BAB ITINJAUAN KASUS
1. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. D
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Bangsa : Indonesia
Suku : Lampung
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Palapa
Tanggal Pemeriksaan : 4 Agustus 2015
2. KELUHAN UTAMA
Sesak napas
3. ANAMNESIS
Penderita datang ke UGD Puskesmas Pekutatan dengan keluhan sesak nafas disertai
dengan batuk. Sesak dirasakan secara tiba-tiba saat penderita berbaring dan akan tidur,
yaitu sekitar 1 jam sebelum datang ke UGD. Sesak dirasakan seperti rasa penuh dan berat
di bagian dada, dan tidak berkurang dengan perubahan posisi. Selain itu penderita juga
mengeluarkan suara ”ngik-ngik” pada saat mengalami serangan. Sesak membuat
penderita susah untuk berbicara dan hanya mampu mengucapkan beberapa kata dengan
terputus-putus. Penderita mengatakan sesak nafasnya jarang kambuh. Dalam sebulan
biasanya penderita mengalami sesak paling banyak tiga kali dan kadang sering kambuh.
Sesak napas biasanya muncul pada malam hari, yaitu pada saat udara dirasakan dingin,
yang diawali dengan batuk disertai dahak berwarna putih. Sebelum serangan sesak,
penderita tidak melakukan aktivitas yang berat atau dalam keadaan emosional.
Panas tidak ada, mual muntah tidak ada, BAK, BAB dirasakan biasa, tidak ada
keluhan lainnya.
1
RIWAYAT PENYAKIT SEBELUMNYA
Penderita mulai merasakan sesak sejak ia kecil, tetapi tidak pernah sampai masuk rumah
sakit. Untuk mengurangi rasa sesaknya biasanya penderita membeli sendiri obat di toko
obat atau sembuh dengan sendirinya, namun serangan sesak yang sekarang dirasakan
lebih berat sehingga penderita langsung berobat ke puskesmas. Riwayat penyakit jantung,
hipertensi, kencing manis, dan ginjal disangkal penderita. Penderita mengatakan tidak
memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun debu.
RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA
Penderita mengatakan bahwa ayahnya pernah dikatakan menderita asma, namun tidak
mengkonsumsi obat asma secara teratur karena asma ayahnya tidak pernah kambuh lagi.
Tidak ditemukan riwayat penyakit jantung, hipertensi, kencing manis, ginjal, dan alergi
pada anggota keluarga lainnya.
RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL
Penderita adalah seorang buruh, penderita tidak merokok dan tidak pernah mengkonsumsi
minuman beralkohol.
4. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik
Status Present:
Kondisi umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 112 x/mnt
Respirasi : 36 x/mnt, expirasi memanjang
Suhu aksila : 36,0 °C
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 152 cm
IMT : 23,81 kg/m²
2
Status G eneral :
Mata : anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, oedem
palpebra-/-
THT :
Telinga : sekret -/-, kotoran telinga -/-
Hidung : sekret -/-, kongesti -/-
Tenggorokan : tonsil T1/T1, pharing hiperemis -/-, lidah normal,
bibir normal
Leher : JVP PR +0 cm H2O, pembesaran kelenjar -, kaku
kuduk -
Thorax :
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas kiri : 3 jari lateral MCL (sinistra) ICS V
batas kanan : 1 jari lateral PSL (dextra) ICS V
batas atas : ICS II
Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : gerak pernafasan simetris, statis dan dinamis
Palpasi : vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/- wheezing +/+ pada seluruh
lapangan paru, expirasi memanjang
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), denyut epigastrium (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (–)
ballottement -/-
Perkusi : shifting dullness (-)
nyeri Ketok CVA( –)
