Bangkitlah Bangsaku:
Relevansi Semangat 100 Tahun Kebangkitan Indonesia Terhadap Pembukaan UUD
1945 dan Pancasila
“Jas Merah” (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) – Soekarno (1945)
Ratri Istania
http://www.raconquista.wordpress.com
AbstraksiSemangat Budi Utomo merasuk ke dalam satu kesepakatan, kontrak sosial buatan para founding
fathers and mothers Indonesia berupa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Pancasila. Perjalanan sejarah politik berbangsa bernegara selama 100 tahun, mulai dari tahun 1908 sampai tahun 2008, telah mengubah UUD 1945 melalui amandemen konstitusi tanpa menyentuh prinsip-prinsip kesepakatan berupa bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan prinsip pluralisme. Selama ini pengkultusan Pancasila terjadi sedemikian hebat sampai terjadi manipulasi nilai-nilai atas nama kepentingan rejim penguasa Orde Lama dan Orde Baru. Pancasila telah kehilangan daya magisnya sebagai kontrak sosial bangsa. Semestinya, sebuah kontrak sosial tidak hanya diredusir maknanya menjadi sekedar nilai-nilai transedent, tidak dapat dibumikan, akan tetapi lebih jauh sebagai rumusan mengatasi keragaman ideologi yang ada di muka bumi Indonesia. Tulisan ini berusaha menggugah kesadaran anak bangsa akan arti sebuah kontrak sosial, dimana pengkultusannya hanya akan membawa bangsa ini ke dalam pemikiran sempit, memerangi sesama saudaranya, tanpa pernah tahu semangat kebangkitan bangsa justru terkandung di dalamnya.
Keywords: Budi Utomo, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Kontrak Sosial, dan
Sistem Politik Indonesia
Momen kebangkitan 100 tahun bangsa dan negara Indonesia, walaupun dalam
suasana krisis sosial dan politik, tetap diperingati dengan meriah di segala penjuru
Indonesia. Peringatan nan spesial ini ditujukan untuk membakar semangat anak negeri
agar tetap optimis walau didera aneka penderitaan, mulai dari kelangkaan pangan, krisis
bahan bakar, kelaparan dan kemelaratan, mahalnya kesehatan dan gizi buruk, serta
rendahnya kualitas pendidikan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia.
Bayangkan saja, saat ini jumlah orang miskin 37,1 juta jiwa atau 16,5 persen dari 223 juta
penduduk, merosot dibandingkan tahun 1996, sebelum turunnya rejim Orde Baru,
sejumlah 34 juta penduduk atau 17,5 persen dari 195 juta penduduk penduduk Indonesia.1
Terlepas dari bagaimana hiruk pikuk anak bangsa memaknai kebangkitan bangsa
tersebut, hendaknya kita semua berpikir tentang hakikat kebangkitan bangsa seperti yang
diinginkan pada saat berdirinya Budi Utomo di tahun 1908. Awal mula kelahiran Budi
Utomo dimaksudkan untuk mewadahi pergerakan organisasi kepemudaan di Jawa dan
1 Koran Tempo, “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional: Jumlah Orang Miskin Tetap Tinggi,” Koran Tempo (Senin, 19 Mei 2008).
Madura saja. Satu tahun berselang setelah pendiriannya, beberapa tokoh Budi Utomo
seperti, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soerjodiputro, memperjuangkan perubahan
anggaran dasar, namun belum berhasil. Baru setelah Budi Utomo memproklamirkan diri
sebagai organisasi terbuka, organisasi-organisasi kepemudaan lain bergabung di
dalamnya bergandengan dengan organisasi-organisasi besar Islam seperti Sarekat Islam,
Nahdatul Ulama, dan Muhammadiyah.
Semenjak itulah, semangat Budi Utomo terbawa sampai proklamasi kemerdekaan
17 Agustus 1945. Di tahun 1948, Presiden Soekarno, dalam salah satu retorikanya
menganalogikan 20 Mei 1908 sebagai “sumber kesadaran nasional” dan menghasilkan
“sungai-sungai nasional” yang mengalir terus menuju “lautan bebas, lautan Indonesia
merdeka.”2 Bahkan prinsip-prinsip dasar tujuan bernegarapun, termaktub di dalam
Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, tidak terlepas dari semangat Budi Utomo
memperjuangkan kebangkitan harkat dan martabat bangsa.
Sungguh amat disayangkan, prinsip-prinsip dasar Pembukaan UUD 1945,
termasuk di dalamnya memuat nilai-nilai Pancasila, hampir terlupakan setelah bangsa
Indonesia terbenam dalam euphoria politik mengamandemen batang tubuh konstitusi.
Sejak amandemen pertama di tahun 1999 sampai keempat di tahun 2002, struktur dan
fungsi3 dalam sistem politik Indonesia berubah drastis. Semangat NKRI dan pluralisme
telah berubah menjadi ego kedaerahan bahkan sektarian. Bahkan Deny Indrayana (2006),
pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan perubahan tersebut
sebagai a messy-process, karena konstitusi [hanya] merupakan dokumen simbolis
mengandung ideologi nasionalis negara.4
Sungguh disayangkan, warisan cita-cita Budi Utomo dalam Pembukaan UUD
1945 dan Pancasila, telah kehilangan daya magisnya sebagai pengikat persatuan dan
kesatuan Bangsa. Memudar karena pemaknaan dangkal dari sebuah prinsip-prinsip
bernegara (asas negara), Pancasila, menjadi sekedar ideologi yang dibiarkan berperang
dengan ideologi-ideologi berbasis religi kepercayaan semata. Akibatnya, semakin banyak 2 Pandji R. Hadinoto, “Budi Utomo dan Kebangkitan Nasional,” Tiga Pilar Kemitraan (Sabtu, 16 Juni 2007), http://www.tigapilar.org/mod.php?mod=publisher&op=view article&cid=6&artid=384 diakses (20 Mei 2008).3 Lihat Gabriel Almond, Gingham A. P., Karee S., et al., Comparative Politics Today: A World View, seventh edition (New York:
Addison Wesley Longman, 2000).
4Deny Indrayana, “Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, academic paper (2007).
2
orang mencari pelarian ideologis ke arah militanisme agama tertentu yang ditandai
misalnya dengan politisasi agama demi kepentingan partai tertentu dan pemenangan
Pilkada yang semakin memiliki daya tarik lebih menawar kekosongan ideologi yang
hilang.
Akibatnya perpecahan Indonesia dikhawatirkan diperkirakan sudah di ambang
pintu. Pernyataan Djuyoto Suntani, Direktur Utama Komite Perdamaian Dunia (The
World Peace Committee), bahwa “Sudah merupakan suratan Tuhan Yang Maha Kuasa,
setiap 70 tahun berjalan, suatu kerajaan atau negara kebanyakan terjadi perpecahan.
Mungkin juga termasuk Indonesia.” Senada dengan Suntani, Dirjen Bina Sosial
Departemen Sosial, Prof DR Gunawan Sumodiningrat, mengatakan bahwa ancaman
perpecahan NKRI tersebut kini tampak nyata. 5
Tulisan ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran kita semua bahwa setelah
satu abad kebangkitan nasional, semestinya bangsa Indonesia mampu membangkitkan
dirinya dari keterpurukan. Salah satunya adalah dengan menyadarkan para pemuja ke-
sakralan sebuah ideologi buatan manusia bernama Pancasila dan para elit bangsa yang
takut akan wacana perubahan bangunan NKRI, dengan memaknai ulang kontrak sosial
bagi perbaikan sistem berbangsa dan bernegara. Selain itu paper ini juga bermaksud
memancing kegandrungan pemerhati dan akademisi politik untuk berpikir out of the box
sambil sesekali melempar wacana pembelajaran pada publik bahwa di luar sana ada
alternatif-alternatif pemecahan masalah berbangsa dan bernegara bila kita masih ingin
bertahan.
Oleh karena itu, bagian pertama tulisan akan membahas mengenai semangat Budi
Utomo dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai kontrak sosial bangsa
Indonesia. Bagian kedua, menceritakan tentang distorsi dalam Pembukaan UUD 1945.
Ketiga, melihat keselarasan sistem pemerintahan kita dengan kontrak sosial bangsa. Dan
keempat, alternatif pemecahan model sistem politik Indonesia di masa depan.
