Download - Case Anestesi Cilegon FIX

Transcript
Page 1: Case Anestesi Cilegon FIX

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 PENDAHULUAN

Regional anestesi terbagi atas spinal anestesi, epidural anestesi dan blok perifer. Spinal &

anestesi epidural ini telah secara luas digunakan di ortopedi, obstetri dan anggota tubuh bagian

bawah operasi abdomen bagian bawah.Spinal anestesi, diperkenalkan oleh Bier Agustus 1898,

adalah teknik regional pertama utama dalam praktek klinis. Operasi sectio caesaria memerlukan

anestesi yang efektif yaitu regional (epidural atau tulang belakang) atau anestesi umum. Dengan

epidural anestesi, obat anestesi yang dimasukkan ke dalam ruang di sekitar tulang belakang

pasien, sedangkan dengan spinal anestesi yaitu obat anestesi disuntikkan sebagaidosis tunggal ke

dalam tulang belakang pasien. Dengan dua jenis anestesi regional ini pasien terjaga dalam proses

persalinan, tetapi mati rasa dari pinggang ke bawah. Keuntungan dari spinal anestesi

dibandingkan dengan anestesi epidural adalah kecepatan onsetnya. Kerugian spinal anestesi

adalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-muntah intrapartum, kemungkinan adanya post

spinal headache, lama kerja obat anestesi terbatas. Komplikasi yang paling umum ditemui

dengan anestesi spinal adalah hipotensi, yang disebabkan blokade sistem saraf simpatik.

Akibatnya, penurunan resistensi vaskuler sistemik dan perifer terjadi penurunan cardiac output.

Dalam beberapa kasus, efek kardiovaskular dapat bermanifestasi sebagai hipotensi mendalam &

bradikardia. Hipotensi merupakan masalah yang serius yang terjadi dalam spinal anestesi pada

operasi sectio caesaria, dengan insiden yang dilaporkan dari literatur hampir di atas 83%.1

1

Page 2: Case Anestesi Cilegon FIX

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. A

Usia : 28 tahun

Jenis Kelamin : Wanita

Alamat : Link. Langon I RT 05/01, Mekarsari, P. Merak, Cilegon

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 1 Juli 2013

Jenis Pembedahan : Sectio Caesaria

Teknik Anestesi : Regional Anestesi – Spinal Anestesi

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 07.30

Keluhan Utama

Mulas – mulas yang dirasakan sejak tanggal 30 Juni 2013 pukul 17.00 sore

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Kota Cilegon pada tanggal 1 Juli 2013 pukul

10.40 WIB dengan keluhan mulas – mulas. Pada waktu yang bersamaan

keluar darah dan lendir dari jalan lahir. Pada pemeriksaan obstetrik didapatkan

pembukaan sudah 1 jari. Persalinan ditunggu sampai pukul 19.00 namun tidak

terdapat kemajuan dalam proses persalinan. Pembukaan masih teraba 2 jari

sempit. Kemudian pasien diberikan oksitosin drip botol I dengan dosis 5 IU

dalam 500 mL Ringer Laktat. Setelah pemberian oksitosin tetap tidak

didapatkan tanda-tanda kemajuan dalam persalinan. Pembukaan masih teraba

3 jari. Ditambahkan pemberian oksitosin 5 IU botol ke II namun pembukaan

tetap 3 jari. Karena tidak adanya kemajuan dalam persalinan pasien

direncanakan sectio caesaria pada tanggal 2 Juli 2013.

2

Page 3: Case Anestesi Cilegon FIX

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat penyakit penyerta misal; diabetes mellitus, asma, penyakit

jantung, tekanan darah tinggi, penyakit ginjal, dan penyakit paru disangkal

- Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat atau makanan

- Pasien belum pernah menjalani operasi apapun sebelumnya

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : tampak sakit sedang, sedikit cemas

Kesadaran : compos mentis

Status Gizi : TB : 153 cm

BB : 58 kg

BMI : 24,7 (Normal)

Tekanan Darah : 130 / 90 mmHg

Pernapasan : 22 x/menit

Nadi : 92 x/menit

Suhu : 36o C

Status Generalis

Kepala :Normocephali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah

dicabut, tidak rontok

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor

Telinga :Normotia, liang telinga lapang, hiperemis -/-, sekret +/+

Hidung :Deviasi septum (-), mukosa hiperemis -/-, sekret -/-

Mulut :Sianosis (-), mukosa hiperemis (-)

Gigi geligi : Gigi palsu (-), gigi goyang (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-)

Thorax

- Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)

- Jantung : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

3

Page 4: Case Anestesi Cilegon FIX

Abdomen

- Inspeksi : datar

- Auskultasi : bising usus (+) 2 x/menit

- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), nyer lepas (-), hepar lien tidak

teraba

- Perkusi : timpani

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-)

Status Lokalis

Tinggi Fundus Uteri : 32 cm

DJJ : 138x/menit

His : 2x/10’/20”

