegahan dan Pemberantasan TB Paru

Berdasarkan data dari programer TB Paru Puskesmas dapat

diketahui bahwa pada tahun 2010 kasus TB Paru sebanyak 10 kasus,

diobati 10 kasus dan yang sembuh sebanyak 10 kasus atau 100%.

Sedangkan pada tahun 2011 terdapat 32 kasus baru BTA positif, dari

perkiraan kasus baru sebanyak 69 kasus.

Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk kesembuhan penderita

TBC BTA positif adalah > 85%.Sehingga jika dibandingkan dengan

SPM maka kesembuhan penderita TBC BTA positif sudah memenuhi

target.

2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit DBD

Pada tahun 2011 berdasarkan data petugas P2 DBD Puskesmas

Pekuncen diketahui bahwa kasus penyakit DBD sebanyak 6 kasus, dan

jumlah tersebut semuanya telah mendapat pelayanan/ditangani (100%).

Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal yaitu:

Peningkatan kegiatan surveilance penyakit dan vektor; Diagnosis dini

dan pengobatan dini; serta Peningkatan upaya pemberantasan vektor

penular DBD.

3. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ISPA dan Pneumonia

Pada tahun 2011 berdasarkan data petugas P2 ISPA Puskesmas

Pekuncen, dapat diketahui bahwa kasus pneumonia balita sebanyak 20

kasus, yang ditangani sebanyak 20 kasus (100%). Perkiraan kasus

pneumonia balita adalah sebanyak 485 kasus, sehingga pneumonia balita

yang ditemukan/ ditangani belum memenuhi target. Sedangkan jika

11

Page 12: Cha Leptospirosis Fix

dibandingkan dengan SPM untuk balita dengan pneumonia yang

ditangani sebesar 100% maka Puskesmas Pekuncen sudah memenuhi

standar SPM.

4. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Kusta

Berdasarkan data petugas P2 Kusta Puskesmas Pekuncen, pada

tahun 2011 terdapat 2 penderita Kusta tipe MB (Kusta Basah) dan 1

penderita Kusta tipe PB (Kusta Kering). Angka ini mungkin merupakan

keadaan sebenarnya dan bisa juga bukan.Upaya pencegahan dan

pemberantasan penyakit kusta dilakukan dengan melakukan penemuan

dini kasus kusta dan pengawasan terhadap penderita, keluarga penderita

dan orang-orang yang melakukan kontak dengan penderita.

5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit HIV-AIDS dan Infeksi

Menular Seksual (IMS)

Berdasarakan data Puskesmas, jumlah kasus penyakit HIV-AIDS

dan IMS pada tahun 2011 sebanyak 0 kasus. Angka ini bisa merupakan

keadaan sebenarnya dan bisa juga bukan. Hal ini karena kasus penyakit

HIV-AIDS dan IMS merupakan fenomena gunung es, sehingga bisa saja

di kecamatan Pekuncen ada penderita HIV-AIDS dan IMS tapi tidak

terdata karena penderita sulit terdeteksi.

B. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar

1. Pendataan Rumah Sehat

Salah satu usaha guna pembinaan kesehatan lingkungan adalah

dengan dilakukannya pendataan rumah sehat. Berdasarkan hasil

pendataan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dari jumlah

rumah sebanyak 17.299 rumah dengan jumlah rumah yang diperiksa

sebanyak 837 rumah atau 4,8%. Didapatkan bahwa sebanyak 624 rumah

atau sebesar 74,6 % termasuk dalam rumah sehat.

12

Page 13: Cha Leptospirosis Fix

2. Akses Rumah Tangga Terhadap Air Bersih

Akses rumah tangga terhadap air bersih dapat dilihat dalam tabel

64 lampiran profil kesehatan puskesmas pekuncen. Dari 20.181 kepala

keluarga (KK) yang ada dengan jumlah KK yang diperiksa sebanyak

837 KK atau sebesar 4,1 %, didapatkan bahwa sebanyak 66 KK atau 7,9

% mengunakan ledeng sebagai sumber air bersihnya.

3. Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar

3.1 Persediaan Air Bersih

Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah

KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa semua KK

yang dijadikan sampel pemeriksaan memiliki persediaan air bersih

(100%). Keadaan ini menggambarkan bahwa sebagian besar warga di

Kecamatan Pekuncen memiliki persediaan air bersih dan sehat.

3.2 Kepemilikan Jamban

Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah

KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak

638 KK atau 76,2 % memiliki jamban dan dari jumlah tersebut,

jumlah jamban yang sehat sebanyak 407 atau 63,8 %.

3.3 Kepemilikan Tempat Sampah

Dari jumlah kepala keluarga sebanyak 20.181 KK dengan jumlah

KK yang diperiksa sebanyak 837 KK didapatkan bahwa sebanyak

710 KK atau 84,8% memiliki tempat sampah dan jumlah tempat

sampah yang sehat sebanyak 131 atau sebesar 18,50%.

4. Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TUPM) Sehat

Berdasarkan data petugas sanitarian Puskesmas Pekuncen, dapat

diketahui bahwa terdapat 6 restauran dan Jumlah yang diperiksa ada 4,

dengan hasil pemeriksaan terdapat 3 restauran atau 75 % sehat. Jumlah

pasar yang ada yaitu sebanyak 1 pasar dan setelah dilakukan

pemeriksaan diketahui bahwa pasar tersebut tidak memenuhi syarat

sehat.

13

Page 14: Cha Leptospirosis Fix

5. Pembinaan Kesehatan Lingkungan bagi Institusi

Jumlah sarana kesehatan yang ada di Kecamatan Pekuncen adalah

sebanyak 18 buah, yang terdiri dari Puskesmas, Puskesmas Pembantu

(Pustu), PKD, Balai Pengobatan/Klinik Swasta. Sedangkan jumlah

sarana pendidikan yang ada adalah sebanyak 94 buah, tempat ibadah

sebanyak 98 buah, perkantoran sebanyak 29 buah, instalasi pengelolaan

air minum sebanyak 2 buah dan sarana lain sebanyak 28 buah. Sehingga

jumlah keseluruhan dari institusi yang ada di wilayah Kecamatan

Pekuncen adalah sebanyak 269 buah dengan jumlah intitusi yang dibina

kesehatan lingkungannya adalah sebanyak 140 buah atau 52,0% dibina.

C. Perbaikan Gizi Masyarakat

1. Cakupan Bayi dan Balita Mendapat Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan laporan dari petugas gizi puskesmas Pekuncen tahun

2011, dapat diketahui bahwa jumlah bayi umur 6-11 bulan sebanyak 600

orang dan seluruhnya telah mendapat vit A 1x atau 100%. Balita umur

12 – 59 bulan sebanyak 4.854 orang dan 3.767 balita atau (77,60%)

telah mendapat vit A 2x.

2. Cakupan Ibu Hamil Mendapat Tablet Fe

Berdasarkan laporan petugas gizi Puskesmas Pekuncen diketahui

bahwa jumlah ibu hamil di wilayah. Puskesmas Pekuncen pada tahun

2011 adalah sebanyak 1.057 orang. Dari jumlah tersebut yang sudah

mendapat tablet Fe1 sebanyak 932 orang atau sebesar 88,17%, dan yang

sudah mendapat tablet Fe3 sebanyak 945 orang atau sebesar 89,40%.

Sedangkan jumlah ibu nifas adalah sebanyak 989 orang dengan 868

orang atau 87,76% diantaranya telah mendapat vit A.

D. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) – KB

1. Cakupan Kunjungan Neonatus, Bayi Dan Bayi BBLR yang Ditangani

Berdasarkan data koordinator KIA Puskesmas Pekuncen diketahui

bahwa cakupan kunjungan neonatus KN1 adalah sebanyak 1.076 orang

atau 100%, adapun cakupan kunjungan KN Lengkap adalah sebanyak

14

Page 15: Cha Leptospirosis Fix

1.076 atau sebesar 100%. Jumlah bayi lahir hidup sebanyak 1.076 orang

dengan jumlah bayi dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak

16 orang atau sebesar 1,50%. Dari sejumlah 16 bayi dengan BBLR

tersebut, semuanya atau 100% telah mendapat penanganan.

2. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (K1, K4), Persalinan Ditolong Tenaga

Kesehatan, Dan Pelayanan Ibu Nifas

Jumlah ibu hamil di wilayah Puskesmas Pekuncen pada tahun

2011 tercatat sebanyak 1.057 orang. Dari jumlah tersebut yang

melakukan pemeriksaan kesehatan ke petugas kesehatan untuk

kunjungan pertama (K1) sebanyak 1.224 orang atau 100%, sedangkan

yang melakukan kunjungan ke empat (K4) sebanyak 987 orang atau

93,4%.

Jumlah ibu bersalin sebanyak 997 orang, dan ibu bersalin yang

ditolong tenaga kesehatan sebanyak 967 atau sebesar 97%.Sedangkan

jumlah ibu nifas sebanyak 1.024 orang dan yang mendapat palayanan

nifas sebanyak 1.024 orang atau 100%.

3. Cakupan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita, Pemeriksaan

Kesehatan Siswa SD/SMP/SMU

Pada tahun 2011, di Kecamatan Pekuncen terdapat balita (Pra

sekolah) sebanyak 4.861 orang, dan yang dideteksi sebanyak 3.506

orang atau sebesar 72,13%. Sedangkan jumlah anak usia SD sebanyak

7.286 orang dengan jumlah diperiksa sebanyak 1.312 orang atau sebesar

16,68%.

4. Jumlah PUS, Peserta KB, Peserta KB Baru, Dan KB Aktif

Berdasarkan data koordinator KB Puskesmas Pekuncen, diketahui

bahwa jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di wilayah Puskesmas

Pekuncen sebanyak 14.012 orang. Dari jumlah PUS yang ada tersebut

jumlah peserta KB baru sebanyak 2.562 orang atau 18,3%. Sedangkan

jumlah peserta KB aktif sebanyak 10.470 orang atau 74,7%.

15

Page 16: Cha Leptospirosis Fix

5. Jumlah Peserta KB Aktif Menurut Jenis Kontrasepsi

Jumlah seluruh peserta KB aktif di kecamatan Pekuncen pada

tahun 2011 sebanyak 10.470 orang. Dari jumlah tersebut yang

menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) jenis IUD

sebanyak 1.018 orang, MOP/MOW sebanyak 456 orang dan implant

sebanyak 1.395 orang. Sedangkan yang mengunakan Non MKJP jenis

suntik sebanyak 5,855 orang, jenis PIL sebanyak 1.554 orang, dan

kondom sebanyak 192 orang.

6. Cakupan Imunisasi Bayi

Berdasarkan data petugas koordinator imunisasi Puskesmas

Pekuncen diketahui bahwa jumlah bayi di Kecamatan Pekuncen pada

tahun 2011 sebanyak 600 bayi. Sedangkan cakupan imunisasinya untuk

tiap jenis imunisasi adalah sebagai berikut: bayi mendapat imunisasi

BCG sebanyak 1.057 atau sebesar 176%, bayi mendapat imunisasi

DPT1+HB1 sebanyak 1.041 atau sebesar 173,5%, bayi mendapat

imunisasi DPT3+HB3 sebanyak 1.063 atau 177.2%, bayi mendapat

imunisasi polio 3 sebanyak 1.045 atau sebesar 174,167%, bayi

mendapat imunisasi campak sebanyak 1.037 atau 172,8% . Sedangkan

angka Drop Out (DO) sebesar 0,4%.

7. Bumil dan Neonatal Risiko Tinggi

Data petugas KIA Puskesmas Pekuncen menunjukan bahwa

jumlah ibu hamil sebanyak 1.057 orang, dan dari jumlah tersebut ibu

hamil dengan resiko tinggi/komplikasi sebanyak 211 orang dengan

jumlah bumil risti ditangani sebanyak 287 orang. Jumlah neonatal

sebanyak 1.076, dengan jumlah perkiraan neonatal risti/komplikasi

sebanyak 161 orang dan ditangani sebanyak 42 orang atau sebesar

26%.Rendahnya neonatal risti yang ditangani diakibatkan jumlah

neonatal risti yang bisa ditangani di PKD tidak terlaporkan.

16

Page 17: Cha Leptospirosis Fix

E. Promosi Kesehatan

Program-program yang dilakukan oleh Puskesmas Pekuncen khususnya

dalam bidang Promosi Kesehatan adalah melalui kegiatan-kegiatan berikut:

1. Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan kesehatan bisa dilakukan secara langsung maupun tidak

langsung. Jumlah kegiatan penyuluhan kesehatan kelompok (secara

langsung) yang dilakukan sebanyak 4.818 dan yang jumlah kegiatan

penyuluhan massa adalah 18. Materi penyuluhan adalah mengenai

masalah-masalah kesehatan seperti PHBS, KIA, Kesehatan Lingkungan,

Gizi, NAPZA dan Penyakit Menular.

2. Posyandu

Standar Pelayanan Minimal (SPM) 2011 untuk prosentase

posyandu dengan strata purnama adalah sebesar 40% dan strata mandiri

sebesar >2%. Sehingga pencapaian strata Posyandu purnama belum

mencapai target dan posyandu mandiri di Kecamatan Pekuncen sudah

mencapai target. Sedangkan tingkat partsipasi masyarakat di posyandu

(D/S) adalah sebesar 74,04%, tingkat keberhasilan program posyandu

(N/D) sebesar 70,01%. D/S belum mencapai target SPM yaitu 80%

disebabkan kesadaran masyarakat yang kurang dan menganggap di

posyandu hanya ditimbang saja. Untuk N/D juga belum mencapai target

SPM yaitu 80% karena usia diatas 1-5 tahun kebanyakan mengalami

kesulitan dalam hal makan.

F. Pelayanan Kesehatan Dasar

Salah satu upaya kesehatan wajib yang ditetapkan berdasarkan

komitmen nasional, regional dan global serta yg mempunyai daya ungkit

tinggi untuk meningkatkan derajat kesehatan masyrakat.Upaya ini harus

diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di Indonesia.

17

Page 18: Cha Leptospirosis Fix

Salah satu upaya kesehatan wajib adalah upaya kesehatan dasar, upaya-

upaya kesehatan dasar yang dilakukan oleh Puskesmas Pekuncen

diantaranya adalah:

1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir

2. Pelayanan Kesehatan Bayi dan Anak Pra Sekolah

3. Pelayanan Kesehatan Anak Usia Sekolah dan Remaja

4. Pelayanan Kesehatan Usia Subur

5. Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut

6. Pelayanan Imunisasi

7. Pelayanan Kesehatan Jiwa Masyarakat

8. Pelayanan Pengobatan / Perawatan

G. Kefarmasian

Gambaran stok obat, pemakaian rata-rata obat per bulan, dan tingkat

kecukupan obat di puskesmas pekuncen berdasarkan data dari petugas obat

dapat diketahui bahwa secara umum tingkat kecukupan obat di puskesmas

pekuncen sudah cukup terpenuhi.

18

Page 19: Cha Leptospirosis Fix

BAB III

IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS MASALAH

A. Daftar Permasalahan Kesehatan Yang Ada (Berdasar Data Sekunder

Puskesmas Pekuncen) Januari-Agustus 2012

Masalah merupakan sesuatu yang menunjukkan adanya kesenjangan antara

harapan dan sesuatu yang dicapai, sehingga menimbulkan rasa tidak

puas.Masalah dapat menyebabkan ketidakmaksimalan dalam melaksanakan

suatu kegiatan.Dalam penetapan masalah, perlu diperhatikan hal-hal yang

diinginkan dan keadaan yang terjadi sekarang, sehingga dapat dicari penyebab

atau hal-hal yang dapat membuat tujuan tidak tercapai.

Untuk memutuskan adanya masalah, diperlukan tiga syarat yang harus

dipenuhi, antara lain: adanya kesenjangan, adanya rasa tidak puas, adanya rasa

tanggung jawab untuk menanggulangi masalah.

