Skill and Character Building Komunikasi untuk
Mempengaruhi Orang berkontribusi dalam Program
DAFTAR ISI
PENGANTAR........................................................................................... i
BAB I DUNIA FASILITATOR
I.I Potret Tantangan ................................................................................... 1
I.2 Menguasai Wilayah ............................................................................. 1
1.3 Berkomunikasi Lokal .......................................................................... 2
BAB II PENTINGNYA KOMUNIKASI
2.1 Mengapa Harus Berkomunikasi .......................................................... 3
2.2 Tetapkan Tujuan.................................................................................. 4
2.3 Mengapa Harus Persuasi ..................................................................... 5
2.4 Tanda Komunikasi Efektif .................................................................. 6
2.5 Sukses Komunikasi Interpersonal ..................................................... 7
BAB III STRATEGI KOMUNIKASI
3.1 Pahami Komunikasi Fasilitator ........................................................... 9
3.2 Lima Langkah yang harus dipahami ................................................ 10
3.3 Persuasifkan Diri ............................................................................... 11
3.4 Kuasai Teknik Ini .............................................................................. 12
BAB IV MEMBANGUN KARAKTER KOMUNIKATOR
4.1 Selalu Menghargai ............................................................................ 14
4.2 Sikap Optimis .................................................................................... 15
4.3 Menjadi Pendengar Aktif .................................................................. 15
4.4 Trik Mendengar Aktif ....................................................................... 16
4.5 Pahami Profile Orang Lain................................................................ 17
BAB V BERLATIH MENANG
5.1 Berlatih adalah Kebutuhan ................................................................ 18
5.2 Hindari Omdo (Omong Doang.......................................................... 19
5.3 Hindari Debat .................................................................................... 19
5.4 Kurangi Hobi Mengkritik .................................................................. 19
5.5 Hindari Debat .................................................................................... 20
5.6 Beritahukan Kesalahan Tidak Langsung .......................................... 20
BAB VI PENUTUP ................................................................................ 21
Pengantar
enekuni profesi fasilitator, membutuhkan kecakapan dalam
berkomunikasi. Tugas fasilitasi selalu menghadapkan orang
lain sebagai lawan komunikasi. Namun ia bukan sekedar
bertemu momen untuk bertukar gagasan, tetapi juga cara efektif untuk
mempengaruhi.
Persoalannya, personality orang berbeda-beda. Begitu juga
budaya, bahasa serta cara berpikirnya. Wajar bila dalam
berkomunikasi muncul hambatan atau bahkan pertentangan. Tak
sedikit cerita tentang fasilitator yang dijauhi bahkan dimusuhi
masyarakat yang didampinginya.
Belum efektifnya komunikasi yang dibangun oleh fasilitator
menjadi problem krusial. Sebab, apabila dijalankan dengan benar,
sesungguhnya tidak ada kamus gagal bagi fasilitator dalam
menjalankan program karena sasaran sudah terpengaruhi.
Sebagai perpaduan antara seni dan ilmu, tidak ada jalan untuk
mahir berkomunikasi kecuali dengan berlatih dan berlatih. Fasilitator
bukanlah ahli kebatinan yang hanya pandai menyimpan uneg-uneg
atau pesan. Atau sebaliknya, ia menjadi orang yang selalu
mendominasi keadaan.Tentu tidaklah demikian.
Fasilitator merupakan seorang public speaker, motivator,
negosiator dan mobilisator. Dengan predikat mulia ini, sudah barang
tentu mengharuskan orangnya untuk menguasai berbagai skill
komunikasi. Kita tentu sepakat bahwa komunikasi adalah kebutuhan
hidup manusia untuk mengembangkan diri.
M
1
Jangan takut badai bila ingin berlayar. Jangan takut binatang buas bila ingin berburu”.
“Jangan takut rintangan dalam mencari ilmu. Tak ada ilmu yang didapatkan dengan mudah melainkan mudah hilang juga dari ingatan”.
Atas dasar itu seorang Fasilitator dilarang mengeluh, malas
atau under-estimate dalam berkomunikasi karena akan mempengaruhi
sukses tidaknya program yang didampingi. Selain fokus, ia harus
energik untuk membangun komunikasi sehingga keberadannya benar-
benar membawa perubahan sebagaimana tujuan pelaksanaan
program.
Sesungguhnya hanya kemauan aktif untuk mengaplikasikan.
Sebab, umumnya fasilitator selalu dibekali dengan berbagai teknik dan
metode komunikasi sebelum diterjukan. Dasar-dasar itulah yang perlu
disegarkan kembali oleh Fasilitator di tengah terbukanya masyarakat
sehingga cara berpikir dan berperilakupun dinamis dan berubah dari
waktu ke waktu.
Terima kasih disampaikan kepada Dr. Jalaludin Rahmat pakar
komunikasi Unpad, yang telah menerbitkan Buku Psikologi
Komunikasi. Terimakasih pula kepada Dale Carnegie yang
menerbitkan buku inspiratif How to win friends and influence people.
Tak lupa kepada Tim RMC III PNPM Mandiri Perdesaan Jawa
Barat; Korprov Ir. Sugih Arto, Deputy Zubriyanto Sofyan, FMS
Antonius AB, MIS Romhano, HR-2 Wahyu W, HR-1 Endah Sutraniati.
Juga kepada Drs.Edi Djunaedi selaku PJO provinsi Jawa Barat.
Pengetahuan adalah kekuatan. Mari belajar meningkatkannya
bersama. Kritik dan saran silahkan di emailkan ke
[email protected]. Selamat membaca, semoga buku bermanfaat.
Bandung, Juni 2013
Ali Yasin Att
POTRET TANTANGAN
ewasa ini, fasilitator suatu program menjadi salah satu
pilihan profesi yang digeluti banyak orang. Bahkan, pada
beberapa posisi diincar ribuan orang. Bisa jadi karena
gajinya tinggi, pengalamannya yang menantang, atau karena tidak ada
pilihan lain.
Ada merasa sadar menekuni, ada pula yang merasa
terjerumus. Namun, dari berbagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa
fasilitator merrupakan profesi yang menuntut keahlian “serbabisa”.
Tidak hanya masalah administrasi dan keuangan, tetapi juga
ketrampilan komunikasi personal ataupun massa.
Sebagai akibat banyaknya target yang telah ditetapkan oleh
program, tak sedikit fasilitator yang harus beradaptasi secepat dan
sebaik mungkin. Durasi penugasan yang kadang relatif pendek, misal
kontrak setahun, tapi hasil diharapkan lebih dari setahun atau bahkan
berkelanjutan (sustainable).
Berbagai masalah yang terjadi seperti penyalahgunaan dana
program, kesalahan prosedur, bahkan sampai dengan boikot dari para
pelaku atupun masyarakat, menjadi tantantang berat bagi fasilitator.
Sebagai pendatang, ia diharuskan untuk melakukan pendekatan
strategis untuk menangani persoalan tersebut.
Lokasi tugas yang kadang menjauhkannya dari keluarga dan
sanak famili, menjadi fasilitator harus kuat fisik, pemikiran dan mental.
Dalam berbagai cerita, ada fasilitator yang baru bisa menjenguk
keluarga tiga bulan sekali karena jauhnya lokasi dan mahalnya
transportasi.