3
Ekstremitas : akral hangat +/+, edema -/-
+/+ -/-
5. ASSESMENT
Serangan asma akut pada asma persisten ringan
6. PENATALAKSANAAN
- O2 3 lpm
- Nebulizer salbutamol
- Metil prednisolon IV
- Ambroxol syrup 3x1
7. MONITORING
- Vital sign
- Keluhan
8. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
Pengamatan Lanjut
Tanggal Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis Terapi
04-08-2015
23.00 WIB S kel : sesak nafas
O
Ku sakit sedang
RR : 33x/menit
Pulmo : Wheezing +/+
A
Serangn asma akut
Nebulizer salbutamol
05-08-2015 S: kel : sesak nafas dan batuk P
4
15.00 WIB
O: status presens
KU : tampak sakit sedang
RR : 36 x/menit
A : Serangan asma akut
Nebulizer salbutamol
Ambroxol syrup
PERMASALAHAN
1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
2. Apakah penatalaksanaan kasus ini sudah tepat ?
PORTOFOLIO
5
Topik : Asma
6
Tanggal (kasus) : 4 Agustus 2015 Presenter : dr. Arismunandar Hadi Prabowo UtomoTanggal presentasi : - Pendamping : dr. Ratu FajariaTempat presentasi : RSUD Dr. A. Dadi TjokrodipoObyektif presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi : Tujuan :Bahan bahasan : Tinjauan
Pusaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan diskusi
Email Pos
Data pasien : Nama : Tn. D No. registrasi :Nama klinik : Telp : - Terdaftar sejak : -Data utama untuk bahan diskusi :1. Diagnosis/Gambaran Klinis : Serangan Asma Akut Pada Asma Persiten Ringa2. Riwayat Pengobatan : -3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit : -4. Riwayat Keluarga/ Masyarakat : -5. Riwayat Pekerjaan : -6. Lain-lain : -Daftar Pustaka :1. Ratnawati J. 2011. Epidemiologi Asma. J Respir Indones 31(4):172-5.2. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Penyakit Asma Pada Usia ≥10 Tahun di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007). J Respir Indones, 30(2):85-91.
3. Fairawan, Sulfan. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Asma Dengan Sikap Penderita Dalam Perawatan Asma Pada Pasien Rawat Jalan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
4. Harsono, Bambang Irawan, dkk. 2003. Peranan Magnesium Pada Asma. Cermin Dunia Kedokteran, 141 : 46-51.
5. Tim Penyusun. 2012. Data Rekapan SP2TP-LB1 Jenis Penyakit Januari-Desember 2012. Narmada: Puskesmas Narmada.
6. Matondang, dkk. 2009. Peran Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Pada Asma Anak. Sari Pediatri 10 (5): p. 314-319.
7. Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Asma. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
8. Purnomo. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma. Semarang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (skripsi).
9. Rengganis I. 2008 Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon. Vol. 58(11); p. 444-453.
10. 2003. Pedoman Diagnosis dan Petalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
11. Fauci AS, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition. USA: The McGraw-hill Companies, inc.
Hasil Pembelajaran :1. Diagnosis Asma2. Patofisiologi terjadinya Asma
7
3. Klasifikasi Asma4. Penatalaksanaan Asma
Subyektif
Penderita datang ke UGD Puskesmas Pekutatan dengan keluhan sesak nafas. Sesak
dirasakan secara tiba-tiba saat penderita berbaring dan akan tidur, yaitu sekitar 1 jam
sebelum datang ke UGD. Sesak dirasakan seperti rasa penuh dan berat di bagian dada,
dan tidak berkurang dengan perubahan posisi. Selain itu penderita juga mengeluarkan
suara ”ngik-ngik” pada saat mengalami serangan. Sesak membuat penderita susah untuk
berbicara dan hanya mampu mengucapkan beberapa kata dengan terputus-putus.
Penderita mengatakan sesak nafasnya jarang kambuh. Dalam sebulan biasanya penderita
mengalami sesak paling banyak sekali saja dan malah tidak pernah kambuh. Sesak napas
biasanya muncul pada malam hari, yaitu pada saat udara dirasakan dingin, yang diawali
dengan batuk disertai dahak berwarna putih. Sebelum serangan sesak, penderita tidak
melakukan aktivitas yang berat atau dalam keadaan emosional.
Panas tidak ada, mual muntah tidak ada, BAK, BAB dirasakan biasa, tidak ada
keluhan lainnya.
Obyektif
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, didapatkan :
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 112 x/mnt
Respirasi : 36 x/mnt, expirasi memanjang
Suhu aksila : 36,0 °C
Pada pemeriksaan thorak, didpatkan :
Pulmo
Inspeksi : gerak pernafasan simetris, statis dan dinamis
Palpasi : vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, rhonki -/- wheezing +/+ pada seluruh
lapangan paru, expirasi memanjang
8
Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis
- Pemeriksaan RT
Assessment (Penalaran Klinis)
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas
yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai
dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada
terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan
atau tanpa pengobatan.