Tabel 3.1. Daftar 10 Penyakit Tertinggi dan KLB di Puskesmas Pekuncen dan Periode Januari-Agustus 2012

Sumber: Data Sekunder Puskesmas Pekuncen 2012

B. Penentuan Prioritas Masalah (Berdasarkan Metode Tertentu)

19

No Penyakit Jumlah Kasus1 ISPA (Common Cold) 17612 Hipertensi 5563 Dyspesia 4744 Mialgia 3325 Dermatitis Kontak Alergika (DKA) 3316 Faringitis 3107 TB BTA Positif 2118 Chepalgia Cluster 1829 Abses, Furunkel, Karbunkel 13810 Diare Non Spesifik 12411 Leptospirosis 1 (KLB)

Page 20: Cha Leptospirosis Fix

Penentuan prioritas masalah di Kecamatan Tambak dengan menggunakan

metode Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini digunakan 4 kelompok kriteria,

yaitu:

1. Kelompok kriteria A: besarnya masalah

2. Kelompok kriteria B: kegawatan masalah, penilaian terhadap dampak, urgensi

dan biaya

3. Kelompok kriteria C: kemudahan dalam penanggulangan, yaitu penilaian

terhadap tingkat kesulitan penanggulangan masalah

4. Kelompok kriteria D: PEARL faktor, yaitu penilaian terhadap propriety,

economic, acceptability, resources availability, legality

Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah di

Puskesmas Tambak adalah sebagai berikut :

Kriteria A (besarnya masalah)

Untuk menentukan besarnya masalah kesehatan diukur dari besarnya penduduk

yang terkena efek langsung.

20

Page 21: Cha Leptospirosis Fix

Masalah Kesehatan

Besarnya Masalah per 10000 penduduk Nilai<150(1)

151-300(2)

310-450(3)

451-600(4)

>600(5)

ISPA (Common Cold)

X 5

Hipertensi X 4Dyspesia X 4Mialgia X 3DKA X 3Faringitis X 3TB BTA Positif

X 2

Chepalgia Cluster

X 2

Abses, Furunkel, Karbunkel

X 1

Diare Non Spesifik

X 1

Leptospirosis X

Kriteria B (kegawatan masalah)

Severity (Memberikan mortalitas atau fatalitas yang tinggi)

1. Tidak gawat

2. Kurang gawat

3. Cukup gawat

4. Gawat

5. Sangat gawat

Urgency (Apakah masalah tersebut menuntut penyelesaian segera, menjadi

perhatian publik)

1. Tidak urgent

2. Kurang urgent

3. Cukup urgent

4. Urgent

21

Tabel 3.2. Skor Besarnya Masalah

Page 22: Cha Leptospirosis Fix

5. Sangat urgent

Cost (Besarnya dampak ekonomi kepada masyarakat)

1. Sangat murah

2. Murah

3. Cukup mahal

4. Mahal

5. Sangat mahal

Masalah kesehatan

Severity Urgency Cost Nilai

ISPA (Common Cold)

4 4 4 4

Hipertensi 10 8 8 8,7Dyspesia 6 4 6 5,3Mialgia 6 6 6 6DKA 4 4 6 4,7Faringitis 8 8 6 7,3TB BTA Positif

8 10 6 8

Chepalgia Cluster

6 4 6 5,3

Abses, Furunkel, Karbunkel

4 2 4 3,3

Diare Non Spesifik

10 10 6 8,7

Leptospirosis 10 10 10 10

Kriteria C (Kemudahan dalam Penanggulangan)

Kriteria C digunakan untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan

masalah, maka dinilai apakan sumber daya dan teknologi yang ada dapat

menyelesaikan masalah.Skor yang digunakan dari skala 1 sampai 5.Semakin sulit

penanggulangan, skor yang diberikan semakin kecil.

22

Tabel 3.3. Skor KegawatanMasalah

Page 23: Cha Leptospirosis Fix

Tabel 3.4 Skor yang Diberikan Tiap-Tiap Anggota

Masalah Septi Eko Puput Rina Prima Jml N ISPA 5 4 4 4 5 22 4,4Hipertensi 5 5 5 5 5 25 5Dyspesia 4 4 5 4 5 22 4,4Mialgia 4 5 4 5 4 22 4,4DKA 5 5 5 5 5 25 5Faringitis 4 4 4 4 4 20 4TB BTA Positif

2 3 3 2 3 13 2,6

Chepalgia Cluster

5 5 5 5 5 25 5

Abses, Furunkel, Karbunkel

5 5 5 5 5 25 5

Diare Non Spesifik

5 5 5 5 5 20 5

Leptospirosis 5 5 5 5 5 25 5

Kriteria D (PEARL factor)

Kriteria D terdiri dari beberapa faktor yang saling menentukan dapat

tidaknya suatu program dilaksanakan. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Kesesuaian (Propriety)

b. Murah (Economic)

c. Dapat diterima (Acceptability)

d. Tersedianya sumber (Resources Availability)

e. Legalitas terjamin (Legality)

Dari diskusi kelompok, didapatkan nilai PEARL untuk masing-masing

masalah

23

Page 24: Cha Leptospirosis Fix

Tabel 3.5 Kriteria PEARL

Masalah Kesehatan P E A R L Hasil Perkalian

ISPA 1 1 1 1 1 1

Hipertensi 1 1 1 1 1 1

Dyspesia 1 1 1 1 1 1

Mialgia 1 1 1 1 1 1

DKA 1 0 1 1 1 0

Faringitis 1 1 1 1 1 1

TB BTA Positif 1 1 1 1 1 1

Chepalgia Cluster 1 1 1 1 1 1

Abses, Furunkel, Karbunkel

1 0 1 1 1 0

Diare Non Spesifik 1 1 1 1 1 1

Leptospirosis 1 1 1 1 1 1

Penetapan nilai

Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut

dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :

Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B)x C

Nilai prioritas total (NPT) = (A+B) x C x D

24

Page 25: Cha Leptospirosis Fix

Tabel 3.5. Skor total penilaian Hanlon

Masalah A B C D NPD NPT Urutan

prioritasP E A R L

ISPA 5 4 4,4 1 1 1 1 1 39,6 39,6 6

Hipertensi4 8,7 5 1 1 1 1 1 63,5 63,5 1

Dyspesia4 5,3 4,4 1 1 1 1 1 40,9 40,9 5

Mialgia3 6 4,4 1 1 1 1 1 39,6 39,6 7

DKA3 4,7 5 1 0 1 1 1 38,5 0 10

Faringitis3 7,3 4 1 1 1 1 1 41,2 41,2 4

TB BTA Positif

2 8 2,6 1 1 1 1 1 26 26 9

Chepalgia Cluster

2 5,3 5 1 1 1 1 1 36,5 36,5 8

Abses, Furunkel, Karbunkel

1 3,3 5 1 0 1 1 1 21,5 0 11

Diare Non Spesifik

1 8,7 5 1 1 1 1 1 48,5 48,5 3

Leptospirosis1 10 5 1 1 1 1 1 55 55 2

Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi. Berdasarkan hasil

perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan prioritas masalahnya adalah sebagai

berikut :

1. Hipertensi

2. Leptospirosis

3. Diare non spesifik

4. Faringitis

5. Dyspepsia

6. ISPA

7. Mialgia

8. Chepalgia Cluster

9. TB BTA positif

10.DKA

11.Abses, Furunkel, Karbunkel

25

Page 26: Cha Leptospirosis Fix

BAB IV

KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH

A. Daftar Teori dan Pembahasan Berdasar Referensi Yang Berkaitan Dengan

Penyebab Masalah

1. Definisi

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro

organisme Leptospira Interogans tanpa memandang bentuk serotipenya (Levetta,

2003). Bentuk yang beratnya dikenal sebagai Weil’s Disease. Penyakit ini dikenal

dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever,

infectious jaundice, field fever, came cutter, dan lain-lain (Zein, 2006).

2. Epidemiologi

Leptospirosis tersebar diseluruh dunia, semuja benua kecuali benua

Antartika.Leptospira biasa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu,

kuda, kucing, kelinci, atau binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang,

kelelawar, tikus, dan sebagainya (Zein, 2006). Kejadian infeksi leptospira pada

negara subtropik jarang ditemukan, Di Amerika terdapat 100-200 kasus leptospirosis

pertahunnya, hal tersebut juga terjadi di Hawai terdapat 50-100 kasus per tahunnya

(Meites et al., 2004).Angka kejadian tersebut tergolong sedikit dibanding negara-

negara beriklim tropis, iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospira adalah

udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis.Keadaan yang demikian dapat

dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun (Priyanto et al., 2008).

Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali

dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat.Angka

insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per

tahun.Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Angka insidensi

leptospirosis di New Zealand antara tahun 2001 sampai 2010 sebesar 44 per 100.000

penduduk. Angka insiden tertinggi terjadi pada pekerja yang berhubungan dengan

daging (163/100.000 penduduk), peternak (91,7/100.000 penduduk) dan pekerja yang

berhubungan dengan hutan sebesar 24,1 per 100.000 penduduk. Di Indonesia

26

Page 27: Cha Leptospirosis Fix

dilaporkan bahwa sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari

hewan liar maupun hewan peliharaan (Priyanto et al., 2008).

Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa

Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,

Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Utara,Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Angka kematian leptospirosis di

Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun

kematian mencapai 56%. Penderita Leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna

kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi. Beberapa

publikasi angka kematian di laporkan antara 3 % - 54 % tergantung system organ

yang terinfeksi.Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan,

pekerja tambang/selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Ancaman ini

berlaku pula bagi mereka yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di

sungai seperti berenang (Priyanto et al., 2008)..

3. Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponematacecae, suatu

mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas organisme ini adalah berbelit, tipis, fleksibel,

panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah

satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kait.Terdapat

gerakrotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella.Spirochaeta ini demikian

halus sehingga dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai

kokus kecil-kecil.Pemeriksaan lapang pandang redup pada mikroskop biasa

morfologi leptospira secara umum dapat dilihat.Untuk mengamati lebih jelas gerakan

leptospira digunakan mikroskop lapang pandang gelap (darkfield microscope).

Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin

membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan

medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob (Zein, 2006).

Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies :L.interrogans yang

pathogen dan L.biflexa yang non pathogen/ saprofit. Tujuh spesies dari leptospira

pathogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA nya, namun lebih praktis

dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas

27

Page 28: Cha Leptospirosis Fix

perbedaan serologis.Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogroup dan

serogroup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya.Saat ini

telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogroup.

Bebebrapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya

adalah L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. grippothyposa, L. javanica,

L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. automnalis, L. hebdomadis, L. bataviae, L.

tarassovi, L. panam, L. andamana, L. shermani, L. rararum, L. bufonis, L. australis, L.

noguchii, L. santarosai, L. meyeri, L. borgpetersenii, L. kirschneri, L. weilii, L.

inadai, L. fainei and L. alexanderi, dan lain-lain (OIE, 2005 dan Zein, 2006).

4. Faktor Resiko

Manusia dapat dapat terinfeksi melalui kontak air, atau tanah, lumpur, yang telah

terkontaminasi oleh urin binatang yang terinfeksi leptospira.Infeksi tersebut terjadi

jika luka/erosi pada kulit ataupun selaput lender (Dutta, 2005). Air tergenang atau

mengalir lambat yang terkontaminasi urin yang infeksius memainkan peranan

penting dalam penularan penyakit ini, bahkan air deraspun dapat berperan, jarang

dijumpai penyakit ini akibat gigigtan binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira,

atau kontak dengan kultur leptospira di laboratorium. Ekspos yang lama pada

genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan

leptospira. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi terinfeksi penyakit

leptospirosis adalah pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan,

pekerja tambang, pekerja di rumah potong hewan atau orang-orang yang mengadakan

perkemahan di hutan, dokter hewan, seperti yang ditampilkan pada table dibawah ini :

Kelompok Pekerjaan Kelompok Aktivitas Kelompok LingkunganPetani dan peternak Berenang di sungai Anjing piaraanTukang potong hewan Bersampan TernakPenangkap/ penjerat hewan Kemah Genangan air hujanDokter/ mantra hewan Berburu Lingkungan tikusPenebang kayu Kegiatan di hutan BanjirPekerja selokan

Pekerja perkebunan

(Zein, 2006 dan Lau et al., 2009).

28

Page 29: Cha Leptospirosis Fix

5. Patogenesis

Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki

aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan

tubuh.Selanjutnya terjadi respon imunologi baik secara seluler atau secara humoral

sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibody spesifik. Permasalahannya

ada beberapa organisme ini yang masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara

imunologi seperti di dalam ginjal dimana sebagian mikroorganisme akan mencapai

convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat

dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan

sampai berbulan-bulab bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.Leptospira dapat

dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat

lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Pada fase leptospiremia 4-7 hari,

mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler.Pada fase

leptospiruria berlangsung 1-4minggu.Tiga mekanisme yang terlihat pada patogenesis

adalah invasi bakteri langsung, faktor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi

(Zein, 2006).

6. Patofosiologi

Pada fase leptospiremia, leptospira akan mengeluarkan toksin yang bertanggung

jawab atas terjadinya keadaan patologis pada beberapa organ. Lesi muncul terjadi

karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler.Pada leptospirosis terdapat perbedaan

antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologik.Pada

leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan

kelainan fungsional yang nyata pada organ tersebut.Perbedaan ini menunjukkan

bahwa kerusakan bukan pada struktur organ.Lesi inflamasi menunjukkan edema dan

infiltrasi sel monosti, limfosit, dan sel plasma.Pada kasus yange rat terjadi kerusakan

kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatiseluler dengan retensi

bile.Leptospira juga dapat bertahan hidup di otak dan mata. Leptospira dapat masuk

kedalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia, hal ini akan menyebabkan

meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai

komplikasi leptospirosis. Organ-organ yangs sering dikenai leptospira adalah ginjal,

hati, oto, dan pembuluh dara. Kelainan spesifik pada organ yaitu :

29

Page 30: Cha Leptospirosis Fix

a. Ginjal

Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi

leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal.Gagal ginjal terjadi

akibat nekrosis tubular akut.Adanya peranan nefrotoksi, reaksi imunologi, iskemia

ginjal, hemolysis, dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan

kerusakan pada ginjal.

b. Hati

Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan

prpliferasi sel Kupfer dengan kolestatis.Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian

ditemukan leptospira dalam hepar.Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel

parenkim.

c. Jantung

Epikardium, endocardium, dan miokardium dapat terlibat pada keadaan patologis

yang disebabkan oleh leptospira.Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa

interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.Nekrosis

berhubungan dengan infiltrasi neutrophil.Dapat terjadi perdarahan fokal pada

miokardium dan dapat juga terjadi endokarditis.

d. Otot rangka

Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan

kehilangan striata.Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung

leptospira.Pada otot rangka dapat juga ditemukan antigen leptospira.

e. Mata

Leptospira dapat masuk ke ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan

bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi, hal tersebut

menyebabkan uveitis.

f. Pembuluh darah

Pada pembuluh dara terjadi perubahan akibat terjadinya vaskulitis yang akan

menimbulkan perdarahan. Perdarahan/ ptekie sering ditemukan pada mukosa,

permukaan serosa, dan organ-organ viscera.

30

Page 31: Cha Leptospirosis Fix

g. Susunan saraf pusat

Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan

terjadinya meningitis.Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak

pada saat memasuki CSS.Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh oleh

mekanisme imunologis.Terjadi penebalan meningens dengan sedikit peningkatan sel

mononuclear arachnoid.Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya

paling sering disebabkan oleh L. canicola.

h. Weil disease

Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus, biasanya disertai

perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua.

Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus leptospirosis. Penyebab weil

disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan serotype

copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal,

hepatic, dan disfungsi vaskular (Zein, 2006).

7. Gambaran Klinis

Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis

mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.

a. Fase Leptospiremia

Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan

serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala

biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat (terutama pada gluteus,

gastroknemeus, dan, femur) disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan

hiperestesia kulit, demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual

dengan atau tanpa muntah, mencret, bradikardia relatif, ikterus, bahkan sekitar

25% kasus terjadi penurunan kesadaran. Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya

konjungtiva suffusion dan fotofobia.Pada kulit dapat dijumpai rash yang

berbentuk makular, makulopapular atau utikaria.Kadang-kadang dijumpai

splenomegaly, hepatomegaly, serta limfadenopati.Fase ini berlangsung 4-7 hari.

Pasien apabila cepat ditangani maka akan membaik, suhu akan segera normal,

penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal dalam 3-6

minggu (Zein, 2006 dan Fransiska, 2008).

31

Page 32: Cha Leptospirosis Fix

b. Fase Imun

Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh

bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.Keadaan

tersebut disebut dengan fase imun.Fase ini ditandai dengan peningkatan titer

antibodi, dapat timbul demam yang mencapai suhu 40o C disertai menggigil dan

kelemahan umum.Tedapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-

otot kaki terutama otot betis.Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala

kerusakan ginjal dan hati, uremia, ikterik.Perdarahan paling jelas terlihat pada

fase ikterik, purpura, ptechie, epistaksis, perdarahan pada gusi merupakan

manifestasi yang paling sering.Conjunctiva injection dan conjunctivial suffusion

dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk leptospirosis. Terjadinya

meningitis merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda

meningitis, tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-

tanda meningeal dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya

mengilang setelah 1-2 hari. Pada fase ini leptospira akan dijumpai dalam urin

(Zein, 2006 dan Fransiska, 2008).

