BAB I
PENDAHULUAN
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung keratin,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
oleh jamur golongan dermatofita, yaitu Tricophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton (Adhi, 2009).
Berdasarkan tempat infeksi dibedakan menjadi :
1. Tinea kapitis : berada di rambut dan kulit kepala
2. Tinea fasial : berada diwajah
3. Tinea barbae : berada di dagu dan janggut
4. Tinea corporis et cruris : berada di tangan dan badan
5. Tinea cruris : berada di daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang
hingga perut bagian bawah
6. Tinea unguium : berada di kuku
Tinea corporis et cruris merupakan infeksi dermatofitosis yang sering berada
dilapisan kulit yang tidak berambut (glabrous skin) di badan dan tangan serta di
daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang hingga perut bagian bawah.
Tinea corporis et cruris banyak diderita oleh semua umur, terutama lebih sering
menyerang orang dewasa, terutama pada orang-orang yang kurang mengerti
kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak berkeringat serta
kelembaban kulit yang lebih tinggi. Lebih sering menyerang pria daripada wanita.
Tersebar ke seluruh dunia, terutama pada daerah tropis, dan insidensi meningkat
pada kelembaban udara yang tinggi (Fitzpatrick, 2007).
Tinea corporis et cruris dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi
lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang sering disebut dengan Central
Healing (Adhi, 2009). Cara penularan dapat langsung maupun tidak langsung.
Terapi tinea corporis et cruris direkomendasikan untuk infeksi lokal karena
dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Pada masa kini selain obat-obat topical
1
konvensional, misalnya asam salisil 2-4%, asam benzoate 6-12%, berbagai
macam preparat imidazol dan alilamin yang tersedia dalam berbagai formulasi.
Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang
digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan
klinik yang tinggi.
Dalam pengobatan sistemik menurut pedoman yang dikeluarkan oleh
American Academy of Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ)
sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan
dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien
tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.
2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tinea corporis et cruris adalah Infeksi jamur pada kulit halus (glabrous
skin) didaerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai dan pantat (glutea)
yangdisebabkan jamur dermatofita spesies Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton (Adhi, 2009).
B. Patogenesis
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur,
misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel, tempat-tempat kotor
dan lain-lain
Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam
jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang
berdifusi ke dalam jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan.
Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit yang sirsinar dengan batas yang jelas dan
meninggi. Reaksi kulit semula berbentuk papul kemudian berkembang
menjadi suatu reaksi peradangan berupa suatu dermatitis (Adhi, 2009).
C. Gejala Klinis
Tinea corporis et cruris merupakan lesi anular, bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel
dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang (tanda peradangan
lebih jelas pada daerah tepi) yang sering disebut dengan central healing. Tapi
kadang juga dijumpai erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan
yang lain. Kelainan kulit dapat juga terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir
yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Selain itu lesi
3
dapat berupa arsiner, atau sinsiner. Bila tinea corporis et cruris ini menahun
tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya meningggalkan daerah-
daerah yang hiperpigmentasi dan skuamasi saja. Kelainan-kelainan ini dapat
terjadi bersama-sama dengan tinea kruris.
Pada tinea corporis et cruris keluhan utama adalah rasa gatal yang dapat
hebat. Lesi umumnya bilateral walaupun tidak simetris, berbatas tegas, tepi
meninggi yang dapat berupa bintil-bintil kemerahan atau lenting-lenting
kemerahan, atau kadang terlihat lenting-lenting yang berisi nanah. Bagian
tengah menyembuh berupa daerah coklat kehitaman bersisik. Lesi aktif,
polisiklik, ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel
kecil-kecil. Biasanya disertai rasa gatal dan kadang-kadang rasa panas.
