Download - BPH Urologi

Transcript
  • 5BAB 2

    TINJAUAN KEPUSTAKAAN

    2.1 Histologi Prostat

    Sebelum melanjutkan perbahasan secara lebih dalah mengenai penyakit BPH dan

    kanker prostat, harus dilihat terlebih dahulu prostat itu sendiri secara normal.

    Histologi prostat penting diketahui supaya mudah dalam melihat perbedaan apabila

    adanya kelainan pada gambaran mikroskopik prostat.

    Secara umumnya, kalenjar prostat terbentuk dari glandular fibromaskuler dan

    juga stroma, di mana, prostat berbentuk piramida, berada di dasar musculofascial

    pelvis dimana dan dikelilingi oleh selaput tipis dari jaringan ikat (gbr 2.1) (McNeal

    1988, Dixon et al, 1999).

    Gambar 2.1: Kalenjar Prostat

    (Dikutip dari: Wheather's Functional Histology: A text and Colour Atlas 5th Edition)

    Universitas Sumatera Utara

  • 6Lanjutan dari yang di atas, secara histologinya, prostat dapat dibagi menjadi 3

    bagian atau zona yakni perifer, sentral dan transisi. Zona perifer, memenuhi hampir

    70% dari bagian kalenjar prostat di mana ia mempunyai duktus yang menyambung

    dengan urethra prostat bagian distal. Zona sentral atau bagian tengah pula mengambil

    25% ruang prostat dan juga seperti zona perifer tadi, ia juga memiliki duktus akan

    tetapi menyambung dengan uretra prostat di bagian tengah, sesuai dengan bagiannya.

    Zona transisi, atau bagian yang terakhir dari kalnjar prostat terdiri dari dua lobus, dan

    juga seperti dua zona sebelumnya, juga memiliki duktus yang mana duktusnya

    menyambung hampir ke daerah sphincter pada urethra prostat dan menempati 5%

    ruangan prostat. Seluruh duktus ini, selain duktus ejakulator dilapisi oleh sel sekretori

    kolumnar dan terpisah dari stroma prostat oleh lapisan sel basal yang berasal dari

    membrana basal (gbr 2.2) (Blacklock 1974; McNeal 1988; Dixon et al. 1999).

    Gambar 2.2: Tiga bagian dari kalenjar prostat

    (zona perifer, sentral dan transisi)

    (Dikutip dari: Wheather's Functional Histology: A text and Colour Atlas 5th Edition)

    Universitas Sumatera Utara

  • 72.2 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

    Sebelumnya, sudah dijelaskan secara umum tentang histologi prostat.

    Selanjutnya akan dibahas mengenai kelainan yang sering terjadi pada prostat yakni

    benign prostatic hyperplasia (BPH). BPH adalah merupakan suatu kelainan di mana

    terjadinya pembesaran jinak pada prostat, akan tetapi ini tidak akan berlanjut menjadi

    ganas. Untuk mengetahui dengan lebih dalam, kita terlebih dahulu akan membahas

    mengenai pengertian dari BPH itu sendiri melalui beberapa sumber, patogenesis dan

    juga secara histopatologi, sesuai dengan penelitian yang akan dijalankan yaitu melihat

    gambaran histopatologi penyakit ini.

    2.2.3 Pengertian BPH

    BPH, secara umumnya boleh dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak. Maka

    jelas dari pengertian secara umum sebelumnya, terdapatnya seuatu yang

    menyebabkan prostat membesar. Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu

    jaringan yang disebabkan oleh penambahan jumlah sel yang membentuknya.

    Maka dapat kita nyatakan bahwa hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat

    yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar. Namun orang sering

    menyebutnya dengan hipertrofi prostat, namun secara histologi yang dominan

    adalah hiperplasia dibanding hipertrofi (Anonim, 2009).

    Sebagaimana wujudnya perbedaan dalam nama BPH itu sendiri,

    pengertiannya turut ikut berbeda dan ini didasarkan atas bagaimana BPH itu

    dipahami. BPH dapat didefenisikan secara histologi dan juga secara klinikal.

    Masing-masing pengertian akan dapat dinyatakan secara khusus selanjutnya.

