Download - BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIANnew.litbang.pertanian.go.id/buku/membalik-kecenderungan-degrad/BAB... · Eksploitasi lahan di Indonesia dapat ditelusuri sejak penjajahan

Transcript

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIANFaisal Kasryno1 dan Haryono2

1)Ekonom Pertanian Senior, Yayasan Pertanian Mandiri2)Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Eksploitasi lahan di Indonesia dapat ditelusuri sejak penjajahan Belanda diawali dengan penerapan kebijakan tanaman paksa. Dengan adanya tekanan politik dalam negeri, Pemerintah Belanda pada awal abad 20 menerapkan “ethiesche politiek” di negeri jajahannya agar masyarakat miskin dapat menikmati hasil pembangunan. Kebijakan tanaman paksa (“cultuur stelsel”) dihapus dan dikeluarkan “agrarische wet” tahun 1870 yang memberikan hak pengelolaan lahan kepada perusahaan perkebunan swasta Belanda yang kemudian berkembang dengan pesat. Masyarakat miskin dan petani dilibatkan dalam pembangunan pertanian dan Pemerintah Belanda mulai membangun irigasi untuk sawah terutama di Jawa. Di sisi lain, irigasi ini juga digunakan oleh perusahaan Belanda untuk mengembangkan perusahaan perkebunan tebu dan mendapatkan hak pengelolaan lahan berdasarkan “agrarische wet”. Kebijakan ini telah menumbuhkan “enclave” perkebunan berdampingan dengan petani tradisional yang dikenal sebagai “dual economy”(Boeke 1953).

Pada tahun 1950-an, pemerintah menasionalisasi semua perusahaan milik Belanda dan menjadikannya perusahaan milik negara sesuai dengan UUD 1945, terutama Pasal 33. Selanjutnya, UU Pokok Agraria No. 5/1960 diterbitkan. Undang-undang ini menghapus “agrarische wet” dan semua produk hukum pertanahan lainnya; semua tanah milik swasta dan perorangan dalam skala luas diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada petani penggarap. Namun, sampai akhir tahun 1960-an, politik lebih mendominasi kebijakan, sehingga pertumbuhan tidak berkembang dan kemiskinan terus meningkat.

Menurut laporan Ekonomi Bank Dunia (World Bank, 2006), perkembangan ekonomi Indonesia merupakan contoh yang baik bagi integrasi tiga tema utama pembangunan ekonomi dewasa ini, yaitu:

a. Pentingnya pemberdayaan kelembagaan petani dan masyarakat pedesaan agar peranan pasar optimal dalam menentukan pembagian kesempatan dan pendapatan.

b. Peran dukungan politik melibatkan kelompok miskin dalam semua proses yang menentukan kerangka kebijakan pasar dan akumulasi aset.

c. Pentingnya penerapan good governance pada kelembagaan pemerintahan dan dunia usaha agar dapat menerapkan mekanisme pasar beroperasi dengan baik.

Pada awal tahun 1970-an, pemerintah lebih memfokuskan perhatian pada kebijakan pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan masyarakat miskin. Kebijakan ini antara lain dilakukan dengan berbagai program investasi pada pembukaan lahan baru seperti program

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

213

transmigrasi, perluasan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang mengalokasikan lahan untuk petani hingga 80 persen dari total areal perkebunan yang dibuka. Pola PIR ini juga dikembangkan untuk peternakan dan perikanan. Kebijakan ini didukung oleh kebijakan pembangunan prasarana irigasi dan transportasi, kebijakan harga dan perdagangan disertai berbagai bentuk subsidi. Selama tiga dasa warsa pembangunan, kebijakan ini telah berhasil meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 5 persen per tahun dengan Gini Ratio 0.36 persen (World Bank 2005). Akses pada pasar difasilitasi dengan menurunnya biaya transportasi melalui pengembangan prasarana dan transportasi serta pengembangan pasar. Kebijakan ini juga ditunjang dengan kebijakan pengembangan pendidikan dan kesehatan.

Semua paket kebijakan ini dikenal dengan Trilogi Pembangunan, yaitu Pertumbuhan, Stabilitas, dan Pemerataan. Kebijakan pembangunan ekonomi ini diimplementasikan melalui pengembangan berbagai program pembangunan yang diawali dengan fokus pada pembangunan pertanian dan pedesaan, pembangunan sektor industri, pengendalian tingkat inflasi rendah, harga bahan kebutuhan pokok rendah, pembangunan prasarana ekonomi secara masal, kebijakan ekonomi makro, dan pasar terbuka. Kelemahan masih dialami pada pengembangan “good governance” di pemerintahan dan dunia usaha, sehingga krisis ekonomi tahun 1998 merusak semua sendi perekonomian yang telah dibangun. Ini berarti kelemahan dalam membangun kelembagaan dan tata pemerintahan yang baik (good civil services governance) dan dunia usaha yang beretika bisnis yang baik (good private business governance).

Memperhatikan berbagai kelemahan dalam politik pertanahan, maka MPR mengeluarkan Ketetapan No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tantangan inilah yang dihadapi untuk meneruskan Trilogi Pembangunan dengan disertai pembangunan good governance, baik di pemerintahan maupun di di dunia usaha dan kehidupan masyarakat madani (civil society). Dalam konteks ini, tujuan tulisan ini adalah untuk membahas kebijakan pertanahan pada pembangunan pertanian dan pedesaan yang penting selama masa penjajahan Belanda sampai sekarang.

Era Penjajahan BelandaBelanda memulai pembangunan pertanian berawal dari VOC untuk mendapatkan

komoditas rempah-rempah yang diperlukan di pasar Belanda dan negara-negara Eropa lainnya. Pada era ini belum dilakukan pembudidayaan, hanya melakukan monopoli perdagangan ekspor. Kemudian dilanjutkan dengan “Tanaman Paksa” (cultuur stelsel) dengan kewajiban rakyat/petani Indonesia menanam komoditas rempah-rempah, karet, kopi, teh, dan tebu.

Dengan adanya Revolusi Perancis dan Revolusi Industri di Eropa, maka kebijakan “Tanaman Paksa” dihentikan dan digantikan dengan penerbitan agrarische wet tahun

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

214

1870 tentang hak pengelolaan tanah yang memberikan kewenangan kepada perusahaan Belanda untuk mengembangkan perkebunan di Indonesia.

Dalam pelaksanaannya, dikeluarkan pula berbagai hak atas tanah seperti hak erfpacht untuk perkebunan asing dan hak eigendom. Hak atas tanah seperti Hak Erfpacht untuk perkebunan besar ini diberikan untuk masa 25 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun. Dasar pertimbangannya adalah siklus 25 tahun peremajaan perkebunan.

Agrarische wet telah berhasil mengembangan perusahaan perkebunan swasta Belanda dan Eropa di Indonesia untuk menyediakan bahan baku bagi keperluan industri di Belanda dan Eropa. Komoditas yang dikembangkan adalah karet, kopi, teh, dan tebu. Warisan ini masih tetap ada sampai saat ini, karena ekspor komoditas pertanian masih didominasi oleh bahan baku. Yang juga diwariskan adalah “mind set” bahwa hanya perkebunan besar yang efisien dan mampu menerapkan teknologi maju.

Kebijakan agrarische wet ini menjadikan petani Indonesia menjadi buruh di tanahnya sendiri dan memunculkan “dualisme ekonomi”. Teori “dualisme ekonomi” ini terkenal dalam literatur ekonomi pembangunan yang, menurut tinjauan terakhir dari Stigliz (2006), masih relevan saat ini.