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan
dapat menimbulkan kematian.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor) dan
faktor lingkungan.
a. Faktor host :
Genetik
Obesitas
Jenis Kelamin
b. Faktor Lingkungan :
Rangsangan alergen
Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja
Infeksi
Merokok
Obat
Penyebab lain atau faktor lainnya
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan
nafas yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
9
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga
(atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan
penyakit dan pengobatan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran
nafas dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada
sebagian penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi
walaupun pada pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas,
reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah
pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi).
Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus
dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang
tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi
melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini
tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam
mengidentifikasi faktor pencetus.
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)1
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paruI. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala diluar serangan Serangan singkat
≤ 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE < 20%
II. Persisten Ringan Mingguan APE ≥ 80%
Gejala > 1x/minggu, tapi < 1x/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator setiap hari
> 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30%
III. Persisten Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari
Serangan menggangu aktivitas
dan tidur
Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
>1x/minggu VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
IV. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
10
Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas
Sering VEP1 ≤ 60% nilai prediksi APE≤ 60% nilai terbaik Variabilitas APE > 30%
Setelah diagnosis asma ditegakkn langkah selanjutnya menentukan penatalaksanaan yang
tepat yakni memilih pengobatan untuk menanganinya.
Plan
Diagnosis : Serangan asma akut pada asma persisten ringan
Pengobatan :
Pengobobatan pada pasien asma terdiri dari pengobatan asma akut (pada saat serangan)
dan penatalaksanaan jangka panjang. Pada saat serangan terdapat diberikan bronkodilator
kerja cepat dan kortikosteroid sistemik. Pada pasien ini bronkodilator yang diberikan
adalah salbutamol dalam bentuk inhalasi. Sedangkan kortikosteroid sistemik yang
digunakan adalah metil prednisolon yang diberikan secara intravena.
Pasien dimasukan kedalam bangsal perawatan untuk menilai derajat asma lebih lanjut dan
untuk menentukan tatalaksana jangka panjang. Tatalaksana jangka panjang meliputi
edukasi, pemberian obat asma yang terdiri dari pengontrol dan pelega serta menjaga
kebugaran. Saat dirungan pasien diberikan salbutamol inhalasi setiap 8 jam sebagai obat
pelega asma. Sedangkan pengontrol tidak diberikan pada pasien ini karena saat diruangn
kondisi pasien mulai stabil.
Pasien juga menderita batuk sehingga diberikan obat batuk ambroxol untuk
mengencerkan dahak dan melegakan tenggorokan.
Pendidikan : memberitahu hasil pemeriksaan kepada pasien, menjelaskan pengobatan
yang akan diberian kepada pseian, memperbaiki pola hidup dengan makan-makanan
berserat setiap hari, menghindari faktor pencetus terjadiny asma.
Konsultasi : Dijelaskan secara rasional tentang tatalaksana yang diberikan mencakup
tujuan pemberian terapi.
Rujukan : Rujukan kepada dokter spesialis
Kontrol : Kontrol ulang untuk menilai perjalanan penyakit
11
ANALISIS KASUS
1. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?
12
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit / gejala :
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi dari normal sampai didapatkannya
kelainan. Perlu diperhatikan tanda-tanda asma dan penyakit alergi lainnya. Tanda asma
yang paling sering ditemukan adalah mengi, namun pada sebagian pasien asma tidak
didapatkan mengi diluar serangan. Begitu juga pada asma yang sangat berat berat mengi
dapat tidak terdengar (silent chest), biasanya pasien dalam keadaan sianosis dan
kesadaran menurun.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma:
Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan alat spirometer
Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus.
Uji Alergi (Tes tusuk kulit /skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
Foto toraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2
agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis
obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan
13
tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Dengan adanya
pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan klasifikasi menurut berat-
ringannya asma yang sangat penting dalam penatalaksanaannya.
Pada pasien ini didaptkan keluhan berupa sesak nafas yang disertai dengn batuk.
