Download - Cardio Farmako 1

Transcript

1. Obat-obat Anti Hipertensi

Dikenal 5 kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan untuk

pengobatan awal hipertensi, yaitu : i. Diuretik; ii. Penyekat reseptor beta

adrenergik; iii. Penghambat agiotensin converting enzyme; iv. Penghambat

reseptor angiotensin; v. Antagonis kalsium. Pada JNC VII, penyekat reseptor

alfa adrenergik tidak dimasukan ke dalam obat lini pertama. Sedangkan pada

JNC sebelumnya termasuk lini pertama. Selain itu dikenal juga tiga kelompok

obat yang dianggap lini kedua yatu : i. penghambat saraf adrenergik; ii.

Agonis α-2 sentral; dan iii. Vasodilator (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

1.1. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga

menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi

penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut,

beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah

efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang

intersitial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya

menghambat influks kalsium (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

1.1.1. Tiazid

1.1.1.1. Mekanisme Kerja

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid

antara lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid,

dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat

golongan ini bekerja denga menghambat transport bersama Na+

dan Cl- di tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl-

meningkat (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

1.1.1.2. Indikasi

Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam

terapi hipertensi. Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan

efektivitas diuretik dan antihipertensinya; untuk pasien ini

dianjurkan penggunaan diuretik kuat. Tiazid terutama efektif

untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah,

misalnya pada orang tua (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada

hipertensi ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan

antihipertensi lain bila TD tidak berhasil diturunkan dengan

diuretik saja (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

1.1.1.3. Efek Samping Obat

Tiazid, terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabka

hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang mendapat

digitalis. Tiazid juga dapat menyebabkan hiponatremia dan

hipomagnesia serta hiperkalsemia. Selain itu, tiazid dapat

menghambat ekskresi asam urat dari ginjal, dan pada pasien

hiperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Tiazid dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan

trigliserida, tetapi kemaknaannya dalam peningkatan risiko

penyakit jantung koroner belum jelas. Pada pasien DM, tiazid

dapat menyebabkan hiperglikemia karena mengurangi sekresi

insulin. Pada pasien pria, gangguan fungsi seksual merupakan

efek saping tiazid yang kadang-kadang cukup mengganggu

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.1.4. Dosis dan Contoh Obat

Obat Dosis Pemberian Sediaan

(mg)

Hidroklorotiazid 12,5–25 1 x sehari Tab 25 dan 50

mg

Klortalidon 12,5–25 1 x sehari Tab 50 mg

Indapamid 1,25-2,5 1 x sehari Tab 2,5 mg

Bendroflumetiazid 2,5-5 1 x sehari Tab 5 mg

Metolazon 2,5-5 1 x sehari Tab 2,5; 5; dan

10 mg

Metolazon rapid

acting

0,5-1 1 x sehari Tab 0,5 mg

Xipamid 10-20 1 x sehari Tab 2,5 mg

1.1.2. Diuretik kuat

1.1.2.1. Mekanisme Kerja

Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian

epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na, K, Cl,

dan menghambat resorpsi air dan elektrolit (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.2.2. Indikasi

Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih

kuat daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretik kuat

jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.2.3. Efek Samping Obat

Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali

bahwa diuretik kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan

menurunkan kalsium darah, sedangkan tiazid menimbulkan

hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium darah

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.2.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Furosemid* 20-80 2-3 x sehari Tab 40 mg; amp 20

mg

Torsemid** 2,5-10 1-2 x sehari Tab 5; 10; 20; 100 mg

Ampul 10 mg/mL (2

dan 5 mL)

Bumetanid 0,5-4 2-3 x sehari Tab 0,5; 1; dan 2 mg

As. etkrinat 25-100 2-3 x sehari Tab 25 dan 50 mg

* Dosis Furosemid untuk gagal jantung dan gagal ginjal

dapat ditingkatkan sampai 240 mg/hari.