Leopold : Presentasi kepala, punggung kanan

Vaginal Toucher : Pembukaan 3 jari, ketuban intak

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil laboratorium tanggal 1 Juli 2013

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi

Hemoglobin 10,3 gr/dl 12 - 15 gr/dl

Leukosit 11.250 / µl 5.000 – 10.000 / µl

Hematokrit 32,1 % 36 – 47 %

Trombosit 206.000 / µl 150.000 – 400.000 / µl

Gula Darah Sewaktu 83 mg/dl < 150 mg/dl

PT 11,1“ 11 – 15”

INR 0,97

APTT 31,7” 25 – 35”

Golongan Darah O Rh +

Imunologi Serologi

HbSAg - -

4

Page 5: Case Anestesi Cilegon FIX

Anti HIV - -

Fungsi Hati

Bilirubin Total 5,7 mg % 0,2 – 1 mg %

Albumin 3,5 gr % 3,8 – 5,0 gr %

Globulin 2,2 gr % 2,3 – 3,2 gr %

SGOT 24 5 – 40 µl

SGPT 8 5 - 41 µl

Fungsi Ginjal

Ureum 17 mg/dl 15 – 40 mg/dl

Kreatinin 1,0 mg/dl 0,5 – 1,5 mg/dl

V. RESUME

Seorang wanita berusia 28 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Kota

Cilegon pada pukul 10.40 WIB dengan keluhan mulas-mulas yang dirasakan sejak

pukul 17.00 WIB kemarin sore. Pada waktu bersamaan keluar darah dan lendir.

Setelah pemberian oksitosin 5 IU botol ke II tidak didapatkan kemajuan dalam

persalinan sehingga pasien direncanakan sectio caesaria. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi nadi dan nafas dalam batas

normal. Dari hasil laboratorium tidak didapatkan kelainan.

VI. DIAGNOSIS KERJA

G2P1A0 hamil 42 minggu, serotinus, gagal induksi (ASA I)

VII. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan :

Diagnosa perioperatif

Status operatif : ASA 1

Jenis operasi : Sectio Caesaria

Jenis anestesi : Regional anestesi

5

Page 6: Case Anestesi Cilegon FIX

BAB III

LAPORAN ANESTESI

1. Preoperatif

- Informed consent (+)

- Puasa (+) selama 8 jam

- Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu

- IV line terpasang dengan infuse Ringer Laktat

- Keadaan umum baik

- Tanda vital

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 36,2o C

2. Premedikasi Anestesi

Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansetron 4 mg bolus IV

3. Tindakan Anestesi

Regional anestesi – spinal anestesi. Sub Arachnoid Block Sit Position L3-L4 LCS (+)

4. Pemantauan Selama Anestesi

Melakukan monitoring terus menerus tentang kedaan pasien yaitu reaksi pasien terhadap

pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung

Kardiovaskular

Nadi setiap 5 menit

Tekanan darah setiap 5 menit

Respirasi

Inspeksi pernafasan spontan pada pasien

Saturasi oksigen

6

Page 7: Case Anestesi Cilegon FIX

5. Monitoring Anestesi

Jam Tindakan Tekanan Darah Nadi Saturasi O2

09.35 Pasien masuk ruang

operasi, ditidurkan

terlentang di atas

meja operasi,

dipasangkan manset

tekanan darah di

tangan kanan, dan

pulse oksimeter di

tangan kiri

09.40 Injeksi Ondansetron 4

mg bolus IV

130/80 mmHg 90 x/menit

09.45 Injeksi Bupivacain 20

mg secara perlahan-

lahan (subarachnoid

block sit position) L3-

L4 LCS (+)

125/80 mmHg 90 x/menit

09.50 Operasi dimulai 110/70 mmHg 96 x/menit 99 %

09.55 Bayi lahir, jenis

kelamin laki-laki, tali

pusat dipotong.

Injeksi Induxin 10 IU

& Pospargin 0,2 mg

105/65 mmHg 90 x/menit 98 %

10.00 110/70 mmHg 88 x/menit 99 %

10.05 112/68 mmHg 87 x/menit 98 %

10.10 110/70 mmHg 80 x/menit 99 %

10.15 122/80 mmHg 78 x/menit 100 %

10.20 115/70 mmHg 84 x/menit 99 %

10.25 Operasi selesai 120/70 mmHg 84 x/menit 100 %

7

Page 8: Case Anestesi Cilegon FIX

10.30 Injeksi Ketorolac 30

mg bolus IV,

Pronalges

suppositoria &

Citrosol 3 tablet per

vaginam

120/70 mmHg 80 x/menit 100 %

6. Laporan Anestesi

Lama anestesi : 45 menit

Lama operasi : 35 menit

Jenis anestesi : Regional anestesi

Teknik anestesi : Spinal anestesi, subarachnoid block

Posisi : Sit position

Infus : Ringer Laktat pada tangan kiri

Premedikasi : Ondansetron 4 mg bolus IV

Medikasi :

