Download - Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Transcript
Page 1: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Kasus Kecil

Hemoptoe e.c TB Paru dengan Diabetes Melitus

Dokter Pembimbing:

Dr. Luluk ADipratikto, Sp.P, M.Kes

Disusun oleh:

Alexandra

11.2014.136

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Periode 7 September - 14 November 2015

RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU

1

Page 2: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada praktik klinik hemoptysis merupakan suatu gejala yang umum yang memerlukan

investigasi lebih lanjut. Hemoptysis di definisikan sebagai ekspektorasi darah yang berasal

dari traktus respiratori bagian bawah. Hemoptysis massive merupakan ekspektorasi darah

dengan jumlah yang banyak dan/atau perdarahan yang deras. Hemoptisis terdapat 2 yaitu

hemoptysis massive dan non-massive, untuk membedakan hemoptysis massive atau non

massive, dapat dilihat dari volume darah yang keluar selama 24 jam, walaupun masih

kontroversial, perkiraan darah 100-1000 ml dapat dikatakan sebagai hemoptysis massive.

Volume perdarahan yang dikeluarkan tidak sepantasnya dijadikan sebagai patokan hemotisis

massive, tetapi sebaiknya dilihat dari jumlah darah yang dapt menyebabkan kegawatan pada

tiap perorangan. Penyebab kematian dari hemoptysis lebih sering dikarenakan asfiksia akibat

terisinya saluran nafas dengan darah, daripada kkarena perdarahannya sendiri. Angka

mortalitas dari hemoptysis adalah lebih dari 50%. Karena itu diperlukan pegenalan cepat dan

tepat pada hemoptysis yang parah dan identifikasi penyebab untuk penatalaksanaan yang

adekuat untuk menghindari komplikasi.1-3

Penyebab hemoptysis yang paling sering adalah TB squele (22%), bronkiektasis

(15%), kanker paru (13.9%), TB paru (10%), penyebab tidak diketahui (6.3%).3 Tuberculosis

paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal pada

manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal di daerah urban, lingkungan yang

padat. Penyakit ini dapat mengenai hampir seluruh tubuh manusia, tetapi yang paling banyak

adalah organ paru. 4, 5

2

Page 3: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemoptisis

2.1.1 Definisi Hemoptisis

Hemoptysis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari traktus respiratory bawah.

Biasanya dapat berhenti sendiri, tetapi kurang dari 5% kasus dapat menjadi massive

hemoptysis, yang merepresentasi suatu kondisi yang mengancam nyawa yang membutuhkan

investigasi dan penatalksanaan segera. Hemoptysis massive merupakan ekspektorasi darah

dengan jumlah yang banyak dan/atau perdarahan yang deras. Untuk membedakan hemoptysis

massive atau non massive, dapat dilihat dari volume darah yang keluar selama 24 jam,

walaupun masih kontroversial, perkiraan darah 100-1000 ml dapat dikatakan sebagai

hemoptysis massive.1 Ada juga sumber yang mengatakan massive hemoptysis diukur dari

perkiraan daran 100-600 ml dalam 24 jam.2

2.1.2 Etiologi Hemoptisis

Penyebab hemoptysis dapat di kategorikan dari penyakit parenkim, penyakit saluran

nafas, dan penyakit vascular. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah kecil atau besar

di paru. Perdarahan dari pembuluh darah kecil biasanya menyebabkan alveolar hemoragik

yang fokal atau difus, dan biasanya disebabkan oleh imunologik, vaskulitik, kardiovaskular,

dan karena penyebab factor koagulan. Bila perdarahan berasal dari pembuluh darah besar

dapat disebabkan dari infeksi, kardiovaskular, kongenital, neoplastic, dan penyakit vaskulitik.

Tetapi penyebab tersering hemoptysis adalah bronkiektasis, tuberculosis, infeksi jamur, dan

kanker.1

Beberapa penyebab hemoptysis:1,2

1. Perdarahan berasal dari trakeal-bronkial

- Bronkiektasis

- Neoplasma

- Kaoposi’s sarcoma

- Bronkial carcinoid

- Bronchitis akut dan kronis

- Trauma jalan nafas

- Benda asing

3

Page 4: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2. Perdarahan berasal dari parenkim paru

- Pneumonia

- Abses paru

- Tuberkulosis

- Cystic fibrosis

- Infeksi parasite (hydatid cyst, paragonimiasis)

3. Perdarahan dari vaskularisasi paru

- Emboli pulmo

- Peningkatan tekanan vena pulmo(miltral stenosis,gagal ventrikel kiri,aneurisma

aorta)

- Malformasi arteriovena

- Rupture arteri pulmo

4. Lain-lain

- Endometriosis pulmo

- Koagulopati sistemik (leukemia, hemophilia, DIC, trombositopenia)

2.1.3 Patofisiologi hemoptisis

Suplai darah pada paru berasal dari arteri pulmonary dan arteri bronkial. Arteri

pulmonary memberikan 99% darah arterial pada paru dan ikut serta dalam pertukaran gas.

Arteri bronkial mensuplai nutrisi pada saluran nafas ekstra dan intrapulmoner serta pada

arteri pulmoner (vasa vasorum) tanpa ikut serta dalam pertukaran gas, selain itu juga limfe

node dan persarafan mediastinal, pleura visceral, esophagus, vasa vasorum aorta, dan vena

pulmoner. Ketika terjadi gangguan pada sirkulasi pulmoner, suplai dari arteri bronkial akan

meningkat perlahan menyebabkan peningkatan aliran pada pembuluh anastomosis, sehingga

menjadi hipertrofik dengan dinding pembuluh yang tipis dan mudah pecah, sehingga

menyebabkan hemoptysis. Sama halnya dengan yang terjadi pada inflamasi kronis, pelepasan

angiogenic growth factor menyebabkan neovaskularisasi dan remodeling pembuluh darah

pulmoner yang tersambung dengan pembuluh darah kolateral sistemik. Pembuluh darah baru

ini lebih rapuh dan cenderung untuk mudah pecah.1 Perdarahan yang terjadi pada tempat-

tempat tersebut akan merangsang reseptor sensorik yang dipersarafi cabang aferen reflex

batuk (nervus cranial V, X, XII, dan nervus laryngeal superior), rangsangan akan diteruskan

ke cabang eferen (nervus laryngeal rekuren dan nervus spinal) sehingga terjadi batuk lalu

darah akan dikeluarkan dengan atau tanpa sekret.2

4

Page 5: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2.1.4 Manifestasi klinik penyakit penyebab hemoptisis

Riwayat penyakit pasien dengan batuk kronis, penurunan berat badan, keringat

malam, dan kontak dengan pasien TB dapat mengarah ke diagnose TB. Bila diccurigai

adanya factor imunosupresi dan HIV; dapat dicurigai TB, neoplasma, dan Kaposi’s sarcoma.