    Secara histologi, BPH dapat didefenisikan sebagai pembesaran nodular

    secara regional dengan kombinasi poliferasi stroma dan glandular yang berbeda

    (Berry SJ, 1984). Ini dapat kita dinyatakan secara khusus, bahwa BPH ini

    merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan sel epitel dan

    sel stroma di dalam daerah periurethra pada prostat (gbr 2.3).

    Universitas Sumatera Utara

  • 8Gambar 2.3: Histopatologi BPH menunjukkan adanya terjadi pembesaran

    nodular kalenjar prostat.

    (Dikutip dari: http://library.med.utah.edu/WebPath/MALEHTML/MALE072.html)

    Pengertian BPH secara klinikal, menurut NCI: Definition of Cancer Terms,

    BPH adalah suatu pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh hiperplasia

    beberapa atau semua komponen dari prostat yang meliputi jaringan dari kalenjar

    maupun jaringan fibromuskuler yang menyebabkan terjadinya penyumbatan

    uretra prostat dan brsifat non-kanker.

    Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa BPH adalah

    pembesaran yang terjadi pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan prostat

    membesar, jika dilihat secara patologi anatomi, pembesaran ini menganggu baik

    kalenjar itu sendiri dan boleh berpoliferasi dan membesar ke bagian bersebelahan.

    2.2.4 Etiologi dan Patogenesis BPH

    Sebenarnya, sedikit yang diketahui mengenai etiologi dan patogenesis BPH, maka

    sebab itu, penulis menggabungkan keduanya dan membahasnya secara umum.

    Sehingga kini, setakat yang diketahui, terdapat dua faktor penyebab penyakit BPH

    ini yakni usia dan hormon androgen.

    Universitas Sumatera Utara

  • 9 Sebagaimana dinyatakan pada pernyataan sebelum ini, usia mungkin

    menjadi faktor penyebab terjadinya BPH, akan tetapi ini tidak berlaku pada pria

    yang menjalani tindakan kastrasi prapubertas (A.K. Abbas et al, 2005). Oleh

    karena itu maka faktor usia dan hormon androgen sangat berpengaruh

    menyebabkan terjadinya BPH.

    (Gambar 2.4: Kalenjar prostat yang membesar, di mana normalnya adalah

    cuma sebesar 3 hingga 4 cm.)

    (Dikutip dari: http://library.med.utah.edu/WebPath/jpeg1/MALE041.jpg)

    Secara khususnya, pria memproduksi hormon terpenting di dalam

    reproduksi, yakni hormon testosteron dan sedikit hormon estrogen (Edwards JE et

    al, 2002). Pada saat seseorang pria itu mulai berumur, maka jumlah testosteron

    yang aktif di dalam darah menurun dan kadar estrogen meningkat. Peningkatan

    ini ditambah pula dengan substansi lainnya dipercayai mempercepat pertumbuhan

    sel pada kalenjar prostat dan sehingga pada akhirnya menybabkan terjadinya BPH

    (Rachman, 2009).

    Universitas Sumatera Utara

  • 10

    (Gambar 2.5: Menunjukkan corpora amylacea di dalam salah satu kalenjar

    prostat)

    (Dikutip dari: Wheather's Functional Histology: A text and Colour Atlas 5th

    Edition)

    Secara histopatologi pula, prostat ada mensekresi kan produk dimana ia

    memenuhi hampir separuh dari volume cairan seminal. Cairan ini merupakan

    cairan halus yang kaya dengan asam sitrat beserta enzim proteolitik termasuk

    fibrinolisin yang bertindak mencairkan kembali semen yang berkoagulasi setelah

    dilepaskan ke dalam vagina. Akan tetapi, sisa cairan ini yang tersisa dan mungkin

    tidak dilepaskan akan terkumpul di dalam beberapa kalenjar untuk membentuk

    apa yang dinamakan sebagai corpora amylacea, yang mana meningkat sejalan

    usia dan bisa terjadinya kalsifikasi (gbr 2.3) (Young Barbara et al, 2006).

    2.2.5 Imunohistokimiawi

    Perbahasan secara histopatologi merupakan lanjutan dari subtopik sebelumnya, ini

    adalah bagi membolehkan kita agar lebih memahami akan pewarnaan dan kaedah

    Universitas Sumatera Utara

  • 11

    dalam mengetahui dengan lanjut akan reaksi bagian dalam prostat terhadap

    antibodi yang diberikan, beserta karakteristik el tersbut secara umum.