- Bupivacain 20 mg

- Induxin 10 IU

- Pospargin 0,2 mg

- Ketorolac 30 mg

- Pronalges suppositoria

- Citrosol 3 tablet

7. Keadaan Setelah Pembedahan

Pasien dipindahkan ke recovery room dan dipantau tanda vitalnya sebelum

dipindahkan ke ruang rawat.Masuk recovery room pukul 10.35 dan keluar menuju ruang

rawat pada pukul 11.00. Pada observasi didapatkan :

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 120/76 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Pernafasan : 20x/menit

8

Page 9: Case Anestesi Cilegon FIX

Saturasi oksigen : 100 %

Skor Aldrete

Variabel Kriteria Skor Skor Pasien

Aktivitas Gerak ke-4 anggota

gerak atas perintah

Gerak ke-2 anggota

gerak atas perintah

Tidak respon

2

1

0

1

Respirasi Dapat bernafas dalam

dan batuk

Dispnea, hipoventilasi

Apnea

2

1

0

2

Sirkulasi Perubahan < 20% TD

systole preoperasi

Perubahan 20-50% TD

systole preoperasi

Perubahan > 50% TD

systole preoperasi

2

1

0

2

Kesadaran Sadar penuh

Dapat dibangunkan

Tidak respon

2

1

0

2

Warna Kulit Merah

Pucat

Sianotik

2

1

0

2

Skor Total 9

≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi

≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal

≥ 5 : Dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)6

9

Page 10: Case Anestesi Cilegon FIX

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien

didiagnosis G2P1A0 hamil 42 minggu dan gagal induksi dengan ASA 1, yakni pasien sehat

organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia. Pasien direncanaka untuk operasi section caesaria.

Menjelang operasi pasien tampak sakit sedang karena telah merasakan mulas-mulas sejak 2 hari

lalu, sedikit cemas, kesadaran compos mentis. Pasien sudah dipuasakan selama 8 jam. Jenis

anestesi yang dilakukan yaitu regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block

sit position.3

Pada pasien diberikan premedikasi Ondansetron 4 mg secara bolus IV.Ondansetron

merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diberikan sebagai pencegahan dan

pengobatan mual mual dan muntah selama dan pasca bedah.Ondansetron diberikan pada pasien

untuk mencegah mual muntah yang dapat menyebabkan aspirasi. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus

merangsang reflex muntah dan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya.2

Dilakukan induksi dengan Bupivacain 20 mg (dosis induksi 1-2 mg/kgBB). Bupivacaine

adalah obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja yang pendek.

Seperti halnya anestesi lokal lainnya, bupivacain menghasilkan blokade konduksi atau blokade

lorong natrium pada dinding saraf yang bersifat reversibel, jika digunakan pada saraf sentral atau

perifer.2

Induxin dan pospargin diberikan sebagai uterotonika yang berguna untuk mengontrol

perdarahan pasca persalinan dengan merangsang kontraksi uterus. Pospargin diberikan dengan

dosis 0,02 mg bolus sedangkan induxin diberikan per drip dengan dosis 10 IU.4

Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tiap 5 menit secara efisien dan terus-

menerus, dan pemberian cairan intravena RL.

Ketorolac diberikan sebagai analgetik non opioid dan bersifat anti inflamasi juga

merupakan antipiretik dan anti pembekuan darah. Bekerja dengan menghambat aktivitas

siklooksigenase sehingga terjadi penghambatan prostaglandin perifer.

Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi dilanjutkan pada pasien post-operatif di

recovery room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respirasi,

dan saturasi oksigen.

10

Page 11: Case Anestesi Cilegon FIX

BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

REGIONAL ANESTESI

Definisi

Penggunaan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga

impuls nyeri dari suatu bagian tubuh di blok untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh

sebagian atau seluruhnya. Penderita tetap sadar.

Menurut teknik cara pemberian dibagi dalam :

1. Infiltrasi Lokal : Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat

lesi  luka atau insisi

2. Blok lapangan (field block) : Infiltrasi sekitar lapangan operasi (untuk extirpasi tumor

kecil)

3. Blok saraf (nerve blok) : Penyuntikan obat analgetik lokal langsung ke saraf utama atau

pleksus saraf; dibagi menjadi blok sentral yaitu meliputi blok spinal, epidural, kaudal,

dan blok perifer meliputi blok pleksus brakhialis, aksiler.

4. Analgesia permukaan : Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput

mukosa seperti hidung, mata, faring.

5. Analgesia regional intravena : Penyuntikan larutan analgetik intravena. Ekstremitas di

eksainguinasi dan di isolasi bagian proximalnya dengan torniket pneumatic dari sirkulasi

sistemik.1

Evaluasi Preoperatif

Pada umumnya setiap dilakukan pemeriksaan sebagaimana biasanya, evaluasi sebelum

anestesi spinal atau epidural mempertimbangkan perencanaan operatif, serta keadaan fisik pasien

dan beberapa kontraindikasi terhadap tehnik regional.