Pasien juga mengeluarkan suara ngik-ngik. Dalam sebulan biasanya penderita mengalami
sesak sebanyak 3x dan kadang sering kambuh. Sesak napas biasanya muncul pada malam
hari, yaitu pada saat udara dirasakan dingin, yang diawali dengan batuk disertai dahak
berwarna putih. Pada pemeriksaan fisik didaptkan RR 36x/menit ekspirasi memanjang,
dan pada pemeriksaan auskultasi paru didapatkan wheezing.
Jadi disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah serangan asma akut pada asma
persisten ringan.
2. Apakah penatalaksanaan kasus ini sudah tepat ?
Pengobobatan pada pasien asma terdiri dari pengobatan asma akut (pada
saat serangan) dan penatalaksanaan jangka panjang. Pada saat serangan terdapat
diberikan bronkodilator kerja cepat dan kortikosteroid sistemik. Pada pasien ini
bronkodilator yang diberikan adalah salbutamol dalam bentuk inhalasi. Sedangkan
kortikosteroid sistemik yang digunakan adalah metil prednisolon yang diberikan
secara intravena.
Pasien dimasukan kedalam bangsal perawatan untuk menilai derajat asma
lebih lanjut dan untuk menentukan tatalaksana jangka panjang. Tatalaksana jangka
panjang meliputi edukasi, pemberian obat asma yang terdiri dari pengontrol dan
pelega serta menjaga kebugaran. Saat dirungan pasien diberikan salbutamol
inhalasi setiap 8 jam sebagai obat pelega asma. Sedangkan pengontrol tidak
diberikan pada pasien ini karena saat diruangn kondisi pasien mulai stabil.
Pasien juga menderita batuk sehingga diberikan obat batuk ambroxol
untuk mengencerkan dahak dan melegakan tenggorokan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI ASMA
Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal
kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan
14
sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak, terdapat
perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi
sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang
lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 – 7 %.
Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma
alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga
seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit
terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula
disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes
provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.
Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian.
Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai
propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10
penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema.
Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru
2/1000.
II.2 PATOFISIOLOGI ASMA
Patofisiologi asma merupakan proses yang sangat kompleks, dan melibatkan
beberapa komponen yaitu inflamasi saluran nafas, obstruksi aliran udara, dan
hiperaktivitas bronkus.
II.2.1 Penyempitan Saluran Napas
Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran
napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus.
Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai
mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap
penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator.
Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting
15
pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural
atau disebut juga ”remodelling”. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau
rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan
jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang
rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian
akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway
remodelling.
II.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas
Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara
klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap
reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi
mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan
hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas.
Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat
memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.
II.3 FAKTOR PENCETUS ASMA
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu (host factor) dan
faktor lingkungan.
c. Faktor host :
Genetik
Obesitas
Jenis Kelamin
d. Faktor Lingkungan :
Rangsangan alergen
Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja
Infeksi
Merokok
Obat
Penyebab lain atau faktor lainnya
16
II.4 GAMBARAN KLINIS ASMA
Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya
dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri
tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala
tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau
perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat
dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin,
infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi
munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak,
karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.
II.5 DIAGNOSIS ASMA
Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala :
- bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
- gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak.
- gejala timbul/memburuk di malam hari.
- respons terhadap pemberian bronkodilator.
Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi), riwayat
alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan
tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita
dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran faal
paru telah terjadi penyempitan jalan nafas.
Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti
kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif
jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak
expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk
diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi
bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi
pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik
serum, namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu
dalam mengidentifikasi faktor pencetus.