** Dosis Torsemid untuk gagal jantung dapat ditingkatkan

sampai 200 mg/hari.

1.1.3. Diuretik hemat kalium

1.1.3.1. Mekanisme Kerja

Amilorid, triamteren, dan spinorolakton merupakan

diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi

diuretik lain untuk mencegah hipokalemia. Diuretik hemat

kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada

pasien gagal ginjal, atau bila dikombinasi dengan penghambat

ACE, ARB, β-bloker, AINS, atau dengan suplemen kalium

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.3.2. Indikasi

Spironolakton merupakan antagonis aldosteron

sehingga merupakan obat yang terpilih pada

hiperaldosteronisme primer. Obat ini sangat berguna pada

pasien dengan hiperurisemua, hipokalemia, dan dengan

intoleransi glukosa. Berbeda dengan golongan tiazid,

spinorolakton tidak mempengaruhi kadar kalsium dan gula

darah (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.3.3. Efek Samping Obat

Efek samping spinorolakton antara lain ginekomastia,

mastodinia, gangguan menstruasi, dan penurunan libido pada

pria (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.3.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Amilorid 5-10 1-2 x sehari

Spironolakton* 25-100 1 x sehari Tab 25 dan 100 mg

Triamteren 25-300 1 x sehari Tab 50 dan 100 mg

* Dosis Spironolakton untuk asites refrakter dapat

ditingkatkan sampai 400 mg/hari.

1.2. Penghambat Adrenergik

1.2.1. Penghambat Adrenoseptor Beta (β-Blocker)

1.2.1.1. Mekanisme Kerja

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat

pemberian β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor

β1, antara lain: (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan

kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2)

hambatan sekresi renin di sel-sel jugstaglomeruler ginjal

dengan akibat penurunan produksi angiotensin II; (3) efek

sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan

pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron

adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral

berlangsung lambat. efek ini mulai terlihat dalam 24 jam

sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh

penurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya

tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik dan

tidak menimbulkan retensi air dan garam (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.1.2. Indikasi

Β-bloker digunakan sebagai obat tahap pertama pada

hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan

penyakit jantung koroner, pasien dengan aritmia supraventrikel

dan ventrikel tanpa kelainan konduksi, pada pasien muda

dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang

memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Efektivitas antihipertesi berbagai β-bloker tidak

berbeda satu sama lain bila diberikan dalam dosis yang

ekuipoten. Ada atau tidaknya kardioselektivitas, aktivitas

simpatomimetik intrinsik dan aktivitas stabilisasi membran,

menentukan pemilihan obat ini dalam kaitannya dengan

kondisi patologi pasien. Semua pasien dikontraindikasikan

pada pasien dengan asma bronkial. Bila harus diberikan pada

pasien dengan diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer,

maka penghambat selektif β1 adalah lebih baik dibandingkan

reseptor β-bloker nonselektif, karena efek hipoglikemia relatif

ringan serta tidak menghambat reseptor β2 yang

memperantarai vasodilatasi di otot rangka (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.1.3. Efek Samping Obat

β-bloker dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV,

hambatan nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi

miokard. Oleh karena itu obat golongan ini dikontraindikaskan

pada keadaan bradikardia, blokade AV derajat 2 dan 3, sick

sinus syndrome, dan gagal jantung yang belum stabil.