Leptospirosis memiliki gambaran klinis yang sering ditemui dan jarang ditemui

seperti table dibawah ini :

Gambaran klinis yang sering ditemui Gambaran klinis yang jarang ditemuiDemam, menggigil, sakit kepala, meningismus, anoreksia, myalgia, conjunctival suffusion, mual, muntah, nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali, ruam kulit, foto fobia.

Penumonitis, hemaptoe, perdarahan, diare, edema, splenomegaly, atralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis, pankreatitis, parotitis, epididymitis, hematemesis, asites, miokaditis.

(Zein, 2006).

8. Diagnosis

Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit ditegakkan, karena pasien

biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, sindroma syok

toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis hemoragik, bahkan

beberapa kasus datang dengan pankreatitis (Sejvar et al., 2003 dan Zein, 2006).

Leptospirosis memiliki manifestasi klinis hampir sama dengan influenza, DBD

(demam berdarah dengue), dan malaria sehingga tidak mudah menegakkan diagnosis

dalam praktek klinik (Bajani et al., 2002). Pada anamnesis, penting diketahui tentang

32

Page 33: Cha Leptospirosis Fix

riwayat pekerjaan pasien, apakah termasuk kelompik berisiko tinggi atau

tidak.Gejala/ keluhan didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama

di bagian frontal, nyeri otot (biasanya adalah gluteus, gastroknemeus, femur), mata

merah/ fotofobia, mual atau muntah.Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam,

bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegaly, dan lain-lain.Pada pemeriksaan

laboratorium darah rutin dijumpai lekositosis, normal, atau sedikit menurun disertai

gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi.Pada urin dijumpai

proteinuria, leukosituria, dan torak (cast).Bila organ hati terlibat, bilirubin direk

mingkat tanpa peningkatan transaminase.BUN, ureum, dan kreatinin juga bisa

meninggi apabila terjadi komplikasi pada ginjal.Trombositopenia terdapat pada 50%

kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi :

a. Kultur

Mengambil specimen dari darah atau CSS segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk

melakukan kultur ganda dan mengambil specimen pada fase leptospiremia serta

belum diberi antibiotik. Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada

specimen yang terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan (Zein, 2006).

b. Serologi

Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya letospira dengan cepat adalah dengan

pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR),silver stain atau flouroscent

antibody, dan mikroskop lapangan gelap.

(Levetta, 2003).

9. Penatalaksanaan

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi

keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan, dan gagal ginjal sangat penting pada

leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik

dengan membaiknya kondisi pasien, namun pada beberapa pasien membutuhkan

tindakan hemodialisa temporer. Pemberian antiniotik harus dimulai secepat mungkin,

biasanya pemberian 4 hari setelah onset cukup efektif. Pemberian antibiotik dibagi

menjadi 3 kategori yaitu pemberian pada leptospirosis ringan, sedang/ berat, dan

kemoprofilaksis seperti pada table dibawah ini :

33

Page 34: Cha Leptospirosis Fix

Indikasi Regimen DosisLeptospirosis ringan Doksisiklin

AmpisilinAmoksisilin

2 x 100 mg4 x 500-750 mg4 x 500 mg

Leptospirosis sedang/ berat Penisilin GAmpisilinAmoksisilin

1,5 juta unit/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)1 gram/ 6 jam (i.v)

Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/mingguSampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun

perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di dalam darah (fase

leptospiremia).Penisilin G apabila dikombinasikan dengan Ceftriakson sangat efektif

untuk mengobati leptospirosis berat (Panaphut et al., 2003).Pengobatan dengan

antibiotika seperti streptomycin, chlortetracycline, atau oxytetraxycline, efektif bila

diberikan sedini mungkin.Dihydrostreptomycin 10 mg/ pound atau 10 g/1000 pound

berat badan sapi dilaporkan sangat efektif untuk menyembuhkan hewan karier.Pada

outbreak, pada kasus leptospirosis akut, direkoinendasikan pengobatan dengan

chlortetracycline atau oxytetracvcline selama 2-3 minggu; pada saat bersamaan

diberikan vaksinasi.Dengan prosedur ini, kekebalan dapat berkembang pada sapi

sebelum pemberian antibiotika selesai.Dihydrostreptomycin juga dapat diberikan

pada babi jantan dengan dosis tunggal 10 mg/pound untuk mengeliminasi Leptospira

pada hewan karier.Pemberian dihydrostreptomycin 25 mg/kg berat badan sapi yang

diinfeksi Leptospira serovar hardjo dapat menghilangkan pengeluaran bakteri tersebut

bersama urin (Kusmiyati et al., 2008).Tindakan supportif diberikan sesuai dengan

keparahan penyakit dan komplikaso yang timbul.Keseimbangan cairan, elektrolit, dan

asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum.Kalau

terjadi azotemia/ uremia berat sebaiknya dilakukan dialysis (Zein, 2006).

10. Prognosis

Prognosis pada penyakit leptospirosis ditentukan oleh cepatnya penegakkan

diagnosis, penanganan dan organ yang sudah mengalami kerusakan.Apabila diagnosis

segera ditegakkan dan penanganan awal segera dilakukan maka prognosisnya

baik.Apabila sudah ada kerusakan pada organ, misalnya pada ginjal maka

prognosisnya pun buruk.Apabila tidak ada ikterus maka penyakit jarang fatal. Pada

kasus dengan ikterus angka kematian 5 % pada umur dibawah 30 tahun, dan pada

usia lanjut mencapai 30-40% (Zein, 2006).

34

Page 35: Cha Leptospirosis Fix

11. Pencegahan

Pencegahan penularan Leptospira dapat dilakukan melalui 3 aspek yang meliputi

hewan sebagai sumber infeksi, jalur penularan, dan manusia sebagai incidental host.

Melakukan vaksinasi untuk hewan ternak dan hewan kesayangan guna meningkatkan

kekebalan merupakan salah satu cara yang cukup efektif. Meskipun vaksinasi tidak

mencegah atau mengobati infeksi tetapi dapat mengurangi pengeluaran Leptospira

melalui urin, menurunkan kasus prematur, lahir lemah atau lahir mati, serta

menurunkan jumlah sapi yang seropositif Leptospira. Kerugian ekonomi yang

disebabkan adanya abortus dan penurunan produksi susu juga dapat dicegah dengan

dilakukannya vaksinasi Leptospirosis. Pada sapi perah, vaksinasi dapat menormalkan

kembali produksi susu. Pada anjing, vaksinasi leptospirosis dilakukan untuk anjing-

anjing yang beresiko tinggi terinfeksi Leptospira (Kusmiyati et al., 2008).

Vaksinasi pada anjing juga dapat menurunkan jumlah Leptospira yang

dikeluarkan melalui urin. Vaksin komersial untuk anjing yang berisi Leptospira

serovar canicola dan icterohaemorrhagiae tidak efektif terhadap Leptospira serovar

grippotyphosa dan pomona. Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh Wang et al.,

2007 kombinasi antara vaksin outer membrane protein (OMP), vaksin

lipopolisakaradia, dan vaksin DNA cukup efektif sebagai upaya preventif terhadap

kejadian penyakit leptospirosis. Untuk hewan yang terinfeksi Leptospira, pemberian

antibiotik efisien untuk mempersingkat durasi penyakit, mengurangi penularan, dan

menurunkan kerusakan hati dan ginjal.Membersihkan tempat-tempat yang Inenjadi

habitat atau sarang tikus dan meniadakan akses tikus ke lingkungan manusia juga

dapat dilakukan dalam upaya pengendalian leptospirosis (Kusmiyati et al., 2008).

Pencegahan melalui jalur penularan dapat dilakukan dengan mengurangi kontak

dengan sumber infeksi seperti air tercemar Leptospira, satwa liar dan hewan yang

terinfeksi atau hewan karier.Untuk kelompok individu beresiko tinggi dianjurkan

untuk memakai pakaian pelindung seperti sepatu bot, pakaian kerja/praktek dan

sarung tangan, untuk menghindari kemungkinan kontak dengan percikan urin, darah,

atau jaringan fetus waktu menolong kelahiran hewan.Pada manusia, pengobatan

terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik

bersamaan dengan pengobatan simtomatik dan terapi suportif.Selain itu diperlukan

35

Page 36: Cha Leptospirosis Fix

adanya pendekatan kepada masyarakat dan kelompok beresiko tinggi terinfeksi

Leptospira untuk meningkatkan pemahaman mengenai leptospirosis agar dapat

melakukan tindakan pencegahan penularannya (Kusmiyati et al., 2008).

