1
Bab xxxx: Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Pertumbuhan Hijau (Green
Growth) di Indonesia
Kurnya Roesad, Anna van Paddenburg, Yong Sung Kim1
Daftar Isi
1 Pengantar ............................................................................................................................................. 3
2 KEK dan lingkungan ............................................................................................................................. 5
2.1. Peran KEK dalam pembangunan ekonomi ....................................................................................... 5
2.2. KEK dan lingkungan: Dasar pemikiran internalisasi biaya ............................................................... 7
3 Kerangka Pertumbuhan Hijau KEK .................................................................................................... 14
3.1. Lima hasil yang diiinginkan dari pertumbuhan hijau ...................................................................... 14
3.2. KEK dan pertumbuhan hijau ........................................................................................................... 16
3.3. KEK dan kesempatan investasi pertumbuhan hijau di Indonesia ................................................. 20
3.4. Menciptakan sinergi antara perencanaan KEK dan kebijakan pertumbuhan hijau ..................... 24
4. Pembiayaan Hijau KEK ........................................................................................................................... 30
4.1. Kaitan pengembangan KEK hijau untuk mekanisme pembiayaan yang inovatif ......................... 30
4.2. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) ............................................................................................ 35
4.3. Instrumen-instrumen pasar modal hijau ........................................................................................ 37
5 Kesimpulan .............................................................................................................................................. 41
1 Global Green Growth Institute (GGGI)
2
Daftar Pustaka ........................................................................................................................................ 43
3
1 Pengantar
Seperti disebutkan di Bab 1, kemakmuran adalah tujuan akhir dari banyak bangsa. 'Green
Growth' atau Pertumbuhan Hijau dapat menjadi sarana untuk itu, dimana kebijakan, inovasi,
dan investasi dapat menggerakkan pertumbuhan lebih berkualitas yang membawa ke arah
kemakmuran suatu bangsa. Kualitas pertumbuhan yang baik, misalnya, tersedianya lapangan
kerja baru, tersedianya udara dan saluran air bersih yang lebih menyehatkan serta ketahanan
energi. Kepedulian terhadap lingkungan dan upaya mengurangi risiko terhadap perubahan
iklim tidak menjadi halangan pertumbuhan ekonomi dan justru memungkinkan upaya
perbaikan yang sistematis untuk mempercepat perubahan struktural dan teknologi untuk
terciptanya efisiensi ekonomi yang lebih besar.
Pertanyaan kunci pada bab ini: Bagaimana KEK dapat mendorong pertumbuhan hijau? Bab ini
memberikan kerangka kerja analitis yang secara konsep menghubungkan pertumbuhan hijau
dan kebijakan KEK, sehingga melengkapi strategi pengembangan klaster yang termuat di
buku ini. Bab ini menjelaskan konsep pertumbuhan hijau, dan adanya lima hasil pertumbuhan
yang diinginkan. Juga menyoroti bagaimana modal alamiah masih memainkan peran penting
dalam mendorong pertumbuhan. Selain itu, menggambarkan bagaimana kerangka kebijakan
pertumbuhan hijau dan insentif dapat membantu pembuat kebijakan untuk memikirkan dan
mengidentifikasi sinergi kebijakan untuk mendorong iklim investasi yang kondusif yang dapat
sebagai pemicu bisnis hijau, teknologi dan inovasi.
4
Bagian pertama melihat bagaimana masalah lingkungan telah menjadi faktor penting dalam
pengembangan KEK, menguraikan dasar pemikiran keberlanjutan, dan menyoroti internalisasi
biaya sebagai penentu daya saing yang sangat penting. Bagian kedua menyajikan kerangka
pertumbuhan hijau yang dapat diterapkan untuk merancang atau rancang ulang KEK serta
mengidentifikasi dan memperkirakan kesempatan investasi hijau, seperti yang digambarkan
oleh dua studi kasus dari zona ekonomi Indonesia yang menggunakan Analisis Biaya dan
Manfaat yang diperluas (extended Cost Benefit Analysis- eCBAs), dengan memasukkan biaya
lingkungan. Bagian ini juga menjelaskan secara garis besar potensi KEK sebagai kawasan
inovasi untuk menerapkan kebijakan pertumbuhan hijau. Bagian terakhir membahas implikasi
kebijakan dalam hal menciptakan mekanisme pembiayaan yang inovatif untuk mendukung
perencanaan dan pengembangan KEK di Indonesia.