Pemerintah Belanda juga memberikan hak erfpacht dan hak eigendom kepada perusahaan swasta yang umumnya milik warga keturunan Cina dengan lahan pertanian yang cukup luas terutama di Jawa. Umumnya mereka membangun pengolahan hasil seperti penggilingan padi dan menguasai jalur pemasaran.

Era Kemerdekaan Sampai Akhir 1960-anSetelah 14 tahun dengan beberapa kali pergantian kabinet, maka pada tanggal 24

September 1960 berhasil dikeluarkan kebijakan pertanahan Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA/Undang-undang Pokok Agraria). UUPA ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa lahan, air, dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyakat yang adil dan makmur. Dengan demikian maka lahan, air dan apa yang terkandung di dalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Kepastian hukum mengenai kepemilikan tanah dijamin namun dibatasi luasnya sesuai dengan UU No. 56 tahun 1960 yang menentukan batas minimum dan maksimum pemilikan lahan pertanian. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan perlunya dibuat perencanaan tata-ruang dan tata-guna lahan. Hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hak milik atas tanah. Hak Guna Usaha (HGU) hanya dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Badan hukum yang boleh mendapatkan HGU harus

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

215

memiliki modal nasional yang progresif, sedangkan warga negara asing dan usaha yang bermodal asing dapat diberikan sesuai dengan UU yang mengatur Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Langkah awal yang dilakukan adalah dengan menasionalisasi semua perusahaan milik swasta dan pemerintah Belanda dan dijadikan perusahaan milik negara. Di bidang perkebunan, hasil nasionalisasi ini dibentuk dalam usaha, PT Perkebunan Negara, yang tersebar mulai dari Sumatera bagian utara sampai Sulawesi.

Dengan UUPA 1960 ini juga dihilangkan dan diambil alih oleh pemerintah kepemilikan lahan pertanian skala luas melebihi batas maksimum oleh swasta dan warga negara asing dan penduduk non pribumi. Lahan ini selanjutnya dibagikan kepada petani penggarap.

Menurut UU PA tahun 1960 hak Ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Dengan demikian, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara serta mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama dan fungsi sosial.

Hak-hak atas tanah menurut UU PA 1960 terdiri atas: (a) Hak milik; (b) Hak guna-usaha; (c) Hak guna-bangunan; (d) Hak pakai; (e) Hak sewa; (f) Hak membuka tanah; dan (g) Hak memungut hasil hutan. HGU diberikan pada tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektare atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU untuk 35 tahun. HGU dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. HGU hanya diberikan pada warga-negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Era Orde Baru : 1967-1998Dalam era ini, pembangunan ekonomi mulai menjadi perhatian utama yang

dikenal dengan “Trilogi Pembangunan” berupa : (1) Pembangunan/”Growth”; (2) Stabilitas/”Stability”; dan (3) Pemerataan/”Equity”. Berbagai program diluncurkan untuk melibatkan secara aktif penduduk dan petani dalam pembangunan perluasan lahan pertanian. Akses pada sumber daya lahan diberikan kepada petani dan pengusaha melalui berbagai program, seperti program pencetakan sawah, Program Transmigrasi, dan Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Kebijakan ini menerapkan kesempatan yang sama untuk menguasai lahan (level playing field), baik bagi penduduk lokal, transmigran, maupun pengusaha inti. Dalam program transmigrasi juga dikembangkan lahan pasang surut, termasuk reklamasi di Sumatera dan Kalimantan.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

216

Pembangunan pertanian dipacu melalui berbagai program untuk untuk meningkatkan penguasaan lahan dan pendapatan petani, termasuk akses petani pada sumber daya pertanian, teknologi dan pembiayaan. Pembangunan prasarana pedesaan juga dipacu melalui pembangunan sarana dan prasarana irigasi dan transportasi.

Sejak awal tahun 1980, seri proyek pola PIR dilaksanakan secara simultan di 12 provinsi dalam 31 proyek. Melalui proyek pola PIR direncanakan pengembangan kebun plasma seluas 163.781 ha dan kebun inti seluas 67.754 ha dan seluruhnya berjumlah 231.535 ha. Rencana pengembangan kelapa sawit melalui seri proyek pola PIR tersebut telah hampir dua kali lipat luas perkebunan kelapa sawit yang ada sejak zaman penjajahan sampai dengan 1969 yang hanya seluas 119.000 ha.

Mulai tahun 1986 dilaksanakan pengembangan pola PIR-TRANS dengan perusahaan inti perkebunan swasta di 11 provinsi dengan 50 unit PIR-TRANS kelapa sawit seluas 167.702 ha (kebun inti) dan kebun plasma seluas 398.644 ha. Keberhasilan pengembangan pola PIR-TRANS berdampak nyata terhadap pengembangan perkebunan besar swasta baik oleh grup perusahaan swasta yang telah berhasil mengembangkan kebun inti pola PIR-TRANS, maupun oleh perusahaan perkebunan lain yang menjadi tertarik atas keberhasilan pengembangan pola PIR-TRANS.

Untuk mendorong perkebunan besar swasta nasional mengembangkan usahanya disediakan fasilitas kredit PBSN I (1977-1981), PBSN II(1981-1986) dan PBSN III (1986-1990) melalui skim kredit PBSN Ill berhasil dikembangkan perkebunan kelapa sawit seluas 328.208 ha dan seluruh realisasi pinjaman kepada bank telah berhasil dilunasi. Total luas perkebunan kelapa sawit sampai dengan tahun 1979 baru sekitar 257 ribu ha dan seluruhnya merupakan usaha perkebunan besar. Pada tahun 2008 luas areal telah meningkat menjadi 7.020.239 ha dengan 2.903.332 ha atau sekitar 41 persen merupakan usaha perkebunan rakyat dan pengusahaannya telah menjangkau 22 provinsi.

Program PIR ini hanya berjalan sampai tahun 1996. Setelah tahun 1996, kebijakan Paket Deregulasi memberikan izin pengembangan kebun kelapa sawit kepada perusahaan swasta secara penuh. Dengan kebijakan ini mulailah berkembang pembukaan perkebunan kelapa sawit swasta seperti terjadi di Sumatera sebagai sentra perkebunan kelapa sawit nasional (lihat Gambar 1). Berdasarkan paket deregulasi tersebut, perusahaan swasta diperbolehkan membuka areal perkebunan baru tanpa harus melibatkan petani pekebun sebagai plasma. Dengan demikian, pengelolaan lahan perkebunan ini boleh seluruhnya dikuasai perusahaan swasta baik modal dalam negeri maupun modal asing yang bekerjasama dengan perusahaan dalam negeri.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

217

Gambar 1. Perkembangan Lahan Sawah dan Lahan Kelapa Sawit di Sumatera 1980-2006Sumber: BPS (1980-2005). Luas Lahan dan Penggunaannya di Luar Jawa dan Indonesia, dan Statistik

Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1981–2007. Ditjen Perkebuan Departemen Pertanian (berbagai tahun publikasi).

Perkembangan perkebunan kelapa sawit swasta mulai pesat setelah dilibatkan dalam program pengembangan PIR Transmigrasi, dan penyediaan perkreditan melalui Pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) dan rasio areal plasma dan inti diubah menjadi 60 persen untuk petani plasma dan 40 persen untuk inti. Setelah tahun 1990, luas perkebunan kelapa sawit swasta sudah lebih besar dari areal perkebunan BUMN.