Pada saat yang sama, gaji yang dianggap sebagai amunisi
perjuangan, tidak jarang terlambat. Tentunya mengurangi daya
konsentrasi ataupun kenyamanan menjalankan tugas di lokasi
sedangkan disatu sisi mereka tidak boleh merugikan orang lain misal
dengan menumpang makan dirumah pelaku.
Dikuatirkan hal tersebut menjadi kebiasaan atau
kebergantungan sehingga mengurangi independensi dan obyektifitas
dirinya sebagai fasilitator. Memang cukup problematis, namun sejarah
membuktikan tidak sedikit fasilitator yang berhasil mengatasi masalah
subyektif sehingga ia tetap berkonsentrasi menjalankan tugas.
MENGUASAI WILAYAH
Sesuai SPT (Surat Perintah Tugas), kewajiban tinggal di lokasi
program mengharuskan seorang fasilitator tinggal bersama
masyarakat yang didampingi. Mereka berkesempatan untuk
mendengar, merasakan, memikirkan dan menjiwai kehidupan
masyarakat yang didampingi.
Sebagian besar Fasilitator khususnya di daerah perdesaan,
perbatasan, pegunungan atau daerah terpencil lainnya, tentu sudah
akrab dengan adagium dari Tokoh Laotze berikut:
“Hiduplah bersama merek, mulailah dgn apa yg mereka
butuhkan, Lakukanlah dgn apa yg mereka tahu
Bangunlah dgn apa yg mereka miliki Ketika kerja selesai
Masyarakat bangga mengatakan: “Kami Sendiri yg telah
menyelesaikan semua ini”
D
Dengan adagium ini, Fasilitator berkeharusan untuk mengenal
wilayah dampingan baik dari ekologi, pendidikan, sosial dan budaya
sampai dengan gaya hidup masyarakat. Karena mereka ditugaskan
untuk mensukseskan tujuan program, maka suka tidak suka Fasilitator
harus melakukan komunikasi.
Sejak proses rekrutmen, pendidikan dan pelatihan (pra-tugas)
sampai dengan tahap mobilisasi, kemampuan komunikasi Fasilitator
selalu menjadi perhatian pokok. Kemalasan, ketertutupan, atau
bahkan ketidakdisiplinannya dalam membangun komunikasi menjadi
evaluasi kinerja bagi supervisor atau bahkan masyarakat yang
didampinginya.
Maka sungguh aneh, bila terdapat seorang Fasilitator yang
telah ditugaskan setahun lebih, namun belum mengetahui nama
Kepala Desa/Kelurahan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan adat
wilayah yang didampinginya. Tentu saja hal ini menjadi critical point
bagi profesinya.
Bagaimana ia akan meminta dukungan masyarakat bila ia tidak
mengenal, atau hanya sekedar mengenal orang-orang yang
ditokohkan oleh masyarakat?. Sementara dalam tradisi kehidupan
masyarakat, secara formal ataupun informal, keberadaan leader
(pemimpin) tetap dipatuhi.
Akibatnya, terjadi misskomunikasi yang berujung pada tidak
adanya pengakuan atau bahkan distrust terhadap Fasilitator. Tujuan
programpun terganggu karena Fasilitator merupakan pihak yang
secara khusus ditugasi untuk mengawal jalannya program sesuai
prosedur/petunjuknya.
BERKOMUNIKASI LOKAL
arisini bisa kita pahami mengapa komunikasi menjadi skill
yang harus dimiliki dan terbangun secara maksimal dalam
diri fasilitator. Seperti yang kita ketahui, tugas fasilitasi dalam
kesehariannya mengharuskan Fasilitator bertemu dengan orang lain.
Bukan hanya bertemu muka, atau bertegur sapa, namun lebih
dari itu yaitu membangun hubungan interpersonal yang baik sehingga
fasilitator dianggap sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang
didampingi. Ibaratnya seperti keluarga sendiri.
Di kabupaten Tasikmalaya, pernah terjadi pengusiran seorang
Fasilitator. Kabarnya, hal itu terjadi setelah ia membongkar indikasi
penyalahgunaan dana oleh pengurus program tingkat kecamatan.
Adanya intimidasi, teror, sampai dengan pengaruh magic ia anggap
sebagai alasan untuk pindah.
Kisah ini memberi pelajaran, besarnya resiko yang harus
ditanggung oleh Fasilitator tatkala menjalankan program sesuai
prosedur. Munculnya boikot, penolakan atau bahkan pengusiran bisa
jadi karena faktor eksternal fasilitator.
Hanya saja, tantangan tersebut bisa diantisipasi dengan
pelaksanaan komunikasi yang efektif. Sebab, pada dasarnya
Fasilitator hanyalah pihak yang menghubungkan masyarakat berpikir,
bertindak dan memutuskan sikapnya sendiri.
D
MENGAPA HARUS BERKOMUNIKASI ?
Berbagai penelitian membuktika,
kurangnya komunikasi akan
menghambat kepribadian. Komunikasi
berfungsi untuk menemukan hal baru
dari orang lain dalam hubungan sosial.
Tentang bahasa, budaya, cara
berpikir, gaya hidup ataupun hal-hal
lain yang berbeda maka kita dapat
belajar dari orang lain. Cara ini lebih
efektif jika dibanding dengan membaca
teks buku.
Komunikasi sangat berhubungan dengan perilaku yang
dibentuk atau terbentuk oleh kesadaran. Sebagai peristiwa sosial,
komunikasi yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia
lainnya, akan membetuk pengetahuan dan kesadaran baru.
Pada sebuah penelitian disebutkan bahwa 70% dari bangun
kita digunakan untuk berkomunikasi. Oleh karena manusia
membutuhkan bantuan manusia lainnya, maka komunikasi yang
dilakukan secara efektif akan mensukseskan impian hidupnya.
Fasilitator yang bertugas di kecamatan pegunungan terpencil,
berpeluang mengenali kehidupan masyarakat yang tentunya berbeda
dengan kehidupan pesisir. Dengan terjun dan berbaur di tengah-
tengah masyarakat, meskipun dengan tenaga ekstra, ia akan
mengenali wilayah dampingan secara obyektif.
BAB II PENTINGANYA KOMUNIKASI
Hubungan sosial yang terbangun, baik dengan tokoh formal
sepreti Kades, Camat, ataupun dengan tokoh informal seperti kyai,
ajengan, bahkan mungkin preman memberi pengalaman dan
pengetahuan baru. Dari sinilah terbentuk cara berpikir lebih luas
(broadminded).
Pada saat Fasilitator mensosialisasikan maksud dan tujuan
program, karena ia telah mengetahui bahasa, kebiasaan dan budaya
lokal seperti cara berpakaian, bersalaman, bertegur sapa dan lain
sebagainya, maka apa yang disampaikan akan lebih mudah diserap
karena fasilitator tidak dianggap makhluk asing (alien).
Ketrampilan komunikasi selalu berhubungan dengan tinggi
rendanya minat dalam membangun hubungan sosial. Bak sales obat
yang ingin produknya laris terjual, Fasilitator harus membuang
kemalasan berkomunikasi dengan siapapun dan kapanpun karena
manfaat positifnya.