Pertimbangan Bedah

Banyak operasi pada ekstremitas bawah, pelvis, abdomen bagian bawah, dan perineum

dapat dilakukan dengan anestesi spinal. Operasi daerah diatas abdomen, dada, bahu, dan

ekstremitas atas dapat ditangani dengan anestesi spinal dengan kesulitan yang besar. Walaupun

tempat operasi sudah teranestesi dalam banyak kasus pasien tetap merasa tidak nyaman.

11

Page 12: Case Anestesi Cilegon FIX

Selanjutnya, efek operasi atau spinal anesthesia  yang tinggi mungkin akan mempengaruhi

pernapasan, sirkulasi bahkan intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan.

Pemeriksaan Fisik

Evaluasi preoperatif termasuk pemeriksaan toraks dan vertebra lumbal serta kulit

disekitar tempat penusukan jarum. Anestesi spinal lebih sulit dan mungkin kesalahan lebih

banyak jika terdapat kelainan anatomic seperti skoliosis atau keterbatasan fleksi vertebra pasien.

Infeksi pada tempat punksi menghalangi spinal anestesi. Defisit neurologi yang ada sebelumnya

yang ditemukan lewat anamnesis atau dengan pemeriksaan harus dicatat untuk mencegah

kesalahan diagnosis kelainan neurologi post anestesi.

Kontra Indikasi

Diantara sedikit kontra indikasi absolut anesthesia spinal adalah pasien menolak dan

infeksi pada tempat insersi jarum anestesi spinal. Juga untuk penderita yang menderita

koagulopati yang berat dan ditakutkan terjadinya hematoma epidural. Teknik ini juga tidak

diindikasikan pada pasien-pasien dengan  gangguan pembekuan, hal ini dapat dilindungi dengan

pemberian heparin sesudahnya. Jika hipovolemia tidak dikoreksi sebelum anestesi spinal,

penekanan saraf simpatis menghasilkan katastropik hipotensi, juga perdarahan, dan dehidrasi

harus ditangani sebelum anesthesia dilakukan.

Kontraindikasi Penggunaan Anestesi

Absolut Relative

Pasien menolak

Coagulopathy

Infeksi setempat

Hypovolemia

Sepsis

Kelainan neurology sebelumnya

Teknik Umum Anestesi Spinal

Seperti pada anestesi umum, obat-obatan, perlengkapan serta mesin anestesi disiapkan

sebelum penderita masuk ruangan; begitu pula dengan monitor standar. Persiapan termasuk

vasopressor untuk mencegah hipotensi, suplemen oksigen melalui nasal kanula atau masker

12

Page 13: Case Anestesi Cilegon FIX

untuk mengatasi depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik. Pemberian sedatif dan narkotik

membuat penderita tenang selama penusukan jarum, bahkan pasien cukup sadar untuk

melaporkan parestesia selama prosedur. Nyeri yang persisten atau parestesia dengan penusukan

jarum  atau injeksi anestetik dapat menggambarkan trauma akar saraf.

Anestesi spinal dapat dilakukan pada posisi duduk, lateral dekubitus atau posisi prone.

Walaupun posisi duduk lebih mudah untuk mendapatkan  fleksi vertebra, pasien menjadi lelah

bahkan membutuhkan bantuan. Setiap melakukan tindakan  tersebut operator dan asisten harus

memberitahu pasien setiap langkah yang diambil untuk mendapatkan keadaan yang stabil. 

Setelah posisi ditentukan, identifikasi tempat penusukan. Pencegahan untuk menghindari infeksi

termasuk teknik aseptic, kulit dibersihkan dengan  larutan bakterisidal, penutup steril, sarung

tangan dan secara hati-hati memperhatikan indikator sterilisasi termasuk perlengkapan spinal.

Untuk mencegah kesalahan pemberian obat atau dosis, identifikasi label dan konsentrasi

diperhatikan dengan hati-hati.1

Obat – obat Spinal Anestesi

Anestesi spinal membutuhkan blok sepanjang dermatom daerah operasi. Keterbatasan

memperluas anestesi yang diperlukan untuk memblok dermatom sangat penting untuk

mengurangi beratnya efek menjadi minimum. Obat yang digunakan untuk anestesi spinal

13

Page 14: Case Anestesi Cilegon FIX

termasuk anestesi lokal, opioid, dan vasokonstriktor. Dextrosa kadang-kadang ditambahkan

untuk meningkatkan berat jenis larutan.

Anestetik Lokal

Semua anestetik lokal efektif untuk anesthesia spinal. Kriteria yang digunakan

untuk memilih obat adalah lamanya operasi. Tetrakain dan buvipacain biasanya dipilih

untuk operasi yang lebih lama dari 1 jam dan lidokain untuk operasi-operasi yang kurang

dari 1 jam, walaupun durasi anestesi spinal tergantung pula pada penggunaan

vasokonstriktor, dosis serta distribusi obat.