Keberhasilan Program PIR perkebunan telah meningkatkan akses petani pada lahan pertanian, pengetahuan dan teknologi baru komoditas perkebunan. Ini dapat dilihat dari sangat cepatnya berkembang perkebunan rakyat kelapa sawit, karet, dan kakao. Perkebunan rakyat kelapa sawit dan karet meluas di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan perkebunan rakyat kakao berkembang cepat di Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Semua perubahan ini mengindikasikan bahwa program pembangunan sudah mulai kurang memperhatikan akses yang sama bagi petani dan perusahaan besar, atau asas kesamaan akses dari “Trilogi Pembangunan” mulai ditinggalkan dan asas pertumbuhan lebih diutamakan oleh pemerintah. Ini juga berarti UUPA 1960 dan pesan UUD 1945 Pasal 33 mulai tidak diperhatikan dalam pemberian HGU kepada usaha perkebunan besar. Meningkatnya penguasaan lahan oleh perkebunan besar swasta nasional dan asing diikuti oleh meningkatnya jumlah petani gurem (menguasai lahan < 0,5 ha) meningkat dari 51,6 persen tahun 1993 menjadi 53,33 persen tahun 2003. Sedangkan jumlah petani pengguna lahan naik dari 21,16 juta rumah tangga tahun 1993 menjadi 24,87 juta rumah tangga tahun 2003 (SENSUS Pertanian 1993 dan 2003).

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

218

Data Sensus Pertanian menunjukkan menurunnya luas penguasaan lahan pertanian lahan sawah per petani dari 0,29 ha tahun 1993 menjadi 0,21 ha tahun 2003, sedangkan penguasaan lahan tegalan/kering menurun dari 0,54 ha tahun 1993 menjadi 0,51 ha tahun 2003. Total lahan pertanian yang dikuasai 21,16 juta rumah tangga petani tahun 1993 seluas 17.67 juta ha, sementara pada tahun 2003, sebanyak 24,05 juta rumah tangga petani menguasai 17.38 juta ha. Dengan demikian, telah terjadi penguasaan lahan rata-rata rumah tangga petani maupun total lahan pertanian yang dikuasai keluarga petani yang mengindikasikan tidak dibukanya akses petani pada lahan pertanian.

Disisi lain luas perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh perkebunan besar swasta meningkat tajam dari 0,730 juta ha tahun 1993, meningkat menjadi 2,766 juta ha tahun 2003 atau naik sebesar 2,0 juta ha. Sedangkan perkebunan besar BUMN hanya naik dari 0,381 juta ha tahun 1993 menjadi 0,663 juta ha tahun 2003 atau naik 0,282 juta ha. Pada tahun 2008 luas perkebunan besar kelapa sawit swasta naik menjadi 3,878 juta ha dengan sekitar 2,0 juta ha dikuasai oleh perkebunan besar swasta asing. Ini merupakan penjajahan bentuk baru (FAO 2009). Keadaan ini akan berdampak negatif pada pembangunan ekonomi perdesaan, perbaikan pendapatan dan kemiskinan di perdesaan.

Dalam Lampiran Tabel 1 disajikan perkembangan perkebunan kelapa sawit dan perubahan tingkat kemiskinan 1996–2006. Angka-angka pada tabel tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara cepatnya laju pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan perubahan tingkat kemiskinan. Perkebunan kelapa sawit adalah pola usahatani yang intensif modal bukan intensif tenaga kerja, sehingga kesempatan kerja yang diciptakan relatif kecil.

Adalah sangat ironis dan tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, bahwa lahan dan air haruslah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat masyarakat petani lokal kita sendiri. Pemerintah memberikan HGU pada perusahaan swasta asing dengan tidak memberikan akses pada masyrakat petani lokal, atau telah terjadi “land grabbing” (perampasan hak konstitusional masyarakat petani lokal) oleh perusahaan swasta asing.

Kondisi diatas mengingatkan kita pada perkembangan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan swasta Belanda setelah keluarnya agrarische wet dan tumbuh suburnya “dualisme ekonomi”. Fakta ini disertai dengan meningkatnya jumlah petani gurem terutama di sentra pengembangan perkebunan kelapa sawit menunjukan bahwa UUPA 1960 dan UD 1945 Pasal 33 sudah tidak diperhatikan dalam memberikan izin pengembangan perkebunan besar, dan mengindikasikan telah terjadi perampasan hak pengelolaan tanah yang memunculkan neo-kolonialisme di bidang pertanahan.

Dalam Lampiran Tabel 2 disajikan data perkembangan penguasaan lahan pertanian 1993 dan 2003 berdasarkan Sensus Pertanan 1993 dan 2003. Di semua sentra produksi kelapa sawit (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

219

Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), luas lahan sawah menurun, dan luas lahan bukan sawah meningkat demikian juga dengan luas perkebunan kelapa sawit rakyat meningkat. Ini mengindikasikan telah terjadinya konversi lahan sawah menjadi lahan kelapa sawit. Hal ini tentu berpengaruh besar pada ketahanan pangan nasional, masa kini dan masa depan.

Dalam Lampiran Tabel 3 disajikan perubahan struktur usahatani, di Sumatera dan Kalimantan. Sebagai sentra produksi perkebunan, jumlah petani tanaman pangan menurun dan jumlah petani perkebunan meningkat. Dengan demikian, penurunan areal sawah disertai dengan penurunan petani tanaman pangan dan peningktan petani perkebunan, berarti alih fungsi lahan disertai dengan perubahan profesi petani. Hal yang sama terjadi di Sulawesi dengan tanaman kakaonya. Di Jawa sebagai sentra tanaman pangan, terjadi peningkatan jumlah petani tanaman pangan. Secara agregat, Indonesia mengalami penurunan jumlah petani tanaman pangan dan luas sawahnya, sementara jumlah petani perkebunan dan luas areal perkebunan meningkat. Hal ini berpengaruh pada ketahanan dan kemandirian pangan.

Gambar 2 menyajikan perkembangan produktivitas kelapa sawit rakyat, BUMN, Swasta, dan Agregat. Pada awalnya, produktivitas perkebunan swasta sedikit lebih baik dari perkebunan BUMN. Perkebunan Swasta Kelapa Sawit bermula di Sumatera Utara, demikian juga dengan perkebunan kelapa sawit BUMN, sehingga produktivitas hampir sama karena masing-masing menerapkan teknologi yang hampir sama.

Gambar 2. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit (kg CPO/ha)

Sumber: Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1981–2007. Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian (berbagai tahun publikasi).

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

220

Perluasan yang sangat cepat perkebunan kelapa sawit swasta ini antara lain menyebabkan penurunan produktivitas, produktivitas perkebunan swasta ini mulai meningkat setelah tahun 1990. Pada awal pembangunan perkebunan swasta ini terjadi juga kelemahan pada tenaga professional pengelolaan, dan baru setelah belajar dari pengalaman untuk meningkatkan profesionalitas tenaga, barulah produktivitas mulai membaik. Kembali menurun setelah tahun 1996 pada era baru pengembangan perkebunan swasta dengan mulai masuknya modal asing bermitra dengan perusahaan lokal (Gambar 1).

Produktivitas perkebunan rakyat meningkat secara konsisten, yang antara lain disebabkan oleh peningkatan kemampuan untuk mengadopsi teknologi maju karena perkembangan peningkatan pendapatan dan pengetahuan. Untuk perkebunan kelapa sawit rakyat produktivitas menyamai produktivitas perkebunan swasta terjadi setelah tahun 2000. Namun, produktivitas kelapa sawit rakyat ini tetap lebih rendah dari BUMN. Lokasi perkebunan kelapa sawit BUMN mungkin memiliki kualitas sumber daya lahan yang lebih baik dan kemampuan teknis yang lebih unggul dari perkebunan swasta dan perkebunan rakyat.