    Setelah dilakukan proses imunohistokimia, kita dapat lihat pada bagian

    fibroleiomyomatous BPH, menunjukkan reaksi yang kuat dengan antibodi

    terhadap vimentin, desmin dan aktin. Lapisan sel basal dapat digambarkan dengan

    adanya terjadi reaksi keratin strata-korneum. Ekspresi antigen spesifik prostat

    (PSA) dan fosfatase asam prostat spesifik (PAP) akan memberikan hasil negatif

    pada lapisan sel basal. Sel-sel sekretori pula menunjukkan menunjukkan yang

    sebaliknya. PSA dan PAP menunjukkan pewarnaan yang kuat. Kadang-kadang

    chromogranin A-sel endokrin menunjukkan hasil yang positif, akan tetapi antara

    epitel kelenjar sekretori hiperplastik terdeteksi negatif. Pewarnaan lapisan sel

    basal oleh reaksi lapisan korneum-keratin telah ditemukan terjadi satu perbedaan

    yang signifikan antara indeks diagnostik khas hiperplasia dan atipikal serta

    neoplasia intraepitel prostat (PIN) dari nilai moderat dan parah, dan antara kanker

    prostat kelenjar. Pola ekspresi stratum corneumkeratin menjadi lebih merata

    dengan peningkatan atypia dan akhirnya menghilang, sesuai dengan

    menghilangnya lapisan sel basal dan di dalam kasus karsinoma (gbr 2.5), sel

    basal hiperplasia prostat ditandai oleh ekspresi dari stratum corneumkeratin yang

    kuat (M 903) dan dengan kurangnya pewarnaan PSA atau PAP (Helpap B, 1980).

    Gambar 2.6: Pewarnaan sel basal pada hiperplasia atipikal dengan stratum-

    corneumkeratin

    (Dikutip dari: https//www.graminex.com.au)

    Universitas Sumatera Utara

  • 12

    Intranuklear estrogen (ER) dan progesteron (PR) reseptor tidak ditemukan

    dalam sel sekretori. Namun, sel-sel basal dalam prostat hiperplastik dapat

    mengekspresikan reseptor ini. Reseptor seringnya dapat ditemukan dalam sel-sel

    stroma periglandular (Helpap B, 1980). Menurut hasil terbaru reseptor androgen

    ditemukan dalam sel-sel sekretori, pola imunohistokimia dari bagian-bagian

    hiperplastik, stroma, dan kelenjar prostat dari hiperplastik tidak berbeda dari yang

    dari prostat normal. Dalam hiperplasia sel basal, hampir kesemua sel basal

    mengungkapkan reseptor estrogen dalam inti (Svanholni, H., B. Nielsen, 1989).

    Lapisan tunggal epitel sekresi, terletak di bagian lumen kelenjar, namun, negatif.

    Dengan memanfaatkan marker proliferasi Ki 67, sel-sel yang aktif berpoliferasi

    dapat ditunjukkan dalam hiperplasia sel basal (Sar, M., D. B. Lubahn, 1990). Sel-

    sel otot berserat dan halus dalam stroma dapat dicirikan oleh vimentin filamen

    intermediate dan desmin.

    Dalam nodul stroma yang mengandung banyak sel yang belum matang,

    beberapa sel yang berlabel dapat ditunjukkan menggunakan kaedah

    imunohistokimia Ki 67. Pada sel stroma yang berada di dalam keadaan stasioner,

    tiada sel terwarnakan oleh Ki antibodi 67. Hal ini berkorelasi dengan baik dengan

    kinetik-autoradiographical sel dengan 3H-thymidan. Sel stroma aktif secara

    radioaktif sangat jarang terlihat. Oleh karena itu, indeks sel yang berlabel sangat

    rendah yakni berada di bawah 0,01%. Keadaan ini tidak berubah secara signifikan

    dalam pembentukan apa yang disebut sebagai mesenkim bintil merah. Dalam

    kasus hiperplasia sel basal dan khususnya pada hiperplasia postatrophic, indeks

    sel berlabel meningkat menjadi 1,6% (Helpap B, 1991).

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    Gambar 2.7: Sel atrofi dan postatrofi pada kalenjar hiperplasia yang dilabel

    secara radioaktif.