Tabel . Obat-obat anestesi lokal untuk anesthesia spinal

Obat

Konsentrasi

(%)

Dosis

(mg)

Lama (jam)

Tanpa

Epinefrin

Dengan

Epinefrin

Lidokain, hyperbarik

Lidokain, isobaric.

Tetrakain, hyperbarik.

Tetrakain, isobaric.

Tetrakain, hypobarik.

Bupivakain, isobaric.

Bupivakain, hyperbarik.

5

2

0,5

1

0,3

0,5

0,75

25-100

20-100

3-15

3-20

3-20

5-15

3-15

1

1,5

2

2-3

2

2-3

1,5

2

2 – 3

2 – 4

4 – 6

4 – 6

4 – 6

3 – 4

Vasokonstriktor

Lamanya blok dapat ditingkatkan 1-2 jam dengan  penambahan larutan

vasokonstriktor kelarutan yang diinjeksikan kedalam CSS. Baik epinefrin (0,1 - 0,2 mg)

maupun phenyleprine (1,0 - 4,0 mg) memperpanjang durasi anestesi spinal. Obat-obatan

14

Page 15: Case Anestesi Cilegon FIX

tersebut menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensupply dmedulla

spinalis, mengurangi absorbsi vaskular dan eliminasi anestetik local.

Opioid

Kerja narkotik subarachnoid adalah pada reseptor opiod di dalam medulla

spinalis. Morfin (0,1 - 0,2 mg) menghasilkan analgesia signifikan yang baik pada periode

postoperative, sebagaimana Fentanyl (25-37,5 µg) dan subfentanyl (10 µg). Efek

samping narkotik subarachnoid ialah pruritus, nausea, dan depresi pernapasan.3

Tabel . Opioid Dalam Ruang Subarachnoid

Obat Dosis Lama kerja

Morfin

Fentanyl

Subfentanyl

0,1 – 0,2 mg

25 – 50   mg

5 – 10-  mg

8 – 24 jam

1 – 2  jam

2 – 3  jam

Komplikasi Anestesi Spinal

Komplikasi dini / intraoperatif :

1. Hipotensi

2. Anestesi spinal tinggi / total.

3. Henti jantung 

4. Mual dan muntah 

5. Penurunan panas tubuh

6. Parestesia5

TINDAKAN ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA

Sistem Pernafasan

Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas. Functional

residual capacity menurun sampai 15-20%, cadangan oksigen juga berkurang. Pada saat

persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat sampai 100%.

15

Page 16: Case Anestesi Cilegon FIX

Menjelang / dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan jalan nafas,

menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi anestesi,.

Ventilasi per menit meningkat sampai 50%, memungkinkan dilakukannya induksi

anestesi yang cepat pada wanita hamil.

Sistem Saraf Pusat

Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang

diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-

vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural

menjadi lebih sempit. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitivitas serabut

saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran

reseptor.

Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta

Juga menjadi pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya

merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap bahwa

semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin.

Keuntungan :

1. Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat dicegah /

dikurangi

2. Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan

3. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)

Kerugian :

1. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)

2. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama

3. Kemungkinan terjadi sakit kepala5

BUPIVACAIN

Bupivacain (Marcain) merupakan obat anestesi lokal kelompok amida, dengan rumus

16

Page 17: Case Anestesi Cilegon FIX

bangun sebagai berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.

Bupivacain adalah derivat butil dari mepivacain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat

daripada asalnya. Obat ini termasuk golongan obat anestesi long acting. Secara kimia dan

farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf dengan tetrakain. Secara komersial bupivacain

tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat sensoris

daripada motoris, menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan

pasca bedah.6

Farmakologi

Bupivacain adalah obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja

yang pendek.Seperti halnya anestesi lokal lainnya, bupivacain menghasilkan blokade konduksi

atau blokade lorong natrium pada dinding saraf yang bersifat reversibel, jika digunakan pada

saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi

saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.

Farmakodinamik

Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan

permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi pada

selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam

lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein mempengaruhi lama kerja dan konstanta

dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja. Konsentrasi minimal anestesi lokal dipengaruhi oleh :

ukuran, jenis dan mielinisasi saraf; pH (asidosis menghambat blokade saraf), frekuensi stimulasi

saraf.

Mula kerja bergantung beberapa factor, yaitu: pKa mendekati pH fisiologis sehingga

konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membran sel saraf sehingga

menghasilkan mula kerja cepat, alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat, konsentrasi

obat anestetika lokal. Lama kerja dipengaruhi oleh : ikatan dengan protein plasma, karena

reseptor anestetika lokal adalah protein; dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi; dipengaruhi oleh

ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian.

Indikasi

1. Anestesi Intratekal (sub-arachnoid, spinal) untuk pembedahan

17

Page 18: Case Anestesi Cilegon FIX

2. Pembedahan di daerah abdomen selama 45 - 60 menit (termasuk operasi Caesar)

3. Pembedahan dibidang urologi dan anggota gerak bawah selama 2- 3 jam

Kontraindikasi

1. Hipersensitif terhadap anestesi lokal jenis amida

2. Penyakit akut dan aktif pada sistem saraf, seperti meningitis, poliomyelitis, perdarahan

intrakranial, dan demyelinisasi, peningkatan tekanan intrakranial, adanya tumor otak atau

di daerah spinal

3. Stenosis spinal dan penyakit aktif (spondilitis) atau trauma (fraktur) baru pada tulang

belakang.

4. TBC tulang belakang

5. Infeksi pada daerah penyuntikan

6. Septikemia

7. Anemia pernisiosa dengan degenerasi kombinasi sub-akut pada medula spinalis

8. Gangguan pembekuan darah atau sedang mendapat terapi antikoagulan secara

berkesinambungan

9. Hipertensi tidak terkontrol

10. Syok kardiogenik atau hipovolemi

Dosis

Anestesi spinal pada orang dewasa 7,5 - 20 mg. Penyebaran anestesi tergantung pada

beberapa faktor, termasuk di dalamnya volume larutan dan posisi pasien selama dan setelah

penyuntikan ke rongga sub-arachnoid. Harus dipahami bahwa tingkat anestesi spinal yang

dicapai oleh anestesi lokal tidak dapat diperkirakan pada pasien.

Injeksi spinal hanya boleh diberikan jika ruang subarachnoid sudah teridentifikasi secara

jelas dengan ditandai keluar dan menetesnya cairan serebrospinal yang jernih, atau terdeteksi

oleh aspirasi cairan serebrospinal. Larutan harus segera digunakan setelah ampul terbuka dan

sisanya harus dibuang.6

Efek Samping

1. Sistem saraf pusat (SSP)

18

Page 19: Case Anestesi Cilegon FIX

SSP rentan terhadap toksisitas anestetik lokal, dengan tanda-tanda awal parestesi

lidah gelisah, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, tinitus, mual, muntah, tremor,

gerakan koreatosis, rasa logam di mulut, inkoherensia, kejang koma.

2. Sistem Pernafasan

Relaksasi otot polos bronkus. Henti nafas akibat paralisis nervus phrenikus,

paralise interkostal atau depresi langsung, pernafasan dalam dan kemudian tak teratur,

sesak nafas hingga apneu, hipersekresi dan bronkospasme.

3. Sistem kardiovaskuler : vasodilatasi, hipotensi, bradikardi, nadi kecil dan syok.

4. Reaksi hipersensitivitas (urtikaria, dermatitis, edema angioneurotik, bronkospasme, status

asmatikus, sinkop dan apneu)

Interaksi Obat

Bupivacaine harus digunakan secara hati-hati bila diberikan pada penderita yang

menerima obat-obat aritmia dengan aktivitas anestesi lokal, karena efek toksiknya dapat bersifat

adiktif. Toksisitasnya meningkat bila diberikan bersama propanolol.

POSPARGIN

Metilergometrina maleat merupakan amina dengan efek uterotonik yang menimbulkan

kontraksi otot uterus dengan cara meningkatkan frekuensi dan amplitudo kontraksi pada dosis

rendah dan meningkatkan tonus uterus basal pada dosis tinggi.

Mekanisme kerjanya merangsang kontraksi otot uterus dengan cepat dan poten melalui

reseptor adrenergik sehingga menghentikan perdarahan uterus.2

Farmakokinetik

Metilergometrina diabsorbsi cepat dan hampir sempurna, baik pada pemberian oral,

intramuskular dan IV injeksi. 35% metilergometrina terikat dengan protein plasma. Hanya

sebagian kecil metilergometrina yang ditemukan pada ASI (kurang dari 0,3% dari dosis yang

diminum. Pada penyuntikan IV, efek kontraksi uterus terjadi dengan segera (30 - 60 detik).

Kontraksi uterus ini pada penyuntikan IV bertahan sampai dengan 2 jam. Metilergometrina

didistribusi cepat dengan volume distribusi 0,33 - 0,67 L/kg, dibandingkan total cairan tubuh.

Eliminasinya terutama melalui empedu dikeluarkan bersama feses.

Indikasi

19

Page 20: Case Anestesi Cilegon FIX

1. Mencegah dan mengobati pendarahan pasca persalinan dan pasca abortus, termasuk

pendarahan uterus karena sectio caesaria

2. Penanganan aktif kala III pada partus

3. Pendarahan uterus setelah placenta lepas, atoni uterus, subinvolusi uterus pada

puerperium, lokhiometra

Kontraindikasi

1. Penggunaan untuk induksi atau augmentasi partus sebelum persalinan

2. Hipertensi, termasuk hipertensi karena kehamilan (pre-eklampsia, eklampsia)

3. Abortus iminens

4. Inersia uterus primer dan sekunder

5. Kehamilan

6. Hipersensitivitas

Dosis dan Cara Pemakaian

1. Sectio caesaria : setelah bayi dikeluarkan secara ekstraksi, i.m.1 mL atau i.v. 0,5 sampai 1

mL

2. Penanganan aktif kala III : i.m. 0,5 sampai 1 mL (0,1 - 0,2 mg) setelah kepala atau bahu

interior keluar atau selambat - lambatnya segera setelah bayi dilahirkan

3. Kala III pada partus dengan anestesi umum : i.v. 1 mL (0,2 mg)

4. Atoni uterus : i.m. 1 mL atau i.v.0,5 sampai 1 mL

5. Membantu involusi uterus : 1 tablet 3 kali sehari, umumnya 3 - 4 hari

6. Pendarahan puerperal, subinvolusi, lokhiometra : 1 atau 2 tablet 3 kali sehari, atau i.m.

0,5 - 1 mL sehari

Efek samping

Mual, muntah dan sakit perut dapat terjadi pada pemberian dosis yang besar. Hipertensi

dapat terjadi terutama setelah penyuntikan i.v.yang cepat.2

OKSITOSIN (INDUXIN)

20

Page 21: Case Anestesi Cilegon FIX

Definisi

Oksitosin sintetik adalah obat yang dapat meningkatkan kontraksi otot polos

uterus.Banyak obat yang memperlihatkan efek oksitosik, tetapi hanya beberapa saja yang

kerjanya cukup selektif dan dapat berguna. Obat yang menjadi pilihan ialah oksitosin dan

derivatnya, alkaloid ergot dan derivatnya, dan beberapa prostaglandin semisintetik. Obat-obat

tersebut memperlihatkan respons bertingkat (gradedrespons) pada kehamilan, mulai dari

kontraksi uterus spontan, ritmis sampai kontraksi tetani.

Oksitosin sendiri merupakan hormon protein yang dibentuk di nukleus paraventrikel

hipotalamus dan disimpan di dalam dan dilepaskan dari hipofisis posterior Hormon ini dilepas

oleh ujung-ujung saraf di bawah perangsangan yang memadai; kapiler mengabsorpsi substansi

ini dan membawanya ke sirkulasi umum di mana akan membantu kontraksi otot polos.4

Indikasi

1. Induksi persalinan cukup bulan, dengan indikasi khusus :

a. Hipertensi akibat kehamilan

b. Hipertensi maternal kronik

c. Ketuban pecah dini > 24 jam sebelum waktunya

d. Korioamnionitis

e. Postmatur (gestasi > 42 minggu)

f. Retardasi pertumbuhan intrauterine

g. Diabetes melitus maternal

h. Penyakit ginjal maternal

i. Kematian janin intrauterin

2. Memfasilitasi kontraksi uterus pada kehamilan cukup bulan

3. Mengendalikan perdarahan sesudah melahirkan

4. Terapi tambahan pada aborsi spontan/ aborsi karena kelainan

5. Merangsang laktasi pada kasus kegagalan ejeksi ASI

Mekanisme Kerja Obat

21

Page 22: Case Anestesi Cilegon FIX

Oksitosin terikat pada reseptornya yang berada pada membran sel miometrium, di mana

selanjutnya terbentuk siklik adenosin-5-monofosfat (cAMP). Cara kerja oksitosin adalah dengan

menimbulkan depolarisasi potensial membran sel. Dengan terikatnya oksitosin pada membran

sel, maka Ca++ dimobilisasi dari retikulum sarkoplasmik untuk mengaktivasi protein kontraktil.

Kepekaan uterus terhadap oksitosin dipengaruhi oleh hormon estrogen & progesteron. Dengan

dominasi pengaruh estrogen meningkat sesuai dengan umur kehamilan, kepekaan uterus

terhadap oksitosin meningkat. Selain itu kepekaan uterus juga dipengaruhi oleh reseptor

oksitosin, yang akan semakin banyak dengan makin tua kehamilannya.Sensitivitas maksimal

terhadap oksitosin dicapai pada kehamilan 34-36 minggu. Bersama dengan faktor-faktor lainnya

oksitosin memainkan peranan yang sangat penting dalam persalinan dan ejeksi ASI.4

Oksitosin bekerja pada reseptor oksitosik untuk menyebabkan :

Kontraksi uterus pada kehamilan aterm yang terjadi lewat kerja langsung padaotot polos

maupun lewat peningkatan produksi prostaglandin

Konstriksi pembuluh darah umbilicus

Kontraksi sel-sel miopital (refleks ejeksi ASI)

Oksitosin bekerja pada reseptor hormonantidiuretik (ADH) untuk menyebabkan :

Peningkatan atau penurunan yang mendadak pada tekanan darah diastolik karena

terjadinya vasodilatasi

Retensi air

Kontraindikasi

1. Hipersensitivitas oksitosin

2. Adanya komplikasi obstetrik

3. Tidak dianjurkan digunakan untuk dilatasi serviks

4. Kelainan letak janin

5. Plasenta previa

6. Kontraksi uterus hipertonik

7. Distress janin

8. Prematurisasi

22

Page 23: Case Anestesi Cilegon FIX

9. Disporposi cephalo pelvic

10. Preeklampsia atau penyakit kardiovaskuler dan terjadi pada ibu hamil yang berusia35

tahun

11. Gawat janin

Farmakokinetik

Oksitosin diarbsorpsi dengan baik oleh mukosa hidung ketika diberikan secara intranasal

untuk mengeluarkan ASI. Kemampuan mengikat proteinnya rendah, dan waktu paruhnya 1-9

menit. Di metabolisasi dengan cepat dan di ekskresikan oleh hati.

Farmakodinamik

Onset dari kerja oksitosin yang diberikan secara intravena terjadi segera, waktu untuk

mencapai puncak konsentrasinya tidak diketahui, lama kerjanya adalah 20 menit. Obat yang

diberikan secara intravena untuk menginduksi kehamilan atau mempercepat kehamilan. Dosis

awal adalah 0,5 mL/menit dititrasi dengan kecepatan 0,2-2,65 mU setiap 15-30 menit sampai

kontraksi kira-kira terjadi setiap 3 menit dengan kualitas yang cukup. Untuk pencegahan dan

pengendalian perdarahan karena atoni uterus, 10 U oksitosin ditambahkan ke dalam 1 L larutan

dekstrose atau elektrolit (10 mU/ mL) diinfuskan dengan kecepatan yang dapat mengendalikan

atoni.

Efek Samping

1. Stimulasi berlebih pada uterus

2. Konstriksi pembuluh darah tali pusat

3. Mual, muntah, anoreksia

4. Reaksi hipersensitif

Dosis Obat

Induksi persalinan melalui infus IV : 5 - 30 unit diberikan dalam larutan fisiologis 500ml,

kecepatan : 5-40 tetes/ menit

Kala 3 persalinan : 5-10 IU secara intramuskular (IM) atau 5 IU secara IV lambat

Pembelahan pada operasi caesar : 5 IU intramuskular setelah melahirkan

23

Page 24: Case Anestesi Cilegon FIX

Cara Pemberian Oksitosin

1. Oksitosin tidak diberikan secara oral karena dirusak di dalam lambung oleh tripsin

2. Pemberian oksitosin secara intravena (drip / tetesan) banyak digunakan karena uterus

dirangsang sedikit demi sedikit secara kontinyu dan bila perlu infus dapat dihentikan

segera

KETOROLAC

Farmakodinamik

Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini merupakan

obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-

inflamasi. Ketorolac tromethamine menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap

sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat.3

Farmakokinetik

Setelah pemberian dosis tunggal intravena, volume distribusinya rata-rata 0,25 L/kg.

Ketorolac dan metabolitnya ditemukan dalam urin (rata-rata 91,4%) dan sisanya (rata-rata 6,1%)

diekskresi dalam feses. Pemberian Ketorolac secara parenteral tidak mengubah hemodinamik

pasien.

Indikasi

Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang

sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari.

Ketorolac secara parenteral dianjurkan diberikan segera setelah operasi. Harus diganti ke

analgesik alternatif sesegera mungkin, asalkan terapi Ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac

tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obstetri atau untuk analgesia obstetri

karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena diketahui

mempunyai efek menghambat biosintesis prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.3

Kontraindikasi

24

Page 25: Case Anestesi Cilegon FIX

Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena ada

kemungkinan sensitivitas silang

Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian Asetosal atau obat

anti-inflamasi nonsteroid lain

Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif

Penyakit serebrovaskular

Diatesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi

Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme

Terapi bersamaan dengan ASA dan NSAID lain

Hipovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain

Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160 mmol/L).

Riwayat asma

Dosis

Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi intramuskular atau bolus intravena.

Dosis untuk bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak

boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian

IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga

2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis sebaiknya disesuaikan dengan

keparahan nyeri dan respon pasien.

Dosis awal Ketorolac pada dewasa yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 10 – 30

mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total

tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien

gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Lamanya terapi tidak boleh

lebih dari 2 hari.

Efek Samping

Saluran Cerna : Diare, dispepsia, nyeri gastrointestinal, nausea

Susunan Saraf Pusat : Sakit kepala, pusing, mengantuk, berkeringat3

DAFTAR PUSTAKA

25

Page 26: Case Anestesi Cilegon FIX

1. Gaiser RR. Spinal, Epidural, and Caudal Anesthesia. In : Introduction to anesthesia,

editor : Longnecker DE, Murphy FL, ed 9 th, WB Saunders Company, 2007. 

2. Molnar R. Spinal, Epidural, and Caudal Anesthesia, In : Clinical Anesthesia Prosedures

of the Massachusetts General Hospital, editor : Davison JK, Eukhardt WF, Perese DA,

ed  4 th, London, Little brown and Company, 2010. 

3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2009; 133-140.

4. Brown DL. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia. In : Anesthesia, editor : Miller RD,

ed  5 th, Volume 1, California, Churchill Livingstone, 2010.

5. Besrnards CM. Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Anesthesia,

editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and

Wilkins, 2011. 

6. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Indeks Jakarta.

2010; 77.

26