Era Reformasi: Setelah Tahun 1998Menyikapi berbagai konflik pengelolaan sumber daya alam, maka Majelis

Permusyawaratan Rakyat mengluarkan TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR ini mengamanatkan melakukan peninjauan kembali kebijakan pertanahan dengan melakukan Reforma Agraria atau meninjau kembali efektivitas pelaksanaan UU PA 1960, meski sampai saat ini belum pernah dilakukan oleh pemerintah. Keluarnya TAP MPR ini disebabkan oleh kebijakan pengelolaan lahan yang sudah menyimpang jauh dari UUPA 1960 dan UUD 1945 Pasal 33. Amanat TAP ini belum pernah dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah sampai saat ini.

Saat ini, kebiijakan “Trilogi Pembangunan pada era orde baru kelihatan sudah mulai ditinggalkan, kebijakan lebih menjurus pada liberalisme ekonomi, pertumbuhan dan stabilitas masih diutamakan, tetapi faktor equity ditinggalkan. Demikian juga dengan kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (REPELITA) dan diganti dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang perumusannya tidak seperti perumusan REPELITA. Desentralisasi pembangunan dan pemerintahan mulai dikembangkan dan peran pemerintah daerah dan masyrakat juga ditingkatkan dalam pembangunan.

Tentang UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 pada pasal 22 antara lain menyebutkan “kemudahan pelayanan dan atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a (Hak atas tanah) dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanaman modal, berupa: a) Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

221

dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Ini merupakan kebijakan yang sangat ekploitatif pada sumber daya pertanian dan sangat tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Karena UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 dan Peraturan Presiden No. 111 tahun 2007 menyalahi UUD 1945.

Peraturan Presiden RI No. 111 tahun 2007 pada lampiran dua Bidang Usaha pertanian yang boleh diberikan kepada perusahaan modal asing dengan kepemilikan 95 persen untuk tanaman pangan (KBLI 01111 – 01112), dan perkebunan (KBLI 01113 – 01119, dan 01133 - 01139) untuk semua komoditas pertanian dengan luas 25 ha atau lebih. Pada dasarnya menurut PP No. 111 tahun 2007 ini semua budidaya komoditas pertanian diatas 25 hektare dapat diberikan HGU untuk masa 155 tahun dan diperpanjang 35 tahun lagi dengan menguasai 95 persen modal. Untuk industri pengolahan hasil pertanian (KBLI 15141 – 15144, 24294, 15313 – 15318, juga diberikan kebebasan penguasaan modal oleh modal asing sebesar 95 persen.

Mengacu kepada UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 dan PERPRES 111 Tahun 2007 tersebut, tahun-tahun terakhir ini dirasakan semakin meningkat minat investasi PMA untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Ditinjau dari segi keberhasilan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang telah dicapai dan mengingat kemampuan modal dalam negeri dan minat pengusaha swasta nasional dibidang pengembangan perkebunan kelapa sawit masih cukup tinggi, urgensi kelonggaran yang diberikan kurang dapat dipahami rasionalitasnya. Keprihatinan yang dimaksud semakin menjadi bertambah apabila PMA yang dimaksud lebih memilih untuk membeli perkebunan kelapa sawit yang sudah jadi dan apabila perusahaan PMA yang bersangkutan untuk melakukan pembelian perkebunan atau pengembangan perkebunannya memanfaatkan sumber dana kredit dan perbankan dalam negeri. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa PMA telah membeli perkebunan swasta nasional dan sekarang menguasai sebagian besar perkebunan kelapa sawit milik swasta. Diperkirakan lebih dari 60 persen perkebunan kelapa sawit swasta dikuasai oleh perusahaan asing sebagai dampak liberalisasi pertanahan dan perekonomian Indonesia, atau juga dikatakan sebagai neo-kolonialis, dan harus segera diakhiri.

Konsistensi implementasi UU Perkebuan No. 18 Tahun 2004 dan UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 ini dengan UUPA 1960 dan TAP MPR IX Tahun 2001 disangsikan terutama mengenai pengakuan Hak Konstitusional masyarakat lokal dalam pemberian izin lokasi dan HGU Perkebuan tetutama bagi modal asing yang bisa 80–100 persen. Kebijaksanaan pertanahan dengan UU No. 25 Tahun 2007 bersama Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 ini berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat pedesaan dan kehidupan perdesaan. Ini direfleksikan oleh masih tingginya kemiskinan di sentra perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan, dengan tingkat kemiskinan yang hanya turun dari 14,0 persen menjadi 12,3 persen untuk Sumatera Utara, 15,9 persen menjadi 12,2 persen untuk Riau dan 17,6 persen menjadi 17,0 persen untuk Sumatera Selatan (Tabel 1), masing-masing tahun 1996 dan 2008.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

222

Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ditetapkan pada tanggal 14 Oktober 2009. Lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Selanjutnya, lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaan lahan ini tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan pada masa yang akan datang. Akan tetapi implementasi UU ini berupa Peraturan Pemerintah (PP) belum dikeluarkan sehingga menghambat pelaksanaannya di lapangan.

Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sitem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, serta mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Dengan adanya Undang-Undang ini maka harus ditetapkan kawasan dan zona pertanian pangan berkelanjutan. Dalam kawasan/zona ini termasuk lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan. Rencana mencakup rencana rinci tata-ruang pertanian pangan berkelanjutan. Penetapan kawasan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Lahan yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilarang untuk dialihfungsikan. Pengalihfungsian hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum apabila mendapat persetujuan masyarakat setempat. Walaupun pengalihfungsian hanya dapat dilakukan untuk kepentingan umum seperti untuk pembangunan waduk besar, jalan tol, dan keperluan infrastruktur lainnya, ada aspek yang perlu diperhatikan. Misalnya, UN Declaration on the Rights of Indigenous People tahun 2007 dan prinsip yang telah direkomendasikan oleh Commission on Large Dam yang menghendaki agar hak masyarakat lokal untuk menyatakan pendapat diperhatikan.

Dengan demikian harus segera dilakukan inventarisari dan evaluasi lahan sawah irigasi, sawah pasang surut, rawa, dan lahan tadah hujan yang sudah ada. Selanjutnya dilakukan penelitian secara komprehensif lahan pertanian yang akan ditetapkan sebagai lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan. Untuk dapat melakukan ini hendaknya dikeluarkan keputusan politik oleh Presiden untuk melakukan moratorium (penghentian) pemberian HGU dan penghentian konversi hutan untuk semua HGU. Kalau ini tidak dilakukan maka lahan pertanian akan habis untuk pengembangan kelapa sawit PMA dan PMDN. Sebagai dampak dari UU No. 25 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden No.111 Tahun 2007, sebagaimana di atas telah diuraikan.

Pada tanggal 28 Januari Tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 tentang Usaha Budidaya Tanaman. PP No. 18 ini adalah tindak lanjut dari UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam PP No. 18 Tahun

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

223

2010 ini diatur mengenai: (a) budidaya tanaman, (b) perizinan, dan (c) pembinaan dan peran masyarakat. PP ini tidak berlaku untuk tanaman perkebunan yang telah diatur dengan UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Usaha budidaya tanaman diatas 25 ha diharuskan memiliki izin usaha. Batas maksimum penguasaan lahan oleh perusahaan budidaya tanaman ditetapkan 10.000 ha dan untuk Papua batas maksimum adalah 20.000 hektare. Pembatasan luas ini tidak berlaku untuk perusahaan budidaya tanaman yang dikelola BUMN dan BUMD.

Lokasi sistem budidaya tanaman harus mengikuti pola tata ruang serta menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha budidaya tanaman antara lain mencakup rekomendasi kesesuaian tata ruang mikro dan makro, hasil analisis dampak lingkungan, dan pernyataan kesediaan untuk membangun kemitraan dengan petani dan masyarakat lokal.