5
2 KEK dan lingkungan
2.1. Peran KEK dalam pembangunan ekonomi Di banyak negara, pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan bagian dari
strategi meningkatkan daya saing ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan KEK
dapat mencapai tujuan tersebut dengan empat cara. Pertama, KEK dapat berfungsi sebagai
alat untuk meningkatkan daya saing industri dan menarik modal investasi asing langsung
(Foreign Direct Investment-FDI). Kedua, KEK dapat mendorong penciptaan lapangan kerja
besar-besaran, sehingga dapat mengurangi kemiskinan dan menurunkan tingkat
pengangguran. Ketiga, KEK dapat mendukung kebijakan reformasi ekonomi yang lebih luas,
misalnya dengan menggalakkan diversifikasi dasar ekspor negara yang masih memproteksi
pasarnya. Keempat, KEK dapat memberikan ruang untuk menguji pendekatan kebijakan dan
peraturan baru di bidang seperti kepabeanan dan cukai, tenaga kerja, hukum dan kerjasama
pemerintah-swasta (FIAS / World Bank 2008).
Secara global catatan mengenai KEK dalam mencapai tujuan tersebut meliputi banyak aspek,
namun KEK telah memainkan peran penting dalam memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Asia, terutama Negara-negara 'Macan Asia' di Asia
Timur dan kemudian China. 2 Yang jelas, pengembangan KEK tetap menjadi instrumen
kebijakan yang populer di banyak negara, karena jumlah KEK tumbuh secara signifikan sejak
pertengahan 1980-an. Secara global, KEK menyumbang USD 200 miliar pada ekspor global,
2 Untuk gambaran rinci tentang kinerja KEK, lihat Farole dan Akinci (2011).
6
mempekerjakan 40 juta pekerja pada tahun 2008 di 130 negara (Farole dan Akinci 2011, FIAS /
World Bank 2008).
Namun, globalisasi ekonomi yang pesat juga telah mengubah sifat dan tujuan KEK. Model KEK
lama lebih terfokus pada kegiatan pengolahan ekspor dengan cara menarik kegiatan industri
perakitan multinasional dalam jaringan produksi global (Farole dan Akinci 2011). Dalam
beberapa tahun terakhir, KEK baru dibangun berdasarkan strategi yang lebih canggih untuk
menarik Perusahaan Multinasional (MNC). Strategi-strategi tersebut cenderung bercirikan:
bergeser dari insentif fiskal ke layanan nilai tambah; fokus pada peningkatan iklim investasi di
dalam kawasan untuk memungkinkan adanya diferensiasi; mengembangkan hubungan
strategis, keterkaitan fisik dan keuangan antara ekonomi kawasan dan ekonomi daerah;
mendirikan KEK yang focus khusus pada industri high-end seperti IT dan bioteknologi; dan
munculnya KEK yang dikelola atau dioperasikan oleh badan usaha swasta (Farole dan Akinci
2011: 7).
Yang paling penting, pengembangan KEK harus mengakomodasi pergeseran preferensi
konsumen global terhadap pola produksi yang lebih berkelanjutan. Meningkatnya
kekhawatiran tentang perubahan iklim global disertai dengan tidak amannya pasokan energi
telah meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa yang berdampak pada lingkungan
yang berkelanjutan. Perusahaan global saat ini mengkawatirkan keberlanjutan rantai pasokan
mereka. Perusahaan semakin fokus pada kebutuhan untuk memberlakukan standar produksi
yang lebih tinggi untuk memastikan efisiensi sumber daya, emisi gas rumah kaca (GRK) yang
lebih rendah, polusi daerah lebih rendah, minimalisasi limbah dan daur ulang (World Bank
7
2014: 5). Oleh karena itu keberlanjutan dan kesanggupan untuk internalisasi biaya menjadi
faktor ekonomi yang semakin menentukan daya saing KEK di negara-negara berkembang.
2.2. KEK dan lingkungan: Dasar pemikiran untuk internalisasi biaya Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam 30 tahun terakhir, kecuali
pada periode krisis keuangan Asia di tahun 1997-1998 dan periode pemulihan setelah itu.