Bila ditemukan onset demam yang akut, disertai dengan batuk, dan nyeri dada dapat dicurigai

pneumonia bakteri atau viral. Sedangkan riwayat sputum purulent yang banyak dapat

dicurigai bronkiektasis atau abses paru. Adanya nyeri dada pleuritic dan nyeri betis, fixed

split S2, pleural friction rub, edema dapat mengarah ke infark atau emboli paru. Riwayat

merokok dapat menjadi factor risiko kanker bronkial, bronchitis kronis, dan PPOK. Riwayat

pekerjaan terpapar asbestos dapat menjadi factor risiko kanker bronkial. Bila ditemukan

dyspnea de effort, orthopnoea, paroxysmal nocturnal dyspnea dengan sputum pink berbusa,

takikardi, peningkatan JVP, S3 gallop, murmur jantung, ronki basah bilateral, dapat dicurigai

gagal jantung atau mitral stenosis. Riwayat berpergian dapat merujuk ke diagnose TB atau

infeksi parasite. Bila ada penggunaan antikoagulan dapat dicurigai penyebabnya adalah

iatrogenic. Bila ditemukan cachexia, clubbing fingers, suara serak, atau Cushing’s syndrome

dapat dipikirkan adanya keganasan paru. Clubbing fingers juga dapat menjurus ke

bronkiektasis, abses paru, atau penyakit paru kronis yang parah. Bila ditemukan demam,

takipneu, hypoxia, barrel chest, pursed lips breathing, wheezing, perkusi timpani, dan suara

jantung yang jauh, dapat diduga adanya bronchitis kronis eksaserbasi akut. Bila ditemukan

gingivitis mulberry, saddle nose, dan perforasi nasal septum, dapat diduga Wegener’s

granulomatosis.2

2.1.5 Diagnosis hemoptisis

Bronkoskopi telah di pertimbangkan sebagai metode utama untuk mendiagnosa dan

melokalisasi hemoptysis terutama pada hemoptysis massive. Dapat digunakan bronkoskopi

yang kaku atau yang lentur. Pada penelitian bronkoskopi dikatakan dapat menemukan lokasi

perdarahan pada pasien dengan hemoptysis yang moderat sampai yang parah, daripada pada

hemoptysis ringan.1,3

5

Page 6: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Multidetector Computed Tomographic Angiography (MDCTA) juga salah satu sarana

non invasive yang dapat digunakan untuk mengevaluasi parenkim paru, saluran nafas, dan

pembuluh darah thoracic dengan menggunakan kontras. MDCTA dapat melokalisasi tempat

perdarahan dengan presentase 63%-100%. Dan mempunyai kelebihan untuk menemukan

penyebab perdarahan, dan mempunyai sensitivitas 90% untuk mengidentifikasi

endobronchial lesi.1,3 Investigasi untuk penyebab hemoptysis, dapat dilakukan pemeriksaan

kultur spututm, pemeriksaan dengan pewarnaan gram, dan pewarnaan Ziehl Neelsen, dan

dapat dilakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendiagnosa TB

dengan cepat. 2

Untuk membedakan darah yang keluar berasal dari traktus respiratorius atau dari

traktus gastrointestinal dapat dilihat dari penampakan darahnya, dimana darah yang berasal

dari traktus gastrointestin berwarna merah gelap dengan pH asam. Sebaliknya darah yang

berasal dari traktus respiratorius berwarna merah serang dengan pH alkali.2

Gambar 1. Diagnosis massive hemoptysis.1

6

Page 7: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Gambar 2. Diagnosis Nonmassive Hemoptisis.1

2.1.6 Penatalaksanan Hemoptisis

Pengobatan hemoptysis massif tergantung volume darah yang dibatukkan, penyebab

perdarahan serta kondisi penderita. Tujuan pengeobatan adalah mencegah terjadinya aspirasi,

penghentian perdarahan, dan menatalaksanai penyebab yang mendasari. Dikarenai aspirasi

merupakan komplikasi yang paling sering menyebabkan kematian dibandingkan dari

perdarahannya, sangat diperlukan pemeliharaan jalan nafas untuk mencegahnya.6,9 Pemilihan

terapi untuk hemoptysis dapat dilihat pada gambar 3.

7

Page 8: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Gambar 3. Alogaritma strategi terapi hemoptysis.7

Penatalaksanaan operatif sudah mulai ditinggalkan karena tingginya tingkat

morbiditas dan mortalitasnya. Terapi operatif hanya digunakan pada kegagalan teknik atau

kekambuhan hemoptysis walau sudah dilakukan BAE. Tetapi terapi operatif tetap menjadi

strategi pilihan untuk hemoptysis yang disebabkan oleh malformasi arterivena, rupture

iatrogenic PA, trauma dada, dan mycetoma yang tidak merespon pada strategi terapi lain.7

Ada dua tindakan penanganan hemoptysis massif yaitu tindakan konservatif dan tindakan

operatif.

8

Page 9: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2.1.6.1 Tindakan konservatif

Tindakan ini dilakukan bila pasien menolak operasi, ada kontraindikasi pembedahan,

sumber perdarahan dengan pemeriksaan bronkoskopi tidak ada atau belum jelas dalam

pengamatan lebih lanjut, darah keluar menunjukan kecenderungan unuk berhenti.6-9

a. Mencegah asfiksi

Menenangkan penderita sehingga perdarahan lebih mudah berhenti. Penderita

perlu diberitahu agar tidak takut untuk membatukkan darah yang ada di

saluran nafasnya. Penderita dengan reflek batuk masih baik dan keadaan

umum baik, dapat diletakkan dalam posisi duduk atau setengah duduk, apabila

dianggap perlu. Dipasang pipa endotrakeal dan dilakukan pengisapan darah.

Penderita dengan reflex batuk yang tidak adekuat, diletakkan dalam posisi

tidur miring ke sisi dugaan asal pendarah untuk mencegah aspirasi ke paru

yang sehat. Bila terdapat penyumbatan jalan nafas, dilakukan pengisapan.