B. Skema Kerangka Konseptual Dari Penyebab Masalah

36

LeptospirosisPengetahuan

Page 37: Cha Leptospirosis Fix

BAB V

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan metode wawancara

mendalam(indept interview).

2. Ruang Lingkup Kerja

Ruang lingkup kerja pada penelitian ini di wilayah cakupan Puskesmas Penkuncen

khususnya di Desa Cikembulan.

3. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

a. Populasi Target

Populasi target pada penelitian ini adalah warga Desa

CikembulanKecamatan Pekuncen.

b. Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah keluarga yang tinggal

serumah dengan penderita.

2. Subjek Penelitian

Responden diambildari semua anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan

penderita leptospirosis.

4. Faktor Yang Diteliti

Variabel yang diteliti adalah pengeathuan masyarakat tentang penyakit leptospirosis.

37

Page 38: Cha Leptospirosis Fix

5. Definisi Operasional

No.

Definisi Alat Ukur Cara Pengukuran

Skala

1. Pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptospirosis adalah masyarakat pernah mendengar tentang penyakit leptospirosis, mengetahui penyebab penyakit leptospirosis, mengetahui cara penularan leptospirosis, mengetahui hubungan pekerjaan dengan penyakit leptospirosis, mengetahui hubungan hewan piaraan dengan penyakit leptospirosis, mengetahui tanda dan gejala penyakit leptospirosis, mengetahui cara menanggulangi penyakit leptospirosis, dan mengetahui cara mencegah penyakit leptospirosis.

Kuesioner Wawancara dengan panduan kuesioner

Nominal-Kualitatif

6. Instrumen Pengambilan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan

merupakan jenis data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari

sumbernya.Kuesioner dan observasi langsung digunakan untuk mengetahui seberapa jauh

pengetahuan masyarakat mengenai penyakit leptospirosis. Pertanyaan yang terdapat pada

kuesioner meliputi pengetahuan responden tentang leptospirosis,gejala klinis, riwayat

pengobatan, riwayat pekerjaan, riwayat mandi, riwayat luka, kondisi lingkungan, riwayat

status gizi, riwayat sosial, kegiatan waktu senggang, riwayat penderita yang mengeluhkan

38

Page 39: Cha Leptospirosis Fix

demam di lingkungan sekitar pasien, keadaan penderita sekarang, dan hasil pemeriksaan

laboratorium.

7. Rencana Analisis Data

Analisis dan pengolahan data merupakan suatu langkah penting agar data hasil

wawancara penelitian mampu ditafsirkan oleh peneliti serta dibaca oleh orang lain.

Langkah-langkah analisis dan pengolahan data adalah sebagai berikut:

1. Transkrip Wawancara.

Transkrip wawancara adalah menulis hasil wawancara penelitian antara peneliti dan

informan.Transkrip wawancara dilakukan setelah selesai melakukan pengambilan

data penelitian.

2. Pengkodean Data (Coding).

Pengkodean data (coding) adalah memberikan tanda atau kode dalam setiap jawaban

informan.Pengkodean data dilakukan setelah peneliti menyelesaikan transkrip

wawancara penelitian. Selanjutnya peneliti menentukan topik atau tema-tema yang

akan dibahas lebih mendalam.

3. Penyajian Data.

Selanjutnya data disajikan ke dalam hasil dan pembahasan penelitian yang lebih

mendalam.Apabila dalam menyajikan data masih merasa ada data yang kurang, maka

peneliti dapat melihat kembali dalam pengkodean data (coding).

4. Penarikan kesimpulan/verifikasi.

Langkah berikutnya adalah pengambilan kesimpulan dan verifikasi terhadap data

yang telah disusun secara deskriptif.Kedua hal tersebut dapat dilakukan secara

bersamaan selama penelitian berlangsung. Data yang telah disajikan akan ditarik

kesimpulan sehingga menghasilkan informasi yang lebih jelas.

39

Page 40: Cha Leptospirosis Fix

BAB VI

HASIL DAN ANALISIS PENYEBAB MASALAH

A. Deskripsi Data Dasar

1. Proses penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 4 hari, yaitu tanggal 28 Sepetember 2012 sampai

1 Oktober 2012. Jumlah informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 6 orang,

namun, keluarga yang tinggal 1 rumah dengan Bapak Catung hanya 1 orang yaitu ibu

kandung informan. Pengambilan data pada penelitian ini dilaksankan pada tempat yang

berbeda, yaitu di rumah Bapak Catung dan di tempat bekerja Bapak Catung. Hal tersebut

dikarenakan ingin melihat keadaan lingkungan rumah dan tempat bekerja Bapak Catung

sebagai salah satu pertimbangan untuk mengetahui perbedaan faktor resiko.

Waktu pengambilan data berbeda. Durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan

wawancara adalah dari 11 menit 38 detik hingga 25 menit 23 detik. Keenam informan

dapat menyelesaikan wawancara dalam 1 sesi. Hasil wawancara ditulis ulang (transkripsi)

dan dibaca oleh tim peneliti untuk reduksi data dan proses coding (mencari kode dari kata-

kata atau kalimat informan). Proses tersebut dapat juga menentukan apakah ada tambhaan

informasi yang diperlukan. Bila ada informasi yang dirasa belum lengkap maupun

diperdalam, maka dilakukan wawancara lanjutan terhadap informan. Selanjutnya peneliti

menentukan tema-tema yang akan didiskusikan lebih dalam pada pembagian pembahasan.

2. Karakteristik informan

Karakteristik informan dalam penelitian ini cukup bervariasi. Dari segi jenis kelamin

sebagian besar adalah perempuan. Pendidikan terakhir informan sebagian besar lulusan

SD. Usia informan pada penelitian ini juga beragam, kisaran usia tersebut antara 30 tahun

sampai 60 tahun, dengan rerata 40 tahun. Karakteristik informan tersebut disajikan sesuai

dengan diagram dibawah ini :

40

Page 41: Cha Leptospirosis Fix

a. Pendidikan

17%

67%

17%

Pendidikan Informan

Tidak Lulus SD : 1Lulus SD : 4Lulus SMP : 1

Gambar 6.1. Karaktersitik Pendidikan Informan

Hasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan pendidikan terakhir tidak

lulus SD adalah 1 orang (16 %), lulus SD adalah 4 orang (67%), dan lulus SMP

adalah 1 orang (17%).

b. Usia

17%

50%

17%

17%

Usia Informan20 - 30 th : 130 - 40 th : 340 - 50 th : 1> 50 th : 1

Gambar 6.2. Karaktersitik Usia Informan

Hasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan usia 20 - 30 tahun adalah

1 orang (16%), usia 30 – 40 tahun adalah 3 orang (50%), usia 40 – 50 tahun adalah 1

orang (17%), dan usia lebih dari 50 tahun adalah 1 orang (17%).

41

Page 42: Cha Leptospirosis Fix

c. Jenis kelamin

38%

62%

Jenis Kelamin

Laki-laki : 2Perempuan : 4

Gambar 6.3. Karaktersitik Jenis Kelamin Informan

Hasil penelitian menunjukan bahwa informan dengan jenis kelamin laki-laki

adalah 2 orang ( 38%) dan jenis kelamin perempuan adalah 4 orang (68%).

B. Analisis Hubungan Faktor Penyebab

Hasil penelitian pengetahuan masyarakat tentang penyakit Leptospirosis

1. Pengalaman informan mendengar tentang penyakit Leptospirosis

17%

83%

Pernah mendengar : 1Tidak pernah mendengar : 5

Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang pernah mendengar tentang

penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.

42

Page 43: Cha Leptospirosis Fix

2. Pengetahuan informan tentang penyebab penyakit Leptospirosis

1; 17%

5; 83%

Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5

Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang penyebab

penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.

3. Pengetahuan informan tentang penularan penyakit Leptospirosis

1; 17%

5; 83%

Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5

Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang penularan

penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.

4. Pengetahuan informan tentang hubungan pekerjaan dengan penyakit Leptospirosis

1; 17%

5; 83%

Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5

Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang hubungan

pekerjaan dengan penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.