Ukuran ekonomi telah tumbuh lebih dari 10 kali dari USD 85,3 miliar pada 1983 menjadi USD
868,3 milliar (menurut PDB harga berlaku). Pertumbuhan itu telah membawa kemajuan sosial
yang sangat besar, dengan turunnya rasio angka kemiskinan dari 23,4 persen pada 1999
menjadi 11,4 persen pada tahun 2013.3
Pertumbuhan ekonomi yang cepat, ternyata juga berpengaruh pada biaya sosial dan
lingkungan. Di Indonesia laju deforestasi rata-rata 0,6 persen per tahun sejak 1990; Deplisi
Cadangan mineral sekitar USD 10 milyar per tahun; dan rasio cadangan/produksi telah anjlok
ke 14 untuk batubara dan 11 untuk minyak. Selain itu, emisi karbon per kapita meningkat.
Kesenjangan sosial juga menjadi perhatian pembuat kebijakan karena distribusi pendapatan
memburuk, seperti yang terlihat pada peningkatan koefisien Gini GNI sejak tahun 1990-an
(GGGI 2015c, akan datang).
3 Database World Bank di http://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.NAHC/countries/ID?display=graph
8
Gambar 1: Laju deplisi hutan dan mineral 1990-2010
Gambar 2: Emisi karbon per kapita 1990-2010
Sumber: Database World Bank di data.worldbank.org
Sumber: Database World Bank di data.worldbank.org
Kebijakan ekonomi pengarusutamaan (mainstream) pada umumnya tidak memperhatikan
risiko lingkungan dan sosial, karena biaya-biaya tersebut di statistik resmi sering tidak tepat
perhitungannya. Biaya-biaya tersebut dianggap sebagai biaya eksternal, yang bukan
merupakan bagian dari analisis biaya-manfaat yang mendasari banyak keputusan investasi.
Eksternalitas terjadi ketika suatu kegiatan ekonomi atau produk mempengaruhi masyarakat
dengan cara yang tidak tercermin dalam harga pasar (New Climate Economy 2014: 12).
Sehingga, biaya eksternal dapat ditengarai sebagai kegagalan pasar mengatasi dalam
eksternalitas global seperti perubahan iklim atau dalam lingkup nasional dan daerah seperti
polusi udara dan air.
-
2
4
6
8
10
120%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
Bill
ion
s
Forested Area Mineral depletion (USD)
0
0.5
1
1.5
2
2.5
19
90
19
92
19
94
19
96
19
98
20
00
20
02
20
04
20
06
20
08
20
10
MtC
O2
/cap
ita
9
Dari perspektif pemerintah, adanya eksternalitas dapat menjadi dasar untuk melakukan
intervensi kebijakan publik. Di banyak kasus, biaya eksternal belum dipertanggungjawabkan
oleh perusahaan selama proses produksi, tetapi muncul kemudian sebagai biaya untuk
melakukan pembersihan (clean-up costs) yang diterima masyarakat. Jika biaya ini diketahui
dan dapat diperkirakan, maka pemerintah memiliki bukti sebagai landasan untuk merancang
kebijakan dan peraturan yang membebankan biaya pada penghasil polusi (pencemar).
Dengan kata lain, biaya-biaya tersembunyi perlu diinternalisasi, diidentifikasi dan
dimoneterkan (diwujudkan dengan nilai uang).
Dari perspektif sektor swasta, menerapkan kebijakan untuk internalisasi biaya seharusnya
dilihat sebagai kesempatan bagi perekonomian Indonesia untuk meningkatkan daya saingnya.
Ada bermacam alasan untuk semakin meningkatkan pentingnya kebijakan lingkungan dan
manajemen stategis sebagai faktor daya saing.
Pertama, ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa regulasi lingkungan yang lebih kuat
memiliki efek buruk terhadap daya saing suatu negara (Dechezleprete dan Sato 2014). Faktor-
faktor seperti kondisi pasar atau kualitas angkatan kerja setempat lebih signifikan dalam
mempengaruhi pola perdagangan dan investasi dibandingkan dengan regulasi lingkungan.