Kemitraan antara pelaku usaha budidaya tanaman dengan petani dan atau kelembagaan petani haruslah dengan prinsip kesetaraan, saling memperkuat, saling menguntungkan, dan harus dibuat dalam perjanjian tertulis dan diketahui oleh bupati/walikota dan gubernur. Perjanjian ini harus memuat mengenai hak dan kewajiban, pembinaan dan pengembangan usaha, pendanaan, alih teknologi, jangka waktu, dan cara penyelesaian perselisihan. Kerjasama kemitraan ini mencakup pula penyediaan sarana produksi, dan pasca panen serta pemasaran.

Izin badan usaha yang mengelola budidaya tanaman diprioritaskan pada usahawan dalam negeri. Modal asing harus melakukan kerjasama dengan perusahaan dalam negeri dengan membentuk perusahaan dengan badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Modal asing maksimal menguasai 49 persen saham perusahaan yang mengelola budidaya tanaman. Prosedur pengajuan penanaman modal dalam sistem budidaya tanaman ini mengacu pada UU No. 25 Tahun 2007 Mengenai Penanaman Modal. Sedangkan pemberian Hak Guna Usaha untuk budidaya tanaman ini mengacu pada UU Pokok Agraria No. 5/1960 dan PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Tanah.

Pola Pemanfaatan Sumber Daya PertanianAmanat Tap MPR No. IX Tahun 2001 menyebutkan perlunya dilakukan

penataan kembali pemanfaatan dan penggunaan lahan. Berbagai pola penggunaan lahan pertanian saat ini, antara lain pola perkebunan besar dan perkebunan rakyat/pertanian keluarga. Perkebunan besar (estate/plantation) didefinisikan sebagai usaha pertanian yang memproduksi komoditas perkebunan yang berorientasi pasar luar negeri, dengan menggunakan tenaga buruh tetap dalam jumlah banyak dikelola oleh satu perusahaan yang terorganisasi dengan baik dan melakukan kegiatan agribisnis terintegrasi dan terpusat (Hayami, 2002). Pada puncak hierarki suatu perusahaan perkebunan ada pemilik, diikuti

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

224

unsur manajemen berbagai tingkatan, pengelola kebun, pengelola pabrik, mandor, dan buruh. Pola ini akan efisien apabila dilakukan integrasi vertikal agribisnis karena skala ekonomi hanya pada pengolahan dan pemasaran. Tanpa integrasi agribisnis dan tidak adanya skala ekonomi pada pengolahan, maka pola ini tidak berjalan secara efisien.

Paradigma perkebunan besar sebagai warisan kolonial adalah pertanian modern yang dengan mudah masuk ke pasar dunia. Perkebunan besar dikembangkan dalam satu enclave, sedangkan pertanian rakyat dengan dikelola secara tradisional dan tidak responsif pada perubahan teknologi dan dinamika pasar. Namun, stereotype ini telah dibantah oleh beberapa ahli ekonomi dunia seperti T. W. Schultz (1964), Illa Myint (1965), dan W. A. Lewis (1970). Mereka sepakat bahwa petani rasional dalam alokasi sumber daya dan responsif, tetapi mereka tetap miskin karena tidak mendapatkan akses yang sama pada sumber daya pertanian, teknologi dan pembiayaan. Apabila mereka mendapat kesempatan, maka mereka mampu membuka areal perkebunan dan menerapkan teknologi maju, termasuk mencetak dan mengembangkan persawahan dan membangun prasarana irigasi.

Pasar Global Eksportir Jaringan Pasar Domestik

Transportasi

Pengolahan & Pemasaran

Pedagang Pengumpul

Perkebunan Besar

“Centralized Management” “Hierarchical Supervision”

Pertanian Rakyat

Produk/Komoditas

MODAL & MANAJEMEN

Volume besar

Jenjang Desentralisasi: � Bervariasi upah tenaga kerja � Bervariasi tingkat manajemen

usaha � Bervariasi informasi pasar dan

produsen � Skala ekonomi pada

pengolahan dan pemasaran � Self supervision

Kualitas standar

Gambar 3: Pemasaran Komoditas Ekspor (Hayami 2005)

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

225

Walaupun perkembangan perkebunan besar sangat cepat di Indonesia setelah dikeluarkannya “Agrarische Wet” tahun 1870, perkebunan rakyat pun berkembang cepat dan mendominasi areal perkebunan seperti pada karet, kopi, tebu, dan kakao. Apabila sebelum tahun 1980 perkebunan kelapa sawit melulu dominasi perkebunan besar, maka setelah diperkenalkannya perkebunan plasma kelapa sawit dalam program PIR akhir tahun 1970-an, maka pada tahun 2008 luas perkebunan kelapa sawit rakyat sudah mencapai 2,88 juta ha, perkebunan besar swasta seluas 3,89 juta ha, dan perkebunan kelapa sawit BUMN hanya 610,000 ha saja. Pada Gambar 3 disajikan jalur dari produksi budidaya ke pemasaran ekspor komoditas pertanian.

a. Pola Pertanian Keluarga/Perkebunan RakyatPetani dan pekebun sebenarnya adalah aktor utama modernisasi pertanian sebagaimana

telah dibuktikan dalam “Revolusi Hijau” pada tanaman pangan (padi dan jagung) dan semakin dominannya peran perkebunan rakyat pada komoditas ekspor. Petani dan pekebun adalah efisien dalam alokasi sumber daya pertanian dan responsif pada dinamika permintaan pasar yang dikomunikasikan melalui usaha swasta dibidang pengolahan dan pemasaran hasil (Hayami 2002). Di Thailand dengan komoditas ekspor utama beras, pola usahatani padi tetap dikelola oleh petani keluarga, bahkan di Amerika budidaya pertanian tetap dikelola oleh petani keluarga walaupun luasnya bisa mencapai ratusan hektare (Hayami, 2001).

Pertanian rakyat dengan sistem agribisnis yang terdesentralisasi akan mampu meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja pedesaan. Ini berarti dalam kondisi basis sangat besarnya beban ekonomi pedesaan untuk menyedikan lapangan kerja pola pertanian rakyat akan mampu untuk mendinamisasi ekonomi pedesaan. Ini telah dapat dibuktikan dengan perkembangan “Revolusi Hijau” dan perkembangan perkebunan rakyat selama ini.

Pertanian rakyat pada umumnya menggunakan tenaga kerja dan bila perlu dibantu oleh tenaga buruh yang bekerja bersama-sama dengan tenaga kerja keluarga sehingga tidak memerlukan tenaga mandor. Surplus pendapatan masuk kepada pendapatan tenaga kerja keluarga. Karena ada insentif untuk bekerja lebih baik, lainnya dengan buruh tani hanya memperoleh upah, dan prestasi kerja perlu mendapat pengawasan oleh mandor/pengawas.

b. Pola Usaha Perkebunan Besar (Estate)Perkebunan besar sebenarnya adalah warisan kolonial seperti perkebunan besar karet,

kelapa sawit, kopi, teh, dan gula di Indonesia, karet dan kelapa sawit di Malaysia, dan pisang di Filipina (Hayami, 2001, dan 2005). Pola ini dikembangkan untuk mengeksploitasi lahan pertanian negeri jajahan untuk menyediakan bahan baku industri di negeri penjajah. Karenanya memperoleh prioritas dalam mendapatkan akses pada lahan pertanian. Dengan

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

226

paradigma lama bahwa pola perkebunan inilah yang mampu mendukung modernisasi pertanian, maka sampai sekarang perkebunan besar masih mendapat prioritas dalam alokasi lahan, sedangkan pertanian rakyat tidak mendapatkan akses pada lahan pertanian.