5. Pengetahuan informan tentang hubungan hewan piaraan dengan penyakit Leptospirosis

43

Page 44: Cha Leptospirosis Fix

1; 17%

5; 83%

Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5

Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang hubungan

piaraan dengan penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.

6. Pengetahuan informan tentang gejala dan tanda penyakit Leptospirosis

1; 17%

5; 83%

Mengetahui : 1Tidak mengetahui : 5

Hasil penelitian menunjukan hanya 1 orang yang mengetahui tentang gejala dan tanda

penyakit Leptospirosis diantara keluarga dan kerabat Bapak Catung.

7. Pengetahuan informan tentang cara menanggulangi penyakit Leptospirosis

Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan tidak mengetahui cara

menanggulangi penyakit Leptospirosis.

8. Pengetahuan informan tentang cara mencegah penyakit Leptospirosis

Hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh informan tidak mengetahui cara

mencegah penyakit Leptospirosis.

C. Pengambilan Kesimpulan Penyebab Utama Masalah

Berdasarkan hasil penelitian diatas. Dapat diketahui bahwa pengetahuan masyarakat

masih sangat rendah tentang penyakit leptospirosis. Pengetahuan tersebut diantaranya adalah

penyebab, cara penularan, hubungan pekerjaan dengan kejadian penyakit, hubungan hewan

piaraan dengan kejadian penyakit, gejala dan tanda, cara penganggulangan, dan cara

pencegahan penyakit leptospirosis, maka penyebab utama masalah kejadian penyakit

leptospirosis di Desa Cikembulan, Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas adalah

kurangnya pengetahuan msayarakat tentang penyakit leptospirosis.

44

Page 45: Cha Leptospirosis Fix

VII. RENCANA KEGIATAN (PLAN OF ACTION)

45

Page 46: Cha Leptospirosis Fix

A. Latar Belakang

Perilaku merupakan hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia

dengan lingkungannya. Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi

seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku dapat dibagi dua yaitu

perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behaviour). Perilaku tertutup

adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon

atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, dan

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus dan belum dapat diamati secara jelas

oleh orang lain. Bentuk perilaku terbuka (overt behavior) berupa respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut

sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati oleh

orang lain (Hurlock, 2002 dan Nursallam, 2003).

Pengetahuan yang kurang baik akan mengakibatkan sikap dan perilaku seseorang

menjadi kurang tepat dalam menanggapi suatu hal. Dan setelah dilakukan Community

Health Analysis di Desa Cikembulan, Kecamatan Pekuncen, faktor paling utama yang

menyebabkan terjadinya penyakit leptospirosis adalah faktor kurangnya tingkat pengetahuan

masyarakat mengenai penyakit leptospirosis. Untuk menyikapi rendahnya tingkat

pengetahuan masyarakat tentang penyakit leptopspirosis maka diperlukan suatu upaya

tertentu. Upaya yang dapat dilaksanakan sesuai dengan penentuan prioritas pemecahan

masalah adalah dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit leptospirosis dengan

harapan nantinya dapat mengubah pola pikir dan pola perilaku masyarakat Kecamatan

Pekuncen, hususnya Desa Cikembulan terkait dengan penyakit leptospirosis.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis diharapkan dapat meningkatkan

pengetahuan masyarakat dalam mencegah, mengenali faktor resiko, dan menangggulangi

tanda, gejala, kompilkasi dari penyakit leptospirosis di Desa Cikembulan, Kecamatan

Pekuncen.

2. Tujuan Khusus

46

Page 47: Cha Leptospirosis Fix

Tujuan dilakukannya penyuluhan adalah untuk meningkatkan jumlah masyarakat

yang mengetahui tentang :

a. Penyebab leptospirosis

b. Cara penularan leptospirosis

c. Hubungan pekerjaan dengan kejadian penyakit leptospirosis

d. Hubungan hewan piaraan dengan kejadian penyakit leptospirosis

e. Gejala dan tanda penyakit leptospirosis

f. Cara penganggulangan penyakit leptospirosis

g. Cara pencegahan penyakit leptospirosis.

C. Bentuk Kegiatan (Termasuk Materi Kegiatan)

Penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis yang terdiri dari pengertian, etiologi, cara

penyebaran, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis, serta upaya

pencegahan terhadap penyakit leptospirosis.

D. Sasaran

Warga desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen sebanyak 35 orang.

E. Pelaksanaan (Waktu dan Tempat)

a. Waktu : Senin, 8 Oktober 2012 jam 08.00 WIB

b. Tempat : Posyandu Khusnul Khotimah Desa Cikembulan Kecamatan Pekuncen

F. Anggaran

Pembuatan leaflet = Rp 50.000,00

Pembuatan surat edaran edukasi = Rp. 20.000,00

Snack = Rp 100.000,00

Doorprize = Rp 100.000,00

Total = Rp 270.000,00

47

Page 48: Cha Leptospirosis Fix

G. Evaluasi

1. Formatif

a. Mengevaluasi kesesuaian antara pemecahan masalah dengan masalah yang ada.

Berdasarkan hasil analisis masalah ternyata keluarga pasien memiliki pegetahuan

yang kurang tentang penyakit leptospirosis cara penyebaran penyakit, faktor-faktor

yang berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis, serta bagaimana cara mencegah

kejadian penyakit leptospirosis. Oleh sebab itu metode penyuluhan kepada keluarga

pasien dan masyarakat di lingkungan sekitar pasien, yaitu warga desa Cikembulan,

merupakan metode yang cukup tepat.

b. Anggaran kegiatan

Anggaran kegiatan yang digunakan dan perinciannya dalam pelaksanaan kegiatan

adalah :

Pembuatan leaflet = Rp 50.000,00

Pembuatan surat edaran edukasi = Rp 20.000,00

Snack = Rp 100.000,00

Doorprize = Rp 100.000,00

Total = Rp 270.000,00

Dengan demikian terdapat sisa penggunaan anggaran dana. Terjadi ketidaksesuaian

rencana anggaran dengan saat pelaksanaan kegiatan

2. Promotif

Mengevaluasi pelaksanaan program yang meliputi :

a. Waktu pelaksanaan kegiatan

Pelaksanaan kegiatan berjalan tepat waktu sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat

yaitu pukul 08.30 WIB.

b. Jumlah peserta yang ditargetkan

Jumlah peserta yang hadir dengan yang ditargetkan mengalami kesesuian. Jumlah

peserta yang hadir sebanyak 35 orang.

BAB IX

48

Page 49: Cha Leptospirosis Fix

LAPORAN HASIL PELAKSANAAN

Kegiatan penyuluhan tentang leptospirosis berupa pemberian informasi kepada kader dan

sebagian masyarakat Desa Cikembulan yang diselenggarakan pada hari Senin, 8 Oktober

2012 pukul 08.30 – 10.00 di Posyandu Khusnul Khotimah Desa Cikembulan Kecamatan

Pekuncen.

Sebelum penyuluhan dimulai, peserta yang datang mendaftarkan diri kepada ibu bidan

desa Cikembulan yang merupakan pengurus posyandu Khusnul Khotimah. Kemudian peserta

diberikan kegiatan penyuluhan mengenai leptospirosis. Media yang digunakan adalah laptop

yang memuat gambar-gambar serta slide penjelasan penyakit leptospirosis dan lembar balik

mengenai leptospirosis. Para peserta menunjukkan antusiasmenya selama penyuluhan

berlangsung. Dalam kesempatan itu pula, peserta diberi kesempatan untuk bertanya tentang

hal-hal yang belum dipahami. Peserta sangat aktif untuk bertanya ketika diberikan

kesempatan untuk bertanya.

Acara penyuluhan ini diakhiri dengan pemberian soal untuk mengetahi sejauhmana para

peserta memahami yang telah diberikan mengenai penyakit leptospirosis, bagi peserta yang

dapat menjawab akan diberikan hadiah sebagai bentuk penghargaan atas perhatiannya selama

mengikuti penyuluhan. Kegiatan dilanjutkan dengan acara tanya jawab mengenai berbagai

penyakit dan segera dikonsultasikan dengan dokter puskesmas yang saat itu berkenan hadir

menemani penyuluhan mengenai penyakit leptospirosis.