Semangat Budi Utomo Dalam Pembukaan UUD 1945
Pergerakan pemuda di dalam organisasi Budi Utomo berkembang bersamaan
dengan merebaknya semangat kebangkitan kaum muda seantero Asia. Dr Wahidin
5 Antara News, “Tahun 2015 Indonesia Bisa Pecah,” AntaraNews (27 Desember 2007), http://antara.co.id/arc/2007/12/27/tahun-2015-indonesia-bisa-pecah/. Diakses (20 Mei 2008).
3
Soedirohoesodo, seorang dokter pribumi berpendidikan Barat, sangat prihatin melihat
kemiskinan dan kemelaratan yang disebabkan oleh minimnya tingkat pendidikan kaum
pribumi pada masa itu, tergerak meningkatkan martabat bangsa melalui pemberian
beasiswa (studifonds) kepada para calon dokter Jawa yang bersekolah di School tot Op
leiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Semangat tersebut didukung penuh oeh
seluruh calon dokter di sekolah tersebut, termasuk di antaranya, Soetomo dan Suwaji.
Setelah melalui perjalanan berat mengumpulkan dukungan dan dana, akhirnya
kelompok Budi Utomo berhasil meyakinkan Dr HF Roll, Direktur STOVIA, di tengah-
tengah kekhawatiran para guru, untuk mendukung pendanaan bagi terselenggaranya
Kongres Budi Utomo pertama tanggal 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta. Kongres
berhasil menghasilkan tujuan kelompok yang kemudian bernama perhimpunan Budi
Utomo sebagai berikut:
a. kemajuan yang selaras (harmonis) untuk negeri dan bangsa;
b. memajukan pengajaran, kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan; dan
c. memajukan pertanian, peternakan, dagang, teknik dan industri.6
Cita-cita Budi Utomo terutama dalam hal memajukan pendidikan, peningkatan
pertanian, memajukan perdagangan, mengembangkan teknik dan kerajinan, memperkaya
dan menjaga kesenian tradisional serta tradisi nenek moyang, menjunjung tinggi prinsip-
prinsip filantropis, dan mencapai kesejahteraan bangsa, menjiwai prinsip-prinsip dasar
bangsa dan negara dalam Pembukaan UUD 1945. Tujuan pemerintahan negara Indonesia
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah daerah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial,” selaras dengan semangat Budi Utomo tersebut.
Saat ini memudarnya semangat memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban
dunia tercermin dalam kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat namun pro-pasar.
Keberpihakan pemerintah dalam liberalisasi perdagangan dunia mencerabut hak-hak
dasar masyarakat yang selalu di-mystifikasi oleh kewajiban mereka dalam
mempertahankan tanah air tumpah daerah bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6 Tonny D. Widiastono, “Pendidikan dan Kesadaran Berbangsa,” Kompas.com (Selasa, 20 Mei 2008), http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/05/20/074716/pendidikan.dan.kesadaran.berbangsa. Diakses (20 Mei 2008).
4
Hendaknya kita semua berpikir bahwa perpecahan akan terjadi juga bila
pemerintah tidak segera mengambil kebijakan berpihak pada pemenuhan hak-hak rakyat,
terutama dalam kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Indikasi perpecahan tidak
perlu terlalu jauh ke arah separatisme, namun kenyataan bahwa bibit discontent7 atau
ketidakpuasan masyarakat bawah sudah mencapai titik dimana rakyat tidak dapat
memenuhi kebutuhan gizi diri sendiri apalagi keluarganya. Harga kebutuhan pokok
melonjak drastis, tidak dibarengi dengan terjaminnya ketersediaan bahan tersebut di
pasaran. Akibatnya rakyat tidak dapat membeli barang yang memang tidak tersedia di
pasaran. Kalaupun barang kebutuhan pokok tersebut ada, rakyat harus membayar dengan
harga di luar jangkauan mereka. Ironis sekali.
Oleh karena itu, keterkaitan prinsip dasar bernegara dalam Pembukaan UUD 1945
dan Pancasila dengan semangat kebangkitan perhimpunan Budi Utomo amatlah erat.
Usaha keras membangkitkan kembali semangat Budi Utomo dalam kontrak sosial bangsa
amat diperlukan dengan menelusuri lembaran sejarah bagaimana bangsa dan negara
Indonesia terbentuk. Tonggak kelahiran Budi Utomo dapat dijadikan titik awal
bagaimana kontrak sosial berupa Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila lahir, dengan
paksaan ataukah didasarkan oleh pilihan yang bijaksana demi memenuhi kebutuhan
perlindungan sekelompok warga negaranya. Pertanyaan selanjutnya, apakah semangat
tersebut masih tersisa saat bangsa dan negara Indonesia memperingati 100 tahun
kebangkitannya.
Distorsi Dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila Sebagai Kontral Sosial Bangsa
Indonesia
Sejak kebangkitan nasional pada tahun 1908, sampai dengan tercetuskannya 7 Ted Robert Gurr, Why Men Rebel (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1970). menganalisis bahwa
kekerasan politik (political violence) seringkali disebabkan oleh relative deprivation atau ketidakmampuan akan pemenuhan kebutuhan dasar. Gurr membedakan ketidakstabilan politik ke dalam tiga kategori berdasarkan daya rusak pada suatu wilayah atau negara: (1) “Kekacauan: relatif spontan, kekerasan politik tidak terorganisir dengan partisipasi politik cukup substansial, termasuk mogok politik dengan disertai kekerasan, bentrok politik, dan pemberontakan lokal (Turmoil: Relatively spontaneous, unorganized political violence with substantial popular participation, including violent political strikes, riots, political clashes, and localized rebellions); (2) “Konspirasi: kekerasan politik terorganisir secara baik dengan partisipasi terbatas, termasuk pembunuhan bermotif politik, terorisme skala kecil, perang gerilya skala kecil, kudeta, dan pembangkangan militer” (Conspiracy: Highly organized political violence with limited participation, including organized political assassinations, small-scale terrorism, small-scale guerrilla wars, coup d’etat, and mutinies); (3) “Perang saudara: kekerasan politik terorganisir secara luas dengan partisipasi melibatkan orang banyak, didesain untuk menumbangkan rejim penguasa atau menghancurkan negara disertai dengan kekerasan sangat luas, termasuk diantaranya, terorisme skala besar dan perang gerilya, perang saudara, dan revolusi” (Internal war: Highly organized political violence with widespread popular participation, designed to overthrow the regime or dissolve the state and accompanied by extensive violence, including large-scale terrorism and guerilla wars, civil wars, and revolution).”
5
Sumpah Pemuda tahun 1928, cikal bakal bangsa Indonesia telah terlihat jelas. Walaupun
pada masa itu, para tokoh pemuda masih kesulitan menentukan apa yang dapat dijadikan
sebagai identitas bersama, namun semangat merekalah nanti akan membawa cita-cita
sebagai bangsa Indonesia merdeka.
Munculnya kata “keragaman itu menuntut persatuan8 kerap terungkap pada masa
persidangan Badan Untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) sehingga ketika merumuskan Pancasila dan UUD 1945, prinsip tersebutlah
yang kemudian mematahkan perdebatan panjang antara golongan kebangsaan
(nasionalis) dengan golongan Islam. Tujuh kata hasil usulan golongan Islam yang
memperjuangkan syariat Islam dalam Pancasila, menyisipkan bunyi “kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,” sesuai bunyi Piagam Jakarta, tidak
dicantumkan dalam rumusan Pembukaan UUD 1945. Sebagai gantinya, Pancasila
dengan sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pasal 29 tentang keberagaman
agama disepakati dalam UUD 1945.
Menurut Tadjudin Effendi (2006), persoalan bangsa pada saat kemerdekaan dan
Indonesia kontemporer bersumber pada 2 hal, yaitu:
1. Kekuatan apa yang dapat mempersatukan bangsa yang beragam dalam hal
agama, suku, adat istiadat (budaya), bahasa dan berdiam tersebar di berbagai
pulau, dalam mencapai kemerdekaan
2. Kekuatan apa yang dapat membantu upaya mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang akhir-akhir ini dilanda kekacauan dan
konflik sosial sampai pada titik yang mengancam disintegrasi bangsa9
Lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 diharapkan dapat menjawab
pertanyaan di atas. Namun Pancasila ternyata belum mampu membuktikan kesaktiannya
ketika bangsa kita sedang bergelut menjaga keharmonisan kehidupan sosial dengan
beragam budaya.