Dalam budidaya pertanian tidak ada skala ekonomi, skala ekonomi hanya ada pada pengolahan dan pemasaran. Dalam hal tidak adanya skala ekonomi pada pengolahan dan pemasaran maka pola perkebunan besar tidak memiliki keunggulan komparatif, seperti pada kelapa, kakao, karet, dan kopi. Sehingga peran perkebunan besar pada komoditas ini kurang dari 20 persen. Pada kelapa sawit dan teh ada skala ekonomi pada pengolahan, sehingga peran perkebunan besar pada kelapa sawit mencapai sekitar 61 persen pada kelapa sawit (CPO) dan 54 persen pada teh (teh hitam), sedangkan teh rakyat menghasilkan teh hijau. Perkebunan rakyat kelapa sawit menjual tandan buah segar (TBS) kepada pabrik pengolah kelapa sawit.

Menurut Hayami (2002) pola perkebunan besar tidak akan memiliki keunggulan komparatif terhadap pola pertanian keluarga di daerah dimana pertanian rakyat telah berkembang di wilayah tersebut, karena pola usahatani rakyat akan lebih efisien kerena dengan kearifan mereka telah mampu mengelola komoditas ini dengan baik. Hal ini antara lain disebabkan apabila pola perkebunan besar komoditas ini dikembangkan oleh perkebunan besar mereka harus membuka areal baru dan membangun prasarana yang membebani biaya produksi. Alat dan mesin pertanian harus di impor dan tenaga kerja harus pula didatangkan.

Kelemahan pola perkebunan besar antara lain adalah:

a. Kesulitan megawasi dan supervisi buruh yang dilakukan secara hiraki bertingkat. Untuk mengatasi kesulitan dalam supervisi tenaga buruh mendorong pengusaha mensubstitusi tenaga kerja dengan barang modal, dalam kondisi tingkat bunga modal yang tinggi dan daerah padat penduduk pilihan ini kurung menguntungkan baik secara ekonomi apalagi secara sosial.

b. Pemanfaatan lahan biasanya kurang optimal, karena kecenderungan menerapkan pola monokultur, dan juga tidak bisa menerapkan pola integrasi tanaman ternak untuk meningkatkan efisiensi.

c. Pola monokultur menyebabkan kurang fleksibelnya sistem ini untuk merespons dinamika pasar komoditas.

d. Pola perkebunan besar yang cenderung mengembangkan “enklave” dalam sistem ekonomi perdesaan akan menjadi sumber konflik sosial.

e. Dalam era perkembangan demokrasi dan masyarakat sipil konflik pengelolaan lahan perkebunan yang semula dianggap lahan kosong sebenarnya adalah lahan yang merupakan tanah ulayat masyarakat adat.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

227

f. Peningkatan jumlah penduduk dan kelangkaan lahan pertanian dan air menyebabkan pola perkebunan besar kehilangan keunggulan komparatifnya karena pola ini hanya unggul dalam keadaan surplus lahan dan pada awal pembukaan lahan baru.

c. Pola “Contract Farming”Untuk menarik keuntungan dari efisiennya pola pertanian rakyat (pertanian keluarga)

dan efisiennya pola perkebunan besar dengan skala ekonomi pada pengolahan dan pemasaran, maka akhir-akhir ini dikembangkan pola “contract farming” dengan pelaku agribisnis mengembangkan kemitraan saling menguntungkan. Dalam kontrak juga bisa disepakati harga, penyediaan sarana produksi, kredit, teknologi, penyuluhan, dan pengawasan kualitas (Hayami 2002). Contract farming telah berhasil diterapkan di Thailand pada komoditas nenas untuk pasar ekspor. Kegagalan yang sering dikemukakan adalah kesulitan dalam menerapkan dan mengawasi pelaksanaan kontrak (Hayami 2005).

Perkembangan yang cepat dari pasar modern swalayan (super dan hypermarket) telah mendorong tumbuhnya kemitraan dalam rantai pemasaran (supply chain management) melalui kemitraan dengan petani dengan menyediakan bantuan teknis berupa bibit unggul, penyuluhan pertanian, dan pembiayaan sarana produksi, disertai dengan pengawasan sistem produksi dan kualitas produksi(ADB, 2006). Harga produk dan waktu pembayaran disepakati kedua belah pihak.

Beberapa daerah di Indonesia (Brastagi, Bogor, Cianjur, dan Malang) telah berkembang contract farming untuk menyediakan sayuran segar bagi pasar swalayan modern dan untuk ekspor. Berdasarkan penelitian yang dilakukan IFAD (2007) diungkapkan bahwa contract farming ini merupakan cara yang efektif melibatkan petani dalam rantai pemasaran dan ekspor komoditas pertanian bernilai tinggi sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani sampai 63 persen untuk produk organik dan 43 persen untuk produk bernilai tinggi lainnya. Untuk ini petani diberdayakan agar mampu menumbuhkan kelembagaan petani yang mandiri seperti yang telah dilakukan oleh kelembagaan petani (GP3A) di Bogor untuk mengekspor produk hortikultura organik ke Taiwan(WISM-IMRI, 2010). Sejenis contract farming juga telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao di Jember (Surip M, dkk, 2006) untuk meningkatkan kualitas kopi Arabika Organik di Bali, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur.

Salah satu upaya untuk menerapkan kontrak dengan baik dapat dilakukan dengan memanfaatkan kearifan lokal dengan membangun saling mempercayai antara kedua pihak. Dengan dikembangkannya berbagai layanan oleh pelaku agribisnis seperti penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, kredit, dan pengawasan maka saling mempercayai bisa dibangun sehingga kontrak bisa diterapkan (Hayami, 2005).

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

228

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam menerapkan contract farming adalah sebagai berikut:

a. Penerapan dan pemberlakuan kontrak secara terbuka: Untuk ini diperlukan kelembagaan petani yang tumbuh dari dan oleh petani agar mereka dapat menghimpun dan menyepakati bersama nota kesepakatan dengan dunia usaha.

b. Pengelolaan lahan: Pengelolaan lahan, lahan tetap dikelola oleh petani penggarap, bagi petani yang tidak memiliki lahan, sewa lahan atau sistem bagi hasil harus dikembangkan secara terbuka dan disepakati bersama.

c. Fasilitas transportasi yang memadai dan dengan biaya yang terjangkau: Ada kalanya diperlukan alat transportasi dengan ruang pendingin untuk menjaga kualitas produk yang akan dipasarkan.

d. Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas: Penumbuhan kelembagaan petani juga diperlukan agar kuantitas produk yang dihasilkan harus mampu mencukupi kebutuhan minimum yang dikehendaki oleh mitra usaha agar efisiensi dapat dicapai demikian juga untuk menjamin kontinuitas untuk menjamin pasar.

e. Insentif untuk Investasi: Pemerintah perlu memberikan insentif investasi untuk cold storage bagi kelembagaan petani, dan insentif lainnya untuk dunia usaha yang bermitra.

f. Peranan Pemerintah dalam Pemberdayaan Kelembagaan Petani: Kelembagaan petani perlu diberdayakan untuk meningkatkan profesionalitas mereka dalam pengelolaan komoditas bernilai tinggi, dan profesionalitas dalam memproduksi komoditas sesuai dengan dinamika permintaan pasar. Kelembagaan petani juga harus dibina agar mampu bermitra sejajar dengan dunia usaha.

g. Penyediaan pembiayaan dan pengembangan lembaga pembiayaan pedesaan: Komoditas pertanian memerlukan pembiayaan untuk sarana produksi dan pascapanen agar mampu memproduksi komoditas sesuai dengan kesepakatan dengan dunia usaha.

h. Modernisasi sistem pengairan: Sistem pengairan yang dibangun di Indonesia selama ini berorientasi pada sistem padi sawah dengan penggenangan. Komoditas pertanian, terutama sayuran menghendaki sistem pengairan yang lebih fleksibel tanpa penggenangan. Untuk ini sistem drainase harus disesuaikan dengan kebutuhan sistem dan pola usahatani komoditas pertanian, sehingga mampu meningkatkan efisiensi.