Selain itu, manfaat dari adanya regulasi lingkungan yang kuat sering kali lebih besar daripada
biaya yang dikeluarkan pengusaha, terutama ketika mempertimbangkan manfaat kesehatan
yang tidak nampak. Sebagai tambahan, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa regulasi
10
lingkungan dapat mendorong inovasi teknologi ramah lingkungan (Dechezleprete dan Sato
2014).
Kedua, eksternalitas lingkungan dan sosial yang negatif menjadi biaya nyata untuk
perusahaan dan menimbulkan hambatan untuk investor. Efek eksternalitas negatif seperti
polusi, emisi karbon dan kerusakan ekosistem semakin signifikan mempengaruhi kesehatan
dan menjadi tanggungan masyarakat. Semakin banyak kajian yang menunjukkan bahwa
sektor swasta menyumbang porsi yang signifikan dari eksternalitas lingkungan dan sosial.
Misalnya, laporan KPMG tahun 2012 menemukan bahwa biaya kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh 11 sektor industri utama di tahun 2010 setara dengan 41 persen dari laba
sebelum pajak mereka (KPMG 2014). Seiring meningkatnya populasi, kekayaan dan
pertumbuhan konsumsi, sumber daya alam dan jasa ekosistem menjadi langka. Dengan
kelangkaan tersebut, harga input sumber daya alam akan meningkat dalam jangka panjang
dan akan mempengaruhi tingkat keuntungan perusahaan.
Ketiga, internalisasi eksternalitas perusahaan dapat menjadi bisnis yang menguntungkan,
memberikan kontribusi terhadap nilai sosial (social value) dan menciptakan pasar baru. Ada
tambahan bukti bahwa dengan mengadopsi teknologi yang meningkatkan eksternalitas
positif dan mengurangi yang negatif, perusahaan dapat meningkatkan pendapatan,
memangkas biaya dan mengurangi risiko. Sebagai contoh, rekondisi atau peremajaan
peralatan (retrofit) hemat energi pada bangunan komersial dan publik diperkirakan dapat
menciptakan pasar senilai USD 127,5 milyar pada tahun 2023 (Navigant Research 2014).
Pengaturan lingkungan yang cerdas diperlukan untuk memberikan insentif bagi perusahaan
11
agar dapat menciptakan eksternalitas positif atau membebankan biaya langsung pada
mereka yang menghasilkan eksternalitas negatif (KPMG 2014).
Keempat, kepedulian lingkungan merupakan langkah mitigasi risiko yang penting sebagai
bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Tumbuhnya kesadaran masyarakat
tentang eksternalitas yang disebabkan oleh perusahaan, karena semakin banyak informasi
yang tersedia sehubungan dengan meningkatnya konektivitas digital secara global. Beberapa
KEK mempunyai catatan peningkatan masalah pencemaran dan kesehatan lingkungan
masyarakat akibat tidak memperhitungkan isu-isu keberlanjutan. Hal tersebut berakibat pada
munculnya konflik sosial, timbulnya masalah operasional pada kegiatan usaha, dan pada
akhirnya akan memberikan hambatan disinsentif dan kebijakan untuk menarik investor (DFID
dan PWC 2009).
Kebijakan mendukung internalisasi biaya merupakan inti dari upaya untuk mengatasi isu-isu
keberlanjutan dan pertumbuhan hijau. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan
penghargaan (reward) bagi perusahaan atas upaya mereka untuk menciptakan nilai-nilai
sosial dan / atau membuat mereka sepenuhnya memperhitungkan / membayar biaya yang
yang menjadi beban masyarakat sebagai akibat dari operasi mereka. Kebijakan dapat
berbentuk peraturan-peraturan yang dihubungkan dengan tindakan pemangku kepentingan
dan dinamika pasar (KCMG 2014: 7).
Namun, internalisasi biaya - sebagai strategi inti untuk mengatasi masalah keberlanjutan –
ditambahkan dengan dimensi kebijakan publik lain menjadi dasar tindakan pemerintah.