17
II.6 KLASIFIKASI ASMA1,2
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)1
Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paruI. Intermiten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala < 1x/minggu Tanpa gejala diluar serangan Serangan singkat
≤ 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE < 20%
II. Persisten Ringan Mingguan APE ≥ 80%
Gejala > 1x/minggu, tapi < 1x/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Membutuhkan bronkodilator setiap hari
> 2x/bulan VEP1 ≥ 80% nilai prediksi APE ≥ 80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30%
III. Persisten Sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari
Serangan menggangu aktivitas
dan tidur
Membutuhkan bronkodilator
setiap hari
>1x/minggu VEP1 60-80% nilai prediksi
APE 60-80% nilai terbaik
Variabilitas APE > 30%
IV. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas
Sering VEP1 ≤ 60% nilai prediksi APE≤ 60% nilai terbaik Variabilitas APE > 30%
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan
Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan faal paru dalam pengobatanTahap 1Intermiten
Tahap 2Pesisten ringan
Tahap 3Persisten sedang
Tahap I: IntermitenGejala < 1x/mgguSerangan singkatGejala malam < 2x/blnFaal paru normal diluar serangan
Intermiten Persisten ringan Persisten sedang
Tahap II: Persisten RinganGejala >1x/mggu, tapi <1x/hariGejala malam >2x/bln, tapi <1x/mgguFaal paru normal diluar serangan
Persisten ringan Persisten sedang Persisten berat
Tahap III: Persisten SedangGejala setiap hariSerangan mempengaruhi tidur dan aktivitasGejala malam >1x/mggu60%<VEP1<80% nilai prediksi
Persisten sedang Persisten berat Persisten berat
18
60%<APE<80% nilai terbaikTahap III: Persisten BeratGejala terus menerusSerangan seringGejala malam seringVEP1≤60% nilai prediksi, atauAPE≤60% nilai terbaik
Persisten berat Persisten berat Persisten berat
II.7 PENATALAKSANAAN ASMA
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang dikeluarkan
oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen program
penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen pengobatan yang
dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola hidup sehat.
EDUKASI
Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri, tujuan
pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus, obat-obat
yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan serangan asma di
rumah.
PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri
mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
A. Pemantauan tanda gejala asma.
B. Pemeriksaan faal paru
IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS
Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian lagi
tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya.
MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam
menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu
dipertimbangkan:
1. Medikasi (obat-obatan)
2. Tahapan pengobatan
3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma)
19
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas,
terdiri atas pengontrol dan pelega.
A. Pengontrol
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah:
a. Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.
Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala,
mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek
samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan
batuk karena airitasi saluran nafas atas.
b. Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai
pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas
mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan
steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus
diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka
panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari
hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan
otot.
c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan
antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui
reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi
pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga
kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara
inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping
umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan
inhalasi.
d. Metilsantin
20
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan
bersama/kombinasi dengan agonis β2 kerja singkat, sebagai alternatif
bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif
mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai
aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma
malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi
terjadi pada dosis tinggi (≥10 mg/kgBB/hari atau lebih) dengan gejala
gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan
sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia dan kadangkala
merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan
kematian.
e. Agonis β2 kerja lama
Termasuk agonis β2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang
mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis β2 memiliki efek relaksasi otot
polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan
mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian
inhalasi agonis β2 kerja lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik
dibandingkan preparat oral. Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis β2
kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu
dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis β2
kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam,
memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis β2 kerja singkat (pelega)
dan menurunkan frekuensi serangan asma.
Agonis β2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik
(rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih
sedikit atau jarang daripada pemberian oral.
f. Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis
semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien
21
sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme
kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi.
B. Pelega
a. Agonis β2 kerja singkat
Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai
onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral,
pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis β2 yaitu relaksasi otot
polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan
permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek
samping.
b. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek
bronkodilatasi agonis β2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat
untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan
respon terhadap agonis β2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan
berikutnya.
c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi
dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering
di mulut dan rasa pahit.
d. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak
tersedia agonis β2, atau tidak respon dengan agonis β2 kerja singkat.
C. Tahapan penanganan asma
22
Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat tercapai tujuan
pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy.
D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asmaTabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma1
Semua tahapan : ditambahkan agonis β2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-4x/hari
Berat Asma Medikasi Pengontrol Harian
Alternatif/Pilihan Lain Alternatif Lain
Asma Intermiten
Tidak perlu - -
Asma Persisten Ringan
Glukokortikosteroid inhalasi (200-400ug BD/hari atau equivalennya)
Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotrien modifiers
-
Asma Persisten Sedang
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2
kerja lama
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah teofilin lepas lambat, atau
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800ug BD atau equivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi (400-800ug BD atau equivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah agonis β2 kerja lama oral, atau
Ditambahkan teofilin lepas lambat
Asma Persisten Berat
Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis β2
kerja lama, ditambah ≥1 dibawah ini:
- teofilin lepas lambat
- leukotriene modifiers
- glukokortikosteroid oral
Prednisolon/ metil prednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis β2
kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat
Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol
23
MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT
Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.