Peran Usaha Tani Keluarga dalam Pembangunan PertanianPetani adalah pelaksana utama pembangunan pertanian. Petani telah berhasil membawa

Indonesia untuk berswasembada beras tahun 1983 yang kemudiaan membawa kembali Indonesia pada swasembada beras tahun 2008/2009. Untuk komoditas perkebunan selain

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

229

kelapa sawit dan teh, pengelolaan lahan dan pola usahatani dilakukan oleh petani pekebun karenanya petani pekebun inilah yang menghasilkan devisa Indonesia dari komoditas pertanian atau komoditas non migas.

Bahkan pada perluasan kelapa sawit petani pekebun (family farm) yang dominan dimana 2,9 juta ha dari 7,4 juta ha perkebunan kelapa sawit adalah perkebunan kelapa sawit rakyat yang memproduksi 6,90 juta ton CPO dari total 17,50 juta ton produksi CPO Indonesia. Peranan petani untuk menghasilkan gula juga tinggi dimana petani mampu memproduksi senilai 1,50 juta ton dari 2,70 juta ton produksi gula tahun 2008.

Yang menarik adalah petani pekebun melakukan investasi pada komoditas perkebunan ini menggunakan modal mereka sendiri, sedangkan perusahaan swasta melakukan investasi pada perkebunan menggunakan kredit perbankan sebagian besar dari Bank dalam negeri yang juga merupakan uang rakyat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa investor utama pada pembangunan pertanian adalah petani dan pekebun (family farm). Sedangkan investor swasta baik dalam negeri maupun asing adalah pelengkap saja.

Pada komoditas karet dan kakao yang pada tahun 2008 mampu menghasilkan devisa sebanyak US $ 7,30 miliar. Hampir 90 persen lebih kakao dan karet ini dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Sedangkan kopi seluruhnya adalah produksi perkebunan rakyat dan pada tahun 2008 telah mampu menghasilkan devisa sebesar US $ 991,50 juta.

Pada tanaman pangan seluruh proses produksi komoditas dihasilkan oleh rakyat petani keluarga, tidak ada peran perusahaan dalam sistem budidaya. Peran usaha swasta hanyalah menghasilkan sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil. Hal yang sama juga berlaku untuk komoditas hortikultura dan peternakan. Hanya pada peternakan ayam ras ada peran perusahaan swasta menghasilkan ayam potong demikian juga dengan penggemukan sapi potong ada peran swasta, akan tetapi peran peternak rakyat tetap dominan.

Dalam pembukaan areal pertanian baru setelah diberhentikannya program PIR dan PIR Trans petani pekebun praktis tidak lagi mendapatkan akses pada lahan baru yang dikembangkan perusahaan swasta. Hanya ada kewajiban investor perkebunan swasta untuk mengalokasikan 20 persen areal untuk petani pekebun penduduk lokal sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Ini menunjukkan ketidaksamaan kesempatan untuk mendapatkan akses pada lahan pertanian, yang mungkin kebijakan ini tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 dan UU PA 190.

Karena tidak mendapatkan akses untuk perluasan usahataninya maka petani pekebun memanfaatkan lahan yang mereka kuasai umumnya berupa lahan tegalan, tadah hujan, maupun lahan rawa untuk ditanami dengan komoditas perkebunan yang sesuai dengan kondisi ekosistemnya seperti kelapa sawit, kakao, dan karet. Ini terlihat dari menurunnya areal pertanian tanaman pangan ini sebagaimana diuraikan dalam Bab III di atas.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

230

Penataan Kembali Penguasaan Sumber Daya Lahan PertanianSebagaimana diamanatkan oleh TAP MPR No. IX Tahun 2001 perlu dilakukan

pembaruan Agraria terutama aspek landreform yang menyangkut penguasaan, pemilikan, dan penggunaan lahan pertanian. Reforma agraria dalam arti sempit menyangkut penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kegiatan pertanian merupakan pemanfaatan sumber daya pertanian, karenanya sangat terkait dengan reforma agraria. Telah terjadi ketimpangan yang serius dari penguasaan lahan pertanian, luas lahan pertanian yang dikuasai petani keluarga menurut data Sensus Pertanian 1993 dan 2003 cenderung menurun, penguasaan lahan per keluarga petani menurun, dan petani gurem jumlahnya meningkat.

Indonesia masih memiliki sekitar 2,0 juta ha lahan potensial untuk tanaman pangan, sehingga dalam kerangka melaksanakan amanat UUD 1945 Pasal 33, UUPA 1060, dan TAP MPR No IX tahun 2001, tidak ada jalan lain dari penghentian pemberian HGU baru bagi perkebunan swasta, lahan HGU yang diterlantarkan oleh swasta yang mencapai 10.0 juta ha harus diambil alih oleh negara dan menjadi objek landreform. Menurut konsorsium Bank Dunia (2009), izin pelepasan lahan yang telah diberikan kepada perusahaan swasta kelapa sawit mencapai 18 juta ha, yang dibuka untuk menanam 3,4 juta ha, sekitar 6,0 ha yang diterlantarkan, dan 12,0 juta ha hanya diambil kayunya (lihat boks). Kementerian Pertanian harus proaktif dalam pelaksanaan reforma agraria ini. Langkah ini sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2209 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan kemauan politik yang kuat agar penguasaan dan pemilikan lahan pertanian untuk sebesar-besarnya kesejahteraan petani.

Dalam Pasal 5 TAP MPR No. IX Tahun 2001 dikemukakan arah kebijakan pembaruan agraria yang harus dilakukan sebagai berikut:

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perudang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam kerangkan konsistensinya dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU PA 1960.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan lahan pertanian (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan pemilikan tanah untuk rakyat.

c. Menyelenggarakan penataan tanah melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan secara komprehensif.

d. Menyelesaikan konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengembangkan pelaksanaan pembaruan agraria.

f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan pembaruan agraria.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

231

Kesimpulan dan Catatan Penutup1. Selama masa penjajahan Belanda telah terjadi perampasan hak atas tanah petani

dan masyarakat lokal (land grabbing) demi kepentingan negara penjajah (Belanda). Komoditas yang dikembangkan dalam usaha perkebunan mulai dari era Tanaman Paksa sampai agrarische wet adalah komoditas perkebunan sebagai bahan baku industri di Belanda. Rakyat dan petani lokal tidak dilibatkan dalam pengembangan, mereka hanya dilibatkan sebagai buruh pada perusahaan perlebunan dan dibayar dengan upah minimum (“segobang sehari”) yang hanya cukup untuk kebutuhan hidup minimum. Petani mandiri beralih menjadi buruh tani di negeri dan lahan sendiri hingga berkembang “dualisme ekonomi”. Keadaan inilah yang mendasari perumusan UUD 1945 Pasal 33 dengan melaksanakan nasionalisasi perusahaan milik Belanda dan selanjutnya menerbitkan UUPA 1960.

2 “Trilogi Pembangunan” dan Pemerataan berkeadilan dirumuskan dan dilaksanakan selama tiga dasa warsa. Kebijaksanaan pembangunan yang pro-rakyat miskin ini telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan pendapatan per kapita 5 persen per tahun. Kelemahan dalam kebijaksanaan pembangunan “Trilogi Pembangunan” termasuk belum adanya pengembangan tata-pemerintahan yang baik (good governance) dan etika bisines yang baik (good private governance).