Fasilitator adalah makhluk dinamis. Seperti dalam istilah
everyone want to develop, maka ia akan bersemangat untuk
mengembangkan diri ditengah masyarakat yang didampingi. Ia
menyadari bahwa dengan cara itulah ia akan menjadi pribadi yang
terbuka.
Alhasil, tak sedikit fasilitator yang karena keseriusannya dalam
berkomunikasi menjadi sukses. Ia dikenal banyak orang dan kemudian
menjadi modal utama dalam berkampanye saat dirinya memutuskan
diri berpolitik sebagai caleg misalnya.
Di tingkat pusat, provinsi sampai dengan kabupaten, banyak
cerita anggota legislatif yang berlatarbelakang Fasilitator.Mereka
mengaku bahwa kemampuan komunikasi massanya menjadi terasah.
TETAPKAN TUJUAN
Temani saya seorang Medical
Representative atau biasa disebut
Detailer. Lima hari dalam
seminggu, empat minggu dalam
sebulan, ia berkewajiban
mengunjungi 120 dokter. Dalam
sehari tidak kurang dari 12 dokter
yang dikunjungi di lokasi yang berbeda.
Oleh karena praktek dokter banyak yang double (di klinik/RS
dan prakter pribadi), maka durasi kerjanya mulai dari pagi pukul 6
sampai malam hari sesuai dengan jam praktek dokter yang mau
dikunjungi. Pernah saya mengantar sampai jam 1 malam hari.
Kunjungan yang relatif memberatkan tersebut tak lain tak
bukan untuk mempersuasi dokter agar bersedia meresepkan produk
farmasi yang dibawakannya. Akhir bulan, setelah dilakukan rekap, bila
growth salesnya tinggi dan mencapai target, tentu ada kepuasan tak
terkira.
Kisah ini memberi pelajaran pentinya penetapan tujuan dalam
berkomunikasi. Seorang fasilitator, setelah menyusun jadwal
pertemuan secara formal ataupun informal misalnya, harus
memastikan bahwa tujuan
kegiatan tersebut telah
tercapai setelah
melakukannya.
Tanpa tujuan, maka
arah komunikasi bisa bias, tak
terarah atau bahkan sia-sia.
Sesederhana apapun, tujuan
komunikasi harus disusun dan
ditetapkan oleh komunikator.
Boleh jadi seorang Fasilitator merasa telah berkomunikasi
dengan intensif. Namun setelah masyarakat dampingannya ditanya,
pengetahuan terhadap program ternyata minim. Berarti, sosialisasi dan
komunikasi yang dijalankan belum bisa disebut efektif. Kita bisa
menyempurnakannya dengan analisa berikut:
Analisa SWOT Komunikasi
Pemanfaatan metode ini kita akan melatih membuat tujuan
serta mengevaluasi komunikasi yang sukses atau gagal sehingga
kita berkembang lebih baik.
MENGAPA HARUS PERSUASIF?
Anda pasti pernah melihat iklan
shampo di televisi?. Perhatikan
seksama, rambut artis idola kita
yang digambarkan kusam,
berketombe, bercabang atau
bahkan rontok, seketika menjadi
lembut, halus dan berkilau
setelah memakai sebuah
shampo. Dengan durasi pendek, iklan tersebut diulang-ulang agar kita
mengenali dan menghafalinya. Tak lain demi penetrasi pesan dan
kesan yang tertanam dalam alam bawah sadar pikiran.
Paling tidak, kita hafal nama dan kelebihan shampo tersebut.
Dengan imajinasi positif sebagaimana yang dijanjikan, kita pun
akhirnya setuju dan membeli shampo tersebut tanpa reject atau
penolakan dari pikiran kita yang sudah terbentuk.
Kita pun bersepakat dengan pemberi pesan (pemasang iklan) karena
persuasi keuntungan positif bila kita memenuhi keinginannya sehingga
kita setuju dengannya.
Dengan gambaran tersebut, jika seorang fasilitator bertekad
kuat mensukseskan misi program di wilayah dampingan, maka harus
menjalankan komunikasi yang mengesankan, mempesona, membujuk
tanpa meninggalkan rasionalitas (masuk akal).
Tentu tidak pas bila seorang fasilitator melakukan
pembohongan data/ informasi demi persuasi. Bagaimanapun,
kejujuran lebih mengesankan dan oleh karenanya fasilitator tidak boleh
berdusta dalam berkomunikasi.
Persuasif adalah metode komunikasi yang memposisikan
komunikator dan komunikan dalam posisi yang setara (win-win).
Dengan metode ini, seorang fasilitator tidak bersikap menggurui, sok
pintar, apalagi merasa bahwa pendapatnyalah yang paling benar.
Fasilitator harus berpikir bahwa setiap lawan bicaranya
memiliki cara pandang (mindset) yang mungkin berbeda atau bahkan
bertolakbelakang. Jadi, munculnya penolakan atau ketidaksetujuan
pada dasarnya wajar. Oleh karenanya harus dipersuasi dengan baik.
Memang tidak perlu grusa-grusu (buru-buru), sebab
membangun interest, kesepahaman apalagi persetujuan tindakan
orang lain, tentu membutuhkan waktu yang tidak pendek. Seorang
Fasilitator harus telaten dan sabar atas hal itu.
APAKAH TANDA KOMUNIKASI EFEKTIF?
Banyak tanda untuk menyebut
apakah komunikasi yang kita
jalankan sudah efektif atau belum.
Seorang fasilitator harus
memahami hal ini karena percuma
juga bila ia susah payah
membangun komunikasi namun
hasilnya tidak efektif. 5 (lima) hal yang harus dikenali dalam
komunikasi efektif adalah menimbulkan pengertian, kesenangan,
pengaruh pada sikap, hubungan baik, dan tindakan yang searah.
Pengertian; apa yang kita maksud sesuai dengan yang
dimaksud orang lain. Konon, seorang pimpinan pasukan VOC ditikam
mati oleh pangeran madura setelah mencium tangan istri pangeran
tersebut dengan maksud menghormati sedangkan pangeran menilai
telah menghinanya.
Kesenangan; berkomunikasi untuk membangun kesenangan
orang lain seperti dalam kata “Apa kabar?”, “selamat pagi” dan kalimat
senang lainnya. Tujuannya tak lain untuk menyenangkan orang lain.
Mempengaruhi Sikap; seperti dalam contoh iklan shampoo
diatas, pemasang iklan berupaya keras mempengaruhi sikap dan
tindakan kita dengan manipulasi psikologis melalui slogan-slogan yang
memikat dan merayu.
Hubungan Baik; Sebagai makhluk yang tak bisa hidup sendiri,
manusia butuh mencintai dan dicintai. Hal ini hanya bisa dipenuhi
dengan komunikasi interpersonal, karena dengannya ia tidak merasa
terasing, atau hilang keakraban.
Tindakan; sebagai cara untuk mempengaruhi, komunikasi
bertujuan mempengharuhi orang lain mengikuti keinginan kita.
Kampanye suatu Parpol, tentu disebut efektif jika diikuti dengan
ramainya orang mencoblos pada pemilu lambang partai tersebut.
SUKSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Komunikasi interpersonal
disebut efektif jika pertemuan
komunikasi menjadi momen
menyenangkan bagi
komunikator dan komunikan.