Penderita dinasehati untuk tidak menahan batukknya. Dapat diberikan kodein

15-30 mg setiap 3-4 jam. 6-9

b. Menghentikan perdarahan

Pasang IV line untuk jalur pemberian obat dan penggantian cairan. Dapat

diberikan asam traneksamat yang mempunyai efek: memperkuat dinding

kapiler, menaikan retensi kapiler, menurunkan permeabilitas kapiler dan

mempercepat pembekuan darah bila suhu darah tubuh dibwah 37oC. Asam

tranexamat dapat diberikan dengan dosis 10mg/kgBB/td, selama 7 hari bila

perdarahan muncul dalam periode yang pendek. Bila hemoptysis lebih dari

100 ml pada hari ke-3, diberikan Terlipressin 2mg bolus, dilanjutkan 1-2mg

tiap 4-6 jam dengan durasi maksimal 72 jam untuk mengkontrol perdarahan,

tetapi tidak boleh digunakan pada ibu hamil. 6-9

9

Page 10: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2.1.6.2 Penatalaksanaan Operatif

Tindakan pembedahan merupakan tindakan cukup ampuh dalam menanggulangi

hemoptysis massif apabila bleeding point telah diketahui dengan baik. Tindakan pembedahan

dipikirkan apabila ada indikasi, yaitu: 6-9

1. Tidak terdpat sesak nafas pada waktu olah raga atau kerja (faal paru cukup baik).

2. Dalam keadaan normal, kapasitas paru kanan ±55%, paru kiri ± 45%, dalam

keadaan sakit kapasitas diperhitungkan dari foto toraks.

3. Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan faal paru, bila faal paru yang

tertinggal dengan kapasitas >40% dan FEY-1 >60%, toleransi penderita dianggap

cukup.

2.1.6.3 Penanggulangan Rutin

Upaya memperbaikin keadaan umum penderita ialah dengan pemberian oksigen,

pemberian cairan rehidrasi, transfuse darah, memperbaiki keseimbangan asam basa. Upaya

untuk mengobati penyakit yang mendasai, dilakukan terapi konservatif, dengan didahului

pencarian penyebab agar dapat diberi pengobatan kausal. 6-9

2.1.6.4 Penanggulangan Khusus

Penganggulangan khusus pada hemoptysis massif dapat dilakukan melalui

endobronkial dan endovascular. Melalui endobronkial dapat dilakukan dengan baln kateter

serta sekaligus melakukan irigasi dengan bahan vasokonstriktor seperti adrenalin. Setelah

lokasi perdarahan diketahui, melalui saluran aspirasi bronkoskop dimasukan sebanyak 5-10

ml thrombin dengan kadar 10,000 U/ml atau dikombinasikan dengan cairan fibrinogen 2%

sebanyak 5-10 ml dan didiamkan selama 5 menit. Setelah diyakini telah terjadi hemostatis,

bronkoskop dicabut. 2,6-9

Penanggulangan melalui endovascular. dengan kateter dilakukan embolisasi arteri

bronkialis. Dengan bantuan arteriografi bronkial akan tampak gambaran hipervaskularisasi.

Terapi embolisasi dilakukan dengan memasukkan bahan emboli ke cabang arteri bronkialis

dan hasil yang baik akan terlihat dengan menghilangkan hipervaskularisasi dan aneurisma.

Bahan emboli dapat berupa gelatin (Gelfoam), polivinil alcohol (Ivalon), alcohol absolut dan

ginaturco atel-coil emboli. Pada penelitian didapatkan perdarahan berulang ±20% setelah

embolisasi berhasil pada hemoptysis massif. 2,6-9

10

Page 11: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Pasien dengan hemoptysis sebaiknya ditatalaksana sesuai dengan tingkat dan

keparahan perdarahan (massive atau non massive) dan kondisi klinik pasien. Tindakan

operasi merupakan pilihan utama untuk hemoptasis ketika lokasi perdarahan telah

dilokalisasi. Tindakan operasi pada saat episode hemoptysis akut dapat menyebabkan

komplikasi. Tindakan operasi yang paling dipilih adalah Bronchial Artery Embolization

(BAE).1,3

BAE pertama kali digunakan tahun 1973 oleh Remy dan kawan-kawannya, pada 49

pasien yang dilakukan BAE, perdarahan langsung berhenti pada 41 pasien, 6 pasien

mengalami episode rekuren perdarahan 2-7 bulan setelah prosedur inisial. Setelah itu BAE

digunakan untuk mengendalikan hemoptysis massive, baik untuk menstabilkan maupun

sebgai terapi definitive. BAE adalah prosedur yang digunakan untuk menatalaksanai

hemoptysis yang berat, berlangsung, atau hemoptysis rekuren. BAE adalah prosedur yang

menggunakan kateter. Saat melakukan BAE, harus diperhatikan arteri yang mensuplai korda

spinal, yaitu arteri spinal anterior. Teknik embolisasi arteri bronkial dimulai dari aortogram

desendens dengan kateter diletakkan di distal asal percabangan ke arteri subklavia kiri.

Arteriografi ini memperlihatkan anatomi arteri bronkial dan hipertofi arteri interkostal atau

frenikus yang dapat menjadi sumber perdarahan. Arteri bronkial biasanya berasal dari sisi

anterior atau anterolateral aorta setinggi Th5 sampai Th6. Terdapatnya ekstravasasi kontras

dari arteri bronkial menunjukkan perdarahan akut tetapi hal ini jarang terjadi. Dalam

menentukan arteri yang akan diembolisasi harus diperhatikan lokasi hipervaskularisasi lesi di

paru, hipertrofi arteri, pirai kontras arteri bronkial dan nonbronkial ke arteri atau vena

pulmoner dan aneurisma arteri bronkial apabila arteriogram bronkial dan nonbronkial tidak

menunjukkan keadaan abnormaliti, dilakukan angiografi selektif pada arteri pulmoner untuk

memastikan apakah sumber perdarahan berasal dari arteri pulmoner. Setelah diagnostik

angiografi bronkial, nonbronkial atau arteri pulmoner selesai dan dapat ditentukan arteri yang

terlibat baru dilakukan embolisasi bila terdapat percabangan ke spinalis, ujung kateter

diletakkan lebih dalam dan embolisasi dianjurkan menggunakan bahan embolan yaitu

gelfoam atau partikel polyvinyl alcohol. Embolisasi dilakukan sedistal mungkin untuk

mengurangi perdarahan ulang yang disebabkan terbentuknya kolateralisasi di bagian distal

dan menghindari refluks bahan embolan ke aorta. Angiografi pascaembolisasi dilakukan

untuk evaluasi keberhasilan embolisasi. Aortogram dilakukan untuk evaluasi sistemik

sirkulasi bronkial. 2,6-8

11

Page 12: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Hemoptysis massive, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah menentukan

lokasi perdarahan yaitu dilakukan foto torak, lalu dilakukan MDCTA tanpa mempedulikan