Garukan terus-menerus dapat menimbulkan gambaran penebalan kulit. Buah
zakar sangat jarang menunjukkan keluhan, meskipun pemeriksaan jamur
dapat positif. Apabila kelainan menjadi menahun maka efloresensi yang
nampak hanya makula yang hiperpigmentasi disertai skuamasi dan
likenifikasi (Adhi, 2009).
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesa
Dari anamnesa didapatkan rasa gatal yang sangat mengganggu, dan
gatal bertambah apabila berkeringat. Karena gatal dan digaruk, maka
timbul lesi sehingga lesi bertambah meluas, terutama pada kulit yang
lembab.
2. Gejala klinis yang khas
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada kerokan kulit dengan KOH 10-20% bila positif
memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora (hifa
yang bercabang) yang khas pada infeksi dermatofita (Siregar, 2004).
4
E. Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
a. Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang
berlebihan.
b. Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan menghindari
pakaian yang panas dan tidak menyerap keringat (karet, nylon).
c. Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing,
anjing, atau kontak pasien lain (Adhi, 2009; Siregar, 2004).
2. Medikamentosa
a. Topikal
- Derivat azol misalnya mikonazol 2%, klotrimasol 1%,
ketokonazol 1%
- Asam benzoate 6-12%
- Asam salisilat 2-4%
- Salep Whitfield ( asam benzoat + asam salisilat)
b. Sistemik
- Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak
10-25 mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea
corporis et cruris adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau
bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
- Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan
derivat azol :
a) Ketokonazol 200 mg per hari selama 2-4 minggu pada pagi
hari setelah makan.
b) Itrakonazol 100-200 mg/hari selama 2-4 minggu atau 200
mg/hari selama 1 minggu.
c) Flukonazol 150 mg 1x/mgg selama 2-4 minggu.
d) Terbinafin 250 mg/hari selama 1-2 minggu (Adhi, 2009;
Siregar, 2004).
5
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. RW
Umur : 38 tahun
Alamat : -
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 16 November 2012
No. RM : 214211
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sakit kepala.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 38 tahun menjalani rawat inap di bagian interna
RSUD Karanganyar dengan keluhan sakit kepala oleh karena hipertensi
yang telah lama dideritanya. Selain itu, pasien juga mengeluhkan gatal di
bagian pantat, tangan, dan kaki. Keluhan gatal tersebut dirasakan terus-
terusan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien pernah berobat di poliklinik kulit
dan kelamin RSUD karanganyar 4 bulan yang lalu dengan keluhan
serupa, pasien mengaku sudah diberikan obat namun pasien tidak
kontrol. Pasien kemudian mengaku pernah membeli obat gatal di apotik
dan diminum tanpa petunjuk dari dokter. Tidak hanya itu, pasien juga
mempunyai kebiasaan mengoleskan hand body marina dan bedak salicyl
serta menggunakan sabun mandi detol.
6
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit serupa : Diakui (kambuh-kambuhan sejak
± 1 tahun yang lalu)
b. Riwayat hipertensi : Diakui
c. Riwayat diabetes melitus : Disangkal
d. Riwayat asma : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa : Diakui (pada istri pasien)
b. Riwayat hipertensi : Disangkal
c. Riwayat diabetes melitus : Disangkal
d. Riwayat asma : Disangkal
e. Riwayat alergi : Disangkal
5. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
Pasien mengaku pernah membeli obat gatal di apotik dan diminum
tanpa petunjuk dari dokter. Pasien mengoleskan hand body marina dan
bedak salicyl serta menggunakan sabun mandi detol.
6. Riwayat Higiene
a. Pasien mandi 2 kali sehari dengan air sumur dan memakai sabun
detol.
b. Pasien ganti pakaian setiap setelah mandi.
c. Pasien tidak memelihara hewan dirumah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata
Keadaan umum : Baik
Kesadaran umum : Compos mentis, GCS 15
Tekanan Darah : 170/100 mmHg
7
2. Status Lokalis
Inspeksi (UKK)
- Pada tangan terdapat patch eritematosa multipel berbatas tegas,
dengan skuama.