    (Dikutip dari: https://www.graminex.com.au/)

    2.2.6 Klasifikasi dan Penamaan Prostat Hiperplasia

    Diagnosa hiperplasia prostat secara jelas dapat diproleh melalui pemeriksaan

    klinik, akan tetapi jika di lihat dari morfologinya ia sebenarnya memberi

    gambaran yang berbeda. Pentingnya jika di lihat dari keadaan histopatologi,

    yakni dari proses poliferasi sel yang terjadi membawa kepada penamaan penyakit

    ini secara berlainan. Istilah hipertrofi dan adenoma sering diguna pakai dalam

    konteks klinik, akan tetapi harus dilihat, oleh karena proses hiperplastik

    merupakan suatu yang dinilai secara morfologi, yakni secara imunohistokimia,

    yakni seperti yang dijelaskan sebelum ini, sitometri DNA, sebenarnya istilah

    hipertrofi dan adenoma tidak lagi relevan untuk diteruskan penggunaannya

    (Helpap B., 1989).

    Klasifikasi menurut Elbadawi adalah dinyatakan berdasarkan pemeriksaan

    histologi secara lebih dalam (Elbadawi, 1980). Beliau mengasingkan stroma-

    glandular hiperplasia pada nodular paraurethra dari hiperplasia duktus;

    selanjutnya, hiperplasia pasaca-atrofi sekunder dan metaplasia turut dibedakan.

    Menurut sistim beliau, sel atypia di dalam stromal dan bagian glandular dari

    Universitas Sumatera Utara

  • 14

    kalenjar prostat pada hiperplasia juvenil, telah infak prostat, inflamasi dan juga

    reaksi sel basa dinyatakan secara berasingan.

    Jika kita lihat dari klasifikasinya pula, Menurut tulisan Mostofi (1980),

    klasifikasi WHO membedakan hiperplasia nodular dan bentuk hiperplasia

    lainnnya ke dalam hiperplasia pasca-atrofi, skunder dan juga hiperplasia sel

    basal.

    Menurut Dhom, hiperplasia primer, atrofi dan juga metaplasia harus

    dibedakan. Termasuk di dalam hiperplasia primer adalah, hiperplasia sederhana,

    adenomatosa glandular kecil, cribriform dan hiperplasia papiler. Di bawah atrofi

    pula, yang tergolong dibawahnya adalah atrofi sederhana, atrofi kistik, hiperplasia

    nodular pasca-atrofi dan juga hiperplasia pasca-sklerotik (Dhoni G., 1979).

    2.3 Kanker Prostat

    Kanker prostat, sedikit sebanyak latar belakang secara epidemiologi telah

    dibahaskan pada bab 1, yakni di latar belakang penyakit kanker prostat.

    Perbahasan mengenai penyakit ini akan dilanjutkan dengan lebih dalam, dan

    seperti sebelumnya, kita akan membahas akan pengertian penyakit, etiologi dan

    akan disinggung juga klasifikasi serta kaedah grading kanker prostat secara

    histopatologi.

    2.3.1 Pengertian Kanker Prostat

    Kanker prostat adalah merupakan sejenis kanker yang terbentuk didalam jaringan

    prostat (NCI: Definition of Cancer Terms, 2009), di mana prostat seperti yang

    telah dibahaskan sebelum ini, adalah merupakan kalenjar di dalam sistem

    reproduksi pria yang mana dapat ditemukan di bawah kandung kemih dan berada

    di hadapan rektum.

    2.3.2 Etiologi Kanker Protat

    Sebagaimana kebanyakan jenis kanker lainnya, kanker prostat secara jelas,

    Universitas Sumatera Utara

  • 15

    etiologinya belum terbuktikan, dan boleh saja berupa multifaktorial. Perbahasan

    mengenai etiologi kanker prostat ini akan dibuat berdasarkan beberapa faktor dari

    hasil penelitian yang didapatkan yakni antara lain adalah faktor genetik,

    pekerjaan, diet, dan faktor hormonal.

    2.3.2.1 Faktor Genetik

    Kanker disebabkan oleh suatu proses yang kompleks dan secara jelas masih belum

    dipahami mengenai interaksi di antara herediter dan lingkungan. Apa yang

    menjadi antara dasar faktor genetik dimasukkan menjadi faktor yang

    menyebabkan kanker prostat ini adalah menurut beberapa penelitian yang dibuat,

    resiko mendapatkan kanker prostat dilihat meningkat dari 2% hingga 9% (Negri

    E., 1997), pada pasien yang sebelumnya memiliki riwayat keluarga yang turut

    menderita penyakit yang sama.