hasil foto torak. Bila penyebab perdarahan adalah trauma dada atau iatrogenic rupture arteri

pulmoner, penanganan gold standart nya adalah tindakan operasi. Bila penyebab

perdarahannya adalah hal lain dengan MDCTA positif, penanganan yang dipilih adalah

digital subtraction angiography (DSA) dengan arterial endovascular embolisasi. Pada

emergensi, semua pasien massive hemoptysis sebaiknya dilakukan endovascular embolisasi

tanpa melihat penyebab, setelah pasien stabil baru dapat dilakukan tindakan operasi bila

diperlukan. Bila hasil MDCTA negative atau ditemukannya lesi endobronkial, tindakan yang

direkomendasi adalah bronkoskopi dengan pengambilan sampel jaringan. Bila pada

bronkoskopi ditemukan lesi nya, dapat dilanjutkan dengan embolisasi arteri lalu dilakukan

tindakan operasi bila diperlukan. Bila pada bronkoskopi tidak ditemukan lesi, diagnose

menjadi cryptogenic massive hemoptysis, dan dapat di indikasikan untuk dilakukan

embolisasi, hal ini sering di temukan pada perokok.1,3

Non massive hemoptysis, tindakan pertamanya adalah dilakukan foto toraks. Bila

ditemukan penyebabnya yang mendasarinya berasal dari parenkimal atau pleural yang

abnormal (pneumonia, massa,dll), penanganan dilanjutkan berdasarkan penyebabnya. Bila

hemoptysis terus berlanjut, dapat dilakukan terapi lanjut (endovascular, tindakan operasi).

Bila hasil foto torak negative atau tidak memberikan lokasi perdarahan, terutama bila

diagnose kanker paru tidak dapat disingkirkan, sebaiknya dilakukan MDCTA. Bila pada

MDCTA ditemukan penyebabnya, dilakukan diagnostic dan penanganan berdasarkan

penyebab perdarahannya tersebut. Bila hasil MDCTA negative, dan hemoptysis sudah tidak

berlanjut, investigasi dapat dihentikan, tetapi dapat dilakukan bronkoskopi bila hemoptysis

tetap persisten. Bila pada bronkoskopi juga tidak ditemukan penyebabnya, dapat dipikirkan

sebagai cryptogenic hemoptysis, sehingga dapat dilakukan observasi untuk menunggu

perdarahan berhenti sendiri, tetapi bila perdarahan tidak berhenti dapat dilakukan penanganan

endovascular.1,3

12

Page 13: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2.2 TB Paru

2.2.1 Etiologi TB paru

Penyebab TB paru adalah bakteru Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini tidak

hanya dapat menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang tempat lain seperti tulang, kulit,

selaput otak, dan lainnya. TB paru adalah infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis yang menyebar melalui inhalasi droplet. Kemudian masuk saluran napas dan

bersarang di jaringan paru hingga membentuk afek primer.5

2.2.3 Manifestasi TB paru

Gejala TB paru yang paling sering ditemukan adalah batuk persisten yang umumnya

menghasilkan dahak dan terkadang darah. Seringnya batuk disertai dengan gejala sistemik

seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan HIV

seringkali ditemukan limfadenopati dan TB ekstraparu.5

2.2.2 Diagnosis TB paru

Pada penelitian 10-25% pasien TB paru BTA positif tidak melaporkan gejala batuk.

sehingga untuk mendiagnosis TB paru tidak dapat hanya dilihat dari anamnesis saja.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pem eriksaan sputum BTA 3 kali

(sewaktu, pagi, sewaktu), dan foto toraks.5

13

Page 14: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Untuk menegakkan diagnose, ISTC mempunyai 6 standar diagnosa, yaitu:5

1. Standar 1 : Untuk menemukan diagnose dini, provider keseheatan harus

mengetahui factor risiko tuberculosis individual dan grup, dan

melakukan evaluasi klinik dan tes diagnostic yang tepat pada pasien

dengan gejala dan tanda yang konsisten dengan tuberculosis.

2. Standar 2 : Semua pasien termasuk anak dengan batuk lebih dari 2 minggu yang

tidak dapat dijelaskan penyebabnya atau dengan penemuan sugestif

TBC yang tidak dapat dijelaskan pada foto toraks, seharusnya

dievaluasi tuberculosis nya.

3. Standar 3 : Semua pasien termasuk anak yang diduga mengidap TB paru dan

dapat mengeluarkan sputumnya, sebaiknya dilakukan pemeriksaan

sputum setidaknya 2 kali sampel, atau satu sampel untuk tes Xpert

MTB/RIF di laborat yang sudah disetujui. Pasien dengan risiko

resistensi obat, yang memiliki risiko HIV, yang sakit berat,

seharusnya menggunakan Xpert MTB/RIF sebagai inisial diagnosis.

Tes serologic yang berdadsarkan darah dan pelepasan interferon

gamma sebaiknya tidak dipakai untuk menduga TB aktif.

4. Standar 4 : Untuk semua pasien termasuk anak, yang diduga memiliki TB

ekstraparu, sebaiknya diambil specimen yang tepat pada lokasi

tempat yag diduga untuk pemeriksaan mikrobiologik dan histologic.

Direkomendasikan tes Xpert MTB/RIF untuk cairan serebrospinal

sebagai tes inisial pada orang yang diduga memiliki meningitis TB

karena diperlukannya diagnosis yang cepat.

5. Standar 5 : Pada pasien yang diduga memiliki TB paru yang pemeriksaan sputum

nya negative, Xpert MTB/RIF harus segera dilakukan. Pengobatan

TB sebaiknya dimulai setelah pengambilan spesismen untuk kultur.

6. Standar 6 : Untuk anak yang diduga memiliki tuberculosis dalam dada,

konfirmasi bakteriologi sebaiknya diambil dai sekesi respiratori pada

apusan sel dengan mikrokopi.

14

Page 15: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2.2.3 Penatalaksanaan TB

Standar pengobatan TB menurut ISTC:5

1. Standar 7 : Pemberian resep regimen terapi yang tepat, monitor kepatuhan obat,

mengetahui factor yang menentukan kapan haru interupsi atau

penghentian obat

2. Standar 8 : Semua pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dan tidak

mempunyai risiko resisten obat seharusnya mendapat regimen terapi

lini pertama menurut WHO. Fase inisial berisi 2 bulan pemberian

isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan etambutol. Fase kontinuisasi

selama 4 bulang dengan obat isoniazid dan rifampisin.

