BAB 1
Metodologi Penelitian
A. PendahuluanPenelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang sangat penting bagi
pengembangan ilmu dan bagi pemecahan suatu masalah. Beberapa ilmuan memulai
kegiatan ilmiahnya dengan melakukan penelitian. Penelitian menjadi salah satu alat
untuk mengungkap kebenaran sehingga menjadi sebuah pengetahuan yang baru.
Selain itu, Penelitian juga berguna untuk memecahkan suatu masalah dengan
mengambil hasil penelitian yangtelah dilakukan oleh orang Ilmuan sebelumnya.
Penelitian yang seksama dan sistematis membantu para Ilmuan untuk
menemukan suatu permasalahan yang terjadi dan mencari solusi yang terbaik dari
masalah yang dihadapi. Aktifitas penelitian merupakan salah satu tahapan yang
harus dilakukan oleh Ilmuan untuk mendapatkan hasil yang akurat dan dapat
diterima oleh publik. Dengan demikian penelitian adalah pengalaman yang berharga
dan menjadi guru yang terbaik yang memberikan banyak pelajaran bagi yang mau
memanfaatkannya.
Penelitian-penelitian yang telah ditemukan dapat mengungkap berbagai
gejala yang jika dikembangkan lebih lanjut dengan tepat, maka terdapat solusi yang
tepat bagi suatu masalah. Di sinilah para Ilmuan dapat menemukan konsep dan teori
baru. Dengan demikian, penelitian pada hakikatnya adalah suatu kegiatan untuk
memperoleh pengetahuan yang benar tentang suatu masalah.
B. Penelitian sebagai Metodologi IlmuPenelitian merupakan suatu usaha menemukan pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan (knowledge) adalah segala sesuatu yang kita ketahui yang berjumlah
banyak dan beragam. Sedangkan pengertian dari pengetahuan ilmiah (science)
adalah pengetahuan yang mengikuti aturan ilmiah. Walau semua pengetahuan tidak
1
melalui penelitian, akan tetapi posisi penelitian akan menempati peran yang
strategik dalam menghasilkan pengetahuan yang baru secara akurat.
Ada banyak cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan, tidak hanya dengan
melalui penelitian saja. Namun dapat melalui pengalaman langsung, bertanya
kepada yang lebih memahami, membaca buku pengetahuan, dan bahkan bisa
didapatkan hanya dari berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Menurut
Kneller (1987:18-23) ada lima sumber pengetahuan, yaitu:
1. Revealed Knowledge, yaitu pengetahuan yang bersumber dari Tuhan melalui
wahyu yang diturunkan kepada Rosul pilihan yang dituangkan dalam kitab-kitab
suci yang kebenarannya sudah tidak diragukan lagi dan bersifat mutlak.
2. Iintuitif Knowledge, yaitu pengetahuan yang diperoleh individu secara pribadi
yang melibatkan intuisi dalam penghayatannya terhadap sesuatu secara
mendalam. Intuisi atau insign dapat muncul secara tiba-tiba tanpa disadari
dalam hal cipta, rasa dan karsa seseorang yang bersifat unik.
3. Rational knowledge, pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas hasil
rekayasa akal bukan atas hasil observasi terhadap peristiwa-peristiwa faktual.
Yang dikedepankan adalah kekuatan logika, sehingga suatu pernyataan
dianggap benar karena silogismenya rasional atau dapat diterima secara nalar.
4. Empirikal knowledge, pengetahuan yang diperoleh dari hasil observasi dengan
menggunakan kekuatan pengelihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan
peradaban terhadap realitas yang ada, sehingga pengetahuan ini teruji
kebenarannya secara empiric dengan bukti yang dapat diamatai oleh pancaindra.
5. Authoritative Knowledge, pengetahuan yang dikokohkan oleh reputasi
pencetusnya/ahlinya atau diterima berdasarkan otoritas seseorang.
2
Berdasarkan jenis pengetahuan ini, dijelaskan bahwa seseorang dapat
memiliki pengetahuan karena ia terlibar secara mendalam dengan bidang yang
digelutinya secara piker dan empirical. Kegiatan ini dapat diwadahi dalam
kegiatan penelitian.
Cara lain yang dapat digunakan untuk endapatkan pengetahuan adalah
dengan bertanya kepada orang lain. Yang pasti orang yang memiliki pengetahuan
dan wewenang yang lebih di banding dengan kita. Biasanya orang hanya bertanya
mengenai hal luarnya saja tanpa menanyakan alasan-alasan dari apa yang sudah
dibicarakan sehingga hanya percaya dan mengikutinya saja. Hal itu tentu tidak
menjamin keakuratan informasi yang didaptakan. Pengetahuan seperti ini
termasuk dalam kategori authoritatif. Untuk memperoleh pengetahuan yang benar
orang harus menggunakan nalarnaya dengan dibangun suatu kerangka piker
dedukatif yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum menuju ke hal-hal yang
lebih khusus. Untuk memperoleh kesimpulan yang benar harus melalui premis-
premis yang benar pula. Oleh karena itu perlu adanaya cara untuk menguji
kebenaran dari premis-premis yang didapatkan. Cara mengujinya dengan
menggunakan penalaran induktif yang mengkaji fakta-fakta secara cermat untuk
mendapatkan kesimpulan.
Penelitian adalah aktifitas menggunakan kekuatan berpikir dan observasi
dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu untuk menghasilkan ilmu
pengetahuan guna menyelesaikan suatu persoalan. Aktifitas berpikir dalam
penelitian tidak hanya sekedar memindahkan atau mengambil teori-teori yang
sudah ada, akan tetapi ini merupakan aktifitas berpikir secara ilmiah. Dengan kata
lain Peneliti akan paham bagaimana melakukan penelitian untuk menguji teori-
teori atau menemukan yang masih menjadi rahasia dengan menggunakan kerangka
berpikir yang rasional dan dapat menganalisis data/fakta secara ilmiah sehingga
menjadi teori baru yang teruji kebenarannya dan berguna bagi pemecah masalah
yang mengemban ilmu.
Untuk memproleh pengetahuan yang benar penelitian dapat dilaksanakan
dengan menggunakan metode ilmiah oleh peneliti yang memiliki integritas ilmiah.
3
Artinya, penelitian dilaksanakan berdasarkan teori-teori, prinsip-prinsip, serta
asumsi-asumsi dasar pengetahuan, dengan menggunakan penalaran deduktif-
deduktif serta prosedur dan teknik yang sistematik. Peneliti selain memiliki
penguasaan di bidang yang diteliti dan metodologi penelitian, tetapi harus juga
memiliki integritas ilmiah, artinya dia harus bersikap objektif, terbuak, jujur, dan
berpegangan teguh kepada kebenaran ilmiah.
Hasil penelitian yang valid dan reliable dapat menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan bagi ilmu pengetahuan dan bahkan menjadi ilmu pengetahuan itu
sendiri dan menjadi konsep atau teori yang dapat digunakan untuk memahami,
mendeskripsikan, menjelaskan, mengontrol dan memprediksikan suatu fanomena.
Aktifitas tersebut sangat berguna bagi upaya pemecahan masalah dan
memverifikasikannya dengan fanomena empiric untuk mendapatkan data dan fakta
yang sesungguhnya atau yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Fakta dapat
di olah dengan tepat melalui metode yang relevandan dianalisis secara mendalam
yang melibatkan verification logical framework dalam menyajikan temuan-temuan
dan kesimpulan yang dapat dijadikan rujukan bagi pemecahan masalah dan bagi
pengembangan disiplin ilmu. Demikian seterusnya sebagai suatu aktifitas terus
menerus sebagaimana tertulis dalam gambar 1.1 berikut ini.
4
Generalisasi Konsep
teori
Data Fakta
To understandTo describeTo explainTo controlTo predict
To Solve Problem
Fanomena Empirik
Verification Logical
Framework
Penelitian sebagai Metodologi Ilmu
Gambar 1.1 : Penelitian Sebagai Metodologi ilmu
C. Paradigma KeilmuanNicolas Henry (1995:21-49) menyatakan bahwa, standart suatu disiplin ilmu
mencangkup focus dan locus. Focus mempersoalkan tentang “what of thr field” atau
metode dasar yang digunakan atau cara-cara ilmiah yang digunakan untuk
memecahkan suatu persoalan; sedangkan locus mencangkup “where of the field”
atau medan atau tempat dimana metode tersebut dapat digunakan atau dimanfaat
kan sebagaimana mestinya.
Suetu ilmu merupakan kumpulan dari pengetahuan yang tertata dan
kebenarannya sudah teruji serta sudah diakui oleh para ahli dan masyarakat serta
dapat digunakan untuk memecahkan suatu masalah lain. Pengetahuan yang
diperoleh dalam penelitian dapat berupa fakta, konsep, generalisasi atau teori.
5
Pengetahuan tersebut dapat membantu kita dalam memecahkan suatu persoalan
yang sedang dihadapi. Bahkan penelitian dapat menggugurkan asumsi pertama dari
pemikiran seseorang karena dapat menunjukkan konteks yang actual dan terbukti
kebenarannya.
Namun dengan demikian dalam praktik selanjutnya, melakukan penelitian
memerlukan kaidah sendiri dengan berpatokan kepada paradigm tertentu. Dengan
demikian peneliti memerlukan paradigm yang jelas unutk membuktikannya, seperti
yang dikatakan Huntington (1996) bahwa paradigma dalam penelitian menjadi
“peta” yaitu simplify-kasi yang perlu sehingga kita tahu dimana kita sedang berada,
dan kemana kita harus melangkah.
Paradigm menurut Mustopadidjaja (2000) adalah teori dasar atau cara
pandang yang fandumental, dilandasi nilai-nilai tertentu, dan berdasarkan teori
pokok, konsepsi, asumsi, metodologi atau cara pendekatan yang dapat digunakan
teoritis dan praktisi dalam menanggapi suatu masalah baik dalam kaitan
pengembangan ilmu maupun dalam upaya pemecahan masalah bagi kemajuan hidup
dan kehidupan manusia. Definisi hamper serupa dengan yang diangkat oleh Kuhn
(1970) bahwa paradigm merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode,
prinsip dasar atau cara memecahkan suau masalah yang dianut oleh suatu
masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu (Kuhn, 1970).
Suatu paradigma dalam suatu penelitian adalah penggunaan paradigm yang
memiliki pandangan yang berbeda dan menggambarkan suatu pola, model, peta,
jalan atau langkah yang akan ditempuh. Langkah-langkah tersebut biasanya
dikembangkan dalam penelitian analisis dan pengembangan kebijakan. Walaupun
sudah ada beberapa instrument kuantitatif untuk mengukur efektifitas kbijakan,
namun untuk menganalisis dan mengembangkan suatu kebijakan yang bersifat
expost maupun secara mendalam atau untuk menemukan model yang sesuai serta
kebijakan yang tepat diperlukan explorasi data kualitatif. Ini menjadi suatu
paradigma baru peneliin kebijakan. Dengan demikian paradigm merupakan suatu
cara berpikir masyarakat ilmiah untuk memahami realitas objek yang diteliti.
6
Paradigma digunakan untuk menunjukkan konsepsi dasar seseorang mengenai suatu
aspek realitas tertentu.
D. Paradigma PenelitianIlmuan mencari dan menguji pengetahuat memalui penelitian. Melakukan
penelitian adalah menelusuri lapangan atau menelaah suatu gejala untuk
menemukan kebenaran. Cara atau langkah yang dilakukan untuk melakukan
penelitian dipengaruhi oleh pandangan terhadap objek atau fanomena/gejala sebagai
suatu realitas sosial. Cara pandangan untuk melihat atau memahami kenyataan
dipengaruhi oleh pemahaman akan filsafat tentang alam semesta. Dua pandangan
filsafat yang mndominasi pemahaman terhadap realitas adalah filsafat positivistic
dan postpositivistik.
Paradigma filsafat positivistik membahas tentang apa yang ada, terlihat,
teraba dan terasa. Sedangkan paradigma postpositivistik tidak hanya membahas
tentang apa yang terlihat, terasa dan teraba saja, akan tetapi mencoba memahami
makna di balik semua yang ada. Paradigma postpositiviatik ini merupakan aliran
yang memperbaiki kelemahan dari paradigm positivism yang hanya mengandalkan
kemapuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Paradigma positivistik melahirkan pendekatan penelitian kualitatif yang
cendenrung pada penggunaan angka-angka. Sedangkan paradigma postpositivistik
atau naturalistik melahirkan pendekatan penelitian kualitatif yang cenderung pada
penggunaan kata-kata untuk menarasikan suatu fanomena/gejala.
Pandangan dasar untuk menjelaskan paradigma penelitian yang
menggunakan positivistik dengan naturalistik adalah ada pada lima pandangan dasar
(aksioma), yaitu :
1. Kenyataan tentang Realitas
Aliran positivistik memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat
nyata (kongkrit) yang dapat diamati dengan panca indra. Kita dapat melihat
kebenaran konsep karena terjelas dalam suatu fanomena seperti konsep
7
manajemen yang dapat diamati dari adanya rencana kerja yang telah dibuat,
struktur organisasi yang sudah ada, jadwal kerja yang efektif, adanya
pengawasan dan dilakukannya feed back dari evaluasi terhadap rencana
pelaksanaannya. Dari elaborasi semua itu dapat diperoleh sebuah kebenaran
yang teramati. Oleh karena itu peneliti kualitaif harus mengetahui semua
penjabaran prosesnya.
Realitas juga dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang dapat diukur
baerdasarkan jenis, bentuk, waktu, warna, perilaku dan lainny. Pecahan-
pecahan itu dapat dipelajari secara independen dan dapat dieliminasi dari objek
lain. Misalnya untuk meneliti tentang sekolahan, kita bisa memilih hanya salah
satu dari bagian sekolah tersebut. Misalnya kita memilih masalah tentang
administrasi perkantoran di sekolah tersebut tanpa memilih pembelajarannya.
Realitas pada aliran positiviatik dapat dikontrol atau dikendalikan oleh
objek lain. Misalnya suatu variable bebas akan mengontrol kehadiran variable
terikatnya. Oleh karena itu, peneliti harus menggunakan alat yang tepat untuk
mengukur setiap variable secara spesifik dan mampu menetapkan ukurannya
secara tepat.
Berbeda dengan aliran positiviatik, aliran postpositivistik memandang
bahwa realitas merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Apabila
dipahami di setiap bagiannya akan ada keterkaitan anatar yang satu dengan
yang lainnya. Suatu objek akan selalu berpasangan dengan konteks nya masing-
masing.
2. Hubungan Peneliti dengan yang Diteliti
Aliran positivistic menjabarkan bahwa hubungan anatara peneliti
dengan yang diteliti bersifat independen. Peneliti harus bersikap seobjektif
mungkin sehingga unntuk melakukan sebuah kajian fanomena harus dipilih
secara nyata anatar subjek dan objek penelitian. Dalam pelaksanaan penelitian
digunakan instrument untuk mengungkap data yang ada tanpa melibatkan
langsung antara pencari data (peneliti) dan sumber data (teori peneliti).
8
Instrumen yang digunakan adalah kuisioner yang membutuhkan bantuan orang
lain untuk memberikan pendapatnya yang sesuai tanpa harus mengetahui siapa
yang berpendapat.
Pandangan aliran postpositivistik tentang dunia adalah suatu keutuhan
dan di balik semua kenyataan terkandung adanya unsure manusiawi yang
tersembunyi dan yang dapat dimengerti, dirasakan dan dipahami apabila
berbaur pada suasana yang sesungguhnya. Postpositivistik menuntut adanya
keterkaitan antara subjek yang diteliti dengan objek nya. Penelitian kualitatif
mengetengahkan peneliti sebagai human instrument yang mampu mengungkapa
data yang sesungguhnya di balik suatu fanomena yang tersembunyi.
Cara untuk memahami dan mengungkap makna dari sebuah kenyataan
dapat dilakukan dengan cara masuk kedalam sumber data melalui observasi,
partisipasi, atai interview langsung. Dengan hal ini penelitian tidak dapat
dipisahkan anatara pencari data (peneliti) dan sumber data.
3. Kemungkinan Generalisasi
Positivistik bekerja dengan pola piker deduktif, yaitu berangkat dari
generalisasi untuk ditemukan data empiriknya yang sesuai dan mendukung
teorinya. Suatu data menjadi terpercaya karena generalisasi yang diambil dalam
populasi luas dan dapat diuji ulang dengan hasil yang relative sama.
Postpositivistik bekerja kebalikannya, yaitu dengan cara induktif, yang
artinya penelitian yang berangkat dari harapan dan membenarkannya dengan
teori-teori yang berhubungan dengan fanomena yang terkait. Data/fakta yang
ada merupakan bahan untuk dikaji dan dianalisis dengan menggunakan analisis
pola pikir reflektif sehingga ditemukan makna yang berbeda di dalamnya. Data
yang dimaknai dengan menggunakan pola pikir reflektif akan memperoleh data
yang bermakna modifikasi bagi teori atau menjadi suatu pengembangan dari
suatu teori yang telah terungkap yang disebut sebagai grounded teory.
Generalisasi penelitian kualitatif dari aliran positivistik tidak berasal
dari populasi yang besar dan diambil secara acak, akan tetapi data diungkap
9
dari key person dengan sample porpusive dengan tujuan agar hasil penelitiannya
memiliki nilai komparabilitas dan transferabilitas sehingga dapat direkonstruksi
untuk kepentingan praktik terbaik di tempat lain yang memiliki konteks atau
karakteristik yang relative sama. Nilai transferability yaitu dapat di transfer atau
di aplikasikan di te,pat lain.
.
4. Kemungkinan Hubungan Sebab Akibat
Positivistik mengajarkan kuantitatif meneliti dengan dasar susunan teori
yang kokoh dari awal atau menggunakan teori yang disusun dari penelitian lain.
Pemahaman akan suatu teori dikaji bagian-bagiannya untuk dipecah dan
diambil sebagai bahan kajian dengan menghubung-hubungkansatu sama lain
variabel. Misalnya diketahui bahwa yang mempengaruhi sekolah efektif adalah
kepemipinan yang visioner, budaya kerja produktif, sarana prasarana yang
lengkap, kinerja guru yang professional, dan siswa yang responsive dan kreatif.
Maka dikethui bahwa yang menyebabkan terjadinya sekolah efektif adalah
variabel-variabel tersebut, artinya kepemimpinan menjadi sebab dari sekolah
yang efektif atau sebaliknya, sekolah efektif merukan akibat dari adanya
kepemimpinan yang visioner. Variabel akibat disebut juga variabel dependen
atau yang dipengaruhi, sedangkan variabel yang mempengaruhi atau menjadi
sebab disebut variabel independen.
Dalam penelitian kualitatif dikenal dengan focus studi yang merupakan
suatu kesatuan holistic yang dibantu dengan mengembangkan kategorisasi
untuk mempermudah penelusuran data/faktanya.
5. Peran Nilai
Positivistik menuntut penelitian kuantitatif mengejak objektifitas yang
tinggi dalam melakukan penelitian. Peneliti memiliki kebebasan untuk
mengeksplorasi fakta sesungguhnya berdasarkan batas-batas teori nilai yang
ada. Sebaliknya, pada pemahaman postpositivistik yang dianut peneliti naturalis
10
dalam mencari fakta meminta penyesuaian-penyesuaian dalam teknis
pencariannya yang mengadaptasi dengan kata nilai yang ada.
11
BAB 2
DASAR PENELITIAN KUALITATIF
A. Konsep Dasar Penelitian KualitatifIstilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9) pada mulanya
bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan dengan pengamatan
kuantitatif. Pengamatan kuantitatif melibatkan pengukuran tingkatan suatu cirri
tertentu. Untuk menemukan sesuatu dalam pengamatan, pengamat harus
mengetahuai apa yang menjadi cirri sesuatu itu. Untuk itu pengamat mulai mencatat
atau menghitung dari satu, dua, tiga dan seterusnya. Baerdasarkan pertimbangan
dangkal yang demikiankemudian peneliti menyatakan bahwa penelitian kuantitatif
mencangkup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase,
rata-rata, ci kuadrat, dan perhitungan statistic lainnya. Dengan kata lain, penelitian
kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan atau angka.
Di pihak lain, kualitas menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan
kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian
penelitian kualitatif tampaknya diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan
perhitungan.
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk penelitian kualitatif, yaitu
penelitian atau inkuiri naturalistic atau alamiah, entografi, interaksionis
simbolik,perspektif ke dalam, etnometodologi, the Chicago school, fanomenologis,
studi kasus, interpretative, ekologis, dan deskriptif (Bogdan dan Biklen, 1982:3).
Pemakai istilah inkuiri naturalistik atau alamiah pada dasarnya kurang menyetujui
penggunaan istilah penelitian kualitatif karena menganggap bahwa penelitian
kualitatif merupakan istilah yang terlalu disederhanakan, bahkan sering
dipertentangkan dengan penelitian kuantitatif.
Alasan yang dikemukakan oleh para pengarang buku inkuiri alamiah
tersebut hanyalah merupakan alasan pembenaran istilah inkuiri alamiah yang
12
digunakan oleh mereka. Dilihat dari sisi lain, pada dasarnya istilah inkuiri alamiah
menekankan pada kealamian sumber data. Dengan kata lain, alasan yang digunakan
mereka sama saja yang digunakan oleh peneliti yang masih tetap menggunakan
penelitian kualitatif. Dalam buku ini istilah penelitian kualitatif tetap akan
dipertahankan, dan dalam hal-hal tertentu istilah inkuiri atau penelitian alamiah atau
naturalistic akan dimanfaatkan juga, terutama pada waktu menjelaskan definisi dan
paradigm ilmiah.
Untuk mengadakan pengkajian selanjutnya terhadap istilah penelitian
kualitatif perlu kiranya dikemukakan beberapa definisi. Bogdan dan Taylor (1975:5)
mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada
latar dan individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis,tetapi
perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (1988:9) mendefinisikan
bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya.
Menurut Dn (199:8) bahwa kata kualitaif menyatakan penekanan pada
proses dan makna yang tidak diuji , atau diukur dengan setepat-tepatnya, dalam
istilah-istilah kuantitas, jumlah, intensitas, atau fekuensi. Para peneliti kualitatif
menekankan sifat realitas yang dikonstruk secara sosial, hubungan yang intim antara
peneliti dan apa yang distudi, dan kendala-kendala situasional yang membentuk
inkuiri. Para peneliti yang demikian menekankan inkuiri yang bermuatan-nilai
(value-laden). Mereka mencari jawaban atas pertanyaan yang menekankan pada
bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberimakna.
Bogdan dan Taylor (1975) menyatakan bahwa metode kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: Ucapan atau tulisan dan
perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Pendekatan ini
13
langsung menunjukkan latar dan individu-individu dalam latar itu secara
keseluruhan; subjek penyelidikan, baik berupa organisasi ataupun individu, tidak
dipersempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi hipotesis, melainkan
dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan.
Strauss (1990:17) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah
penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan temuan-temuan
yang tidak diperoleh oleh alat-alat prosedur statistik atau alat-alat kuantifikasi
lainnya. Hal ini dapat mengarah pada penelitian tentang kehidupan, sejarah, perilaku
seseorang atau hubungan-hubungan interaksional.
Konsep ini menekankan bahwa penelitian kualitatif ditandai oleh penekanan
pada penggunaan non statistik (matematika) khususnya dalam proses analisis data
hingga dihasilkan temuan penelitian secara alamiah. Ini merupakan salah satu unsur
yang membedakan penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif. Subjek
penelitian dalam penelitian kualitatif tidak harus banyak sebagaimana berlaku pada
penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif bisa dilakukan hanya dengan satu subjek
penelitian. Tetapi tentu bukan sembarang individu atau subjek yang dipilih sesuka
peneliti.
Latar atau individu yang hendak diteliti hendaknya memiliki keunikan
tersendiri sehingga hasilnya betul-betul bermanfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Keunikan latar atau individu yang menjadi subjek penelitian itu menentukan
tingkat bobot ilmiah.
Menurut P (198:41) bahwa metode kualitatif adalah untuk memahami
fenomena yang sedang terjadi secara natural (alamiah) dalam keadaan-keadaan yang
sedang terjadi secara alamiah. Konsep ini lebih menekankan pentingnya sifat data
yang diperoleh oleh penelitian kualitatif, yakni data alamiah. Data alamiah ini
utamanya diperoleh dari hasil ungkapan langsung dari subjek peneliti.
Sebagaimana dikatakan oleh Patton (1980:30) bahwa data kualitatif adalah
apa yang dikatakan oleh orang-orang yang diajukan seperangkat pertanyaan oleh
peneliti. Apa yang orang-orang katakan itu menurutnya merupakan sumber utama
data kualitatif, apakah apa yang mereka katakan diperoleh secara verbal melalui
14
suatu wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui analisis dokumen, atau respon
survey.
Selanjutnya, pengkajian definisis inkuiri alamiah telah diadakan terlebih
dahulu oleh Willem dan Rausch (1969), kemudian hasil mereka diulas lagi oleh
Guba (lihat terjemahan St. Zanti /arbi, 19987:11-17), dan akhirnya disimpulkan atas
dasar ulasan tersebut beberapa hal sebagai berikut :
1. Inkuiri natiralistik selalu adalah suatutaraf;
2. Taraf sejauh mana tingkatan pengkajian adalah naturalistic merupakan fungsi
sesuatu yang dilakukan oleh peneliti;
3. Yang dilakukan oleh peneliti berkaitan dengan stimulus variabel bebas atau
kondisi antiseden yang merupakan dimensi penting sekali;
4. Dimensi penting lainnya ialah yang dilakukan oleh peneliti dalam membatasi
rentangan respons dari keluaran subjek;
5. Inkuiri naturalistic tidak mewajibkan peneliti agar terlebih dahulu membentuk
konsepsi-konsepsi atau teori-teori mengenai lapangan perhatiannya, sebaliknya
ia dapat mendekati lapangan perhatiannya dengan pikiran yang murni dan
mempertahankan interpretasi-interpretasinya muncul daridan dipengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa nyata, dan bukan sebaliknya. Walaupun demikian, suatu
pendekatan yang secara konseptual kosong tidaklah tepat dan naïf; dan
6. Istilah naturalistic merupakan istilah yang memodifikasi penelitian atau metode,
tetapi tidak memodifikasi gejala-gejala.
Selain definisi-definisi tersebut di bawah ini dikemukakan pula beberapa
definisi lainnya sehingga pembaca dapat memperoleh gambaran yang luas dan
mendalam. David Williams (1995) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah
pengumpulan data pada suatu latar alaiah, dan dilakukan olehorang atau peneliti
yang tertarik secara ilmiah. Jelas definisi ini member gambaran bahwa penelitian
15
kualitatif mengutamakan latar alamiah, dan dilakukan oleh orang yangmempunyai
perhatian alamiah.
Penulis buku penelitian kualitatif lainnya (Denzin dan Lincoln 1987)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian menggunakan latar
alamiah dengan maksud menafsirkan fanomena yang terjadi dan dilakukan dengan
jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dari segi pengertian ini, para penulis
masih tetap mempersoalkan latar alamiah dengan maksud agar hasilnya dapat
digunakan untuk menafsirkan fanomena yang dimanfaatkan untuk penelitian
kualitatif adalah berbagai macam metode penelitian. Dalam penelitian kualitatif
metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan
pemanfaatan dokumen.
Penelitian kualitaif dari sisi definisi lainnya dikemukakan bahwa hal itu
merupakan penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk memahami
dan menelaah sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau sekelompok
orang. Ternyata definisi ini hanya mempersoalkan satu metode yaitu wawncara
terbuka, sedang yang penting dari definisi ini mempersoalkan apa yang diteliti yaitu
upaya memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku baik individu maupun
sekelompok orang.
Penulis lainnya memaparkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian
yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan
pengertian atau pemahaman tentang fanomena dalam suatu latar yang berkonteks
khusus. Pengertianini hanya mempersoalkan dua aspek yaitu pendekatan penelitian
yang digunakan adalah naturalistik sedang upaya dan tujuannya adalah memehami
suatu dari fanomena dalam suatu konteks khusus. Hal ini berarti bahwa tidak
seluruh konteks dapat diteliti tetapi penelitian kualitatif itu harus dilakukan suau
konteks yang khusus.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis
yang tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lainnya.
Jelas bahwa pengertian ini mempertentangkan penelitian kualitatif dengan
16
penelitian yang bernuansa kuantitatif yaitu dengan menonjolkan bahwa usaha
kuantifikasi ataupun tidak perlu digunakan pada penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya pembangunan pandangan mereka
yang diteliti yang dirinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistic dan rumit.
Definisi ini lebih melihat prespektif emik dalam penelitian yaitu memandang
sesuatu uapaya pembangunan pandangan subjek penelitian yang rinci, dibentuk
dengan kata-kata, gambaran holistic dan rumit.
Taerakhir, menurut Jane Riche, penelitian kualitaif adalah upaya untuk
menyajikan dunia sosial, dan prespektifnya di dalam dunia, dari segi konsep,
perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia yang diteliti
Dari kajian tentang definisi-definisi tersebut dapatlah disintesiskan bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fanomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitiannya misalnya perilaku, presepsi,
motivasi, tindakan, dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Kesimpulan tersebut sebagian telah memberikan gambaran tentang adanya
kekhasan penelitian kualitatif.
B. Komponen Penelitian KualitatifSecara garis besar penelitian kualitatif itu memiliki tiga komponen utama
sebagaimana diuraikan berikut:
1. Ada data yang datang dari berbagai sumber. Wawancara dan observasi
merupakan sumber-sumber yang paling umum digunakan.
2. Dalam penelitian kualitatif terdiri dari prosedur-prosedur analisis atau
interpretasi yang berbeda yang digunakan untuk sampai pada temuan atau teori.
Prosedur-prosedur itu termasuk teknik-teknik untuk konseptualisasi data. Proses
ini disebut “pengodean” (coding), yang bermacam-macam karena pelatihan,
pengalaman dan tujuan peneliti. Prosedur-prosedur lain juga merupakan bagian
17
proses analisis. Hal ini mencakup sampling non statistik, penulisan memo, dan
pendiagraman hubungan-hubungan konseptual.
3. Laporan tertulis dan verbal. Hal ini bisa ditunjukkan dalam jurnal-jurnal atau
konferensi ilmiah serta mengambil bentuk-bentuk yang beragam tergantung
pada audiens dan aspek temuan teori yang ditunjukkan. Misalnya, seseorang
bisa memaparkan peninjauan luas (overview) seluruh temuan atau diskusi
mendalam tentang satu bagian dari kajian (Strauss, 1990:20).
C. Fungsi dan Pemanfaatan Penelitian KkualitatifPenelitian kualitatif dimanfaatkan untuk keperluan:
Pada penelitian awal dimana subjek penelitian tidak didefinisikan secara baik
dan kurang dipahami.
Pada upaya pemahaman penelitian perilaku dan penelitian motovasional.
Untuk penelitian konsultatif.
Memahami isu-isu rumit suatu proses.
Memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang.
Untuk memahami isu-isu yang sensitive.
Untuk keperluan evaluasi.
Untuk meneliti latar belakang fanomena yang tidak dapat diteliti melalui
penelitian kuantitatif.
Digunakan untuk meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang
subjek penelitian.
Digunakan untuk lebih dapat memahami setiap fanomena yang sampai sekarang
belum banyak diketahui.
Digunakan untuk menemukan perspektif baru tentang hal-hal yang sudah
banyak diketahui.
Digunakan oleh peneliti bermaksud meneliti sesuatu secara mendalam.
Dimanfaatkan oleh peneliti yang berminat untuk menelaah sesuatu latar
belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, dan perspektif.
18
Digunakan oleh peneliti yang berkringinan untuk menggunakan hal-hal yang
belum banyak diketahui oleh ilmu pengetahuan.
Dimanfaatkan oleh peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya.
Sebagai pengembangan teori.
Untuk penyempurnaan praktik
Dimanfaatkan sebagai sumbangan dalam mendapatkan kebajikan.
Mengklarifikasi isu-isu serta tindakan sosial.
Sumbangan untuk studi kasus.
D. Karakteristik Penelitian KualitatifPada uraian sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi dan komponen-
komponen utama penelitian kualitatif. Bagian ini akan mengetengahkan secara
ringkas beberapa karakteristik penelitian kualitatif menurut beberapa ahli.
Menurut Lincoln dan Guba, 198:39) karakteristik penelitian kualitatif meliputi:
1. Latar alamiah
2. Instrumen manusia
3. Penggunaan pengetahuan tak terucapkan
4. Metode kualitatif
5. Pembuatan sampel secara purposive (purposive sampling)
6. Analisis data induktif
7. Teori mendasar (grounded theory)
8. Rancangan darurat
9. Hasil yang dirundingkan
10. Model laporan studi kasus
11. Interpretasi idiografis
12. Aplikasi tentatif
13. Batas-batas penentuan fokus, dan
14. Kriteria khusus untuk kepercayaan.
19
Menurut Maykut dan Morehouse (1994:43) bahwa penelitian kualitatif itu
mempunyai karakteristik yang meliputi:
1. Fokus eksploratori dan deskriptif
2. Rancangan darurat
3. Sampel purposif
4. Pengumpulan data dalam latar alamiah
5. Penekanan pada manusia sebagai instrument
6. Metode kualitatif dalam pengumpulan data
7. Analisis data induktif sejak awal dan terus-menerus
8. Pendekatan studi kasus untuk melaporkan hasil penelitian.
Bogdan dan Biklen (1998:4) mengetengahkan karakteristik penelitian kualitatif
meliputi:
1. Naturalistik
2. Data deskriptif
3. Perhatian dengan proses
4. Analisis data secara induktif
5. Makna tentang kehidupan.
Baru-baru ini, Bryman (1988: 61-69) telah mengusahakan untuk memberikan
karakteristik penelitian kualitatif menurut enam kriteria, yaitu:
1. Melihat melalui sudut pandang …atau mengambil perspektif subjek,
2. Mendeskripsikan detil latar sehari-hari yang biasa berlangsung
3. Memahami tindakan dan makna dalam konteks sosial mereka
4. Menekankan waktu dan proses
5. Menggunakan desain penelitian yang relatif tidak terstruktur
6. Menghindari konsep dan teori pada tahap awal.
Dari uraian tentang karakteristik-karakteristik penelitian kualitatif dari
beberapa pandangan di atas. Penelitian kualitatif memiliki sejumlah ciri yang
20
membedakan antara penelitian yang ini dengan penelitian yang lainnya. Dari hasil
penelaahan kepustakaan Bogdan dan Biklen (1982:27-30) mengajukan lima buah
cirri penelitian kualitatif, sedangkan Lincoln dan /guba (1985:30-44) mengulas
sepuluh point cirri penelitian kualitatif. Uraian di bawah ini merupakan hasil
pengkajian dan sintesis kedua versi tersebut.
1. Latar Alamiah
Penelitian kualitatif melakukan penelitian pada latar alamiah ataupun
pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Hal ini dilakukan, menurut Lincoln
dan Guba (1985:39), karena ontology alamiah menghendaki adanya kenyataan-
kenyataan sebagai keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari
konteksnya. Menurut merekan hal tersebut didasarkan atas beberapa asumsi :
a. Tindakan pengamatan mempengaruhi yang dilihat, karena itu hubungan
penelitian harus mengambil tempat pada keutuhan dalam konteks untuk
keperluan pemahaman;
b. Konteks sangat menentukan dalam menetapkan apakah suatu penemu
mempunyai arti bagi konteks lainnya, yang berarti bahwa suatu fanomena
harus teliti dalam keseluruhan pengaruh lapangan; dan
c. Sebagai struktur nilai kontekstual bersifat determinative terhadap apa yang
akan dicari.
Uraian tersebut diatas membawa untuk memasuki dan melibatkan
sebagian waktunya apakah di sekolah, keluarga, tetangga, dan lokasi lainnya
untuk meneliti masalah pendidikan atau sosiologi. Peneliti yang mengadakan
penelitian terhadap mahasiswa kedokteran, misalnya, mengikuti mahasiswa
sebagai subjek penelitiannya ke dalam ruang kuliah, laborarorium, rumah sakit
dan tempat-tempat yang biasanya digunakan oleh mereka untuk berkumpul
seperti kafetaria, asrama, tempat-tempat pertemuan, dan ebagainya. Contoh
lainnya, suatu penelitian yang dilakukan Ogbu(dalam Bogdan dan Biklen,
21
1982:27) diselesaikan dalam dua puluh satu bulan dengan jalan mengadakan
pengamatan dan wawancara terhadap guru, siswa, kepala sekolah, keluarga, dan
anggota dewan sekolah.
2. Manusia sebagai Alat (Instrumen)
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang
lain merupakan alat pengumpul data utama. Hal ini dilakukan karena, jika
memanfaatkan alat yang bukan manusia dan memprsiapkan dirianya terlebih
dahulu sebagai yang lazim digunakan dalam penelitian klasik, maka sangat
tidak mungkin untuk mengadakan penyesuaian terhadap kenyataan-kenyataan
yang ada di lapangan. Selain itu hanya manusia sebagai alat sajalah yang dapar
berhubungan dengan responden atau objek lainnya, dan hanya manusia lah
yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan. Hanya
manusia sebagai instrumn pilalah yang dapat menilai apakah kehadirannya
menjadi factor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti
dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.
Oleh karena itu, pada waktu mengumpulkan data di lapangan, peneliti
berperan serta pada situs penelitian dan mengikuti secara aktif kegiatan
kemasyarakatan. Pelukis menanamkan cara pengumpulan data demikian
pengamatan berperan serta atau partisipan-observation. (catatan:
Kuncaraningrat dan Emmerson, ed., 1982, menggunakan istilah pengamatan
terlibat yang jika dilihat dari segi pengertiannya masih kurang dinamis).
3. Metode Kualitatif
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,
wawancara, atau penelaah dokumen. Metode kualitatif ini digunakan karena
beberapa pertimbangan.
a. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan
kenyataan jamak;
22
b. Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti
dan responden;
c. Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak
penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
4. Analisis Data Secara Induktif
Penelitian kualitatif menggunakan analisi data secara induktif. Analisis
data induktif ini digunakan karena beberapa alasan.
a. Proses induktif lebih dapat menemukan kenyataan jamak sebagai yang
terdapat dalam kata;
b. Analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti-responden menjadi
eksplisit, dapat dikenal, dan akuntabel;
c. Analisis demikian lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat
membuat keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan pada suatu latar
lainnya.
d. Analisis induktif lebih menemukan pengaruh bersama yang mempertajam
hubungan.
e. Analisis demikian dapat memperhitungkan nilai-nilai secara eksplisit
sebagai bagian dari struktur analitik.
5. Teori dari Dasar (grounded theory)
Dalam penelitian kualitatif teori yang digunakan disebut sebagai teori
mendasar (grounded theory). Ini merupakan salah satu karakteristik penelitian
kualitatif yang membedakannya dari penelitian kuantitatif. Teori dalam
penelitian kualitatif tidak diperoleh dari sumber literatur yang a priori, yang
biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif, melainkan diangkat dari “bumi”
(dasar). Ini biasanya melalui serangkaian pengumpulan data lapangan.