Bronkospasme merupakan efek samping yang penting pada

pasien dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru

obstruktif kronik (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

Gangguan sirkulasi perifer lebih jarang terjadi dengan

β-bloker kardioselektif atau yang memiliki vasodilatasi. Efek

sentral berupa depresi, mimpi buruk. Halusinasi dapat terjadi

dengan β-bloker yang lipofilik. Gangguan fungsi seksual sering

terjadi akibat pemakaian β-bloker terutama yang tidak selektif

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.1.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Dosis

Maksimal

(mg)

Pemberian Sediaan

Kardioselektif

Asebutolol 200 800 1-2 x

sehari

Cap 200

mg, Tab

400 mg

Atenolol 25 100 1 x sehari Tab 50 dan

100 mg

Bisoprolol 2,5 10 1 x sehari Tab 5 mg

Metoprolol

-biasa 50 200 1-2 x

sehari

Tab 50 dan

100 mg

-lepas

lambat

100 200 1 x sehari Tab 100 mg

Nonselektif

Alprenolol 100 200 2 x sehari Tab 50 mg

Karteolol 2,5 10 2-3 x

sehari

Tab 5 mg

Nadolol 20 160 1 x sehari Tab 40 dan

80 mg

Oksprenolol

-biasa 80 320 2 x sehari Tab 40 dan

80 mg

-lepas

lambat

80 320 1 x sehari Tab 80 dan

160 mg

Pindolol 5 40 2 x sehari Tab 5 dan

10 mg

Propanolol 40 160 2-3 x

sehari

Tab 10 dan

40 mg

Timolol 20 40 2 x sehari Tab 10 dan

20 mg

Karvedilol 12,5 50 1 x sehari Tab 25 mg

Labetalol 100 300 2 x sehari Tab 100 mg

1.1.1. Penghambat Adrenoseptor Alfa (α-Blocker)

1.1.1.1. Mekanisme Kerja

Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di

arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi primer. Di

samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik vena

berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung.

Venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik

terutama pada pemberian dosis awal, menyebabkan refleks

takikardia dan peningkatan akivitas renin plasma. Pada

pemakaian jangka panjang refleks kompensasi ini akan hilang,

sedagkan efek anti hipertensi tetap bertahan (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.1.2. Indikasi

Alfa-bloker memiliki beberapa keunggulan antara lain

efek positif terhadap lipid darah (menurunkan LDL, dan

trigliserida serta meningkatkan HDL) dan mengurangi retensi

insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan

dislipidemia dan/atau diabetes melitus. Alfa-bloker juga sangat

baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi prostat, karena

hambatan reseptor alfa-1 akan merelaksasi otot polos prostat

dan sfingter utera sehingga meretensi urin. Obat ini juga

memperbaiki insufisiensi vaskular perifer, tidak mengganggu

fungsi jantung, tidak mengganggu aliran darah ginjal dan tidak

berinteraksi dengan AINS (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.1.3. Efek Samping Obat

Hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis

awal atau pada peningkatan dosis, terutama dengan obat yang

kerjanya singkat seperti prazosin. Pasien dengan deplesi cairan

dan usia lanjut lebih mudah mengalami fenomena dosis

pertama ini. Gejalanya berupa pusing sampai sinkop. Untuk

menghindari hal ini, sebaiknya pengobatan dimulai dengan

dosis kecil dan diberikan sebelum tidur. Efek samping lain

antara lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung

tersumbat, mual, dan lain-lain (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

1.1.1.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Dosis

Maksimal

Pemberian Sediaan

(mg)

Prazosin 0,5 4 1-2 x sehari Tab 1 dan 2

mg

Terazosin 1-2 4 1 x sehari Tab 1 dan 2

mg

Bunazosin 1,5 3 3 x sehari Tab 0,5 dan 1

mg

Doksazosin 1-2 4 1 x sehari Tab 1 dan 2

mg

1.2. Vasodilator

1.2.1. Hidralazin

1.2.1.1. Mekanisme Kerja

Hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos

arteriol dengan mekanisme yang belum dapat dipastikan.

Sedangkan otot polos vena hampir tidak dipengaruhi.