3. Standar 9 : Pendekatan yang berpusat pada pasien sebaiknya dikembangkan

untuk semua pasien untuk meningkatkan kepatuhan, kualitas hidup

dan mengurangi penderitaan. Pendekatan ini harus berdasarkan pada

kebutuhan pasien.

4. Standar 10 : Monitor hasil pengobatan pasien dengan TB paru dengan

menggunakan sputum BTA setelah akhir terapi inisial (2 bulan). Bila

hasil positif dilakukan lagi tes sputum setelah 3 bulan, bila tetap

positif dilakukan rapid molecular sensitivitas obat (line probe asays,

Xpert MTB/RIF).

5. Standar 11 : Penilaian terhadap kemungkinan resisten obat, berdasaran riwayat

terapi sebelumnya, kemungkinan kasus dengan organisme yang

resisten obat, dan prevalens komunitas resisten obat. Pada pasien

dengan risiko resisten obat harus dilakukan tes resistensi obat. Tes

resistensi obat harus dilakukan pada passion yang BTA sputum nya

tetap positif pada bulan k 3 pengobatan, pasien yang gagal terapi, dan

pasien lost to follow up atau kambuh setelah mengikuti terapi. Pada

pasien yang resisten obat harus dilakukan tes Xpert MTB/RIF sebagai

inisial tes diagnostic. Bila resisten rifampisin terdeteksi, kultur dan tes

resisten terhadap isoniazid, fluoroquinolone, dan lini ke-2 obat injeksi

harus dilakukan secepatnya. Untuk meminimalisasi transmisi, edukasi

pasien dan pengobatan empiric dengan regimen lini ke-2 harus

dimulai secepatnya.

15

Page 16: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

6. Standar 12 : Pasien dengan atau kemungkinan besar terinfeksi TB yang resisten

obat sebaikanya di terapi dengan regimen special yang berisi lini ke 2

antutuberkulosis yang sudah dipastikan kualitasnya. Dosis sebaiknya

mengikuti rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih baiknya

distandarisasi atau di dasari pada pola kerentanan obat yang sudah

pasti atau diperkirakan. Setidaknya 5 obat (pirazinamid dan 4 obat

yang sensitive terhadap organisme, termasuk obat injeksi) sebaiknya

diberikan pada 6-8 bulan fase intensif, dan setidaknya 3 obat pada

fase kontinuisasi. Pengobatan sebaiknya diberikan dalam kurun waktu

18-24 bulan setelah konversi kultur. Indikator yang harus dilihat

adalah observasi terapi yang diperlukan untuk melihat kepatuhan

obat. Konsultasi pada spesialis yang berpengalaman dengan pasien

tuberkulosis MDR/XDR diperlukan.

7. Standar 13 : Akses untuk pengobatan yang diberikan, respon bakteriologi, hasil

pengobatan, dan efek samping sebaiknya disimpan.

8. Standar 14 : Tes HIV dan konseling sebaiknya dilakukan pada semua pasie dengan

atau dicurigai mengidap HIV, kecuali terkonfirmasi tes negative

dalam 2 bulan terakhir. Dikarenakan dekatnya hubungan TBC dengan

infeksi HIV, pendekatan terintegrasi untuk pencegahan, diagnosis,

dan pengobatan untuk TBC dan HIV sangat direkomendasi di area

dengan prevalensi HIV tinggi. Tes HIV adalah tes rutin yang sangat

penting dilakukan di populasi dengan prevalensi HIV tinggi, pada

pasien dengan gejala dan tanda HIV, dan pasien yang mempunyai

riwayat yang merujuk ke risiko tinggi atau terpapar HIV.

9. Standar 15 : Pada pasien dengan infeksi HIV dan TBC yang CD4 < 50 sel/mm3,

sebaiknya dilakukan ART dalam 2 minggu pertama terapi TBC,

kecuali terdapat meningitis TB. Pada semua pasien dengan HIV dan

TBC tanpa memperhitungkan CD4, terapi antiretroviral sebaiknya

diberikan dalam 8 minggu pertama terapi. Pasien dengan TBC dan

HIV sebaiknya mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksi infeksi

sekunder.

10. Standar 16 : Pasien dengan HIV yang ternyata tidak memiliki TBC aktif sebaiknya

di terapi isoniazid selama minimal 6 bulan untuk perkiraan TBC

laten.

16

Page 17: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

11. Standar 17 : Semua provider harus melakukan penilaian yang teliti untuk kondisi

komorbid dan factor lain yang dapat mempengaruhi respon terapi

TBC atau hasilnya, dan mengidentifikasi terapi tambahan yang dapat

mengoptimalkan hasil pada tiap pasien. Perhatian yang lebih dalam

sebaiknya diberikan pada penyakit dan kondisi yang yang dapat

mempengaruhi hasil terapi, seperti DM, penyalahgunaan obat dan

alcohol, kurang gizi, dan perokok.

12. Standar 18 : Orang-orang yang mempunyai kontak dekat dengan pasien TB harus

di evaluasi dan di tatalaksana dengan rekomendasi internasional.

Prioritas utama yang perlu dievaluasi adalah:

Orang dengan gejala yang menjurus ke TB

Anak usia < 5 tahun

Kontak dengan orang yang sudah pasti atau diduga memiliki

penyakit imunokompromi terutama HIV

Kontak dengan pasien TB MDR/XDR

13. Standar 19 : Anak usia < 5 tahun dan orang dengan HIV yang telah kontak dekat

dengan pasien TB yang setelah di evaluasi tidak memiliki TB aktif,

diterapi untuk dugaan TB laten dengan isoniazid minimal 6 bulan.

14. Standar 20 : Setiap fasilitas kesehatan untuk pasien TB dan suspek TB sebaiknya

mengembangkan dan mengimplementasi rencana control TBC yang

tepat untuk meminimalisasi transmisi Mycobacterium tuberculosis

pada pasien dan pekerja kesehatan.

15. Standar 21 : Semua provider harus melaporkan terapi baru dan terapi ulang kasus

TBC dan hasil terapi pada petugas kesehatan untuk diketahuinya

kebutuhan legal yang dapat dilakukan, regulasi, dan peraturannya.

Pada penderita TBC dengan DM dapat mempengaruhi respons dan hasil terapi,

sehingga diperlukan analisa factor risiko dan dilakukannya tes untuk mengevaluasi kondisi

komorbid yang berhubungan dengan respond an hasil terapi. Pada diabetes mellitus terjadi

peningkatan factor risiko 3 kali lipat terdapatnya TBC dan peningkatan keparahan TBC.

Sebaliknya, TBC dapat memperparah control gula darah pada pasien diabetes. Individu

dengan TBC dan DM memerlukan ketelitian managemen untuk memastikan keoptimalan

tatalaksana untuk kedua penyakit.5 Dosis yang dapat digunakan dapat dilihat di table 1.