Grounded theory ini dipresentasikan pertama kali oleh Glaser dan
Strauss dalam bukunya yang berjudul The Discovery of Grounded Theory
(1967). Walaupun banyak penelitian original yang menggunakan prosedur
23
grounded theory yang dilakukan oleh para ahli sosiologi, barangkali
penggunaan prosedur ini belum pernah mengikat pada seluruhnya pada
kelompok ini. Para peneliti dalam psikologi dan anthropologi semakin
menggunakan prosedur grounded theory. Para peneliti dalam lapangan-lapangan
praktisi seperti pendidikan, kerja sosial, dan perawatan telah semakin
menggunakan prosedur grounded theory ini sendiri atau dalam hubungannya
dengan metodologi-metodologi yang lain (Denzin & Lincoln, 1998:163).
Definisi
Grounded theory adalah teori yang diperoleh secara induktif dari studi
terhadap fenomena-fenomena yang terjadi. Yaitu, suatu teori yang ditemukan,
dikembangkan dan dibuktikan untuk sementara waktu melalui pengumpulan
data yang sistematis dan analisa data mengenai fenomena tersebut. Oleh karena
itu pengumpulan data, analisis dan teori mempunyai hubungan timbal balik satu
sama lain.
Seseorang tidak boleh memulai dengan teori, kemudian
membuktikannya. Sebaliknya, seseorang memulai dengan kawasan studi dan
apa yang relevan pada kawasan tersebut diperkenankan untuk muncul. Dalam
penelitian konvensional, adalah sebaliknya, peneliti berangkat dari teori yang
biasanya dirumuskan dalam hipotesis penelitian, yang kemudian terjun ke
lapangan untuk membuktikan hipotesis (teori) tersebut.
Kriteria
Sebuah grounded theory yang disusun dengan baik akan memenuhi
empat kriteria pokok untuk mempertimbangkan aplikabilitas dari teori pada
suatu fenomena: cocok, pemahaman, generalitas, dan kontrol. (Lihat Glaser &
Strauss, 1967:237-250, dan juga untuk karakteristik teori tersebut yang tidak
cukup mendasar). Jika teori dapat dipercaya pada realita sehari-hari tentang
bidang substantif dan membujuk secara halus dari data yang berbeda, maka itu
harus cocok dengan bidang substantif tersebut. Karena ini menggambarkan
24
realita tersebut, maka juga harus dapat dipahami dan masuk akal bagi orang-
orang yang dikaji dan bagi mereka yang berpartisiasi pada bidang tersebut.
Jika data di mana hal itu didasarkan adalah komprehensif dan
interpretasi bersifat konseptual dan luas, maka teori tersebut harus cukup abstrak
dan memasukkan keragaman yang cukup memadai untuk membuatnya dapat
diterapkan pada berbagai konteks yang berhubungan dengan fenomena tersebut.
Akhirnya, teori tersebut harus memberikan kontrol dengan memperhatikan pada
tindakan terhadap fenomena tersebut. Ini karena hipotesis yang mengajukan
hubungan-hubungan di antara konsep-konsep yang selanjutnya dapat digunakan
untuk mengarahkan tindakan secara sistematis berasal dari data aktual yang
berkaitan dengan (dan hanya dengan) fenomena tersebut.
Lebih lanjut, kondisi di mana ini diterapkan harus disebutkan secara
jelas. Oleh karena itu, kondisi-kondisi harus diterapkan secara khusus pada
suatu situasi tertentu (Strauss and Corbin, 1990:23).
Dengan kata lain bahwa grounded theory ini hanya lebih memungkinkan
diterapkan pada situasi atau kondisi khusus di mana penelitian itu dilakukan
(dalam lingkungan latar penelitian itu sendiri). Jika kita meneliti cara belajar
anak jalanan misalnya, maka teori yang ditemukannya lebih mungkin diterapkan
dalam situasi dan kondisi anak jalanan.
Pendekatan grounded theory adalah suatu metode penelitian kualitatif
yang menggunakan seperangkat prosedur sistematis untuk mengembangkan
grounded theory yang diperoleh secara induktif tentang suatu fenomena.
Temuan penelitian membentuk suatu formulasi teoritis tentang realita yang ada
dalam investigasi, bukan terdiri dari seperangkat bilangan, atau satu kelompok
tema yang berkaitan secara longgar. Melalui metodologi ini, konsep dan
hubungan antara temuan-temuan penelitian tersebut tidak hanya dihasilkan
tetapi ini juga diuji secara provisional. Prosedur dari pendekatan tersebut adalah
banyak dan agak khusus, seperti yang anda lihat.
Grounded theory merupakan suatu metode ilmiah. Prosedur didesain
sedemikian, jika dilaksanakan dengan secara hati-hati, metode tersebut
25
memenuhi kriteria untuk melakukan signifikansi sains yang “baik”,
kompatabilitas teori-observasi, generalisabilitas, reproduksivitas, ketepatan,
kaku/keras, dan verifikasi.
Masalahnya di sini bukan apakah norma-normanya terpenuhi, namun
bagaimana diinterpretasikan dan didefinisikan dalam pendekatan grounded
theory. Norma hanya menggambarkan paling umum dari pedoman khusus, dan
para peneliti kualitatif melakukan bahaya dalam mengintepretasinya secara
terlalu spesifik dalam hal interpretasi yang lebih positifistis yang dikembangkan
oleh para peneliti kuantitatif. Para proponen atau pendukung dari masing-
masing mode discovery, seharusnya mengembangkan lebih banyak standard
khusus, berdasarkan pada prosedur khusus yang menurut mereka bermanfaat
pada investigasi mereka.
Kreativitas juga merupakan suatu komponen dari metode grounded
theory yang vital. Prosedurnya memaksa peneliti untuk menerobos asumsi dan
menciptakan tatanan baru di luar yang telah kuno. Kreativitas
memanifestasikannya sendiri dalam kemampuan peneliti untuk menyebutkan
kategori-kategori tersebut secara tepat; dan juga membiarkan pikiran
mengembara dan membuat hubungan atau asosiasi yang perlu untuk
menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan stimulus, dan untuk
menghadapinya dengan perbandingan yang mengarahkan pada penemuan.
Perbandingan tersebut membuat peneliti sensitif, seperti yang kita lihat
nantinya, membuat dia dapat mengenal kategori yang potensial, dan
mengidentifikasi kondisi dan akibat-akibat yang relefan ketika kondisi dan
akibat tersebut muncul pada data. Sedangkan kreativitas diperlukan untuk
mengembangkan suatu teori yang efektif, sudah barang tentu, peneliti harus
selalu memvalidasikan semua kategori dan pernyataan tentang hubungan yang
datang secara kreatif selama proses penelitian secara keseluruhan (Strauss and
Corbin, 1990:27-28).
26
Tujuan
Tujuan dari metode grounded theory, sudah barang tentu, ialah
membentuk teori yang bagus dan mengembangkan bidang yang dikaji. Para
peneliti yang bekerja dengan tradisi juga mengharapkan bahwa teori mereka
akhirnya akan dihubungkan dengan yang lainnya di dalam disiplin masing-
masing dalam suatu gaya kumulatif, dan bahwa implikasi teori tersebut akan
mempunyai penerapan yang bermanfaat (Strauss and Corbin, 1990:24).
Tujuan grounded theory adalah untuk membangun suatu teori yang yang
cocok dengan bukti. Grounded theory merupakan metode untuk menemukan
teori baru. Di dalamnya, peneliti membandingkan fenomena yang tidak sama
dengan suatu pandangan ke arah belajar kesamaan. Dia melihat peristiwa-
peristiwa tingkat-mikro sebagai dasar untuk eksplanasi tingkat yang lebih
makro. Grounded theory menyajikan beberapa tujuan dengan teori yang lebih
berorientasi pada positivis.
Hal itu mencari teori yang dapat dibandingkan dengan bukti yang tepat,
mampu replikasi dan generalisasi. Suatu pendekatan grounded theory mengejar
generalisasi dengan membuat perbandingan-perbandingan melintasi situasi-
situasi sosial. Para peneliti kualitatif menggunakan alternatif-alternatif pada
grounded theory. Beberapa peneliti kualitatif menawarkan penggambaran yang
mendalam yang benar menurut pandangan dunia informan. Mereka menggali
situasi sosial tunggal untuk menjelaskan proses mikro yang mempertahankan
interaksi sosial stabil.
Tujuan peneliti yang lain adalah untuk memberikan penggambaran
yang sangat tepat tentang peristiwa atau latar untuk memperoleh pandangan ke
dalam dinamika suatu masyarakat yang lebih besar. Bahkan peneliti yang
lainnya menerapkan teori yang ada untuk menganalisa latar yang spesifik yang
telah mereka tempatkan di dalam konteks sejarah tingkat makro. Mereka
menunjukkan hubungan diantara peristiwa tingkat mikro dan antara situasi
tingkat mikro dan tekanan sosial yang lebih besat untuk tujuan merekonstruksi
teori dan menginformasikan tindakan sosial (Neuman, 2000:146).
27
Grounded theory adalah teori yang cocok (fit) dengan situasi yang
diteliti, dan berfungsi (work) jika digunakan. Yang dimaksud dengan cocok (fit)
adalah bahwa kategori-kategori itu harus siap diaplikasikan pada dan
ditunjukkan oleh data di bawah studi; sedangkan berfungsi (work) bahwa
kategori-kategori itu harus sesuai secara bermanfaat pada dan bisa menjelaskan
perilaku di bawah studi. Ahli lain, Lincoln dan Guba (1985:204)
mengetengahkan bahwa grounded theory adalah teori yang mengikuti data
bukan mendahuluinya (sebagaimana dalam inkuiri konvensional) merupakan
konsekuensi paradigma naturalistik yang memiliki realitas ganda dan
keteralihan pada faktor-faktor kontekstual lokal. Tidak ada teori a priori yang
dapat mengantisipasi banyak realitas yang peneliti pasti tidak akan jumpai di
lapangan, maupun mencakup banyak faktor yang membuat suatu pebedaan di
tingkat mikro (lokal).
Grounded theory oleh Elden (1981:261) diistilahkan dengan teori
“lokal.” Ia menegaskan bahwa: Proyek itu menunjukkan bahwa para karyawan
memiliki keahlian khusus mengenai stituasi kerja sendiri dan kemungkinan
perbaikannya. Penelitian partisipatori memfasilitasi pengumpulan bersama dan
mensistematiskan pemahaman yang teresolasi dan terindividualisasi ke dalam
apa yang saya telah sebut “teori lokal.”
Grounded teory itu bukan deduktif melainkan terpola; teori itu terbuka
dan dapat diperluas tiada batas; dan teori itu ditemukan secara empiris daripada
dijelaskan secara a priori. Bagaimanapun juga, teori pola mendeskripsikan dan
menjelaskan fenomena ke arah yang diarahkan (dituju). Seperti teori
konvensional, grounded teory dapat juga digunakan untuk memprediksi dan
menggerakkan hipotesis untuk tes. Grounded teory dapat memainkan peranan
teori konvensional untuk studi apapun berikutnya.
Persyaratan. Seperti halnya dengan semua ketrampilan, kecakapan dalam
mengerjakan grounded theory akan muncul dengan kajian dan latihan secara
kontinyu. Pada saatnya, hampir semua orang yang begitu berkeinginan harus
dapat mencapai tingkat ketrampilan yang cukup memadai dan mudah untuk
28
melaksanakan penelitian yang efektif dan bermanfaat memberikan kondisi-
kondisi sebagai berikut ini terpenuhi:
1. Kita harus mengkaji, bukan hanya membaca, melalui prosedur seperti yang
digambarkan di berbagai buku dan dipersiapkan untuk mengikutinya
(Glazer, 1978; Glazer & Strauss, 1989; Strauss, 1987). Prosedur-prosedur
tersebut didesain pada teori yang dibuat secara sistematis dan cermat.
Dengan mengambil jalan pintas pada karya tersebut akan menghasilkan
suatu teori yang disusun dengan tidak baik dan dianggap sempit yang bisa
berupa penggambaran realita yang tidak akurat.
2. Prosedur-prosedur yang harus diikuti dalam melakukan penelitian. Dengan
kata lain untuk mengambil sebuah kelas tentang grounded theory tidak akan
membuat seseorang menjadi seorang ahli grounded theory. Ini hanya dengan
berlatih dengan prosedur-prosedur melalui penelitian yang berkelanjutan
bahwa kita akan mempunyai pemahaman yang cukup tentang bagaimana hal
itu bisa bekerja, dan ketrampilan dan pengalaman yang membuat kita dapat
terus menggunakan teknik-teknik tersebut dengan sukses.
3. Sejumlah keterbukaan dan fleksibilitas diperlukan agar supaya dapat
mengadaptasikan prosedur tersebut pada fenomena yang berbeda dan situasi
penelitian yang berbeda (Strauss and Corbin, 1990:25-26).
Pengguna
Grounded theory dapat digunakan secara sukses oleh orang-orang dari
berbagai disiplin. Seseorang tidak perlu menjadi seorang sosiolog atau
membayar perspektif Interaksionis untuk menggunakannya. Jawabannya ialah
prosedur-prosedur ini tidak ada ikatan disiplin. Penting untuk diingat bahwa
para investigator dari disiplin yang berbeda akan merasa tertarik pada fenomena
yang berbeda – atau mungkin memandang fenomena yang sama secara berbeda
29
karena perspektif dan minat secara disipliner. Sebagai contoh, ambillah suatu
bidang studi seperti anak-anak dalam sebuah kelas tertentu. Seorang perawat
mungkin merasa tertarik pada masalah kesehatan mereka, namun seorang
psikolog terhadap penyesuaian, seorang sosiolog perilaku kelompok, seorang
pendidik dalam proses dan pola belajar para siswa, dan seorang fenomenologis
(dari semua disiplin) dalam pengalaman sekolah mereka.
Masing-masing perspektif mewarnai pendekatan yang diambil pada
kajian dari anak-anak ini. Namun, pendekatan grounded theory tersebut dapat
memberikan prosedur untuk menganalisis data kepada para investigator yang
akan mengarahkan pada pengembangan teori yang bermanfaat pada disiplin
tersebut. Suatu kajian multidisipliner juga dapat dilakukan dengan
menggunakan prosedur grounded, dengan masing-masing peneliti
membawakan pandangan khususnya dan memberikan kontribusi pada usaha
penelitian. Semua teori yang pada dasarnya mengembangkannya akan
menggambarkan perspektif mereka masing-masing (Strauss and Corbin,
1990:28-29).
Pemula
Grounded theory sebagai suatu metodologi pada mulanya
dikembangkan oleh dua orang sosiolog: Barney Glaser dan Anselm Strauss.
Sedangkan masing-masing berasal dari latar belakang filosofis dan penelitian
yang berbeda. Mereka bekerja dengan kolaborasi yang erat untuk
mengembangkan teknik-teknik untuk menganalisis data kualitatif yang
mencerminkan pendidikan dan latar belakang mereka.
Anselm Strauss berasal dari the University of Chicago, yang
mempunyai sejarah panjang dan tradisi yang kuat dalam penelitian kualitatif.
Sedangkan di sini, dia juga dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Interaksionis dan
Pragmatis. Dengan demikian cara berpikirnya diilhami oleh orang-orang seperti
misalnya Robert E. Park, W.I. Thomas, John Dewey, G.H. Mead, Everett
30
Hughes, dan Herbert Blumer. Kontribusi latar belakang ini terhadap metode
tersebut, antara lain, adalah:
a. kebutuhan untuk keluar ke dalam bidang tersebut, jika kita ingin memahami
apa yang sedang terjadi;
b. pentingnya teori tersebut, grounded dalam realita, pada pengembangan suatu
disiplin;
c. hakekat dari pengalaman dan mengalami ketika berkembang secara
kontinyu;
d. peran aktif dari orang-orang dalam membentuk dunia di mana mereka hidup;
e. penekanan pada perubahan dan proses, dan variabilitas dan kompleksitas
kehidupan; dan
f. saling keterkaitan antara kondisi, makna, dan tindakan.
Strauss juga mempunyai pengalaman aktual sebelumnya dalam
penelitian lapangan dan telah banyak memikirkan tentang saling pengaruh
mempengaruhi secara halus pengumpulan data dan analisis serta beberapa
prosedur pengodean yang nantinya akan dikerjakan secara saksama (Strauss
et al., 1964).
Barney Glaser berasal dari suatu tradisi yang sangat berbeda tetapi
dengan beberapa gambaran penting yang bersamaan yang tidak diragukan
memungkinkan kolaborasi dari kedua orang tersebut. Dia mengikuti
pelatihannya di Columbia University dan dipengaruhi oleh Paul Lazarsfeld,
dikenal sebagai seorang innovator dari metode kuantitatif. Selanjutnya selama
melakukan analisis kualitatif, Glaser khususnya merasakan kebutuhan tentang
suatu pemikiran yang bagus, dirumuskan secara eksplisit, dan beberapa prosedur
yang sistematis baik untuk pengodean ataupun untuk menguji hipotesis yang
dihasilkan selama proses penelitian.
Tradisi Columbia juga menekankan penelitian empiris dalam
hubungannya dengan pengembangan teori. Bagi tradisi penelitian Chicago
ataupun Columbia diarahkan pada menghasilkan penelitian yang akan
31
digunakan untuk para orang profesional ataupun orang-orang awam. Untuk
alasan inilah banyak dari tulisan tentang grounded theory yang muncul dari
kolaborasi Glaser-Strauss, memasukkan monograf-monograf asli tentang sekarat
(1965, 1968), diarahkan kepada para hadirin (audiences) serta pada kolega
disipliner mereka.
6. Deskrptif
Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan
kumpulan angka. Hal itu disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif.
Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap
apa yang dudah diteliti.
Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data
yang member gambaran penyajian laporan tersebut. Data tersebut mungkin
berasal dari data wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen
pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan
laporan demikian, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan
sejauh mungkin dalam aslinya. Hal itu hendak dilakukan seseorang dal;am
merajut sehingga setiap bagian ditelaah satu demi satu. Pertanyaan dengan kata
mengapa, alasan apa, dan bagaimana terjadinya akan selalu di manfaatkan oleh
peneliti.
7. Lebih Mementingkan Proses daripada Hasil
Penelitian kualitatif banyak mementingkan proses dari pada sebuah
hasil. Hal ini di sebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang di teliti
akan lebih jelasnya jika melalui proses. /bagdan dan Biklen (1982:29)
memberikan contoh seorang peneliti yang menelaah sikap guru terhadap jenis
siswa tertentu. Peneliti mengamati dalam kehidupan sehari-haru, kemudian
menjelaskan hasil yang diteliti. Pengan kata lain, peranan proses dalam
penelitian kualitatif besar sekali.
32
8. Adanya Batas yang Ditentukan oleh Fokus
Penelitian kualitatif menghendaki ditetapkan adanya batasan dalam
penelitian atas dasar focus yang timbul dalam penelitian. Hal tersebut di
sebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
a. Batas menentukan kenyataan jamak yang kemudian mempertajam focus
b. Penetapan focus dapat lebih dihubungkan oleh interaksi anatara peneliti dan
fokus.
Dengan kata lain, bagaimanapun penetapan focus sebagai pokok masalah
penelitian penting artinya dalam usaha menemukan batas penelitian. Dengan hal
itu dapatlah peneliti menemukan likasi penelitian.
9. Adanya Kriteria Khusus dalam Keabsahan
Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, reliabilitas, dan
objektivitas dalam versi lain dibandingkan dengan yang lazim digunakan dalam
penelitian lain. Menurut Lincoln dan Guba (1985:43) hal itu disebabkan
beberapa hal sebagai berikut :
a. Validitas internal cara lama telah gagal karena hal itu menggunakan
isomorfisme antara hasil dan kenyataan tunggal yang dikonvergensikan.
b. Validitas eksternal gagal karena tidak taat asas dan aksioma dasar dari
generilisasinya.
c. Criteria reabilitas gagal karena mempersyaratkan stabilitas dan
keterlaksanaan secara mutlak dan keduanya tidak mungkin digunakan dalam
paradigma yang didasarkan atas desain yang dapat diubah-ubah.
d. Criteria objektivitas gagal karena penelitian kuantitatif justru member
kesempatan interaksi antara peneliti-responden dan peranan nilai.
10. Desain yang Bersifat Sementara
Penelitian kualitatif menyususn desain secara terus-menerus disesuaikan
dengan kenyataan di lapangan. Jadi, tidak menggunakan desain yang di susun
33
secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Hal itu disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut :
a. Tidak dapat dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan yang
ada di lapangan.
b. Tidak dapat diramalkan sebelumnya apa yang akan terjadi dalam interaksi
antara peneliti dengan kenyataan.
c. Tidak dapat memprediksi macam-macam sistem nilai yang terkait dan
berhubungan dengan cara.
Dengan demikian desain khususnya masalah yang telah ditetapkan
terlebih dahulu apabila peneliti ke lapangan dapat saja berubnah sesuai dengan
keadaan di lapangan.
11. Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama
penelitian kualitatif lebih menghendaki agar pengertian dan hasil
interpretasi yang di rundingkan disepakati oleh orang yang dijadikan sebagai
sumber data. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal berikut :
a. Susunan kenyataan dari merekalah yang akan di angkat oleh peneliti sebagai
sumber data.
b. Hasil penelitian bergantung pada hakikat dan kualitas hubungan antara yang
mencari dan yang dicari.
c. Konfirmasi hipotesis kerja akan lebih baik verifikasinya apabila diketahui
dan diinformasikan oleh orang-orang yang ada kaitannya dengan fanomena
yang diteliti.
12. Penggunaan Pengetahuan tak Terucapkan (Tacit-knowledge)
Suatu hal yang tidak mungkin untuk menggambarkan atau menjelaskan
segala sesuatu yang “diketahui” dalam bentuk bahasa; sesuatu harus dialami
untuk memahaminya (Lincoln dan Guba, 1985:195). Suatu informasi atau
pengetahuan yang diperoleh tidak jarang dalam bentuk isyarat atau lambang-
34
lambang tertentu. Makna yang terkandung dalam isyarat atau lambang-lambang
itu disebut sebagai pengetahuan tersembunyi, atau ada yang menyebut juga
sebagai pengetahuan tak terucapkan.
Peneliti kualitatif membantah bagi legitimasi tacit knowledge (intuitif,
merasakan) sebagai tambahan bagi pengetahuan proposisional (pengetaguan
yang dapat mengekspresikan dalam bentuk bahasa) karena seringkali nuansa
dari realita ganda hanya dapat dihargai dengan cara ini; karena banyak dari
interaksi antara peneliti dan responden atau objek terjadi pada tingkat ini; dan
karena tacit knowledge lebih mencerminkan secara terbuka dan secara akurat
pola-pola nilai dari peneliti.
13. Sampling Purposif (Purposive sampling)
Sekali unit atau unit-unit analisis telah diidentifikasi dan ditentukan,
keputusan tentang rancangan sampel dapat dibuat. Ada perbedaan mendasar
antara sampling acak (random sampling) dan sampling purposif (purposeful
sampling). Random sampling merupakan suatu strategi yang cocok ketika
seseorang ingin menggeneralisasi dari sampel yang diteliti pada populasi yang
lebih besar. Alasan penggunaan random sampling adalah untuk meningkatkan
kemungkinan bahwa data yang dikumpulkan itu representatif untuk seluruh
populasi yang diminati. Purposeful(purposive) sampling digunakan sebagai
suatu strategi ketika seseorang ingin mempelajari sesuatu dan datang untuk
memahami sesuatu tentang kasus-kasus pilihan tertentu tidak perlu
menggeneralisasikan pada semua kasus yang demikian (Patton, 1980:100).
Peneliti kualitatif cenderung menjauhi sampling acak atau repesentatif
dan lebih memilih sampling purposif karena dia dapat meningkatkan ruang
lingkup atau peringkat dari data yang diekspos (sampling random atau
representatif cenderung lebih menekan kasus-kasus yang menyimpang) serta
kecenderungan bahwa deretan realita tidak akan tercakup sepenuhnya; dan
karena sampling purposif dapat dihasilkan dengan cara-cara yang akan
memaksimalkan kemampuan peneliti untuk merencanakan teori mendasar yang
35
memperhitungkan kondisi lokal, pembentukan lokal secara ganda, dan nilai-nilai
lokal (untuk memungkinkan dapat ditransfer) (Lincoln dan Guba, 1985:40).
14. Rancangan Darurat (Emergent design)
Peneliti kualitatif memilih untuk membiarkan rancangan penelitian
muncul (mengalir, merembes, terbentang/terungkap) bukan membentuknya
terlebih dahulu (a priori) karena ini tidak dapat dipahami yang cukup dapat
diketahui sebelum waktunya tentang banyak realita ganda untuk merencanakan
rancangan tersebut secara memadai; karena apa yang muncul sebagai suatu
fungsi dari interaksi antara peneliti dan fenomena tersebut sebagian besar tidak
dapat diprediksi sebelumnya; karena peneliti tidak dapat cukup mengetahui
pola-pola pembentukan timbal balik yang cenderung eksis; dan karena berbagai
sistem nilai yang terkait (termasuk yang dimiliki peneliti) melibatkan interaksi
dengan cara-cara yang tidak dapat diprediksi untuk mempengaruhi hasil-
hasilnya (Lincoln dan Guba, 1985:41).
Petunjuk-petunjuk awal penting diidentifikasi dalam fase-fase awal
analisis data dan mengejar dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru,
mengobservasi situasi-situasi baru atau situasi-situasi sebelumnya dengan lensa
yang sedikit berbeda atau menguji dokumen-dokumen tidak penting
sebelumnya. Perluasan dan penyempitan apa yang penting dalam penelitian ini
(misalnya, fokus penelitian) dan sampling orang-orang dan latar-latar yang
konsekuen diantisipasi dan direncanakan untuk, sebaik mungkin seseorang
dapat lakukan, rancangan penelitian. Bagaimanapun juga, ini penting untuk
mempergunakan rancangan penelitian yang bukan darurat (nonemergent
research design) di mana fokus penelitian dikejar menggunakan metode
kualitatif dalam pengumpulan dan analisis data.
Dalam penelitian kualitatif, partisipan-partisipan (atau latar, seperti
sekolah dan organisasi) dipilih secara berhati-hati untuk pemasukan (inclusion),
berdasarkan pada kemungkinan yang setiap partisipan (atau latar) akan
kembangkan variabilitas sampel. Sampel purposif meningkatkan kemungkinan
36
bahwa variabilitas biasa dalam fenomena sosial apapun yang akan
dipresentasikan dalam data. Sebaliknya pada sampel random mencoba untuk
mencapai variasi melalui penggunaan seleksi random dan ukuran sampel yang
besar. Misalnya, jika kita tertarik untuk memahami bagaimana orang-orang di
daerah pedesaan mengembangkan jaringan dukungan sosial, kita hendaknya
mungkin ingin memasukkan orang-orang yang memiliki jaringan sosial yang
tersusun dari sebagian besar famili dan orang-orang yang memiliki jaringan-
jaringan yang tersusun dari sebagian besar teman, karena proses membangun
jaringan sosial mungkin berbeda untuk individu-individu itu (Maykut, 1994:44-
45).
15. Model Laporan Studi Kasus (Case study reporting mode)
Hasil penelitian kualitatif dipesentasikan secara paling efektif dalam
narasi yang kaya, kadang-kadang mengarah pada studi kasus. Jumlah kasus
berbeda-beda dalam masing-masing kajian, dari satu kasus ke kasus lainnya.
Dengan laporan yang panjang, peneliti mempunyai kesempatan untuk
memberikan kutipan yang banyak dari data aktual yang memungkinkan
partisipan untuk berbicara pada diri mereka sendiri – dalam kata dan tindakan –
dengan cara demikian memberikan pada pembaca informasi yang memadai
untuk memahami hasil penelitian.
Dalam laporan yang panjang, peneliti dengan keperluannya lebih
ringkas, menggunakan model laporan studi kasus yang dimodifikasi. Laporan
penelitian kualitatif yang ditandai oleh deskripsi yang kaya hendaknya
menyuguhkan pada pembaca dengan informasi yang memadai untuk
menentukan apakah temuan-temuan penelitian itu mungkin diaplikasikan pada
orang atau latar yang lain (Maykut, 1994:47).
Peneliti kualitatif cenderung memilih model laporan studi kasus
(dibandingkan laporan ilmiah atau teknis) karena ini lebih dapat disesuaikan
pada suatu deskripsi tentang realita ganda yang dihadapi pada situs tertentu;
karena ini dapat disesuaikan untuk mendemonstrasikan interaksi peneliti dengan
situs dan bias-bias konsekuensi yang mungkin dihasilkan (laporan reflektif);
37
karena ini memberikan dasar bagi “generalisasi-generalisasi naturalistik”
individual (Stake, 1980) dan transabilitas ke situs-situs lainnya (deskripsi-
deskripsi tipis); karena ini disesuaikan dalam menunjukkan keragaman dari
pengaruh-pengaruh pembentukan timbal balik sekarang ini; dan karena ini dapat
menggambarkan posisi nilai tentang posisi peneliti, teori substantif, paradigma
metodologis, dan nilai-nilai kontekstual lokal atau daerah.
16. Interpretasi Idiografis (Idiographic interpretation)
Peneliti kualitatif cenderung menginterpretasi data (termasuk menarik
kasimpulan) secara ideografis (dalam hal kekhususan dari kasus) bukan secara
nomoteris (dalam hal generalisasi seperti hukum) karena interpretasi yang
berbeda cenderung bermakna bagi realita yang berbeda; dan karena interpetasi
sangat tergantung pada validitasnya pada kekhasan-kekhasan daerah, termasuk
interaksi peneliti responden (atau objek), faktor-faktor kontekstual yang terkait,
pembentukan timbal balik lokal atau daerah yang saling mempengaruhi, dan
nilai-nilai daerah (serta peneliti).
17. Penerapan Tentatif (Tentative application)
Naturalis cenderung coba-coba (ragu-ragu) tentang pembuatan
penerapan luas mengenai temuan karena realita adalah ganda dan berbeda-beda;
karena temuan pada dasarnya tergantung pada interaksi khusus antara peneliti
dan para responden (atau objek-objek) yang tidak mungkin duplikasi di tempat
lain; karena temuan-temuan dapat diterapkan di mana-mana tergantung pada
kesamaan-kesamaan empiris tentang pengiriman dan penerimaan konteks,
karena “percampuran” khusus dari pengaruh-pengaruh pembentukan timbal
balik bisa sangat beragam dari latar ke latar; dan karena sistem-sistem nilai,
khususnya nilai-nilai kontekstual, mungkin sangat tajam pada varian dar situs ke
situs lain.
18. Batas-batas Penentuan-fokus (Fokused-determined boundaries).
Peneliti kualitatif cenderung menentukan batas-batas penelitian dengan
dasar fokus darurat atau darurat (masalah penelitian, orang-orang yang
mengevaluasi untuk evaluasi-evaluasi, dan pilihan-pilihan kebijakan untuk
38
analisis kebijakan) karena itu memungkinkan realita ganda untuk menentukan
fokus (bukan konsepsi awal penelitian); karena fokus-latar dapat lebih dekat
diantarai oleh interaksi peneliti-fokus; karena batas-batas tidak dapat ditentukan
secara memuaskan tanpa pengetahuan kontekstual yang dekat, termasuk
pengetahuan tentang faktor-faktor pembentukan timbal balik yang terkait; dan
karena fokus tidak mempunyai makna pada setiap peristiwa dalam abstraksi
dari sistem-sistem nilai investigator lokal (Lincoln dan Guba, 1985:42).
Penelitian kualitatif dirancang untuk menemukan apa yang dapat
dipelajari tentang fenomena yang diminati, khususnya fenomena sosial di mana
orang-orang adalah partisipan (atau secara tradisional mengarah pada – subjek).
Para peneliti kualitatif mengembangkan “fokus penelitian” umum yang
membantu untuk membimbing penemuan tentang beberapa fenomena sosial
yang ingin diketahui. Para peneliti tertarik untuk menyelidiki dan merespon
pertanyaan-pertanyaan eksploratori dan deskriptif misalnya Apa konsep anak-
anak muda tentang “pikiran”? Dalam cara-cara apakah orang-orang di daerah
pedesaan membangun jaringan-jaringan sosial informal? Bagaimana orang-
orang yang bekerja di tempat ini berpikir tentang lingkungan fisik yang
hendaknya diperbaiki? Apapun hasil penelitian ini, bukan generalisasi hasil,
tetapi pemahaman pengalaman yang lebih mendalam dari perspektif partisipan
yang diseleksi. Mary Belenky dan asosiasinya telah memilih istilah penelitian
deskriptif-interpretif (interpretive-descriptive research) untuk mengarah pada
kajian eksploratori yang mengandalkan kata-kata orang dan makna-makna
sebagai data untuk analisis Maykut (1994:44).
19. Kriteria Khusus untuk Keterpercayaan (Special criteria for trustworthiness)
Naturalis cenderung mendapatkan kriteria keterpercayaan konvensional
(validitas internal dan eksternal, reliabilitas, dan objektifitas) yang tidak
konsisten dengan aksioma dan prosedur tentang penelitian naturalistik. Oleh
karena itu dia cenderung menentukan kriteria baru (tetapi mempunyai
kesamaan) dan merencanakan prosedur-prosedur operasional untuk
menerapkannya. Perlu dicatat bahwa kriteria konvensional tentang validitas
39
internal gagal karena menunjukkan suatu isomorfomik antara hasil-hasil
penelitian dan suatu realita tunggal yang dapat dirasakan di mana penelitian
dapat memusatkan pada satu titik; bahwa kriteria tentang validitas eksternal
gagal karena tidak konsisten dengan aksioma dasar berkenaan dengan kebisaan
membuatgeneralisasi; bahwa kriteria tentang keterpercayaan gagal karena ini
memerlukan stabilitas dan replikabilitas mutlak, yang mana juga tidak
memungkinkan bagi suatu paradigma didasarkan pada rancangan; dan bahwa
kriteria tentang objektifitas gagal karena paradigma secara terbuka membiarkan
interaksi peneliti-responden dan peranan nilai-nilai. Kasus tersebut akan dibuat
kriteria pengganti (yang disebut kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas,
dan konfirmabilitas) bersama-sama dengan prosedur-prosedur empiris yang
sesuai yang secara memadai (jika tidak secara mutlak) memperkuat
keterpercayaan dari pendekatan-pendekatan naturalistik.
E. Landasan Teoritis Penelitian KualitatifKajian penelitiankualitatif berawal dari kelompok ahli sosiologi dari
“Mazhab Chicago” pada tahun 1920-1930, yang memantapkan pentingnya
penelitian kualitatif untuk mengkaji kelompok kehidupan manusia. Pada waktu
yang sama, kelompok ahli antropologi menggambarkan outline dari metode karya
lapangan yang melakukan pengamatan langsung ke lapangan untuk mempelajari
adat dan budaya masyarakat setempat. Dari awal, tampak bahwa penelitian
kualitatif merupakan bidang penyelidikan tersendiri. Bidang ini bersilang dengan
disiplin dan pokok permasalahan lainnya. Suatu kumpulan istilah, konsep, asumsi
yang kompleks dan yang saling terkait meliputi istilah penelitian kualitatif.
Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang
peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit maupun
tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar
teoritis pendekatan kualitatif adalah :
1. Fenomenologi
40
Fenomenologi diartikan sebagai :
Pengalaman subjektif atau pengalaman fanomenologikal
Suatu studi tentang kesadaran dari prespektif pokok seseorang (Husserl).
Istilah ini sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjuk
pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui.
Dalam arti yang lebih khusus, istilah ini mengacupada penelitian terdisiplin
tentang kesadaran dari prespektif pertama seseorang. Fanometologi kadang-
kadang digunakan sebagai prespektif filosofi dan juga digunakan sebagai
pendekatan dalam metodologi kualitatif.
Fanomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada
pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasinya di dunia. Dalam
hal ini fanomenologi ingin memahami bagaimana dunia muncul kepada orang
lain.
Fanomenologi memiliki beberapa ciri yang dilakukan oleh peneliti
fanomenologis, yaitu :
a. Fanomenologis cenderung mempertanyakan yang naturalisme, yaitu yang
disebut dengan objektivisme dan positivisme yang telah berkembang sejak
zaman Renaisans dalam ilmu pengetahuan modern dan teknologi.
b. Secara pasti fanomenologis cenderung memastikan kognisi yang mengacu
pada apa yang dinamakan oleh Husserl, “Evidens” yang dalam hal ini
merupakan kesadaran tentang suatu benda itu sendiri secara jelas dan
berbeda denganyang lainnya. Tetapi dapat mencangkupi untuk sesuatu
dalam hal itu.
c. Fanomenologis cenderung percaya bahwa bukan hanya suatu benda yang
ada di dalam dunia alam dan budaya.
41
Fanomenologis berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk karena
kebetulan tetapi di bentuk oleh factor lainnya yang ada pada dirinya. Demikian
dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak ada control diri terhadap
kesadaran terstruktur. Sebagai yang terstruktur,kesadaran menciptakan “dunia”
yang dialami oleh setiap orang. Analisis fanomenologis berusaha mencari untuk
menguraikan dunianya, seperti apa aturan-aturan yang terorganisasikan, dan apa
yang tidak, serta dengan aturan atau objek dan kejadian itu berkaitan.
Peneliti dalam pandangan fanomenologis berusaha memahami arti
peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada pada situasi
tertentu. Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh
filusuf Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari
Webber yang member tekanan pada verseten, yaitu pengertian interpretative
terhadap pemahaman manusia.
Ada berbagai bcabang penelitian kualitatif, namun semua berpendapat
sama tentang tujuan pengertian subjek penelitian, yaitu melihatnya dari segi
pandangan mereka. Jika ditelaah secara teliti, frasa dari segi pandangan mereka
menjadi persoalan. Persoalan pokoknya ialah dari segi pandangan mereka
bukan merupakan ekspresi yang digunakan oleh subjek itu sendiri dan belum
tentu mewakili cara mereka berpikir. Dari segi pandang mereka adalah cara
peneliti menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi dari
segi pandangan merupakan kontrak penelitian. Melihat subjek dari segi ide ini
hasilnya barangkali akan memaksa subjek tersebut mengalami dunia yang asing
baginya.
Sebenarnya upaya dunia subjek oleh peneliti bagaimanapun perlu dalam
penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat tafsiran yang harus mempunyai
kerangka konsep untuk menafsirkannya. Peneliti kualitatif percaya bahwa
mendekati orang dengan tujuan memahami pandangan mereka dapat
mengganggu pengalaman subjek. Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan
dalam derajat mengatasi masalah metodologis/konseptual ini dan cara mereka
mengatasinya. Sebagian peneliti mencoba melakukan deskripsi fenomenologi
42
murni. Di pihak lain, peneliti lainnya kurang memperdulikandan berusaha
membentuk abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan segi
pandangan mereka. Apapun posisi seorang peneliti yang jelas ia harus
menyadari persoalan teoritis dan isu metodologi ini.
