Download - Case 7 Snake Bite

Transcript

Gigitan Ular Berbisa Mohd Asrul Bin Che Rahim 102008291 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 http://www.ukrida.ac.id/

AbstrakRacun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Mengingat masih sering terjadi keracunan akibat gigitan ular maka untuk dapat menambah pengetahuan masyarakat kami menyampaikan informasi mengenai bahaya dan pertolongan terhadap gigitan ular berbisa. Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.

1

Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. Keywords : Racun,bisa, gigitan ular.

Anamnesa

1. Identitas pasien seperti umur alamat nama dan perkejaan pasien 2. Dimana gigitan ular terjadi? 3. Ciri-ciri ular yang mengigit pasien. 4. Ditanyakan sudah berapa lama digigit?

Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik Tekanan darah Suhu Nadi Inspeksi Respiratory rate

Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, Ddimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang. Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria) EKG

2

Diagnosis Diagnosis kerja : Snake bite Gejala klinis Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding sebasar luka, udem, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan sementara. Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut : y Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit 24 jam) y Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur y Gejala khusus gigitan ular berbisa : o Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular

diseminata (KID) o Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma o Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma

3

o Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda tanda 5P (pain, pallor, paresthesia, paralysis pulselesness). Menurut Schwartz gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan : Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam. Menurut WHO y y y y y y y y y gejala local dan tanda pada tempat gigitan :

Bekas taring/gigitan Nyeri dan pendarahan lokal memar lymphangitis pembesaran lymphonodi inflamasi (bengkak, kemerahan, panas) melepuh infeksi lokal, formasi abses nekrosis

Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular : Gigitan Elapidae Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar.

4

Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata. Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala gejala neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam. Gigitan Viperidae: Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang kadang tekanan darah rendah dan nadi cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat. Gigitan Hidropiidae: Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah tersa tebal, berkeringat dan muntah

5

Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.

Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae: Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan untuk memberian poli valen crotalidae antivenin. Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting. Gigitan Coral Snake: Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius antivenin) Tanda dan gejala lokal : 5. lymphangitis 6. Bengkak, merah, panas 7. Melepuh 8. Necrosis

1. Tanda gigi taring 2. Nyeri lokal 3. Pendarahan lokal 4. Bruising

Gejala dan tanda sistemik umum :

Umum Mual, muntah, malaise, nyeri abdominal, weakness, drowsiness, prostration. Kardiovascular (Viperidae) : Visual disturbances, dizziness, faintness, collapse, shock, hypotension, arrhythmia cardiac, oedema pulmo, oedema conjungtiva.

6

Kelainan perdarahan dan pembekuan darah (Viperidae) : b Perdarahan dari luka gigitan b Perdarahan sitemik spontan dri gusi, epistaksis, hemopteu, hematemesis, melena, hematuri, perdarahan per vaginam, perdarahan pada kulit seperti petechiae, purpura, Ecchymoses dan pada mukosa seperti pada konjungtiva, perdarahan intrakranial

Neurologik (Elapidae, Russells viper) : Drowsiness, paraesthesiae, abnormalitas dari penciuman dan perabaan, heavy eyelids, ptosis, ophthalmoplegia external, paralysis dari otot wajah dan otot lai yang di inervasi oleh nervus kranialis, aphonia, difficulty in swallowing secretions, respiratory and generalised flaccid paralysis

Otot rangka (sea snakes, Russells viper) : Nyeri menyeluruh, stiffness and tenderness of muscles, trismus, myoglobinuria, hyperkalaemia, cardiac arrest, gagal ginjal akut

Ginjal (Viperidae, sea snakes) : LBP (lower back pain), haematuria, haemoglobinuria, myoglobinuria,

oliguria/anuria, tanda dan gejala dari uraemia (nafas asidosis, hiccups, nausea, pleuritic chest pain)

Endokrin (acute pituitary/adrenal insufficiency) (Russells viper) : y y Fase akut: syok, hypoglycaemia Fase kronik (beberapa bulan sampai tahun setelah gigitan): weakness, loss of secondary sexual hair, amenorrhoea, testicular atrophy, hypothyroidism

7

Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk snakebite antara lain : Gigitan labah-labah Syok Anafilasis Trombosis vena bagian dalam Trauma vaskular ekstrimitas Syok septik

Etiologi Gigitan ular berbisa Jenis jenis ular berbisa Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari kira kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu: 1. Famili Elapidae misalnya ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai

8

2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau, dan ular bandotan puspo