17

Page 18: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Table 1.Recommended dose in mg/kg Body Weight (Range).5

Pemberian obat pada TB dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:5

- Kategori 1 (2RHZE|4RH/4R3H3), diberikan pada pasien TB baru BTA positif, TB BTA negative dengan foto toraks positif, TB ekstra paru.

- Kategori 2 (2RHZES|RHZE|5RHE/5R3H3E3), diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya baik pasien kambuh, gagal, dan putus obat.

18

Page 19: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2.3 Manajement diabetes mellitus

Penanganan diabetes mellitus mempunya 4 pilar penting, yaitu edukasi, terapi gizi

medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. 10

2.3.1 Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan

gejala hipoglikemia serta cara mengatainya harus diberikan kepada pasien. Pemantauan kadar

glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus. 10

2.3.2 Terapi Nutrisi Medis

Terapi nutrisi medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksnaan diabetes secara

total. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran

makan masyarakat umum yaitu makanan seimbang dan sesuai kebutuhan kalori dan zat gizi

masing individu. Pentingnya ditekankan keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis,

dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah

atau insulin. Komposisi yang dianjurkan terdiri dari: 10

a. KarbohidratDianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energy, makan 3x/hari untuk

mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Dapat diberikan makanan

selingan buah bila diperlukan.

b. Lemak Dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, tidak diperkenankan >30%. Lemak

jenuh <7% kebutuhan kalori. Lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya lemak

tidak jenuh tunggal. Anjuran konsumsi kolesterol <200mg/hari.

c. Protein Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energy. Pasien dengan nefropati

diturunkan menjadi 0.8g/KgBB/hari atau 10% kebutuhan energi.

d. NatriumDianjurkan tidak boleh lebih dari 3000 mg, pada hipertensi dibatasi sampai 2400

mg.

e. SeratAnjuran konsumsi ±25g/hari

f. Pemanis alterntifPemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari

kebutuhan kalori sehari.

19

Page 20: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

2.3.3 Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secarateratur (3-4 kali seminggu

selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2.

Kegiatansehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,berkebun harus tetap

dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmaniselain untuk menjaga kebugaran juga dapat

menurunkan beratbadan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akanmemperbaiki

kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang di-anjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat

aerobic seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.10

2.3.4 Intervensi Farmakologis

Obat-obat yang digunakan untuk diabetes dapat dilihat pada table 2.

2.4 Alogaritma penanganan diabetes mellitus

Gambar 1. Alogaritma penanganan DM tipe 2.10

20

Page 21: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Table 2. Obat golongan OHO.10

21

Page 22: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

BAB III

KASUS PASIEN

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

SMF PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU KUDUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. M

Umur : 31

Jenis kelamin : Laki-laki

Status perkawinan : Menikah

Pendidikan : SLTA

Alamat : Paderenan, Gebog, Kudus

Di rawat di ruang : Kohort Betani B

Tanggal masuk RS : 5 Oktober 2015

Tanggal dikasuskan : 7 Oktober 2015

Tanggal pulang : 9 Oktober 2015

22

Nama Mahasiswa : Alexandra

NIM : 11 2014 136

Tanda Tangan

.......................

Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Luluk Adipratikto, Sp.P

.......................

Page 23: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

ANAMNESIS

Autoanamnesis dengan pasien, tanggal 7 Oktober 2015

Keluhan Utama : batuk darah

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RS dengan keluhan batuk darah sudah kurang lebih 3 hari. Darah

keluar saat batuk, darah yang keluar berwarna merah segar dan berbuih. Darah yang keluar

tidak disertai makanan. Darah keluar setiap pasien batuk, tetapi darah yang keluar kurang

lebih ¼ gelas aqua yg kecil. Pasien mengeluhkan batuk suda selama 3 bulan, batuk berdahak

dengan dahak berwarna kuning. Pasien mengeluhkan sering merasa keringatan saat malam

hari. Berat badannya juga turun selama 3 bulan ini. Pasien juga sering kali pipis pada malam

hari, sering kelaparan sehingga pasien makan dan minum terus. Pasien tidak mengeluhkan

ada nya tangan kesemutan atau gemetar, tetapi mata pasien sering dirasa kabur dan kunang-

kunang. BAB dan BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat HT(-), DM (-), Kolesterol (-), Penyakit jantung (-), Asma (-), TB paru (-).

Riwayat Keluarga :

Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat astma disangkal

Riwayat tuberkulosis disangkal

23

Page 24: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksan umum

Dilakukan pada tanggal 7 Oktober 2015

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis, E4M6V5

Tanda Vital :

Tekanan darah: 110/80 mmHg

Nadi : 97x/menit, kuat angkat, denyut reguler

Nafas : 22x/menit

Suhu aksila : 36,5oC

Berat badan : 50 kg

Tinggi badan : 157 cm

BMI : 20.28 (normal)

KEPALA

Bentuk : Normocephali

Simetri muka : Simetris

Turgor kulit dahi : Normal

Rambut : Hitam

MATA

Exopthalmus : Tidak ada Enopthalmus : Tidak ada

Palpebra : Tidak edema Lensa : Jernih

Konjungtiva : tidak anemis Sklera : Tidak ikterik

Gerakan mata : Normal Lapangan penglihatan : Normal

TELINGA

Tuli : -/- Cairan : Tidak ada

Lubang : Lapang / lapang Penyumbatan : Tidak ada

Serumen : Tidak ada Perdarahan : Tidak ada

HIDUNG

Pernafasan cuping hidung : Tidak ada

Sekret : Tidak ada

Septum deviasi : Tidak ada

MULUT

Bibir sianosis : Tidak ada Lidah : Atrofi papil (-)

Pursed Lips : Tidak ada Tonsil : T1-T1 tenang

24

Page 25: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Hipertrofi ginggiva : Tidak ada Faring : Tidak hiperemis

LEHER

Inspeksi : Tidak terlihat benjolan maupun lesi, retraksi suprasternal (-), hipertrofi

m. sternocleiodmastoideus (-)

Palpasi : Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5-2cmH2O

Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar

Kelenjar limfe : Tidak teraba membesar

Deviasi trakea : Tidak ada

THORAX

Bentuk : simetris kanan-kiri

Tidak tampak retraksi sela iga

Pembuluh darah : Tidak tampak spider nevi

PULMO

Pemeriksaan Paru Depan Belakang

Inspeksi Kanan Simetris saat statis dinamis Simetris saat statis dinamis

Kiri Simetris saat statis dinamis

Jenis pernafasan torako-

abdominal

Simetris saat statis dinamis

Jenis pernafasan torako-

abdominal

Palpasi Kanan - Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

- Nyeri tekan (+)

- Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

- Nyeri tekan (-)

Kiri - Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

- Nyeri tekan (-)

- Tidak ada benjolan

- Fremitus taktil simetris

- Nyeri tekan (-)

25

Page 26: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Perkusi Kanan - Sonor pada kedua lapang

paru

- Sonor pada kedua lapang

paru

Kiri - Sonor pada kedua lapang

paru

- Sonor pada kedua lapang

paru

Auskultasi Kanan - Suara napas dasar vesikuler

- Suara napas tambahan :

Ronki (-), Wheezing (-)

- Suara napas dasar vesikuler

- Suara napas tambahan :

Ronki (-) Wheezing (-)

Kiri - Suara dasar vesikuler

- Suara napas tambahan :

Ronki (-), Wheezing (-)

- Suara dasar vesikuler

- Suara napas tambahan :

Ronki (-), Wheezing (-)

COR

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus cordis teraba ICS V linea midclavicula sinistra

Perkusi : Batas atas : ICS II linea sternalis sinistra

Batas kanan : ICS IV linea sternalis kanan

Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra

Pinggang jantung: ICS III parasternalis sinistra

Auskultasi : BJ I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN

Inspeksi : Datar, tidak tampak bekas operasi, striae (-), tidak tampak benjolan

Auskultasi : Bising usus (+), normoperistaltik (12 kali/menit)

Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), undulasi (-), traube space kosong

Palpasi :

Dinding perut : Nyeri tekan (-)

Hati : Tidak teraba pembesaran

Lien : Tidak teraba pembesaran

Ginjal : Nyeri ketok CVA -/-, ballotemen tidak teraba

PUNGGUNG

Inspeksi : Tidak ada benjolan maupun lesi

Palpasi : Tidak teraba massa, letak tulang vertebra lurus

Perkusi : Nyeri ketok CVA (-)

Auskultasi : Tidak terdengar adanya bruit

26

Page 27: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

EKSTREMITAS

Ekstremitas Dextra Sinistra

Superior

Otot : tonus Normotonus Normotonus

Otot : Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Normal Normal

Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas

Kekuatan +5 +5

Edema Tidak ada Tidak ada

Inferior

Lesi Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot : tonus Normotonus Normotonus

Otot : Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Normal Normal

Gerakan Tidak terbatas Tidak terbatas

Kekuatan +5 +5

Edema Tidak ada Tidak ada

27

Page 28: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Hematologi dan Kimia Darah (6 Oktober 2015)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL

Hemoglobin 12.8 g/dl 12.0 – 15.0 g/dl

Eritrosit 5.5 juta/uL 4.0 – 5.1 juta/uL

Hematokrit 38.7 % 36 – 47 %

Trombosit 432 ribu 150 – 400 ribu

Leukosit 14.61 ribu 4.0 – 12.0 ribu

Neutrofil

Basophil

70.00 %

0.10 %

43 – 76 %

0 – 1 %

Limfosit 23.70 % 25 – 40 %

Monosit

Eusinofil

4.40 %

1.60

2 – 8 %

2 – 4

MCV 71 fL 79.0 – 99.0 fL

MCH 24 pg 27.0 – 31.0 pg

MCHC 33 g/dL 32.0 – 36.0 g/dL

RDW 14.9% 10.0 – 15.0 %

MPV 9.3 fL 6.5 – 10 fL

LED 2 JAM 66 mm/2 jam 0 - 15

PDW 9.8 % 10.0-18.0 fL

Gula darah sewaktu

HbA1c

243 mg/dL

13.8 %

75 – 110

4.5 – 6.3

Pemeriksaan X-Foto Thorax (6 Oktober 2015)

Pemeriksaan gula darah (7 Oktober 2015)

Gula darah puasa 282 mg/dL

Gula darah 2 jam pagi 334 mg/dL

28

Tampak kesuraman pada ke-2 apeks – lap atas-tengah paru. Corakan bronkovaskuler meningkat.

Kesan KP paru aktif

Page 29: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

DAFTAR ABNORMALITAS

Anamnesis

1. Batuk berdahak, kadang disertai darah

2. Nyeri dada kanan seperti ditusuk-tusuk

3. Penurunan berat badan drastis dalam 3 bulan

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan umum tampak sakit sedang

2. Nyeri di dada kanan atas

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan lab: gula darah sewaktu 243mh/dL, HbA1c 13.8%

2. X-foto thorax: KP paru aktif

ASSESSMENT

PROBLEM 1: batuk darah 3 hari, warna merah terang, tidak berbuih

Assesment: Hemoptoe

DD/ bekas TB paru, bronkiektasis, Ca paru, edema paru, abses paru

Initial Plan Diagnosis:

1. Pemeriksaan foto toraks

2. Pemeriksaan sputum SPS

3. Laboratorium :

a. Darah lengkapc

Initial Plan Therapy:

Non medikamentosa :

o istirahat, edukasi pasien agar jangan batuk terlalu keras.

Medikamentosa :

o Asam tranexamat 3x1g

o Codein 3x10mg

29

Page 30: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

Initial Plan Monitoring:

Monitor TTV dan saturasi oksigen

Perhatikan keluhan pasien

Initial Plan Education:

Menjelaskan pada keluarga mengenai keadaan pasien

Mengajarkan pada pasien agar batuk tidak terlalu keras.

Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam: dubia ad bonam

Ad santionam : dubia ad bonam

PROBLEM 2: batuk berdahak 3 bulan, batuk darah 3 hari, keringat malam, penurunan BB

Assesment: TB paru

Initial Plan Diagnosis:

Foto toraks

BTA (SPS)

Initial Plan Therapy:

Rifampisin 400 mg 1x1

INH 300 mg 1x1

Pirazinamid 500 mg 1x3

Etambutol 500 mg 1x2

Initial Plan Monitoring:

Monitor TTV dan saturasi oksigen

Perhatikan keluhan pasien

Initial Plan Edukasi:

Menjelaskan pada keluarga mengenai keadaan pasien

Mengajarkan etika batuk

Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam: dubia ad bonam

Ad santionam : dubia ad bonam

30

Page 31: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

PROBLEM 3: Polifagi, poliuri, polidipsi, GDS 234, HbA1c 13.8%

Assesment: Diabetes Melitus

Initial Plan Diagnosis:

TTGO

Initial Plan Therapy:

Metformin 500 mg 1-0-1

Intial Plan Monitoring:

Monitor TTV

Monitor gula darah

Initial Plan Education:

Menjelaskan pada keluarga mengenai keadaan pasien

Mengatur pola makan

Progress Note

Follow Up 8 Oktober 2015

S: Nyeri dada kanan, batuk berdahak

O: Tampak sakit ringan, compos mentis

Tanda-tanda vital: Tekanan darah 120/80mmHg

Suhu aksila: 37,30C

Nadi : 84x/menit

Frekuensi Nafas: 20x/menit

Saturasi O2: 97%

Pulmo:

Palpasi pulmo anterior dan posterior: nyeri tekan thorax dextra (+)

Perkusi pulmo anterior dan posterior: sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi: Suara napas dasar vesikuler pada lapang paru kanan

Abdomen: Supel, Nyeri tekan (-), BU (+) normal.