12
Kebijakan untuk mendukung internalisasi biaya dapat dilihat sebagai bagian dari fungsi
pemerintah dalam melindungi barang publik dan memaksimalkan keuntungan sosial atas
investasi publik. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang terbaik di
lingkungan KEK yang memungkinkan para pemangku kepentingan sektor swasta untuk
menerapkan manajemen strategi yang memperhitungkan manfaat sosial dalam rangka
mitigasi risiko, meningkatkan efisiensi dan mendorong inovasi (DFID dan PWC 2009).
Ada konsensus global yang berkembang bahwa upaya untuk mitigasi eksternalitas global,
nasional dan daerah merupakan solusi win-win yang akan menghasilkan manfaat
pembangunan sekaligus mengurangi risiko iklim (New Climate Economy 2014). Misalnya,
manfaat dapat direalisasikan dengan menggabungkan kebijakan untuk mengurangi polusi
udara daerah dengan kebijakan mitigasi iklim untuk mengurangi penggunaan bahan bakar
fosil. Pada tahun 2010, gangguan kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara diperkirakan
rata-rata 4 persen dari PDB di 15 negara emiter CO2 terbesar saja. Mengurangi emisi
bersamaan dengan langkah-langkah mitigasi gas rumah kaca (GRK) akan menghasilkan
manfaat kesehatan senilai USD 73 / ton CO2 yang berkurang (New Climate Economy 2014: 1).
Namun, ketika melakukan langkah perbaikan, pengambil keputusan perlu menyadari potensi
biaya transisi dan trade-off lintas sektor dan waktu. Selain itu, dalam ekonomi yang ditandai
dengan beberapa ketidaksempurnaan upaya untuk mengatasinya bisa berbeda dan ada
kemungkinan merugikan kesejahteraan sosial (New Climate Economy 2014: 13). Sebagai
contoh, pengaruh kesempatan kerja dan produktivitas kebijakan hijau memiliki biaya transisi
jangka pendek terutama pada polusi di sektor yang intensif, karena ekonomi bergeser ke arah
13
proses produksi yang ramah lingkungan (Dechezleprete dan Sato 2014). Oleh karena itu,
tantangan bagi para pembuat kebijakan adalah menciptakan mekanisme kelembagaan dan
peraturan yang memungkinkan solusi kebijakan yang inovatif dan adopsi teknologi baru sejak
awal. Hal ini akan membantu untuk mengantisipasi dan meminimalkan biaya transisi.
Berkenaan dengan pengembangan KEK untuk menarik investasi asing langsung, pembuat
kebijakan harus menghadapi tiga tantangan kritis. Pertama, pembuat kebijakan harus
membuat KEK menarik bagi perusahaan-perusahaan dalam menciptakan lapangan kerja, yang
sejalan dengan tujuan dari model KEK yang lama. Kedua, pembuat kebijakan harus
memastikan bahwa KEK yang berkelanjutan secara ekonomi dan mendatangkan eksternalitas
positif bagi perekonomian daerah dan nasional. Kebijakan mencakup peningkatan
infrastruktur atau pemicu transformasi struktural yang lebih luas serta reformasi ekonomi.
Ketiga, kebijakan harus memastikan keberlanjutan sosial dan lingkungan KEK dengan
meminimalkan eksternalitas dan juga memberikan manfaat non-ekonomi pada masyarakat
(Farole dan Akinci 2011: 7).
Bagian berikutnya menjelaskan bagaimana beberapa tantangan dan tujuan yang hendak
dicapai KEK di Indonesia dapat diuji dengan mengidentifikasi dan memahami secara jelas hasil
yang diinginkan. Kerangka pertumbuhan hijau dapat menjadi titik awal untuk landasan
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan perbaikan kebijakan dan pengambilan
keputusan investasi.
14
3 Kerangka Pertumbuhan Hijau untuk KEK
3.1. Lima hasil yang diinginkan dari pertumbuhan hijau
Saat ini, Program pertumbuhan hijau Pemerintah Indonesia (RI)-Global Green Growth Institute
(GGGI) bertujuan mendorong pertumbuhan hijau di Indonesia dengan memasukkan nilai
modal alamiah, meningkatkan ketahanan, membangun ekonomi daerah yang inklusif dan adil
(GGGI 2012). Berdasarkan konsultasi dengan pemangku kepentingan, GGGI dengan
Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan kerangka kerja dan seperangkat alat yang
dapat digunakan Pemerintah Indonesia untuk membantu kelancaran pertumbuhan hijau
secara lebih sistematis ke dalam instrumen perencanaan dan penilaian investasi yang sudah
ada.