Peneliti kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun
sebagian besar diantaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya. Mereka
member tekanan pada segi subjektif, tetapi mereka tidak perlu mendesak atau
bertentangan dengan pandangan orang yang mampu menolak pandangan itu.
Sebagai gambaran diberikan contoh, misalnya guru mungkin percaya bahwa ia
dapat berjalan menembus dinding batu-bata, tetapi untuk mencapainya
memerlukan pemikiran. Hakikatnya, batu-bata itu keas untuk ditembus, namun
guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan menembus
dinding itu. Penelitian kualitatif menekankan berpikir subjektif karena, sebagai
yang mereka lihat dunia di dominasi oleh objek yang kurang keras
dibandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama dibandingkan mesin
kecil yang dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam imajinasi kita, lebih
banyak berlatar-belakang simbolik daripada kongkret.
43
2. Interaksi Simbolik
Bersamaan dengan prespektif fenomenologis, pendekatan ini berasumsi
bahwa pengalaman manusia dipengaruhi oleh penfsiran. Objek, orang, situasi
dan peristiwa tidak memiliki pengertian senditi, sebaliknya pengertian itu
deberikan untuk mereka. Misalnya, seorang teknologi pendidikan mungkin
menentukan penyetor 16 mm sebagai alat yang akan digunakan oleh guru untuk
memperlihatkan film-film yang relevan dengan tujuan pendidikan; seorang
guru barangkalai menata penelitian kualitatif menggunakan proyektor terebut
sebagai alat pada siswa apabila ia kehabisan bahan pelajaran sewaktu mengajar
atau apabila ia sudah letih. Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman
dan proses penafsiran adalah esensial serta menentukan an bukan bersifat
kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.
Untuk memahami perilaku, kita harusmemahami definisi untuk proses
pendefinisiannya. Manusia terikat secara aktif dalam mencitpatak dunianya
sehingga dengan demikian ia akan mengerti tentang pemisahan antara riwayat
dengan masyarakat yang merupakan sesuatu yang esensial. Manusia tidak dapat
bertindak atas dasar respon yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk
mempradefinisikan objek, tetapi lebih sebagai penafsiran, pendefinisian, hewan
simbolik yang perilakunya hanya dapat dipahami dengan jalan peneliti
memasuki proses definisi melalui metode seperti pengamatan berperan-serta.
Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh
kekuatan manusia atau bukan. Orang-orang menafsirkan sesuatu dengan
bantuan orang lain, seperti orang-orang masa lalu, penulis, keluarga, pemeran di
televise, dan pribadi-pribadi yang ditemuinya dalam latar tempat mereka
bekerja atau bermain, namun orang lain tidak melakukannya untuk mereka.
Melalui interaksi seseorang membentu pengertian. Orang dalam situasi tertentu
(misalnya mahasiswa dalam ruang kuliah tertentu) sering mengembangkan
definisi bersama ( atau prespektif bersama dalam bahasa interaksi simbolik)
karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman
44
bersama, masalah dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan
keharusan.
Dipihak lain sebagian pemegang definisi bersama untuk menunjukkan
kebenaran, suatu pengertian yang senantiasa untuk disepakati. Hal itu dapat
dipengaruhi oleh orang yang melihat sesuatu dari sisi lain. Bila bertindak atas
dasar definisi tertentu, sesuatu barangkali tidak akan baik bagi seseorang.
Biasanya pada orang seorang ada masalah, dan masalah itu dapat membentuk
definisi baru, dapat meniadakan yang lama, dengan kata lain dapat berubah.
Bagaimana definisi itu berubah atau berkembang merupakan pokok persoalan
yang akan diteliti.
Jadi, penafsiran itu menjadi esensial. Interaksi simbolik menajdi
paradigma konseptual melebihi dorongan dari dalam, sifat-sifat pribadi,
motivasi yang tidak disadari, kebetulan, tatus sosial ekonomi, kewajiban
peranan, resep budaya, mekanisme pengawasan masyarakat, atau lingkungan
fisik lainnya. Factor-faktor tersebut sebagian adalah kontraks yang digunakan
oleh para ilmuan sosial dalam usahanya untuk menjelaskan dan memahami
perilahu. Pere interksionis simbolik tidak menolak kenyataan bahwa konsep
teoritik tersebut mungkin bermanfaat. Namun hal itu hanya relevan untuk
memahami perilaku sepanjang hal untuk memasuki atau berpengaruh terhadap
proses bendefinisian. Pengajurteori ini tidak boleh menolak kenyataan bahwa
terdapat dorongan untuk makan dan bahwa definisi kultural tentang bagaimana,
apa dan bilamana seseorang harus makan. Bagaimanapun, mereka harus
menolak apabila dikatakan bahwa makan hanaya dapat dipahami dalam
kerangka definisi kebudayaan dan dorongan. Makan dapat dipahami dengan
melihat saling kaitan anatara bagaimana orang mendefinisikan makan dan
situasi khusus dimana mereka memperolehnya. Makan dapat didefinisikan
dengan berbagai cara yang berbeda. Guru di sekolah mendefinisikan kapan
waktu yang tepat untuk makan, apa yang mau dimakan, bagaimana cara makan
anatara siswa yang satu dengan siswa yang lainnya pada tempat yang sama.
Makan siang berarti beristirahat karena bekerja, gangguan yang menjengkelkan,
45
kesempatan untuk melakukan pekerjaan pokok, waktu untuk diet, atau
keempatan mendapatkan jawaban dari pertanyaan ujian. Makan bagi orang lain
misalnya dapat merupakan tonggak dalam perkembangan hidupnya. Makan
disini dinyatakan signifikan dengan jalan menyediakan peristiwa bagi seseorang
untuk dapat mengukur apa yang sudah atau belum tercapai. Beberapa hari ia
masih dapat bertahan, atau secepatnya seseorang akan terpaksa mengahiri
harinya yang menyenangkan.
Dari gambaran di atas dapat dilihat bahwa makan siang mempunyai
makna simbolik, dan konsep seperti dorongan dan ritual tidak berpengaruh.
Teori ini tidak menolak bahwa ada aturan dan keteraturan, nilai, dan sistem
nilai dalam masyarakat. Hal itu menjadi penting dalam memahami perilaku
hanya orang mempertimbangkannya. Selanjutnya, disarankan bahwa bukan
aturan, keteraturan, norma atau apa saja yang penting untuk memahami
perilaku, melainkan bagaimana hal-hal itu didefinisikan dan digunakan dalam
situasi-situasi khusus.
3. Kebudayaan
Banyak antropolog menggunakan pendekatan fenomenologi dalam studi
mereka dalam pendidikan. Kerangka studi antropologisnya adalah konsep
kebudayaan. Usaha untuk menguraikan kebudayaan atau aspek-aspek
kebudayaan dinamakan etnografi. Walaupun ada diantaranya kurang
sependapat tentang definisi kebudayaan, mereka mmandang kebudayaan
sebagai kerangka teroritis dalam menjelaskan pekerjaan mereka.
Etnografi dikenal dengan uraian rinci (thick description). Yang ditemui
etnograf jika menguji kebudayaan menurut prepektif ini ialah suatu seri
penafsiran terhadap kehidupan, pengertian akal sehat yang rumit dan sukar
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Tujuan etnografi adalah mengalami
bersama pengertian bahwa pemeranserta kebudayaan memperhitungkan dan
menggambarkan pengertian baru untuk pembaca dan orang luar.
46
Dalam kerangka kebudayaan, apapun definisi khususnya, kebudayaan
merupakanalat organisatoris atau konseptual untuk menafsirkan data yang
berarti dan yang member cirri pada etnoografi.
4. Etnometologi
Etnometodologi bukanlah metode yang digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data, melainkan menunjukkan pada mata pelajaran yang akan
diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang bagaimana individu menciptakan
dan memahami kehidupan sehari-hari. Metodenya untuk mencapai kehidupan
sehari-hari. Subjek etnometodologi bukanlah anggota suku-suku terasing,
melankan orang-orang dalam pelbagai macam situasi pada masyarakat kita.
Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang melihat,
menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka.
Sejumlah orang berpendidikan telah dipengaruhi oleh pendekatan ini.
Pekerjaan mereka kadang-kadang sukar dipisahkan dari pekerjaan peneliti
kualitatif lainnya. Mereka cenderung melakukan pekerjaan–pekerjan tentang isu
yang bersifat mikro, dengan pengungkapan dan kosa kata khusus, dan dengan
tindakan yang rinci dan dengan pengertian. Peneliti demikian menggunakan
istilah-istilah pengertian secara common sense, kehidupan sehari-hari, dan
memperhitungkan. Menurut para etnometodolog, penelitian bukan merupakan
usaha ilmiah yang unik, melainkan lebih merupakan penyelesaian praktis.
Mereka menyarankan agar kita melihat secara hati-hati pada pengertian akal
sehat tempat pengumpulan data itu dilakukan. Mereka mendorong peneliti unuk
bekerja dengan cara kualitatif untuk lebih peka terhadap kebutuhan tertentu
menurut mereka atau menangguhkan asumsi mereka tentang akal sehat,
pandangan mereka sendiri, daripada mempertimbangkannya.
Selain landasan teoritis tersebut di atas dalam penelitian kualitatif
dimanfaatkan juga apa yang dinamakan pendekatan (approach). Pendekatan
penelitian kualitatif merupakan cara berpikir umum tentang cara melaksanakan
penelitian kualitatif. Pendekatan itu menguraikan, baik secara eksplisit ataupun
47
secara implisit, maksud penelitian kualitatif, peran peneliti, langkah-langkah
penelitian, dan metode analisis data, dalam hal ini ada empat pendekatan
kualitatif yang dikemukakan.
5. Etnografi
Pendekatan etnografi dalam penelitian kualitatif terbanyak berasal dari
bidang antropologi. Penekanan pada etnografi adalah pada keseluruhan studi
budaya. Semula gagasan budaya terikat dengan persoalan etnis dan lokasi
geografis, tetapi sekarang hali itu telah diperluas dengan memasukkan setiap
kelompok dalam suatu organisasi. Dalam hal ini kita dapat meneliti budaya dari
bisnis atau kelompok tertentu.
Etnografi pada dasarnya merupakan bidang yang sangat luas sengan
variasi yang sangat besar dari praktisi dan metode. Bagaimanapun, pendekatan
etnografis secara umum adalah pengamatan berperan serta sebagai bagian dari
penelitian lapangan. Etnografer menjadi tertarik secara mendalam dalam suatu
budaya sebagai bagian dari pemeransertanya dan mencatat secara serius data
yang diperolehnya dengan memanfaatkan cacatan lapangan. Sebagai yang ada
dala “grounded throry”, tidak ada pembatasan terlebih dahulu apa yang akan
diamati dan tidak ada titik akhir dalam studinya.
6. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan (field research) dapat juga dianggap sebagai
pendekatan luas dalam penelitian kualitatif atau sebagai metode untuk
mengumpulkan data kualitatif. Ide pentingnya bahwa peneliti berangkat ke
lapangan untuk mengadakan pengamatan tentang sesuatufenomenon dalam
suatu keadaan ilmiah atau in situ. Dalam hal demikian maka pendekatan ini
terkait erat dengan pengamatan berperanserta. Peneliti lapangan biasanya
membuat catatan lapangan secara ekstensif yang kemudian dibuatkan kodenya
dan dianalisis dalam berbagai macam cara.
48
7. Grounded Theory
Pendekatan grounded theory mempunyai beberapa aspek, yaitu :
a. Tujuan penelitian adalah untuk menghasilkan sebuah teori dengan
menggunakan pendekatan “prientasi pendekatan” / construt oriented (atau
kategori).
b. Prosedur yang digunakan benar-benar didiskusikan dan sistematik.
c. Peneliti menyajikan model visual, diagram berkode dan teori.
d. Bahasa dan kesannya ilmiah dan objektif tetapi berhubungan dengan topic
yang sensitive secara mencolok.
Gunakan pendekatan ini untuk menghasilkan dan mengembangkan
teori. Kumpulkan informasi terutama dari interview, dan gunakan prosedur
pengumpulan data yang sistematis dan analitis dikembangkan dari prosedur
seperti aksial, open dan coding tertentu. Walaupun laporan penelitian akhir
akan lebih ilmiah tetapi dapat mempengaruhi isu-isu sensitive dan emosional.
F. Perbedaan Penelitian Kualitatif dengan Penelitian Kuantitatif Untuk menalaah dan mempelajari perbedaan anatar penelitian kuantitatif dan
penelitian kualitatif dapatlah hal itu ditinjau dari segala aspek yang memungkinkan
adanya perbedaan yang di gambarkan seperti pada berikut :
49
Perbedaan Penelitian Kualitatif dengan Penelitian Kuantitatif Ditinjau dari
Beberapa aspek
No Aspek Kuantutatif Kualitatif
1. Maksud Membuat deskripsi objektif
tentang fanomena terbatas
dan menentukan apakah
fanomena dapat dikontrol
melalui beberapa intervensi.
Mengembangkan
pengertian tentang individu
dan kejadian dengan
memperhitungkan konteks
yang relevan
2. Tujuan Menjelaskan, meramalkan,
dan/atau mengontrol
fenomena melalui
pengumpulan data terfokus
dari data numeric.
Memahami fenomena sosial
melalui gambaran holistik
dan memperbanyak
pemahaman mendalam.
3. Pendekatan Menjelaskan penyebab
fenomena sosial melalui
pengukuran objektif dan
analisis numerikal.
Berasumsi bahwa subject
matter suatu ilmu sosial
adalahamat berbeda dengan
subject matter dari ilmu
fisik/alamiah dan
mempersyaratkan tujuan
yang berbeda untuk inkuiri
dan seperangkat metode
penyelidikan yang berbeda.
Induktif berisi nilai
(subjektif), holistik, dan
berorientasi proses.
4. Asumsi Beasumsi bahwa tujuan dan
metode ilmu sosial adalah
sama dengan ilmu
Perilaku terikat konteks
dimana hal itu terjadi dan
kenyataan sosial tidak bisa
50
fisik/alamiah dengan jalan
mencari teori yang dites
atau dikonfirmasikan yang
menjelaskan fenomena.
Deduktif, bebas nilai
(objektif), terfokus, dan
berorientasi tujuan.
direduksi menjadi variabel-
variabel sama dengan
kenyataan fisik. Berupaya
mencari pemahaman
tentang kenyataan dari segi
prespektif orang dalam;
menerima subjektiviotas
dari peneliti dan pemeran
serta.
5. Model
penjelasan
Penemuan fakta sosial tidak
berasal dari persepsi
subjektif dan terpisah dari
konteks.
Upaya generalisasi tidak
dikenal karena perilaku
manusian sealalu terikat
konteks dan selalu
diinterpretasikan kasus per
kasus.
6. Nilai Bergantung pada model
penjelasan hipotetiko-
deduktif dengan memulai
dari teori dari mana
hipotesis ditarik dan di tes
dengan menggunakan
prosedur yang ditentukan
terlebih dahulu.
Beragumentasi bahwa
peneliti senantiasa terikat
nilai dan peneliti harus
eksplisit tentang peranan
bahwa nilai memegang
peranan dalam sesuatu
studi. Beranggapan bahwa
nilai merupakan sesuatu
piihan yang inhern dalam
masalah yang harus
diselidiki, metode yang
harus diteliti, cara untuk
mengintepretasi, dan
konteks dimana studi itu
berada.
51
7. Alasan Menerima nilai peneliti
dapat berperan dalam
permasalahan yang sedang
diteliti, tetapi penelitian itu
sendiri harus bebas nilai
dengan prosedur khusus
yang dirancang untuk
mengisolasikan dan
mengeluarkan unsure-unsur
subjektif dan mencari
kenyataan objektif.
Induktif melakukan
pengamatan dan menarik
kesimpulan.
8. Generalisasi Deduktif – deduksi dari
teori tentang apa yang akan
diamati.
Berasumsi bahwa setiap
individu, budaya, latar
adalah unik dan penting
untuk mengapresiasi
keunikan, generalisasi
bergantung pada konteks.
9. Hubungan
peneliti
dengan
subjek
Berasumsi bahwa cara ini
dapat menemukan hokum
yang menambah pada
prediksi yang dapat
dipercaya dan pada control
tentang kenyataan/
fenomena. Mencari
keteraturan dalam simple
individu, analisis statistic
menyatakan kecenderungan
tentang perilaku dan
kecenderungan sudah
cukup kuat untuk
Peneliti secara aktif
berinteraksi secara pribadi.
Proses pengumpulan data
dapat diubah dalam hal itu
bergantung pada situasi.
Peneliti bebas
menggunakan intuisi dan
dapat memutuskan
bagaimana merumuskan
pertanyaan dan bagaimana
melakukan pengamatan.
Individu yang diteliti dapat
diberi kesempatan agar
52
memperoleh nilai praktis. secara sukarela mengajukan
gagasan dan persepsinya
dan malah berpartisipasi
dalam analisis data.
10. Nilai
orientasi
Tujuan penelitian adalah
objektivitas, berusaha
memelihara pandangan
pribadi, kepercayaan
“biases” dan pengaruh
pengumpulan data dan
analisis proses. Melibatkan
interaksi minimal dan jika
interaksi diperlukan
(wawancara) lalu berusaha
membakukan proses.
Peranan sampel dalam studi
adalah pasif.
Mempercayai bahwa
seluruh kegiatan penelitian
terikat nilai. Tidak
menghindari isu nilai, nilai
pribadi dinyatakan secara
terbuka, dan mencoba
memperagakan nilai yang
terikat pada konteks.
11. Studi tentang
konteks
Berupaya agar nilai pribadi
bebas dari pengaruh desain
penelitian dan menghindari
usaha membuat keputusan
nilai tentang hal-hal yang
diteliti.
Berupaya memahami
fenomena yang kompleks
dengan jalan mengujinya
dalam keseluruhannya
dalam konteks. Belum
diketahui apa yang difokus
sampai studi itu sudah
berlangsung;
mengdentifikasikan tema
yang relevan dan pola-pola
(yang muncul) yang
kemudian menjadi focus
studi.pengumpulan data
53
sedikit banyak adalah
kontinu dan intensif lebih
dari penelitian kuantitatif.
12. Desain Berupaya memahami
fenomena yang kompleks
dengan jalan menganalisis
bagian bagian komponen
(disebut variabel). Setiap
upaya penelitian menguji
hanya beberapa
kemungkinan dari variabel
yang dapat diteliti; konteks
situasi diabaikan atau
dikontrol. Data
dikumpulkan dalam
beberapa interval dan
memfokus pada
pengukuran yang tepat.
Fleksibel/luwes,
dikembangkan, umum,
dinegosisasi, sebagai acuan
untuk diikuti, dikhususkan
hanya dalam istilah umum
sebelum studi dilakukan.
Tidak mebikutkan intervasi
dan berupaya agar
gangguan sesedikit
mungkin.
13. Metode Terstruktur, formal,
ditentukan terlebih dahulu,
tidak luwes, dijabarkan
secara rinci terlebih dahulu
sebelum penelitian
dilakukan. Dapat diteliti;
konteks situasi diabaikan
atau dikontrol. Data
dikumpulkan dalam
beberapa interval dan
memfokus pada
pengukuran yang tepat.
Historikal, etnografis, dan
studi kasus. Intervensi dan
berupaya agar gangguan
sesedikit mungkin.
54
14. Hipotesis Deskriptif, korelasional,
perbandingan-kasual, dan
eksperimen.
Cenderung untuk mencari,
menemukan dan
menyimpulkan hipotesis.
Hipotesis dilihat sebagai
sesuatu yang tentative,
berkembang, dan
didasarkan pada seuatu
studi tertentu.
15. Pengukuran Hamper selalu mengetes
hipotesis. Hipotesis dilihat
ssebagai seseuatu yang
khusus, dapat dites, dan
dinyatakan sebelum
suatustudi dilakukan.
Prosedurnya sedikit
subjektif, peneliti memiliki
kemampuan untuk
mengamati dan berinteraksi
dengan manusia lainnya
dan dengan lingkungan;
percaya bahwa kemampuan
manusia diperlukan untuk
melaksanakan tugas yang
rumit dan terhadap dunia
yang sangat bervariasi dan
yang selalu berubah.
16. Review
keputusan
Tujuan pengukuran adalah
objektivitas, member
makna pada scoring dan
pengumpulan data tidak
dipengaruhi oleh nilai-nilai
peneliti, “bias” dan
persepsi; banyak tergantung
pada tes, skala dan
kuisioner terstruktur yang
dapat diadministrasikan
Terbatas, sebagai acuan
teori, dan tidak
mempengaruhi studi. Tidak
dilakukan untuk mengkaji
teori karena dengan cara ini
bukan mengkaji teori tetapi
menemukan teori dari data.
55
pada kondisi baku terhadap
seluruh individu dalam
sampel dan prosedur untuk
scoring data dirinci secara
tepat untuk meningkatkan
kemungkinan terjadinya
bahwa setiapdua skor
memperoleh hasil yang
sama. Akhirnya buku dan
numerikal.
17. Latar
penelitian
Ekstensif, yang dengan hal
itu mempengaruhi studi.
Pengkajian teori diperlukan
untuk menemukan konsep,
variabel, dan menata
penelitian hipotesis.
Naturalistik (sebagaimana
adanya) sejauh mungkin.
18. sampling Sejauh mungkin dikontrol
sampling teoritis dan
sampling sebanyak
mungkin digunakan sebagai
mempertimbangkan.
Bertujuan: dinaksudkan
untuk memilih sejumlah
‘kecil’ dan tidak harus
representative; sampel
dimaksudkan untuk
mengarah kepada
pemahaman secara
mendalam.
19. Data Random/acar: dimaksudkan
untuk memilih dari
sejumlah besar individu
dalam populasi dimasukkan
dalam sampel yang
dianggap mewakili. Hal itu
Naratif, deskriptif, dalam
kata-kata mereka yang
diteliti, dokumen pribadi,
catatan lapangan, artifak,
dokumen resmi dan video
tapes, transkrip.
56
digunakan untuk
menggeneralisasi hasilnya
kepada populasi. Strtifikasi,
kelompok control,
mengontrol variabel
ekstraneus.
20. Strategi
pengumpula
n data
Numeric, variabel
dioperasionalkan, kode
dikuantifikasikan,
statistical, dihitung dan
diadakan pengukuran.
Pengumpulan dokumen,
pengmatan berperan serta
(participant observatiom),
wawancara tidak terstruktur
dan informal, mencatat data
dalam catatan lapangan
secara intensif, menilai
artifak.
21. subjek Pengamatan terstruktur
yang non partisipan,
wawancara semi-terstruktur
dan formal, adminstrasi tes
dan kuisioner, eksperimen,
penelitian survey,
eksperimen kuasi.
Subjek penelitian berjumlah
besar, pemilihan secara
acat.
Jumlah subjek penelitian
kecil; teknik sampling
bertujuan.
22. Analisis data Deduktif, secara statistik.
Terutama menghasilkan
data numeric yang biasanya
dianalisi secara statistik.
Data kasar terdiri dari
bilangan dan analisi
Induktif, model-model,
teori-teori, konsep,metode
perbandingan tetap.
Biasanya data dianalisis
secara deskriptif yanf
sebagian besar berasal dari
57
dilakukan pada akhir
penelitian.
wawancara dan cacatatan
pengamatan; catatan
dianalisis untuk
memperoleh tema dan pola-
pola yang dideskripsikan
dan diilustrasikan dengan
contoh-contoh, termasuk
kutipan-kutipan dan
rangkuman dari dokumen;
koding data dan analisi
verbal.
23. Intepretasi
data
Kesimpulan dan
generalisasi diformulasikan
pada akhir penelitian,
dinyatakan dengan derajat
kepercyaan tertentu yang
ditentukan terlebih dahulu.
Kesimpulan adalah tentatif,
direview atas dasar sesuatu
yang masih berlangsung,
sedang generalisasi
diabaikan.
24. Kriteria Validitas internal–
bagaimana kebenaran
dikemukakan. Validitas
eksternal- bagaimana
penerapan temuan-temuan
pada latar lainnya.
Objektivitas- bagaimana
seharusnya kita dapat
diyakinkan bahwa temuan-
temuan adalah reflektif dari
subjek daripada hasil dari
‘biases’ para peneliti.
Kredibilitas- penelitian
dilakukan sedemikian rupa
untuk memastikanbahwa
subjek itu secara secukunya
diperoleh dan diuraikan.
Keterelihan- beban untuk
memaparkan penerapan
temuan-temuan pada latar
lainnya tergantung pada
peneliti yang haru
mengadakan uraian rinci
tentang keadaan latar untuk
keperluan penerapan.
58
25. Frasa kunci Eksperimental, data
numeric, empiric, dan
statistikal.
Deskriptif, naturalistik, dan
berorientasi kata.
26. Konsep
kunci
Reliabilitas, variabel,
operasionalisasi, hipotesis,
validitas, statistikal,
signifkan, replikasi.
Bermakna, pemahaman
awam, proses, dibangun
secara sosial, tema,
keabsahan data.
27. Instrument
penelitian
Inventori, kuisioner,
skala,skor tes, indikator.
“tape recorder”, catatan
lapangan, peneliti adalah
instrument iu sendiri.
28. Masalah Mengontrol variabel,
validitas.
Memakan waktu, prosedur
tidak baku, reliabilitas
keabsahan data.
G. Beberapa pertanyaan umum tentang penelitian kualitatif Jika seseorang baru pertama kali mendengar atau mempelajari penelitian
kualitatif, biasanya timbul pertanyaan pertanyaan yang memerlukan penjelasan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagian meragukan keabsahan penelitian kualitatif.
Bogdan dan Taylor (1982:39-48) mengajukan delapan pertanyaan dan menjelaskan
jawabannya.
1. Dapatkah pendekatan kualitatif dan kuantitatif digunakan bersama?
Peneliti kualitatif biasanya tidak puas dengan hasil analisis statistik.
Misalnya, dengan data yang dikumpulkan dengan kuisioner, analisis statistic
dilakukan untuk menemukan hubungan karena antara dua atau lebih variabel.
Ternyata hasilnya tidak memuaskan karena tidak ada hubungan. Peneliti
meragukan hasilnya karena hipotesis tidak teruji. Untuk itu ia selalu
mengadakan wawancara mendalam untuk melengkapi penelitiannya. Dengan
kata lain penelitian kuantitatif tersebut menggunakan secara bersama-sama
59
penelitian tersebut, namun dengan pendekatan kuantitatif sebagai pegangan
utama.
Di pihak lain, peneliti kualitatif sering menggunakan data kuantitatif,
namun yang sering terjadi pada umumnya tidak menggunakan analisis
kuantitatif secara bersama-sama. Jadi, dapat dikatakan bahwa pendekatan kedua
penelitian tersebut dapat digunakan apabila desainnya adalah memanfaatkan
satu paradigma sedangkan paradigma lainnya hanya sebagai pelengkap saja.
2. Apakah penelitian kualitatif benar-benar ilmiah?
Pnelitian itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menemukan teori,
dan hal itu dilakukan secara baik justru dengan pendekatan induktif. Data
dikumpulkan, dianalisis, diabstrakkan, dan akan muncul teori-teori sebagai
penemuan penelitian kualitatif. Selain itu penelitian kualitatif juga mengelan
adanya hipotesis kerja dan pada dasarnya hal itu telah menjadi substantif.
Hanya bedanya hipotesis kerja dirumuskan sementara data dikumpulkan, jadi
tidak disusun sebelumnya. Hipotesis kerja demikian dapat disempurnakan
sementara pengumpulan data berlangsung. Hal demikian tidak mungkin
dilakukan dalam penelitian kuantitatif. Pengujian hipotesis kerja juga dilakukan
dalam rangka reduksi data.
60
3. Bagaimana perbedaan penelitian kualitatif dengan pekerjaan guru dan
wartawan ?
Guru mengadakan pengamatan, melakukan inkuiri secara sistematis, dan
menarik kesimpulan.hal yang dilakukan oleh guru tersebut mirip dengan
pekerjaan yang dilakukan oleh peneliti kualitatif, namun berbeda pada beberapa
hal. Guru mengamati siswa untuk keperluannya dalam mengajar, memberikan
nilai pada siswa, dan mendisiplinkan siswanya, sedangkan pada peneliti hanya
dibutuhkan untuk memeperoleh data yang sesuai dengan konteks yang diambil.
Dapat dikatakan bahwa pekerjaan wartawan dengan peneliti memiliki
banyak perbedaan. Wartawan cenderung melakukan pekerjaannya yang terkait
dengan isu, atau peristiwa yang diusahakannya agar laris dan diminati oleh
pembacanya. Bahkan ia terkadang memperbesar atau memperkecil criteria yang
ada pada kenyataannya untuk menarik para peminatnya. Misalnya di Koran di
muat “seorang wanita cantik telah dicopet pada petang lalu”. Konteks tersebut
mungkin akan menarik bagi pembacanya, padahal di dunia nyatanya wanita itu
tidak terlalu canti atau bisa dikatakan buruk rupa. Pada peneliti hal ini tidak
boleh dilakukan, peneliti harus menuliskan baik buruknya kenyataan untu
membuktikan keabsahan penelitian.
4. Apakah pandangan, prasangka dan semacamnya berpengaruh terhadap
data ?
Pandangan,prasangka sikap-sikap tidak suka sering diragukan sebagai
factor pengganggu keabsahan data. Untuk menghindari hal yang seperti itu,
peneliti kualitatif harus melaksanakan kegiatan yang sedemikian rupa, hingga ia
dapat melihat dan memandang kenyataan dari subjek penelitian. Metode yang
digunakan peneliti membantu peneliti untuk menghindari subjektivitas.
Pengumpulan data dilakukan dalam waktu yang relatif lama sehingga peneliti
diharapkan pada situasi tertentu ia harus menghindari prasangka atau sikap
suka-tidak-suka. Satu teknik dalam penelitian kualitatif ialah hasilnya harus
diketahui dan disepakati oleh subjek penelitian.
61
Dengan demikian, jika terjadi prasangka, atau pandangan yang buruk itu
muncul, hal itu akan dicek secara langsung. Selain itu data yng dikumpulkan
cukup banyak, sehingga analisis segi-segi negative tersebut dapat teratasi.
Selain apa yang ditemukan, tujuan pokok dari penelitiana adalah menambah
pengetahuan, menemukan teori baru, bukanlah mengubah keseluruhan dari latar
yang sudah ada. Dalam hal ini pandanga subjektif peneliti harus mengatasi
subjektivitas yang mungkin terjadi.
5. Apakah kehadiran peneliti mengubah perilaku orang-orang yang sedang
diteliti ?
Peneliti sudah berusaha berintraksi terhadap subjeknya secara alamiah,
tidak menonjol, dan dengan cara yang tidak memaksa. Jika peneliti
memperlakukan subjek sebagai subjek penelitian, dan mungkin tidak bertindak
dan berinteraksi secara alamiah. Justru penelitian kualitatif akan tertarik untuk
menyidik orang-orang dalam latar alamiah tentang bagaimana mereka berpikir
dan bertindang menurut cara mereka. Dalam hal ini diusahakan agar jangan
sampai terjadi oleh kehadiran peneliti, tindakan dan cara subjek menjadi
berubah, sehingga tidak mendapatkan hasil yang alamiah. Oleh karena itu,
wawancara yang dilakukan jangan secara formal, lakukan secara informal
sehingga tidak memberikan kesan terpaksa dan dapat diperoleh secara alamiah.
Jika pun ada pengaruh peneliti yang bertindak seperti itu, maka upaya
yang dilakukan ialah mengadakan penafsiran dalam konteks. Misalnya, pada
waktu kehadiran peneliti di dalam kelas, guru tidaklah berteriak sebagaimana
biasanya. Demikian pula kepala sekolah bertindak dengan perilaku sebagai
kepala sekolah dengan kehadiran peneliti. Jika hal itu terjadi, maka perlu
penafsiran dalam konteks demikian, yaitu dengan jalan membandingkan
peristiwa lainnya yang mungkin berlaku secara wajar.
62
6. Apakah dua orang peneliti yang meneliti secara terpisah dapat
menghasilkan kesimpulan yang sama ?
Persoalan di atas mempersoalkan kendala menurut versi paradigma
kuantitatif. Menurut pandangan ini diharap peneliti kualitatif hasil
pengamatannya pada suatu latar tertentu akan taat asas jika dilakukan pada latar
lainnya.
Harapan demikian jelas tidak berlaku pada penelitian kualitatif. Hal ini
disebabkan oleh peneliti kualitatif berasal dari pelbagai latar belakang keahlian
yang berbeda seperti, psikologi, antropologi, sosiologi dan pendidikan. Dengan
demikian, teori yang hendak ditemukan atau diuji itu berbeda, maka wajarlah
apabila kesimpulan atau teori yang diujinya juga berbeda.
Disamping itu, penelitian kualitatif lebih terarah perhatiannya pada
ketepatan dan kecukupan data. Reliabilitas menurut pengertian kualitatif tidak
lain daripada kesesuaian antara apa yang dicatat sebagai data dan apa yang
sebenarnya terjadi pada latar yang sedang diteliti, jadi bukan ketaatasasan
diantara beberapa hasil pengamatan. Jadi, dua peneliti yang meneliti satu latar
yang sama, mungkin saja menghasilkan data yang berbeda dan penemuan yang
berbeda pula, dan kedua penelitian tersebut dapat dipercaya.
7. Apakah penelitian kualitatif itu merupakan ‘penelitian ilmiah’ ?
a. Pada dasarnya ‘ilmu’ (science) adalah deskripsi dari pandangan filosofi
tertentu, pandangan-pandangan, dan kegiatan-kegiatan.
b. Penelitian bagaimanapun juga merupakan langkah-langkah yang diambil
oleh para ilmuan dalam mempertanyakan keteraturan dan keragaman
alamiah.
c. Penelitian merupakan proses pencarian jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
ilmiah.
d. Penelitian itu adalah sains ‘in action’,
e. Oleh karena itu penelitian menunjukkan kegiatan-kegiatan yang oleh sains
memperoleh dan mencapai tujuannya. Misalkan walaupun sains itu
63
merupakan metode ilmiah yang konseptual, dimana dalam hal itu penelitian
adalah metodologinya.
f. Sehubungan dengan hal itu, jika kita akan mendiskusikan penelitian yang
berkaitan dengan konsep seperti desain kelompok, pemilihan subjek secara
acak, statistik parametri, apakah hal-hal demikian merupakan bagian dari
penelitian?
g. Dan jika kita membahas tentang studi motivasional misalnya, kelompok-
fokus, studi tentang sikap dan kepuutusan akhir seseorang, apakah demikian
juga bukan ilmiah?
64
BAB 3
Paradigma Penelitian Kualitatif
A. Paradigma Penelitian KualitatifPenelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untu menemukan
kebenaran atau untuk membenarkan kebenaran. Usaha untuk melakukan kebenaran
diusahakan oleh filusuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model-model
tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma.
Ada bermacam-macam paradigma, namun yang mendominasi adalah
scientific paradigm (paradigma keilmuan, namun untuk memudahkan penulis
menerjemahkannya secara harfiah sebagai paradigma ilmiah) dan naturalistic
paradigm atau paradigma alamiah. Paradigma ilmiah berpandanganh bada
positivisme sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan
fenomenologis sebagai yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya.
B. Beberapa Segi Suatu TeoriAda empat pokok yang dikemukakan dalam bagian ini, yaitu pengertian dan
fungsi teori, bentuk formulasi suatu teori, teori substantive, dan teori formal.
1. Pengertan dan fungsi teori
Beberapa definisi teori dikemukakan dan disajikan dibawah ini akan
memberikan gambaran atau paradigma penyusun definisi berpengaruh pada
konsep dasar teorinya. Snelbecker (1974:31) mendefinisikan teori sebagai
seperangkat posisi yang berinteraksi secara sintak (yaitu yang mengikuti aturan
tertentu yang dapat dihubungkan secara logis dengan lainnya dengan data atas
dasara yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan
dan menjelaskan fenomena yang diamati. Dari cara perumusan definisi tersebut
tampaknya snelbeckel mewakili buku positivis.
65
Definisi berikutnya dikemukakan oleh Mark dan Godsoon (1976:235)
yang menyatakan bahwa teori ialah aturan menjelaskan proporsi atau
seperangkat proporsi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan
terdiri atas representasi simbolik dari :
a. Hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang
dapat diukur),
b. Mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan yang
demikian,
c. Hubungan-hubungan yang disimpulkan serta manifestasi hubungan empiris
apapun secara langsung.
Dari definisi tersebut kita dapat melihat bahwa kedua penulis tersebut
berakar pada interaksi simbolik yang termasuk kedalam kubu penelitian
kualitatif, namun belum seluruhnya melepaskan diri dari pengaruh positivisme
dengan menyatakan adanya pengukuran dari definisi mereka.
Terakhir Glaser dan Straus (1967:1,3,35) membobolkan konsep dasar
teori klasik dengan menyodorkan rumusan teori dasar-dasar, yaitu teori yang
berasal dari data dan yang diperoleh secara analitis dan sistematis melalui
metode komparatif; selanjutnya dikemukakan bahwa unsure-unsur teori
mencangkup kategori konseptual yang kawasannya dan hipotesis atau hubungan
yang digeneralisasikan diantara kategori dan kawasannya.
Dari pernyataan Snelbecker (1974:28-31) dan Glaser dan Strauss
(1976:3) jika dikaji ternyata kandungannya memp[unyai persamaan dalam
fungsi teori guna menjelaskan dan meramalkan fenomena. Selain itu rumusan
gleser dan strauss dilengkapi dengan fungsi praktis dalam gaya penelitian.
Perbedaan keduanya terletak pada anggapan tentang hipotesis. Snelbecker
memandang hipotesis sebagai bagian periferi sesuatu teori yang
menghubungkan teori dengan fenomena, sedangkan glaser dan strauss
memandang hipotesis merup[akan inti teori yang diperoleh dari data.
66
2. Bentuk formulasi teori
Menurut Glasser dan Staruss (1980:31), untuk keperluan penelitian
kualitatif yang dikenal dengan teori dari dasar, penyajian suatu teori dapat
dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu :
a. Penyajian dalam bentuk seperangkat proporsi atau secara proporsional
b. Dalam bentuk diskusi teoritis yang memanfaatkan kategori konseptual dan
kawasannya.
Menurut kedua penulis tersebut diskusi teoritis lebih kaya, lebih luwes, dan
lebih menyatakan bahwa teori itu adalah proses.
3. Teori substantif dan teori formal
Penelitian kualitatif mngenai adanya teori yang disusun dari data
dibedakan atas dua macam teori, yaitu teori yang substantive dan teori formal.
Teori substantif adalah teori yang dikembangkan untuk keperluan substantif
atau empiris dalam inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi,
antropologi, dan psikologi. Conoh : perawatan pasien, hubungan res,
pendidikan profrsional, kenakalan atau organisasi penelitian. Di pihak lain teori
formal adalah teori untuk keperluan ang disusun secara konseptual dalam
bidang inkuiri suatu ilmu pengetahuan, misalnya sosiologi,. Contoh: perilaku
agresif, organisasi formal, sosialisasi, otoritas, dan kekuasaan, sistem
penghargaan, atau mobilitas sosial (Glaser dan Strauss 1980:32).