3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut

4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat dipakai rambu rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: Ciri ciri ular tidak berbisa: y Bentuk panjang y y Gigi taring kecil Bekas gigitan, luka halus y kepala segi empat Ciri ciri ular berbisa: y y Kepala segi tiga Dua gigi taring besar di rahang atas Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

berbentuk lengkung

9

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular : y Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun

prokoagulan memicu kaskade pembekuan) y Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut. Neurotoksin pascasinaps seperti -bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada

reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti -bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

10

Epidemiologi Diperkirakan sekitar 5 juta kasus gigitan ular terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, menyebabkan sekitar 125.000 kematian. Gigitan ular lebih umum terjadi di wilayah tropis dan di daerah dimana pekerjaan utamanya adalah agrikultural. Di daerah-daerah ini, sejumlah besar orang hidup berdampingan bersama sejumlah besar ular. Orang-orang yang digigit oleh ular dikarenakan memegang atau bahkan menyerang ular merupakan penyebab yang signifikan di Amerika Serikat. Diperkirakan ada 45.000 gigitan ular per tahun di Amerika Serikat, terbanyak pada musim panas, sekitar 8000 digigit oleh ular berbisa. Di Amerika Serikat, 76% korban adalah laki-laki kulit putih. Studi nasional di Negara tersebut melaporkan angka perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 9:1, dengan 50% korban berada pada rentang usia 18-28 tahun. Sedangkan studi UTMCK melaporkan perbandingan laki-laki dengan perempuan hanya 2.1:1, dengan jumlah korban dalam rentang usia yang sama hanya 25%. UTMCK juga melaporkan 96% gigitan berlokasi pada ekstremitas, dengan 56% pada lengan.

Patofisiologi Racun/bisa diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Racun ini disimpan di bawah gigi taring pada rahang atas. Rahang dapat bertambah sampai 20 mm pada ular berbisa yang besar. Dosis racun pergigitan bergantung pada waktu yang yang terlewati setelah gigitan yang terakhir, derajat ancaman dan ukuran mangsa. Respon lubang hidung untuk pancaran panas dari mangsa memungkinkan ular untuk mengubah ubah jumlah racun yang dikeluarkan.Racun kebanyakan berupa air. Protein enzim pada racun mempunyai sifat merusak. Protease, colagenase dan hidrolase ester arginin telah teridentifikasi pada racun ular berbisa. Neurotoksin terdapat pada sebagian besar racun ular berbisa. Diketahui beberapa enzim diantaranya adalah : (1) hialuronidase, bagian dari racun diamana merusak jaringan subcutan dengan menghancurkan mukopolisakarida.

11

(2) fosfolipase A2 memainkan peran penting pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membran sel darah merah dan menyebabkan nekrosis otot. (3) enzim trobogenik menyebabkan pembentukan clot fibrin, yang akan mengaktivasi plasmin dan menghasilkan koagulopati yang merupakan konsekuensi hemoragik. (Warrell, 2005)

Komposisi, Sifat dan Mekanisme Kerja Bisa ular Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalah protein, terdiri dari berbagai macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein non-toksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suatu enzim prokoagulan dari E.carinatus venom yang mengaktivasi protombin). Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine protease ancord merupakan prokoagulan dari C.rhodostoma venom (menekan fibrinopeptida-A dari fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian besar bisa ular mengandung fosfolipase A yang bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase, dan DNA-ase perannya belum jelas. (Sudoyo, 2006) Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul

12

reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun. (de Jong, 1998) Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat

Penatalaksanaan Berikut adalah langkah-langkah yang biasanya dilakukan dalam menangani gigitan ula y y y y y y y y y y y :

Pertolongan pertama Segera kirim ke RS Resusitasi dan penanganan klinis segera Penanganan klinis yang lebih mendalam dan diagnosis species ular Periksa lab Pemberian SABU Observasi respon SABU: untuk memutuskan peningkatan dosisnya Pemberian terapi suportif Penanganan bekas gigitan Rehabilitasi Penanganan komplikasi kronis

Tujuan pertolongan pertama y y mencoba memperlambat absorpsi sistemik racun mempertahankan nyawa dan mencegah komplikasi sebelum pasien dibawa ke RS y y y mengawasi gejala keracunan awal yang berbahaya mengatur transportasi pasien agar segera mendapat pertolongan medis Above all, do no harm!

13

Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Cara tradisional pada penanganan gigitan ular seperti metode penggunaan torniket (cara ini sangat menyakitkan dan berbahaya apabila torniket dipasang terlalu lama karena dapat menyebabkan iskemia dan akhirnya banyak yang menjadi gangren), insisi tempat gigitan, pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit, pemberian antihistamin dan kortikosteroid harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya dan bahkan membahayakan.