    Maka, oleh karena itu, setakat yang penulis ketahui, lokasi gen atau

    beberapa gen yang terpengaruh masih di dalam penelitian. Akan tetapi menurut

    Theodorescu D., (2009), kehilangan lengan panjang pada kromosom 10 dan 7

    serta kehilangan kromosom 1, 2, 3, dan Y mungkin menjadi antara penyebab yang

    mempengaruhi.

    2.3.2.1 Pekerjaan

    Menurut penelitian yang dibuat mengenai hubungan di antara pekerjaan dan

    kanker prostat (Bosland MC., 1990)(lise, 2001), di dalam penelitian tersebut,

    terdapat beberapa pekerjaan mungkin dapat menjadi faktor penyebab terjadinya

    kanker prostat, di mana antara pekerjaan tersebut adalah petani, pekerja yang

    berhubungan dengan penggunaan logam berat, serta pekerjaan melibatkan industri

    pembuatan mobil.

    Secara umumnya, walaupun tidak secara langsung bisa menyebabkan

    kanker prostat tetapi faktor pekerjaan ini bisa menjadi salah satu penyebab karena,

    yang paling tinggi kebarangkalian untuk mendapatkan kanker ini adalah pada

    Universitas Sumatera Utara

  • 16

    pekerja berhubungan dengan logam berat dan petani. Ini karena kadar pada pupuk,

    kadar kadmium dan agen yang bisa mengubah kadar hormon tubuh adalah tinggi

    (lise, 2001).

    2.3.2.2 Diet

    Kanker prostat juga sering dikaitkan dengan kadar pengambilan lemak. Di mana,

    baik lemak dari tumbuhan maupun lemak dari hewan. Akan tetapi, harus

    diingatkan bahwa tidak semua lemak punya kecenderungan untuk menyebabkan

    kanker prostat.

    Ini adalah berdasarkan hasil studi yang dijalankan pada orang Jepang

    yang tinggal di Jepang dan orang Jepang yang tinggal di Amerik, dari hasil

    penelitian yang dijalankan, di lihat bahwa yang tinggal di Amerik lebih tinggi

    prevalensi menderita kanker prostat dibanding orang Jepang yang memang tinggal

    di Jepang. Hasil kultur sel menunjukkan bahwa asam lemak omega-6 merupakan

    stimulan positif terhadap pertumbuhan sel kanker prostat (McLaughlin, 1990),

    manakala asam lemak omega-3 menunjukkan sebaliknya. Ini dapat menunjukkan

    bahwa lemak ini menunjukkan dampak dengan mempengaruhi hormon seks atau

    faktor pertumbuhan dan kesan langsung terhadap 5-alpha reductase (O Reilly,

    1999).

    2.3.2.3 Faktor Hormonal

    Faktor hormon juga telah dinyatakan sebagai antara faktor penyebab terjadinya

    kanker prostat, namun demikian, dari beberapa penelitian yang dibaca, belum

    terdapatnya kesimpulan yang pasti berhubung bagaimana hormon mempengaruhi

    terjadinya kanker prostat.

    Dari penelitian yang dibaca, menurut O Reilly (1990), perbedaan dari

    setiap hasil studi yang mana, ada yang menyatakan bahwa adanya keterkaitan di

    antara keduanya dan dari studi yang lainnya menyatakan sebaliknya, ini mungkin

    terjadi karena tiada kaedah baku di dalam teknik pengukuran, dan mungkin juga

    Universitas Sumatera Utara

  • 17

    jumlah sampel yang kurang adekuat untuk menguatkan hasil statistik.