Pada dasarnya teori tersebut berbeda. Perbedaannya terletak pada
derajat keumumannya sehingga sering terjadi penggunaan kedua macam teori
bertukar ganti. Persoalan yang dihadapi peneliti dalam pembentukan teori ialah
peneliti dihadapkan dalam pemilihan. Ia harus memilih teori di antara salah satu
atau kedua dari teori tersebut. Dalam penelitian, pemilihan demikian hendaknya
ditetapkan terlebih dahulu karena kedua teori itu mempunyai cara analisi
sendiri-sendiri. Teori substantif diperoleh melalui perbandingan antar
kelompok, sedangkan teori formal diperoleh melalui perbandingan pelbagai
67
kasus substantif. Peneliti hendaknya senantiasa mengingat bahwa kedua teori
itu harus didasarkan atas data.
4. Unsur-unsur teori
Unsur teori dibentuk melalui analisis perbandingan meliputi :
a. Kategori konseptual dan kawasannya.
Kategori adalah unsur konseptual suatu teori sedangkan kawasan
(property) adalah aspek atau unsur suatu kategori. Contoh : dua kategori dari
pelayanan perawat ialah pandangan dari segi profesi, dan persepsi tentang
rasa kehilangan dari pandangan masayarakat. Satu kaasan dari kategori
kehilangan dalam masyarakat yang tinggi, dan hubungan itu membantu para
perawat untuk memelihara pandangan dari segi profesinya.
b. Hipotesis
Unsur teori kedua dicapai melalui analisi perbandingan. Analisis
perbandingan antar kelompok tidak hanya mnghasilkan kategori, tetapi
mempercepat adanya hubungan yang disimpulkan antar kelompok tersebut,
dan hal itu dinamakan hipotesis kerja. Ang perlu ditekankan disini ialah
bahwa status hipotesis kerja ialah sesuatu yang disarankan, bukan sesuatu
yang diuji diantara hubungan kategori dan kawasannya.perlu pula
dikemukakan bahwa hipotesis kerja senantiasa diverifikasi sepanjang
penelitian yang berlangsung.
c. Integrasi
Integrasi teori artinya memadukan unsur-unsur teori sehingga
menjadi lebih bermakna dan lebih kompak. Integrsi tersebut dilakukan pada
hipotesis yang muncul dari tingkat keumuman yang rendah maupun yang
tinggi. Misalnya pada hipotesis kerja ataupun pada hipotesis teoritis integrasi
itu perlu dilakukan. Dengan kata lain, integrasi teori dilakukan pada
68
keumuman tingkat mana saja, rendah maupun tinggi, jadi berlaku pada
setiap tingkatan konsepotual. Integrasi teori itu bisa dimulai pada tingkatan
yang umum, kemudian difokuskan pada bidang yang lebih khusus.
Sedangkan teori diacuhkan pada data dengan dibimbing oleh hipotesis
terbtas sesuai dengan situasi-sitiasi yang ditemukan dari data.
C. Penyusunan TeoriPada bagian ini akan diuraikan penyususnan tori formal, kegunaan teori dan
verifikasi teori.
1. Penyusunan Teori Formal dan Kegunaannya
Penyusunan teori formal dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara tidak langsung berarti penyusunan dilakukan melalui teori
substantive terlebih dahulu. Penyusunan teori formal secara tidak langsung ada
dua jenis, yaitu teori formal satu bidang dan teori formal dua bidang. Keduanya
diuraikan terlebih dahulu.
a. Penusunan teori formal satu bidang
Peneliti dapat menggunakan dua cara penulisan, yaitu penulisan yang
berasal dari teori substantive dan berasal dari satu bidang substantive.
Peneliti atau analisis dapat melakukannya dengan jalan menghapus kata-kata
substantif, frasa atau kata-kata sifat. Dengan jalan demikian peneliti
menerapkan cara penulisan substantive, kemudian mengubah titik
perhatiannya dari kepedulian substantive menjadi kepedulian formal. Dalam
hal ini peneliti mnulis teori formal-satu-bidang atas dasar teori substantive
dan tidak menyusun teori formal langsung dari data.
Penulisan cara demikian barulah merupakan tahap awal dari teori
formal, jadi belum cukupunutk dikatakan sebagai teori formal. Hal ini
disebabkan beberapa alasan. Pertama, cara demikian barulah meningkatkan
derajat konseptual secara mekanik, dan peneliti belum meningkatkanny
melalui analisis perbandingan. Jadi belum menelaah pembandingan
69
bermacam bidang substantive sehingga lingkup tingkatak formal belum
terjamah. Di samping itu, teori demikian belum menghilangkan unsur tempat
dan waktu. Kedua, pembaca yang mempelajarinya cenderung akan
meniadakan kaitan antara data dan teori sehingga mungkin akan menjadi
terlalu abstrak karena melangkahi pembandingan teori substantive. Ketiga,
teori formal, jika ditulis langsung dari satu bidang substantive, tidak relevan
karena tidak mempertimbangkan seluruh keadaan dan kualifikasi yang
ditemui dalam bidang substantive yang bertentangan dengan tempat hal iti
akan diterapkan. Jika demikian maka teori yang disusun akan mudah dapat
dimodifikasi oleh teori lain melaluimetode perbandingan karena tidak dibuat
secara benar bagi peramalan dan penjelasan. Jadi, teori satu-bidang akan
diperlakukan sebagai teori substantive untuk memunculkan teori scara
formal melalui analisis perbandingan.
b. Penyusunan teori formal dua bidang
Analisis perbandingan antar kelompok merupakan metode terbaik
dalam penyusunan teori formal berdasarkan teori substantive. Hal itu
dilakukan dengan jalan menarik kategori inti dengan kawasannya, lalu
menyusun teori fit dan work *) atau dengan kata lain harus siap dan relevan.
Teknik penulisan yang diuraikan seperti di atas hanya akan merupakan
bagian dari penyususnan teori. Untuk menyusun teori formal perlu
digunakan logika sebagaimana digunakan oleh teori substantive. Logika itu
akan memberikan petunjuk efektif untuk memilih kelompok ganda dari suatu
bidang substantif. Ia juga akan memberikan petunjuk untuk memperoleh-
*) fit = kategori hendaknya siap diaplikasikan terhadap data dan ditunjukkan oleh data yang
diteliti.
work = teori hendaknya relevan dan berarti terhadap perilaku dapat menjelaskan perilaku
itu.
70
lebih banyak data dari berbagai jenis substantif. Proses analisi
perbandinagnlah yang digunakan untuk menyusun teori substantif. Hanya
perlu dikemukakan bahwa proses untuk teori formal akan lebih sukar
karena tingkatannya lebih abstrak dan cangkupan penelitiannya akanlebih
luas. Jika sukar atau waktu yang digunakan terlalu lama, peneliti
dianjurkan akan bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikannya.
c. Kegunaan Teori Formal
Menguji teori formal dari para ahli terkenal.
Melalui cara konvensional, menganalisis secara sistematis,
membandingkan hasil-hasil penelitian melalui arahan dan bimbingan teori
pokok.
Menerapkan beberapa teori formal yang sudah diketahui peneliti pada
bidang substantif dalam usaha membarikan arti yang lebih besar terhadap
lainnya. Hal ini dilakukan sesudah ata dikumpulkan.
Menyusun teori yang dimulai dengan kerangka berpikir yang agak
longgar tentang gagasan atau teori formal, pandangan, konsep atau
hipotesis kerja mngenai bidang substantif yang sedang dipikirkan.
2. Verifikasi Teori
Pembentukan teori dalam penelitian kualitatif dapat juga dilakukan
melalui verifikasi terhadap suatu teori yang berlaku atau terhadap teori yang
baru muncul dari data. Pengujian hipotesis pada suatu teori berlaku dalam hal
ini adalah menguji relevansi kategori-kategorinya yang dilakukan dengan jalan
pembandingan data. Pengecekan tersebut dilakukan secara implicit maupun
secara eksplisit dan dilakukan secara berkesinambungansemenjak data lapangan
masuk secara membanjir. Verifikasi implisit dapat membimbing peneliti untuk
menuju kearah :
71
a. Pembentukan uniformitas dan universalitas pokok.
b. Variasi strategi dari teori pada kondisi yang berbeda.
c. Modifikasi teori dasar.
Jadi, melalui verifikasi suatu teori peneliti mungkin juga akan
menemukan teori baru, tetapi pada dasarnya focus utama hanya pada pengujian
suatu teori. Jika suatu teori ditemukan, hal itu hanya merupakan pekerjaan
sambilan saja.
Karena focus penelitian terarah pada verifikasi suatu teori, penelitian
demikian dengan sendirinya tidak menelaah secara sistematis suatu teori yang
muncul dari data di lapangan. Penelitian semacam iu tidak menelaah pula
generalisasi dari lingkup konseptual. Pengujian teori demikian dilakukan
dengan baik apabila analisis dilakukan secara bagian per bagian. Hal itu
berakibat peninjauan dilakukan hanya dengan mempertimbangkan bagian
peristiwa tertentu dilapangan. Pada galibnya data yang mengalir di lapangan
cukup banyak., sebaliknya cara ini yang dipandang relevan untuk menguji teori
peneliti yang dimanfaatkan. Hal itu berakibat bahwa yang cukup kaya yang
dikumpulkan itu menjadi sia-sia belaka, padahal diantaranya barangkali ada
teori baru yang muncul.
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, verifikasi teori dapat dilakukan
pada teori baru yang muncul dari data. Dalam hal ini peneliti secara sengaja
memverifikasi teori baru yang muncul dari data. Peneliti secara aktif akan sibuk
menguji seperangkat proporsi yang muncul dari data. Hal itu dilakukan dengan
teknik mencari kasus negative maupun positif guna melakukan pengujian
hipotesis kerjanya. Cara pembandingan kelompok data sebaiknya dilakukan
secara sengaja dan eksplisit.
D. Penyususnan Teori dari Bawah (Grounded Theory)Penyususnan teori dari bawah (TDB) menurut pandit yang terlebih dahulu
perlu memahami tiga unsur dasar TDB yaitu, konsep, kategori dan proporsi.
72
1. Konsep adalah suatu kajian dasar karena hal itu terbentuk dari konseptualisasi
data, bukan data itu sendiri, yang berdasarkan hal itu teori itu disusun. Teori
tidak dapat dibangun dengan kejadian aktual atau kegiatan atau yang dilaporkan,
yaitu dari data mentah. Kejadian, peristiwa diambil atau dianalisis sebagai
indicator potensial dari fenomena yang dengan diberikan nama atau label secara
konseptual. Jika respon mengatakan kepada peneliti ‘setiap hari saya
menyebarkan kegiatan saya diantara pagi, istirahat diantara bercukur dan mandi’
maka peeneliti barangkali dapat memberikan nama fenomenon ini sebagai
tahap. Jika menemukan kejadian lain yang semacamnya, peneliti
menamakannya juga tahap. Hanya dengan membandingkan kejadian dan
memberikan nama pada fenomena dengan istilah yang sama maka teoritis
mengumpulkan satuan-satuan teori untuk teori.
2. Unsur kedua adalah kategori yang didefinisikan sebagai kumpulan yang lebih
tinggi dan lebih abstrak dari konsep yang mereka wakili. Kategori itu diperoleh
melalui proses anlisis yang sama dengan jalan membuat perbandingan dengan
melihat kesamaan atau perbedaan yang digunakan untuk menghasilkan konsep-
konsep yang lebih rendah. Kategori adalah landasan dasar penyusun teori.
Kategori dapat memberikan makna yang olehnya dapat diintegrasi.
3. Unsur ketiga dari TDB adalah proporsi yang menunjukkan huungan-hubungan
kesimpulan. Antara satu kategori dengan konsep-konsep yang menyertainya dan
diantara kategori-kategori yang diskrit unsur ketiga ini dinamakan hipotesis oleh
Glesser dan Strauss (1967). Proporsi melibatkan hubungan konseptual.
Untuk mempelajari keseluruhan kegiatan penyususnan teori tersebut berikut
dikemukakan langkah-langkah nya dalam tabel berikut.
`
73
Alur proses penyusunan teori digambarkan dalam suatu gambar di bawah
ini.
Analisis data
(4)
Pengembanga teori
(5)
Pengaturan
data (3)
Teori sudah jenuh ?
Pengumpulan
data (2)
Tidak Studi
selesai
(6)Sampling
teoritis (1)
Gambar proses yang saling berkaitan antara pengumpulan data, pengaturan
data, dan analisis data dalam penyususnan teori dari bawah (TDB).
74
BAB 4
Perumusan Masalah
A. Sumber-sumber MasalahDari mana peneliti dapat memperoleh gambaran masalah yang mungkin
diteliti? Menurut Strauss (1990:33) bahwa sumber-sumber persoalan dalam
pendekatan grounded theory tidak berbeda dari pendekatan lainnya. Ada beberapa
sumber masalah yang dapat diteliti, yakni: (1) masalah penelitian yang disarankan
atau diberikan, (b) literatur teknis, dan (3) pengalaman personal atau profesional.
1. Masalah Penelitian yang Disarankan atau Diberikan
Untuk sampai pada suatu persoalan peneliti minta saran-saran dari
seorang profesor yang sedang melakukan penelitian dalam kawasan yang
diminati. Seringkali dia sedang melakukan proyek penelitian dan menyambut
peneliti untuk ambil bagian dalam proyek penelitian tersebut. Cara menemukan
masalah ini cenderung meningkatkan kemungkinan memperoleh keterlibatan
dalam masalah penelitian yang bisa dilakukan dan relevan (do-able and
relevant). Hal ini karena peneliti yang lebih berpengalaman sudah tahu apa yang
telah dilakukan dan apa yang perlu dilakukan dalam kawasan substantif khusus.
Keuntungan lain bagi peneliti adalah bahwa peneliti bisa memperoleh arahan
tentang sumber perolehan dana penelitian.
2. Literatur Teknis
Hal ini dapat menjadi stimulus pada penelitian dalam beberapa cara.
Kadang-kadang literatur teknis itu menunjuk pada kawasan yang relatif tidak
terekplorasi atau menyarankan suatu topik yang diperlukan untuk
pengembangan lebih jauh. Pada waktu yang lain terdapat kontradiksi-
kontradiksi atau keambiguan di antara studi-studi atau tulisan yang
75
diakumulasi. Ketidakcocokan ini menyarankan perlunya untuk suatu studi yang
akan membantu memecahkan ketidaktentuan ini. Alternatifnya, bacaan peneliti
tentang suatu pokok persoalan bisa menyarankan suatu pendekatan baru yang
diperlukan untuk memecahkan suatu masalah lama walaupun hal itu telah dikaji
dengan baik di masa lalu Jadi bacaan itu penting terutama untuk memberikan
stimulan keingintahuan tentang suatu pokok persoalan yang hendak diteliti.
3. Pengalaman Personal dan Profesional
Hal ini seringkali menjadi sumber masalah dalam penelitian. Seseorang
yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan bertanya-tanya
bagaimana orang lain mengalami pemutusan hubungan kerjanya. Tentang
pengangguran, bagaimana ia atau mereka mengalami pengangguran. Atau
seseorang yang mengalami persoalan profesional (pekerjaan) atau di tempat
kerjanya yang tidak ada jawaban yang diketahui. Pengalaman profesional
seringkali mengarah pada keputusan bahwa beberapa sifat pekerjaan atau
praktiknya kurang efektif, efisien, manusiawi, atau adil. Jadi, ini dipercaya,
barangkali suatu penelitian yang baik bisa membantu mengoreksi situasi itu.
Memilih masalah penelitian melalui rute pengalaman personal atau profesional
ini tampaknya lebih berbahaya daripada melalui rute yang disarankan atau
literature. Ini tidak perlu benar. Batu ujian (touchstone) dari pengalaman anda
sendiri bisa lebih bernilai menjadi indikator yang lebih bernilai bagi anda
sebagai pencarian penelitian yang secara potensial berhasil (Strauss, 1990:36).
Setelah peneliti memiliki gambaran tentang persoalan menarik untuk
diteliti, maka selanjutnya peneliti menentukan topik penelitiannya. Dengan
topik ini akan dapat dipahami persoalan apa yang sebenarnya hendak diteliti.
Disadari bahwa bahwa pemilihan topik atau pertanyaan penelitian merupakan
komitmen yang agak jangka-panjang (dan seorang peneliti akan memerlukan
usaha yang intensif) yang seringkali cukup menegangkan untuk meletakkan
para peneliti ke dalam suasana yang panik. Kunci untuk memilih topik
pertanyaan kualitatif adalah mengidentifikasi beberapa yang menarik minat
76
seseorang (peneliti) sepanjang waktu. Para peneliti baru dapat paling baik
mengidentifikasi topik yang demikian melalui refleksi pada apa yang
merupakan minat personal yang nyata bagi mereka (Denzin dan Lincoln,
1998:57).
Dari beberapa kemungkinan sumber pemilihan masalah atau topik
penelitian kualitatif, Morse (dalam Denzin & Lincoln, 1998:57) menyatakan
bahwa kunci untuk memilih topik penelitian kualitatif adalah mengidentifikasi
sesuatu yang akan menarik minat seseorang dalam waktu yang lama. Para
peneliti baru dapat dengan paling baik mengidentifikasi topik yang demikian itu
dengan merefleksikan pada apa minat personal yang nyata (real personal
interest) bagi mereka. Topik-topik yang menarik itu memungkinkan peneliti
untuk asyik dan menarik dirinya ke dalam wawancara yang menarik dalam
wawancara dengan orang lain. Mengidentifikasi topik-topik yang demikian
seringkali memerlukan refleksi-diri dan eksaminasi-diri yang kritis.
B. Pembahasan Masalah Studi Melalui FokusPada dasarnya penelitian kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong,
tetapi dilakukan berdasarkan persepsi seseorang terhadap adanya masalah.
Demikian pula di dalam alam ini tidak ada masalah; hanya manusia itu sendiri yang
mempersepsikan adanya masalah itu.
Masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu pada focus. Pada dasarnya
penentuan masalah menurut Lincoln dan Guba (1985:226) bergantung pada
paradigma apa yang dianu oleh seorang peneliti, yaitu apakah ia sebagai peneliti,
evaluator, ataukah sebagai peneliti kebijakan. Dengan demikian maka ada tiga
macam masalah, yaitu masalah untuk peneliti, evaluands untuk evaluator, dan
pilihan kebijaksanaanuntuk peneliti kebijaksanaan. Uraian berikut hanya akan
membatasi diri pada masalah umum sebagai bagian penelitian.
Masalah adalah lebih dari sekedar pertanyaan, dan jelas berbeda dengan
tujuan. Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua
faktoor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda-tanyadan
77
dengan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari suatu jawaban (Guba,
1978:44; Lincoln dan Guba, 1985:218, dan Guba Lincoln, 1981:88).
Faktor yang berhubungan tersebut dalam hal ini mungkin berupa konsep,
data empiris, pengalaman atau unsur lainnya. Jika kedua factor itu diletakkan secara
berpasangan akan menghasilkan sejumlah tanda-tanya, kesukaran yaitu sesuatu
yang dipahami atau tidak dapat dijelaskan pada waktu itu. Sebagai cintih tawuran
remaja. Untuk menelaah penyebabnya, peneliti barangkali ingin menelaah dari sisi
kepemimpinan sekolah, perhatian orang tua, dan gejilak dalam diri para remaja.
Faktor-faktor tersebut dapat dikaitkan untuk menjadi penyebab tawuran remaja.
Dengan demikian masalah penelitiannya menjadi sebagai berikut : apakah ada
kaitan anatara kepemimpinan sekolah dengan tawuran remaja? Bagaimanakah
gejolak dalam diri remaja (masa pubertas) apakah hal itu menjadi sumber penyebab
timbulnya tawuran remaja? Apakah kesibukan orang tua sehingga mengabaikan
pendidikan remaja di rumah ada kaitannya dengan kenakalan remaja yang berakibat
pada tawuran remaja?
Di pihak lain, tujuan suatu penelitian ialah upaya untuk memecahkan
masalah. Dengan demikian kelirulah anggapan orang atau peneliti yang
menyamakan masalah dengan penelitian. Perumusan masalah dilakukan dengan
jalan mengumpulkan sejumlah pengetahuan yang memadahi atau yang mengarah
pada upaya untuk memahami atau menjelaskan faktor-faktor yang brkaitan yang ada
dalam masalah tersebut. Jadi, proses tersebut berupa proses dialektik yang berperan
sebagai proporsi terikat dan antithesis yang membentuk masalah berdasarkan usaha
sintesis tertentu.
Ada dua maksud tertentu yang ingin peneliti capai dalam merumuskan
masalah penelitian dengan jalan memanfaatkan fokus.
1. Penetapan fokus dapat membatasi studi. Jadi dalam hal ini fokus akan
membatasi bidang inkuiri. Misalnya jika membatasi diri pada upaya menemukan
teori dari dasar, maka lapangan penelitian lainnya tidak akan kita manfaatkan
lagi. Pada contoh tersebut akan jelas bahwa subjek penelitian adalah remaja.
78
Jadi peneliti tidak perlu kesana kemari untuk mencari subjek penelitian, sudah
dengan sendirinya telah dibatasi oleh fokusnya.
2. Penetapan fokus itu berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau
kriteria masuk-keluar (inclision-exlusion criteria) suatu informasi yang baru
diperoleh di lapangan. Dengan bimbingan dan arahan suatu fokus, seorang
penelititahu persis data mana yang dan data tentang apa yang perlu dikumpulkan
dan data mana pula, yang walaupun mungkin menarik, karena tidak relevan,
tidak perlu dimasukkan ke dalam sejumlah data yang sedang dikumpulkan. Jadi,
dengan penetapan fokus yang jelas dan mantap, seorang peneliti dapat membuat
kepuusan yang tepat tentang data mana yang dikumpulkan dan mana yang tidak
perlu dijamah dan mana yang akan dibuang.
Penetapan fokus satu masalah dalam penelitian kualitatif bagaimanapun
akhirnya akan dipastikan sewaktu peneliti sudah berada di arena atau lapangan
penelitian. Dengan kata lain, walaupun rumusan masalah sudah cukup baik dan
telah dirumuskan atas dasar penelaah kepustakaan dan dengan ditunjang oleh
sejumlah pengalaman tertentu, bisa terjadi situasi di lapangan tidak memungkinkan
peneliti untuk meneliti masalah itu. Dengan demikian kepastian tentang fokus dan
masalah itu yang menentukan adalah keadaan I lapangan.
Sebagai contoh: KKuntjaraningrat, antropologi terkenal, pada mulanya ingin
meneliti industry kopra rakyat di daerah pantaiUtara Irian Jaya. Akan tetapi, ketika
ia berada di sana (1963) ternyata tidak banyak pohon kelapa yang masih produktif
dan sarana angkutan serta pemasarannya sudah mundur. Oleh karena itu, ia
mengalihkan perhatiannya kepada maslah hubungan kekerabatan yang renggang si
Irian (Kuntjaraningrat dan Emmerson, ed. 1985:102).
Dari contoh tersebut jelas bahwa perumusan masalah yang bertumpupada
fokus dalam penelitian kualitatif bersifat tentative, artinya penyempurnaan rumusan
fokus atau masalah itu masih tetap dilakukan sewaktu peneliti sudah berada di latar
penelitian.
79
Rumusan masalah yang bertumpu pada fokus dapat berubah berubah dan
dapat disempurnakan dan hal itu akan memberikan warna tersendiri pada penelitian
kualitatif. Penelitian klasik menganggap bahwa perubahan demikian sama sekali
akan merusak inkuirinya karena hipotesisnya yang sudah pasti, apabila berubah,
variabelnya ikut berubah, dan pasti aka nada sejumlah variabel pengganggu yang
merusak masalah penelitiannya. Sebaliknya, pada penelitian kualitatif, peneliti
justru mengharapkan adanya perubahan demikian dan mengantisipasi bahwa dwsain
yang muncul akan diberi isi dan warna olehnya. Penelitian alamiah justru
menganggap perubahan demikian bukan merusak atau bersifat destruktif, melainkan
malah dipandang konstruktif karena perubahan yang terjadi merupakan tanda
adanya gerakan kea rah penyempurnaan dan kearah inkuiri yang berpandangan luas.
Hal ini jelas sesuai dengan salah satu karakteristik penelitian kualitatif bahwa
desainnya dapatlah berubah sesuai dengan situs atau konteks penelitian yang
dihadapi.
Pembatasan masalah merupakan tahap yang sangat menentukan dalam
penelitian kualitatif walaupun sifatnya masih tentative. Dari uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan penting, yaitu sebagai berikut:
1. Suatu penelitian tidak dimulai dari sesuatu yang vakum atau kosong.
Implikasinya peneliti sayogianya membatasi masalah studinya yang bertumpu
pada fokus. Hal ini yang memungkinkan adanya acuan teori dari suatu
penelitian.
2. fokus pada dasarnya adalah masalah pokok yang bersumber dari pengalaman
peneliti atau melaluipengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah
ataupun kepustakaan lainnya. Implikasinya, apabila peneliti merasakan adanya
masalah, sayogianya ia mendalami kepustakaan yang relevan sebelum terjun ke
lapangan. Dengan jalan demikian fokus penelitian akan memenuhi kriteria untuk
bidang inkuiri yaitu kriteria inklusi-eksklusi. Implikasi yang lain ialah peneliti
80
harus memanfaatkan paradigma. Dengan fokus, peneliti akan tahu persis data
yang perlu dikumpulkan dan yang tidak perlu dikumpulkan.
3. Tujuan penelitian pada dasarnya adalah memecahkan masalah yang telah
dirumuskan. Implikasinya, masalah perlu dirumuskan terlebih dahulu, barulah
tujuan penelitiaan ditetapkan, bukan sebaliknya.
4. Masalah yang bertumpu pada fokus yang ditetapkan bersifat tentatif, dapat
diubah sesuai dengan siuasi latar penelitian. Implikasinya, peneliti tidak perlu
kecewa jika masalah atau fokusnya berubah. Dengan kata lain, peneliti
hendaknya membiasakan diri untuk meghadapi perubahan dalam masalah
penelitian. Jika perubahannya cukup besar dan memerlukan orientasi baru dalam
dasar pemikiran, maka peneliti perlu mendalami kembali kepustakaan yang
relevan dengan masalah baru itu.
C. Model Perumusan MasalahSelama dua semester penulis menjadi coordinator penyelenggaraan seminar
persiapan tesis mahasiswa S2. Hal itu memberikan pengalaman yang cukup
berharga, khususnya tentang perumusan masalah penelitian. Setelah mempelajari
usulan-usulan penelitian, khususnya yang telah diseminarkan, penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa umumnya mahasiswa masih kurang memahamoi teknik
perumusan masalah.
Persoalan yang seperti diungkapkan diatas, khususnya untuk kawasan
penelitian kualitatif, dapat diatasi dengan menelaah, mempelajari, dan memahami
model-model perumusan masalah, kemudian mengadakan latihan-latihan tersendiri.
Alasan-alasan itulah yang mendorong penulis untuk menyajikan beberapa contoh
rumusan masalah yang dikutip atau diterjemahkan dari berbagai laporan penelitian,
disertasi, atau usulan-usulan atau proposal penelitian.
81
1. Pnelitian David A. Karp yang berjudul Observing Behavior in Public Places:
Problem and Strategies dalam Shaffir, dan Turowets, 1980:57-58:
Tujuan pokok penelitian ini ialah mendeskripsikan cara memasuki suatu
peristiwa tertentu yang saya alami selama hamper dua tahun (1960-1970) dan
mencoba mempelajari pemandangan percintaan di tempat umum, yaitu daerah
Time Square di kota New York. Selama masa itu saya mengamati perilaku
orang-orang terutama di took-toko buku dan bioskop porno. Dalam konteks
demikian orang-orang terlibat dalam kegiatan yang dapat dibatasi sebagai tidak
lazim. Dengan dikenalkan nilai masyarakat umum pada mereka, saya mulanya
tertari terhadap bagaimana para langganan took buku dan bioskop mengelola
identitad pribadinya, tanpa dikenal, dan mengawasi informasinya sendiri.
Orang-orang yang terlibat dalam perilaku mengganggu atau perilaku khusus
biasanya mengupayakan untuk mengurangi resiko mengurangi resiko dan biaya
perilaku-perilaku demikian. Melalui keteraturan peritingan perhitungan secara
etnografis di took buku dan bioskop, saya mengharapkan dapat lebih mengerti
arti latar-latar demikian terhadap peserta, dank arena itu ingin
memahamikualitas pengalaman-pengalamannya.
2. Penelitian David G. Bromley dan Anson D Shupe, Jr., yang berjudul Evolving
Foci in Participant Observation: Reason as an Emergent Process dalam Shaffir
Stebbing, dan Turrowetz, 1980:191-192:
Situasi yang akan disajikan agak unik karena melibatkan studi dua kelompok
yang berbeda dalam keadaan bertentangan secara terbuka. Penemuan
substantive yang muncul dari studi kedua kelompok secara simultan
mengemukakan :
Bagaimana setiap kelompok membenarkan kegiatan-kegiatannya dan
menyalahkan kelompok lawannya.
Bagaimana strategi dan taktik seiap kelompok cenderung dipengaruhi oleh
mereka yang menjadi lawannya.
82
Bagaimanapun di sini kita lebih mempedulikan proses yang muncul dengan
temuan-temuan yang diperoleh; usaha selanjutnya ialah upaya membangun
kembali proses implikasinya yang berkaitan engan hubungan-hubungan
sekarang dan informan-informan kami.
Atas dasar-dasar contoh di atas kiranya pembaca mendapatkan gambaran
tentang adanya berbagai macam cara dan gaya penulisan rumusan masalah suatu
penelitian. Yang jelas, tidak ada keseragaman dalam penyajiannya karena para
penulis berasal dari berbagai macam disiplin ilmu dengan berbagai macam latar
belakang metodologi penelitiannya. Keraganman tersebut kiranya menarik untuk
dikaji untuk kemudian menemukan beberapa prinsip yang dapat diajukan sebagai
pegangan bagi mereka yang akan mengadakan penelitian.
D. Analisis Perumusan Masalahjika model-model perumusan masalah di atas dikaji, tentu saja pengkajian
itu perlu didasarkan atas jumlah patokan tertentu. Pengkajian model-model itu
dalam hal ini didasarkan atas enam patokan.
1. Kriteria Analisi
a. Apakah rumusan masalah tersebut telah menghubungkan dua atau lebih hal
atau faktor (definisi masalah)? jika ya, apakah dirumuskan secara
proposisional ataukah dalam bentuk diskusi atau gabungan dari keduanya.
b. Apakah rumusan masalah itu dipisahkan dari tujuan penelitan? Jika ya,
apakah hanya terdapat rumusan masalah atau dicampur-adukkan dengan
metode penelitian? Jika disatukan dengan tujuan penelitian apakah masalah
dipandang sama dengan tujuan penelitian atau tujuan peneliitian
dimaksudkan untuk memecahkan masalah? Apakah rumusan masalah yang
disatukan dengan tujuan masalah yang disatukan dengan tujuan penelitian,
pada masalah penelitian dibahas juga metode penelitiannya?
83
c. Apakah uraian dalam bentuk deskriptif saja atau deskriptif disertai
pernyataan pnelitian, ataukah dalam bentuk pernyataan penelitian saja?
d. Apakah uraian masalah dipaparkan secara khusus sehingga telah dapat
memenuhi kriteria inklusi-eksklusi ataukah masih berkaitan dengan masalah
penelitian? Ataukah hanya dinyatakan secara implisit?
e. Apakah kata hipotesis kerja dinyatakan secara eksplisit dan berkaitan
dengan masalah penelitian? Ataukah hanya dinyatakan secara implisit?
f. Apakah secara tegas pembatasan studi dinyatakan dengan istilah fokus,
secara eksplisit atau tidak, dan apakah fokus itu merupakan masalah?
E. Prinsip-Prinsip Perumusan MasalahPrinsip-prinsip perumusan masalah yang disajikan di sini pada dasarnya
ditarik dari hasil pengkajian rumusan masalah yang telah dilakukan seperti
diuraikan dibagian sebelumnya. Perlu dikemukakan bahwa prinsip-prinsip yang
disajikan di sini dimaksudkan sebagai pegangan bagi para peneliti dalam rangka
merumuskan masalah, dan dapat pula digunakan oleh para dosen sebagai bahan
latihan bagi para mahasiswa. Prinsip yang disajikan pada dasarnya bersifat luwes,
artinya dapat tidaknya digunakan seluruh atau sebagian prinsip diserahkan kepada
peneliti atau dosen sendiri untuk memanfaatkannya. Hal itu berkaitan dengan tugas
dan fungsinya karena peneliti sendirilah yang akan merumuskan masalah penelitian,
dan masalah itu sesungguhnya berada dan terletak di latar penelitian, di tengah
masyarakat, sekolah, atau mana saja tempat penelitian melakukan tugasnya.
Pengajuan prinsip-prinsip perumusan masalah berikut ini pada dasarnya
diuraikan secara berturut-turut sebagai berikut:
1. Prinsip yang berkaitan dengan teori dasar
Penelitian hendaknya senantiasa menyadari bahwa perumusan masalah
dalam penelitiannya didasarkan atas upaya menemukan teori dari dasar sebagai
acuan utama. Dengan hal itu berarti bahwa masalah sebenarnya terletak dan
berada di tengah-tengah kenyataan, atau fakta, atau fenomena. Jadi perumusan
84
masalah di sini adalah sekedar arahan, pembimbing, atau acuan pada usaha
untuk menemukan masalah yang sebenarnya. Masalah yang sesungguhnya baru
akan dapat di rumuskan apabila pneliti sudah berada dan mulai, bahkan sedang
mengumpulkan data. Bagi kita perumusan masalah yang dilakukan itu
merupakan aplikasi dari asumsi bahwa suatu penelitian tidak mungkin dimulai
dari sesuatu yang kosong.
2. Prinsip yang berkaitan dengan maksud perumusan masalah
Pada dasarnya inti hakikat penelitian kualitatif terletak pada upaya
penemuan dan penyusunan teori baru lebih dari sekedar menguji, atau
mengkonfirmasikan, atau verifikasi suatu teori yang sedang berlaku.
Sehubungan dengan hal itu, perumusan masalah di sini bermaksud menunjang
upaya penemuan dan penyusunan teori substantif, yaitu teori yang bersumber
dari data.
Prinsipini tentu saja tidak akan begitu membatasi penelitian yang
berkeinginan menguji suatu teori yang berlaku. Di atas telah dinyatakan bahwa
penemuan teori baru lebih dari sekedar menguji teori yang berlaku. Hal itu
berarti tetap memungkinkan peneliti yang ingin merumuskan masalah dengan
maksud menguji suatu teori dengan menyadari segala macam kekurangan akibat
tindakannya.
Di samping itu penekanan pada suatu usaha penemuan dapat membawa
peneliti untuk juga dapat menguji suatu teori yang sedang berlaku. Jikahal
demikian yang dilakukan, maka perumusan masalah terutama untuk
menemukan tori dan sebagai usaha tambahan ialah menguji suatu teori juga.
Usaha demikian dapat saja dilakukan walaupun agak sukar.
Terakhir, perlu dikemukakan bahwa masalah yang dirumuskan dan
mungkin disempurnakan akan berfungsi sebagai patokan untuk keperluan
mengadakan analisis data dan kemudian menjadi hipotesis kerja, yaitu teori
yang akan ditemukan.
85
Perumusan masalah tentatif yang kemudian diubah, dimodifikasi, dan
disempurnakan pada latar penelitian jelas akan lebih memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan dalam dunia ilmu. Sehubungan dengan hal itu, prinsip ini
menghendaki agar peneliti jangan cepat kecewa, putus asa, atau merasa gagal
karena menemukan bahwa perumusan masalah terpaksa diubah. Malah
sebaliknya ia hendak merasa senang dan menjadi lebih bersemangat karena
dorongan ingin tahu dalam dirinya tergugah lebih dalam lagi oleh
ketidakcocokan tadi.
Dengan demikian maka melalui prinsip ini rumusan masalah dalam usaha
penelitian barangkali akan terjadi, dua kali, atau lebih mengalami perubahan dan
penyempurnaan. Itulah slah satu cirri khas penelitian kualitatif yang memang
bersifat luwes, longgar dan terbuka.
3. Prinsip hubungan faktor
Fokus sebagai sumber masalah penelitian merupakan rumusan yang
terdiri atas dua atau lebih faktor yang menghasilkan tanda-tanya atau
kebingungan yang telah didefinisikan di muka. Factor-faktor itu dapat berupa
konsep, peristiwa, pengalaman, atau fenomena. Definisi tersebut mengarahkan
kita pada tiga atuan tertentu yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti pada
waktu perumusan masalah tersebut, yaitu:
a. Adanya dua atau lebih factor,
b. Faktor-faktor itu dihubungkan dalam suatu hubungan yang logis atau
bermakna, dan
c. Hasil pekerjaan menghubungkan tadi berupa suatu keadaan yang
menimbulkan tanda-tanya atau hal yang menimbulkan kebingungan,
Jadi suatu keadaan bersifat tanda-tanya, yang memerlukan pemecahan atau
upaya untuk menjawabnya. Upaya itulah yang dilakukan oleh peneliti untuk
menjawab atau memecahkan persoalannya, danhalitu biaanya dinamakan tujuan
penelitian.
86
Hal itu membawa peneliti agar tegas dalam merumuskan masalah
memisahkan masalah dari tujuan penelitian. Namun, yang utama bagi peneliti
ialah agar dalam perumusan masalahnya ketiga aturantersebut diusahakan
sedemikian rupa supaya dapat dipenuhi. Jadi walaupun ada faktor-faktor, jika
tidak dikaitkan yang satu dengan lainnya secara bermakna, hal itu berarti belum
memenuhi persyaratan. Hubungan harus memenuhi keadaan berupa tanda-tanya
dan, jika tidak demikian, berarti juga belum memenuhi salah satu syarat sebagai
yang dikemukakan.
4. Fokus sebagai wahana untuk membatasi studi
Seorang peneliti pasti memiliki orientasi teori atau paradigmanya sendiri,
barangkali berdasarkan pengetahuan sebelumnya ataupun berdasarkan
pengalaman sebelumnya. Penelitian kualitatif bersifat terbuka, artinya tidak
mengharuskan peneliti menganut suatu orientasi teori atau paradigma tertentu.
Pilihan subjektif peneliti dihormati dan dihargai dalam penelitian kualitatif.
Dmikian pula, apakah peneliti menganut paradigma ilmiah atau alamiah,
terserah pada peneliti untuk menetapkannya walaupun yang sangat dikehendaki
ialah bahwa penelitian kualitatif mengacu pada paradigma alamiah. Ada pula
pilihan paradigma tngah yaitu berada diantara paradigma alamiah dan ilmiah,
sehingga kedua macam penlitian digunakan sekaligus. Namun bila seorang
peneliti telah menetapkan dan memegang paradigma, manfaatkanlah hal itu dan
harus secara asas. Demikian pula, apabila peneliti telah menetapkan masalah
dantujuan peneltiannya, misalkan untuk menemukan dan menyusun teori baru
yang berasal dari data, maka hal itu berarti bahwa ia harus benar-benar
memegang posisi paradigma alamiahnya.
Jika hal itu terjadi, maka perumusan masalah bagi peneliti akan
mengarahkan dan membimbingnya pada situasi lapangan bagaimanakah
yangakan dipiihnya dari berbagai latar yang sangat banyak tersedia. Mungkin
sekali perumusan masalahnya belum terlalu tegas sehingga masih memerlukan
kegiatan penelitian penjajagan atau kegiatan pra-lapangan, maka hal demikian
87
wajib dilakukan oleh peneliti. Dengan cara demikian ruusan masalahnya akan
makin dapat disempurnakan. Hal ini membawa kita pada prinsip bahwa
perumusan fokus membatasi studi bagi peneliti.
5. Prinsip yang berkaitan dengan kriteria inklusi dan eksklusi
Sekali peneliti terjun ke lapangan, ia akan kebanjiran data, baik melalui
pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, analisi dokumen, dan
sebagainya. Perumusan fokus yang baik yang dilakukan sebelum peneliti ke
lapangan dan yang mungkin disempurnakan pada awal ia terjun ke lapangan
akan membatasi peneliti guna memilih mana data yang relevan dan mana data
yang tidak relevan. Data yang relevan dimasukkan dan dianalisis sedangkan
data yang tidak relevan dengan masalah akan dikeluarkan.
Dengan demikian, peneliti dihadapkan pada beberapa hal berkut.masalah
yang dirumuskan secara jelas dan tegas akan merupakan yang ampuh untuk
memilih data yang relevan. Mungkin ada yang menarik, namun tidak relevan,
maka data demikian perlu dikeluarkan. Dikeluarkannya yang tidak relevan
bukan berarti dibuang karena apabila peneliti suatu saat tertarik pada masalah
lainnya yang belum tercangkup pada penelitian yang sedang dilakukannya, data
yang dikeluarkan tetapi tidak dibuang itu masih tetap dapat dimanfaatkan.
6. Prinsip yang berkaitan dengan bentuk dan cara perumusan masalah
Contoh-contoh perumusan masalah yang disajikan ternyata menawarkan
tiga bentuk rumusan masalah, yaitu:
a. Secara diskusi, cara ini cara penyajiannya adalah dengan dalam bentuk
pernyatan secara deskriptif namun perlu diikuti dengan pernyataan-
pernyataan penelitian,
b. Secara proporsional, yakni secara langsung menghubungkan faktor-faktor
dalam hubungan logis dan bermakna, dalam hal ini ada yang disajikan dalam
bentuk uraian atau deskriptif dan ada pula yang langsung dikemukakan
dalam bentuk pernyataan penelitian, dan
88
c. Secara gabungan, yakni terlebih dahulu disajikan dalam bentuk diskusi,
kemudian ditegaskan lagi dalam bentuk proporsional.
Pertanyaan yang timbul sekarang ialah mana diantara cara-cara itu yang
terbaik? Subjektivitas penulis mengarahpada yang ketiga, namun sifat
keterbukaan dan keluwesan penelitian kualitatif menghendaki agar peneliti
sendirilah yang memilih mana yang sesuai dengan pengetahuan, pengalaman,
selera dan gayanya.
7. Prinsip sehubungan dengan posisi perumusan masalah
Yang dimaksud dengan posisi di sini tidak lain adalah kedudukan untuk
rumusan masalah diantara unsur-unsur penelitian lainnya. Unsur-unsur
penelitian lainnya yang erat kaitannya dengan perumusan masalah ialah latar
belakang masalah, tujuan, dan acuan teori dan metode penelitian.
Dari contoh-contoh yang disajikan dimuka ternyata ada beberapa variasi
yang ditemukan. Ada yang menggabungkan rumusan masalah dengan latar
belkang, ada yang menuliskan rumusan masalah dengan tujuan penelitian, ada
yang menyatukan rumusan masalah dengan metode penelitian, dan ada pula
yang menyatukan rumusan masalah dengan tujuan dan metode penelitian.
Prinsip posisimenghendaki agar rumusan latar belakang penelitian
didahulukan karena latar belakanglah yang memberikan ancang-ancang dan
alasan diadakannya penelitian. Prinsip lainnya ialah hendaknya rumusan
masalah disusun terlebih dahulu, baru tujuan penelitian karena tujuan penelitian
pada dasarnya akan berusaha memecahkan dan menjawab pertanyaan pada
masalah penelitian itu. Prinsip berikutnya menghendaki agar sebaiknya rumusan
masalah dipisahkan dari rumusan tujuan walaupun hal itu jangan diartikan
bahwa keduanya tidak dapat dilakukan. Prinsip terakhir menghendaki agar
sayogianya rumusan masalah tersebut dipisahkan dari metode penelitian karena
perbedaan fungsi keduanya yang cukup mencolok.
89
8. Prinsi berkaitan dengan hasil penelaahan kepustakaan
Pneliti baru atau peneliti yang belum berpengalaman sewaktu
mengadakan penelitian tampaknya cenderung mengabaikan penelaah
kepustakaan dalam perumusan masalah. Pada dasarnya perumusan masalah itu
tidak dapat dipisahkan dari hasil penelaah kepustakaan yang berkaitan. Hal
tersebut diperlukan untuk lebih mempertajam rumusan masalah itu sendiri
walaupun masalah yang sesungguhnya bersumber dari data itu sendiri. Selain
itu, penelaah kepustakan tersebut mengarahkan serta membimbing peneliti
untuk membentuk kategori substantif walaupun perlu diingat bahwa kategori
substantif seharusnya bersumber dari data.
Sehubungan dengan hal itu, prinsip yang perlu dipegang oleh peneliti
ialah bahwa peneliti perlu membiasakan diri agar dalam merumuskan masalah,
ia senantiasa disertai dengan penelaah kepustakaan yang terkait.
9. Prinsip yang berkaitan dengan penggunaan bahasa
Perumusan masalah dilakukan pada waktu mengajukan usulan penelitian
dan diualngi kembali pada waktu menulis laporan karena rumusan masalah
merupakan salah satu unsur penelitian yang tidak dapat dipisahkan dari unsur-
unsur lainnya. Rumusan masalah juga disajikan sebagai bagian tak terpisahkan
dariunsur lainnyapada waktu peneliti mempublikasikan hasil penemuannya
dimajalah-majalah ilmiah ataupun Koran umum.
Pada waktu menulis laporan atau artikel tentanghasil penelitian, ketika
merumuskan masalah, hendaknya peneliti mempertimbangkan ragam
pembacanya sehingga rumusan masalah yang diajukan dapat sesuai dengan
tingkat kemampuan menyimak para pembacanya. Dengan kata lain, penulisan
rumusan masalah harus disesuaikan tingkat keumuman para pembaca. Jika
disajikan pad forum ilmiah, mestinya berbeda dengan yang disajikan pada
Koran yang dibaca oleh orang awam. Demikian pula jika laporan penelitian
ditujukan kepada pengambil keputusan misalnya, hendaknya perumusannya
menggunakan bahasa langsung yang tidak berbelit-belit dan mudah dipahami.
90
F. Langkah-Langkah Perumusan MasalahBerikut ini dikemukakan tentang langkah-langkah perumusan masalah
penelitian. Adapun langkah-langkah perumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Tentukan fokus penelitian.
2. Cari berbagai kemungkinan faktor yang ada kaitannya dengan fokus tersebut
yang dalam hal ini dinamakan subfokus.
3. Dari antara faktor-faktor yang terkait adakan pengkajian mana yang sangat
menarik untuk ditelaah, kemudian tetapkan mana yang dipilih.
4. Kaitkan secara logis faktor-faktor subfokus yang dipilih dengan fokus
penelitian.
91
BAB 5
Tahapan-Tahapan Penelitian Kualitatif
A. Tahapan Penelitian KualitatifAda dua pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan penelitian
kualitatif dan pendekatan penelitian kuantitaif. Metode penelitian kualitatif adalah
pendekatan yang temuan-temuan penelitiannya tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk perhitungan lainnya, prosedur ini menghasilkan temuan-temuan
yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan dengan menggunakan beragam
sarana. Sarana itu meliputi pengamatan dan wawancara, namun bisa juga mencakup
dokumen, buku, kaset video, dan bahkan data yang telah dihitung untuk tujuan lain,
misalnya data sensus.
Sedangkan Metode atau pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang
mengkuantifikasi temuan-temuan kedalam angka-angka dan analisis datanya
menggunakan statistik sebagai alat. Adapun wawancara dan dokumentasi dalam
pendekatan ini hasilnya dikuantifikasikan ke dalam angka-angka yang sudah
ditentukan sesuai dengan ketentuan yang ada.
Adapun dibawah ini akan di paparkan mengenai langkah-langkah atau
tahapan penelitian dari pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang secara garis besar
dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Tahapan persiapan/pra-lapangan
2. Tahapan pekerjaan lapangan/penelitian, dan
3. Tahapan analisis data.
Ada beberapa pendapat dalam memperinci tahapan kegiatan kualitatif,
seperti yang dikemukakan oleh John W. Creswell dalam bukunya Research Design
Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods Approaches second edition (2003),
92
menyebutkan bahwa tahapan atau prosedur dalam pendekatan kualitatif meliputi
langkah-langkah sebagai berikut:
1. The Assumptions Of Qualitative Designs
2. The Type of Design
3. The Researcher’s Role
4. The Data Collection Procedures
5. Data Recording Procedures
6. Data Analysis Procedures
7. Verification Steps
8. The Qualitative Narratif
Pendapat lain dari Dr. Endang S Sedyaningsih Mahamit (2006) dalam Asep
Suryana (2007:5) tahapan penelitian kualitatif meliputi:
a. Menentukan permasalahan
b. Melakukan studi literature
c. Penatapan lokasi
d. Studi pendahuluan
e. Penetapan metode pengumpulan data; observasi, wawancara, dokumen, diskusi
terarah
f. Analisa data selama penelitian
g. Analisa data setelah; validasi dan reliabilitas
h. Hasil; cerita, personal, deskrifsi tebal, naratif, dapat dibantu table frekuensi.
Dari pendapat para ahli diatas kami mencoba menjabarkan secara garis besar
langkah-langkah penelitian kualitatif dalam tiga tahap yakni:
1. Persiapan
a. Menyusun rancangan penelitian Penelitian yang akan dilakukan berangkat
dari permasalahan dalam lingkup peristiwa yang sedang terus berlangsung
dan bisa diamati serta diverifikasi secara nyata pada saat berlangsungnya
93
penelitian. Peristiwa-peristiwa yang diamati dalam konteks kegiatan orang-
orang/organisasi.
b. Memilih lokasi Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian, maka dipilih
lokasi penelitian yang digunakan sebagai sumber data.
c. Mengurus perizinan
Mengurus berbagai hal yang diperlukan untuk kelancaran kegiatan
penelitian.
d. Menjajagi dan melihat keadaan
Proses penjajagan lapangan dan sosialisasi diri dengan keadaan, karena
kitalah yang menjadi alat utamanya maka kitalah yang akan menetukan
apakah lapangan merasa terganggu atau tidak.
e. Memilih dan memanfaatkan informan
Ketika kita menjajagi dan mensosialisasikan diri di lapangan, ada hal
penting lainnya yang perlu kita lakukan yaitu menentukan narasumber.
f. Menyiapkan instrumen penelitian
Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah ujung tombak sebagai
pengumpul data (instrumen). Peneliti terjun secara langsung ke lapangan
untuk mengumpulkan sejumlah informasi yang dibutuhkan. Dalam rangka
kepentingan pengumpulan data, teknik yang digunakan dapat berupa
kegiatan observasi, wawancara dan studi dokumentasi.
94
2. Lapangan
a. Memahami dan memasuki lapangan
Memahami latar penelitian; latar terbuka; dimana secara terbuka orang
berinteraksi sehingga peneliti hanya mengamati, latar tertutup dimana
peneliti berinteraksi secara langsung dengan orang. Penampilan,
Menyesuaikan penampilan dengan kebiasaan, adat, tata cara, dan budaya
latar penelitian. Pengenalan hubungan peneliti di lapangan, berindak netral
dengan peran serta dalam kegiatan dan hubungan akrab dengan
subjek. Jumlah waktu studi, pembatasan waktu melalui keterpenuhan
informasi yang dibutuhkan.
b. Aktif dalam kegiatan (pengumpulan data)
Peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data, jadi peneliti
harus berperanaktif dalam pengumpulan sumber
3. Pengolahan Data
a. Analisis Data
Melakukan analisis terhadap data yang telah didapatkan, peneliti dalam hal
ini bisa melakukan interpretasi dari data yang didapatkan dilapangan.
b. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi
Dari kegiatan-kegiatan sebelumnya, langkah selanjutnya adalah
menyimpulkan dan melakukan verifikasi atau kritik sumber apakah data
tersebut valid atau tidak.
c. Narasi Hasil Analisis
Langkah terakhir adalah pelaporan hasil penelitian dalam bentuk tulisan dan
biasanya pendekatan kualitatif lebih cenderung menggunakan metode
deskriptif-analitis.
95
4. Penelitian Kuantitatif
a. Identifikasi
Masalah penelitian dapat diidentifikasi sebagai adanya kesenjangan antara
apa yang seharusnya dan apa yang ada dalam kenyataan, adanya
kesenjangan informasi atau teori dan sebagainya.
b. Pemilihan Masalah
Mempunyai nilai penelitian (asli penting dan dapat diuji)
Fisible (biaya, waktu dan kondisi)
Sesuai dengan kualifikasi peneliti
Menghubungkan dua variabel atau lebih
c. Perumusan Masalah
Dirumuskan dalam bentuk kalimat Tanya
Jelas dan padat
Dapat menjadi dasar dalam merumusan hipotesa dan judul penelitian
d. Perumusan Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian adalah suatu pernyataan tentang apa yang akan kita
cari/ capai dari masalah penelitian. Cara merumuskan yang paling
mudah adalah dengan mengubah kalimat pertanyaan dalam rumusan
masalah menjadi kalimat pernyataan.
Manfaat penelitian mencakup manfaat teoritis dan praktis
(Arikunto:1992).
e. Telaah Pustaka
Manfaat Telaah Pustaka
Untuk memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti
Menyusun kerangka teoritis yang menjadi landasan pemikiran
Untuk mempertajam konsep yang digunakan sehingga memudahkan
perumusan hipotesa
Untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian.
96
f. Pembentukan Kerangka Teori
Teori yang dibahas atau teori yang dikupas harus mempunyai
relevansi yang kuat dengan permasalahan penelitian. Sifatnya
mengemukakan bagaimana seharusnya tentang masalah yang diteliti tersebut
berdasar konsep atau teori-teori tertentu. Khusus untuk penelitian hubungan
dua variabel atau lebih maka dalam landasan teori harus dapat digambarkan
secara jelas bagaimana hubungan dua variabel tersebut.
g. Perumusan Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban terhadap masalah penelitian yang
secara teoritis dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat
kebenarannya. Hipotesa merupakan titik pangkal dari kesimpulan teoritik
yang diperoleh dari telaah pustaka. Secara statistik hipotesis merupakan
pernyataan mengenai keadaan populasi yang akan diuji kebenarannya
berdasarkan data yang diperoleh dari sampel penelitian.
h. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Konsep merupakan definisi dari sekelompok fakta atau gejala (yang
akan diteliti). Konsep ada yang sederhana dan dapat dilihat seperti konsep
meja, kursi dan sebagainya dan ada konsep yang abstrak dan tak dapat
dilihat seeprti konsep partisipasi, peranan dan sebagainya. Konsep yang tak
dapat dilihat disebut construct. Karena construct bergerak di alam abstrak
maka perlu diubah dalam bentuk yang dapat diukur secara empiris, atau
dalam kata lain perlu ada definisi operasional.
Definisi operasional adalah mengubah konsep dengan kata-kata yang
menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan dapat diuji
kebenarannya oleh orang lain.
97
i. Validitas dan Reliabiltas Instrumen
Pertanyaan-pertanyaan untuk mengukur variabel yang kita teliti
sebelumnya harus dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Bila instrumen/alat
ukur tersebut tidak valid maupun reliabel, maka tidak akan diperoleh hasil
penelitian yang baik. Validitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh
mana suatu alat pengukur betul-betul mengukur apa yang akan diukur.
Ada beberapa jenis validitas, namun yang paling banyak dibahas
adalah validitas konstruk. Konstruk atau kerangka konsep adalah istilah dan
definisi yang digunakan untuk menggabarkan secara abstrak kejadian,
keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian penelitian.
Konsep itu kemudian seringkali masih harus diubah menjadi definisi yang
operasional, yang menggambarkan bagaimana mengukur suatu gejala.
j. Penetapan Metode Penelitian
Penetapan metode penelitian mencakup :
(i) Penentuan subyek penelitian (populasi dan sampel),
(ii) Metode pengumpulan data(penyusunan angket) dan
(iii) Metode analisis data (pemilihan analisis statistik yang sesuai dengan
jenis data).
k. Pembuatan Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah pedoman yang disusun secara
sistematis dan logis tentang apa yang akan dilakukan dalam penelitian.
Rancangan penelitian memuat: judul, latar belakang masalah, masalah,
tujuan, kajian pustaka, hipotesis, definisi operasional, metode penelitian,
jadwal pelaksanaan, organisasi/tenaga pelaksana dan rencana anggaran.
l. Pengumpulan Data
98
Dalam pengumpulan data diperlukan kemampuan melacak peta wilayah,
sumber informasi dan keterampilan menggali data. Untuk itu diperlukan
pelatihan bagi para tenaga pengumpul data.
m. Pengolahan, Analisis dan Interpretasi Hasil Penelitian
Pengolahan data meliputi editing, coding, katagorisasi dan tabulasi data.
Analisis data bertujuan menyederhanakan data sehingga mudah dibaca dan
ditafsirkan. Dalam penelitian kuantitatif analisis data menggunakan statistik.
Interpretasi bertujuan menafsirkan hasil analisis secara lebih luas untuk
menarik kesimpulan.
n. Menyusun Laporan Penelitian
Menyusun laporan penelitian berupa tulisan.
99
BAB 6
Teknik Penelitian
A. Data Penelitian KualitatifBagi peneliti penelitian kualitatif, sebelum mengumpulkan data harus
terlebih dahulu mengetaui data kualitatif itu seperti apa. Ini penting sehingga dia
paham apa yang sedang dicarinya.
Data kualitatif adalah apa yang dikatakan oleh orang-orang yang diajukan
seperangkat pertanyaan oleh peneliti. Apa yang orang-orang katakan itu menurut
Patton (1980:30) merupakan sumber utama data kualitatif, apakah apa yang
mereka katakan diperoleh secara verbal melalui suatu wawancara atau dalam
bentuk tertulis melalui analisa dokumen, atau respon survey. Lebih konkrit lagi,
Patton (1980:36) mengatakan bahwa pada dasarnya data kualitatif itu terdiri dari
petikan-petikan dari orang-orang dan deskripsi tentang situasi, peristiwa, interaksi,
dan peristiwa. Tujuan data ini adalah untuk memahami sudut pandang dan
pengalaman orang lain.
Neuman (2000:148) mengungkapkan hal senada bahwa data itu adalah
dalam bentuk kata-kata, termasuk kutipan-kutipan atau deskripsi peristiwa-
peristiwa khusus. Selanjutnya Neuman (2000:417) mengetengahkan bahwa data
kualitatif adalah dalam bentuk teks, kata-kata tertulis, frase-frase, atau simbol-
simbol yang mendeskripsikan atau mempresentasikan orang-orang, tindakan-
tindakan, dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sosial.
Menurut Bogdan & Biklen (1982:106) bahwa yang dimaksud dengan data
adalah bahan-bahan kasar (rough materials) yang dikumpulkan para peneliti dari
dunia (lapangan) yang ditelitinya; bahan-bahan itu berupa hal-hal khusus yang
menjadi dasar analisa. Data meliputi bahan-bahan yang direkam secara aktif oleh
orang yang melakukan studi, seperti transkrip wawancara dan catatan dari
lapangan hasil observasi pelibatan. Data juga meliputi apa-apa yang diciptakan
100
orang lain dan yang ditemukan peneliti, misalnya buku harian, foto, dokumen
resmi, dan artikel surat kabar. Data meliputi baik bukti nyata maupun petunjuk
(atau pertanda). Jika dikumpulkan secara seksama, data merupakan fakta segar
yang dapat menghemat penulisan yang akan anda kerjakan.
Data membuat anda berpijak di dunia empiris dan, bila dikumpulkan dengan
sistematis dan ketat, akan menghubungkan riset kualitatif dengan bentuk-bentuk
sains lainnya. Data mencakup hal-hal khusus yang perlu anda pikirkan baik-baik
dan dalam-dalam tentang segi-segi kehidupan yang hendak anda selidiki.
Sebagaimana yang Patton (1980:303) katakan bahwa data kasus (kualitatif) terdiri
dari semua informasi yang seseorang miliki tentang kasus itu. Data kasus
mencakup seluruh data wawancara, data observasi, data dokumen, kesan-kesan
dan pernyataan orang-orang lain tentang kasus itu, dan data pada waktunya,
sebenarnya, semua informasi yang seseorang kumpulkan tentang kasus-kasus
khusus atau kasus-kasus dalam pertanyaan. Ini adalah data mentah untuk analisis
kasus, dan dapat bertambah pada kumpulan informasi yang besar. Pada data kasus
tingkat undividual dapat mencakup catatan klinis, informasi statistik tentang
orang, informasi latar belakang, profil kisah kehidupan, dan diari. Pada data kasus
tingkat program dapat mencakup dokumen-dokumen program, laporan program,
wawancara dengan partisipan dan staf program, observasi program, dan sejarah
program.
Khusus mengenai data observasi, Patton (1980:124) menjelaskan bahwa
tujuan data observasi adalah untuk mendeskripsikan latar yang diobservasi;
kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam latar itu; orang-orang yang berpartisipasi
dalam kegiatan; dan makna latar, kegiatan, dan partisipasi mereka pada orang-
orang itu. Laporan observasi harus termasuk detil deskripsi yang memadai untuk
memungkinkan seseorang mengetahui apa yang telah terjadi dan bagaimana hal itu
terjadi. Sedangkan cara-cara untuk mengumpulkan data observasi menurut
Lofland (1971:93) adalah termasuk observasi partisipan, observasi lapangan,
observasi kualitatif, observasi langsung, atau penelitian lapangan. Semua istilah ini
101
mengarah pada lingkungan dalam atau sekitar latar sosial yang sedang berlangsung
dengan maksud membuat analisis kualitatif tentang latar itu.
Para peneliti kualitatif memandang banyak aspek dalam kehidupan sosial
sebagai kualitatif secara intrinsik. Bagi mereka, data kualitatif adalah makna
(meaningful), bukan kurang, dan isu-isu sentral bukan bagaimana mengubah data
ke dalam variabel-variabel yang dapat dinyatakan dengan jumlah-jumlah objektif,
lebih dari itu, mereka perhatian pada masalah-masalah demikian sebagai
aksessibilitas (sub) budaya lain, relativitas jumlah pelaku pada dunia sosial mereka
dan hubungan antara deskripsi sosiologis dan konsep-konsep pelaku tentang
tindakan-tindakan mereka (Halfpenny, 1979:803 dalam Neuman, 2000:144).
Beberapa orang percaya bahwa data kualitatif adalah “lembut” (“soft”),
tidak dapat dinyatakan secara jelas (intangiable), dan bukan material (immaterial).
Data yang demikian begitu tidak jelas dan sukar dipahami sehingga para peneliti
tidak dapat mengungkapnya secara nyata. Data kualitatif adalah data empiris. Data
itu termasuk dokumen peristiwa nyata, rekaman apa yang mereka nyatakan
(dengan kata-kata, isyarat, nada), observasi perilaku spesifik, studi dokumen
tertulis, atau menguji kesan visual. Semua data itu adalah aspek-aspek konkret
suatu dunia. Tidak sebagaimana para peneliti kuantitatif yang mengubah ide atau
aspek dunia sosial ke dalam variabel-variabel umum untuk membentuk hipotesis,
para peneliti kualitatif meminjam ide-ide dari orang-orang yang mereka studi
ketika mereka menguji suatu kasus spesifik dalam konteksnya atau latar alamiah
khusus.
Kategori-kategori teoritik yang parapeneliti kualitatif gunakan untuk
memahami dan menginterpretasi dunia sosial seringkali dalam bentuk grounded
theory. Teori-teori itu adalah motif-motif, tema-tema, perbedaan-perbedaan, dan
ide-ide yang peneliti ciptakan sebagai bagian proses pengumpulan dan analisa data
kualitatif (Neuman, 2000:145).
Data kualitatif terdiri dari deskripsi situasi, peristiwa, orang, interaksi, dan
perilaku terobservasi yang mendetil; pertanyaan-pertanyaan yang terarah dan
102
orang-orang tentang pengalaman, sikap, kepercayaan, dan pikirannya; serta
kutipan atau seluruh bagian dari dokumen, korespondensi, dan sejarah suatu kasus.
Deskripsi mendetil, kutipan langsung, dan dokumentasi kasus dalam
penelitian kualitatif merupakan data mentah (raw data) dari dunia empiris. Data
itu tidak terbatas agar menemukan apa makna kehidupan, pengalaman, dan
interaksi mereka bagi dirinya dalam istilah (term) sendiri dan dalam latar budaya
mereka sendiri (Patton, 1980:22).
Kedalaman dan detil data muncul melalui petikan langsung dan deskripsi
yang hati-hati. Tingkat kedalaman detil data itu akan berbeda-beda tergantung
pada sifat dan tujuan studi tertentu. Pada tingkat yang paling sederhana,
kedalaman dan detil bisa jadi muncul dari respon pada pertanyaan-pertanyaan
terbuka. Suatu contoh yang baik perbedaan kedalaman dan detil yang diperoleh
dari pertanyaan-pertanyaan terbuka melawan item-item pertanyaan questionnaire
yang terstandar dapat diobservasi dengan membandingkan dua jenis data dari satu
studi tunggal (Patton, 1980:22).
Kutipan langsung merupakan sumber dasar data mentah dalam pengukuran
(penelitian) kualitatif, yang menyatakan tingkatan emosi responden, suatu cara di
mana mereka telah mengorganisir dunianya, pikiran-pikirannya tentang apa yang
sedang terjadi, pengalamannya, dan persepsi-persepsi dasarnya. Tugas para ahli
metode kualitatif adalah memberikan kerangka kerja sehingga orang-orang dapat
merespon dalam suatu cara yang mempresentasikan secara akurat atau keseluruhan
pandangan-pandangannya tentang dunia, atau bagian dari dunia mengenai apa
yang sedang mereka bicarakan (Patton, 1980:28).
Kebenaran data adalah apa yang benar-benar diungkapkan oleh subjek
penelitian, yang mereka katakan pada saat dia diwawancarai. Ungkapan mereka
tentang persepsinya, perasaannya, dan pengetahuannya tentang suatu fenomena
adalah data yang akurat, yang menjadi tujuan setiap penelitian kualitatif. Untuk
mengungkap ini biasanya dengan wawancara. Seperti yang Patton (1980, 29)
katakan bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif
103
untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan orang-orang adalah
wawancara mendalam dan intensif.
Kebenaran muncul tidak seabagai satu pandangan yang objektif, melainkan
sebagai gambar campuran tentang bagaimana pendapat orang terhadap fenomena
(dunia) dan terhadap sesamanya. Sebagaimana halnya orang yang berlainan bisa
menafsirkan hal yang sama secara berbeda, orang yang sama pun mungkin dapat
mempunyai interpretasi yang berbeda tentang sesuatu hal yang sama pada saat
yang berbeda. Perspektif seseorang terhadap suatu kejadian atau pengalaman dapat
berubah bersama dengan berubahnya waktu. Dengan demikian, peneliti kualitatif
mungkin akan menemui subjek-subjek yang kelihatannya tidak konsisten dalam
pernyataan dan tingkah laku mereka. Misalnya bagaimana orang-orang menilai
atau memberikan persepsi tentang seseorang yang kaya raya di suatu daerah,
misalnya si “A”. Saat anda bertanya pada si “B” mungkin dia mempersepsikan
bahwa kekayaan “A” itu karena hasil kerja kerasnya sendiri, tapi si “C” dan
seterusnya bisa jadi mempersepsikan bahwa kekayaan “A” itu karena warisan
kekayaan orangtua atau mertuanya; atau ragam persepsi lainnya. Ini menunjukkan
bahwa orang-orang yang berbeda mempersepsikan suatu hal yang sama secara
berbeda. Tetapi si “B” itu sendiri, misalnya, pada saat berbeda karena berbagai
situasi atau lingkungan bisa berubah persepsinya. Dia mungkin mengatakan bahwa
kekayaan “A” itu hasil korupsi di kantornya. Ini menunjukkan persepsi seseorang
berbeda terhadap suatu hal yang sama pada waktu yang berbeda.
Sebagai peneliti kualitatif, tugas peneliti adalah menembus pengertian akal
sehat tentang “kebenaran” dan “kenyataan.” Apa yang kelihatannya keliru atau
tidak konsisten menurut perspektif dan logika peneliti mungkin, menurut subjek
anda, tidak demikian. Dan, kendati anda tidak harus sependapat dengan pandangan
subjek terhadap dunia ini, anda harus dapat mengetahui, menerima, dan
menyajikan pandangan mereka itu sebagaimana adanya (Bogdan dan Taylor,
1975). Misalnya, jika kita mewawancarai seorang pimpinan ketika perusahaan
atau lembaganya memperoleh suatu penghargaan; mungkin sekali dia memberikan
jawaban atau informasi secara terbuka dan mendetil. Waktu itu ia perasaannya
104
senang karena banyak memperoleh ucapan selamat dari berbagai individu dan
lembaga lain atas keberhasilan mengelola lembaganya. Namun pada waktu
perusahaannya mengalami masalah (gagal), maka dia bisa jadi enggan atau
menolak untuk diwawancarai, dan jika maun diwawancarai mungkin dia
memberikan informasi yang menurut anda tidak rasional. Dalam hal yang
demikian peneliti tetap menerima dan menyajikan informasi itu apa adanya.
Data penelitian kualitatif dan kuantitatif itu sama-sama berkualitas. Apa arti
data yang berkualitas tinggi bagi penelitian lapangan (kualitatif)? Apakah yang
dimaksud dengan data berkualitas tinggi di dalam penelitian lapangan, dan apa
yang harus dilakukan seorang peneliti untuk memperoleh data seperti itu. Bagi
seorang peneliti kuantitatif, data yang berkualitas tinggi adalah reliable dan valid;
yaitu memberikan pengukuran yang tepat, konsisten pada kebenaran “tujuan-
tujuan” yang sama bagi semua peneliti. Suatu pendekatan interpretif menyarankan
tentang suatu jenis kualitas data yang berbeda. Bukan mengasumsikan data
kebenaran ojekif tunggal, para peneliti lapangan berpendapat bahwa para anggota
secara subjektif menginterpretasikan pengalaman di dalam suatu konteks sosial.
Apa yang nggota terima menjadi suatu yang benar adalah berasal dari interaksi
sosial dan interpretasi. Dengan demikian, data lapangan yang kualitas yang tinggi
menangkap proses-proses yang demikian itu dan memberikan suatu pemahaman
tentang sudut pandangan anggota.
Seorang peneliti lapangan tidak mengeliminasi pandangan subjektif untuk
memperoleh data yang berkualitas; namun, data yang kualitas mencakup respon
dan pengalaman subjektif. Data lapangan yang berkualitas merupakan deskripsi
yang terinci dari penenggelaman peneliti dan pengalaman otentik di dalam dunia
social para anggotanya (Neuman, 2000:368).
Reliabilitas Penelitian Lapangan. Reliabilitas data lapangan menjawab
pertanyaan: apakah observasi peneliti tentang seorang anggota atau peristiwa
lapangan secara internal dan konsisten secara eksternal? Konsistensi internal
dimaksudkan ialah apakah data dapat dipercaya memberikan semua yang
diketahui tentang seseorang atau peristiwa, menghapuskan bentuk umum tentang
105
penipuan manusia. Dengan kata lain, melakukan hal-hal yang kecil yang cocok
semuanya ke dalam suatu gambar yang melekat? Sebagai contoh, apakah tindakan
seorang anggota konsisten sepanjang waktu dan dalam konteks sosial yang
berbeda?
Konsistensi eksternal dicapai dengan memverifikasikan suatu pengamatan
cross-checking dengan yang lain, sumber data yang menyebar. Dengan kata lain,
apakah semua itu sesuai dengan konteks secara keseluruhan? Sebagai contoh,
apakah dapat pihak lain memverifikasikan apa yang diamati peneliti tentang
seseorang? Apakah bukti lain memperkuat pengamatan peneliti?
Reliabilitas di dalam penelitian lapangan juga memasukkan apa yang tidak
dikatakan atau dilakukan, tetapi diharapkan atau diantisipasi. Penghilangan seperti
itu atau data nol dapat signifikan tetapi sulit untuk dideteksi. Sebagai misal, ketika
mengamati seorang kasier mengakhiri pergantian waktu tugasnya, peneliti
memperhatikan atau mengamati bahwa uang yang ada di laci tidak dihitung. Dia
bisa memperhatikan penghilangan hanya jika kasir-kasir lainnya selalu
menghitung uang pada akhir waktu pergantiannya.
Reliabilitas di dalam penelitian lapangan tergantung pada wawasan,
kesadaran, kecurigaan dan pertanyaan peneliti. Dia melihat seorang anggota dan
peristiwa darisudut yang berbeda (hukum, ekonomi, politis, pribadi) dan secara
mental mengajukan pertanyaan: Di manakah uang tersebut berasal untuk hal itu?
Apakah yang dilakukan orang-orang tersebut sepanjang hari?
Para peneliti lapangan tergantung pada apa yang diceriterakan kepada
mereka. Ini membuat kredibilitas para anggota dan pernyataan mereka menjadi
bagian dari reliabilitas. Untuk mengecek kredibilitas anggota, seorang anggota
mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah orang tersebut mempunyai alasan untuk
berbohong? Apakah dia dalam posisi untuk mengetahui hal tersebut? Apakah
nilai-nilai seseorang dan bagaimana hal ini membentuk apa yang dikatakannya?
Apakah dia hanya mengatakan hal itu untuk menyenangkan saya? Apakah ada hal
yang mungkin membatasi spontanitasnya? Banyak pengalaman berharga yang
diperoleh dari lapangan bagaimana responden memberikan jawaban yang tidak
106
sebenarnya melainkan demi menyenangkan orang atau lembaga yang melakukan
penelitian pada satu sisi, dan untuk kesenangan diri dan anggotanya
(kelompoknya) yang lain. Ini biasanya terjadi pada penelitian-penelitian proyek
yang didanai pemerintah. Peneliti mungkin bertanya, “Apakah program yang
Bapak lakukan berjalan dengan lancar?” Ia akan menjawab, “Ya, betul Pak. Semua
program telah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sungguh, sangat berhasil!”
Jawaban yang demikian menunjukkan bahwa program itu berhasil, dan biasanya
jika program itu dikatakan berhasil maka pihak pemberi dana (pemerintah) senang
dan cenderung kucuran dana pun akan mengalir. Peristiwa yang demikian
merupakan tantangan tersendiri bagi peneliti kualitatif, khususnya bagi pemula,
untuk mampu mengungkap informasi (data) yang betul-betul akurat.
Para peneliti lapangan mengambil subjektifitas dan konteks ke dalam
perhitungan ketika mereka mengevaluasi kredibilitas. Mereka mengetahui bahwa
pernyataan atau tindakan seseorang dipengaruhi oleh persepsi subjektif.
Pernyataan dibuat dari suatu sudut pandangan khusus dan diwarnai oleh
pengalaman individu. Disamping mengevaluasi masing-masing pernyataan untuk
mengetahui apakah itu benar, seorang peneliti lapangan merasakan bahwa
pernyataan adalah sangat bermanfaat bagi diri mereka sendiri. Bahkan pernyataan
dan tindakan yang tidak akurat dapat dinyatakan dari perspektif seorang peneliti.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, tindakan dan pernyataan terbentuk
oleh konteks di mana hal itu muncul. Apa yang dikatakan di suatu latar mungkin
berbeda dalam konteks yang lainnya. Sebagai contoh, jika bertanya “Mau
berdansa?” seorang anggota mungkin mengatakan tidak di tempat umum yang
penuh dengan para penari yang hebat, tetapi mengatakan ya di tempat yang semi
pribadi dengan beberapa penari yang baik dan musik yang berbeda. Ini bukan
berarti bahwa anggota tersebut berbohong tetapi jawaban tersebut terbentuk oleh
konteks.
Hambatan-hambatan lain pada reliabilitas meliputi perilaku yang dapat salah
arah bagi seorang peneliti: misinformasi, evaluasi, kebohongan dan penipuan.
Misinformasi adalah kesalahan yang tidak disengaja yang disebabkan oleh
107
ketidakpastian dan kompleksnya kehidupan. Sebagai contoh, para perawat di
sebuah rumah sakit menyatakan sesuatu seperti “ kebijakan rumah sakit resmi”
jika, kenyataannya, tidak ada kebijakan seperti itu secara tertulis.
Penghilangan adalah tindakan yang disengaja untuk menghindarkan atau
tidak menyatakan informasi. Penghilangan yang umum dilakukan ialah tidak
menjawab pertanyaan, menjawab pertanyaan yang berbeda daripada ditanya,
mengalihkan topik-topik, atau menjawab suatu kekaburan yang disengaja dan
bersikap meragukan. Sebagai contoh, seorang salesman terlihat tidak nyaman
ketika topik dengan menggunakan gadis panggilan meminta seorang pelanggan
datang pada pesta makan malam. Dia menyatakan “Ya, banyak orang
menggunakannya”. Tetapi kemudian, sendiri, setelah bertanya secara hati-hati,
salesman tersebut pergi keluar dan menyatakan bahwa dia sendiri melakukan
kebiasaan tersebut.
Berbohong adalah ketidakbenaran ditujukan untuk menyalaharahkan atau
membelokkan atau memberikan suatu pendapat yang salah. Sebagai contoh,
seorang anggota gang memberikan kepada seorang peneliti sebuah nama dan
alamat yang salah, atau seorang pendeta gereja memberikan suatu gambaran
keanggotaan yang menggelembung agar kelihatan lebih berhasil. Douglas
(1976:73) mencatat, “di semua latar penelitian yang lain saya telah mengetahui
secara terinci, berbohong adalah hal biasa, baik di antara bagi anggota dan bagi
para peneliti, khususnya tentang hal-hal yang benar-benar penting bagi para
anggota”.
Menipu adalah kebohongan bersama dan dipelajari serta penipuan. Ini
termasuk penggunaan alat-alat dan para kolaborator fisik. Sebagai contoh, sebuah
bar sebenarnya adalah suatu tempat untuk membuat taruhan ilegal. Bar terlihat
terlegitimasi dan menjual minuman-minuman, tetapi bisnis yang sebenarnya hanya
dinyatakan dengan investigasi yang cermat.
Validitas dalam Penelitian Lapangan. Validitas di dalam penelitian
lapangan ialah kepercayaan yang ditempatkan pada analisis peneliti dan data
seakurat mungkin yang menggambarkan dunia sosial di lapangan. Replikabilitas
108
bukan merupakan suatu kriteria karena penelitian lapangan pada dasarnya tidak
memungkinkan untuk disalin. Aspek-aspek penting dari perubahan lapangan:
Peristiwa sosial dan perubahan konteks, anggota-anggota adalah berbeda, peneliti
individu adalah berbeda, dan sebagainya. Ada empat jenis validitas atau uji
keakuratan penelitian: validitas ekologis, sejarah alami, validitas anggota, dan
kinerja orang dalam yang berkompetensi.
Validitas ekologis adalah tingkat di mana dunia sosial digambarkan oleh
seorang peneliti dipadukan dengan dunia para anggota. Ini menanyakan: Apakah
latar alami digambarkan secara relatif tidak terganggu oleh kehadiran atau
prosedur peneliti? Suatu proyek mempunyai validitas ekologis jika peristiwa
terjadi tanpa kehadiran peneliti.
Sejarah alami adalah suatu deskripsi terinci tentang bagaimana proyek atau
perencanaan dilaksanakan. Ini merupakan suatu penyingkapan sepenuhnya dan
apa adanya tentang tindakan, asumsi dan prosedur seorang peneliti bagi orang lain
untuk dievaluasi. Suatu proyek adalah valid dalam hal sejarah alami jika orang
luar melihat dan menerima situs lapangan dan tindakan peneliti.
Validitas anggota terjadi jika seorang peneliti mengambil hasil lapangan
kembali untuk para anggota, yang menilai ketercukupannya… suatu proyek
dikatakan valid anggota jika para anggotanya mengetahui dan memahami
deskripsi peneliti yang mencerminkan kedekatan dunia sosialnya. Validasi anggota
mempunyai keterbatasan karena perspektif yang berbeda pada suatu latar
menghasilkan ketidaksetujuan dengan pengamatan peneliti, dan para anggota
boleh menolak jika hasil tersebut tidak mencerminkan kelompok mereka dengan
pandangan yang menyenangkan. Sebagai tambahan, para anggota mungkin tidak
mengetahui deskripsi karena tidak berasal dari perspektif mereka atau tidak sesuai
dengan tujuan mereka.
Perfoma atau kinerja orang dalam yang kompeten ialah kemampuan dari
non anggota untuk berinteraksi secara efektif sebagai seorang anggota atau
dilekatkan sebagai seseorang. Ini meliputi kemampuan untuk menyampaikan dan
memahami gurauan orang dalam. Suatu proyek lapangan yang valid memberikan
109
ketercukupan bumbu kehidupan sosial di lapangan, dan detil yang cukup sehingga
seorang luar dapat bertindak sebagai seorang anggota. Keterbatasannya ialah
bahwa tidak memungkinkan untuk mengetahui peraturan sosial bagi semua situasi.
Juga, seorang luar mungkin dapat melewatinya dengan mudah karena para
anggotanya bersikap sopan dan tidak ingin mencari kesalahan sosial (Neuman,
2000:368).
Interpretasi data dalam penelitian kualitatif adalah memberikan arti atau
makna yang penting. Peneliti kualitatif menginterpretasi data dengan
memberikannya makna, menerjemahkannya, atau membuatnya dapat dimengerti.
Bagaimanapun juga, makna yang ia berikan mulai dengan sudut pandang orang-
orang yang distudi. Dia (peneliti) menginterpretasi data dengan menemukan
bagaimana orang-orang yang distudi melihat dunia, bagaimana mereka
mendefinisikan situasi atau apa maknanya bagi mereka. Jadi langkah pertama
dalam interpretasi kualitatif, apakah seorang peneliti memeriksa (examining)
dokumen-dokumen historis atau teks kata-kata yang dituturkan atau perilaku
manusia, adalah mempelajari tentang maknanya bagi orang-orang yang distudi.
Orang-orang yang menciptakan perilaku social memiliki alasan-alasan atau motif
personal untuk tindakan-tindakan mereka. Inilah interpretasi urutan-pertama (first-
order interpretation). Penemuan atau rekonstruksi peneliti terhadap interpretasi
urutan-pertama merupakan interpretasi urutan-kedua (second-order
interpretation), karena peneliti berasal dari luar, untuk menemukan apa yang
terjadi. Dalam interpretasi urutan-kedua (second-order interpretation), peneliti
mendapatkan makna yang pokok atau kesan terhadap makna dalam data. Karena
makna berkembang dalam seperangkat makna yang lain, bukan dalam kevakuman,
interpretasi urutan-kedua menempatkan tindakan manusia yang distudi dalam
“arus perilaku” (stream of behavior) atau peristiwa-peristiwa yang terkait—
konteksnya.
Seorang peneliti yang mengadopsi pendekatan interpretif yang keras bisa
jadi berhenti pada interpretasi urutan-kedua—yakni, sekali dia memahami makna
tindakan bagi mereka yang distudi. Banyak peneliti kualitatif yang pergi lebih jauh
110
untuk menggeneralisasikan atau mengaitkan interpretasi urutan-kedua pada teori
umum. Mereka bergerak ke tingkat interpretasi yang lebih luas, atau interpretasi
urutan-ketiga (third-order interpretation), di mana peneliti memberikan makna
teoritikal umum (Neuman, 2000:148).
Jadi interpretasi dalam penelitian kualitatif adalah bukan bagaimana peneliti
memahami dunia atau memberikan makna terhadap situasi, melainkan bagaimana
orang-orang yang distudi itu memahami dunia atau memberikan makna terhadap
situasi.
Tentang data kualitatif ini memang dapat membingungkan. Suatu sumber
kebingungan menurut Neuman (2000:426) adalah format-format ganda
pengambilan data dalam tahapan-tahapan penelitian kualitatif yang beragam.
Misalnya, data penelitian lapangan adalah data mentah yang peneliti alami, data
yang direkam dalam catatan lapangan, dan data yang dipilih dan diproses yang
muncul dalam laporan akhir.
B. WawancaraTeknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif lebih
menekankan pada jenis teknik wawancara, khususnya wawancara mendalam (deep
interview). Guba dan Lincoln (1981:78) menyatakan bahwa teknik ini memang
merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi penelitian kualitatif. Hal ini
senada dengan pendapat Patton (1980:29).Cara utama yang dilakukan oleh para
ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan
orang-orang adalah wawancara mendalam dan intensif (Patton, 1980:29).
Maykut (1994:79) mengemukakan bahwa dalam kajian-kajian kualitatif,
wawancara sering berperanan sewaktu seseorang berperan sebagai seorang
pengamat partisipan, meskipun orang-orang di tempat latar mungkin tidak
menyadari bahwa percakapan informal mereka adalah wawancara. Di lapangan
kadang-kadang mungkin mengatur wawancara dengan orang-orang yang menurut
keyakinan peneliti bisa menambah pemahamannya tentang fenomena yang dikaji.
111
Para partisipan setuju untuk diwawancarai untuk membantu peneliti mendapatkan
fokus penelitian.
Dexter (1970) menggambarkan bahwa wawancara adalah sebuah
percakapan dengan tujuan. Tujuan wawancara antara lain adalah untuk
memperoleh bentukan-bentukan di-sini-dan-sekarang dari orang, peristiwa,
kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, klaim, perhatian (concern), dan cantuman
lainnya; rekonstruks tentang cantuman-cantuman seperti itu sebagaimana dialami
di masa lalu; proyeksi-proyeksi dari cantuman seperti itu diharapkan akan dialami
di masa mendatang; verifikasi, perbaikan, dan pengembangan informasi
(pengecekan anggota) (Lincoln & Guba, 1985:268).
Dalam bukunya Research Interviewing: Context and Narative, Elliot
Mishler memperjelas perbedaan antara suatu wawancara peneliti kualitatif dan
bentuk-bentuk standar wawancara lainnya.
Pada intinya bahwa wawancara adalah suatu bentuk dari wacana. Gambaran-
gambaran khususnya mencerminkan struktur dan tujuan wawancara yang berbeda,
yaitu bahwa wacana dibuat dan diorganisir dengan menanyakan dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan. Suatu wawancara adalah suatu produk bersama (joint
product) tentang apa yang dibicarakan oleh orang-responden dan pewawancara
dan bagaimana mereka berbicara satu sama lain. Catatan sebuah wawancara yang
peneliti buat dan kemudian digunakan di dalam pekerjaan analisa dan interpretasi
adalah sebuah penggambaran atau representasi dari percakapan tersebut.
Kajian kualitatif yang telah menggunakan model Mishler tentang wawancara
penelitian sebagai metode pengumpulan data telah menambah pengetahuan kita
secara substansial di berbagai bidang. Dalam anthropologi budaya dan sosiologi,
manfaat wawancara untuk memperjelas gambaran yang menonjol tentang budaya
dan pengalaman manusia mempunyai suatu sejarah yang panjang dan telah
diperbaiki.
Karakter-karakter apakah yang diberikan wawancara yang disajikan dalam
laporan penelitian adalah kedalaman dari percakapan, yang bergerak di luar
percakapan permukaan ke suatu diskusi yang banyak tentang pemikiran dan
112
perasaan. Beberapa gambaran situasi wawancara kualitatif membuat hal berikut
mungkin.
1. wawancara kualitatif rata-rata satu setengah jam hingga dua jam lamanya,
memungkinkan interaksi yang diperpanjang dengan orang-responden.
Kerangka waktu ini memungkinkan pewawancara yang kompeten untuk
membuat hubungan dengan responden dan untuk membentuk suatu iklim
kepercayaan.
2. Di berbagai kajian responden mendapatkan wawancara lebih dari satu kali,
mengejar dalam topik wawancara berikutnya yang muncul sebagai hal yang
penting dari analisa data permulaan. Jenis keterlibatan yang kuat dengan
responden membuatnya lebih cenderung bahwa peneliti akan semakin
memahami persepsi mereka secara lebih mendalam terhadap fenomena yang
dikaji. Wawancara penelitian kualitatif secara khas berarti sebagai wawancara
yang mendalam (Lincoln dan Guba, 1985; Taylor dan Bogdan, 1984).
Keterampilan tentang mewawancarai telah menjadi pokok bahasan dari
berbagai buku karena merupakan keterampilan yang mempunyai penerapan yang
luas. Di dalam interaksi kita sehari-hari di rumah, di tempat kerja dan di sekolah,
dan evaluator program, kita belajar dengan menanyakan kepada orang lain untuk
memberitahukan kepada kita dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan kita.
Karakteristik dari pewawancara kualitatif yang baik sangat serupa dengan karakter
dari orang-orang yang dapat meminta dan mendengar dengan penuh kearifan
tentang apa yang dikatakan oleh orang lain. Akan tetapi mungkin yang paling
kritis untuk menjadi seorang pewawancara kualitatif yang terampil adalah
keingintahuan dan kejujuran yang mendalam tentang pemahaman mengenai
pengalaman orang lain.
Untuk tujuan penelitian kualitatif, bentuk yang yang bisa diambil oleh
wawancara telah digambarkan dengan berbagai cara. Yang umum pada sebagian
besar deskripsi adalah suatu kontinum dari format wawancara berkisar dari format
113
terstruktur hingga suatu format yang relatif tidak terstruktur. Struktur dari
wawancara berkenaan dengan ukuran di mana pertanyaan yang diajukan kepada
responden dikembangkan terlebih dahulu sebelum wawancara. Setiap format
wawancara berbeda dalam tingkat keterampilan yang diperlukan dari peneliti
untuk melaksanakan percakapan di sekitar tujuannya. Namun demikian, masing-
masing format memberikan suatu kelaziman kritis: Pertanyaan-pertanyaan terbuka
dan dirancang untuk menyatakan apa yang penting untuk memahami tentang
fenomena yang dikaji.
Wawancara Terstruktur
Jenis wawancara yang terstruktur seringkali disebut sebagai suatu
wawancara “terfokus”, dan yang tidak terstruktur sebagai suatu wawancara
“mendalam”, “klinis’, “elite”, ‘spesialis”, atau “eksploratori” (Lincoln & Guba,
1985:268). Selanjutnya Guba & Lincoln dalam tulisannya Effective Evaluation
(1981:155-156) memberikan komentarnya sebagai berikut.
Dalam wawancara terstruktur, persoalan saya definisikan dengan peneliti
sebelum wawancara. Pertanyan-pertanyaan telah dirumuskan terlebih dahulu, dan
responden diharapkan menjawab dalam hal-hal kerangka wawancara dan definisi
atau ketentuan dari masalah. Wawancara terstruktur atau spesialisasi beragam dari
model ini. Dalam wawancara tidak terstruktur, format tidak distansdardisasikan, dan
pewawancara tidak mencari respon normatif. Akan tetapi, masalah yang diminati
diharapkan timbul dari reaksi responden pada masalah yang luas yang dimunculkan
oleh peneliti. Seperti yang ditentuklan Dexter (1970:3) bentuk wawancara ini
meliputi: menekankan definisi pewawancara pada situasi; memberikan dorongan
kepada responden pada struktur jawaban dari situasi tersebut; dan memberikan
kesempatan kepada responden untuk memperkenalkan sebanyak-banyaknya tentang
pandangan yang dianggapnya relevan, bukan bertumpu pada paham relevansi oleh
investigator. Dengan demikian, tidak seperti suatu wawancara yang terfokus, atau
terstandar, wawancara tidak terstruktur atau “elite” berkenaan dengan sudut
pandangan individu yang unik, idiosinkratis, dan keseluruhan.
114
Dengan cara lain, wawancara terstruktur adalah model pilihan jika
pewawancara mengetahui apa yang tidak diketahuinya dan oleh karenanya dapat
membuat kerangka pertanyaan yang tepat untuk memperolehnya, sedangkan
wawancara yang tidak terstruktur adalah sebuah model pilihan jika pewawancara
tidak mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya dan oleh karena itu harus
berpedoman pada responden untuk menceriterakan kepada mereka. Dalam
wawancara terstruktur pertanyaan ada di tangan pewawancara dan respon terletak
pada responden; di dalam wawancara tidak terstruktur pertanyaan-pertanyaan dan
jawaban-jawabannya diberikan oleh responden (“Ceriterakan kepada saya tentang
pertanyaan yang harus saya berikan kepada anda dan kemudian jawablah untuk
saya”) (Lincoln & Guba, 1985:269).
Wawancara tidak Terstruktur
Wawancara seperti yang digunakan di dalam inkuiri naturalistik biasanya
tidak terstruktur, meskipun pada tahap-tahap selanjutnya dari inkuiri (khususnya
untuk tujuan-tujuan triangulasi atau pengecekan anggota) bentuk-bentuk yang lebih
terstruktur bisa didapatkan; hampir selalu terbuka sepenuhnya dan jarang
menyimpang jauh dari standar untuk alasan etis; dan ini biasanya merupakan suatu
wawancara mendalam (menurut pengertian Massarik) yang mana di dalamnya
pewawancara dan responden bisa saling memberikan pendapat seperti layaknya
teman. Lincoln & Guba, 1985:269).
Percakapan informal dimulai dan diarahkan oleh peneliti sementara di
lapangan adalah merupakan tipe wawancara yang tidak terstruktur (Maykut,
1994:81). Wawancara percakapan informal adalah pendekatan fenomenologis untuk
wawancara. Suatu pendekatan fenomenologis digunakan jika peneliti tidak
mempunyai perkiraan tentang apa yang mungkin penting yang bisa dipelajari
dengan berbicara dengan orang-orang di dalam program tersebut. Pewawancara
fenomenologis ingin mempertahankan atau memelihara fleksibilitas maksimal yang
dapat memburu informasi pada arah manapun yang dianggap tepat, tergantung pada
informasi yang muncul dari mengamati suatu latar khusus dari berbicara dengan
115
satu individu atau lebih di latar tersebut. Sebagian besar dari pertanyaan akan
mengalir dari konteks segera. Dengan demikian, wawancara percakapan
merupakan suatu alat utama yang digunakan dengan dikombinasikan dengan
pengamatan partisipan untuk memungkinkan evaluasi (penelitian) siapa yang
berpartisipasi di dalam beberapa kegiatan pogramatis untuk memahami alasan para
partisipan lainnya terhadap apa yang sedang terjadi tidak ada perangkat yang
dipastikan terlebih dahulu tentang pertanyaan yang memungkinkan dengan keadaan
seperti itu, karena evaluator (peneliti) tidak mengetahui sebelumnya apa yang akan
terjadi dan apa yang akan penting untuk mengajukan seperangkat pertanyaan.
Data yang dikumpulkan dari wawancara percakapan informal akan berbeda
bagi masing-masing responden. Dalam banyak hal, orang yang sama mungkin
diwawancarai tentang sejumlah kesempatan yang berbeda dengan menggunakan
pendekatan yang informal, percakapan. Pendekatan fenomenologis secara khusus
bermanfaat di mana evaluator dapat berada pada situasi selama beberapa periode
waktu, sehingga dia tidak tergantung pada satu wawancara untuk mengumpulkan
informasi tentang program tersebut. Pertanyaan wawancara akan berubah sepanjang
waktu, dan masing-nmasing wawancara saling memperbaiki satu sama lain,
mengembangkan atau memperluas informasi yang telah diambil sebelumnya,
bergerak ke beberapa arah yang baru dan berusaha mengembangkan dan
mengerjakan dengan secermat-cermatnya dari berbagai partisipan dalam hal-hal
mereka sendiri. Pewawancara fenomenologis harus “mengikuti arus”. Tergantung
pada bagaimana peran pewawancara telah ditentukan, responden mungkin tidak
mengetahui selama percakapan khusus secara informal bahwa tujuan dari
percakapan tersebut adalah pengumpulan data. Ini berarti bahwa dalam beberapa
kasus para pewawancara fenomenologis membuat catatan selama wawancara
tersebut; namun, mereka menulis apa yang telah mereka pelajari setelah mereka
meninggalkan situasi wawancara atau pengamatan. Dalam hal-hal lainnya, ini dapat
cocok dan nyaman untuk membuat catatan atau bahkan menggunakn sebuah tape
recorder.
116
Kekuatan dari pendekatan fenomenologis untuk mewawancarai ialah bahwa
hal itu memungkinkan pewawancara untuk responsif pada perbedaan dan perubahan
situasional. Pertanyaan-pertanyaan dapat diindividualisasikan untuk membentuk
komunikasi secara mendalam dengan responden dan untuk memanfaatkan
lingkungan sekitar secara langsung dan situasi untuk meningkatkan kekongkritan
dan segera dari pertanyaan dan jawaban wawancara. Wawancara informal,
percakapan adalah suatu aliran utama dari pengamatan partisipan. Ini secara khusus
bermanfaat jika pewawancara dapat menyelidiki suatu latar lapangan atau program
selama periode waktu yang cukup lama sehingga suatu pangkalan data yang
komprehensif terakumulasi melalui wawancara mendalam (di mana wawancara
membuat informasi yang diperoleh dalam wawancara sebelumnya), dengan
demikian membuat suatu gambaran yang holistik dari perubahan program dan
pengembangan.
Kelemahan dari wawancara konversasional informasi ialah bahwa ini
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan informasi yang
sistematis karena perlu beberapa percakapan dengan orang-orang yang berbeda
sebelum satu rangkaian pertanyaan yang serupa telah diberikan kepada masing-
masing partisipan di dalam program tersebut. Wawancara percakapan informal
tersebut juga lebih terbuka bagi pengaruh pewawancara di dalamnya ini tergantung
pada ketrampilan percakapan dari pewawancara sejauh mana dibandingkan dengan
yang dilakukan dengan format lebih formal, dan terstandar. Pewawancara
fenomenologis harus dapat berinteraksi dengan mudah dengan orang-orang dalam
suatu latar yang beragam, menghasilkan wawasan yang cepat, merumuskan
pertanyaan dengan cepat dan halus/lancar, dan membimbing terhadap pertanyaan
yang mengharuskan interpretasi tentang situasi dengan struktur dari pertanyaan
tersebut. Data yang diperoleh dari wawancara percakapan informal juga sulit untuk
diambil bersama-sama dan dianalisis. Karena pertanyaan yang berbeda akan
menghasilkan respon yang berbeda pula, ahli fenomenologi harus menghabiskan
banyak waktu melalui respon untuk memperoleh pola yang telah muncul pada poin
yang berbeda dengan wawancara yang berbeda dengan orang yang berbeda.
117
Sebaliknya, wawancara yang lebih tersistematis dan terstandar mempermudah
analisis tetapi sulit memberikan fleksibilitas dalam hal dapat menjadi responsif bagi
individu dan situasi yang berbeda (Patton, 1980: 198-200).
Dengan fokus penelitian seseorang yang jelas di dalam pikiran, peneliti
secara arif menanyakan dan secara aktif mendengarkan agar dapat memahami apa
yang penting untuk diketahui mengenai latar dan pengalaman orang yang ada di
tempat latar. Percakapan yang mempunyai tujuan ini tidak dikonsep secara tercatat
terlebih dahulu. Akan tetapi, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat
pada kajian sebagai kesempatan yang ada, kemudian mendengarkan secara dekat
kepada orang-orang yang memberikan respon terhadap isyarat-isyarat tentang
pertanyaan apa yang diajukan, atau apakah kiranya penting untuk menyelidiki lebih
mendalam untuk mendapatkan informasi tambahan. Jean Piaget (1926), seorang
perintis awal dari metode penelitian ini, menyebutnya metode klinis. Fokus
penelitiannya adalah untuk memahami lebih banyak tentang bagaimana anak-anak
berfikir.
Sebagian peneliti kualitatif menggunakan wawancara tidak terstruktur atau
hanya dengan metode pengumpulan data. Wawancara secara khusus adalah penting
jika seseorang merasa tertarik dalam memperoleh perspektif partisipan, bahasa dan
makna yang disusun oleh individu-individu (Bogdan dan Biklen, 1982). Karya
William Perry menjelaskan pendekatan ini. Perry menentukan untuk
menginvestigasi apa yang terbaik untuk dirangkum dalam judul laporan
penelitiannya, Forms of Intellectual and Ethical Development in the Colege Year.
Perry mengundang suatu sampel yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa pria yang
belajar di Harvard University sebagai relawan yang diwawancarai tentang
pengalaman mereka di sekolah tinggi. Surat undangan untuk berpartisipasi
berbunyi: ‘Kami merasakan bahwa para mahasiswa dengan pendapat yang berbeda
tentang pendidikan yang mungkin mereka alami di tahun-tahun mereka di sekolah
tinggi dengan cara yang berbeda dan bahwa penting sekali untuk mengetahui
tentang bagian dari eksistensi yang berbeda-beda ini’ (1970:17). Undangan untuk
berpartisipasi di dalam kajian ini disebarkan pada akhir tahun pertama masuk.
118
Dalam perhitungan metodologi penelitiannya, Perry (1970) menggambarkan
pentingnya untuk memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk saling
memberikan persepsi dan istilah mereka sendiri dengan pewawancara, bukan
mendapatkan pengaruh dari pewawancara terhadap respon mahasiswa melalui
format wawancara yang lebih terstruktur. Setelah beberapa percobaan, Perry
memutuskan cara menjalankan wawancara tersebut:
Kami terlebih dahulu menyambut baik mahasiswa, menentukan kembali
minat kami dalam mendengarkan para mahasiswa tentang pengalaman mereka
sendiri, dan meminta ijin (dengan jaminan kerahasiaan nama/identitas) untuk
merekam dengan tape. Kami kemudian mengatakan, dalam bentuk umum yang
dikembangkan oleh Merton (Merton, Fiske dan Kendall), 1952): ‘Mengapakah anda
tidak memulai dengan apa saja yang ada pada pikiran anda tentang hal-hal yang
terjadi di tahun tersebut?’(Perry 1970:19).
Dengan menggunakan pertanyaan tunggal terbuka ini dan kemudian
bertumpu pada keterampilan dari pewawancara untuk mengerjakan dan memperluas
muatan dari setiap wawancara, Perry dapat membuat manfaat yang luar biasa dari
wawancara tidak terstruktur untuk memahami cara berpikir para mahasiswa pria.
Teori epistemologis yang berasal dari wawancara mahasiswa Harvard telah
mempermudah cara bagi kajian kualitatif tambahan tentang pemikiran dan
perkembangan orang-orang dewasa (Belenky et al., 1986; Gilligan, 1982).
Nilai dari suatu pertanyaan tunggal yang penting dalam membuat kerangka
wawancara kualitatif telah terbukti dalam kajian yang dilaksanakan di sekolah
menengah lokal. Dosen-dosen dan para administrator merasa tertarik dalam
memahami praktek sekolah apa (termasuk praktek mengajar) yang dapat membantu
pada kegagalan akademis di antara mahasiswa. Tim peneliti membentuk dua
peneliti dosen universitas dan sembilan anggota fakultas sekolah menengah,
ditentukan untuk menyelidiki persepsi-persepsi para mahasiswa, dosen, dan para
orangtua pada topik ini. Setelah mencoba untuk mengembangkan seperangkat
pertanyaan terbuka secara ekstensif untuk menanyakan setiap kelompok yang
menjadi bagian, tim tersebut sampai pada kesimpulan bahwa satu pertanyaan
119
menangkap inti dari penelitian: ‘Praktek-praktek berdasarkan sekolah apa yang
membantu pada kegagalan akademis di sekolah ini?’ Melalui wawancara tidak
terstruktur individual dan kelompok tim memutuskan untuk menempatkan
pertanyaan ini sebagai dasar bagi kajian mereka (Maykut dan Erickson, 1992).
Apakah wawancara tidak terstruktur dilaksanakan di lapangan atau diatur,
muatan dari wawancara tersebut harus ditulis. Wawancara informal di lapangan
disusun kembali dan dimasukkan ke dalam catatan lapangan peneliti. Wawancara
yang diatur seringkali direkam di dalam tape, dan jika perekaman ke dalam tape
tidak diinginkan atau tidak mungkin, peneliti dapat membuat beberapa catatan
selama wawancara dan kemudian menyusun kembali wawancara setelah itu
(Maykut, 1994:83).
Wawancara Terbuka Terstandar
Tentang wawancara terbuka terstandar ini dikemukakan oleh Patton (1980)
dalam penerapannya pada evaluasi program.
Dalam beberapa hal, ketika melaksanakan suatu evaluasi program, hanya
memungkinkan bagi para partisipan selama suatu periode waktu yang terbatas.
Kadang-kadang hanya memungkinkan untuk mewawancarai masing-masing
partisipan sekali. Pada waktu yang lainnya memungkinkan dan diinginkan
mewawancarai para partisipan sebelum mereka masuk ke dalam program tersebut,
ketika mereka meninggalkan program tersebut, dan lagi setelah beberapa periode
waktu (misalnya, enam bulan) setelah mereka meninggalkan program tersebut.
Karena terbatasnya waktu, dan karena diinginkan untuk mempunyai informasi yang
sama dari setiap responden, suatu format ‘open-ended’ terstandar bisa digunakan di
mana masing-masing orang diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pada
dasarnya sama. Pertanyaan-pertanyaan wawancara tersebut ditulis sebelumnya
secara pasti dengan cara yang sama ditanyakan selama wawancara tersebut.
Pertimbangan yang cermat perlu diberikan sebelum wawancara tentang bagaimana
menyusun kata-kata pada masing-masing pertanyaan. Semua klarifikasi yang harus
digunakan ditulis ke dalam wawancara itu sendiri. Pertanyaan yang menyelidiki
120
secara mendalam ditempatkan di dalam wawancara tersebut pada tempat-tempat
yang tepat. Tujuan utama dari wawancara terbuka terstandar ialah untuk
meminimalkan pengaruh wawancara dengan menanyakan pertanyaan yang sama
kepada masing-masing responden. Lebih-lebih, wawancara harus sistematis dan
perlunya bagi pertimbangan pewawancara juga membuat analisis data lebih mudah
karena ini memungkinkan untuk menempatkan jawaban dari masing-masing
responden pada pertanyaan yang sama secara agak cepat dan untuk mengorganisir
pertanyaan dan jawaban yang serupa.
Ada tiga faktor utama untuk menggunakan wawancara terbuka terstandar
sebagai bagian dari evaluasi:
1. instrumen yang pasti digunakan di dalam evaluasi tersedia untuk pemeriksaan
dengan para pembuat keputusan dan pengguna informasi;
2. variasi diantara para pewawancara dapat diminimalkan di mana sejumlah
pewawancara yang berbeda harus digunakan; dan
3. wawancara sangat difokuskan sehingga waktu peserta wawancara digunakan
secara hati-hati.
Dalam banyak hal cukup untuk membuat suatu pedoman wawancara topikal
(berkenaan dengan topik) bagi para pembuat keputusan dan para pengguna
informasi untuk memeriksanya. Bagaimanapun juga, persoalan tentang legitimasi
dan kredibilitas untuk data kualitatif dapat dibuat bijaksana secara politis untuk
menghasilkan suatu bentuk wawancara yang eksak yang dapat ditunjukkan kepada
para pembuat keputusan dan para pengguna informasi, memberitahu kepada mereka
dengan kepastian bahwa terdapat pertanyaan yang pasti yang akan ditanyakan oleh
para klien atau pihak lain yang diwawancarai. Dengan mengeneralisaskan suatu
bentuk terstandar para pembuat keputusan dan pengguna informasi dapat
berpartisipasi secara lebih lengkap di dalam penulisan instrumen wawancara
sebelum wawancara tersebut digunakan. Selanjutnya mereka akan mengetahui
secara pasti apa yang akan ditanyakan dan apa yang tidak akan ditanyakan. Ini
121
memperkecil kecenderungan tentang data yang akan diserang suatu saat nanti
karena pertanyaan tertentu hilang atau ditanyakan dengan cara yang salah. Dengan
memperjelas sebelumnya tentang pengumpulan data, secara pasti pertanyaan apa
yang akan ditanyakan, pembatasan data dapat diketahui dan dibahas sebelumnya.
Suatu persoalan yang berkenaan dengan politik ialah menanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang berbeda kepada klien-klien yang berbeda. Sedangkan
suatu pendekatan fenomenologis, dan bahkan pendekatan pedoman wawancara,
mempunyai kekuatan untuk memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dan
individualisasi, pendekatan-pendekatan ini juga membuka kemungkinan bahwa
lebih banyak informasi akan dikumpulkan dari beberapa orang bukan dari pihak-
pihak lain. Ketika menganalisis data menjadi sulit secara pasti bagaimana temuan
dipengaruhi oleh perbedaan kualitatif dalam kedalaman dan keluasan informasi
yang diterima dari orang-orang yang berbeda. Untuk pelaksanaan penelitian dasar,
jika seseorang berusaha untuk memahami pandangan dunia keseluruhan dari
sekelompok orang ini tidak perlu mengumpulkan informasi yang sama dari masing-
masing orang. Wawancara terbuka terstandar juga memperkecil variasi di antara
para pewawancara. Beberapa evaluasi berdasar pada relawan-relawan untuk
melakukan wawancara; pada waktu yang lain staf program bisa dilibatkan dalam
mengerjakan beberapa wawancara; dan masih pada hal yang lain pewawancara
mungkin orang baru, para mahasiswa, atau lainnya yang bukan merupakan para
ilmuwan pengetahuan sosial evalutor yang profesional. Jika sejumlah pewawancara
yang berbeda digunakan, variasi di dalam data yang dibuat dengan perbedaan-
perbedaan di antara para pewawancara secara khusus akan semakin jelas jika suatu
pendekatan percakapan informal pada pengumpulan data digunakan atau bahkan
jika masing-masing pewawancara menggunakan suatu pedoman dasar. Cara terbaik
untuk menjaga terhadap variasi diantara para pewawancara ialah menyusun kata-
kata pertanyaan secara hati-hati sebelumnya dan melatih para pewawancara untuk
tidak menyimpang dari bentuk yang tepat. Data yang dikumpulkan masih open-
ended, dalam arti bahwa responden menyediakan kata-kata, pikiran, wawasan
122
sendiri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, tetapi pembuatan kalimat atau
kata-kata yang tepat dari seperangkat pertanyaan ditentukan sebelumnya.
Kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ini tidak memungkinkan bagi
pewawancara untuk mencari topik-topik yang tidak diantisipasi jika wawancara
tersebut ditulis. Ketidakluasan juga ditempatkan pada penggunaan baris-baris yang
berbeda dari pertanyaan dengan orang-orang yang berbeda berdasarkan pengalaman
unik mereka. Oleh karena itu, suatu pendekatan wawancara terbuka terstandar akan
memperkecil sejauh mana perbedaan individual dan keadaan dapat diperhitungkan;
sebaliknya, pendekatan ini dapat memperkecil pengaruh pewawancara dan
mempermudah analisis data.
Jika perlu memungkinkan untuk menggabungkan pendekatan fenomenologis
dengan suatu pendekatan pedoman wawancara, juga memungkinkan untuk
menggabungkan suatu pendekatan pedoman wawancara dengan suatu pendekatan
terbuka terstandar. Dengan demikian, sejumlah pertanyaan dasar bisa disusun
secara tepat dengan gaya yang ditentukan sebelumnya, sambil memungkinkan
pewawancara lebih fleksibel dalam menyelidiki secara mendalam dan lebih banyak
fleksibilitas pembuat keputusan dalam menentukan jika cocok untuk menyelidiki
subjek-subjek tertentu secara lebih mendalam, atau bahkan untuk menjalankan
seluruh bidang inkuiri baru yang pada mulanya tidak dimasukkan ke dalam
instrumen wawancara. Bahkan memungkinkan untuk menggunakan suatu format
wawancara terbuka terstandar pada bagian awal wawancara dan kemudian
membiarkan pewawancara bebas untuk memburu subjek yang diminati selama
bagian berikutnya dari wawancara tersebut. Kombinasi lain meliputi penggunaan
pendekatan fenomenologis (wawancara percakapan informal) pada bagian awal
dalam proyek evaluasi, diikuti bagian tengah dengan suatu pedoman wawancara,
dan kemudian menutup evaluasi program dengan suatu wawancara terbuka
terstandar untuk memberikan informasi sistematis dari suatu sampel partisipan dari
akhir program atau jika melaksanakan kajian-kajian partisipan lanjutan (Patton,
1980:2002-205).
123
124
Langkah-langkah Wawancara
Lincoln dan Guba (1985) mengetengahkan tahapan-tahapan penelitian
kualitatif sebagai berikut:
1. Menentukan kepada siapa wawancara dilakukan.
Langkah ini “Menentukan di mana dan dari siapa data akan dikumpulkan”.
Bahan yang dinegosiasikan sepenuhnya tentang pernyataan yang diinformasikan
dan pengidentifikasian serta menggunakan informan-informan juga sesuai
dengan tugas ini.
2. Mempersiapkan diri untuk mewawancarai.
Langkah ini meliputi melakukan pekerjaan rumah dalam hubungannya dengan
rersponden (semakin elite respondennya, dalam arti istilah tersebut seperti yang
digunakan oleh Dexter, 1970, semakin pentinglah bagi pewawancara
sepenuhnya mendapatkan informasi tentang responden); mempraktekkan
wawancara dengan peranan “berada di tempat” yang tepat; menentukan urutan
yang tepat tentang pertanyaan-pertanyaan (meskipun jika wawancara tidak
terstruktur); dan menentukan peranan, pakaian, tingkat formalitas yang dimiliki
oleh pewawancara itu sendiri, dan sebagainya. Konfirmasi dengan responden
waktu dan tempat wawancara juga tindakan yang bijaksana.
125
3. Gerakan-gerakan awal.
Meskipun responden telah diberikan briefing secara meyakinkan berkenaan
dengan hakekat dan tujuan wawancara sebagai bagian dari prosedur pemberian
ijin yang diinformasikan, suatu hal yang bijaksana untuk mengingat kembali
rincian ini pada awalnya. Responden harus diberi kesempatan untuk “melakukan
pemanasan” dengan diberi pertanyaan-pertanyaan “yang bersifat umum”
(Spradley, 1979; misalnya, “Betapa khusus agaknya hari ini ?” “Bagaimana
anda sampai masuk ke pekerjaan ini?”) yang memberikan kepada responden
latihan dalam berbicara dengan pewawancara dengan suatu iklim yang santai
sambil pada saat yang sama memberikan informasi yang bermanfaat tentang
bagaimana responden menguraikan karakteristik umum dari konteks tersebut.
Responden juga dapat diberi kesempatan untuk “mengatur pikiran” dengan
diberikan pertanyaan tentang pertanyaan-pertanyaan umum lainnya. Yang
mengarahkan kepada persoalan-persoalan yang diinginkan oleh pewawancara
untuk dibahas secara terinci selanjutnya.
4. Membuat dan mempertahankan tahapan wawancara agar tetap produktif.
Pertanyaan-pertanyaan semakin spesifik dan spesifik ketika pewawancara
beralih dan ketika pewawancara mulai merasakan apa yang kelihatan menonjol
tentang informasi yang diberikan oleh responden. Penting untuk menjaga irama
yang mudah, dan sebanyak mungkin, menjaga “berbicara bergantian” dengan
responden (pewawancara jarang belajar sesuatu ketika dia berbicara). Menjaga
fleksibilitas sehingga pewawancara ini dapat mengikuti pengarahan yang
menjanjikan atau kembali ke poin-popin sebelumnya yang agaknya memerlukan
pengembangan penting selanjutnya. Pewawancara yang telah trampil adalah ahli
dalam menggunakan penelitian – mengarahkan isyarat untuk lebih banyak
informasi dan informasi yang lebih berkembang. Penelitian mendalam bisa
mengambil bentuk diam (para responden tidak menyukai suatu kekosongan
pendengaran, tetapi harus jelas bahwa “giliran berbicara” adalah dengan
responden); “pumps” – suara-suara seperti “uh-huh” atau “umm” atau
126
memberikan dorongan lambaian tangan; harus lebih banyak diadakan
(“Dapatkah anda menceriterakan kepada saya lebih banyak lagi dalam hal
tersebut?”); mengambil contoh-contoh; mengambil reaksi-reaksi pada
perumusan kembali pewawancara tentang apa yang telah dikatakan (“Apakah
saya mengerti kamu untuk mengatakan hal itu …”; atau “Jika saya
memahamimu secara benar; anda agaknya mengatakan bahwa …”), atau hanya
bertanya secara khusus yang dirumuskan oleh pewawancara untuk membumbui
atau mengembangkan sesuatu apa yang telah dikatakan oleh responden.
5. Menghentikan wawancara dan memperoleh penjelasan.
Jika wawancara telah dihentikan dianggap produktif (informasi diulang; baik
pewawancara ataupun responden menunjukkan kepenatannya; respon agaknya
perlu diarahkan; dan sebagainya) ini waktunya untuk menghentikannya. Pada
poin ini pewawancara harus merangkum dan “memutar kembali” untuk apa
yang telah dikatakan oleh responden (“Saya percaya poin-poin utama yang telah
anda buat adalah X, Y, dan Z; apakah itu agaknya benar bagi anda?”. Proses ini
mempunyai beberapa keuntungan bagi pewawancara. Yang pertama, ini
mengundang responden untuk bereaksi – mengecek anggota – validitas dari
bentukan-bentukan yang telah dibuat oleh pewawancara. Yang kedua, seringkali
menggoda responden untuk menambahkan materi-materi baru di mana dia
diingatkan untuk mendengarkan rangkuman. Akhirnya, itu menempatkan
responden pada catatan, sehingga dia kurang ada kecenderungan untuk menunda
atau menolak informasi selanjutnya (sudah barang tentu penolakan mutlak tidak
mungkin jika pernyataan telah dicatat dan jika bentuk pernyataan yang
diinformasikan telah diberikan).
Tuntutan sopan santun adalah di mana pewawancara harus berterima kasih
kepada responden terhadap kerjasamanya. Pewawancara juga ingin memberikan
kesempatan tambahan untuk komunikasi “akankah semua hal lainnya yang menarik
terjadi pada responden”, dan mungkin faktanya diatur untuk wawancara tambahan
127
jika jelas bahwa terdapat lebih banyak dasar yang dicakup. Sebagai suatu tata
kesopanan terakhir pewawancara harus mengadakan tindak lanjut dengan sebuah
surat ucapan terima kasih secara formal, khususnya jika responden adalah suatu
subjek “elite” dalam pandangan Dexter (1970).
Data wawancara dapat dicatat atau direkam dengan beberapa cara. Yang
paling jelas, tape recorder dapat dimanfaatkan, sebuah model yang mempunyai
banyak keuntungan, seperti memberikan suatu sumber data yang tidak tercela;
memperkuat kelengkapan; memberikan kesempatan untuk mereview sesering yang
diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemahaman sepenuhnya telah dicapai;
memberikan kesempatan untuk review selanjutnya bagi isyarat-isyarat nonverbal
seperti misalnya jeda-jeda yang signifikan, suara-suara yang meninggi, atau
meledaknya emosional; dan memberikan materi untuk mengadakan pelatihan
pewawancara bersama-sama dan mengecek reliabilitas. Akan tetapi keuntungan
yang mengesankan ini, dalam pertimbangan kita adalah lebih dari penyeimbangan
ketidakpercayaan responden (kenyataan bahwa perekaman tidak memberikan suatu
rekaman yang akurat serta tidak tercela seringkali lebih dari cukup untuk
menghambat respon-respon terbuka dan terus terang). Orang juga tidak melihat
kemungkinan kegagalan mekanis, dan semuanya terlalu biasa ketika tape berjalan
terus atau baterinya habis muatannya.
Jika data tidak direkam pada tape recorder, kita harus gagal kembali pada
catatan-catatan tertulis yang dilakukan selama wawancara itu sendiri. Membuat
catatan-catatan dapat tidak menguntungkan: Kita tidak dapat mencatat semuanya;
menulis tangan secara cepat seringkali lebih lambat dan tidak dapat ditentukan;
responden memperlambat temponya untuk memungkinkan pewawancara
meneruskan dan bisa kehilangan jalan pikirannya atau hanya kehabisan waktunya.
Tetapi keuntungan dari mencatat dengan tulisan tangan sangat mengesankan;
mengambil kekuatan pewawancara untuk mendengarkan secara hati-hati tentang
apa yang telah dikatakan oleh responden; pewawancara dapat menyisipkan
pertanyaan atau komentar (termasuk catatan tentang isyarat-isyarat nonverbal) ke
dalam kertas tanpa kesadaran responden, catatan tersebut dapat ditandai dengan
128
mudah untuk item-item penting di mana pewawancara ingin kembali suatu saat
nanti; pewawancara perlu bertumpu pada memorinya untuk menyusun semua
rangkuman yang penting yang harus disediakan pada akhir wawancara. Sebagai
imbangan, kami menyarankan bahwa para pewawancara tidak merekam ke dalam
tape recorder kecuali jika terdapat ketentuan atau alasan pelatihan untuk melakukan
hal demikian; keuntungan membuat catatan tertulis cukup terlihat untuk membuat
model pilihan tersebut.
Segera setelah wawancara, pewawancara harus membuat catatan agar dapat
digunakan dalam analisis berikutnya. Jika wawancara telah dibuka, proses ini dapat
meliputi pembuatan transkrip draft kasar yang harus diedit terlebih dahulu oleh
pewawancara (untuk menjelaskan kesalahan pembuat transkrip) dan selanjutnya
diketik dalam bentuk akhir – suatu tugas yang tidak ringan tidak hanya banyak
menyita energi tetapi memusatkan perhatian dan menyita waktu interval antara
memperoleh data dan dapat bekerja dengan data tersebut. Sulit dibayangkan,
misalnya, bagaimana merekam dalam tape recorder untuk mewawancarai seseorang
dapat digunakan secara efektif untuk membantu membuat pertanyaan wawancara
pada hari berikutnya. Memang, interval waktu bisa begitu penting (beberapa pekan
mungkin tidak biasa) bahwa pewawancara tidak lagi segar pada pikiran
pewawancara, oleh karena itu akan banyak mengurangi kemampuannya umtuk
memproses data tersebut. Jika wawancara telah dicatat dengan tulisan tangan,
pewawancara harus sesegera mungkin (segera setelah wawancara, jika hal itu
memang dapat diatur demikian) mereview catatan dan memperbanyaknya dari
memori. Catatan yang telah dibuat buatlah tanda memori dari pewawancara
sehingga item-item lainnya tidak dicatat jika terjadi diingat kembali; kita telah
mengetahui pada pewawancara telah cukup berketrampilan dalam gaya retrospektif
ini dapat menyusun lagi sebuah wawancara seolah-olah wawancara tersebut sudah
tercatat. Pewawancara juga dapat menandai komentar sendiri (“K.S.”) atau
pertanyaan-pertanyaan (“P.S.”) atau hipotesis (“H.S.”) sehingga bagian-bagian itu
nantinya tidak akan dianggap sebagai komentar responden.
129
Selama penyusunan kembali ini pewawancara bisa memulai analisis data,
setidak-tidaknya untuk kepentingan bahwa pekerjaan hari berikutnya dapat dibuat
kembali dengan dasar wawasan hari ini.
Akhirnya, informasi yang diperoleh dari setiap wawancara – dan, ketika
kajian berlangsung, dari wawancara yang telah terkumpul – harus diperiksa pada
triangulasi dan pengecekan anggota lebih lanjut. Item-item data ilmiah dapat
diverifikasikan dengan responden lainnya atau dari sumber-sumber seperti
pengamatan atau analisis dokumen. Kategori-kategori yang muncul (yang
menggambarkan hipotesis di dalam penelitian, berkenaan dengan evaluasi responsif,
pengukuran dalam kajian kebijakan, dan banyak jenis data lainnya) dapat menjadi
pengecekan anggota dalam wawancara berikutnya (“Saya telah berbicara dengan
sejumlah guru seperti anda dan mereka agaknya mengatakan X; apakah itu cukup
benar bagi anda?”) (Lincoln & Guba, 1985:273).
Mempersiapkan Pertanyaan Wawancara
Seperti yang dicatat Stanley Payne (1951), mengajukan-pertanyaan adalah
suatu seni, dan seperti sebagian besar bentuk seni ini dikembangkan melalui praktek
dan kesungguhan. Mempersiapkan seperangkat pertanyaan untuk suatu pedoman
wawancara, terdapat banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Pertimbangan
utama bagi penelitian kualitatif adalah bahwa pertanyaan hendaknya terbuka,
mengundang responden untuk berpartisipasi dalam suatu percakapan. Pertanyaan
terbuka dimulai dengan kata-kata seperti misalnya:
‘Bagaimanakah pendapat anda ………?’
‘Bagaimana perasaan anda ………?’
‘Dengan cara apa ………?’
‘Bagaimana mungkin ………?’
Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab dengan
suatu respon yang tersendiri, seperti misalnya ‘ya’ atau ‘tidak’, atau sebuah kata
atau frasa singkat. Pertanyaan yang dirancang untuk menghasilkan respon yang
130
lepas atau tunggal diartikan sebagai pertanyaan yang tertutup. Respon tersebut
menutup percakapan, dan memberikan sedikit kesempatan untuk memperoleh
perspektif partisipan. Agar dapat menjalankan suatu wawancara yang dialami oleh
peneliti dan responden sebagai suatu ‘percakapan dengan suatu tujuan’, adalah
penting untuk mengajukan petanyaan yang terbuka.
Sebuah contoh akan membantu untuk menggambarkan perbedaan antara
pertanyaan yang terbuka dan tertutup. Dalam dialog dibawah ini, seorang dosen
sekolah tinggi berusaha untuk memahami dari seorang mahasiswa bagaimana dia
dapat memperbaiki pelajaran selama pertengahan semester panjang yang kedua.
Pertanyaan : Bagaimanakah menurutmu pelajaran tersebut dilaksanakan?
Jawab : Bagus, sangat bagus.
P: Adakah pelajaran yang cukup menarik untuk membuat anda masuk kelas?
J: Memang.
P: Bagaimana dengan buku-buku teksnya? Apakah menurut anda buku-buku
tersebut merupakan bacaan yang bagus?
J: Yah, lumayan.
P: Menurut pendapatmu apakah saya memberikan tugas terlalu banyak atau
terlalu sedikit?
J: Secara tertentu tidak terlalu sedikit.
P: Menurutmu apakah mahasiswa lainnya di kelasmu saling memberikan
pandangan denganmu?
J: Saya kira demikian.
P: Bagaimanakah anda mengukur pekerjaanmu sendiri dalam pelajaran selama
ini?
J: Antara ‘B’ dan ‘C’.
P: Saya rasa karya anda sangat menarik untuk dibaca. Terima kasih atas umpan
baliknya di dalam kelas. Sampai jumpa hari Senin.
131
(Para mahasiswa tersebut berpikir, ‘Sangat cepat’, dosen berpikir, ‘Mahasiswa
hanya tidak ingin menceriterakan kepada anda tentang apa yang sebenarnya ada
pada pikiran dia’)
Pada contoh diatas, dosen menanyakan kepada mahasiswa serangkaian
pertanyaan yang tertutup yang mengharuskan sedikit lebih dari respon lepas yang
singkat. Dalam percakapan normal kita seringali mengajukan pertanyaan yang
tertutup, sewaktu mengharapkan dan mencari kejelasan yang sebenarnya
ditunjukkan di dalam pertanyaan tersebut. Pada contoh di atas, dosen ingin
mahasiswa menceriterakan bagaimana tentang pelajaran, buku teks, dan kelas, apa
yang membuat pelajaran ‘baik-baik saja’. Maksud ini hilang pada mahasiswa yang
memberikan tanggapan pada pertanyaan ketika mereka ditanya. Dialog tersebut bisa
mengambil giliran yang berbeda jika dosen menggunakan pertanyaan terbuka ketika
berbicara dengan mahasiswa tersebut:
P: Saya merasa tertarik untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran
mahasiswa tentang mengajar saya dan pelajaran membaca serta tugas-
tugas. Memikirkan kembali semester ini selama ini, bagaimanakah anda
menggambarkan pelajaran ini kepada orang lain?
J: Hm ……… Baiklah, saya akan menggambarkan pelajaran seperti biasanya
menarik dan menyatu. Pada jam-jam kosong saya hanya duduk di sana,
meskipun saya mempunyai sesuatu yang harus saya ceriterakan. Saya tak
tahu mengapa, namun saya banyak berpartisipasi dalam pelajaran anda.
Mungkin karena anda menyuruh kami melakukan banyak tugas.
P: Baiklah, tujuan saya adalah membuat mahasiswa berpartisipasi. Kita
cenderung belajar lebih banyak dengan cara itu. Saya ingin menanyakan
kepada kamu sedikit hal tentang buku-buku teks. Bagaimana anda
melakukan membaca sebuah bab dan mempersiapkan untuk pembahasan di
kelas?
132
J: (Berhenti sejenak) saya mulai membacanya seperti yang saya lakukan
dengan buku-buku teks lainnya; banyak selama sekali duduk dan
melakukan banyak hal yang memperjelasnya. Tetapi sebenarnya tidak
mempersiapkan saya untuk jenis-jenis pertanyaan yang anda tanyakan di
kelas. Dan saya juga tidak mengerjakan dengan cukup bagus pada tes
pertama, maka saya mengubah cara untuk membaca. Saya membacanya
dengan penggalan-penggalan kecil dan melakukan apa yang anda bahas di
kelas. Anda tahu, ketika anda menulis pertanyaan-pertanyaan yang akan
anda tanyakan tentang penulis seandainya dia sedang duduk di dekat saya.
Ini akan sedikit membantu, meskipun kadang-kadang saya rasa sedikit
konyol.
P: Saya lihat bahwa kamu telah mengerjakan dengan sangat bagus pada tugas-
tugas kelas. Bagaimana anda mengaturnya?
J: Saya merasa sangat berat, karena begitu banyak tugas. Saya telah
mengerjakannya dengan baik selama ini, tetapi ketika saya lihat kembali
jadwal saya saya tidak mengetahui jika saya dapat menyelesaikannya.
P: Dan bagaimanakah mahasiswa lainnya di kelas? Bagaimana menurutmu
pendapat umum tentang kelas dengan memperhatikan pada banyaknya
tugas?
J: Saya hanya dapat berbicara kepada kelompok mahasiswa di kelas dengan
teman saya. Kita semua mengeluh tentang banyaknya pekerjaan tersebut.
P: Saya menghargai kejujuran anda. Umpan balik anda akan sangat
bermanfaat. Terima kasih. Sampai jumpa hari Senin.
(Mahasiswa berpikir, ‘Saya benar-benar mempunyai kesempatan untuk
mengatakan apa yang sedang ada dalam pikiran saya, dan rasanya sepertinya dia
mendengarkan dan memperhatikan tentang apa yang saya katakan. Saya juga
mempelajari sesuatu tentang diri saya sendiri: saya suka berpartisipasi di kelas jika
ada kesempatan’. Dosen berpikir, ‘Ini merupakan informasi yang seharusnya sering
saya dapatkan. Saya mendapatkan suatu idea yang jelas tentang apa yang mungkin
perlu saya ubah dan apa yang ingin saya teruskan dalam pelajaran’).
133
Dengan hal tersebut di atas peneliti berusaha mengembangkan pertanyaan
terbuka, tugas di depan dia untuk memutuskan pertanyaan apakah yang harus
diajukan. Kita mempunyai tipologi pertanyaan yang disajikan oleh Patton (1990)
bermanfaat sebagai suatu pedoman terhadap pertanyaan yang bisa kita buat. Patton
membuat garis besar tentang enam jenis pertanyaan yang bisa diajukan dalam suatu
wawancara:
1. Pertanyaan tentang pengalaman/perilaku;
2. Pertanyaan tentang pendapat/nilai;
3. Pertanyaan tentang perasan;
4. Pertanyaan tentang pengetahuan;
5. Pertanyaan tentang sensori atau penginderaan; dan
6. pertanyaan tentang latar belakang/demografi.
Pertanyaan tentang pengalaman/perilaku menanyakan tentang apa yang
dilakukan atau apa yang telah dikerjakan orang-orang, seperti misalnya ‘Jenis
pekerjaan apa sajakah yang anda kerjakan pada tugas ini?’ pertanyaan tentang
pengalaman/perilaku sangat bermanfaat untuk memulai sebuah wawancara,
khususnya jika mereka meminta seseorang untuk menggambarkan apa yang biasa
mereka kerjakan. Jelas ini merupakan sesuatu yang diketahui oleh responden dan
dapat menawarkan untuk memulai percakapan.
Patton membuat suatu pembedaan antara pertanyaan tentang pendapat/nilai
dan pertanyaan tentang perasaan. Yang disebut terdahulu tersebut mendapatkan
kepercayaan yang utamanya bersifat kognitif, seperti misalnya ‘Bagaimanakah
pendapatmu tentang kebijakan yang baru ditinggalkan oleh perusahaan tersebut?’
atau ‘Bagaimanakah pendapatmu tentang negosiasi kembali kontrak yang baru
tersebut?’ Sebaliknya, pertanyaan tentang perasaan menanyakan tentang keadaan
afeksi, seperti ‘Jenis perasaan bagaimanakah yang anda alami ketika mendengar
tentang penutupan perusahaan tersebut?’ Para pewawancara harus jelas tentang
jenis informasi bagaimanakah yang mereka cari – pemikiran ataukah perasaan – dan
memberikan pertanyaan dan isyarat yang tepat bagi responden.
134
Pertanyaan tentang pengetahuan menanyakan kepada para responden untuk
menceritakan apa yang mereka ketahui tentang suatu topik khusus, mendapatkan
informasi ke dalam pengetahuan mereka yang sebenarnya, seperti misalnya ‘Apa
sajakah yang dimuat di dalam deskripsi tugas perusahaan untuk tugas ini?’ atau
‘Bagaimanakah prosedur di kantor anda tentang pengisian suatu pengaduan
hambatan jenis kelamin? Jenis pertanyaan ini secara khusus dapat menimbulkan
rasa takut jika resonden percaya bahwa mereka harus mengetahui jawabannya dan
mereka tidak mengetahuinya. Wawancara dapat menyimpang jika responden mulai
melihat pertemuan tersebut sebagai suatu pemeriksaan yang seksama tentang topik-
topik di mana mereka tidak dapat memberikan informasi yang perlu.
Pertanyaan tentang penginderaan atau sensori dirancang untuk mencari
informasi ke dalam apa yang diketahui, didengar, disinggung, tercium dan terasa
oleh responden, dan dapat memberikan jenis pengalaman yang mewakili kepada
peneliti. Responden mungkin dapat meberikan kesempatan kepada pewawancara
untuk ‘tetap berada di posisinya’ dengan memberikan respon secara deskriptif
terhadap -pertanyaan seperti misalnya, ‘Apakah yang anda perhatikan terlebih
dahulu ketika anda masuk ke kantornya?’
Pertanyaan tentang latar belakang/demografis mungkin penting dalam
membantu peneliti menentukan -sifat setiap responden, serta sampel yang pada
akhirnya mencakup kajian tersebut. Namun demikian, informasi sosiodemo-grafis
tidak harus dikumpulkan secara samar-samar secara rutin dalam bentuk penelitian
lain. Pertanyaan-pertanyaan ini harus diajukan jika potensinya bermanfaat untuk
memahami fenomena yang dikaji. Jika dimasukkan, misalnya informasi tentang
usia, lamanya tahun pengalaman, status perkawinan, tempat tinggal, dsb., yang
faktual, singkat, dan kadang-kadang diangap terlalu mengganggu, seyogyanya
dikumpulkan pada akhir wawancara. Kadang-kadang, pewawancara bisa
mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan infomasi latar belakang secara tidak
mencolok pada berbagai poin di dalam wawancara. Sebagai contoh: ‘Jadi, anda
telah bekerja pada tugas ini selama lima tahun. Berapa usia anda ketika anda
135
memulai di sini?’ memungkinkan pewawancara untuk menghitung usia seseorang
pada saat sekarang tanpa menanyakan secara langsung.
Gambaran lain tentang tipologi pertanyaan Patton adalah kerangka waktu
dari masing-masing pertanyaan. Sebuah pertanyaan dapat diberikan pada waktu
sekarang, yang lalu, atau akan datang. Jenis-jenis pertanyaan yang ditanyakan pada
kerangka waktu digambarkan oleh setiap pertanyaan akan ditentukan secara luas
oleh fokus penelitian.
Tipologi pertanyaan Patton nmemberikan suatu tempat yang bermanfaat
untuk memulai mengembangkan beberapa pertanyaan yang luas untuk suatu
pedoman wawancara atau merumuskan banyak pertanyaan yang meliputi jadwal
wawancara. Tipologi pertanyaan Patton secara khusus bermanfaat untuk hal yang
terakhir tersebut. Akan tetapi sebelum anda mempersiapkan suatu pedoman atau
jadwal wawancara, akan sangat membantu untuk berlatih mengembangkan
pertanyaan wawancara.
Pertanyaan wawancara yang bagus, seseorang yang akan menarik partisipan
wawancara ke dalam percakapan dan menghasilkan informasi yang bermanfaat,
dapat menantang untuk dikembangkan. Ada tiga perangkap utama yang dihadapi
oleh para peneliti pemula dalam mengembangkan pertanyaan untuk suatu
wawancara penelitian: pertanyaan tertutup, pertanyaan yang tidak jelas atau kabur
dan pertanyaan kompleks. Pertanyaan yang tertutup kadang-kadang terlihat seperti
suatu pertanyaan pilihan ganda, meminta partisipan untuk merespon pada
seperangkat respon yang telah disediakan. Pertanyaan, ‘Seberapa jauhkah program
akademis ini memenuhi kebutuhan anda?’ adalah sebuah pertanyaan tertutup,
mengarahkan individu untuk menjawab dalam beberapa variasi berikut ini:
(a) pada ukuran besar;
(b) pada beberapa ukuran;
(c) tidak sama sekali.
Jenis pertanyaan tertutup lainnya yang diidentifikasi oleh Patton adalah
pertanyaan yang dikhotomis, orang yang menggunakan kata-kata menggambarkan
bahwa suatu respon ‘ya’ atau ‘tidak’ yang diinginkan, seperti misalnya ‘Apakah
136
anda merasa puas terhadap dukungan akademis yang diberikan oleh sentra belajar di
sekolah tersebut?’ Pertanyaan tertutup dapat menghentikan percakapan kecuali jika
diikuti oleh pertanyaan atau pemeriksaan yang ada kaitannya.
Pertanyaan wawancara yang tidak jelas atau samar-samar cenderung
dihasilkan jika tujuan penelitian tidak jelas bagi peneliti. Suatu fokus penelitian
yang jelas adalah penting untuk kesempatan yang direncanakan terlebih dahulu dan
di tempat untuk mengumpulkan informasi. Sebagai tambahan cobalah pertanyaan
yang menarik bagi orang lain dan menanyakan untuk umpan balik yang terus terang
akan membantu anda memperjelas pertanyaan anda.
Perangkap yang ketiga dalam mengembangkan pertanyaan wawancara
membuatnya terlalu kompleks atau rumit. Masing-masing pertanyaan wawancara
harus merupakan satu pertanyaan tunggal, bukan serangkaian pertanyaan yang
mengelilingi di mana partisipan harus menyimpannya dalam pikiran. Pertanyaan
‘Bagaimana anda menangani pemecahan persoalan tersebut, dan bagaimana
perasaan anda tentang hasilnya?’ adalah suatu pertanyaan yang kompleks atau
rumit, yang dengan mudah dapat dibagi ke dalam dua pertanyaan. Para partisipan
penelitian anda akan menghargai kesederhanaan anda.
Tinjaulah kembali pertanyaan wawancara anda yang telah anda kembangkan
untuk latihan Penelitian. Apakah pertanyaan anda berkaitan dengan fokus
penelitian anda? Sudahkah anda mengidentifikasi secara jelas jenis pertanyaan-
pertanyaan yang telah anda kembangkan, dengan menggunakan tipologi Patton?
Sudahkan anda mengidentifikasi kerangka waktu dari masing-masing pertanyaan:
telah lalu (lampau), sekarang, yang akan datang? Apakah masing-masing
pertanyaan tertutup? Apakah makna dari masing-masing pertanyaan telah jelas?
Apakah masing-masing pertanyaan adalah pertanyaan tunggal? Dalam wawancara
kualitatif pembuatan kata-kata dalam pertanyaan mempengaruhi jenis respon atau
jawaban yang diberikan partisipan penelitian dan kekayaan dan kualitas dari
wawancara itu sendiri.
Membuat Draft Pedoman Wawancara dan Jadwal Wawancara
137
Dalam pembahasan kita tentang pengembangan wawancara, kita telah
menguji beberapa langkah penting: mengembangkan suatu fokus penelitian; urun
gagasan dan memperbaiki kategori penelitian; memutuskan pada suatu format,
apakah suatu pedoman atau suatu jadwal wawancara; dan mempersiapkan
pertanyaan wawancara. Dengan mempraktekkan pengembangan pertanyaan
wawancara, anda mungkin mempunyai idea yang lebih baik tentang format
wawancara mana yang akan anda pilih jika anda memang benar-benar berusaha
untuk mencari fokus penelitian. Jika kita kembali ke diagram prosedural yang
membuat garis besar tentang pengembangan wawancara, kita mengetahui bahwa
keputusan untuk mempersiapkan suatu pedoman wawancara berarti anda akan
menggunakan -kategori penelitian sebagai pedoman wawancara anda, atau anda
akan mengembangkan seperangkat kecil tentang pertanyaan terbuka yang luas,
berdasarkan pada kategori penelitian.
Jika anda memilih untuk mengembangkan suatu jadwal wawancara, dan
mengorganisirnya ke dalam suatu urutan yang berguna. Seperti yang kita bahas di
atas, secara khusus bermanfaat untuk menulis setiap pertanyaan yang potensial pada
selembar kertas atau kartu indek secara terpisah. Setiap pertanyaan pada pooling
anda tentang pertanyaan yang memungkinkan kemudian dapat dihilangkan atau
ditambahkan dengan mudah, dan pertanyaan yang telah diseleksi dapat diurutkan
dengan mudah di dalam kategori penelitian. Kategor penelitian itu sendiri
selanjutnya dapat ditempatkan di dalam suatu susunan yang masuk akal untuk
wawancara.
Patton (1990) menawarkan lagi beberapa saran yang sangat bermanfaat
tentang pembuatan pedoman wawancara. Satu, mulailah wawancara dengan
pertanyaan nonkontroversial yang dikerangkakan sekarang difokuskan pada
pengalaman atau perilaku para responden. Dua, simpanlah pertanyaan pengetahuan
yang mempunyai potensi menakutkan hingga beberapa hubungan telah terbentuk
dengan responden. Tiga, minimalkan jumlah pertanyaan tentang latar belakang dan
demografis, dan pisah-pisahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut di seluruh
wawancara tersebut secara tepat. Perhatian yang cermat untuk penyusunan
138
pertanyaan akan meningkatkan kecenderungan mengenai suatu wawancara
poduktif. Namun demikian, di dalam proses pelaksanaan wawancara penelitian
tidak ada pengganti untuk mengetahui pertanyaan wawancara anda dengan baik.
Urutan dari pertanyaan-pertanyaan sebenarnya ditentukan oleh responden, dan ini
merupakan tugas bagi pewawancara kualitatif untuk menjadi orang yang menguasai
dan responsif, untuk merasakan suatu saat yang tepat untuk mengajukan sebuah
pertanyaan, dan mengetahui kapan sebuah pertanyaan harus dijawab di luar urutan.
Dalam mempersiapkan draft pedoman wawancara, penting untuk memulai
wawancara dengan beberapa bentuk yang penting: perkenalan pribadi, pernyataan
tentang tujuan, termasuk apa yang akan dilakukan dengan hasil kajian tersebut;
pernyataan yang menunjukkan kerahasiaan dari wawancara tersebut; pernyataan
yang memperhatikan pada pembuatan catatan yang bisa berperanan selama
wawancara; permohonan ijin untuk merekam wawancara tersebut ke dalam tape;
harus mencari informasi yang memungkinkan; dan pernyataan yang memberikan
informasi kepada responden mengapa dia diwawancarai.
Menggunakan Pemeriksaan dalam Wawancara
Suatu keterampilan penting bagi para peneliti kualitatif adalah penggunaan
pertanyaan pemeriksaan atau pertanyaan lanjut (probes or follow-up questions)
dalam suatu wawancara penelitian. Untuk informasi lebih banyak tentang
pemeriksaan (probes), kita kembali lagi pada karya Patton. Dia mendefinisikan
suatu ’pemeriksaan’ sebagai ‘suatu alat wawancara yang digunakan untuk menggali
lebih mendalam ke dalam respon wawancara’ (1990:238). Karena tujuan
wawancara penelitian kualitatif adalah untuk memperoleh pemahaman yang dalam
tentang pengalaman dan perspektif responden, dengan menggunakan pemeriksaan
secara efektif merupakan suatu keterampilan penelitian kualitatif yang penting.
Dengan memeriksa lebih mendalam respon responden, kita agaknya menambahkan
pada kekayaan data, dan mengakhiri dengan suatu pemahaman yang lebih baik
tentang fenomena yang kita kaji.
139
Patton (1990) mengidentifikasi tiga jenis pemeriksaan: (1) pemeriksan yang
berorientasi-terinci; (2) pemeriksaan elaborasi (untuk mengerjakan secara teliti),
dan (3) pemeriksaan untuk klarifikasi. Ketiga jenis pemeriksaan tersebut akan
dijabarkan sebagai berikut:
1. Pemeriksan mendalam berorientasi terinci (detail-oriented probes).
Dalam percakapan biasa kita, kita saling menanyakan satu sama lain
untuk memperoleh lebih mendalam. Pertanyaan-pertanyaan follow-up jenis ini
dirancang untuk mengisi gambaran tentang apapun yang kita coba untuk
memahminya. Kita dengan mudah mengajukan pertanyaan jika kita benar-benar
ingin tahu secara jujur.
a. Siapakah yang bersama anda?
b. Bagaimanakah rasanya berada di sana?
c. Kemana anda pergi setelah itu?
d. Kapankah hal tersebut terjadi pada kehidupan anda?
e. Bagaimanakah usaha anda untuk mengatasi situasi tersebut?
2. Pemeriksaan elaborasi.
Jenis pemeriksaan lain dirancang untuk mendorong responden untuk
menceritakan lebih banyak lagi kepada kita. Kita menunjukkan keinginan kita
untuk mengetahui lebih banyak tentang hal-hal seperti misalnya
menganggukkan kepala ketika orang berbicara, seringkali bersuara dengan
lembut ‘un-huh’, dan kadang-kadang hanya diam diri saja tetapi penuh
perhatian. Kita juga dapat menanyakan kepada responden untuk terus berbicara.
a. Ceriterakan lebih banyak tentang hal tersebut.
b. Dapatkah anda memberikan contoh kepada saya tentang apa yang anda
katakan?
c. Saya kira saya memahami tentang apa yang anda maksud.
d. Ceriterakan lebih banyak tentang hal tersebut, maukah anda?
e. Saya ingin mendengarkan anda lebih banyak berbicara tentang hal tersebut.
140
f. Ini sangat membantu. Dapatkah anda mengatakan sedikit lebih banyak
tentang hal tersebut?
3. Pemeriksaan untuk klarifikasi.
Agaknya ada kalanya dalam suatu wawancara ketika pewawancara tidak
yakin tentang apa yang dikatakan oleh responden, apa yang dia maksud. Dalam
situasi seperti ini seorang pewawancara dengan sopan meminta klarifikasi,
meyakinkan untuk berkomunikasi bahwa ini merupakan kesulitan bagi
pewawancara dalam memahami dan bukan kesalahan responden.
a. Saya tidak yakin memahami apa maksud anda?. Dapatkah anda membantu
saya untuk mehamai apa maksudnya?
b. Saya merasa kesulitan untuk memahami persoalan yang telah anda
gambarkan. Dapatkah anda menceritakan sedikit lebih banyak tentang hal
tersebut?
c. Saya ingin meyakinkan bahwa saya memahami apa maksud anda. Maukah
anda menggambarkannya lagi untuk saya?
d. Maaf. Saya tidak begitu mengerti. Ceritakan lagi, maukah anda?
Anda dapat menjadi terampil untuk menggunakan pemeriksaan dengan
menyadari tentang manfaat anda bagi mereka dalam percakapan sehari-hari dan
juga dengan melatih untuk menggunakannya dalam situasi yang lebih formal.
Rekamlah wawancara tersebut ke dalam tape recorder dan mainkan kembali untuk
menguji manfat pemeriksan anda adalah merupakan teknik pembentukan
keterampilan yang sangat bermanfaat. Hanya dengan mendengarkan pemeriksaan
yang berbeda bahwa anda dapat menggunakan dalam suatu wawancara yang
sebenarnya benar-benar sangat bermanfaat. Anda mungkin juga ingin menulis
dalam pemeriksaan yang mungkin pada pedoman atau jadwal wawancara yang
dapat anda gunakan dalam wawancara sebenarnya.
Konteks Wawancara
141
Di mana sebaiknya peneliti melakukan wawancara? Pertanyaan ini penting
mengingat tempat di mana peneliti melakukan wawancara sangat mempengaruhi
hasil wawancara (data). Dalam hal ini peneliti sebaiknya tidak menentukan sendiri
di mana sebaiknya wawancara dilakukan. Peneliti jangan segan-segan untuk
menawarkan pada responden di mana sebaiknya wawancara dilakukan. Tempat
wawancara yang baik adalah yang dipilih oleh responden sendiri, bukan yang
nyaman menurut selera peneliti. Usahakan informan sendiri yang menentukan atau
disepakati bersama. Melakukan wawancara di kantor pribadi bisa jadi kurang
nyaman karena suasana yang biasanya ramai dan relatif banyak gangguan.
Seringkali wawancara terjadi di lingkungan rumah anggota (informan) sehingga dia
merasa nyaman. Tatapi hal ini tidak senantiasa menjadi yang terbaik. Apabila
anggota tidak merasa nyaman (no privacy), peneliti pindah ke tempat lain (Neuman,
2000:375).
Tempat yang nyaman memberikan keleluasaan bagi informan untuk
menyampaikan secara lebih bebas dan terbuka berbagai informasi atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti. Dengan demikian informasi atau data
yang diperoleh lebih terjamin keakuratannya.
C. Observasi Observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian
apapun, termasuk penelitian kualitatif, dan digunakan untuk memperoleh informasi
atau data sebagaimana tujuan penelitian. Istilah observasi dalam penelitian
kuantitatif biasanya hanya dikenal dengan satu sebutan saja, yakni teknik observasi
(pengamatan). Sedangkan dalam penelitian kualitatif ada beberapa tipe observasi
sebagaimana akan dijabarkan dalam uraian mendatang. Istilah observasi, di mana
sebagian besar ilmuwan sosial memaknakan observasi partisipan, telah menjadi
sinonim dengan penelitian lapangan (Williamson, Karp, dan Dalpin, 1977:199),
kerja lapangan, atau observasi tidak terkontrol, observasi partisipan dan
nonpartisipan (Guban dan Lincoln, 1981:189).
142
Tujuan data observasi adalah untuk mendeskripsikan latar yang diobservasi;
kegiatan-kegiatan yang terjadi di latar itu; orang-orang yang berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan; dan makna latar, kegiatan-kegiatan, dan partisipasi mereka dalam
orang-orangnya (Patton, 1980:124).
Ada banyak alasan yang baik untuk mempergunakan teknik-teknik observasi
dalam penelitian; misalnya, teknik ini dibangun atas pengalaman langsung (direct
experinence). Douglas (1976) membuat pernyataan bahwa di dalam kehidupan
sehari-hari orang-orang menggunakan tes-tes kebenaran yang beragam tetapi yang
paling penting dari tes-tes ini adalah pengalaman langsung. Kami menggunakan
pengalaman langsung tentang sesuatu. “Melihat adalah percaya.” “Pengalaman
adalah guru terbaik.” Pengalaman langsung tampak menjadi tes kebenaran yang
paling dapat menembus, paling mendasar; pengalaman personal yang langsung
paling dapat dipercaya pada setiap orang. Teknik observasi memungkinkan untuk
merekam perilaku atau peristiwa ketika perilaku dan peristiwa itu terjadi. Selltiz
(1959) menjelaskan bahwa asset utama observasi itu adalah memungkinkannya
untuk merekam perilaku ketika terjadi.
Kualitas simultanitas, kualitas “saya di sana,” merupakan persuasi yang
sangat besar bukan hanya pada pengamat tetapi juga orang-orang lain pada siapa
pengamat itu melaporkan hasil observasi. Lebih dari itu, teknik observasi membuat
kemungkinan untuk membangun dalil (propositional) dan pengetahuan tak
terucapkan (tacit knowledge). Kemungkinan utama peneliti menjadi instrumennya
sendiri adalah kemampuannya untuk menggunakan pemahaman tak terucapkan dan
dalil-dalil suatu situasi. Observasi sebagai teknik tidak diragukan lagi memberikan
rentangan yang paling luas tentang input (data) yang dapat diinterpretasikan oleh
peneliti yang sedang menggunakan basis pengetahuan yang tak terucapkan.
Selanjutnya McCall dan Simmons (1969) menegaskan bahwa teknik-teknik
observasi diadaptasi dengan baik untuk memaksimalkan penemuan dan deskripsi.
Tentu ini merupakan asset yang memberikan keuntungan khusus ketika
tidak ada teori a priori untuk membimbing observasi. Dibandingkan dengan teknik-
teknik lainnya dalam pengumpulan data pada umumnya, kerjasama aktif subjek
143
diperlukan; misalnya, ia harus mengisi questionnaire atau merespon pertanyaan.
Tetapi observasi dapat dalam banyak hal dilakukan tanpa kerjasama yang demikian,
dan sungguh, bahkan tanpa pengetahuan subjek observasi dapat berlangsung.
Teknik-teknik observasi juga meningkatkan kemampuan peneliti untuk memahami
situasi-situasi yang rumit. Yang terakhir, bahwa teknik-teknik observasi
memungkinkan pengumpulan data dalam hal-hal di mana bentuk-bentuk
komunikasi lainnya tidak mungkin bisa melakukan. Dalam penelitian di mana
subjek baik yang tidak bisa berbicara – bayi, misalnya, atau anak-anak yang cacat –
atau tidak mau berbicara, misalnya, yang tidak percaya pada pengamat dan anti
usaha penelitiannya – metode observasi memungkinkan paling tidak beberapa
kesempatan untuk melakukan studi tanpa kerjasama aktif subjek. Lagi pula, aspek-
aspek etika dalam observasi itu harus dipertimbangkan.
Tentang penggunaan teknik observasi kadang-kadang orang-orang belum
memahami apakah teknik itu digunakan secara tunggal atau dapat digunakan
dengan teknik-teknik lainnya. Dalam penelitian kualitatif teknik observasi biasa
digunakan bersamaan dengan teknik wawancara mendalam (deep interview). Kedua
teknik ini merupakan teknik-teknik utama. Seperti dikatakan Strauss (1990: 18)
bahwa beberapa peneliti mengumpulkan data dengan alat wawancara dan observasi
—teknik-teknik yang biasanya berkaitan dengan metode kualitatif. Para pekerja
lapangan anthropologi mengkombinasikan data catatan lapangan dari observasi
saksi mata personal dengan informasi yang diperoleh dari wawancara alamiah
informal dan deskripsi informan (Pelto and Pelto, 1978:5). Namun demikian tidak
melepas juga penggunaan teknik analisa dokumentasi; hanya saja fungsinya lebih
sebagai pelengkap data yang diperoleh khususnya melalui teknik wawancara
mendalam
Observasi Partisipan
Bagian ini akan menjelaskan secara khusus mengenai observasi partisipan.
Dalam uraian di atas telah dikemukakan antara lain tentang definisi umum
observasi, alasan penggunaan maupun beberapa jenis observasi. Menurut Becker
144
dan Geer (dalam Patton, 1980:30) bahwa observasi partisipan adalah yang paling
komprehensif dari semua tipe strategi penelitian. Dengan observasi partisipan ini
peneliti dapat memahami lebih dalam tentang fenomena (perilaku atau peristiwa)
yang terjadi di lapangan.
Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan observasi partisipan sebagai
suatu periode interaksi sosial yang intensif antara peneliti dan subjek dalam suatu
lingkungan tertentu. Observasi partisipan dipakai untuk menunjuk kepada penelitian
yang bercirikan suatu periode interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan
subjeknya, di dalam lingkungan subjek itu. Hartouse Powdermaker menggambarkan
asumsi dasar mengenai observasi partisipan: Untuk memahami suatu masyarakat,
ahli anthropologi telah membenamkan dirinya ke dalam masyarakat itu, sejauh
mungkin, berpikir, melihat, merasa dan kadang-kadang bertindak sebagai anggota
ahli anthropologi yang terlatih dari budaya yang lain (Powdermaker, 1967:9).
Pengamat partisipan terlibat sepenuhnya dalam mengalami latar di bawah studi
sementara pada waktu yag sama mencoba untuk memahami latar itu melalui
pengalaman seseorang, mengobservasi dan wawancara dengan partisipan lain
tentang apa yang sedang terjadi (Patton: 1980:127). McCall dan Simmons (dalam
Bogdan dan Taylor, 1975) juga menegaskan bahwa pengamat menenggelamkan diri
dalam kehidupan orang-orang dan situasi yang ingin dimengerti. Ia berbicara,
bergurau, bersatu rasa (empati) dengan mereka, dan ikut menghayati kehidupan
serta pengalaman mereka. Kontak yang berlangsung lama di tempat itu
memungkinkan pengamat melihat dinamika konflik dan perubahan, sehingga ia
dapat melihat susunan, hubungan, serta definisi kelompok dan individu yang sedang
berkembang. Oleh karena itu, dibandingkan dengan praktisi metodologi lainnya, ia
memperoleh keuntungan yang unik.
Dalam pelaksanaannya, observasi partisipan seringkali digunakan bersama
teknik wawancara, bahkan juga analisa dokumen. Observasi partisipan memerlukan
suatu kombinasi dan wawancara informal. Ini penting, sehingga pengamat …tidak
membuat asumsi tentang makna mengenai apa yang mereka observasi tanpa
memasukkan persepsi-persepsi partisipan tentang perilaku mereka sendiri (Patton,
145
1980:145). Denzin juga mengungkapkan hal yang senada, bahwa observasi
partisipan adalah suatu strategi lapangan yang menyangkut banyak hal yakni
mengkombinasikan secara simultan analisa dokumen, wawancara responden dan
informan, observasi partisipan langsung serta introspeksi (Denzin, 1978:183).
Secara historis adalah para anthropolog budaya yang telah mengembangkan
dan memperbaiki metode pengumpulan data kualitatif yang disebut observasi
partisipan. Para anthropolog budaya yang terkenal seperti Margaret Mead dan Ruth
Benedict telah berusaha untuk memahami kehidupan orang-orang dengan istilah-
istilah mereka sendiri dengan memakan waktu yang sangat lama dengan orang-
orang yang hidup di latar alami di mana mereka tinggal. Usaha-usaha para
anthropolog tersebut dengan menggambarkan kultur aspek-aspek kultur yang
disebut ethnografi, dan berbagai perhitungan ethnografis tentang kehidupan orang-
orang di tempat-tempat, iklim-iklim, dan tahap-tahap perkembangan yang berbeda-
beda (Boas, 1911; Malinoswki, 1932; Mead, 1960).
Observasi partisipan juga mempunyai tradisi yang kaya dalam sosiologi dan
pendidikan. Yang lebih baru lagi Robert Coles (1989) John Holt (1964, 1967), dan
Jonathan Kozol (1986) telah memberikan penjelasan tentang perhitungan
pengalaman sekolah para siswa dan menemukan cara pada reformasi-reformasi
pendidikan yang penting. Dari para ahli ethnografi inilah kita telah mempelajari
untuk menjadi seorang pengamat partisipan.
Pengamat partisipan berusaha untuk masuk ke dalam kehidupan orang-orang
lain, mendiami, menurut istilah Polanyi, menghentikan sementara sebanyak
mungkin cara-cara mereka sendiri untuk memandang dunia. Dalam arti yang luas,
pengamat partisipan mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang sedang terjadi di
sini? Apa yang penting di dalam kehidupan orang-orang di sini? Bagaimanakah
mereka akan menggambarkan kehidupan mereka dan bahasa apakah yang akan
mereka gunakan untuk melakukannya? Tugasnya adalah mendengarkan dengan
sungguh-sungguh dan mengamati dengan cermat tentang apa yang sedang terjadi di
antara orang-orang di dalam suatu situasi atau organisasi atau budaya tertentu dalam
146
suatu usaha untuk memahami secara lebih mendalam tentang hal-hal tersebut dan
tentang orang-orang tersebut.
Dengan berdasarkan lagi pada disain penelitian ‘darurat’, pengamat
partisipan memulai dengan suatu fokus penelitian yang luas dan melalui proses
yang sedang berlangsung tentang mengamati dan berpartisipasi di dalam latar,
mencatat apa yang sia lihat dan dengar, dan menganalisa data, aspek-aspek yang
menonjol dari latar yang muncul. Observasi secara berurutan diarahkan dengan
penemuan awal.
Observasi partisipan merupakan metode pengumpulan data yang sangat
memerlukan ketrampilan tertentu bagi peneliti kualitatif. Seperti yang dicatat oleh
Norman Denzin (1978), observasi partisipan ‘secara bersamaan menggabungkan
analisa dokumen, observasi responden dan informan, partisipasi dan observasi
langsung, serta introspeksi’. Sebagai tambahan, dengan memperoleh akses pada
latar yang ingin kita kaji seringkali memerlukan taktik dan ketangguhan. Dengan
berada di dalam dan di luar latar juga sambil mengamatinya, memperluas
ketrampilan-ketrampilan antar pribadi dan pemrosesan informasi. Dan keterlibatan
yang diperpanjang, selama berpekan-pekan atau berbulan-bulan, perlu memahami
orang-orang lain dalam konteks beban-beban enerji dan meskipun bagi para peneliti
yang paling berpengalaman. Namun demikian, memungkinkan untuk
menggambarkan banyak ketrampilan yang mungkin telah anda miliki untuk
mengembangkan ketrampilan anda sebagai seorang pengamat partisipan (Maykut,
1994:69-70).
Jenis Partisipasi
Tentang jenis partisipasi dalam penelitian kualitatif dikemukakan oleh
beberapa ahli penelitian kualitatif yang antara lain sebagaimana dalam uraian
berikut berikut.
Patton (1980:130) menyatakan bahwa suatu hal yang utama tentang validitas
dan reliabilitas tentang data observasi berkenaan dengan efek-efek dari pengamat
147
tentang apa yang diamati. Pengertian dasar di sini ialah bahwa orang-orang
mungkin berperilaku sangat berbeda jika mereka mengetahui bahwa mereka diamati
dibandingkan dengan bagaimana mereka berperilaku jika mereka tidak menyadari
bahwa mereka diamati. Jadi, argumentasi terus berjalan, observasi terbuka lebih
cenderung menangkap apa yang sebenarnya terjadi dibandingkan dengan observasi
terbuka atau terang-terangan di mana orang-orang di dalam latar menyadari bahwa
mereka dikaji.
Ada suatu tingkatan sepenuhnya tentang pendapat-pendapat yang berkenaan
dengan etika dan moralitas tentang pelaksanaan penelitian terbuka. Pada ujung akhir
dari ‘kontinuum’ (rangkaian kesatuan) adalah oposisi absolut oleh Edward Shils
(1959) pada semua bentuk penelitian terbuka. Dia menentang “observasi perilaku
pribadi, namun demikian kelayakan secara teknis, tanpa ijin eksplisit dan
sepenuhnya diinformasikan dari orang yang diamati”; dia membantah bahwa
seharusnya ada penyingkapan penuh tentang tujuan dari setiap proyek penelitian,
dan membantah bahwa bahkan teknik dari observasi partisipan adalah “tidak layak
secara moral ….. manipulasi” kecuali jika pengamat membuat pertanyaan-
pertanyaan secara eksplisit pada permulaan dari observasi tersebut (Shils, 1959;
dikutip dalam Webb et al., 1966:vi).
Pada ujung kontinuum lainnya adalah pendekatan “penelitian sosial
investigatif” dari Jack Dougklas (1976). Douglas membantah bahwa metode-
metode bidang anthropologis konvensional telah didasarkan pada suatu pandangan
konsensus tentang masyarakat yang berasumsi bahwa orang-orang pada dasarnya
adalah kooperatif dan suka membantu serta bersedia untuk memiliki sudut
pandangan mereka dipahami dan berbagi dengan isi dunia lainnya, berbeda dengan
model konsensus, Douglas menggunakan suatu paradigma konflik dari masyarakat
yang mengarahkannya untuk percaya bahwa setiap dan semua metode penelitian
tersamar harus dianggap merupakan pilihan dapat diterima dalam suatu usaha
mencari kebenaran.
Paradigma investigatif didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan perbedaan
minat, nilai, dan tindakan yang menonjol yang mencakup kehidupan sosial. Dijamin
148
bahwa banyak orang yang dimaksud, mungkin semua orang pada hakekatnya,
mempunyai alasan yang baik untuk menyembunyikan tentang apa yang sedang
dilakukannya dan bahkan berbohong kepada mereka. Disamping percaya kepada
orang-orang dan mengharapkan kepercayaan pada gilirannya, orang mencurigai
orang-orang lain dan mengharapkan mencurigai mereka. Konflik adalah realita
kehidupan; rasa curiga adalah mengarahkan pada prinsip … Ini adalah perang dari
semua pihak terhadap semua pihak dan tidak ada yang memberikan kepada setiap
orang sesuatu bukan untuk apa-apa, khususnya kepercayaan.
Semua orang dewasa yang berkompetensi diasumsikan mengetahui bahwa
setidak-tidaknya terdapat empat persoalan utama terletak pada cara untuk sampai
pada realita dengan menanyakan kepada orang tentang apa yang sedang terjadi dan
bahwa persoalan ini harus ditangani jika orang harus menghindarkan untuk diambil,
dikorbankan, ditertibkan, digunakan, dipakai, dibodohkan, ditipu, dan lain
sebagainya. Keempat persoalan tersebut adalah (1) misinformasi; (2)
penyingkiran; (3) berbohong; (4) dihadapi (Douglas, 1976:55, 57).
Hanya sebagai partisipan bukan merupakan suatu pernyataan di dalam suatu
penelitian observasional, observasi dan tujuan dari penelitian tersebut bukan suatu
pernyataan juga. Ukuran di mana partisipasi di dalam suatu program yang dikaji,
jadi pertanyaan tentang seberapa eksplisitkah diinformasikan bahwa mereka diamati
dan diberitahu tujuan penelitian beragam dari penyingkapan sepenuhnya hingga
tidak dan penyingkapan, dengan banyaknya variasi sepanjang pertengahan dari
kontinuum ini. Buford Junker (dalam Patton, 1980:131-132) mengembangkan suatu
tipologi tentang observasi partisipan yang menggambarkan empat poin sepanjang
kontinum ini:
1. Partisipasi Lengkap.
Dalam peranan ini, kegiatan-kegiatan pengamat seperti seperti itu adalah seluruhnya tersembunyi. Pekerja lapangan tersebut adalah atau menjadi seorang anggota lengkap dari suatu kelompok-dalam, dengan demikian berbagi informasi rahasia yang dijaga dari pihak-pihak luar. Kebebasan petugas lapangan untuk mengamati di luar sistem hubungan-hubungan kelompok-dalam mungkin sangat terbatas sekali, dan dalam suatu peranan seperti itu cenderung menutup persepsi tentang bekerja mengenai reaksi berbalasan antara
149
kelompok-dalam dan sistem sosial yang lebih besar, juga tidak mudah untuk beralih dari peran ini ke peran lain memungkinkan observasi secara mendetil tentang sistem yang lebih besar.
1. Partisipan sebagai Pengamat.
Pada peranan ini, kegiatan-kegiatan pengamat petugas lapangan tidak seluruhnya tersembunyi, tetapi “tertutup di bawah selubung” sedemikian rupa, atau terlihat kurang penting pada kegiatan-kegiatan sebagai partisipan, kegiatan-kegiatan yang memberikan kepada orang-orang dalam situasi itu dasar-dasar utama mereka untuk mengevaluasi para petugas lapangan dalam peranan mereka. Peranan ini mungkin membatasi akses pada beberapa jenis informasi, mungkin khususnya pada tingkat rahasia; tepatnya bagaimana dia “merangking” sebagai seorang “Anggota dari Pernikahan” semu akan berpengaruh terhadap kemampuan para petugas lapangan untuk mengkomunikasikan di bawah tingkat informasi publik.
1. Pengamat sebagai Partisipan.
Ini merupakan peranan di mana kegiatan-kegiatan pengamat seperti itu diketahui secara umum pada permulaannya, adalah lebih kurang disponsori secara publik oleh orang-orang di dalam situasi yang dikaji, dan secara sengaja tidak “tertutup di bawah selubung”. Peranan tersebut bisa memberikan akses pada informasi yang sangat luas dan bahkan rahasia bisa diberikan kepada petugas lapangan ketika dia semakin diketahui untuk menyimpannya, serta untuk menjaga informasi dapat dipercaya. Pada peranan ini para ilmuwan sosial bisa memperoleh kebebasan maksimal yang dapat dilihat untuk mengumpulkan informasi tetapi hanya pada harga menerima hambatan-hambatan maksimal terhadap pelaporannya.
1. Pengamat yang Lengkap.
Ini menggambarkan luasnya peranan di mana, pada satu ekstrim, pengamat bersembunyi di balik cermin satu sisi, mungkin dilengkapi dengan fasilitas film suara, dan pada ekstrim yang lainnya, kegiatan-kegiatannya secara lengkap adalah umum atau publik, dengan konsensus, “tidak ada rahasia” dan “tidak ada yang disakralkan” (Junker, 1960:35-38).
Di dalam kerja lapangan tradisional untuk tujuan penelitian dasar, keputusan tentang sejauh mana observasi akan tersamar dibuat di dalam konteks usaha peneliti untuk memperoleh kebenaran. Peneliti itu sendiri menanggung tanggung jawab untuk memutuskan bagaimana kebenaran ilmiah dapat diperoleh dengan sebaik-baiknya (Patton, 1980:132).
Spradley (1980:58) menyatakan bahwa setiap survei tentang pengamat partisipan menyatakan perbedaan besar tentang daya dari penelitian mereka. Salah satu perbedaan penting ialah tingkat dari keterlibatan mereka, baik dengan orang-orang ataupun di dalam
150
kegiatan-kegiatan yang mereka amati. Selanjutnya dia menjelaskan lima jenis partisipasi yang berkisar sepanjang kontinuum keterlibatan, yang meliputi: (1) nonpartisipasi, (2) partisipasi pasif, (3)partisipasi moderat, (4) partisipasi aktif, dan (5) partisipasi lengkap. Kelima jenis partisipasi tersebut dijelaskan dalam uraian berikut.
NonpartisipasiSeorang pengamat bisa melakukan pengumpulan data tanpa harus melibatkan diri langsung ke dalam situasi di mana peristiwa itu berlangsung, melainkan dengan menggunakan media tertentu (misalnya, elektronik). Cara yang demikian itu disebut sebagai nonpartisipasi. Tentu penggunaan nonpartisipasi itu karena alasan-alasan atau tujuan tertentu. Kadang-kadang jenis penelitian ini bisa dilaksanakan oleh orang yang sangat pemalu yang senang melaksanakan bidang ethnografis tetapi ingin menghindarkan keterlibatan. Kadang-kadang suatu situasi sosial khusus tidak memungkinkan untuk semua partisipasi, tetapi akan memungkinkan untuk mengadakan penelitian.
Menonton televisi memberikan kesempatan lain bagi nonpartisipan untuk melakukan observasi. Sebagai contoh, jenis perogram yang sedikit kurang “dipanggungkan” yang memberikan kemungkinan pengamat, seperti permainan sepak bola. Atau juga pada petistiwa insidental di mana tidak memungkinkan pengamat terjun di lokasi di mana peristiwa berlangsung, misalnya bagaimana perilaku para calon presiden pada waktu mereka hadir di pasar, pabrik, lokasi pengungsian dan lain sebagainya dalam rangka memperoleh simpatik masyarakat. Dengan menonton berbagai permainan yang ditelevisikan, seorang pengamat dapat memperoleh tidak hanya peraturan eksplisit bagi permainan tersebut tetapi juga peraturan yang tidak diucapkan untuk mengenakan seragam, menampilkan permainan separuh waktu, mengkomunikasikan secara tidak verbal, memperlihatkan rasa tertarik bagi anggota tim lainnya, dan bahkan bagaimana berperilaku sebagai seorang pengamat olah raga. Kartoon anak, iklan komersial, reporter berita, dan seluruh rangkaian program-program yang memberikan kesempatan lain bagi kajian ethnografis tanpa adanya keterlibatan
Adanya aturan-aturan dari pihak pemegang kekuasaan atau pimpinan yang tidak memungkinkan pengamat berpartisipasi di dalamnya, memungkinkan pengamat mengumpulkan data melalui media elektronik (televisi), seperti tayangan (langsung) sidang tahunan atau sidang istimewa DPR, di mana kita dapat mengetahui bagaimana suasana sidang, bagaimana perilaku anggota sidang saat mereka mengikuti berlangsungnya sidang baik cara mereka mengajukan pertanyaan maupun saat memberikan komentar atau tanggapan terhadap laporan-laporan tertentu, dan bentuk-bentuk perilaku lainnya.
Partisipasi PasifPara pengamat yang terlibat di dalam partisipasi hadir pada saat tampilan tindakan tetapi tidak berpartisipasi atau berinteraksi dengan orang-orang lain pada ukuran tertentu. Tentang
151
segala hal yang perlu anda lakukan ialah mendapatkan suatu “paska observasi” dari mana untuk mengamati dan merekam apa yang sedang berlangsung. Jika partisipan pasif menduduki peranan di dalam situasi sosial, itu hanya merupakan “orang yang berdiri di dekatnya”, “penonton atau pemerhati”, atau “orang yang luntang-lantung”. Misalnya, observasi terhadap suasana dan perilaku (interaksi) pedagang dan pembeli pada saat melakukan tawar-menawar jual-beli di pasar. Pengamat mengambil posisi di dekat mereka atau jalan-jalan di sekitarnya sambil mendengarkan pembicaraannya, melihat rawut muka atu penampilan fisiknya dan wujud barang-barang yang ditawarkan sambil lalu melakukan pertanyaan-pertanyaan tertentu baik pada pembeli atau pada penjual.
Observasi partisipan di tempat-tempat umum sering dimulai dengan jenis sikap teguh seperti ini. Saya menghabiskan waktu beberapa jam sebagai penonton di Pengadilan Kriminal Seattle mengamati pemabuk, karyawan pengadilan, penonton lainnya. Untuk memulai dengan tidak ada orang yang mengetahui tentang identitas saya atau apa yang sedang saya lakukan. Selanjutnya, saya mulai lebih aktif dan mewawancarai hakim, berbicara dengan para pegawai, dan mengembangkan hubungan-hubungan yang aktif dengan banyak orang yang muncul di pengadilan tentang bahan pembicaran pemabuk (Spradley, 1970).
Kita dapat menyimpulkan banyak sekali tentang peraturan kultural yang diikuti oleh orang-orang dari sudut yang menguntungkan bagi seorang partisipan pasif. Jika anda berdiri di luar jendela dari sebuah rumah sakit anak-anak dan mengamati para perawat dan bayi, anda akan memperhatikan pola perilaku kultural – cara memegang bayi, berapa lama boleh menangis, dan pola mengubah dan memberi makan/minum mereka. Di latar atau tempat-tempat ini anda diharuskan untuk tetap berada di luar jendela anak-anak tersebut, tetapi di banyak situasi kita dapat segera pindah dari partisipan pasif ke yang lebih banyak keterlibatan.
Perhatikan contoh lainnya tentang partisipasi pasif. Pada kajiannya tentang kelas-kelas ballet, Hall (1976) menerima ijin untuk mengadakan observasi di enam studio ballet. Dia telah mengambil pelajaran sendiri selama enam belas tahun pada masa sebelumnya dari kehidupannya tetapi memutuskan untuk mengamati untuk tujuan-tujuan pengamat. Dia mengunjungi kelas-kelas yang telah lanjut di setiap studio selama tiga pekan, kemudian menentukan untuk mengamati tiga kelas di satu studio selama dua bulan. Dia tidak masuk ke dalam kegiatan kelas tetapi mengambil tempat di dekatnya mengamati dan membuat catatan. Dari pengalaman sebelumnya sebagai seorang partisipan biasa, dia pindah ke mengamati dengan cara pasif ini. Selanjutnya dia mewawancarai sepuluh orang anggota dari sebuah kelas lanjut untuk melengkapi observasinya.
Partisipasi Moderat
Meningkatkan skala keterlibatan kita sampai pada gaya penelitian yang digambarkan telah digambarkan sebelumnya pada bab ini. Partisipasi moderat terjadi bila ahli ethnografi berusaha untuk memelihara suatu keseimbangan antara menjadi seorang dalam dan orang
152
luar, antara partisipasi dan pengamat. Kajian Sander tentang para pemain “jackpot” atau “pinball” (1973) merupakan salah satu contoh yang bagus dari partisipasi moderat. Dia masuk ke daerah ‘West Coast’ pool hall sebagai seorang “lontang lantung” dan “penonton permainan”, dua peran yang dia amati dapat diterima di tempat ini. Dari permulaan dia membuat catatan dengan hati-hati, merekamnya setelah kembali dari suatu perjalanan. Pada waktu dia memainkan mesin tersebut, bahkan mengembangkan kecenderungan khusus seperti yang dimainkan oleh para pemain reguler, tetapi dia tidak pernah memperoleh ketrampilan atau status dari seorang reguler.
Partisipasi Aktif
Partisipan aktif berusaha melakukan apa yang dilakukan orang lain, tetapi pada belajar yang lebih penuh peraturan atau perilaku kultural. Partisipasi aktif dimulai dengan observasi, tetapi ketika pengetahuan tentang apa yang dilakukan orang lain tumbuh, ahli ethnografi tersebut berusaha untuk mempelajari perilaku yang sama. Richard Nelson berusaha untuk menjadi seorang partisipan aktif selama penelitiannya di antar0a orang-orang Eskimo. Dia menulis: Metode utama dari pengumpulan data di seluruh kajian ini didasarkan pada observasi. Tetapi observasi tentang suatu hakekat khusus. Ini bukan “observasi partisipan” dalam arti bahwa sebagian besar anthropolog menggunakan istilah tersebut. Ini melibatkan lebih dari hidup di dalam sebuah komunitas dan berpartisipasi di dalam kehidupan sehari-hari hanya dalam ukuran bahwa seseorang selalu berada di sana untuk melihat apa yang sedang terjadi. Jenis observasi ini tanpa benar-benar terlibat sebagai bagian dari kegiatan atau interaksi yang bisa diistilahkan dengan partisipasi pasif.
Kajian sekarang ini menggunakan sebuah teknik yang saya pilih untuk disebut partisipasi “aktif” atau “penuh”. Artinya bahwa agar dapat mendokumentasikan teknik-teknik berburu dan mengadakan perjalanan di mana pengamat berusaha untuk mempelajari dan menguasainya sendiri – berpartisipasi di dalamnya pada ukuran sepenuhnya.
Jika partisipasi sepenuhnya digunakan untuk mendokumentasikan suatu teknik seperti misalnya suatu metode “/berburu”, pengamat harus belajar melakukannya sendiri dengan sekurang-kurangnya kemampuan miniml yang perlu untuk berhasil. Dalam arti, dia mengamati orang-orang lain dan belajar dari mereka, tetapi dia belajar mengamati sendiri juga. (1969:394).
Meskipun partisipasi aktif merupakan suatu teknik yang benar-benar bermanfaat, tidak semua situasi sosial memberikan kesempatan yang sama seperti yang dilakukan orang Eskimo berburu anjing laut. Pengamat belajar membuka pembedahan jantung di rumah sakit atau tarian para penari ballet profesional bisa mengalami kesulitan untuk melaksanakan kegiatan yang sama seperti mereka melakukan dengan pembedahan atau dengan cara menari ballet. Sebagian besar para ahli ethnografi dapat memperoleh beberapa bidang dalam penelitian mereka di mana partisipasi aktif adalah layak dan bahkan penggunaan yang terbatas dari teknik ini akan memberikan kontribusi pada pemahaman yang lebih bersar.
153
Partisipasi LengkapTingkat keterlibatan yang tertinggi bagi pengamat mungkin ada ketika mereka mengkaji suatu situasi di mana mereka telah menjadi para partisipan biasa. Nash (1975) naik bus setiap hari ke Universitas Tulsa dan memutuskan untuk melakukan ethnografi untuk para penumpang bus. Dia adalah seorang partisipan yang lengkap, telah mempelajari peraturan untuk menumpang bus, dan hanya mulai untuk mengadakan observasi sistematis selama proses kegiatannya lengkap setiap hari. Dalam kajian ethnografis lainnya, Nash (1977) memanfaatkan keterlibatannya lengkap dalam perjalanan yang berjarak cukup jauh untuk melakukan ethnografi dari para penumpang bus tersebut. Dia merupakan seorang partisipan yang lengkap, telah belajar tentang pergi ke rumah sakit karena, dengan cepat setelah menyelesaikan pekerjaan sarjana, dia menjadi seorang pasien. Becker mengkaji para musisi jazz, dan menulis: Saya mengumpulkan bahan untuk kajin ini dengan observasi partisipan, dengan berpartisipasi dengan para musisi pada berbagai situasi yang meningkatkan pekerjaannya dan kehidupan waktu luangnya. Pada waktu yang sama saya melakukan kajian tersebut. Saya telah memainkan piano secara profesional selama beberapa tahun dan aktif dalam lingkaran musik di Chicago (1963:83-84).
Contoh-contoh dari para pengamat tersebut yang telah mengubah situasi biasa di mana mereka merupakan anggota ke dalam latar penelitian dapat terus berjalan. Memang, dalam sebuah artikel yang mengagumkan, “Berbagai Penelitian tentang kesempatan”, Reiner (1977) meninjau kembali berbagai kajian yang berdasarkan pada keterlibatan lengkap oleh para anthropolog dan para sosiolog, meliputi rumah tangga di kota kecil, sopir taksi, bar, departemen kepolisian, kegiatan para tawanan perang, suatu klinik penyembuhan tulang punggung, balap mobil/motor, karnaval, dan bahkan Akademi Penjaga Pantai. Pengamat permulaan mungkin ingin mengikuti contoh-contoh ini dan mencari kesempatan yang sangat dekat. Saya ingin memberikan satu kalimat peringatan: semakin banyak anda mengetahui tentang suatu situasi sebagai seorang partisipan biasa, semakin sulit untuk mengkajinya sebagai seorang pengamat. Tidak ada bukti bahwa pengamat dilahirkan dan dikembangkan di dalam kajian tentang kultur-kultur non-Barat. Semakin kurang akrab anda dengan suatu situasi sosial, semakin banyak kemungkinan anda dapat melihat peraturan yang utuh di tempat kerja tersebut.
Ketika anda membuat pemilihan terakhir tentang suatu situasi sosial untuk dikaji, pikirkanlah kemungkinan bagi keterlibatan. Teknik-teknik yang akan anda kaji dengan langkah-langkah berikut ini akan membantu anda dengan baik tentang tingkat keterlibatan anda, dari non-partisipasi ke partisipasi lengkap. Dengan menggunakan teknik-teknik ini anda dapat menemukan pengetahuan kultural yang menjadi dasar pemikiran pertandingan gulat profesional di televisi atau peraturan kultural bagi perilaku di dalam sebuah kelas perguruan tinggi. Dan setelah anda mempelajari strategi bertanya tentang berbagai pertanyaan ethnografis, mengumpulkan data ethnografis, dan merekam serta menganalisis data tersebut, anda dapat menggunakan ketrampilan ini untuk memahami kultur tentang dunia sosial yang semakin kompleks (Spradley, 1980).
154
Suatu keuntungan utama dari wawancara ialah bahwa wawancara memungkinkan bagi responden untuk bergerak maju mundur dalam waktu – untuk menyusun kembali masa lalu, menginterpretasi masa kini, dan memprediksikan masa depan, tanpa meninggalkan masa sekarang. Keuntungan utama dari observasi langsung, sebaliknya, ialah bahwa observasi langsung ini memberikan pengalaman di sini dan sekarang secara mendalam. Ketika kita mengamati dalam Effective Evaluation: Argumentasi metodologis dasar untuk observasi, selanjutnya, bisa dirangkum sebagai berikut: observasi … memaksimalkan kemampuan peneliti untuk mereka motif, kepercayaan, urusan, minat, perilaku yang tidak disadari, kebiasaan, dan sejenisnya, observasi … memungkinkan bagi peneliti untuk melihat dunia superti subjek melihatnya, untuk hidup di dalam kerangka waktu mereka, untuk menangkap fenomena di dalam dan pada urusan sendiri, dan untuk menggambarkan kultur dalam alaminya sendiri, lingkungan yang terus berjalan, pengamatan … memberikan akses reaksi emosional kepada penanya (peneliti) dari kelompok secara introspektif – yaitu, dalam arti yang sebenarnya ini memungkinkan bagi pengamat untuk menggunakan dirinya sendiri sebagai suatu sumber data; dan observasi … memberikan kesempatan pengamat untuk membangun pengetahuan tersembunyi, baik kepada dirinya sendiri ataupun para anggotya dari kelompok. (Guba & Lincoln, 1981:192).
Observasi memang merupakan suatu alat yang sangat kuat. Seperti halnya pada wawancara, observasi dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara ganda. Yang pertama, pengamat bisa bertindak dalam model seorang partisipan atau nonpartisipan; dalam contoh yang pertama, pengamat satu peran saja yang harus dimainkan, yaitu pengamat, tetapi berikutnya dia harus memainkan dua peranan secara bersamaan, yaitu pengamat dan anggota dari kelompok-kelompok resmi. Sulit untuk bertindak sebagai seorang pengamat-partisipan, jika hanya untuk alasan-alasan logis; peranan tersebut sebaiknya dialihkan kepada informan yang secara historis merupakan bagian dari konteks daerah atau lokal. Observasi bisa terbuka atau tertutup (“under cover”), tetapi tuntutan etika bahwa ketertutupan dihindari kecuali dalam keadaan yang sangat terkecuali (klaim di mana “orang dalam” memperoleh data “nyata” secara etika tidaklah memaksa). Dan observasi dapat mengambil tempat dalam latar “alam” sebagai lawan dari latar “rekaan”. Dalam beberapa hal dikotomi ini sejajar dengan dikotomi “terstruktur-tidak terstruktur” dari wawancara, dan latar alami lebih disenangi dibandingkan dengan yang rekaan dengan alasan-alasan yang sama bahwa wawancara tidak terstruktur lebih disenangi dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Dalam banyak hal peneliti tidak cukup yakin tentang apa itu bahwa dia tidak mengetahui dalam menangani latar yang lebih mengutungkan. Pembuatan rekaan latar juga bertentangan dengan prinsip bahwa fenomena mengambil arti dari konteksnya sebanyak mungkin dari semua karakteristik individu yang mereka miliki; suatu konteks rekaan tidak hanya berupa tiruan (pembuatan terhadap validitas eksternal, untuk menempatkannya ke dalam hal-hal konvensional), akan tetapi secara tertulis mengubah fenomena yang dikaji dengan cara-cara fundamental.
Pemilihan situasi observasi diarahkan dengan prinsip-prinsip yang serupa dengan mengarahkan pemilihn tempat atau situs penelitian dan responden wawancara – purposive sampling dimaksudkan untuk memaksimalkan ruang lingkup informasi yang diperoleh. Latar kontrastif dipilih secara periodik untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan sebaik-
155
baiknya. Dan selama observasi tidak seintensif dan seindividualis seperti wawancara satu lawan satu, langkah-langkah yang tepat untuk membersihkan dengan penjaga, memperoleh pernyataan yang diinformasikan sepenuhnya, dan memelihara kesantunan bahasa adalah diwajibkan.
Data observasi dapat direkam ke dalam model yang mensejajarkan dengan yang ada pada pewawancara. Sebagai contoh, rekaman berupa film atau video-recording dapat digunakan untuk mendapatkan suatu rekaman lengkap tentang apa yang dilihat dan didengarkan. Observasi tidak lagi lebih banyak menghambat apa yang didengar dibandingkan dengan wawancara yang harus menghambat apa yang dilihat – sebagai contoh, isyarat nonverbal. Tetapi penggunaan perlengkapan seperti itu terkecoh dengan kelemahan dari wawancara yang direkam ke dalam tape recorder; memang kelemahan mungkin bisa menjengkelkan, karena pengamat mungkin ingin merekam komentarnya sendiri selama observasi dan komentar ini mungkin terlalu banyak didengar dan dilakukan oleh orang yang mengadakan observasi. Tetapi haruskah pengamat membatasi diri sendiri pada bentuk lain dari catatan dibandingkan dengan film atau videotape, suatu keragaman tentang model cukup tersedia, termasuk hal-hal berikut ini:
Membuat catatan, secara langsung berupa adekdotal atau diorganisir ke dalam kategori pada saat diperolehnya.
Pengalaman lapangan atau diari, serupa dengan catatan lapangan tetapi biasanya ditulis pada waktu setelah observasi yang sebenarnya.
Catatan pada unit-unit tematis, yang telah ditentukan terlebih dahulu waktunya, seperti misalnya, unit-unit yang dispesifikasikan dengan suatu teori mendasar.
Kronologis, menghitung perilaku-perilaku yang diorganisir selama batas waktu yang ketat (yaitu, mencatat masing-masing episode perilaku yang terpisah dan mencatat waktu di mana hal itu terjadi, atau membuat sebuah notasi atau catatan pada beberapa interval temporer yang ditentukan, katakanlah setiap dua menit).
Peta konteks, yaitu, peta, sketsa, atau diagram tentang konteks di mana observasi terjadi, seperti misalnya di dalam kelas, gerakan orang yang diamati dapat juga dicatat pada peta-peta tersebut.
Cantuman-cantuman menurut beberapa sistem taksonomis atau kategoris, misalnya, taksonomi atau kategori yang telah disusun sebelumnya dari awal wawancara atau catatan observasi.
Sosiometri, diagram yang berkenaan yang menggambarkan berbagai jenis interaksi (misalnya, siapa saja bermain dengan siapa) atau hubungan-hubungan (misalnya siapa menyebutkan siapa sebagai teman yang terdekat).
Wawancara debriefing, bukan ditujukan untuk responden tetapi untuk pengamat, secara tipikal digunakan setelah pengamat meninggalkan adegan, untuk mengingatkan dia tentang kategori utama tentang informasi yang harus dicatat.
Sesi debriefing, dengan anggota-anggota lain tim penelitian, juga untuk kepentingan menggambarkan dari pengamat apa yang telah dilihat dan didengar.
Skala angka (rating scales) dan daftar cek, meskipun bentuk-bentuk ini biasanya lebih banyak dihubungkan dengan penelitian konvensional sains yang mereka
156
pandang sebagai pengetahuan a priori tentang apa yang bermanfaat untuk diamati (item-item harus dispesifikasikan sebelumnya).
Observasi, seperti wawancara, cenderung mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda-beda pada tahap-tahap yang berbeda dari penelitian. Sebelumnya, observasi mungkin sangat tidak terstruktur, suatu tahap yang tidak terstruktur atau pendalaman (Douglas, 1976) agar dapat memungkinkan pengamat untuk mengembangkan pengetahuan tersembunyi mereka dan untuk mengembangkan beberapa arti dari sesuatu yang bersifat permulaan atau menonjol. Selanjutnya, observasi semakin difokuskan sebagai wawasan dan informasi yang tumbuh.
Sangat bermanfaat, seperti halnya dengan data, untuk memusatkan pada satu fokus periode awal dari analisis data di antara periode-periode observasi. Untuk semua tujuan praktis, catatan lapangan dari observasi dapat dilakukan seperti yang dilakukan pada catatan lapangan selama wawancara; ini dapat disempurnakan (atau ditranskripsikan, jika direkam) dan dianalisis untuk unit dan kategori informasi awal. Kategori awal tersebut dapat diperiksa, diperluas, dan dihubungkan selama observasi berikutnya. Juga akan bermanfaat untuk memeriksa data yang muncul ini dengan beberapa orang responden untuk kredibilitasnya; para informan sebagai anggota tim penelitian telah mengumpulkan infomasi tersebut dapat ditekan ke dalam jasa-jasa untuk tujuan ini.
Isyarat-isyarat nonverbal. Komunikasi nonverbal kadang-kadang didefinisikan sebagai pertukaran infomasi melalui tanda-tanda nonlinguistik: isyarat yang kurang lebih disadari, dan bahasa tubuh, kurang atau lebih tidak disadari, semuanya tercakup ke dalam definisi ini. Para mahasiswa dari bidang-bidang yang sedang berkembang ini (Birdwhistell, 1970; Hall, 1966, Mehrabian, 1972; Gordon, 1980; Wolfgang, Longstreet, 1978) telah mendefinisikan beberapa cabang, termasuk kinesics (gerakan tubuh) proxemics (hubungan-hubungan spasial), synchrony (hubungan-hubungan berirama tentang pengirim dan penerima), chronemics (penggunaan waktu sebagai pentahapan, penyelidikan dan berhenti sebentar), paralinguistik (volume, kualitas suara, aksen, dan pola-pola infleksional, misalnya), dan haptics (sentuhan). Untungnya, ada sedikit kebutuhan bagi peneliti perlu lebih dari mengetahui secara sebab akibat dibandingkan dengan tipe-tipe ini, (dan banyak percabangannya), karena apa yang penting adalah kurangnya informasi bahwa isyarat nonverbal mengkomunikasikan bukan pemisahan yang jelas antara perilaku nonverbal seperti itu dan apa yang sedang dikomunikasikan secara nonverbal. Pengamat, dan bahkan lebih dari itu pewawancara, hanya mempunyai sedikit waktu untuk hadir dan membuat catatan tentang semua pernyataan nonverbal, tetapi peneliti dengan peran yang lain dapat mencatat hal-hal di mana perilaku nonverbal bertentangan dengan perilaku verbal, memberikan kebohongan kepadanya atau setidak-tidaknya mengajukan pertanyaan tentang kejujuran dan kelengkapannya. Pewawancara atau pengamat yang mencatat pemisahan seperti itu dapat memperolehnya (yang lebih baik tidak pada saat terjadi) agar dapat menyelidiki secara lebih mendalam ke dalam informasi tersebut selanjutnya disediakan atau diperhatikan dan sudah barang tentu informasi yang dapat ditanyakan dapat diterima pada triangulasi yang lebih kuat atau usaha penguatan lainnya. Dengan demikian isyarat
157
nonverbal sebaiknya digunakan dalam bentuk suplementer untuk menandai item-item informasi yang memerlukan perhatian kebih terinci lagi (Lincoln & Guba, 1985).
158
Top Related