Download - BAB_IV[1]

Transcript

BAB IVANALISA KASUS

Preeklamsia dapat didiagnosis dengan adanya kenaikan tekanan pembuluh darah, proteinuria, dengan atau tanpa disertai dengan edema non dependent. Diagnosis definitif untuk preeklamsia hanya dapat ditegakkan setelah usia gestasi 20 minggu. Hipertensi yang termasuk preeklamsia didefinisikan sebagai tekanan darah yang menetap 140/90 mmHg pada ibu yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal. Sedangkan proteinuria yang sering disebutkan adalah 300 mg/24 jam atau +1 pada urin.8 Pada pasien atas nama Ny. E (26 tahun) dapat dikatakan mengalami preeklamsia berat, sebab dari anamnesa didapatkan peningkatan tekanan darah setelah kehamilan 37 minggu dan tidak didapatkan sebelum kehamilan. Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 200/140 mmHg, oedema pada kedua ekstrimitas bawah, dan pada pemeriksaan laboratorium urin proteinuria didapat hasil +3. Pada pasien primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody) belum sempurna sehingga meningkatkan resiko terjadinya eklamsia. Perkembangan preeklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan kehamilan umur ekstrem. Faktor resiko terjadinya PEB lainnya adalah riwayat preeklamsia sebelumnya, kehamilan ganda, dan riwayat penyakit tertentu seperti hipertensi, diabetes melitus, penyakit ginjal, atau penyakit degeneratif seperti lupus dan reumatik arthritis.1 Pada preeklamsia, tekanan darah yang tinggi terjadi sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Proteinuria terjadi karena pada preeklamsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Edema terjadi karena penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstisial. Pada preeklamsia dijumpai kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada kehamilan normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air dan natrium. Pada preeklamsia terjadi perubahan pada ginjal yang disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun sehingga mengakibatkan filtrasi glomerulus berkurang. Penurunan filtrasi glomerulus menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun yang menyebabkan retensi garam dan juga air.3

Berdasarkan usia kehamilan, hamil postterm adalah kehamilan berusia 42 minggu lengkap atau lebih (294 hari lebih).1 Hal ini sesuai dengan pasien Ny. E bila dihitung usia kehamillannya dari HPHT yaitu 6 6 2011 (umur kehamilan 42-43 minggu), sehingga pasien didiagnosa dengan kehamilan postterm. Pada pasien ini dilakukan perawatan aktif agresif karena usia kehamilan 37 minggu. Pada PEB indikasi perawatan aktif adalah hasil penilaian kesejahteraan janin yang jelek, ada keluhan subyektif, adanya sindrom HELLP, kehamilan aterm, kegagalan perawatan konservatif. Pengobatan medicinal dilakukan dengan segera rawat inap, tirah baring miring ke satu sisi, infus RL, pemberian antikejang MgSO4 dan antihipertensi. Pada preeklamsia berat, untuk mencegah terjadinya eklamsia maka pada pasien diberikan MgSO4 sebagai terapi profilaksis antikonvulsi yang juga sekaligus dapat menurunkan tekanan darah.9 Pemberian MgSO4 full dose diberikan secara iv 4 gr diencerkan 10 cc dan infus RL drip MgSO4 40% 6 gr 28 tpm. Kemudian dilanjutkan dengan terapi lanjutan MgSO4 40% 12,5 cc 32 tpm sampai 24 jam pasca persalinan untuk mencegah eklamsia sambil memantau vital sign dan laboratorium untuk mengetahui fungsi hepar dan ginjal pasien. Terapi nifedipin diberikan kepada pasien untuk mengatasi hipertensi (TD: 190/100 mmHg). Terapi nifedipin diberikan dengan dosis 10 mg SL untuk mengatasi krisis hipertensi kemudian dilanjutkan dengan dosis maintenance 3 x 10 mg. Pasien Ny. E pada saat datang dalam kondisi observasi inpartu (belum ada pembukaan), sedangkan pasien merupakan G1P0Ab0 dengan preeklamsia berat pada kehamilan postterm. Tatalaksana PEB pada kehamilan 37 minggu adalah terminasi kehamilan segera. Pada pasien PEB, persalinan harus dilakukan dalam 24 jam, oleh karena itu pada pasien ini dilakukan percepatan kala I dengan induksi persalinan. Cara persalinan pada penderita PEB apabila belum inpartu adalah dilakukan induksi persalinan, dan bila perlu dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II dalam 24 jam. Bila tidak, induksi persalinan dianggap gagal dan disusul dengan section caesarea. Pada pasien ini setelah pemberian misoprostol tab dan drip oxytocin ternyata tidak mengalami kemajuan persalinan (belum ada pembukaan), artinya induksi persalinan dianggap gagal sehingga harus dilanjutkan dengan SC. Indikasi pembedahan sesar diantaranya adalah induksi persalinan gagal, terjadi maternall distress, dan terjadi fetal distress.4 Kemudian 6 jam pasca persalinan dengan sectio caesarea, pada pasien ini didapatkan TD: 170/100, trombosit 94.000/cmm, hal ini menunjukkan telah terjadi komplikasi berupa sindroma HELLP. Berdasarkan klasifikasi mississipi, pasien ini tergolong sindroma HELLP kelas 2 (trombosit >50.000 100.000/ml). Pada postpartum dexamethasone rescue diberikan 10 mg i.v tiap 12 jam 2 kali, kemudian diikuti 5 mg i.v tiap 12 jam 2 kali.6

Prognosis preeklamsia dan komplikasinya selalu menghilang setelah bayi lahir dengan perkucualian cedera cerebrovaskuler. Sedangkan prognosis pada janin sangat bergantung pada usia gestasi saat kelahiran dan masalah yang berhubungan dengan prematuritas. Edukasi pada pasien diperlukan ketika persalinan berlangsung dengan disertai dengan inform consent. Pasien boleh pulang jika keadaan secara umum membaik, PER, fungsi liver dan ginjal baik. Edukasi untuk banyak mengkonsumsi makanan tinggi protein dan rendah karbohidrat.4 36