Pertumbuhan hijau adalah suatu paradigma yang terus berkembang di mana kebijakan hijau,
inovasi, dan investasi mendorong pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Lebih luas lagi,
pertumbuhan hijau adalah suatu pendekatan untuk mencapai sejumlah tujuan untuk
membawa Indonesia lebih dekat dalam mencapai pembangunan berkelanjutan yang
sebenarnya: dengan menghindari dan membatasi emisi GRK, membangun ketahanan
terhadap iklim ekstrem dan perubahan jangka panjang, menggunakan sumber daya yang lebih
efisien, peningkatan PDB yang terdistribusi merata dan berkelanjutan serta peningkatan
standar hidup, dan menghitung secara ekonomi kekayaan alam yang sering tidak terlihat
membawa keberhasilan ekonomi selama berabad-abad (GGGI 2015c).
15
Intisari dari kerangka kerja ini adalah untuk membuat pertumbuhan hijau yang terukur sesuai
dengan lima hasil yang diinginkan, secara garis besar lihat di Gambar 3 di bawah ini. Hasil yang
diinginkan tersebut saling terkait dan memberikan kontribusi positif terhadap salah satu pada
saat yang sama memberikan manfaat kepada yang lain. Hanya dengan membuat kemajuan
bersama semua hasil ini yang dapat Indonesia rencanakan untuk pertumbuhan yang adil dan
merata serta berkelanjutan selama beberapa generasi. Konsep pertumbuhan hijau di
Indonesia telah diinformasikan oleh pandangan organisasi internasional terkemuka yang
terlibat dalam perencanaan dan pembangunan pertumbuhan hijau (GGGI 2015c).
Gambar 3: 5 Hasil yang diharapkan pada Pertumbuhan Hijau yang dikembangkan
pemangku kepentingan berpengaruh di Indonesia
16
3.2. KEK dan pertumbuhan hijau
Bagaimana pengembangan KEK dapat berkontribusi terhadap hasil yang diinginkan?
Pendapat utama yang dapat dikemukakan bahwa KEK dapat dilihat sebagai kawasan inovasi
yang potensial, di mana pemerintah, perusahaan dan pemangku kepentingan dapat
melakukan eksperimen untuk menemukan kombinasi optimal instrumen kebijakan dan
mekanisme pengaturan yang memaksimalkan manfaat ekonomi dari internalisasi biaya dan
pemanfaatan berkelanjutan modal alamiah dan jasa ekosistem. Pengembangan "KEK Hijau"
atau "KEK rendah-karbon" dapat dilihat sebagai kesempatan untuk menciptakan mekanisme
inovatif dalam skala yang lebih kecil, yang kemudian dapat menggerakkan pertumbuhan hijau
yang lebih luas - reformasi berorientasi pada seluruh ekonomi (lihat Kotak 1).
17
Kotak 1: Tiga kebijakan utama untuk merancang KEK hijau
Kebijakan untuk membangun KEK hijau dapat menyumbang hasil pertumbuhan hijau
dalam skala ekonomi yang luas dalam tiga cara.
Mendorong produk hijau masuk KEK: Cara ini akan mengatur dan menjadi contoh
yang baik di luar kawasan, termasuk produk-produk manufaktur impor dan ekspor.
Secara khusus, KEK hanya akan menerima produk untuk diproses lebih lanjut dan
produksi hilir ketika mereka dapat membuktikan sertifikasi dari lembaga independen
tidak mencemari lingkungan atau telah mentaati semua peraturan lingkungan dalam
proses produksinya.
Merancang kebijakan pertumbuhan hijau untuk seluruh KEK pada tahap
perencanaan awal: Seperangkat kebijakan yang ditujukan untuk merencanakan dan
membangun KEK untuk meningkatkan kinerja lingkungan secara umum di seluruh
kawasan dengan memastikan semua investasi harus mempertimbangkan 5 hasil yang
diinginkan dari pertumbuhan hijau. Kebijakan akan mencakup perencanaan
penggunaan lahan, perlindungan dan pengenalan ruang hijau, transportasi ramah
lingkungan, pengelolaan kebutuhan listrik, penggunaan energi terbarukan untuk
mengoperasikan dan membangkitkan semua industri di KEK dan mendorong standar
tinggi perundangan yang mengatur tentang pengolahan limbah padat dan cair
perusahaan.