A: TB paru dengan DM

31

Page 32: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

P:

o Codein 10 mg 3x1

o Rifampisin 450 mg 1x1

o INH 300 mg 1x1

o Pyrazinamid 500 mg 1x3

o Etambutol 500 mg 1x2

o Metformin 500 mg 1-0-1

o As. Tranexamat 1 g 3x1

o Glibotic 500 mg 2x1

o Meloxicam 75 mg 2x1

Follow Up 9 Oktober 2015

S: Nyeri dada kanan, batuk berdahak

O: Tampak sakit ringan, compos mentis

Tanda-tanda vital: Tekanan darah 120/70mmHg

Suhu aksila:36,70C

Nadi : 80x/menit

Frekuensi Nafas: 18x/menit

Saturasi O2: 98%

Pulmo :

Palpasi pulmo anterior dan posterior: nyeri tekan thorax dextra (+)

Perkusi pulmo anterior dan posterior: sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara napas dasar vesikuler pada lapang paru kanan

Abdomen : Supel, Nyeri tekan (-), BU (+) normal.

A: TB paru dengan DM

P: pasien pulang

32

Page 33: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kasus ini

mengarah pada TB paru disertai DM. Pada kasus ini ditemukan adanya batuk darah sejak 3

hari, batuk berdahak 3 bulan, keringat malam, penurunan berat badan, disertai gejala klasik

DM yaitu poliuri, polidipsi, polifagi, didukung dengan GDS 243mg/dL dan HbA1c 13.8%.

pada foto rontgen ditemukan TB paru aktif. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan,

hanya ada nyeri dada yang dirasakan pasien di kanan atas dengan penambahan berat nyeri

ketika dada ditekan. Pada pemeriksaan X-foto thoraks didapatkan Tampak kesuraman pada

ke-2 apeks – lap atas-tengah paru. Corakan bronkovaskuler meningkat.Yang memberikan

kesan TB paru aktif. Dilakukan observasi mengenai keluhan pasien makin berkurang atau

menetap. Pemberian codein adalah terhadap penekanan reflek batuk. Selain itu, diet pada

pasien diberikan DM 1700 kalori.

Dalam teori diketahui bahwa penyebab hemoptisis salah satunya adalah TB paru

dengan presentasi10%. Pada kasus ini ditemukan gejala-gejala yang mendukung diagnosis

TB, yaitu batuk yang lebih dari 2 minggu, adanya keringat malam, dan penurunan berat

badan. Pada pemeriksaan fisik foto toraks juga didapatkan hasil TB paru aktif. Dengan ini

diperkirakan penyebab batuk darah pada pasien ini dikarenakan oleh TB paru nya.

Selain itu juga ditemukan gejala khas DM pada pasien ini yaitu poliuri, polidipsi,

polifagi, didukung dengan GDS 243mg/dL dan HbA1c 13.8%, sehingga dapat ditegakkan

diagnosis hemotoe et causa TB paru disertai DM. Sehingga diperlukan penambahan

pengobatan DM pada pasien ini, dikarenakan hubungan DM dan TB yang dapat saling

memperberat gejala satu sama lainnya.

Penatalaksanaan hemoptysis pada kasus ini dilakukan tahap pertama, yaitu foto

toraks, dimana ditemukan gambaran TB aktif yang mendasari penyebab hemoptysis,

sehingga tidak dilakukan pemeriksaan MDCT maupun bronkoskopi. Penatalaksanaa TB pada

pasien ini diberikan rifampisin 450mg dikarenakan sediaan yang tersedia dengan dosis yang

mendekati 500mg, INH dapat diberikan 200-500mg, pirazinamid 1250-1750 mg, dan

Etambutaol 750-1500 mg. Diberikan juga metformin untuk mengatasi DM nya.

33

Page 34: Case Kecil Dr Luluk Alexandra Revisi

BAB V

KESIMPULAN

Hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring,

atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Penyebabnya dapat

idiopatik maupun sekunder (TB paru, bronkiektasis, abses paru, pneumonia, bronchitis,

karsinoma paru, dll). Pada kasus ini penyebab hemoptysis diduga karena TB paru aktif, yang

didukung dari anamnesis dan pemeriksaan penunjang pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Larici AR, et al. Diagnosis and management of hemoptysis. Diagn Interv Radiol 2014;

20; 299-309.

2. Mbata GC, Omejue EG, Ibiam FA, Chima E. Hemoptysis: a symptom not well explored

in the primary care setting in the developing world. World Journal of Meficine and

Medical Science Research October 2013; vol. 1(4); 057-060.

3. Pires FS, Teixeira N, Coelho F, Damas C. Hemoptysis – etiologi, evalution, and treatment

in a university hospital. Rec Port Pneumol. August 2011; 17(1); 7-14.

4. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, [editor]. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid III, edisi V.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h.2230-8.

5. TB care I, USAID. International standards for tuberculosis care. Edisi ke-3. 2014.

Diunduh dari http://www.who.int/tb/publications.

6. Mohan C, Kapur BL. Standart treatment guidelines interventional radiology. New Delhi:

Ministry of Health & Family Welfare Govt. of India. Diunduh dari

http://clinicalestablishments.nic.in/WriteReadData/712.pdf

7. Wardhani DP, Uyainah A. Tuberkulosis. Kapita selekta kedokteran. Edisi IV. Jakarta:

Media Aesculapius; 2014.h.828-32.

8. Sakr L, Dutau H. Massive hemoptysis: an update on the role of bronchoscopy in

diagnosis and management. Respiration 80; 38-58.

9. Soeroso HL, dkk, Hemoptisis massif. Cermin dunia kedokteran, Edisi khusus no. 80,

1992; 90-4.

10. Perkeni. Konsensuspengendaliandanpencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia

2011. Jakarta: SalembaMedika; 2011.h.1-61.

34