Santai, terbuka dan gembira
adalah memudahkan otak
menyerap informasi.
Anda yang menyukai tayangan televisi humor, tentu mengenal
acara OVJ (Overa Van Java). Berbagai tema kehidupan yang diangkat
di berbagai episode, diakui pemirsa mudah diterima dengan banyolan
santai khas Andre, Parto, Sule, Nunung dan kawan-kawan
Namun tidak berarti bahwa ketika kita berkomunikasi selalu
menjurus atau dibungkus santai karena pada situasi tertentu dapat
menghilangkan kewibawaan sehingga tujuan komunikasi tidak
tercapai.
Oleh karena, sebagai komunikator kita harus memahami apa
yang menjadi kepantasan dan kelayakan. Meskipun santai, tentu tidak
boleh semaunya sehingga sebagai memberi kesan buruk bagi lawan
komunikasi. Kita harus perhatikan beberapa hal berikut:
Konsep Diri Positif
Konsep Diri adalah faktor menentukan. Jika ada menyatakan diri
kutu buku, biasanya keseharian anda diwarnai dengan membaca
buku dan sejenisnya. Kita hidup sesuai dengan label yang kita
lekatkan pada diri.
Hubungan konsep diri dengan perilaku, seperti dalam kata you are
what you think, ada empat tanda konsep diri negatif; peka/sensitif
pada kritik, terlalu responsif terhadap pujian, hiperkritis (suka
mencela/meremehkan orang) dan merasa tidak disenangi orang.
Sebagai fasilitator, tentu kita mengukur, bisa dengan evaluasi diri
atau bertanya ke orang lain bagaimanakah konsep diri kita. Sebab,
bisa jadi kita merasa sudah positif ternyata menurut orang lain
sebaliknya.
Misalnya pada saat pertemuan, apakah kita datang on time,
bersikap ramah, empati kepada semua orang, sabar terhadap
keadaan (tidak grusa-grusu), dan memberi kesan positif bagi orang
lain? Tentu butuh evaluasi.
Membuka Diri
Makin luas komunikasi kita tentu makin luas wawasan kita tentang
orang lain, makin tahu pula kita atas sifat, hobi, karakter, budaya
orang lain. Prinsipnya, makin baik kita mengetahui seseorang,
makin baik cara berkomunikasi kita.
Membuka diri bisa dilakukan dengan membaca buku atau melihat
televisi. Namun lebih efektif dalam konteks sosial adalah dengan
berkomunikasi karena kita dapat belajar bagaimana menerima atau
menyeleksi pemikiran dengan orang lain.
Dengan begitu kita menjadi terbuka. Seorang Fasilitator tentu tidak
boleh kuper (kurang pergaulan), apalagi menutup diri sehingga
dalam berpikir dan bertindak selalu menggunakan ukuran diri
sendiri.
Dalam suatu pembicaraan, mungkin kita tanpa sadar suka
memotong pembicaraan dan menilai buruk ide yang disampaikan
orang lain, hal ini sama dengan menutup diri.
Percaya Diri
Orang yang tidak menyenangi dirinya sendiri, merasa tak mampu
mengatasi persoalan. Ia merasa rendah dan oleh karenanya tidak
berani berkomunikasi. Bahkan, takut dijelek-jelekan atau
disalahkan. Believe in yourself menjadi kekuatan utama
berkomunikasi efektif.
Kita bisa bayangkan bagaimana jadinya bila Ir.Soekarno ketika
masih muda adalah seorang penakut, mindier apalagi tidak percaya
diri? Tentu semua pidatonya tidak akan berapi-api dan tidak
mempengaruhi jiwa masyarakat.
Seorang fasilitator harus percaya diri sepenuhnya bahwa apa yang
dikomunikasikannya selalu penting dan memberi pengaruh positif
pada orang lain. Oleh karena itu harus disertai kepercayaan diri
yang tinggi namun tidak boleh overconfidence (terlalu pede).
Sadar Posisi
Fasilitator bukanlah seperti penjual obat di pasar kaget yang tak
menghiraukan orang lain minat atau tidak, terganggu atau tidak,
yang penting bersuara keras melalui mikrophonenya. Tidak berarti
salah, namun dalam sebuah komunikasi yang harus disadari adalah
posisi kita dan lawan bicara dalam kapasitas apa.
Beda komunikasi antara guru dan murid, atasan bawahan, Kades
dengan penduduknya. Demikian halnya dengan fasilitator, harus
menyadari posisinya dengan siapa berkomunikasi. Nama,
jabatannya, pendidikannya, interest/hobinya, dan latar belakang lain
yang mendukung. Hal ini penting agar tidak over atau sebaliknya
malah minder.
BAB III
STRATEGI KOMUNIKASI
PAHAMI PSIKOLOGI KOMUNIKATOR
Memperhatikan keadaan diri pada
saat berkomunikasi penting. Saat
berceramah agama, tapi rambut anda
gondrong, baju lusuh, celana robek,
dengan rantai menghias, besar
kemungkinan pendengar tidak
mempercayai ceramah anda. Dalam
hal ini, yang perlu kita perhatikan
adalah tiga hal berikut:
Pikiran baik (good sense)
Akhlak baik (good moral character)
Maksud baik (good will)
Kredibilitas adalah sifat komunikator yang tertangkap oleh
komunikan. Ia merupakan hal penting karena menyangkut
citra/persepsi. Seorang profesor meskipun botak gendut dan terbata-
bata saat berbicara, akan lebih diperhatikan daripada kita yang hanya
lulus SMP meskipun mungkin pikiran lebih brilian.
Untuk itu dibutuhkan tiga hal untuk membangun kredibilitas;
Pertama, keahlian khususnya terkait topik pembicaraan.
Penguasaan terhadap materi plus cara menyampaikan mutlak
diperlukan. Caranya dengan berlatih dan berlatih. Lihatlah John F
Kennedy ketika berpidato tanpa teks, tentu karena telah menguasai
topiknya.
Seorang Fasilitator harus demikian. Ketika dia berkesempatan
menyampaikan presentasi, lantas terbata-bata, sedikit-sedikit buka
buku, tampak wajah bingung tidak menguasai kalimat, bisa dipastikan
ia belum terlatih yang artinya belum siap menjadi pembicara karena
kurang persiapan atau latihan.
Kedua, Kepercayaan yang berhubungan dengan watak seperti
jujur, tulus, sopan dan lain sebagainya. Karakter yang terungkap
dalam sikap selalu dibaca orang. Indera manusia selalu menyusun
kesan terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya.
Maka seorang Fasilitator harus berdisiplin dalam menempa
karakter dan sikap positif agar ketika ia berbicara dihadapan orang
selalu tertankap kesan bahwa dirinya adalah sosok yang bisa
dipercaya, tidak neko-neko dan memiliki integritas.
Sekali tidak jujur (apalagi berulang-ulang), jangan harap
masyarakat akan mendengar, memperhatikan dan mengikuti apa yang
disampaikan oleh Fasilitator. Sebab efektif tidaknya sebuah pesan
komunikasi sangat dipengaruhi derajat kepercayaan lawan bicara.