Memberikan insentif dan mengatur kegiatan ekonomi untuk menarik teknologi
ramah lingkungan dan inovasi dalam KEK. Tujuan ini akan menghasilkan kebijakan
KEK yang akan meminimalkan risiko investasi hijau dengan mengurangi biaya
operasional investor. Insentif khusus seperti pengurangan pajak, subsidi modal atau
keringanan bertujuan untuk menarik investor ke dalam KEK, insentif ini tidak akan
tersedia di lokasi lain pada suatu negara. Kebijakan insentif sangat berguna dalam
mempromosikan inovasi hijau dan medatangkan teknologi baru. Contohnya
teknologi bangunan hemat energi atau teknologi daur ulang. Misalnya, teknologi
daur ulang yang mengubah sampah dalam satu industri untuk input dalam industri
lain, seperti dalam kasus abu (fly ash/slag) di industri semen (GGGI 2014, hal.32).
Investasi ke dalam kegiatan produksi yang meningkatkan nilai tambah produksi juga
akan berkontribusi terhadap hasil pertumbuhan hijau seperti mengubah limbah ikan
menjadi minyak ikan (lihat Kotak 2 di bawah).
18
Sejauh mana kebijakan dan tujuan kebijakan diterapkan, tergantung pada sifat dari KEK.
Menurut Yeo dan Akinci (2008) hal tersebut berguna untuk konsep karbon rendah atau KEK
hijau dalam tiga tahap pengembangan.
Bentuk awal dari KEK hijau dipandang sebagai Penataan Lingkungan atau Kawasan
Pengendalian Pencemaran, dengan fokus pada adopsi dan penegakan standar pengelolaan
lingkungan. Pada tahap ini, pembuat kebijakan ingin memastikan bahwa peraturan dasar
lingkungan nasional dapat dipatuhi dan standar internasional yang bersifat sukarela bisa
diterima dan diadopsi oleh perusahaan yang beroperasi di KEK (Yeo dan Akinci: 285). Contoh
peraturannya AMDAL, perusahaan di Indonesia wajib membuat Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL), sedangkan sertifikat ISO 14001 merupakan contoh standar internasional yang
diterima secara sukarela .
Kawasan Eco-industri melangkah lebih jauh dengan mengurangi dampak negatif dari polusi
dan mengembangkan proses manajemen efisien yang terintegrasi (pakai ulang dan daur
ulang) dalam seluruh sistem produksi daerah (World Bank 2014). Proses tersebut sangat
memerlukan koordinasi dan kolaborasi perusahaan yang beroperasi di KEK untuk
mengembangkan jaringan untuk membangun sistem terintegrasi pemanfaatan dan
pemanfaatan ulang material input. Salah satu contoh adalah Ulsan Eco-Industrial Park di Korea,
yang menaungi 897 perusahaan dari berbagai sektor industri seperti petrokimia, otomotif dan
industri berat (World Bank 2014). KEK Ulsan menerapkan teknik simbiosis industri untuk
19
mengoptimalkan penggunaan sumber daya atau proses pengolahan limbah/daur ulang antar
perusahaan seperti pertukaran uap antara dua perusahaan. Pada tahun 2013 sebanyak 22
proyek simbiosis industri terdaftar dan membuat perusahaan tertarik untuk membelanjakan
penelitian dan pengembangan (R&D) hingga USD 2,5 juta. Diperkirakan 331 Mt emisi Co2
tahunan telah berkurang karena KEK Ulsan (World Bank 2014: 12).
KEK Karbon Rendah atau KEK hijau (low Carbon or green SEZs) merupakan konsep yang paling
mutakhir dan komprehensif dalam hal kelestarian lingkungan, KEK telah dikonseptualisasikan,
dikelola dan dioperasikan untuk mengurangi jejak karbon sejak awal dan secara efektif
melakukan mitigasi perubahan iklim dalam proses kegiatan ekonomi dan sosial (Yeo dan
Akinci 2008). Kerangka KEK hijau/karbon rendah akan mencakup kebijakan berikut: sasaran
emisi gas rumah kaca; infrastruktur yang berkelanjutan (misalnya bangunan hemat energi);
Strategi investasi yang komprehensif untuk menarik investasi hijau; kebijakan insentif dan
peraturan karbon rendah; dan pembiayaan karbon.