    Secara umumnya, banyak penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan di

    antara faktor hormonal dan kanker prostat, dan ini dikaitkan dengan adanya

    riwayat penyakit seperti Diabetes Mellitus, sirosis dan sebagainya yang mana

    mengganggu keeseimbangan hormon secara tidak langsung (Giovannucci, 2001)

    2.3.3 Klasifikasi dan Penilaian Tahap Kanker Prostat

    Klasifikasi dan grading kanker prostat sangat penting dilakukan, ini adalah bagi

    mengetahui keparahan penyakit serta membedakan jenis kanker prostat. Secara

    histopatologi, adenokarsinoma adalah antara yang tersering. Kaedah klasifikasi

    yang sehingga kini dipakai adalah TNM (Tumour Node Metastasis) di mana

    klasifikasi ini membedakan kanker prostat berdasarkan keadaan tumor, nodul dan

    juga tahapan metastasis, kaedah lain adalah melalui sistem Whitmore-Jewett di

    mana keduanya akan dibahaskan selanjutnya. Grading atau penilaian tahap

    kanker prostat pula menggunakan kaedah histopatogi, dengan meletakkan kanker

    prostat ke dalam 5 tahapan, ini juga akan dibahaskan selanjutnya.

    2.3.3.1 Klasifikasi menurut TNM 2002

    Secara ringkasnya, klasifikasi yang kini diguna pakai adalah sistem TNM

    yang mana sistem ini adalah seperti yang secara umum telah dinyatakan

    sebelumnya. Hasil dari klasifikasi berdasarkan ketiga komponen dari sistem ini

    tadi kemudiannya dapat digabung ke dalam 4 stage.

    Tabel 2.1: Tumour Node Metastasis 2002 ( TNM)

    Primary tumor (T)

    TX: Primary tumor cannot be assessed T0: No evidence of primary tumor T1: Clinically inapparent tumor not palpable nor visible by imaging

    T1a: Tumor incidental histologic finding in 5% or less of tissue resected (in prostatectomy)

    T1b: Tumor incidental histologic finding in more than 5% of tissue

    Universitas Sumatera Utara

  • 18

    resected T1c: Tumor identified by needle biopsy (e.g., because of elevated

    PSA) T2: Tumor confined within prostate*

    T2a: Tumor involves one-half of 1 lobe or less T2b: Tumor involves more than one-half of 1 lobe but not both

    lobes T2c: Tumor involves both lobes

    T3: Tumor extends through the prostate capsule** T3a: Extracapsular extension (unilateral or bilateral) T3b: Tumor invades seminal vesicle(s)

    T4: Tumor is fixed or invades adjacent structures other than seminal vesicles: bladder neck, external sphincter, rectum, levator muscles,and/or pelvic wall

    Note: Tumor found in one or both lobes by needle biopsy. But not palpable or reliably visible by imagine, is classified as T1c.

    Note: Invasion of the prostate apex or into (but not beyond) the prostatic capsule is not classified as T3, but as T2.

    Regional lymph nodes (N)

    NX: Regional lymph nodes were not assessed N0: No regional lymph node metastasis (lymph nodes confined to the true

    pelvis) N1: Metastasis in regional lymph node(s)

    Distant metastasis (M)*

    MX: Distant metastasis cannot be assessed (not evaluated by any modality) M0: No distant metastasis M1: Distant metastasis

    M1a: Nonregional lymph node(s) M1b: Bone(s) M1c: Other site(s) with or without bone disease

    (Dikutip dari: American Joint Committee on Cancer.: AJCC Cancer Staging

    Manual. 6th edition )

    Universitas Sumatera Utara

  • 19

    Hasil dari penilaian, kemudiannya seperti yang telah dijelaskan

    sebelumnya, hasil ini akan dikombinasikan ke dalam 4 stage (tbl 2.2).

    Tabel 2.2 : Staging Kanker Prostat

    (Dikutip dari: American Joint Committee on Cancer.: AJCC Cancer Staging

    Manual. 6th edition )

    2.3.3.2 Klasifikasi Menurut Whitmore-Jewett

    Sistem klasifikasi ini sudah tidak lagi diguna pakai tetapi masih ada yang masih

    menganutinya, sistem ini hampir sama, tetapi terdapat sedikit perbedaan di mana

    sistem ini lebih ringkas dan tidak rinci seperti sistem TNM yang mana sudah

    dilakukan revisi bagi menggantikan sistem ini atau nama lainnya sistem Jewett.

    Universitas Sumatera Utara

  • 20

    Tabel 2.3: Klasifikasi Menurut Whitmore-Jewett

    A: tumor is present, but not detectable clinically; found incidentally

    A1: tissue resembles normal cells; found in a few chips from one lobe

    A2: more extensive involvement B: the tumor can be felt on physical examination but has not spread outside the prostatic capsule

    BIN: the tumor can be felt, it does not occupy a whole lobe, and is surrounded by normal tissue B1: the tumor can be felt and it does not occupy a whole lobe B2: the tumor can be felt and it occupies a whole lobe or both lobes

    C: the tumor has extended through the capsule

    C1: the tumor has extended through the capsule but does not involve the seminal vesicles

    C2: the tumor involves the seminal vesicles

    D: the tumor has spread to other organs

    (Dikutip dari:

    http://www.cornellurology.com/prostate/evaluation/pathology.shtml)

    2.3.3.3 Sistem Gleason

    Sistem Gleason ini, merupakan yang tersering diguna pakai dalam penelitian dan

    dalam diagnosis sehari-hari. Sistem ini sepenuhnya berdasarkan susunan secara

    histologi sel-sel karsinoma (Gleason DF, 1990). Perbahasan mengenainya juga

    akan dibahaskan dengan lebih mendalam sesuai dengan kepentingan penelitian ini

    dalam mengetahui secara histopatologi akan kanker prostat.

    Secara khususnya, kaedah ini adalah salah satu di antara kaedah kategorik

    Universitas Sumatera Utara

  • 21

    pola histologi dari pertumbuhan sel kanker di bawah pembesaran yang relatif

    rendah (X10-40). Sembilan pola pertumbuhan sel kanker ini dikonsolidasi ke

    dalam 5 tahapan dan ini dapat di lihat di dalam gambar 2.8 (Gleason DF, 1992).

    (Gambar 2.8: Tahapan Berdasarkan Sistem Gleason)

    ( Dikutip dari: Gleason DF. Histologic grading of prostate cancer: a perspective,

    1992)

    Kaedah untuk sistem ini adalah, lima tahapan pola pertumbuhan tadinya

    digunakan untuk menghasilkan apa yang dinamakan sebagai skor histologi, di

    mana skor ini dapat di antara 2 hingga 10. Cara mendapatkan skor ini adalah

    dengan menambahkan gred pola primer dan pola sekunder. Dinyatakan sebagai

    gred pola primer adalah yang berada di daerah predominan melalui inspeksi visual

    yang sederhana. Pola sekunder pula adalah pola kedua tersering ditemukan. Jika

    Universitas Sumatera Utara

  • 22

    hanya satu gred yang ditemukan dalam satu-satu sampel jaringan, maka gred

    tersebut dikalikan dengan dua untuk memperoleh skor Gleason (Humphrey PA,

    2003).

    Interpretasi hasil dari skor Gleason adalah, apabila skor yang di dapat

    adalah 2-4, maka karsinoma dinyatakan mempunyai perbedaan yang jelas; 5-7

    dinyatakan sebagai perbedaan sedang; 8-10 dinyatakan sebagai perbedaan sangat

    sulit.

    Tabel 2.4: Sistem Gleason untuk Tahapan Adenokarsinoma Prostat

    (Dikutip dari: Mostofi FK, 1975. Grading of Prostatic Carcinoma)

    Prinsip dari sistem ini mudah sebenarnya, di mana hanya perlu mengenal

    pasti grading seperti yang dinyatakan di gambar 2.8, kemudiannya mengenal pasti

    yang mana terbanyak dan yang kedua terbanyak, dan setelah itu dijumlahkan

    untuk mendapatkan skor Gleason. Supaya dapat lebih memahami kaedah menilai

    dan memberikan skor berdasarkan sistem ini, bisa dilihat pada gambar di bawah

    ini (gbr 2.9, 2.10, 2.11).

    Universitas Sumatera Utara

  • 23

    (Gambar 2.9: Menunjukkan gred 2+1 memberikan skor tiga

    adenokarsinoma prostat)

    (Dikutip dari: Gleason DF. Histologic grading of prostate cancer: a perspective,

    1992)

    (Gambar 2.10: Menunjukkan gred 2+2 memberikan skor empat

    adenokarsinoma prostat)

    (Dikutip dari: Gleason DF. Histologic grading of prostate cancer: a perspective,

    1992)

    Universitas Sumatera Utara

  • 24

    (Gambar 2.11: Menunjukkan gred 3+3 memberikan skor enam

    adenokarsinoma prostat)

    (Dikutip dari: Gleason DF. Histologic grading of prostate cancer: a perspective,

    1992)

    Universitas Sumatera Utara