Recommended first aid methods y y Menenangkan korban yang mungkin sangat Immobilisasi ekstremitas yang tergigit dengan balutan atau bidai (karena setiap gerakan atau kontraksi otot meningkatkan absorpsi racun ke pembuluh darah atau limfe) y y Pertimbangkan pressure-immobilisation untuk beberapa jenis ular Elapidae Hindari intervensi apapun pada bekas gigitan karena dapat membuat infeksi, meningkatkan absorpsi racun, dan meningkatkan pendarahan.

14

Tindakan Pelaksanaan A. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah y y Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol y Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

Petunjuk awal bahwa pasien mengfalami gejala keracunan berat : y y y Ular teridentifikasi sebagai jenis yang berbahaya Pembesaran bengkak yang cepat pada tempat gigitan Cepat terjadi Pembesaran dari lokal lymphonodi, menunjukan bahwa racun telah menyebar pada saluran limfe. y Cepat terjadi gejala sistemik: kolaps (hypotension, shock), nausea, muntah, diare, nyeri kepala hebat, berat pada kelopak mata, mudah mengantuk atau ptosis yang aal/opthalmoplegia y y Cepat terjadi perdarahan sistenik spontan Urin berwarna coklat gelap

B. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai berikut: y y y y Penatalaksanaan jalan napas Penatalaksanaan fungsi pernapasan Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka, imobilisasi (dengan bidai)

15

y

Periksa lab, Ambil 5 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan kemungkinan adanya koagulopati.

y y

Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahan), polivalen 1 ml berisi: b 10-50 LD50 bisa Ankystrodon b 25-50 LD50 bisa Bungarus b 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix b Fenol 0.25% v/v

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan. Dosis SABU pada anak dan dewasa sama, karena ular menginjeksikan jumlah/dosis racun yang sama pula saat dia menggigit dewasa ataupun anak-anak. Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way Pedoman terapi SABU menurut Luck : b Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit b Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst. Gangguan koagulopati berat berikan antivenin spesifik, plasma fresh-frozen, cryoprecipitate (fibrinogen, factor VIII), fresh whole blood or platelet concentrates. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor :

16

perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan. Reaksi antivenom Sebagian pasien mengalami reaksi awal atau terlambat setelah diberikan antivenom. Reaksi awal anafilaksis biasanya dalam waktu 10 180 menit antivenom mulai diberikan, pasien mulai gatal dan timbul urtikaria batuk kering, demam, mual, muntah, kolik abdomen, diare dan takikardia. Pada sebagian pasien dapat timbul anafilaksis berat yang dapat mengancam kehidupan seperti gejala : hipotensi bronkospasme dan edema angio Pyrogenic akibat dari endotoksin. Reaksi biasanya berlaku dalam 1-2 jam setelah perawatan. Gejala meliputi mengigil(kekakuan) demam, vasodilatasi dan penurunan dalam tekanan darah. Kejang demam dapat berlaku pada anak- anak. Reaksi- reaksi ini disebabkan oleh kontaminasi pirogen Reaksi lambat berkembang 1-12 hari setelah perawatan Gambaran klinis berupa demam, mual, muntah, diare, gatal-gatal, urtikaria berulang, atralgia, mialgia, limfadenopati, pembengkakan periartikular, multikompleks, mononeuritis, dan proteinuria

Pengobatan anafilaksis awal dan reaksi pyrogenic reaksi antivenom Epinefrin (adrenalin) diberikan intramuskuler (ke dalam otot deltoideus atau lateralis atas paha) dalam dosis awal 0,5 mg untuk orang dewasa, 0,01 mg / kg berat badan untuk anak-anak. Parah, anafilaksis yang mengancam kehidupan dapat berkembang sangat cepat dan begitu epinefrin (adrenalin) harus diberikan pada tanda pertama dari reaksi, bahkan ketika hanya beberapa tempat urtikaria muncul atau pada awal gatal, takikardia atau gelisah. Dosis dapat diulang setiap 510 menit jika kondisi pasien memburuk.