Pelaksanaan penyuluhan ini tidak terlepas dari beberapa kendala. Kendala yang

dihadapi diantaranya adalah kurang kondusifnya suasana ketika penyuluhan, dikarenakan

para peserta membawa balita mereka yang kadang-kadang rewel, sehingga terdapat peserta

yang kurang memperhatikan isi penyuluhan. Selain itu media yang digunakan (berupa laptop

tanpa penggunaan LCD) dirasa kurang memadai sehingga mungkin dapat mengurangi

maksud dan isi penyampaian tentang penyakit leptospirosis. Peserta yang mengikuti

penyuluhan ± 35 orang.

BAB X

49

Page 50: Cha Leptospirosis Fix

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Masalah kesehatan yang sekarang menjadi fokus perhatian oleh semua pihak adalah kasus

Leptospirosis yang menjadi Kejadia4 Luar Biasa (KLB).

b. Masalah utama yang ada pada daerah tersebut adalah Kejadian Luar Biasa (KLB) yang

menjadi perhatian semua pihak.

c. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pengetahuan

masyarakat tentang penyakit Leptospirosis sehingga secara tidak langsung menjadi

penyebab terjadinya kasus Leptospirosis.

d. Penyuluhan dan pembagian leaflet tentang penyakit Leptospirosis menjadi alternatif yang

dilakukan.

e. Tujuan penyuluhan dan pembagian leaflet adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat

tentang penyakit Leptospirosis sehingga diharapkan dapat mempengaruhi sikap para

masyarakat untuk dapat melakukan tindakan preventif (pencegahan).

f. Kegiatan penyuluhan ini dianggap berhasil, karena sebagian besar peserta penyuluhan

dapat menjawab pertanyaan yang diajukan seputar penyakit Leptospirosis.

2. Saran

Berkaitan dengan adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus Leptospirosis pada wilayah

kerja Puskesmas Pekuncen maka disarankan pada para tenaga kesehatan agar lebih

meningkatkan promosi kesehatan tentang usaha pencegahan penyakit Leptospirosis. Hal ini

dapat dititik beratkan pada bidan dan kader kesehatan desa. Bidan dan kader kesehatan desa

diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat dan memonitoring upaya preventif

(pencegahan) terhadap penyakit Leptospirosis setiap minggunya melalui kerja bakti di Desa

masing-masing. Harapan peneliti, dengan adanya penyuluhan tersebut, para peserta juga

dapat mebagikan pengetahuan serta informasi yang didapat kepada kerabat, tetangga, maupun

masyarakat lainnya sehingga tidak ada lagi kasus Leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas

Pekuncen.

LAMPIRANFoto Kegiatan POA (Plan Of Action)

50

Page 51: Cha Leptospirosis Fix

Gambar 1. Penyuluhan materi leptospirosis

Gambar 2. Warga dan kader kesehatan yang sedang mendengarkan materi

51

Page 52: Cha Leptospirosis Fix

Gambar 3. Penjelasan materi oleh dr. Nurul Eka Santi (Dokter Puskesmas Pekuncen)

Gambar 4. Sesi tanya jawab dengan peserta penuluhan

52

Page 53: Cha Leptospirosis Fix

Gambar 5. Sesi penyerahan doorprize kepada peserta penyuluhan

Gambar 6. Sesi penyerahan doorprize kepada peserta penyuluhan

53

Page 54: Cha Leptospirosis Fix

DAFTAR PUSTAKA

Bajani DM, Ashford AD, Bragg LS, Woods WC, Aye T, Spiegel AR, Plikaytis DB, Perkins AB,

Phelan M, Levett NP, Weyant SR. 2002. Evaluation of Four Commercially Available

Rapid Serologic Tests for Diagnosis of Leptospirosis.Journal of Clinical Microbiology.

(41) : 802-809.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2004. Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan

Kabupaten/ Kota Provinsi Jawa tengah. Availble: SPM

http://www.jawatengah.go.id/dinkes/new/SPM/lamp1.htm. diakses: 20 September 2012.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2005. Spot Survey Leptospirosis di Kabupaten Demak

dan Semarang.

Dutta TK, Christopher M. 2005. Leptospirosis- Jawaharlal Institute of Postgraduate Medical

Education and Research.Review Article. (53) : 545-551.

Esen Saban. 2004. Impact of Clinical and Laboratory Findings on prognosis in Leptospirosis.

Swiss Medical Weekly. (40) : 347-352.

Fransiska B. 2008. Manifestasi Klinis dan Laboratoris Gangguan Perdarahan Pada Penderita

Leptospirosis Berat.Karya Tulis Ilmiah.Program Pendidikan SarjanaFakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro.

Gasem MH. 2002. Gambaran Klinik dan Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.Kumpulan

Makalah Simposium Leptospirosis.Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Institute for International Cooperation in Animal Biologics (OIE), The Center For Food Security

and Public Health College of Veterinary Medicine Lowa State Univesity. 2005.

Leptospirosis Institute for International Cooperation in Animal Biologics. Diunduh di

http://www.cfsph.iastate.edu.Pada tanggal 21 September 2012.

Kusmiyati, Noor MS, Supar. 2008. Leptospirosis Pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Balai

Penelitian Veteriner. Pusat Penelelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Lau C, Smythe L, Weinstein L. 2009. Leptospirosis: An emerging disease in travelers. The

Journal of Travel Medicine and Infectious Disease. (12) : 33- 40.

Levett. 2001. Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews. (32) : 296-326.

Levetta NP. 2003. Usefulness of Serologic Analysis as a Predictor of the Infecting Serovar in

Patients with Severe Leptospirosis. Major Article. (36) : 447-452.

54

Page 55: Cha Leptospirosis Fix

Hurlock, 2002. Pengetahuan dan Perilaku Manusia. Psikologi Perkembangan. Edisi 5. Jakarta:

EGC.

Meites E, Jay TM, Deresinski S, Shieh JW, Zaki RS, Tompkins L, Smith SD. 2004.

Reemerging Leptospirosis California.Article. (10) : 406-412.

Moleong JL. 2002. Menyusun Rancangan Penelitian Kualitatif. Metodologi Penelitian Kualitatif.

Remaja Rosdakarya, Bandung :85-86 hal.

Nursallam,2003.Pengetahuan dan Perilaku Manusia.Pendidikan dan Perilaku Kesehatan,

Cetakan Kedua. Rineka Cipta: Jakarta.

Panaphut T, Domrongkitchaiporn S, Vibhagool A, Thinkamrop B, Susaengrat B. 2003.

Ceftriaxone Compared with Sodium Penicillin G for Treatment of Severe Leptospirosis.

Major Article. (36) : 1507-1513.

Priyanto A, Hadisaputro S, Santoso L, Gasem H, Adi S. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang

Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis.Tesis.Program Magister Epidemiologi

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Ristiyanto. 2006. Leptospirosis di Dataran rendah Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Studi

Epidemiologi.

Sastroasmoro S, Sofyan I. 2008.Menyusun Proposal Penelitian.Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Binarupa Aksara, Jakarta : 78-83 hal.

Sejvar J, Bancroft E, Winthrop K, Bettinger J, Bajani M, Bragg S, Shutt K, Kaiser R, Marano N,

Popovic J, Tappero, Ashford D, Mascola L, Vugia D, Perkins B, Rosenstein N.

2003.Leptospirosis in “Eco-Challenge” Athletes, Malaysian Borneo, 2000.The Journal of

Infectious Diseases.(9) : 702-707.

Soedin K, Syukran OLA. 1996. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi ke 3.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI : 477-482 hal.

Sugiyono. 2010. Populasi dan Sampel Pada Penelitian Kualitatif. Memahami Penelitian

Kualitatif. Alfa Beta, Bandung : 49-52 hal.

Suratman.2006. Analisis Faktor Risiko Lingkungan Dan Perilaku Yang Berpengaruh Terhadap

Kejadian Leptopirosis Berat Di Kota Semarang.Karya tulis Ilmiah.Program pendidikan

Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro Semarang.

Wang Z, Jin L, Wegrzyn A. 2007. Leptospirosis vaccines.Microbial Cell Factories Biomed

Central.(6) : 1-10.

55

Page 56: Cha Leptospirosis Fix

WHO. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control, Geneva, 2003.

Widarso HS dan Wilfried P. 2002.Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam penanggulangan

Leptospirosis di Indonesia.Kumpulan Makalah Symposium Leptospirosis.Badan Penerbit

Universitas Diponegoro Semarang.

Zein U. 2006.Leptospirosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Edisi IV Jilid III. Jakarta : EGC, 1823-1826 hal.

56