- Pada kaki terdapat makula dan patch eritematosa, berbatas tegas,
dengan skuama dan krusta, multipel.
8
- Pada pantat terdapat patch eritematosa multipel berbatas tegas,
dengan skuama dan krusta.
9
IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Uji KOH 10%
V. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Kerja
- Tinea corporis et cruris
2. Diagnosis Banding
- Pitiriasis Rosea
VI. PENATALAKSANAAN
1. Nonmedikamentosa
- Perlu dijelaskan kepada pasien bahwa garukan akan memperburuk
keadaan penyakitnya, maka sebisa mungkin harus dihindari.
- Pasien dianjurkan untuk tidak mengolesi dengan bahan lain selain
obat yang diberikan oleh dokter.
- Pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan badan.
- Pasien dianjurkan untuk memakai pakaian dengan bahan yang
menyerap keringat.
10
2. Medikamentosa
Sistemik
- Interhistin 2x50 mg
- Griseofulvin 500 mg selama 3 – 4 minggu
Topikal
- Salep ketokonazole cream 10 mg dioles 2 kali sehari (pagi dan sore
pada lesi yang terbuka)
VII.PROGNOSIS
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad malam
Quo ad Fungsionam : ad bonam
Quo ad Cosmeticum : dubia ad malam
VIII. FOLLOW UP
1. Tanggal 24 November 2012
- Pada tangan terdapat patch eritematosa multipel berbatas tidak
tegas dengan skuama halus.
11
- Pada kaki terdapat patch eritematosa multipel berbatas tegas,
dengan skuama dan krusta.
- Pada pantat terdapat patch dan makula eritematosa multipel
berbatas tegas, dengan skuama dan krusta.
12
2. Tanggal 30 November 2012
- Pada tangan terdapat makula multipel berbatas tidak tegas,
dengan skuama halus.
- Pada kaki terdapat makula dan patch eritematosa multipel
berbatas tegas dengan skuama dan krusta.
13
- Pada pantat terdapat makula dan patch multipel berbatas tidak
tegas, dengan skuama halus.
14
BAB IVPEMBAHASAN
Pasien pada kasus ini adalah Tn. RW laki-laki usia 38 tahun dengan pekerjaan
sehari-hari sebagai petani yang merupakan pasien Jamkesmas. Tn. RW menjalani
rawat inap di bagian interna RSUD karanganyar dengan keluhan sakit kepala
karena hipertensi grade II.
Selama masa perawatan, pasien mengeluhkan gatal gatal di seluruh tubuh.
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan resume masalah
antara lain :
1. Anamnesis
a. Keluhan gatal di seluruh tubuh, kambuh-kambuhan sejak 1 tahun yang
lalu.
b. Pada riwayat pengobatan pasien mengaku pernah membeli obat gatal di
apotik tanpa petunjuk dari dokter tetapi tidak sembuh.
c. Pasien mengaku mengoleskan hand body marina dan bedak salicyl.
d. Didapatkan riwayat keluhan serupa pada istri.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada tangan tampak patch eritematosa multipel berbatas tegas dengan
skuama dan erosi.
b. Pada kaki tampak makula dan patch eritematosa multipel berbatas tegas
dengan skuama serta lesi papul bulat dengan erosi.
c. Pada pantat tampak patch eritematosa multipel berbatas tegas dengan
skuama serta lesi papul bulat dengan erosi.
3. Pemeriksaan Lab
Dari hasil kerokan kulit dengan uji KOH 10% tidak didapatkan spora.
Berdasarkan resume tersebut maka disimpulkan bahwa pasien menderita
infeksi dermatofitosis jenis tinea corporis et cruris. Predileksi tinea corporis et
cruris berhubungan dengan faktor perilaku, kebersihan diri, dan lingkungan.