Vasodilatas yang terjadi menimbulkan reflek kompensasi yang

kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut

jantung, peningkatan renin dan norepinefrin plasma. Hidralazin

menurunkan tekanan darah berbaring dan berdiri. Karena lebih

selektif bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang

menimbulkan hipotensi ortostatik (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.1.2. Indikasi

Hidralazin tidak digunakan sebagai obat tunggal karena

takifilaksis akibat retensi cairan dan refleks simpatis akan

mengurangi efek antihipertensinya. Obat ini biasanya

digunakan sebagai obat kedua atau ketiga setelah diuretik dan

β-bloker. Retensi cairan dapat diatasi oleh diuretik dan reflek

takikardia akan dihambat oleh β-bloker (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.1.3. Efek Samping Obat

Hidralazin dapat menimbulkan sakit kepala, mual,

flushing, hipotensi, takikardia, palpitasi, angina pektoris.

Iskemia miokard dapat terjadi pada pasien PJK, yang dapat

dicegah dengan pemberian bersama β-bloker. Retensi air dan

natrium disertai edema dapat dicegah dengan pemberian

bersama diuretik. Efek samping lain adalah neuritis perifer,

diskrasia darah, hepatotoksisitas dan kolangitis akut

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.1.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Dosis pemberian oral 25-100 mg dua kali sehari. Untuk

hipertensi darurat seperti pada glomerulonefritis akut dan

eklamsia, dapat juga diberikan secara i.m. atau i.v. dengan

dosis 20-40 mg. Dosis maksimal 200 mg/hari (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.2. Minoksidil

1.2.2.1. Mekanisme Kerja

Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif

ATP dengan akibat terjadinya effluks kalium dan

hiperpolarisasi membran yang diikuti oleh relaksasi otot polos

pembuluh darah dan vasodilatasi. Efeknya lebih kuat pada

arteriol daripada vena. Obat ini menurunkan tekanan sistol dan

diastol yang sebanding dengan tingginya tekanan darah awal.

Efek hipotensifnya minimal pada subjek yang normotensif.

Efek hipotensifnya diikuti oleh refleks takikardia dan

peningkatan curah jantung. Curah jantung dapat meningkat 3-4

kali lipat (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

1.2.2.2. Indikasi

Obat ini efektif hampir di semua pasien, dan berguna

untuk terapi jangka panjang hipertensi berat yang refrakter

terhadap kombinasi 3 obat yag terdiri dari diuretik,

penghambat adrenergik, dan vasodilator lain. Minoksidil

efektif untuk hipertensi akselerasi atau maligna dan pada

pasien dengan penyakit ginjal lanjut karena obat ini

meningkatkan aliran darah ginjal (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.2.3. Efek Samping Obat

Tiga efek samping utama minoksidil, yaitu retensi

cairan dan garam, efek samping kardiovaskuler karena refleks

simpatis, dan hipertrikosis. Selain itu dapat terjadi gangguan

toleransi glukosa dengan tendensi hiperglikemia; sakit kepala,

mual, erupsi obat, rasa lelah, dan nyeri tekan di dada

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.2.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Sediaan minoksidil berbentuk krim sering digunakan

untuk penyubur rambut. Dosis dapat dimulai dengan 1,25 mg

satu atau dua kali seharian dapat ditingkatkan sampai 40

mg/hari (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

1.2.3. Diazoksid

1.2.3.1. Mekanisme Kerja

Obat ini merupakan derivat benzotiadiazid dengan

struktur mirip tiazid, tapi tidak meiliki efek diuresis.

Mekanisme kerja, farmakodinamik, dan efek samping

diazoksid mirip dengan minoksidil (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.3.2. Indikasi

Walaupun diabsorbsi dengan baik melalui oral,

diazoksid hanya diberikan secara intravena untuk mengatasi

hipertensi darurat, hipertensi maligna, hipertensi ensefalopati,

hipertensi berat pada glomerulonefritis akut dan kronik. Obat

ini juga digunakan untuk mengendalikan hipertensi pada

preeklampsia yang refrakter terhadap hidralazin (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.2.3.3. Efek Samping Obat

Retensi cairan dan hiperglikemia merupakan efek

samping yang paling sering terjadi pada pemberian diazoksid.