Ketiga, karisma. Namun hal ini lebih mirip pesona yang tak
dapat dijelaskan secara ilmiah. Contoh Soekarno, Kennedy, Gandhi
dan tokoh karismatik lain yang pada saat berbicara atau berpidato
selalu memukau dengan gerakan tubuh, tatapan mata dan perhatian
lainnya.
Meskipun demikian, kharima secara normatif bisa dibangun
melalui pembawaan diri yang positif baik melalui pakaian, sikap tubuh,
cara berbicara, cara berpikir, cara menghargai orang dan lain
sebagainya.
Posisi seorang Fasilitator, pada dasarnya cukup berwibawa
oleh sebagian masyarakat. Sebab, tugasnya cukup menentukan
terhadap jalannya kegiatan yang mungkin sangat diharap dan ditunggu
oleh mereka.
LIMA LANGKAH YANG HARUS DIPAHAMI
Inti berkomunikasi adalah
menyampaikan pesan. Maka
penting untuk mengetahui isi
susunan pesan yang menarik dan
memikat komunikan yaitu:
(1) Perhatian
Pastikan bahwa sebagai
komunikator kita memberi
perhatian serius melalui gestur, mimik, kata, pandangan dan hal lain
yang ada pada diri kita tertuju pada lawan bicara.
(2) Kebutuhan
Ketika perut kita lapar, maka sinyal gelisah muncul sebagai tanda agar
kita segera makan. Setelah makan, kitapun tenang dan tentunya perut
tak lagi keroncongan. Begitu halnya, berkomunikasi, harus bisa
memenuhi kebutuhan psikologis lawan bicara kita.
(3) Pemuasan
Berkomunikasi harus meyakinkan lawan bicara. Oleh karena itu kata
yang diucapkan diarahkan untuk memuaskan dengan berbagai solusi
atau simpulan.
(4) Visualisasi
Lihatlah bagaimana seorang pesulap mengecoh kita, hanya dengan
sebuah sapu tangan, mata kita begitu terkesima dan berkata “waww
hebaattt..”. Padahal, kekuatan pesulap pada visualisasi.
(5) Tindakan
Akhir dari komunikasi adalah kesamaan pikiran dalam satu
persetujuan tindakan. Inilah motif utama bekomunikasi yang harus
diketahui oleh oleh Fasilitator. Berikut ini contoh sederhana susunan
pesan:
“Hai kawan, lihat rambutmu ! (tahap pertama), “sepertinya
baik panjang dan kurang tertata!” (tahap kedua dan ketiga),
“bila tidak dipotong segera, terlihat tidak rapi. Sebaliknya jika
dipotong, tampak ganteng” (tahap keempat). “ayo cukur
rambutmu sekarang kawan” (tahap kelima)
Tujuan Pesan adalah menyentuh motif komunikan sehingga pikiran
dan hatinya sepakat bertindak sebagaimana yang kita harapkan. Kita
harus memadukan imbauan rasional dan emosional. Tidak ada jalan
untuk menguasai hal ini kecuali dengan berlatih dan berlatih.
PERSUASIFKAN DIRI
arena komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan
pesan, maka harus kita pastikan bahwa informasi yang
disampaikan mudah dipahami, mempengaruhi dan
menciptakan situasi yang seimbang sehingga mendapatkan komitmen
yang tulus.
Diagram berikut menjelaskan alur komunikasi:
Persuasi adalah mengajak komunikan berpikir secara rasional, tanpa
menekan, apalagi memaksa sehingga memposisikan lawan seperti
tak punya pilihan. Namun, seperti tergambar dalam diagram diatas,
terdapat gangguan yang harus diantisipasi seperti berikut:
Persepsi yang berbeda
Kemampuan fisik dalam mendengarkan
Bicara terlalu cepat
Ketertarikan personal
Ledakan Emosi
Bukan pendengar aktif
K
Seorang Fasilitator harus peka terhadap hal tersebut. Dalam
suatu pertemuan, yang dihadiri 70 persen kaum lanjut usia misalnya,
tentu harus dibedakan dengan yang audiens yang masih muda karena
pendengarannya lebih bagus, termasuk konsentrasinya.
Alkisah, terjadi debat sengit di sebuah angkot yang mogok
ditengah jalan karena ban pecah. Sang sopir asli Sunda dan kernet
asal orang Jawa. Terjadilah percakapan berikut:
Sopir :, “ sok cokot dongkrak..!!
Kernet : “yo atos pak..!”.
Sopir :”atos naona, sok dicokot...” (mulai emosi)
Kernet : “dibilang atos kok..!(sambil ngeyel)
Lantas keduanya ribut dan hampir berantem. Untungnya ada
yang melerai dan memahamkan, bahwa arti kata cokot (bahasa
Sunda) adalah “ambil” sedangkan dalam bahasa Jawa “gigit) dan
“atos” dalam bahasa sunda artinya “sudah” sedangkan dalam bahasa
jawa bermakna “keras”.
Kisah ini memberi pelajaran tentang makna sebuah
kata/bahasa yang harus kita pastikan sama dengan yang dipahami
oleh lawan bicara. Menguasai bahasa berikut maknanya sangatlah
penting agar tidak terjadi mispersepsi yang bisa berujung pada
ketidaksepahamahan.
KUASAI TEKNIK INI
Komunikasi adalah proses
penyampaian informasi.
Sebagaimana definisinya, informasi
adalah segala sesuatu yang
mengurangi ketidakpastian.
Melakukan komunikasi persuasif,
harus memperhatikan beberapa hal
yang memastikan orang tidak salah
berkomunikasi dengan kita.
Diantaranya dengan teknik berikut ini:
Membangun Ketertarikan Emosional
Pengaruh emosi lebih kuat dibanding pengarus logika. Sebagai
contoh, ketika anda tawari jam tangan oleh sahabat yang anda kenal
baik sifatnya, secara reflek yang anda pertimbangkan dalam pikiran
adalah hubungan baik dengan sahabat tersebut. Ketertarikan
emosional sangat berpengaruh terhadap interest seseorang dalam
berkomunikasi.
Demikian halnya seorang Fasilitator, selama di lokasi
penugasan, harus terampil dalam membangun berbagai pihak dengan
berbagai karakter yang bisa jadi membutuhkan adaptasi yang
berbeda-beda. Bagaimana membangun ketertarikan emosi petani,
dengan seorang PNS Guru pastinya berbeda.
Seorang petani mungkin lebih senang ditemui dan diajak bicara
masalah pupuk dan gabah, sedangkan seorang Guru lebih minat
diajak bicara tentang perkembangan siswa dan sekolah misalnya. Kita
letakan diri dalam sudut pandang mereka agar kesan yang terbangun
proporsional.
Gunakanlah Kata dan Ekspresi yang jelas
Penggunaan kata dan ekpresi yang jelas, mantap, tidak
meragukan serta meyakinkan merupakan kunci sukses komunikasi
persuasif. Pengaruhnya sangat positif sebab pada dasarnya orang
menyukai sesuatu yang mudah ditangkap. Namun, tetap
membutuhkan pengendalian agar tidak overloaded atau overacting.
Kita bisa bayangkan, seorang Fasilitator yang menceritakan
realitas kemiskinan di wilayah dampingannya, saking semangatnya
bernada suara tinggi, disertai mimik tertawa terbahak-bahak, maka
bisa-bisa audiens yang mendengarkan akan risih dan bisa saja malah
merasa terhina (tidak empati).