Pekerjaan pasien sebagai petani, bisa menjadi risiko terjadinya Tinea Corporis
15
yaitu karena penularan secara tidak langsung maupun karena hawa panas dan
produksi keringat yang banyak saat disawah yang dapat membuat lebih mudah
jamur tumbuh.
Kondisi Tn. RW mungkin juga diperparah karena pasien sering memakai
Handbody (marina), yang mengandung bahan pengawet formadehid sehingga
dapat menyebabkan iritasi kulit.
Berdasar anamnesis didapatkan keluhan serupa pada istri pasien, hal ini
membuktikan bahwa penyakit bisa ditularkan ke orang lain baik melalui kontak
langsung maupun tidak langsung, contohnya karena memakai handuk yang sama.
Pasien dahulu pernah diberi obat oleh karena keluhan serupa, meskipun
pasien lupa dengan nama obat tersebut, namun bisa diduga pasien diberikan obat
antimikotik, topikal atau sistemik.
Terapi untuk Tn. RW pada kasus ini diberikan :
1. Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat dari penicillium griceofulvum, digunakan
pada infeksi dermatofit genus Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton.
Bersifat fungistatik bekerja di inti sel jamur, menghambat mitosis sel jamur
pada stadium metafase, tapi obat ini mempunyai efek gangguan digestif
(nausea, vomitus, dan diare). Penyerapan obat sebaiknya dimakan dengan
makanan berlemak. Harga obat ini cenderung lebih murah, efek obat biasanya
muncul setelah 3 minggu pemberian
2. Ketokonazol 2% topikal merupakan turunan urunan imidazol dan klotrimazol.
Obat ini bersifat dalam air pada PH asam.
Pasien ini setelah diberikan obat selama 2 minggu, belum menunjukan
perubahan yang signifikan, dikarenakan berbagai faktor meliputi :
1. Pemakaian obat griseofulvin yang seharusnya dengan makanan berlemak tidak
pernah dilakukan, sehingga efek obat sangat lambat.
2. Efek samping obat griseofulvin yang menyebabkan gangguan pada
pencernaan membuat pasien merasa enggan untuk rutin meminumnya. Pada
16
follow up II diketahui pasien masih menyimpan obat yang seharusnya sudah
habis diminum.
3. Pasien saat dilakukan follow up ke II, pasien tampak sakit dan mengaku
demam selama 4 hari sehingga berobat ke Bidan desa. Dari Bidan desa,
pasien diberikan beberapa obat salah satunya adalah yang kortikosteroid
(dexametason). Kortikosteroid memiliki efek imunosupresan perbaikan UKK
pada pasien ini progresifitasnya lambat Selain itu juga kortikosteroid
membuat gejala gatal dan proses inflamasi pada jamur jadi samar-samar yang
disebut Tinea Inkognito.
.
17
BAB V
KESIMPULAN
1. Tn. RW yang merupakan pasien pada kasus ini didiagnosis dengan Tinea
corporis et cruris.
2. Pekerjaan pasien sebagai petani dapat membuat pasien sulit untuk sembuh
dikarenakan hawa panas dan produksi keringat yang berlebihan.
3. Pemberian terapi dengan griseofulvin karena pertimbangan kondisi ekonomi
pasien.
4. Perbaikan UKK pasien berjalan lambat karena penggunaan obat yang.tidak
teratur dan tidak tepat karena tidak diminum bersamaan dengan makanan
berlemak untuk mengoptimalkan penyerapan obat.
5. Pemakaian kortikosteroid yang bersifat imunosupressan pada saat terapi Tinea
membuat jamur lebih mudah hidup dan gejala penyakit yang dapat diamati
menjadi samar-samar.
18
DAFTAR PUSTAKA
Adhi, Djuanda, 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi V. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : EGC
Fitzpatrick T.B., Johnson R.A., Wolff K., Suurmond D., 2007. Colour atlas
and synopsis of clinical dermatology. Athed New York : Mc graw hill.
Siregar, 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi II. Jakarta :
EGC
19