Tabel 4. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1
Gejala dan Tanda
Berat Serangan Akut Keadaan Mengancam
JiwaRingan Sedang Berat
Sesak nafas Berjalan Berbicara IstirahatPosisi Dapat tidur terlentang Duduk Duduk membungkukCara berbicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kataKesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah, kesadaran menurun
Frekuensi nafas < 20/menit 20-30/menit > 30 menitNadi < 100 100-120 > 120 BradikardiaPulsus paradoksus
-10 mmHg
±10-20 mmHg
+> 25 mmHg
-kelelahan otot
Otot bantu nafas dan retraksi suprasternal
- + + Torakoabdominal paradoksal
Mengi Akhir ekspirasi paksa Akhir ekspirasi Inspirasi dan ekspirasi
Silent chest
APE > 80% 60-80% < 60%PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHgPaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHgSaO2 > 95% 91-95% < 90%
Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat Pengobatan
Serangan Pengobatan Tempat pengobatanRinganAktivitas relatif normalBerbicara satu kalimat dalam 1 nafasNadi < 100APE > 80%
Terbaik:Inhalasi agonis β2
Alternatif:Kombinasi oral agonis β2 dan teofilin
Di rumah
Di praktek dokter/ klinik/ puskesmas
Sedang Jalan jarak jauh timbulkan gelajaBerbicara beberapa kata dalam 1 nafas
Terbaik:Nebulasi agonis β2 @ 4 jamAlternatif:- Agonis β2 subkutan
Darurat gawat/RSKlinikPraktek dokter
24
Nadi 100-120APE 60-80%
- Aminofilin iv- Adrenalim 1/1000 0,3 mL scOksigen bila mungkinKortikosteroid sistemik
Puskesmas
Berat Sesak saat istirahatBerbicara kata perkata dalam 1 nafasNadi > 120APE < 60% atau 100 L/dtk
Terbaik:Nebulasi agonis β2 @ 4 jamAlternatif:- Agonis β2 sc/iv- Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc
Aminofilin bolus dilanjutkan dripOksigenKortikosteroid iv
Darurat gawat/RSKlinik
Mengancam jiwaKesadaran berubah /menurunGelisahSianosisGagal nafas
Seperti serangan akut beratPertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik
Darurat gawat/RSICU
KONTROL SECARA TERATUR
Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma jangka
panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli paru pada
keadaan-keadaan tertentu.
POLA HIDUP SEHAT
Pola hidup sehat yang dianjurkan antara lain adalah meningkatkan kebugaran fisik
melalui olahraga, penderita dianjurkan untuk berhenti atau tidak pernah merokok
karena rokok merupakan oksidan yang dapat menimbulkan inflamasi dan menyebabkan
ketidakseimbangan protease antiprotease serta penderita asma dianjurkan untuk tidak
bekerja di tempat kerja yang merupakan faktor pencetus asma.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Ratnawati J. 2011. Epidemiologi Asma. J Respir Indones 31(4):172-5.
2. Sihombing M, Alwi Q, Nainggolan O. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Penyakit Asma Pada Usia ≥10 Tahun di Indonesia (Analisis Data
Riskesdas 2007). J Respir Indones, 30(2):85-91.
3. Fairawan, Sulfan. 2008. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Penyakit Asma
Dengan Sikap Penderita Dalam Perawatan Asma Pada Pasien Rawat Jalan di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
4. Harsono, Bambang Irawan, dkk. 2003. Peranan Magnesium Pada Asma. Cermin
Dunia Kedokteran, 141 : 46-51.
26
5. Tim Penyusun. 2012. Data Rekapan SP2TP-LB1 Jenis Penyakit Januari-Desember
2012. Narmada: Puskesmas Narmada.
6. Matondang, dkk. 2009. Peran Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Pada Asma
Anak. Sari Pediatri 10 (5): p. 314-319.
7. Depkes RI. 2009. Pedoman Pengendalian Asma. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
8. Purnomo. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Asma. Semarang, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (skripsi).
9. Rengganis I. 2008 Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon.
Vol. 58(11); p. 444-453.
10. 2003. Pedoman Diagnosis dan Petalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
11. Fauci AS, et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th edition.
USA: The McGraw-hill Companies, inc.
27