Gunakan Testimoni
Mempengaruhi pikiran orang dengan pengakuan atau testimoni
orang lain yang kredibel sangat dibutuhkan. Misalkan “Bupati
mengatakan begini saat pertemuan kemarin,......hal ini senada dengan
pernyataan Pak Camat...”dst. Maka perbanyaklah referensi tentang
testimoni.
Dalam kehidupan masyarakat yang menganut sistem
kepemimpinan, testimoni dari tokoh atau pemimpin akan memudahkan
penyampaian suatu pemikiran. Sebab, apa yang akan dilakukan oleh
lawan bicara akan sama dengan yang telah dilakukan oleh idolanya.
Karena itu, dalam tayangan produk iklan, selalu menampilkan
sosok artis yang dikenal dan dikagumi publik. Tujuannya, adalah
sebagai testimoni idola yang dengan begitu penonton atau pemujanya
tidak ragu mengikuti pesannya.
Fasilitatorpun harus demikian. Penggunaan Testimoni
membantu masyarakat memvisualisasi informasi terhadap pendapat
orang lain yang ditokohkan atau dianggap dekat sehingga memberi
referensi pertimbangan persetujuan.
SELALU MENGHARGAI
da istilah populer, perhatikan apa yang diucapkan, jangan
hanya perhatikan siapa yang mengucapkan. Istilah ini sebagai
pengingat agar seorang komunikator tidak diskriminatif baik
terhadap lawan bicara ataupun terhadap tema pembicaraan.
Menghargai adalah pengendalian ego diri yang biasanya ingin
selalu mendominasi. Mungkin karena merasa lebih tahu, lebih pintar,
lebih kaya, lebih berposisi, lebih berwenang atau predikat lain yang
justru merusak sifat hubungan yang baik.
Seorang Fasilitator, ketika diterjunkan ke sebuah desa yang
pendidikan masyarakatnya rendah, sebagian buta huruf, atau bahkan
mengalami keterbelakangan mental seperti di desa Sidoharjo,
Ponorogo, tidak boleh mencaci atau menjatuhkan anggota masyarakat
tersebut.
Dalam contoh yang lebih sederhana, mungkin kita terbiasa
memotong pembicaraan orang sedang orang tersebut belum selesai
menyampaikan pendapatnya. Hal ini tentu buruk. Oleh karena itu kita
harus menghargai orang dengan melihat sisi positif dari setiap
keinginan dan maksud orang.
Ramah-senyum adalah salah satu sikap menghargai yang
dibutuhkan dalam berkomunikasi. Socrates berkata, ketika berbicara
dengan orang lain, jangan memulai dengan membahas hal-hal yang
berbeda antara anda dengan lawan komunikasi. Tetapi, mulailah dari
hal-hal dimana anda setuju dengannya. Ketika lawan bicara mulai
berkata “Ya”, akan menjadi pintu awal ketertarikan dia sehingga kita
lebih mudah menyampaikan pesan komunikasi.
A BAB IV
MEMBANGUN KARAKTER
KOMUNIKATOR
SIKAP OPTIMIS
Optimisme adalah keyakinan
bahwa hampir semua masalah
dapat diselesaikan dengan
kerja keras. Termasuk halnya
dalam permasalahan
komunikasi. Mungkin kita
pernah dijauhi, difitnah,
ditentang sehingga upaya kita
untuk menjelaskan
permasalahan terhambat.
Optimisme adalah senjata menghadapi hal tersebut. Perhatikan
kebiasaan diri dalam berucap. Jangan sampai ketika kita ingin menjadi
komunikator ulung, tapi kita sendiri pesimis bertemu dengan orang
sehingga sering berkata,”percuma saja ketemu dia...” gak mungkin dia
setuju...” dan lain sebagainya.
Untuk melatih cara bersikap positif, seorang ahli
mengemukakan “rule 3 X 24”. Metode ini digunakan untuk menyikapi
situasi yang kita anggap buruk dalam berkomunikasi khususnya yang
bersifat langsung (face to face).
Pertama, kita perlu menunggu 24 detik sebelum memberi
respon kepada lawan bicara. Meskipun sebentar, namun penyisihan
waktu ini memberi kesempatan otak kita mencerna informasi yang
sedang kita tangkap.
Kedua, kita membutuhkan 24 menit untuk memikirkan ide
tersebut agar tereksplorasi dengan baik. Dalam pertemuan secara
langsung, kita tidak harus langsung menjawab, kita bisa minta waktu
agar lebih jernih berpikir.
Ketiga, seandainya kita ingin menyampaikan ketidaksetujuan,
maka kita perlu 24 jam untuk mematangkannya lebih baik karena lebih
rileks. Dijaman yang serba instan sebagaimana yang menjadi trend
komunikasi real time, mungkin cara ini dianggap lamban, namun lebih
safety karena kita lebih terkendali dari emosi.
MENJADI PENDENGAR AKTIF
eperti disampaikan di
awal, karakter adalah
kunci utama kredibilitas
seseorang. Jika yang terbangun
kesan negatif maka, negatif pula
opini dan feedback orang.
Ketika seorang politisi korup
diberitakan suka gonta-ganti istri
untuk pencucian uang, kitapun
jadi tidak interest meskipun dia
berbicara benar dalam persidangan.
Karakter seorang komunikator, ketika berbicara justru bisa
menjadi pendengar yang baik. Sebab, melalui kemampuan inilah dia
bisa menelaah, mengkaji dan menyimpulkan kelebihan atau
kekurangan diri termasuk program yang didampinginya.
Namun menjadi pendengar bukan hal mudah sehingga perlu
diketahui tipe pendengar yang bagaimana idealnya bagi seorang
S
fasilitator. Karena Fasilitator, dalam penggambaran seperti seorang
dokter, maka diagnosa dia terhadap suatu masalah sangat
dipengaruhi terhadap kesabaran, ketelitan dan ketertarikan dalam
mendengarkan keluhan masyarakat.
Terdapat tiga tipe pendengar sebagaimana berikut;
PASIF Hanya mendengar, tidak memproses
informasi/feedback
ATENTIF Mendengar dan membuat asumsi sendiri
AKTIF Dua Arah, memberi feedback
Dari ketiga tipe tersebut yang baik diterapkan adalah
pendengar Aktif. Dalam posisi tersebut, kita menggunana prinsip 70;30
(70 mendengarkan, 30 merespon lawan bicara). Pada dasarnya setiap
manusia suka untuk diperhatikan, termasuk dalam berbicara.
Seorang psikolog kaliber dunia, kehebatannya justru pada
kemampuan mendengarkan keluhan pasien. Bukan justru menjadi
pembicara aktif yang tak memberi kesempatan orang menyampaikan
keluhannya.
Fasilitator pun harus bersikap demikian. Tidak selayaknya bila
dalam suatu pertemuan kelompok, dia yang mendominasi
pembicaraan, bahkan one man show misal menjadi narasumber,
merangkap moderator, MC, tanpa melibatkan orang yang mungkin
akan tersanjung bila diberi kesempatan.