Efek samping hiperglikemia terjadi pada kira-kira 50% pasien

yang mendapat diazoksid. Hal ini terjadi karena hambatan

sekresi insulin dari sel-sel β pankreas akibat stimulasi kanal

kalium sensitif ATP. Respon tubuh terhadap pemberian insulin

tidak dipengaruhi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

1.2.3.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Pemberian bolus intravena akan menurunkan tekanan

darah dalam waktu 3-5 menit dan berlangsung kira-kira 30

menit. Dosis dapat dimulai dengan 50-100 mg dengan interval

5-10 menit. Dapat juga diberikan secara infus i.v. dengan dosis

15-30 mg/menit (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

1.3. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme dan Antagonis Reseptor

Angiotensin II

1.3.1. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

1.3.1.1. Mekanisme Kerja

ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I

menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan

penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin

juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah

meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-

inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan

tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan

menyebabkan ekskresi air dan natrium serta retensi kalium

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.3.1.2. Indikasi

ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang,

maupun berat. Bahkan beberapa diantaranya dapat digunakan

pada krisis hipertensi seperti kaptopril dan enalaprilat. Obat ini

efektif pada sekitar 70% pasien. Kombinasi dengan diuretik

memberikan efek sinergistik, sedangkan efek hipokalemia

diuretik dapat dicegah (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

Kombinasi dengan β-bloker memberikan efek aditif.

Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk prazosin dan

antagonis kalsium, memberi efek yang baik. Tetapi pemberian

bersama penghambat adrenergik lain yang menghambat respon

adrenergik α dan β sebaiknya dihindari karena dapat

menimbulkan hipotensi berat dan berkepanjangan (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.3.1.3. Efek Samping Obat

Hipotensi, terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor

terutama pada hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi.

Batuk kering, terjadi segera atau setelah beberapa lama

pengobatan berkaitan dengan peningkatan kadar bradikinin dan

substansi P serta prostaglandin. Hiperkalemia, terjadi pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pasien yang juga

mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau

β-bloker (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

Rash, gangguan pengecapan lebih sering pada

penggunaan kaptopril dan beberapa ACE-inhibtor lain. Edema

angioneurotik, berupa pembengkakan di hidung, bibir,

tenggorokan, laring, dan sumbatan jalan napas yang bisa

berakibat fatal. Efek samping lainnya berupa gagal ginjal akut,

proteinuria, dan efek teratogenik (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.3.1.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Kaptopril 25-100 2-3 x sehari Tab 12,5 dan 25 mg

Benazepril 10-40 1-2 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Enalapril 2,5-40 1-2 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Fosinopril 10-40 1 x sehari Tab 10 mg

Lisinopril 10-40 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Perindopril 4-8 1-2 x sehari Tab 4 mg

Quinapril 10-40 1 x sehari Tab 5; 10; dan 20 mg

Ramipril 2,5-20 1 x sehari Tab 10 mg

Trandolapril 1-4 1 x sehari

Imidapril 2,5-10 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg

1.3.2. Antagonis Reseptor Angiotensin II (ARB)

1.3.2.1. Mekanisme Kerja

Pemberian obat ini akan menghambat semua efek

angiotensin II, seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron,

rangsangan saraf simpatis, efek sentral angiotensin II (sekresi

vasopresin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal

serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos

pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain, ARB

menimbulkan efek yang mirip dengan ACE-inhibitor. Tapi

karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka

obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering

dan angioedema seperti yang sering terjadi dengan ACE-

inhibitor (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

1.3.2.2. Indikasi

ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada

pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti

hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang

efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah.