17

Pada tanda awal reaksi: y y antivenom administrasi harus dihentikan sementara Epinefrin (adrenalin) (0,1% larutan, 1 dalam 1.000, 1 mg / ml) adalah efektif pengobatan untuk reaksi anafilaksis dini dan antivenom pyrogenic Tambahan pengobatan H1 antihistamin anti seperti chlorpheniramine maleat (dewasa 10 mg, anak-anak 0,2 mg / kg dengan injeksi intravena selama beberapa menit) harus diberikan diikuti dengan hidrokortison intravena (dewasa 100 mg, anak 2 mg / kg berat badan). Ada bukti yang meningkat bahwa anti antihistamin H2 seperti cimetidine atau ranitidin memiliki peran dalam pengobatan anafilaksis parah. Kedua obat yang diberikan,diencerkan dalam 20 ml garam isotonik, dengan injeksi intravena lambat (lebih dari 2 menit). Dosis: simetidin - orang dewasa 200 mg, anak-anak 4 mg / kg; ranitidin - orang dewasa 50 mg, anak-anak 1 mg / kg. Pengobatan terlambat (penyakit serum) reaksi Reaksi akhir (penyakit serum) biasanya menanggapi kursus 5-hari antihistamin oral. Pasien yang gagal untuk merespon dalam 24-48 jam harus diberikan kursus 5-hari prednisolon. Dosis: chlorpheniramine: dewasa 2 mg enam jam, anak-anak 0,25 mg / kg / hari dalam dosis terbagi

18

Prednisolon: dewasa 5 mg enam jam, anak-anak 0,7 mg / kg / hari dalam dosis terbagi untuk 5-7 hari

Neurotoxic envenoming Pengobatan Antivenom saja tidak dapat diandalkan untuk menyelamatkan nyawa pasien dengan kelumpuhan bulbar dan pernapasan Akibat neurotoksin PADA Bias ular. Kematian dapat terjadi akibat obstruksi aspirasi, jalan napas atau kegagalan pernapasan.Sebuah saluran napas yang jelas harus dipertahankan. Atropin sulfat (dewasa 0,6 mg, children50 ug / kg berat badan) diberikan dengan suntikan intravena segera diikuti oleh edrophonium klorida (dewasa 10 mg, anakanak 0,25 mg / kg berat badan) diberikan intravena selama 3 atau 4 menit. Pasien diamati selama 10-20 menit berikutnya untuk tanda-tanda membaik transmisi neuromuskuler Jika klorida edrophonium tidak tersedia, anticholinesterases guna yang lain (Neostigmine - "Prostigmine", distigmine, pyridostigmine, ambenomium) dapat digunakan untuk kajian, tetapi jangka waktu yang lebih pengamatan akan diperlukan (sampai 1 jam

Hipotensi dan syok Gigitan ular : penyebab hipotensi dan syok (1) Anafilaksis (2) reaksi antivenom Vasodilatasi kegagalan pernapasan Cardiotoxicity defisiensi adrenal akut hipofisis

19

Septikemia hipovolemia Ini biasanya merupakan hasil dari hipovolemia (dari hilangnya volume sirkulasi ke bengkak tungkai, atau perdarahan internal / eksternal), racun akibat vasodilatasi atau efek langsung miokard dengan atau tanpa aritmia Pada pasien dengan bukti peningkatan permeabilitas kapiler umum,

vasokonstriktor selektif seperti dopamin dapat diberikan melalui infus intravena, sebaiknya ke vena sentral (dosis awal 2,5-5 mg / kg / menit) Oliguria dan gagal ginjal Deteksi gagal ginjal 1. menyusut atau tidak ada output urin 2. Meningkatnya urea darah / kreatinin konsentrasi 3. klinis "sindrom uremia" 4. mual, muntah, cegukan, bau mulut, mengantuk, kebingungan, koma, tremor mengepak, 5. otot berkedut, kejang, pericardial friction rub, tanda-tanda kelebihan cairan Manajemen konservatif bisa pasang pasien atas, menghindari kebutuhan untuk dialisis Jika pasien hipovolemik: 1. Membangun akses intravena 2. Masukkan kateter uretra 3. Tentukan tekanan vena sentral. 4. Tantangan cairan sampai tekanan tekanan vena jugularis / vena sentral meningkat menjadi 8-10 cm di atas sudut sternal (dengan pasien diganjal di 45 o). f output urin tidak membaik, cobalah tantangan furosamide

20

5. Furosamide (furosemid) Tantangan: 100 mg disuntikkan perlahan-lahan furosamide (4-5 mg / menit). Jika ini tidak menyebabkan output urin 40 ml / jam, memberikan dosis kedua furosamide, 200 mg. Jika output urin tidak membaik, cobalah tantangan manitol. 6. Tantangan manitol: 200 ml manitol 20% mungkin diinfus intravena selama 20 menit tetapi ini tidak harus diulang karena ada bahaya merangsang cairan berbahaya dan ketidakseimbangan elektrolit. 7. Manajemen konservatif: Jika output urin masih tidak membaik, pasien harus dirujuk ke unit ginjal. Diet harus hambar, tinggi kalori (1700/day), rendah protein (kurang dari 40g/day), rendah kalium (menghindari buah, jus buah dan obat yang mengandung kalium) dan rendah garam. 8. Biokimia pemantauan: kalium serum, urea, kreatinin dan, jika mungkin, pH, bikarbonat, kalsium dan fosfat harus sering dipantau. Jika hal ini tidak mungkin elektrokardiogram (EKG) harus diperiksa untuk bukti hiperkalemia kalium serum> 6,5 mmol / l atau ECG perubahan 9. Dialisis Indikasi untuk dialisis y y y klinis uremia Overload Fluid biokimia Darah - satu atau lebih hal berikut

1. kreatinin> 6 mg / dl (500 umol / l) 2. urea> 200 mg / dl (400 mmol / l) 3. kalium> 7 mmol / l (atau hyperkalaemic EKG perubahan) 4. gejala asidosis

21

Pengobatan bagian digigit Bagian digigit, yang mungkin menyakitkan dan bengkak, harus dirawat di paling posisi yang nyaman, sebaiknya sedikit ditinggikan, untuk mendorong reabsorpsi edema cairan. Bula mungkin besar dan tegang, tetapi mereka harus disedot hanya jika mereka tampaknya akan pecah Infeksi bakteri profilaksis penisilin (penisilin atau eritromisin untuk pasien hipersensitif-)dan dosis tunggal gentamisin atau suatu program kloramfenikol, bersama dengan penguat dosis toksoid tetanus dianjurkan. Interferensi dengan luka (Sayatan dibuat dengan pisau etc / pisau silet tidak steril) menciptakan risiko infeksi sekunder bakteri dan membenarkan penggunaan antibiotik spektrum luas (misalnya amoksisilin atau sefalosporin plus gentamisin dosis tunggal metronidazol ditambah).

Compartment sindrom dan fasciotomy\ Pembengkakan otot beracun dalam seperti kompartemen fasia ketat bisa mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan di atas tekanan vena, mengakibatkan iskemia. Gambaran klinis dari sindrom compartmental nyeri hebat yang tidak proporsional Kelemahan otot intracompartmental Nyeri pada pasif peregangan otot intracompartmental Hypoaesthesia kulit yang dipersarafi oleh saraf berjalan melalui kompartemen

22

Ketegangan Jelas dari kompartemen pada palpasi Tes yang paling dapat diandalkan untuk mengukur tekanan intracompartmental secara langsung melalui kanula dimasukkan ke dalam kompartemen dan terhubung ke transduser tekanan atau manometer, tekanan intracompartmental melebihi 40 mmHg (kurang pada anak-anak) dapat membawa risiko nekrosis iskemik. Kriteria fasciotomy di kaki digigit ular Kelainan hemostatik telah dikoreksi (antivenom dengan atau tanpa pembekuan faktor) 1. klinis bukti adanya sindrom intracompartmental 2. tekanan intracompartmental> 40 mmHg (pada orang dewasa)

Rehabilitasi Pemulihan fungsi normal di bagian digigit setelah pasien telah habis dari rumah sakit biasanya tidak diawasi. Fisioterapi konvensional mungkin mempercepat proses ini.

b Terapi suportif lainnya pada keadaan : Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, tranfusi trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin

23

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat obatan narkotik depresan

b Terapi profilaksis Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

KOMPLIKASI Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ular koral. Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid

24

Pencegahan b Penduduk di daerah di mana ditemukan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai kaki b Ketersedian SABU untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular b Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan bersemak semak b Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti b Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

Prognosis : Dubia ad vitam

25

DAFTAR PUSTAKA 1. Daley.B.J., 2006. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care, University of Tennessee School of Medicine. www.eMedicine.com. 2. De Jong W., 1998. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta 3. Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM 4. Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. 5. Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 6. Warrell, D.A., 1999. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Centre for Tropical Medicine, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Thailand. 7. Warrell, D.A., 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the South-East Asia Region. World Health Organization. Regional Office for South-East Asia. World Health House. Indraprastha Estate. New Delhi 110002. India. 8. Warrell, D.A., 2005. Treatment of bites by adders and exotic venomous snakes. BMJ 2005; 331:1244-1247 (26 November), doi: 10.1136/bmj.331.7527.1244. www.bmj.com.

26