TRIK MENDENGAR AKTIF
Tingkah laku seseorang dapat
dilihat dan diamati oleh orang
lain. Ia bisa menjadi penanda
bagaimana minat dengar
seseorang dalam suatu
komunikasi. Seorang terdakwa
yang sedang disidik aparat
polisi, akan terlihat bagaimana suasana batin dari sikap tubuh, wajah
ataupun cara mendengarnya.
Tentu kita tidak membicarakan hal itu, yang jelas seorang
Fasilitator bukan hanya dituntut terampil bicara atau menyampaikan
maksud dan pesan, tetapi juga harus mahir mendengar ketika lawan
bicara menyampaikan pesannya. Untuk itu, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan:
Mendengar seksama
(perhatikan kata sesuai arti dan emosinya)
Liat dan Fokus pada pembicara
(jangan memotong/interupsi)
Tunjukkan bukti anda sedang mendengar
(kumpulkan informasi, klarifikasi)
Reflekasikan
(kata yang diucapkan lawan, perasaannya..)
Setujukan
(Buatlah pembicara tertarik terhadap respon anda)
PAHAMI PROFILE ORANG LAIN
Sebagai fasilitator, mungkin anda pernah lupa, atau belum
berkenalan sedang orang tersebut anda sering anda ajak bicara.
Paling-paling anda menyebutnya, mas..mbak..pak...bu...tanpa
menyertakan nama orangnya. Anda tak merasa anda masalah. Toh
orang tersebut juga mengerti dengan pesan yang anda sampaikan.
Anda lupa bahwa nama bagi setiap orang selalu indah untuk di
dengar. Pada tahun 2006, saya diminta teman mengantar ke tempat
kerja di Kota Solo. Sesampainya di kantor, saya sempatkan duduk di
ruang tamu. Tak lama, keluar seserorang berkewarganegaraan
Jepang.
Dia datang dan duduk disebelahku. Sekedar basa-basi, saya
sampaikan ucapa selamat pagi dalam bahasa Jepang, lalu saya
ceritakan menggunakan bahasa Inggris bahwa saya mengantar teman
yang bekerja disini.
Tak banyak bicara orang jepang itu kembali ke ruang kerjanya.
Lalu ia kembali ke saya sembari memberikan kartunama. Tertulis disitu
Mr.Minoru Ouchi beserta jabatan dan alamat emailnya. Beberapa
bulan kemudian, setelah Bapak saya meninggal dunia, saya berkirim
email kepada Mr. Minoru Ouchi menyampaikan keinginan untuk
diterima kerja.
Tak menunggu waktu satu jam, email saya berbalas dan
dinyatakan saya dibolehkan kerja bersamanya. Kisah ini memberi
pelajaran betapa pentingnya sebuah nama sehingga beberapa
perusahana mewajibkan karyawannya membuat dan menyebarkan
kartu nama.
Memahami profile lawan bicara sangat menguntungkan bagi
efektifnya penyampaian sebuah pesan. Manusia memiliki kepribadian
yang unik namun secara umum terbagi dalam empat kategori; yaitu
Dominan, Terbuka, Akurat dan Kalem.
Berbicara dengan orang yang berkepribadian Dominan, tentu
harus pandai mendengar sebab umumnya orang bertipe demikian
mendominasi pembicaraan. Sama halnya orang yang bertipe Terbuka.
Beda halnya dengan orang yang Kalem dan Akurat, tentu kita harus
proaktif agar komunikasi khususnya secara verbal bukan menjadi
ajang saling menunggu.
Pahami pula karakter budaya masyarakat dampingan.
Wilayah pesisir dengan pegunungan atau perbatasan tentu memiliki
perbedaan profile. Fasilitator harus memahami budaya dominan yang
berkembang disitu bagaimana. Dengan pengamatan yang intensif,
dimungkinkan fasilitator dapat menjalankan komunikasi yang tepat
karena menggunakan tatacara lokal.
BERLATIH ADALAH KEBUTUHAN
ayi yang baru lahir, tentu tak bisa langsung bicara. Ia hanya
berupaya menangis semaunya. Beranjak besar, ia mulai
pandai menirukan suara sampai kemudian bisa secara
mandiri menyebut benda atau merespon omongan kita.
Tentu saja semua itu karena pengaruh latihan yang berulang,
baik secara sadar ataupun tidak. Pembandingnya, seperti dalam kisah
Tarzan, seorang anak manusia yang sejak bayi hidup dihutan
berteman hewan, setelah dewasa hanya bisa berkata
auo..auo..auooo......menirukan suara hewan.
Dalam kisah yang hampir serupa, pada tahun 1970 di
California ada seorang ibu yang melarikan anak gadisnya berumur 13
tahun ke Petugas Kesejahteraan sosial. Sepanjang jalan tidak satupun
ada kata yang terucap dari anak gadis itu. Selidik punya selidik, ayah
anak gadis tersebut, selama 13 tahun telah menyekapnya, mengikat di
tempat duduk, malam harinya dimasukan dalam kurungan besi.
Selama itu, sang ayah tak bosan memukuli tanpa satu kata
patahpun. Sang kakak juga dilarang bercakap-cakap sehingga Genie
nama anak gadis tersebut tak pernah mendengar kata dan bahasa
manusia. Alhasil, anak gadis tersebut pada umur 13 tahun tidak bisa
berbicara layaknya anak seusianya.
Demikian halnya seorang Fasilitator yang tidak melatih diri
dalam berkomunikasi, bisa jadi akan menjadi ahli kebatinan, alih-alih
takut bertemu anggota masyarakat yang didampinginya. Padahal,
apabila ia berani berkomunikasi intensif dengan sendirinya akan
terlatih mentalitas dan pengetahuannya.
B BAB V
BERLATIH MENANG
HINDARI OMDO (omong Doang)
Action speak louder than words. Perbuatan berbicara lebih
keras daripada kata-kata. Dalam istilah yang lain, perjuangan adalah
pelaksanaan kata-kata. Menjadi Fasilitator yang ahli berkomunikasi,
bukan hanya dilihat dari sisi verbal atau kemampuan bicara, bukan
pula dari sisi kemampuan mendengarnya saja, tetapi bagaimana ia
menyesuaikan antara kata-kata dengan perbuatan sehari-harinya.
Komunikasi tidak lepas dari penyampain pesan/informasi kepada
orang lain dengan maksud mengajak mereka bertindak sesuai
keinginan kita. Maka kita harus menjadi orang yang bukan hanya
dipatuhi tapi juga bisa ditauladani.
Dalam contoh sederhana, misalkan seorang fasilitator selalu
menyatakan pentingnya kedisiplinan mengikuti pertemuan, maka ia
sendiri yang harus rutin menghadiri dan datang ontime. Apabila ia
sering menyatakan perlunya semangat gotong royong, maka ia sendiri
yang harus lebih rajin mendatangi kelompok binaan agar bisa dijadikan
contoh semangat bergotong royong.
PENGENDALIAN DIRI
Episode tersulit dalam berkomunikasi adalah pengendalian
diri. Bayangkan, dalam suatu pertemuan dimana anda menjadi
narasumbernya, muncul pertanyaan dari seorang Kades. Pertanyaan
tersebut bernada mengancam. Misal dalam kalimat ini, “jika usulan
pembangunan jalan di desa ini tidak anda loloskan, mulai hari ini juga
jangan datangi desa kami lagi...”.