Pada pasien dengan hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa

mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian

mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian

jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.3.2.3. Efek Samping Obat

Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin

tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung, hipertensi

renovaskular, dan sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya

terjadi dalam keadaan tertentu seperti insufisiensi ginjal, atau

bila dikombinasi dengan obat-obat yang cenderung meretensi

kalium seperti diuretik hemat kalium dan AINS juga bila

asupan kalium berlebihan serta bersifat fetotoksik yang

berbahaya untuk janin (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

1.3.2.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Losartan 25-100 1-2 x sehari Tab 50 mg

Valsartan 80-320 1 x sehari Tab 40 dan 80 mg

Irbesartan 150-300 1 x sehari Tab 75 dan 150 mg

Telmisartan 20-80 1 x sehari Tab 20; 40; dan 80

mg

Candesartan 8-32 1 x sehari Tab 4; 8; dan 16 mg

1.4. Antagonis Kalsium

1.4.1. Antagonis Kalsium

1.4.1.1. Mekanisme Kerja

Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada

sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh

darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi

arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Penurunan

resistensi perifer ini sering diikuti oleh reflek takikardia dan

vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan

dihidropirin kerja pendek (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

Sedangkan diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan

takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada

jantung. Bila reflek takikardia kurang baik, seperti pada orang

tua, maka pemberian antagonis kalsium dapat menimbulkan

hipotensi yang berlebihan (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

1.4.1.2. Indikasi

Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan

antihipertensi tahap pertama. Sebagai monoterapi antagonis

kalsium memberikan efektivitas yang sama dengan obat

antihipertensi lainnya. Antagonis kalsium terbukti sangat

efektif pada hipertensi dengan kadar renin rendah seperti pada

usia lanjut. Kombinasi dengan ACE-inhibitor, metildopa, atau

β-bloker (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi

hipertensi darurat. Antagonis kalsium tidak mempunyai efek

samping metabolik, baik terhadap lipid, gula darah, maupun

asam urat. Pada pasien penyakit jantung koroner, pemakaian

nifedipin kerja singkat dapat meninggikan risiko infark

miokard dan stroke iskemik serta dalam jangka panjang

terbukti mempertinggi mortalitas (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik FKUI, 2007).

1.4.1.3. Efek Samping Obat

Nifedipin kerja singkat paling sering menyebabkan

hipotensi dan dapat menyebabkan iskemia miokard atau

serebral. Refleks takikardia dan palpitasi mempermudah

terjadinya serangan angina pada pasien dengan PJK. Hipotensi

sering terjadi pada pasien usia lanjut, keadaan deplesi cairan

dan yang mendapat antihipertensi lain (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi

arteri meningeal dan di daerah muka. Edema perifer terutama

terjadi oleh dihidropiridin, dan yang paling sering adalah

nifedipin. Bradiaritmia dan gangguan konduksi terutama

terjadi akibat verapamil, kurang dengan diltiazem dan tidak

teradi dengan dihidropiridin. Serta efek samping lainnya

berupa efek inotropik negatif, kontipasi, retensi urin, dan

hiperplasia gusi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

1.4.1.4. Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Nifedipin 3-4 x sehari Tab 10 mg

Nifedipin

(long acting)

30-60 1 x sehari Tab 30; 60; dan 90

mg

Amlodipin 2,5-10 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Felodipin 2,5-20 1 x sehari Tab 2,5; 5; dan 10

mg

Isradipin 2,5-10 2 x sehari Tab 2,5 dan 5 mg

Nicardipin Cap 20 dan 30 mg

Nicardipin SR 60-120 2 x sehari Tab 30; 45; da 60

mg

Amp 2,5 mg/mL

Nisoldipin 10-40 1 x sehari Tab 10; 20; 30; dan

40 mg

Diltiazem 90-180 3 x sehari Tab 30 dan 60 mg

Amp 50 mg/mL

Diltiazem SR 120-540 1 x sehari Tab 90 dan 180 mg

Verapamil 80-320 2-3 x sehari Tab 40; 80; dan

120 mg

Amp 2,5 mg/mL

Verapamil SR 240-480 1-2 x sehari Tab 240 mg

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi ed 5.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI.