BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu masalah
kesehatan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang
termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan
angka kematian karena ISPA khususnya pneumonia atau bronkopneumonia,
terutama pada bayi dan anak balita.
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution). Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh Streptokokus grup B,
Respiratory Sincytial Virus (RSV), Virus parainfluenza, virus influenza,
Adenovirus, Cytomegalovirus, Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosa.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40oC dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,
namun batuk terjadi setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif.
Insidensi bronkopneumonia pada negara berkembang hampir 30% terjadi
pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit
infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun. Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak di seluruh dunia, lebih kurangdua juta anak balita, meninggal
setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi diAfrika dan Asia Tenggara.
Menurut data yang diperoleh pada tahun 2007 dari hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) pneumonia menduduki posisi kedua setelah diare yang menjadi
penyebab tingginya angka kematian anak di Indonesia pada usia 29 hari-4 tahun.
Maka dari itu, apabila kasus pneumonia pada anak mengalami penurunan, maka
mortalitas pada anak juga akan mengalami penurunan.
1
Penatalaksanaan tepat pada kasus bronkopneumonia dan pencegahan faktor
resiko diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas anak. Banyaknya faktor
risiko dan sedikitnya pengetahuan masyarakat mengenai faktor risiko inilah yang
menjadi salah satu penyebab masih tingginya kasus bronkopneumonia di
Indonesia.
BAB II
2
STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi Pasien
a. Nama : Randy Hiskia
b. Umur : 13 bulan
c. Jenis kelamin : laki-laki
d. Nama Ayah : Paul
e. Usia Ayah : 36 Tahun
f. Pekerjaan Ayah : Swasta
g. Alamat : komplek Mega Asri I blok D18, Kel. Sukajadi,
Kec. Talang Kelapa, Banyuasin
h. Dikirim oleh : Rujukan RS. Miria Palembang
i. MRS tanggal, pukul : 20 Oktober 2014
j. Nomor RM : 0000852500
2.2 Anamnesis
Tanggal : 21 Oktober 2014
Diberikan oleh : Ibu Pasien
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan utama : Sesak napas
2. Keluhan tambahan : Demam dan batuk
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
+ 10 hari SMRS pasien mengalami demam (+) tinggi, terus-menerus (+),
batuk (+), pilek (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien
kemudian dibawa ke klinik dan diberi obat sirup dan obat serbuk, batuk
berkurang tetapi demam tidak turun.
+ 7 hari SMRS pasien menderita sesak napas (+), sesak tidak dipengaruhi
cuaca, aktivitas dan posisi. Batuk (+), pilek (+), demam (+) tinggi, terus
menerus, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien lalu dibawa
ke RS. Miria dan dirawat inap selama 7 hari. Di RS. Miria pasien mendapat
3
terapi eritromisin 2x500 mg dan nebulisasi ventolin. Pasien didiagnosis
bronkopneumonia prolonged. Karena demam tidak turun-turun dan alasan
regulasi BPJS pasien dirujuk ke RS. Mohammad Hoesin Palembang.
b. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit
1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : 9 bulan
Partus : spontan per vaginam
Ditolong oleh : bidan
BB : 4100 gram
2. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
- riwayat penyakit yang sama (+) satu bulan yang lalu dengan diagnosis
bronkopneumonia+hipokalemia
- Parotitis : tidak ada
- Difteri : tidak ada
- Tetanus : tidak ada
- Campak : tidak ada
- Varisela : tidak ada
- Typhoid : tidak ada
- Demam lama : tidak ada
- TBC : tidak ada
- Lumpuh : tidak ada
- Otitis media : tidak ada
- Muntah berak : tidak ada
- Batuk/pilek : ada, tapi jarang
- Kecacingan : tidak ada
- Patah tulang : tidak ada
- Jantung : tidak ada
- Sendi bengkak : tidak ada
- Kecelakaan : tidak ada
4
- Operasi : tidak ada
- Keracunan : tidak ada
- Sakit kencing : tidak ada
- Sakit ginjal : tidak ada
- Alergi : tidak ada
- Perut kembung : tidak ada
- Malaria : tidak ada
- DBD : tidak ada
- Kejang : tidak ada
- Asma : tidak ada
3. Riwayat Makanan
ASI : lahir-sekarang
Susu Formula : 6 bulan-sekarang, 2 kali sehari
Bubur saring : 6 bulan- 1 tahun, 3 kali sehari
Nasi biasa : 1 tahun-sekarang, 3 kali sehari
Kesan : Asupan makan kurang
4. Riwayat Imunisasi
BCG : 1x
Hepatitis : 3x
Polio : 3x
DPT : 3x
Campak : 1x
Kesan : imunisasi dasar lengkap
5. Riwayat Perkembangan Fisik
Tengkurap : Bisa tengkurap, belum dapat duduk
Bicara : mengoceh yang tidak dapat dimengerti
Kesan : perkembangan fisik dan bicara terlambat
6. Riwayat Keluarga
5
Menikah : 10 tahun
Jumlah saudara : 3
Riwayat penyakit : riwayat penyakit dengan keluhan yang sama
dengan pasien dalam keluarga tidak ada.
Pedigree :
Keterangan:
: laki-laki
: perempuan
: pasien
2.3 Pemeriksaan Fisik ( Oktober 2014)
a. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
BB : 8,5 kg
PB : 78 cm
BB/U : di antara 0 dan -2 SD
PB/U : di antara 0 dan 2 SD
BB/PB : di antara 0 dan -2 SD
Kesan status gizi : gizi baik
Edema : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Dispnea : ada
Ikterus : tidak ada
Pucat : akral pucat (+)
Suhu : 380C
Frekuensi napas : 50 x/menit
Tipe pernaasan : abdominothorakal
Nadi
6
Frekuensi : 130 x/menit
Isi : cukup
Equalitas : equal
Regularitas : reguler
Pulsus defisit : tidak ada
Pulsus alternans : tidak ada
Pulsus paradox : tidak ada
Pulsus tardus : tidak ada
Pulsus celler : tidak ada
Pulsus magnus : tidak ada
Pulsus parvus : tidak ada
Pulsus bigeminus : tidak ada
Pulsus trigeminus : tidak ada
Kulit
Warna : kuning langsat
Hiperpigmentasi : tidak ada
Hipopigmentasi : tidak ada
Eritema : tidak ada
Makula, papula : tidak ada
Vesikel : tidak ada
Pustula : tidak ada
Sikatrik : tidak ada
Edema : tidak ada
Turgor : baik, cubitan kulit perut kembali cepat
Hemangioma : tidak ada
Ptekie, purpura : tidak ada
b. Pemeriksaan Khusus
Kepala
Ubun-ubun : rata
Lingkar kepala : 46 cm
Mata
Palpebra : edema (-/-)
Konjungtiva : pucat (+/+)
Sklera : ikterik (-/-)
7
Pupil : bulat, isokor
Diameter : 3mm/3mm
Refleks cahaya : +/+
Hidung
Bentuk : normal
Napas cuping hidung : ada
Sekret :tidak ada
Mulut
Bibir
Bentuk : normal
Warna : merah muda
Ukuran : 3,5 cm
Ulkus : tidak ada
Rhagaden : tidak ada
Sikatriks : tidak ada
Cheilosis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Labioschizis : tidak ada
Bengkak : tidak ada
Vesikel : tidak ada
Oral trush : tidak ada
Trismus : tidak ada
Bercak Koplik : tidak ada
Palatoschizis : tidak ada
Gigi
Kebersihan : cukup
Karies :tidak ada
Hutchinson : tidak ada
8
Gusi : hipertrofi tidak ada, perdarahan tidak ada
Lidah
Bentuk : normal
Gerakan : normal
Tremor : tidak ada
Warna : merah muda
Selaput : tidak ada
Hiperemis : tidak ada
Atrofi papil : tidak ada
Makroglosia :tidak ada
Mikroglosia : tidak ada
Faring Tonsil
Warna : merah muda
Edema : tidak ada
Selaput :tidak ada
Pembesaran tonsil : tidak ada
Ukuran : T1-T1
Simetris :simetris
Telinga
Bentuk : normal
Aurikula : normal
Cairan : tidak ada
Serumen : dalam batas normal
Leher
Inspeksi
Struma : tidak ada
Bendungan vena : tidak ada
Limphadenopati : tidak ada
Tortikolis : tidak ada
9
Bullneck : tidak ada
Parotitis : tidak ada
Palpasi
Kaku kuduk : tidak ada
Pergerakan : luas
Struma : tidak ada
Thoraks Depan dan Paru
Inspeksi Statis
Bentuk : normal
Simetris : simetris
Vousure cardiac : tidak terlihat
Clavicula : normal
Sternum : normal
Bendungan vena : tidak ada
Tumor : tidak ada
Sela iga : normal, tidak melebar
Inspeksi Dinamis
Gerakan : simetris
Bentuk pernapasan : abdominothorakal
Retraksi : ada intercostal dan subscapula
Palpasi
Nyeri tekan : tidak ada
Fraktur iga : tidak ada
Tumor : tidak ada
Krepitasi : tidak ada
Stem fremitus : normal, kanan = kiri
10
Perkusi
Bunyi ketuk : sonor / sonor
Nyeri ketuk : tidak ada
Tumor : tidak ada
Auskultasi
Bunyi napas pokok : vesikuler (+) meningkat
Bunyi napas tambahan
Ronkhi : basah halus nyaring
Wheezing : tidak ada
Jantung
Inspeksi
Vousure cardiac : tidak terlihat
Ictus cordis : tidak terlihat
Pulsasi jantung : tidak terlihat
Palpasi
Ictus cordis : teraba di ICS IV linea midclavicula sinistra
Thrill : tidak teraba
Perkusi
Batas kiri : ICS IV linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis sinistra
Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi
Bunyi jantung I
Mitral : normal
Trikuspid : normal
Bunyi jantung II
11
Mitral : normal
Trikuspid : normal
Irama derap : tidak ada
Opening snap : tidak ada
Click : tidak ada
Bising jantung : tidak ada
Thoraks Belakang
Inspeksi Statis
Bentuk : normal
Processus spinosus : tidak terlihat
Scapula : normal
Skoliosis : tidak ada
Kifosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Palpasi
Nyeri tekan : tidak ada
Tumor : tidak ada
Krepitasi : tidak ada
Stem fremitus : normal, kanan = kiri
Perkusi
Bunyi ketuk : sonor / sonor
Nyeri ketuk : tidak ada
Auskultasi
12
Bunyi napas pokok :vesikuler (+) meningkat
Bunyi napas tambahan
Ronkhi : basah halus nyaring
Wheezing : tidak ada
Abdomen
Inspeksi
Bentuk : datar
Umbilikus : normal
Ptekie : tidak ada
Spider nevi : tidak ada
Bendungan vena : tidak ada
Gambaran usus : tidak ada
Palpasi
Nyeri tekan : tidak ada
Nyeri lepas : tidak ada
Defans muscular : tidak ada
Meteorismus : tidak ada
Perkusi
Nyeri ketuk : tidak ada
Undulasi : tidak ada
Shifting dullness : tidak ada
Auskultasi
Bising usus : normal
Hepar
Tidak teraba
Lien
13
Tidak teraba
Ginjal
Tidak teraba
Lipat Paha dan Genital
Kulit : normal
Kelenjar getah bening : pembesaran tidak ada
Edema : tidak ada
Sikatriks : tidak ada
Genitalia : normal
Anus : normal
Status Neurologis
Fungsi MotorikLengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni eutoni Eutoni
Klonus - - - -
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis - -
Fungsi sensorik + (normal) + (normal) + (normal) + (normal)
Nervi craniales : dalam batas normal
Gejala rangsang meningeal : -
2.4 Pemeriksaan Laboratorium
14
Spesimen Darah (20 oktober 2014)
Komponen Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Hemoglobin 9,2 11,3-14,1g/dl
Eritrosit 3,71 4,40-4,48 106/mm2
Leukosit 11.000 5.000- 10.000 /μL
Trombosit 383.000 150.000 – 400.000/μL
MCV 75,2 81-95 fl
MCH 25 25-29 pg
MCHC 33 29-32 g/dL
Hematokrit 28 37-41%
LED 24 <15 mm/jam
Hitung jenis
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 4 1-3 %
Neutrofil batang 0 2-6 %
Neutrofil segmen 31 50-70 %
Limfosit 53 20-40 %
Monosit 12 2-8 %
CRP kualitatif Negatif Negatif
CRP kuantitatif <5 <5
Retikulosit 1,4 0,5-1,5 %
Fe 63 61-157 μg/mL
TIBC 377 112-346 μg/mL
Ferritin 16,88 13-400 ng/mL
T3 total 1,16 0,92-2,48 ng/mL
Free T4 1,04 096-1,77 ng/mL
TSH 5,57 0,70-5,97 μU/mL
2.5 Resume
15
Pasien seorang anak laki-laki berusia 13 bulan datang dengan keluhan
utama sesak yang terjadi sejak ± 7 hari SMRS. Perjalanan penyakit dimulai +
10 hari SMRS pasien mengalami demam (+) tinggi, terus-menerus (+), batuk
(+), pilek (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien
kemudian dibawa ke klinik dan diberi obat syrup dan obat serbuk, batuk
berkurang tetapi demam tidak turun.
+ 7 hari SMRS pasien menderita sesak napas (+), sesak tidak dipengaruhi
cuaca, aktivitas dan posisi. Batuk (+), pilek (+), demam (+) tinggi, terus
menerus, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. Pasien lalu dibawa
ke RS. Miria dan dirawat inap selama 7 hari. Di RS. Miria pasien mendapat
terapi eritromisin 2x500 mg dan nebulisasi ventolin. Pasien didiagnosis
bronkopneumonia prolonged. Karena demam tidak turun-turun dan alasan
regulasi BPJS pasien dirujuk ke RS. Mohammad Hoesin Palembang.
Riwayat asma dan keluarga dengan asma tidak ada. Pasien pernah
menderita keluhan yang sama sekitar satu bulan yang lalu dan didiagnosa
bronkopneumonia dengan hipokalemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 130 x/menit, frekuensi
napas 50 x/menit, temperatur 380C, konjungtiva anemis, akral pucat, dan
retraksi di intercostal dan subscapula, ronkhi basah halus nyaring. Pada
pemeriksaan laboratorium diketahui hemoglobin 9,2 g/dL, eritrosit
3.710.000/mm2 leukosit 11.00/μL, trombosit 383.000/μL, MCV 75,2 fl, MCH
25 pg, MCHC 33 g/dL, hematokrit 28%, hitung jenis 0/4/1/31/53/12,
retikulosit 1,4%, Fe 63 μg/mL, TIBC 377 μg/mL, Ferritin 16,88 ng/mL, T3
Total 1,16 ng/mL, free T4 1,04 ng/mL, TSH 5,57 μU/mL dan CRP <5.
2.6 Diagnosis Banding
a. Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
b. Bronkopeumonia + anemia e.c. defisiensi besi
2.7 Diagnosis Kerja
16
Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
2.8 Terapi
a. Oksigen nasal 1 L/menit
b. IVFD D5 1/2 NS gtt 6x/m makro
c. Inj Ampisilin 3 x 300 mg i.v.
d. Inj Gentamisin 2 x 4 mg i.v.
e. Paracetamol 120 mg bila suhu >38,5% oC
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Follow Up
17
22 Oktober 2014
S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+)
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 118 x/menit
RR : 30 x/menit
T : 37,50C
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)
Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)
A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
P a. Oksigen nasal 1 L/menit bila sesakb. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makroc. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.d. Inj. Gentamisin 2 x 45 mg i.ve. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5
23 Oktober 2014
S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+)
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 114 x/menit
RR : 34x/menit
T : 37,80C
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)
Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)
18
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)
A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
P a. Oksigen nasal 1 L/menit bila sesakb. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makroc. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.d. Inj. Gentamisin 2 x 45 mg i.ve. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5f. Nebu ventolin+Nacl 0.9% / 8 jam
24 Oktober 2014
S Sesak (+) << , demam (+), batuk (+) <<
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 110 x/menit
RR : 32x/menit
T : 390C
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)
Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)
A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
P a. Oksigen nasal 1 L/menit bila sesakb. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makroc. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.d. Inj. Gentamisin 2 x 45 mg i.ve. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5f. Nebu ventolin+Nacl 0.9% / 8 jam
25 Oktober 2014
S Sesak (+) << , demam (+), batuk (+)
19
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 110 x/menit
RR : 32x/menit
T : 390C
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)
Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)
A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
P a. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makrob. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.c. Inj. Ceftazidim 2 x 425 mg i.vd. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5e. Nebu ventolin+ Nacl 0.9% / 8 jam
26 Oktober 2014
S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+) <<
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 107 x/menit
RR : 32x/menit
T : 38.0 0C
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)
Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
20
normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)
A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
P a. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makrob. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.c. Inj. Ceftazidim 2 x 425 mg i.vd. Paracetamol 3x 120 mg bila suhu> 38.5e. Nebu ventolin+ Nacl 0.9% / 8 jam
27 Oktober 2014
S Sesak (+) << , demam (+) <<, batuk (+) <<
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 108 x/menit
RR : 30x/menit
T : 38.50C
Kepala : napas cuping hidung (-), konjungtiva pucat (-/-)
Thoraks : simetris, retraksi (+) IC dan SC
Cor : bunyi jantung I&II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :vesikuler (+) normal, ronkhi basah (+), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+)
normal
Ektremitas : akral hangat, CRT < 2”, pucat (-)
A Bronkopneumonia + anemia e.c penyakit kronik
P a. IVFD D5 ¼ NS gtt 6 makrob. Inj .Ampisilin 3 x 300 mg i.v.c. Inj. Ceftazidim 2 x 425 mg i.vd. Paracetamols 3x 120 mg bila suhu> 38.5e. Nebu ventolin+ Nacl 0.9% / 8 jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
21
3.1 Anatomi
Struktur dasar jalan nafas telah ada sejak lahir dan berkembang selama
neonatus dan dewasa menjadi sistem bronkhopulmonal. Jalan nafas pada setiap
usia tidak simetris. Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan
jumlah cabang yang tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan
implikasi fisiologi yang berbeda. Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan
resistensi terhadap aliran udara, sehingga menyebabkan distribusi udara atau
partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkus mengalami pengecilan
ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus.
Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.
Jalan nafas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari
epitel kolumner bertingkat bersilia di bronkus menjadi epitel kubus bersilia pada
area tempat pertukaran udara. Sillia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari
pinggir jalan nafas ke faring. Sistem transport mukosilier ini berperan penting
dalam mekanisme pertahanan paru.
Sel goblet pada trakhea dan bronkhus memproduksi musin dalam retikulum
endoplasma kasar dan apparatus golgi. Sel goblet meningkat jumlahnya pada
beberapa gangguan seperti bronkhitis kronis yang hasilnya terjadi hipersekresi
mukus dan peningkatan produksi sputum.
Unit pertukaran udara (terminal respiratory) terdiri dari bronkhiolus distal
sampai terminal : bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan alveoli. Pada
pemeriksaan luar pulmo dekstra lebih pendek dan lebih berat dibanding pulmo
sinistra. Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura
interlobaris dalam beberapa lobus pulmonis. 8
Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior
2. Lobus Medius dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis
22
3. Lobus Inferior dibagi menjadi 5 segmen: apikal, mediobasal, anterobasal,
laterobasal, posterobasal
Pulmo sinistra dibagi menjadi 2 lobi, yaitu:
1. Lobus Superior
Dibagi menjadi segmen: apikoposterior, anterior, lingularis superior, lingularis
inferior.
2. Lobus Inferior
Dibagi menjadi 4 segmen: apikal, anteromediobasal, laterobasal, dan
posterobasal.8
3.2 Bronkopneumonia
3.2.1 Definisi
23
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution). Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat.9
Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.5
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru, distal dari bronkhiolus
terminalis yang mencakup bronkhiolus respiratorius, dan alveoli yang berupa
infiltrat atau konsolidasi pada alveoli atau jaringan interstisial. Pneumonia ini
dapat mengakibatkan gangguan pertukaran gas setempat. Istilah pneumonia lazim
dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut yang merupakan penyebab
tersering, sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk proses non infeksi.5,9
3.2.2 Epidemiologi
Insidensi bronkopneumonia pada negara berkembang hampir 30% pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan
di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi
pada anak di bawah umur 2 tahun. Menurut survey kesehatan nasional (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan
oleh penyakit sistem respirasi, terutama pneumonia. Angka kematian pneumonia
pada balita di Indonesia diperkirakan mencapai 21 %.4
Angka kejadian tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 4 tahun dan
mengurang dengan meningkatnya umur. Pneumonia lobaris hampir selalu
disebabkan oleh Pneumococcus, ditemukan pada orang dewasa dan anak besar,
sedangkan bronkopneumonia lebih sering dijumpai anak kecil dan bayi.7
Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001)
24
dan diperoleh nilai OR=1,524 (CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang
mengalami pneumonia kemungkinan 1,524 kali lebih besar pada perempuan
dibandingkan laki-laki.4
3.2.3 Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
1. Faktor Infeksi
a. Pada neonatus: Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus
(RSV).
b. Pada bayi:
Virus: Virus parainfluenza, influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, pneumocytis.
Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza, Mycobacterium
tuberculosa, B. pertusis.
c. Pada anak-anak :
Virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP.
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia
Bakteri : Pneumokokus, Mycobacterium tuberculosa.
d. Pada anak besar – dewasa muda :
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
Bakteri: Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon:
Terjadi karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde lambung (zat
hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid:
Terjadi akibat masuknya obat yang mengandung minyak secara intranasal,
termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu mekanisme
menelan seperti latoskizis, pemberian makanan dengan posisi horizontal,
25
atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan pada anak yang
sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak tinggi
bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak ikan.4,9
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk terjadinya
Bronkopneumonia. Menurunnya sistem imun pada penderita-penderita penyakit
yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang pada bayi
dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit menahun, pengobatan
antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit
ini.2,7,9
Bakteri penyebab Pneumonia berdasarkan umur
Umur Bakteri
< 1 Bulan
Grup B streptococcusGram negativ
E. coliKebsiella
1-3 BulanChlammydia
Staphilococcus aureusGrup B streptococcus
3 Bulan – 5 tahun
H. InfluenzaeS. Pneumoniae
S. AureusGrup A streptococcus
Mycoplasma
5-10 Tahun
MycoplasmaS. Aureus
Grup A streptococcus
> 10 Tahun
S. PneumoniaeMycoplasma
Grup A streptococcusKlabsiella
3.2.4 Klasifikasi
26
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan. Berikut pembagian secara
anatomis:5,9
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia)
3. Pneumonia interstisialis (bronkiolitis)
Sedangkan pembagian secara etiologi :
a. Bakteri : Pneumococcus pneumonia, Streptococcus pneumonia,
Staphylococcus pneumonia, Haemofilus influenzae.
b. Virus : Respiratory Syncitial virus, Parainfluenzae virus, Adenovirus
c. Jamur : Candida, Aspergillus, Mucor, Histoplasmosis, Coccidiomycosis,
Blastomycosis, Cryptoccosis.
d. Corpus alienum
e. Aspirasi
f. Pneumonia hipostatik
3.2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui
berbagai cara, antara lain:
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien
untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :
27
1. Susunan anatomis rongga hidung.
2. Jaringan limfoid di nasofaring.
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret
lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
4. Refleks batuk.
5. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi.
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional.
7. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari Ig A.
8. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik.5,9
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan
jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu
proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
28
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.5,7,9
3.2.6 Gambaran Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas
selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40oC dan
mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu,
pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di
sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk
kering kemudian menjadi produktif.
1. Pemeriksaan fisik
29
a. Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut,
retraksi sela iga.
b. Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
c. Perkusi : Sonor memendek sampai beda.
d. Auskultasi : Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras ) disertai ronki
basah halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.
Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai
sedang.Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens) mungkin pada
perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernafasan pada auskultasi
terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi. Tanpa
pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.2,5,7
3.2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Gambaran darah menunjukkan leukositosis, biasanya 15.000 – 40.000/ mm3
dengan pergeseran ke kiri. Jumlah leukosit yang tidak meningkat
berhubungan dengan infeksi virus atau mycoplasma.
2. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun
3. Sinar x: mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses
luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar x dada mungkin bersih.
4. Analisa gas darah (AGD) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia. Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
5. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsi jarum,
aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk
mengatasi organisme penyebab. Kultur dahak dapat positif pada 20 – 50%
penderita yang tidak diobati.
30
6. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya
pneumonia bakterial.
7. Pemeriksaan serologi: titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
8. LED: meningkat
9. Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps
alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain menurun,
hipoksemia.
10. Elektrolit: natrium dan klorida mungkin rendah
11. Bilirubin: mungkin meningkat
12. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka: menyatakan intranuklear
tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV).2,5,7
3.2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang sesuai dengan gejala dan tanda yang diuraikan sebelumnya disertai
pemeriksaan penunjang. Pada bronkopneumonia, bercak-bercak infiltrat didapati
pada satu atau beberapa lobus. Foto rontgen dapat juga menunjukkan adanya
komplikasi seperti pleuritis, atelektasis, abses paru, pneumotoraks atau
perikarditis. Gambaran ke arah sel polimorfonuklear juga dapat dijumpai. Pada
bayi-bayi kecil jumlah leukosit dapat berada dalam batas yang normal. Kadar
hemoglobin biasanya normal atau sedikit menurun.5,9
Diagnosis etiologi dibuat berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi serologi,
karena pemeriksaan mikrobiologi tidak mudah dilakukan dan bila dapat dilakukan
kuman penyebab tidak selalu dapat ditemukan. Oleh karena itu WHO mengajukan
pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana. Berdasarkan pedoman
tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:5,7
1. Bronkopneumonia sangat berat:
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka anak harus
dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2. Bronkopneumonia berat:
31
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup minum,maka
anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
3. Bronkopneumonia:
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat: > 60 x/menit pada
anak usia <2 bulan; > 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun > 40 x/menit
pada anak usia 1 - 5 tahun.
4. Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak perlu dirawat dan
tidak perlu diberi antibiotika.
Diagnosis pasti dilakukan dengan identifikasi kuman penyebab:
1. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
2. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama virus
3. Deteksi antigen bakteri
3.2.9 Diagnosa Banding
1. Bronkiolitis
2. Aspirasi pneumonia
3. Tb paru primer
3.2.10 Penatalaksanaan
1. Terapi Kausatif
Antibiotik polifragmasi selama 10-15 hari, yaitu:
a. Ampicilin 100 mg/kgBB/hari dalam 3-4 dosis
b. Klorampenikol dengan dosis:
Umur < 6 bulan: 25-50 mg/kgBB/hari
Umur > 6 bulan: 50-75 mg/kgBB/hari dosis dibagi dalam 3 dosis atau
Gentamisin dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari diberikan dalam 2 dosis
2. Terapi Supportif
a. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan campuran
glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCL 10
mEq/500 ml/botol infus. Oksigen 2-4 L/menit sampai sesak hilang.
32
b. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat kurang
makan dapat diberikan koreksi sesuai denagn hasil analisa gas darah arteri.
Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang sudah dalam
keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung, sianosis, dan gelisah.
Masalah yang perlu diperhatikan ialah:
a. Menjaga kelancaran pernafasan.
b. Kebutuhan istirahat.
c. Kebutuhan nutrisi dan cairan.
d. Mengontrol suhu tubuh.
e. Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
f. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.2,5
3.2.11 Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah:
1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2. Empiema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
4. Infeksi sistemik
5. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
6. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
7. Efusi pleura
8. Otitis media
9. Bronkiektase5
3.2.12 Prognosis
Prognosis penyakit ini bonam, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa
lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein
dan datang terlambat untuk pengobatan.
33
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif
yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi
apabila berdiri sendiri.5,7
3.2.13 Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai
penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan
teratur ,menjaga kebersihan,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi
antara lain:
Vaksinasi Pneumokokus
Vaksinasi H. influenza
Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh
rendah
Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.5,7
3.3 Anemia
3.3.1 Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi ialah anemia yang disebabkan oleh cadangan besi
tubuh berkurang. Keadaan ini ditandai dengan saturasi transferin menurun, dan
kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang. Menurut Walmsley et
34
al. secara berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut: (1)
penurunan simpanan besi, (2) penurunan feritin serum, (3) penurunan besi serum
disertai meningkatnya transferin serum, (4) peningkatan Red cell Distribution
Width (RDW), (5) penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6)
penurunan hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri
atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron
depletion), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap anemia
defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada tahap pertama terjadi penurunan
feritin serum kurang dari 12μg/L dan besi di sumsum tulang kosong atau positif
satu, sedangkan komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron
bindincapacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasi transferin, RDW,
MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan
disebut tahap deplesi besi.
Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin serum, besi serum, saturasi
transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC meningkat >390
μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut eritropoesis defisiensi besi.
Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi ialah tahap
defisiensi besi yang berat dari dan ditandai selain kadar feritin serum serta
hemoglobin yang turun. Semua komponen lainjuga akan mengalami perubahan
seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik hipokromik, sedangkan RDW
dan TIBC meningkat >410 μg/dl.
3.3.2 Anemia Penyakit Kronis
Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit
kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya
hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang
dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih
35
cukup. Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai
sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan, trauma dan penyakit
neoplastik yang telah berlangsung 1–2 bulan dan tidak disertai penyakit hati,
ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolism besi,
sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis
besar pathogenesis anemia penyakit kronis dititik beratkan pada 3 abnormalitas
utama: ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit
lebih dini, respon sumsum tulang karena respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, dan gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi
Anemia pada penyakit kronik adalah anemia paling sering nomor dua
setelah anemia defisiensi besi. Tidak ada data epidemiologis mengenai semua
kondisi penyakit dasar yang berhubungan dengan anemia pada penyakit kronik.
Prevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan stage penyakit dan kondisi
penyakit dasar. Penyebab tersering anemia pada penyakit kronik adalah
tuberkulosis paru. Belum banyak data epidemiologis anemia pada penyakit kronik
dipublikasikan di Indonesia.
Ciri khas anemia pada penyakit kronik adalah gangguan hemostasis besi
yaitu meningkatnya uptake dan retensi besi dalam sel sel retikuloendotelial. Ini
menimbulkan perpindahan besi dari sirkulasi kedalam tempat penyimpanan besi
tubuh didalam sistem retikuloendotelial sehingga penyediaan besi untuk sel
progenitor eritroid di sumsum tulang dalam proses eritropoisis akan berkurang
dan terjadi eritropoisis dengan restriksi besi.
Anemia pada penyakit kronik adalah immune driven, dimana sitokin dan
sel- sel retikuloendotelial menginduksi perubahan homeostasis besi, proliferasi sel
progenitor eritroid, produksi eritropoietin oleh ginjal, berkurangnya umur eritrosit,
yang semuanya berkontribusi pada patogenesis terjadinya anemia pada penyakit
kronik, karena dipengaruhi berbagai penyakit dasar maka menjadi sulit untuk
36
menentukan salah satu mekanisme yang paling bertanggung jawab dalam
terjadinya anemia pada penyakit kronik.
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien seorang anak laki-laki berusia 13 bulan datang dengan keluhan
utama sesak yang terjadi sejak ± 7 hari SMRS. Perjalanan penyakit dimulai +
37
10 hari SMRS pasien mengalami demam (+) tinggi, terus-menerus (+), batuk
(+), pilek (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK seperti biasa. + 7 hari SMRS
pasien menderita sesak napas (+), sesak tidak dipengaruhi cuaca, aktivitas dan
posisi. Batuk (+), pilek (+), demam (+) tinggi, terus menerus, mual (-), muntah
(-), BAB dan BAK seperti biasa. Riwayat asma dan keluarga dengan asma
tidak ada. Pasien pernah menderita keluhan yang sama sekitar satu bulan yang
lalu dan didiagnosa bronkopneumonia dengan hipokalemia. Keluhan ini
merupakan petunjuk diagnosis banding yang mungkin, yaitu bronkopneumonia
dan brokiolitis. Bronkopneumonia dan bronkiolitis bermanifestasi klinis
demam, batuk, sesak napas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan frekuensi nadi 130 x/menit, frekuensi
napas 50 x/menit, temperatur 380C, konjungtiva anemis, akral pucat, dan
retraksi di intercostal dan subscapula, ronkhi basah halus nyaring. Dari hasil
pemeriksaan fisik anak terlihat sesak, demam, dan terdapat ronki basah halus
nyaring. Dari perjalanan penyakit, pasien menderita demam tinggi sekitar 3
hari sebelum anak menderita sesak dan ditemukan ronki basaah halus nyaring
hal ini dapat menyingirkan kemungkinan pasien menderita bronkhiolitis karena
pada bronkhiolitis demam biasanya tidak terlalu tinggi (penyebab terbanyak
bronkhiolitis adalah virus) dan pada pemeriksaan fisik ditemukan wheezing.
Rokhi basah halus nyaring terjadi akibat aliran udara melewatti cairan
(bronkopneumonia menghasilkan banyak sekret) sedangkan wheezing terjadi
karena peyempitan jalan pernapasan akibat bronkospasme seperti yang terjadi
pada bronkiolitis dan asma. Pada anak juga ditemukan konjungtiva pucat dan
akral pucat, kemungkinan anak menderita anemia karena penyakit kronis.
Hal ini didukung dengan hasil laboratorium hemoglobin 9,2 g/dL, MCV
75,2 fl, MCH 25 pg, MCHC 33 g/dL, Fe serum 63 ug/L, TIBC 377 ug/dL, dan
ferritin 16,88 ng/mL (kesan: normokrom mikrositik dengan peningkatan
TIBC).
Terapi yang digunakan pada pasien ini adalah kombinasi antiobiotik
ampisilin dan gentamisin. Ampisilin merupakan antibiotik spektrum luas
38
golongan penicilin yang sangat efektif terhadap bakteri streptococcus yang
merupakan penyebab terbanyak bronkopneumonia. Ampisilin bersifat
bakteriasid yaitu bersifat destruktif terhadap bakteri. Gentamisin merupakan
antibiotik spektrum luas kurang efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri
streptokokus dan pneumokokus sehingga pemberian gentamisin akan lebih
efektif dikombinasikan dengan golongan penisilin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman R.E, Vaughan V.C. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid 2. Jakarta:
EGC.
2. Kiagus Yangtjik. 2012. Bronkopnemonia. Dalam Standar Pelaksanaan
39
Universitas Sriwijaya. Palembang: UniversitasSriwijaya.
3. Mansjoer A, Wardhani WI.2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid2.
Jakarta: Media Aesculapius FK UI
4. UNICEF. 2006. Pneumonia The Forgotten Killer of Children.
5. Price, Sylvia Anderson, Wilson Lorraine Mc Carty. 2006. Patofisiologi Proses
Penyakit Edisi 4. Jakarta: EGC.
6. Said Mardjanis.1995. Pneumonia dan Bronkiolitis pada Anak. Jakarta: FKUI.
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Pneumonia. Dalam: Buku Kuliah
Ilmu Rusepno Illasan, Husein Alatas, editor. Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta:
Universitas Indonesia; hal 1228-1233.
8. Snell,Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.
Jakarta: EGC
9. Victoria, C.G. Sandra, C.F. Flores, J.A.C. Fonseca, W. Kirkwood, B. 1994. Risk
Factors for Pneumonia Among Children in a Brazillian Metropolitan Area. J
Pediatric; p 977-985.
10. Muhammad Adang dan Osman Sianipar. 2005. Penentuan Defisiensi Besi
Anemia Penyaki Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F dalam http:
www.ojsunud.ac.id diakses pada 27 Oktober 2014
40