Sebagai Fasilitator, apabila kita terpancing sehingga bersikap
emosi, tentu akan kontraproduktif. Sebagaimana diterangkan
sebelumnya, kita harus berupaya tenang ditengah kondisi sulit atau
menekan. Untuk itu kenalilah beberapa sikap yang kurang
menguntungkan dalam berkomunikasi.
KURANGI HOBI MENGKRITIK
Sama seperti kita, lawan bicarapun naluri dasarnya tidak suka
kalo dikritik. Sebab, kritik selalu mengarah kekurangan atau
kelemahan. Sedangkan hal itu merupakan aib, Maka agak aneh, kalau
ada seorang tokoh yang tampil di televisi menyatakan silahkan kritik
kami sepuasnya. .
Nah disinilah, pentingnya kita menahan diri dalam mengkritik
orang. Akan lebih baik kalau kalau kita lebih berfokus pada
pengungkapan kelebihan orang sembari memberikan saran perbaikan.
Cara ini lebih menyentuh dibanding kritik yang pasti akan memunculkan
pertahanan ego, bahkan serangan balik pada yang mengkritik.
Ada istilah, kontribusi lebih mulia daripada sekedar mencaci.
Seorang Fasilitatorpun harus bersikap demikian. Tatkala ia
menyaksikan anggota masyarakat yang menolak atau memprotes
keras, tak seharusnya dibalas dengan kritik. Sebab hal itu hanya
memuaskan diri dan bersifat sesaat. Fasilatator harus paham bahwa
masyarakat yang didampinginya butuh didekati, bukan dicaci.
Maka berilah penghargaan yang jujur dan tulus serta
bangkitkan minat pada diri mereka. Belajar dari kesalahan adalah hal
yang wajar. Jadi jangan hobi menjatuhkan orang lain secara langsung
(face to face) ataupun tidak langsung.
HINDARI DEBAT
Debat dalam suatu pertemuan sering tidak terhindarkan.
Mungkin anda termasuk orang yang rajin menonton acara ILC
(Indonesia Lawyer Club) di salah satu televisi swasta nasional. Coba
perhatikan, debat yang selalu terjadi selalu berujung pada kengeyelan,
kengototan dari pelakunya.
Belum lagi mimik yang cemberut, bahkan cenderung memerah
karena marah. Begitulah akibat perdebatan yang sebenaranya. Tidak
ada yang mau mengalah karena yang digunakan bukan lagi akal
sehat, tetapi hati yang sudah emosi.
Seorang Fasilitator akan terbiasa mengalami hal seperti itu.
Ketika bertemu kelompok binaan, Perangkat Desa ataupun LSM dan
media, bisa saja terlibat debat karena terjadi perbedaan ide dan
pandangan. Debat selalu tak mengenakkan hati.
Jadi, satu-satunya cara untuk memenangkan debat adalah
jangan berdebat. Menghindari debat adalah cara ampuh untuk
membangun pemahaman dan persetujuan orang lain. Sebab, percuma
juga berkomunikasi dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Sambut baiklah jika ada ketidaksetujuan, kendalikan
kemarahan, dengarkan baik-baik, pikirkan ide-idenya,
berterimakasihlah, lalu carilah titik temu persetujuan anda dengan
ketidaksetujuannya. Tentu kita juga harus jujur mengakui jika dalam
diri kita terdapat kesalahan.
BERITAHUKAN KESALAHAN TIDAK LANGSUNG
Bagaimana menghadapi cara berpikir dan bersikap yang salah
dari masyarakat yang didampingi? Tentu bukan hal mudah. Seorang
Fasilitator harus berhati-hati agar apa yang akan diluruskannya bisa
diterima dengan baik. Sebab, umumnya manusia bertindak berdasar
kebiasaan yang dibentuk oleh pengetahuan diri dan lingkungannya.
Di Finlandia, konon para Guru telah dibentuk sikap dan
mentalnya dengan positif. Ketika mereka melihat seorang siswa yang
harus remidi karena tidak naik kelas, maka yang diucapkan bukanlah
penyampaian kesalahan dan kelemahan secara langsung.
Sang Guru akan mengajak siswa bicara spesial, dibuat rileks
dan dimotivasi. “ selamat ya Nak, hanya dirimu yang berkesempatan
mengulang/remidi, saya yakin pada kesempatan ini kamu akan lebih
baik dan saya berharap bisa dibuktikan dengan belajar lebih serius”.
“Belajarlah lebih serius..!! kalimat akhir itulah yang menjadi
kritik namun tidak disampaikan to the point dan dibungkus dengan
kalimat indah. Sang anakpun tidak tersinggung. Begitu pula kalau kita
ingin menyampaikan kesalahan orang. Akan lebih efektif kalau
dilakukan secara tidak langsung.
PENUTUP
Menekuni profesi sebagai Fasilitator memang sangat
menantang. Karena bekerja dengan manusia, tentu dibutuhkan
pengetahuan yang memadai tentang manusia itu sendiri. Tentang
bahasa, budaya, karakter, cara berpikir, cara bersosial, sampai
dengan sikap penerimaan terhadap orang lain harus dipelajari dengan
seksama.
Komunikasi merupakan bidang yang harus diseriusi untuk
dipelajari karena naluri manusia adalah ingin berhubungan dengan
orang lain. Namun, mengenalkan diri, membantun interest dan
kepercayaan, meminta dukungan persetujuan dan tindakan adalah
bukanlah hal mudah.
Sebagai orang luar (karena biasanya tidak berasal dari lokasi
yang didampingi), Fasilitator harus bisa menjalankan komunikasi
secara persuasif. Sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa
manusia merasa senang kalau dihargai, oleh karena itu fasilitator
harus mengerti kesukaannya, tidak suka mendebat dan mengkritik.
Dia juga harus mahir mendorong semangat, memotivasi
dengan hal-hal mulia. Selain secara verbal, audio visual tentunya juga
dengan teladan/contoh sehingga masyarakat yang didampingi merasa
cocok memilih figur fasilitator.
Dukungan pemikiran, persejuan dan tindakan adalah target
penting komunikasi. Percuma saja berkomunikasi kalau tidak berdasar
tujuan yang terarah, sebab tugas pendampingan selama satu tahun
kontrak misalnya, bisa akan sia-sia.
BAB VI
PENUTUP
TENTANG PENULIS
Ali Yasin, dilahirkan di Magetan
35 tahun silam. Setelah
menamatkan dari MAN Nglawak
Kertosono-Nganjuk, ia sempat
mengenyam pendidikan
Diploma Satu Tahun di Kampus
Magistra Utama-Malang. Tahun
1997, ia melanjutkan kuliah di
Universitas Jember dan tamat
tahu 2003.
Pria yang saat ini tinggal
di perumahan Puri surya Jaya
Gedangan Sidoarjo ini, sejak
mahasiswa menyukai dunia jurnalistik. Pernah menjadi wartawan
majalah Otonom kurun waktu tahun 2007-2009. Saat ini sebagai
spesialis KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) PNPM Mandiri
Perdesaan Provinsi Jawa Barat. Selain menyukai musik, Bapak dua
anak ini menyukai travelling. Korepondensi silahkan di
[email protected] FB ali yasin attamimi.
Top Related