Sejarawan Ongkokkam dan Andi Achdian (2000) dari The Ongkokkham Institute
menyimpulkan bahwa “hipotesis bahwa Pancasila adalah kontrak sosial bukan sekedar
8 Effendi, dikutip dari RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan, (Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Jakarta, 2004), hal. 97-167. Effendi, Tadjuddin N., Panca Sila Dalam Konstelasi Perubahan Masyarakat, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 20069 Ibid, Effendi. Hal.
6
masalah interpretasi.”10 Soekarno sendiri pernah menyampaikan pemikiran seperti di atas
dengan pernyataan seperti berikut:
“Apa landasan dasar pembentukan negara Indonesia yang merdeka? Apakah
nasionalisme-sosialisme? Apakah Materialisme Sejarah? Apakah San Min Cu I,
seperti dinyatakan Dr. Sun Yat Sen?
Saudara-saudara, selama tiga hari kita telah mengadakan rapat, dan banyak
gagasan yang telah disampaikan—semua gagasan—tetapi betapa benarnya kata-
kata Dr. Soekiman, Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari
kesepakatan, mencari konsensus dari opini-opini kita. Kita bersama-sama mencari
kesatuan dari ‘dasar filsafat’, bersama-sama mencari pandangan dunia yang mana
semua kita setuju. Saya katakan lagi “setuju.” Sesuatu yang disepakati Saudara
Yamin, yang mana Ki Bagoes setuju, yang mana Ki Hadjar setuju, yang mana
Saudara Liem Koen Hian setuju, ringkasnya, yang mana semua di antara kita
setuju.”11
Sebagai bangsa baru merdeka, Indonesia ingin menemukan identitas diri sebagai
bangsa baru. Keragaman jenis etnik dan suku bangsa yang luar biasa heterogen tentu saja
membutuhkan alat perekat persatuan. Oleh karena itulah, di saat usia kemerdekaan
Indonesia belum genap 2 hari, para pemimpin bangsa sudah harus bekerja keras
merumuskan pandangan hidup bangsa. Mereka memiliki anggapan tentang perlunya
ideologi kompromis mengatasi semua golongan.
Pada saat itu, ideologi dominan di dunia adalah sosialisme dan kapitalisme.
Indonesia tidak ingin terjebak di dalam perang urat syaraf dilancarkan oleh blok barat
(Amerika Serikat) dan blok timur (Eropa Timur dan Uni Soviet). Pancasila dirasakan
para founding fathers and mothers paling sesuai ditengah pertentangan dua ideologi
tersebut.
Oleh karena itu pada saat kelahirannya, Pancasila di dalam Pembukaan UUD
1945 tidak dimaksudkan sebagai ideologi paling sakral. Soekarno sendiri pernah
mengatakan bahwa:
...Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum, yang singkat, cekak
10 Ongkokkham dan Achdian, Andi, Pancasila: Dari Kontrak Sosial Menjadi Ideologi Negara, makalah untuk Simposium Nasional “Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas,” Fisip UI, 31 Mei 2006.11 Dikutif dari kutipan Sjafrudin Prawiranegara, “Pancasila as the Sole Foundation,” Indonesia, Vol. 38 (October, 1984), hal. 76-77.
7
aos hanya mengenai pokok-pokok saja dan tuan-tuan semuanya tentu mengerti,
bahwa UndangUndang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah UndangUndang
Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan ini: ini adalah Undang-
Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih
tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang dapat membuat UndangUndang Dasar yang lebih lengkap dan sempurna.12
Sangatlah gegabah apabila kita menutup diri apalagi membutakan diri untuk
menerima Pancasila apa adanya seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Kegagalan Pancasila selama ini untuk mendamaikan persoalan bangsa dapat disebabkan
oleh pencitraan Pancasila sebagai falsafah atau ideologi bangsa yang terlampau steril dan
dangkal pemaknaannya.
Dalam masa demokrasi parlementer, Pancasila sekali lagi membuktikan daya
rekatnya terhadap berbagai ideologi ketika kontes pemilihan umum terbesar dan
terdemokratis diselenggarakan pada tahun 1955. Sangat mengagumkan bahwa Pemilu
dengan mengikutsertakan 27 partai politik tanpa satupun menggunakan Pancasila sebagai
ideology partai berjalan dengan damai dan tertib. Artinya Pancasila sudah dipahami
sebagai “landasan pemersatu bangsa [sekaligus] …pegangan untuk membangun harkat
dan martabat bangsa serta dasar untuk membangun karakter bangsa (nation and
character building) atau identitas kolektif bangsa.”13
Alangkah ironisnya ketika pergantian waktu sejarah akhirnya harus memaksa
sebuah rejim, Orde Lama, meredusir nilai-nilai Pancasila ke dalam kepentingan
mengimbangi perseteruan dua ideologi besar dunia, sosialis dan kapitalis. Kekuatan
totalitarian bersemi ketika Soekarno cenderung bergerak ke arah sosialisme
mengawinkan tiga pandangan sekaligus, yaitu nasionalis, agama, dan komunis
(nasakom), mengaburkan arti Pancasila karena sudah memihak terhadap golongan
masyarakat tertentu saja. Ideologi baru ditumbuhkan Soekarno sebagai jalan tengah
dengan memurnikan kembali Pancasila dengan wajah baru bernama demokrasi
12 Dikutip dari Arinanto, Satya, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, pada http://www.cetro.or.id/pustaka/puud45satya.html diakses pada 23 April 2008. Soekarno menyampaikan pernyataan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Kilat ketika berpidato dalam pembukaan Sidang Pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pada rapat besar tanggal 18 Agustus 1945.13 Ibid, hal. 3.
8
terpimpin.14 Peristiwa 30 September 1965 menjadikan Pancasila sebagai instrumen
penghancur efektif ideologi komunis, sekaligus alat justifikasi pemberangusan Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi turunannya (onderbouw).
Masa pemerintahan Orde Baru ditandai dengan perlakuan Pancasila sebagai suatu
dogma, indoktrinasi tak terbantahkan, merubah makna dari falsafah negara menjadi alat
politik praktis semata. Orde Baru sangat mengkultuskan Pancasila dan UUD 1945
sebagai satu-satunya azas resmi, sampai-sampai institusi khusus seperti BP-7 (Badan
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila)
ditugaskan mengawasi implementasi nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen,
termasuk di dalamnya wadah penataran P4 bagi para pelajar dan calon pegawai negeri.
Ketidaksesuaian antara kerja BP7 dengan kenyataan yang tak lebih sebagai lembaga
“mata-mata” pemerintah sangat powerfull sampai dapat mencoret hampir seluruh
generasi keluarga karena keterlibatan leluhurnya dengan PKI, berikut juga hasil
penataran penuh diskriminasi, P4 yang tidak menghasilkan nilai-nilai membumi,
akhirnya membuat institusi dan penataran tersebut tak lebih sebagai instrumen
pengkultusan Pancasila. Belum lagi, menurut Effendi, “kehidupan politik mengarah pada
sistem otoritarian dan menjauh dari sistem demokratis. Partai politik difusi hanya 2
partai (PPP dan PDI) dan satu golongan (Golongan Karya) mengharuskan ketiganya
untuk menggunakan azas tunggal, Pancasila dan UUD 1945.
Masa pemerintahan demokratis kedua, Orde Reformasi, menggantikan
pemerintahan Orde Baru diwarnai dengan absennya Pancasila dari panggung kehidupan
politik Indonesia. Hal ini memancing pandangan kritis bahwa Pancasila sudah
meninggalkan bangsa Indonesia. Secara tidak langsung, ideologi kapitalis dengan
semangat liberalisme telah merasuki dunia, menerobos dinding-dinding ketahanan negara
melalui instrumen penindasan dan alienasi dengan diselimuti oleh derasnya arus
teknologi informasi dan modernisasi kebudayaan. Arti kata, situasi perpolitikan
Indonesia juga sudah tidak mampu lagi menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila untuk
membendung arus modernisasi.
Ketidakmampuan Pancasila menghadapi dominasi ideologi kapitalis, semakin
14 Roeslan Abdulgani, “Pantja-Sila Sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin,” dalam Notosoetardjo, Kembali Kepada Djiwa Proklamasi 1945: Apakah Demokrasi Terpimpin Itu? (Djakarta: Harian “Pemuda,” 1959), hal. 412.. Abdoelgani mengatakan bahwa “….perlu kiranya kita memperdalam perhatian kita dalam persoalan apakah sangkut-paut dan hubungannya Pantja-Sila dengan Demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin mengandung perpaduan dua sila, ja’ni sila Demokrasi dan sila Keadilan Sosial.
9
jauh menjerumuskan bangsa dan negara Indonesia menjadi korban budaya liberal dengan
segala macam eksesnya seperti budaya konsumerisme, privatisasi, dan pemotongan
subsidi pada hak-hak prinsipil rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Pancasila yang mengadung nilai religius, humanisme, persatuan dan kesatuan, demokrasi,
kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, justru mengundang masuknya ideologi kapitalis
lebih dalam pada sistem politik Indonesia.
Akibatnya, rasa keadilan harus digantikan dengan prinsip kesamamelaratan bagi
kelompok masyarakat bawah. Sementara kelompok masyarakat menengah ke atas
semakin enjoy dengan kehidupan bergelimang uang. Kesenjangan antara si kaya dan si
miskin makin kentara karena sejatinya memang ideologi neoliberalisme mengajarkan
kompetisi bebas tanpa campur tangan negara. Negarapun sudah dikuasai oleh politikus-
politikus haus kekuasaan tanpa malu mencederai para pemilihnya yang kelaparan.
Mekanisme pasar bebas memaksa negara-negara dunia ketiga seperti halnya
Indonesia berintegrasi ke dalam perdagangan dunia berlandaskan prinsip-prinsip
kompetisi bebas. Bedanya dengan negara-negara developed yang telah menjalankan
liberalisasi pasar lebih dari ratusan tahun, Indonesia berikut newly industrializing
countries lainnya, akan semakin menjadi underdeveloped dari masa sebelumnya.
Menurut, Andre Gunder Frank (1966) sejarawan ekonomi dan sosiologi, pencipta teori
dependensi dan teori sistem dunia mengatakan bahwa,
“institusi-institusi yang berada dalam kategori belum berkembang dari segi
pembangunannya atau disebut terbelakang ataupun wilayah-wilayah domestik
dikenal feodal dari negara-negara terbelakang sedikitnya merupakan produk dari
proses tunggal sejarah dari pembangunan kapitalis dengan segala insitusinya yang
dianggap lebih progresif (…the contemporary underdeveloped institutions of the
so-called backward or feudal domestic areas of an underdeveloped country are
no less the product of the single historical process of capitalist development than
are the so-called capitalist institutions of the supposedly more progressive
area).”15
Selanjutnya kekuatan ekonomi kapitalis akan memberangus insting manusiawi
sebagai mahluk sosial untuk kemudian saling berkompetisi demi mencapai keuntungan
15 Terjemahan bebas dari Andre Gunder Frank, “The Development of the Underdeveloped,” Pdf copy, dalam Monthly Review, Vol. 18, No. 4 (Septermber 1966), hal 95.
10
ekonomi belaka. Negara-negara dunia ketigapun akan menjadi “sapi perahan” negara
dunia kesatu tanpa bisa melepaskan diri dari cengkeraman hutang tak terbayarkan karena
ketidakmampuannya menyaingi negara berkekuatan ekonomi besar.
Orde Reformasi ternyata tidak juga mampu juga mengangkat keterpurukan
bangsa Indonesia dari krisis ekonomi, sosial, dan politik berkepanjangan. Atas nama
menjaga pergaulan dunia dan keberadaan Indonesia di mata internasional, Indonesia rela
menjauhkan diri dari nilai-nilai Pancasila dimana, masyarakatnya tercermin senang
bermusyawarah dan bergotong royong, pemerintahnya mampu memberikan
kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan Ketuhanan Yang Maha
Esa sudah dijadikan alat strategis menyisihkan kelompok atau golongan yang memiliki
keyakinan tidak sejalan dengan doktrin 5 agama diakui negara. Nilai-nilai masyarakat
Barat individualis, tidak toleran terhadap sesama, semakin menjadi hal biasa di bumi
Indonesia.
Pemerintahpun sudah kehilangan akal bagaimana menggunakan nilai-nilai
ideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam menjalankan tugas resmi pemerintahan.
Bahkan sang kepala negarapun agaknya “amnesia” terhadap doktrin yang selalu beliau
dengar dan ucapkan ketika masih bertugas di kelembagaan militer asal beliau ditempa.
Tersadar atas kealpaannya, pemerintah buru-buru mengoreksi bahwa negara kita
didasarkan oleh satu falsafah negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara.
Namun, bukan itu yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini, karena Pancasila belum
memberikan jawaban terhadap persoalan bangsa. Belum lagi perubahan pasca
amandemen konstitusi IV belum mampu memperkuat kelembagaan negara kita malah
justru semakin memperuncing konflik kelembagaan berkepanjangan di tataran elit politik.
Solusi praktispun dihadirkan dengan “mencoba” tawaran ideologi lain, persis
seperti yang terjadi dulu dengan harapan problem bangsa segera berakhir. Namun sekali
lagi, solusi tersebut gagal di tengah jalan. Sangat besar kemungkinan bahwa perubahan
Pembukaan UUD 1945 tidak akan berpengaruh apa-apa karena pangkal persoalannya
mungkin bukan sekedar merubah atau menjaga keasliannya, akan tetapi ada hal lain yang
belum sempat tersentuh dalam praktek penyelenggaraan negara dalam sistem politik
Indonesia.
11
Sulit sekali mengulang peristiwa tersebut sampai suatu ketika wacana tersebut
menyeruak kembali di sidang MPR pada tahun 2002. Terbetiknya wacana perubahan
Pembukaan UUD 1945, untuk kesekian kalinya, hadir di dalam persidangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) ketika merumuskan amandemen IV UUD 1945.
Namun sama halnya dengan hasil di tahun 1945, pikiran dan perdebatan terkuras dalam
persidangan tetap kembali ke dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Hasil dari perdebatan sengit dari kalangan anggota DPR memunculkan kembali
romatisme historis ketika pertama kalinya Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
hendak diadopsi pada tanggal 18 Agustus 1945, mengulang peristiwa serupa ketika
golongan nasionalis berseteru secara sehat dalam debat ideologis dengan golongan agama
demi mempertahankan syariat Islam dalam Pancasila sesuai bunyi sila 1 dalam Piagam
Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya ungkapan “Jas Merah” Soekarno tersebut
sangatlah sesuai untuk menegur para wakil rakyat agar peristiwa sama tidak terulang lagi
bila harus menguras energi tanpa hasil perubahan berarti.
Namun demikian, perlu kita pahami bersama pula bahwa wacana perubahan
tersebut bukan suatu permainan retorika politik belaka. Sesungguhnya ada beberapa
persoalan mendasar sedang menimpa negeri ini berupa kekosongan pandangan hidup,
keyakinan akan kekuatan bangsa besar, serta jiwa nasionalisme rakyat Indonesia lenyap
tergerus arus globalisasi.
Alih-alih menyalahkan pada hal-hal supranatural yang sangat disayangkan
menjadi bentuk alternatif pelarian sebagian rakyat Indonesia, marilah kita lihat
bagaimana keberlakuan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 dalam menjawab
tantangan bangsa. Semua ini dilakukan, termasuk upaya merubah pembukaan UUD
1945 karena bangsa kita sudah jenuh dengan gaya berpolitik usang tentang nilai-nilai
Pancasila di masa lalu yang tidak bermakna.
Perombakan terjadi dalam batang tubuh UUD 1945 menambah masalah baru
karena mengarah ke bangunan negara federasi. Karakteristik kuat ditunjukan pada sistem
pemerintahan parlemen dua kamar (bicameral) dan pemberian otonomi luas pada
tingkatan daerah. Pemberian kesempatan Dewan Perwakilan Daerah sebagai kekuatan
parlemen penyeimbang kekuatan DPR, wadah aspirasi rakyat lokal, menyiratkan bahwa
keterwakilan lokal akan memainkan peranan penting dalam sistem pemerintahan
12
Indonesia kelak. Artinya, sistem pemerintahan Indonesia pasca amandemen IV juga
semakin mempertegas komitmen pemerintah untuk berubah setidaknya terhadap
penguatan tatanan kelembagaan pusat dan daerah, sebagai prasyarat keseimbangan
kekuasaan pusat dan daerah. Walaupun begitu tidak ada satupun elit politik maupun
negarawan berani memunculkan diskursus mengenai negara federasi tersebut, khawatir
perpecahan akan segera terjadi di bumi Indonesia.
Pemikiran di atas teramat penting mengingat gejala instabilitas dan perpecahan
ideologi berlandaskan doktrin keagamaan, kesukuan, dan golongan semakin menyeruak.
Instabilitas dan perpecahan tersebut kemungkinan besar karena bangsa Indonesia gagal
memaknai Pembukaan UUD 1945 dari sudut pandang kritis mengenai perjalanan sejarah
bangsa, melupakan takdir bahwa kita merupakan bangsa keheterogenan, membutuhkan
suatu nilai-nilai dasar sebagai prinsip menjalankan hidup bernegara diantara
kemajemukan.
Alhasil, pangkal masalah tersebut dapat disebabkan oleh hilangnya pegangan
hidup karena memang bangsa ini gagal memaknai Pancasila lebih dalam, bukan hanya
sekedar sebagai ideologi pemersatu, tapi lebih kepada prinsip dasar yang dipilih secara
sadar karena bangsa ini ingin diikat oleh satu konsensus bersama.
Pupusnya semangat Budi Utomo seiring dengan terkikisnya nilai-nilai dalam
Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila telah teredusir maknanya dari sekedar nilai-nilai
transedent, tidak dapat dibumikan. Perenungan selanjutnya adalah tentang keberadaan
sistem politik yang patut kita pertimbangkan keberlakuannya di negara kita tercinta. Bila
memang Pembukaan UUD 1945 berisikan ideologi dan bangunan negara sudah tidak
dapat mengakomodasi cita-cita dan tujuan negara kita, maka perlu kita pikirkan kembali
daya keberlakuannya.
Keselarasan Sistem Pemerintahan Kita Dengan Kontrak Sosial Bangsa
Sistem pemerintahan yang berlaku sekarang sesungguhnya mendasarkan diri pada
pemikiran negara kesejahteraan (welfare state). Konsep welfare state berasal dari Barat
sebagai reaksi terhadap konsep pembatasan kewenangan pemerintah (limited
government) di abad ke-19, dimana negara bertindak sebagai pengawas saja (watchman).
Pemerintah sebagai pengawas hanya sekedar menyediakan hukum dasar dan menegakkan
13
aturan, pertahanan, dan perlindungan terhadap hak milik, selebihnya hanya dalam kadar
minim sekali mengurus masalah rakyatnya (kecuali masalah pendidikan seperti di Jerman
pada tahun 1880).
Di abad ke-20 konsep welfare state merubah paradigma pemerintah untuk
memperhatikan rakyat dengan cara membangun asuransi sosial, kesehatan, publik,
pendidikan dan lainnya. Pemerintahan Otto von Bismarck di masa revolusi industri dan
urbanisasi Jerman, mengeluarkan program asuransi sosial seperti perlindungan dari
kecelakaan dan jatuh sakit, pengangguran, dan pensiun bagi orang tua. Sedangkan
Amerika Serikat menyelenggarakan pendidikan bagi rakyatnya.16
Sampai sekarang debat mengenai regulatory state ataupun limited government
dan welfare state masih tetap hangat. Perdebatan tersebut apabila ditarik garis ke
belakang pada akhirnya akan memunculkan wacana para filsuf kenegaraan tentang state
of nature atau negara dalam bentuk paling alami. Menurut filsuf asal Inggris seperti
Thomas Hobbes dan John Locke, state of nature didefinisikan sebagai kondisi yang perlu
ada bila pemerintahan belum ada. Mereka berargumen bahwa negara dalam bentuk alami
sebenarnya sudah ada sebelum terbentuknya negara dan pemerintah untuk pertama
kalinya.17
Sejarah membuktikan, ketika Magna Charta, dokumen politik penting berisikan
kesepakatan para baron (bangsawan) Inggris untuk melawan kesewenang-wenangan raja
Inggris, Raja John, kemudian memaksanya mematuhi hukum dengan pembatasan
kekuasaan terhadap para baron, merupakan suatu bentuk kontrak sosial menghapuskan
absolutisme kekuasaan. Dokumen tersebut menjadi tonggak perubahan kekuasaan feodal
seorang raja ke arah lebih demokratis dalam pemerintahan Inggris.
Magna Charta sebagai kontrak sosial kemudian berubah menjadi Petition of
Rights, ketika kesepakatan tersebut sudah tidak relevan dengan suasana politik terbaru.
Perubahan tersebut memberikan kesempatan kepada suatu negara, dalam hal ini Inggris,
untuk mengubah bentuk negaranya.
Hampir mirip halnya dengan gagasan kontrak sosial Jean Jascques Rousseau,
filsuf Perancis, yang berangkat dari kegalauan terhadap situasi sosial dan politik
16 Gabriel Almond, Gingham A. P., Karee S., et al., Comparative Politics Today: A World View, seventh edition (New York: Addison Wesley Longman, 2000), p. 4-5.
17Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, edisi revisi (Jakarta: PT. Gramedia, 2007), hal. 107-113.
14
didasarkan atas prinsip-prinsip absolutisme raja Perancis. Rousseau berpendapat bahwa
“manusia lahir bebas, tapi terbelenggu di mana-mana.” Oleh karena itu Rousseau
menyarankan agar orang-orang bebas dan berkedudukan sejajar untuk bersatu padu,
bersepakat untuk menciptakan diri mereka sebagai satu kesatuan, untuk pencapaian
tujuan kebaikan bersama.18 Rousseau menginspirasi kontrak sosial rakyat, Droit de
l’home (The rights of man), sebagai dasar revolusi Perancis
Pengalaman dua negara bangsa besar di Eropa Barat tersebut dalam menciptakan
kesepakatan berupa kontrak sosial berjalan seiring dengan kehendak umum rakyat. Bill
of Rights di Amerika Serikat mengikuti alur perkembangan sejarah pemufakatan rakyat di
negara-negara bagiannya dengan penambahan hak universal setiap individu di hadapan
hukum sebagai ciri utamanya. Pembentukan bangsa dan negara Indonesia sendiri
hendaknya tidak terlepas dari kesepakatan sosial rakyat Indonesia yang hadir jauh
sebelum para founding fathers merumuskan UUD 1945.
Dengan demikian berdasarkan pemikiran filsuf Barat tentang negara, cikal bakal
negara dan bangsa Indonesia sudah ada sebelum negara Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Berikutnya kita perlu menelusuri
bagaimana bangunan negara kita dalam konteks paling alamiah berdasarkan apa yang
termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dari menemukan
keselarasan sistem pemerintahan kita dengan kontrak sosial bangsa.
Secara umum sistem politik Indonesia menerima bentuk negara kesatuan, dengan
bangunan negara republik, dan sistem pemerintahan presidensiil. Namun seperti telah
diungkapkan oleh Almond (2000), struktur dalam sistem politik satu negara dapat serupa
dengan struktur di negara lain akan tetapi tidak begitu dengan fungsi yang dijalankan
oleh strukturnya.19 Begitupula dengan sistem politik Indonesia yang ditenggarai memiliki
sistem pemerintahan presidensiil tidak murni. Artinya struktur kelembagaan yang ada
tidak sepenuhnya melaksanakan tugas dan fungsi yang umum terjadi dalam sistem
presidensiil.
Permasalahan ketidakmurnian sistem pemerintahan, bukanlah masalah spesifik
bangsa Indonesia. Masalah seperti ini selalu melanda sistem politik di negara manapun,
18 Jean J. Rousseau, The Basic Political Writings, terjemahan Donald A. Cress (Market Publish Co., 1987), hal. 44-49.19 Gabriel Almond, Gingham A. P., Karee S., et al., Comparative Politics Today: A World View, seventh edition (New York: Addison Wesley Longman, 2000), p. 43-46.
15
terutama di negara yang mengalami transisi dari masa penjajahan kolonial, pra-
kemerdekaan, kemerdekaan, sampai pasca-kemerdekaan. Belum lagi permasalah
semakin pelik ketika tekanan rejim internasional pada perekonomian suatu negara
menjadikan sistem politik suatu negara rentan gejolak.
Namun demikian, perlu kita bedakan tingkat kestabilan sistem pemerintahan di
negara Barat, yang sudah cukup lama mengalami masa transisi dan konsolidasi
demokrasi, dengan negara berkembang, yang masih bergelut menegakkan demokrasi di
segala bidang. Tentunya ketidakstabilan sistem politik sangat tergantung dari proses
pergantian pemimpin politik yang mampu mengendalikan jalannya pemerintahan.
Oleh karena itu, bentuk, bangunan, dan sistem pemerintah di negara Indonesia
akan sangat dipengaruhi oleh lingkungan internasional walaupun dengan tetap memegang
teguh nilai dan norma budaya yang kita anut. Jangan sampai sistem politik Indonesia
menjadi ‘banci’ karena ketidaktegasan para pemimpin bangsa gagal menentukan arah
perubahan sistem pemerintahan. Bila kita menginginkan lingkungan internasional segan
terhadap Indonesia, maka sistem politik haruslah stabil di tengah perubahan global.
Masyarakat internasional tidak akan berani mencampuri urusan Indonesia bila
masyarakat Indonesia memiliki rasa nasionalisme kuat, membela bentuk, bangunan, dan
sistem pemerintah yang ditentukan sendiri.
Menurut I Made Leo Wiratama (2006), bentuk suatu negara ditentukan oleh
pemimpin negaranya. Bentuk negara republik dikepalai oleh seorang presiden yang
kekuasaannya dibatasi oleh konstitusi. Sedangkan bentuk negara monarki dikepalai oleh
seorang raja atau ratu yang memiliki kekuasaan seumur hidup.
Sedangkan bangunan negara ditentukan oleh bagaimana pembagian kekuasaan
dalam suatu negara terbagi ke dalam pemerintah pusat dan daerah, yaitu: negara kesatuan
(unitary state), negara federasi (federation state), dan negara konfederasi (confederation
state).
Di dalam negara kesatuan, hanya ada satu kekuasaan pemerintah pusat sangat
dominan, sedangkan pemerintah daerah hanyalah mendapatkan delegasi kewenangan dan
mengimplementasi kebijakan yang sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Di
lain pihak, negara federasi memiliki pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
yang sama-sama memiliki kekuasaan dan kewenangan yang sepadan. Biasanya,
16
pemerintah federal memiliki kekuasaan dalam menentukan kebijakan lintas nasional,
dimana kewenangan seperti pertahanan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter,
lintas negara bagian menjadi tanggung jawabnya. Pemerintah negara bagian, memiliki
kewenangan penuh untuk mengatur urusan di wilayah kekuasaannya di luar kewenangan
pemerintah federal. Terakhir adalah bangunan negara konfederasi, dimana beberapa
negara berdaulat bersepakat untuk membentuk ikatan dalam wadah perjanjian untuk
membentuk kelompok negara, namun masing-masing negara tetap memiliki
kedaulatannya.
Sedangkan sistem pemerintahan atau bentuk pemerintahan merupakan suatu
sistem memerintah yang ditentukan berdasarkan hubungan antara struktur atau lembaga
di dalam suatu negara. Sistem pemerintahan terdiri dari sistem presidensiil dan
parlementer.
Ciri dari sistem pemerintahan presidensiil adalah presiden sebagai kepala negara
yang dipilih secara periodik dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Sedangkan
sistem parlementer dikepalai oleh seorang perdana menteri yang bertindak sebagai kepala
pemerintahan, dipilih dan bertanggung jawab kepada parlemen.
Menurut Wiratma ada 4 parameter untuk mengidentifikasi perbedaan antara
sistem pemerintahan presidensiil dengan parlementer, yaitu:
1. sistem pemerintahan parlementer, kepala pemerintahan adalah seorang perdana
menteri yang dapat diturunkan melalui mosi tidak percaya anggota parlemen.
Sedangkan sistem pemerintahan presidensiil, kepala negara seorang presiden
dipilih melalui pemilihan umum, kekuasaannyapun dibatasi oleh konstitusi.
Presiden tidak dapat diturunkan di dalam masa jabatannya, kecuali dengan alasan
atau sebab luar biasa seperti pelanggaran berat terhadap pelaksanaan tugasnya,
2. kepala pemerintahan di dalam sistem presidensiil dipilih secara popular melalui
pemilihan umum langsung maupun tidak langsung dalam lembaga pemilihan
umum. Pada sistem parlementer, perdana menteri dipilih oleh parlemen,
3. sistem parlementer memiliki eksekutif collegial (pemerintahan kolektif) dimana
pemerintahan sistem presidensiil hanya memiliki satu badan eksekutif atau
pemerintah non-collegial,
Pada umumnya negara-negara di dunia terbagi menjadi 4 kategori:
17
a. Republik dengan sistem pemerintahan presidensiil,
b. Republik dengan sistem pemerintahan parlementer,
c. Monarki absolut,
d. Monarki dengan sistem pemerintahan parlementer.20
Setelah masa penjajahan kolonial, Indonesia menganut bentuk negara republik
dengan bentuk negara unitarian dan sistem pemerintahan presidensiil. Namun dalam
perjalanan sejarah sistem politik Indonesia perubahan bangunan negara dan sistem
pemerintahan telah terjadi beberapa kali sampai menemukan struktur dan fungsi seperti
sekarang (lihat tabel 1).
Tabel 1. Periodisasi Sistem Politik Indonesia
Periode Bentuk Bangunan Sistem Pemerintahan
Pasca Kemerdekaan Republik Unitarian Presidensiil
’46-‘49 Republik Federasi Parlementer
’55-‘59 Republik Unitarian Parlementer
Orde Baru Republik Unitarian Presidensiil
Orde Reformasi Republik Unitarian Presidensiil tidak murni
Sumber: diolah dari berbagai sumber (Piliang, 2006; Wiratama, 2006)21
Perubahan susunan dan hubungan kelembagaan pasca amandemen konstitusi IV
tahun 2002 sampai saat ini masih terus terjadi. Hasil amandemen konstitusi I, II, III, dan
IV belum dapat secara tegas membagi struktur dan fungsi lembaga negara, sehingga
konflik kelembagaan justru menjauhkan dari terciptanya mekanisme checks and balances
antar lembaga. Rencana amandemen konstitusi V menjadi harapan perubahan sistem
politik Indonesia ke arah lebih baik.
Menurut Almond, pemerintah adalah organisasi dari sekelompok individu yang
secara legal memiliki kekuasaan untuk menentukan keputusan bersifat mengikat atas
nama komunitas tertentu. Jadi pemerintah memiliki kewenangan dan kekuatan untuk
memaksa (coercive power) dalam menjalankan fungsi berikut:
20 I Made Leo Wiratma, “Purifikasi Sistem Presidensiil,” dalam Disain Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Center for Strategic and International Studies, 2006).21 Lihat CSIS, Disain Baru Sistem Politik Indonesia, editor Indra J. Piliang dan T.A. Legowo (Centre for Strategis and International Studies: Jakarta, 2006).
18
a. menyatakan perang,
b. mendorong ke arah perdamaian,
c. menumbuhkan atau membatasi perdagangan internasional,
d. membuka perbatasan untuk pertukaran ide dan inovasi atau menutupnya,
e. memungut pajak terhadap penduduk secara berat ataupun ringan dengan melalui
berbagai cara,
f. mengalokasikan sumber daya yang ada untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan, atau merelakan urusan tersebut pada pihak lain.22
Penelusuran atas asal muasal negara dan bangsa Indonesia kemudian
memproyeksikannya ke depan akan membawa kita pada jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan bagaimana desain sistem politik seperti apa yang dapat mendukung ke arah
bentuk, bangunan, dan sistem pemerintahan Indonesia ideal. Apakah mengadopsi model
negara Barat tanpa kecuali? Ataukah perlukah kita kembali menyesuaikan asal muasal
negara dan bangsa Indonesia dengan kebutuhan nyata rakyat?
Alternatif Pemecahan Model Sistem Politik Indonesia Di Masa Depan.
Pernyataan Djuyoto Suntani, dalam bukunya yang provokatif, Tahun 2015
Indonesia Pecah, seperti “samberan petir” di tengah-tengah geliat anak bangsa
memperingati 100 tahun kebangkitan bangsa. Namun begitu, usaha keras para pemimpin
bangsa, tokoh masyarakat, pengusaha, dan kaum cendekiawan memaknai kebangkitan
bangsa, demi menyadarkan semua pihak bahwa bangsa kita sedang memasuki tahap kritis
menuju ke arah perbaikan. Pernyataan Sarwono Kusumaatmadja, tokoh Dewan
Perwakilan Daerah RI, dalam suatu dialog di salah satu stasiun televisi nasional,
memberikan sekelumit harapan bahwa kita harus optimis karena menurutnya “thing gets
worse before it gets better,” memaknai rangkaian peristiwa pasca jatuhnya rejim orde
baru sebagai suatu momentum bangsa untuk mempersiapkan diri bangkit dari krisis.23
Hendaknya perdebatan mengenai bangkit atau terpuruknya Indonesia sebagai bangsa
22 Terjemahan dari Gabriel A. Almond, G. Bingham Powell, Kaare Strom, and Russel J. Dalton, Comparative Politics Today: A World View, seventh edition (Addison Wesley Longman: New York, 2000), p. 4-5.23 Pernyataan tersebut dilontarkan pada acara “Perspektif Wimar,” TVOne (15 Mei 2008). Selanjutnya Kusumaatmadja mengatakan bahwa “ternyata orang luar negeri melihat maa depan kita dengan jauh lebih optimis.” Mengutip pendapat Prof DR Mudji Sutrisno, dalam memandang 10 tahun reformasi kita bisa analogikan itu seperti jam yang menunjuk pukul 24.00/00.00. di satu sisi kita bisa menganggap itu adalah titik puncak kegelapan yang pekat atau juga bisa dianggap sebagai titik awal menuju kecerahan. Lihat juga di Didiet Adiputro, “10 Tahun Reformasi: Orang Indonesia Lebih Pesimis Dari Orang Luar Negeri,” Perspektif Online (15 Mei 2008), http://perpektif.net/indonesian/article.php?article_id=880. Diakses (20 Mei 2008).
19
besar tidak menjadikan kita malas berpikir dan menyerah pada takdir. Fatalisme cara
berpikir seperti ini hanya akan membawa Indonesia kepada pesimisme nasional akan
lemahnya daya tahan negara dan bangsa Indonesia.
Ketika rasa pesimisme sudah diikuti dengan peristiwa-peristiwa politik
berdampak buruk pada kehidupan rakyat, maka kita perlu kembali mencari jawaban
dengan melihat ke dalam kontrak sosial yang ada. Hasil pencarian jawaban akan
bermuara pada dua hal, yaitu:
1. jawaban masih dapat digali dari Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, sehingga
perubahan dirasa tidak perlu, maka langkah selanjutnya adalah memberikan
pemahaman secara mendalam dengan menumbuhkan kesadaran bahwa rakyatlah
yang berhak memaknai kontrak sosial tersebut bukan segelintir elit saja. Oleh
karena itu, rencana amandemen konstitusi V seharusnya juga mengikutsertakan
partisipasi rakyat melalui sosialisasi terus menerus tentang pentingnya
menghidupkan semangat dalam kontrak sosial berupa Pembukaan UUD 1945;
2. bila tidak mendapatkan jawaban, maka kontrak sosial, berupa Pembukaan UUD
1945 dan Pancasila, mungkin perlu dirumuskan ulang dengan memuat sistem
politik Indonesia di masa depan. Semangat pluralisme dan tujuan negara tetap
menjadi bagian kontrak sosial paling penting mengingat khasanah budaya
Indonesia sangat beragam
Namun demikian, bangsa dan negara Indonesia ke depan tetap harus memiliki
keteguhan prinsip. Komitmen untuk membangun dan menstabilkan sistem politik
Indonesia amatlah diperlukan demi mensukseskan program-program pembangunan.
Berikut ini adalah beberapa langkah antisipatif yang dapat dipertimbangkan bila seluruh
elemen bangsa benar-benar bangkit dari krisis sosial dan politik mengancam keutuhan
NKRI, yang terdiri dari 3 skenario besar: 1) Indonesia 5 tahun ke depan (jangka pendek);
2) Indonesia 10 tahun ke depan (jangka menengah); dan 3) persiapan menuju negara
bangsa sesungguhnya dalam 20 tahun ke depan (jangka panjang).
Skenario Indonesia 5 tahun ke depan (jangka pendek) mempertimbangkan kondisi
sistem politik Indonesia yang membutuhkan tokoh pemimpin pemersatu bangsa. Tokoh
ini dibutuhkan agar rakyat Indonesia menjadi tenang (content) dalam menjalani ujian
menuju negara demokrasi. Selain itu kondisi otonomi daerah membutuhkan pola
20
pembagian kewenangan pengelolaan sumber daya alam secara fair antara pusat-daerah
dan daerah kaya-miskin. Masalah sengketa Pilkada di daerah konflik harus mendapatkan
perhatian lebih dari pemerintah pusat, baik dari mekanisme pengawasan maupun
penyelenggaraannya, bila gejolak massa pendukung ingin diredam sesegera mungkin.
Solusi jangka pendek memuat persyaratan:
1. munculnya pemimpin hasil asimilasi dari pesona kharismatik dan kemampuan
legal administratif,
2. menyudahi konflik antar lembaga pemerintahan dapat diakhiri dengan
amandemen konstitusi V,
3. bangunan negara kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensiil dan
mekanisme checks and balances yang sesungguhnya,
4. menumbuhkan kemandirian daerah melalui desentralisasi masih dengan titik berat
otonomi daerah di level kabupaten/kota,
5. reformasi kelembagaan negara dan privat, mengeliminir nafsu elit politik
berkoalisi negatif dengan kaum pengusaha melakukan tindak korupsi,
6. penyederhanaan partai politik dengan meningkatkan electoral threshold dan
parliamentary threshold, untuk persiapan Pemilu setelah tahun 2009,
7. menguatkan peran dewan perwakilan daerah dalam sistem politik Indonesia,
persiapan menuju parlemen bicameral,
8. menumbuhkan saluran politik alternatif berupa organisasi-organisasi profesi dan
kemasyarakatan daripada sekedar menggantungkan aspirasi rakyat di tangan
perwakilan legislatif.
Sedangkan skenario Indonesia 10 tahun ke depan (jangka menengah)
mempertimbangkan kondisi sistem politik Indonesia yang semakin demokratis, karena
pemimpin pilihan rakyat benar-benar kompeten dan committed dalam menjalankan
pemerintahan dengan diimbangi oleh lembaga legislatif berposisi sebagai oposan.
Otonomi daerah menyadarkan pemimpin dan rakyat di daerah bahwa mereka tidak dapat
berpisah dengan daerah lainnya, sehingga mereka mulai mempertimbangkan untuk saling
bekerja sama ke level provinsi. Sampai titik ini, daerah-daerah sudah tidak berpikir
untuk berpisah dari ikatan satu negara dalam hal ini bangunan negara kesatuan. Solusi
jangka menengah memuat persyaratan sebagai berikut:
21
1. pemimpin kharismatik, muda, dan berkemampuan manajerial strategis hasil
pilihan rakyat melalui jalur partai politik maupun independen,
2. amandemen konstitusi selama minimal 1 kali setelah amandeman ke V dengan
kemungkinan meninjau perubahan pada Pembukaan UUD 1945, namun prinsip
pluralisme tetap dijaga,
3. desentralisasi dengan titik berat pada level provinsi mencapai keseimbangan
pemerintah pusat dan daerah, residu kewenangan ada di level pemerintah pusat,
4. bangunan negara tetap negara kesatuan dengan sistem parlemen dua kamar,
5. perwakilan rakyat, DPR dan DPD memiliki kekuatan berimbang dengan sistem
parlemen bicameral,
6. penegakan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa pandang bulu (equality
before law),
7. pemetaan ulang wilayah pemilihan sehingga memenuhi aspek keadilan di antara
daerah maju dan daerah tertinggal, penduduk banyak dan sedikit, kemampuan
pengelolaan daerah tinggi dan rendah, sumber daya manusia potensial dan kurang
potensial, tingkat pendidikan tinggi dan rendah, dan lainnya,
8. jumlah partai politik semakin mengerucut ke arah polarisasi ideologi,
memudahkan pemilih untuk menentukan pilihan, meminimalisir pemerintahan
koalisi,
9. ajegnya saluran politik alternatif berupa organisasi-organisasi profesi dan
kemasyarakatan sebagai penyeimbang sistem perwakilan mayoritas di parlemen,
10. rekonstruksi dan revitalisasi nilai-nilai kesepakatan/konsensus bangsa dan negara
di dalam Pembukaan UUD 1945 oleh para cendekia dan elit politik bangsa yang
sungguh-sungguh memikirkan bangsa dan negara Indonesia,
Terakhir, setelah perjalanan bangsa dan negara melalui dua tahapan di atas,
alternatif ketiga layak dipertimbangkan dengan mempertimbangkan kondisi sistem politik
Indonesia yang sudah stabil. Demokrasi dalam setiap pemilihan pimpinan pusat maupun
daerah tidak menimbulkan gejolak massa berarti, karena saluran politik alternatif telah
tumbuh dan bekerja efektif bagi kepentingan rakyat.
Hubungan pusat-daerah telah seimbang sehingga kebergantungan terhadap pusat
jauh berkurang. Daerah-daerah otonom akan menciptakan kesepakatan baru tanpa
22
didikte oleh pusat, untuk menyerahkan sebagian kewenangan lingkup nasional kepada
pemerintah pusat. Senada dengan Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani, menanggapi
perpecahan NKRI pada 2015, bahwa desentralisasi [yang dianggap] sebagai penghancur
NKRI justru merupakan pemersatu bangsa…“Etnis dan agama kini tidak lagi dianggap
dalam Pilkada. Yang dilihat adalah prestasinya.”24
Di tahap inilah kesepakatan Indonesia baru lahir, mengubah bangunan negara ke
arah federasi dengan sistem pemerintahan presidensiil.
Persiapan menuju negara bangsa jangka panjang (20 tahun ke depan), perlu
memperhatikan persyaratan berikut:
1. permasalahan pemimpin nasional sudah bukan menjadi masalah karena pada
dasarnya rakyat akan lebih fokus terhadap program pemimpin daerahnya masing-
masing. Figur pemimpin nasional yang telah terseleksi secara demokrastis, akan
lebih diprioritaskan pada kemampuan lobby internasional dengan pengetahuan
luas mengenai kebijakan luar negeri dan kemampuan mewujudkan kebijakan
ekonomi makro yang berpihak pada rakyat,
2. Perubahan mendasar dari bentuk, bangunan, dan sistem pemerintahan negara,
dengan bentuk negara republik, bangunan negara federasi, dan sistem
pemerintahan presidensiil mengingat eksekutif kuat tetap diperlukan demi
menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia ke depan,
3. pembatasan kekuasaan pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah setingkat
provinsi atau negara bagian memiliki kewenangan dalam mengatur daerahnya
masing-masing tanpa campur tangan pusat,
4. mekanisme judicial review yang efektif dan memihak kepentingan rakyat,
5. sistem legislatif bicameral,
6. sistem pemilihan umum proporsional dengan sistem daftar terbuka atau gabungan
antara single member district dengan proporsional sistem,
7. polarisasi ideologi bergeser ke arah lebih terbukanya ideologi partai, mengatasi
kebutuhan heterogen pemilih, sistem multi-partai dengan hanya beberapa partai
24 Moksa Hutasoit, “Tahun 2015 Indonesia Pecah,” Detikcom (14 Mei 2008). http://jkt.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/05/tgl/14/time/155318/idnews/939500/idkanal/10. Diakses (20 Mei 2008).
23
besar, terbukanya kesempatan bagi calon independen baik di lingkup politik
nasional maupun daerah,
8. satuan militer yang berskala nasional, tidak terpecah-pecah, dengan satuan
pemelihara keamanan dan ketertiban sudah terdesentralisir,
9. pemindahan lokasi ibukota negara di lokasi yang strategis, sebagai prasyarat
pertumbuhan negara-negara bagian atau provinsi seimbang, sehingga sentra
industri dan perdagangan tidak terpusat seperti sekarang di satu pulau saja,
10. Semakin menguatnya nilai-nilai kesepakatan/konsensus bangsa dan negara
mengalahkan ideologi lainnya.
Diharapkan bahwa Indonesia selepas masa 20 tahun lagi akan menjadi bangsa
yang benar-benar besar, disegani oleh lawan maupun kawan. Masyarakat Indonesia telah
dapat mencukupi kebutuhan sendiri baik sandang, pangan, maupun papan. Kebijakan
pendidikan murah bagi masyarakat haruslah sudah terpenuhi. Begitupula dengan
kebijakan landreform, pemberian tanah gratis bagi para petani kecil akan sangat
membantu negara kita mempertahankan kecukupan pangan dan memberikan kesempatan
bagi para petani mengenyam kesejahteraan cukup.
Indonesia selepas 20 tahun berupa negara bangsa yang tidak takut melawan
melindungi kepentingan rakyat, tradisi budaya, dengan nasionalisasi dan negosiasi ulang
kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam dengan pihak asing. Sehingga, negara
bangsa Indonesia akan tegak berdiri diatas kontrak sosial yang diakui dan dijalankan oleh
seluruh rakyat Indonesia.
24
Bibliografi
Abdulgani, Roeslan. “Pantja-Sila Sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin,” dalam Notosoetardjo, Kembali Kepada Djiwa Proklamasi 1945: Apakah Demokrasi Terpimpin Itu? Djakarta: Harian “Pemuda,” 1959.
Adiputro, Didiet. “10 Tahun Reformasi: Orang Indonesia Lebih Pesimis Dari Orang Luar Negeri,” Perspektif Online (15 Mei 2008), http://perpektif.net/indonesian/article.php?article_id=880. Diakses (20 Mei 2008).
Almond, Gabriel A., Powell, G. B., Strom K., and Dalton, R. J., Comparative Politics Today: A World View, seventh edition. New York: Addison Wesley Longman, 2000.
Antara News, “Tahun 2015 Indonesia Bisa Pecah,” AntaraNews (27 Desember 2007), http://antara.co.id/arc/2007/12/27/tahun-2015-indonesia-bisa-pecah/ diakses (20 Mei 2008).
Arinanto, Satya. “Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.” http://www.cetro.or.id/pustaka/puud45satya.html diakses (23 April 2008).
CSIS, Disain Baru Sistem Politik Indonesia, editor Indra J. Piliang dan T.A. Legowo. Jakarta: Centre for Strategis and International Studies, 2006.
Effendi, Tadjudin, N., “Panca Sila Dalam Konstelasi Perubahan Masyarakat,” makalah untuk Simposium Nasional Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, Fisip UI (31 Mei 2006).
Frank, Andre G. “The Development of the Underdeveloped,” Pdf copy, dalam Monthly Review, Vol. 18, No. 4 (Septermber 1966).
Gurr ,Ted R. Why Men Rebel. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1970.
Hutasoit, Moksa. “Tahun 2015 Indonesia Pecah.” Detikcom (14 Mei 2008). http://jkt.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2008/bulan/05/tgl/14/time/155318/idnews/939500/idkanal/10. Diakses (20 Mei 2008).
Indrayana, Deny. “Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitution-Making in Transition, academic paper (2007).
Hadinoto, Pandji R. “Budi Utomo dan Kebangkitan Nasional,” Tiga Pilar Kemitraan (Sabtu, 16 Juni 2007). http://www.tigapilar.org/mod.php?mod=publisher&op=view article&cid=6&artid=384 diakses (20 Mei 2008).
25
Koran Tempo, “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional: Jumlah Orang Miskin Tetap Tinggi,” Koran Tempo (Senin, 19 Mei 2008).
Kusuma, RM. A.B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.
Ongkokkham dan Achdian, Andi. “Pancasila: Dari Kontrak Sosial Menjadi Ideologi Negara.” Makalah untuk Simposium Nasional Restorasi Panca Sila Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Fisip UI (31 Mei 2006).
Koran Tempo. “Kebangkitan Nasional: Jumlah Orang Miskin Tetap Tinggi,” Koran Tempo (Senin, 19 Mei 2008).
Prawiranegara, Sjafrudin. “Pancasila as the Sole Foundation,” Indonesia, Vol. 38 (October, 1984).
Rousseau, Jean J. The Basic Political Writings, terjemahan Donald A. Cress. Market Publish Co., 1987.
Widiastono, Tonny D. “Pendidikan dan Kesadaran Berbangsa,” Kompas.com (Selasa, 20 Mei 2008). http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/05/20/074716/pendidikan.dan.kesadaran.berbangsa diakses (20 Mei 2008).
Wiratma, I M. Leo. “Purifikasi Sistem Presidensiil,” dalam Disain Sistem Politik Indonesia, ed. Indra J. Piliang dan T.A. Legowo. Jakarta: CSIS, 2006.
26
Top Related