3. Dalam era Reformasi setelah tahun 1998, kebijaksanaan pembangunan tidak lagi didasarkan pada “Trilogi Pembangunan”, tetapi lebih menekankan pada pertumbuhan dan stabilitas dengan tidak lagi fokus pada pro-masyarakat miskin atau kini berorientasi pada ekonomi liberal yang tidak sesuai dengan sistem ekonomi UUD 1945 Pasal 33 dengan sistem ekonomi kerakyatan. Tingkat kemiskinan tahun 2009 masih lebih tinggi dari tingkat kemiskinan tahun 1996 sebelum krisis ekonomi. Ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi antar golongan masyarakat dan antar wilayah dan jumlah petani gurem atau petani miskin bertambah. Dalam era ini pula perampasan/penguasaan lahan masyarakat petani lokal (land grabbing) makin marak untuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan pengembangan pola perkebunan tanaman pangan (food estate) yang difasilitasi dengan PP No. 18 Tahun 2010 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pangan. Jiwa dari PP No. 18 Tahun 2010 ini juga masih pada pertumbuhan dan stabilitas.

4. Dalam PP tersebut yang diatur hanya alokasi lahan yang akan dikembangkan untuk food estate bagi perusahaan, tidak menjelaskan bagaimana akses petani lokal dan masyarakat miskin pedesaan pada pengembangan lahan baru. Food estate yang dikembangkan oleh perusahaan swasta nasional bekerjasama dengan swasta asing akan menumbuhkan enklave kemakmuran pihak lain di lingkungan masyarakat miskin. Pengembangan perkebunan ini oleh perusahaan besar akan menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan dan dengan masukan energi yang tinggi, sehingga akan berpotensi merusak lingkungan hidup. PP No. 18 Tahun 2010 ini sebenarnya tidak

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

232

sesuai dengan UUPA 1960 karena membolehkan penguasaan lahan pertanian bagi perusahaan asing dengan tidak mempertimbangkan hak konstitusi masyarakat lokal (hak ulayat).

5. Reforma agraria harus segera dilakukan seperti dikemukakan dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001, yang selama ini belum pernah ditindak lanjuti oleh pemerintah. Yang dilakukan malah sebaliknya dengan membuka pemberian HGU kepada perusahaan asing, dengan alasan untuk mengundang penanaman modal di dalam negeri. Sedangkan penanam modal terbesar adalah petani keluarga, tanpa fasilitas sebagaimana diberikan kepada modal asing.

6. Konsistensi berbagai peraturan perundang-undangan yang baru (UU No. 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) dengan UU PA 1960 dan TAP MPR IX Tahun 2001 diragukan. Karena berbagai peraturan perundang-undangan baru ini lebih bernuansa liberalisasi politik pertanahan, sedangkan UU PA dan TAP MPR IX Tahun 2001, lebih bernuansa ekonomi kerakyatan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia secara berkeadilan. Karenanya berbagai peraturan perundang-undangan baru ini harus diuji materi, kesesuaiannya dengan UUD 1945.

7. Pembangunan pada dasarnya diawali dengan membangun keterampilan dan pengetahuan sumber daya manusia melalui pemberdayaan berbasis masyarakat, seperti metode Sekolah Lapangan. Metode ini membangun kembali kebersamaan, saling mempercayai dalam demokrasi. Sekolah Lapangan Petani adalah wadah dimana petani saling belajar bersama fasilitator yang bukan pengajar; petani tidak diajari, sebagaimana halnya pada sekolah umum, tetapi difasilitasi.

8. Masyarakat diharapkan secara aktif menyusun perencanaan yang berhubungan dengan upaya pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya. Sebenarnya metode ini bukanlah hal yang baru, karena kearifan lokal masyarakat sudah menerapkannya. Melalui pemberdayaan ditanamkan kembali kepercayaan bahwa yang melaksanakan pembangunan adalah masyarakat, di mana peran pemerintah adalah menyediakan pelayanan, fasilitasi, informasi, menyusun aturan main, memonitor, dan mengawasi pelaksanaan sesuai dengan aturan main yang disepakati bersama. Dalam kerangka memfasilitasi pembangunan, pemerintah perlu membangun prasarana publik dengan partisipasi masyarakat mulai dari perencanaan dan pelaksanaannya.

9. Diperlukan adanya terobosan baru dalam pembangunan pertanian yang difokuskan pada Integrasi Sinergis antara sumber daya manusia (Modal SDM) bersama kelembagaannya (Modal Sosial), sumber daya alam (Modal Natural), dengan dukungan teknologi maju ramah lingkungan berbasis agro-ekologi (Modal Teknologi) dan kelembagaan keuangan dan pembiayaan (Modal Finansial) serta prasarana irigasi pertanian dan pedesaan (Modal Fisik). Upaya ini hanya akan berhasil bila adanya

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

233

dukungan politik difasilitasi oleh kebijakan ekonomi makro yang lebih kondusif. Inilah yang dimaksudkan dengan Revitalisasi Pertanian berupa Pertanian Berkelanjutan berbasis ekologi dengan menyatukan usahatani tanaman dan usaha ternak (usahatani-terpadu) ramah lingkungan untuk mendukung Kehidupan Berkelanjutan (sustainable livelihood).

10. Tantangan yang dihadapi masa depan cukup berat sebagai dampak krisis energi dan pangan dunia, yang diperkirakan harga energi dan pangan dunia akan tetap tinggi. Untuk itu perlu ditumbuhkan kemandirian petani dan kemandirian sistem usahatani. Sistem usahatani yang perlu dikembangkan disamping hemat energi juga hemat pemakaian air irigasi dan ramah lingkungan. Kesemuanya menghendaki sumber daya manusia yang kuat dan mandirinya organisasi kelembagaan petani.

Daftar PustakaADB. 2006. Indoneisa Strategic Vision for Agricultural Development, ADB and Ministry of

Agriculture Indonesia and World Bank (2007): Horticulture: Indonesia’s Supermarket Boom Offers New Opportunity for Traditional Markets & Farmers. World Bank.

Boeke, J. 1953. Economics and Economic Policy in Dual Societies. Institute of Pacific Relations.

Hayami, Yujiro. 2002. Family Farms and Plantation in Tropical Agriculture. Asian Development Review Vol 19 No. 2. Asian Development Bank, Manila 2002.

Hayami, Yujiro. 2005. Development Economic: from the poverty to the wealth of nation. Oxford university Press.

IFAD. 2007. Egypt: Smallholders Contract Farming for High-value and Organic Agricultural Exports, IFAD, Rome.

WISMP-IMRI. 2010 Laporan Tahun 2009: Program WISMP NPIU Pertanian Ditjen PLA. Jakarta.

Stigliz, Joseph. 2006. Making Globalization Work. W.W. Norton and Company, Inc.

Surip Mardiyanto, Cahya Ismayadi, Aris Wibawa, Sulistyowati dan Yusianto.2006. Model Kemitraan Bermediasi (MOTRAMED) untuk Pengembangan Agribisinis Kopi melalui Perbaikan Mutu dan Sistem Pemasaran di Tingkat Kelompok Tani. Makalah disampaikan dalam Simposium Kopi 2006, Surabaya, 2 – 3 Agustus 2006.

Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia 1981–2007. Ditjen Perkebunan, Departemen Pertanian

World Bank Group, FAO. IFAD, and UNCTAD. 2010: Principles for Resposible Agricultural Investment that Respects Rights, Livelihoods and Resources. Washington DC. January, 25 2010.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

234

World Bank. 2006. World Development Report 2006: Equity and Development. World Bank and Oxford Univ. Press. 2005.

World Bank. 2005. Equity and Development. World Bank and Oxford Univ. Press. 2005.

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

235

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

236

BELAJAR DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN PERTANIAN

237