Beberapa KEK dengan target emisi GRK khusus sudah ada. Kawasan perdagangan bebas
Incheon di Korea Selatan diberi target untuk mengurangi emisi GRK sebesar 30 persen
dibandingkan dengan skenario BAU pada tahun 2020. KEK Jilin di Cina memiliki target
pengurangan 37 persen dibandingkan BAU pada tahun 2030. KEK di Falta, India, memiliki
target untuk mengurangi intensitas emisi sebesar 20 persen pada tahun 2020 dibandingkan
dengan tingkatan tahun 2005 (World Bank 2014: 55).
20
3.3. KEK dan kesempatan investasi pertumbuhan hijau di Indonesia
Saat ini pelaksanaan dan perencanaan KEK di Indonesia masih jauh dari yang dipahami sebagai
KEK hijau. Sebagian besar KEK terlihat sebagai kawasan ekonomi konvensional tanpa adanya
kerangka pengelolaan lingkungan yang koheren. Oleh karena itu, tantangan jangka pendek
bagi para pembuat kebijakan di Indonesia mengidentifikasi potensi dan menunjukkan
kelangsungan intervensi kebijakan pertumbuhan hijau di KEK yang sudah ada. Dalam jangka
menengah dan jangka panjang, para pembuat kebijakan idealnya sejak awal merencanakan
dan membangun kawasan hijau dan ekonomi rendah karbon yang komprehensif.
Tantangan bagi para pembuat kebijakan adalah menemukan cara membuat ketertarikan
secara ekonomis bagi konsumen dan produsen untuk bersama-sama meminimalkan deplisi
komoditas sumber daya dan memaksimalkan nilai jasa ekosistem. Banyak komoditas sumber
daya dan jasa ekosistem yang tidak dinilai dalam bentuk uang secara ekonomi, kegiatan
ekonomi dan proyek memiliki banyak biaya sosial yang tersembunyi. Jadi, langkah pertama
mengidentifikasi kesempatan investasi hijau di KEK adalah memberikan penilaian yang
komprehensif biaya moneter dan manfaat yang terkait dengan dampak lingkungan proyek.
Green Growth Assessment Framework (GGAP) dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia dan
GGGI untuk membuat indikator khusus proyek, sektoral, kabupaten, provinsi dan negara,
dengan menggunakan alat untuk memprioritaskan dan menilai proyek atau kebijakan
pertumbuhan hijau secara konsisten, seperti Analisis multikriteria (MCA). Kerangka penilaian
tersebut memungkinkan proses pengujian secara sistematis dan langkah-demi-langkah untuk
mengidentifikasi, memperkirakan dan memprioritaskan intervensi kebijakan untuk
21
meningkatkan kinerja proyek pertumbuhan hijau. Khususnya, Analisis Biaya dan Manfaat yang
diperluas (eCBAs) yang dapat digunakan untuk mengembangkan model finansial bisnis dan
merumuskan kebijakan yang memungkinkan kondisi untuk mengembangkan proyek-proyek
hijau (lihat Gambar 4).4
Gambar 4: Green Growth Assestment Framework (GGAP)
Dua contoh yang menggambarkan manfaat yang didapat dari intervensi pertumbuhan hijau
KEK di Indonesia (Kotak 2). Analisis Biaya dan Manfaat yang diperluas (eCBA) diaplikasikan
untuk mengidentifikasi nilai moneter barang publik, eksternalitas lingkungan dan keuntungan
sosial yang terkait dengan banyak proyek di kawasan ekonomi Maloy, Kalimantan Timur dan
Mamminasata, Sulawesi Selatan. Manfaat bersih yang diharapkan sangat signifikan antara
4 Penjelasan yang komprehensif dari GGAP dapat dibaca dalam dokumen yang akan datang oleh Pemerintah Indonesia dan GGGI, yaitu (GGGI 2015c, akan datang), "Menyampaikan Green Growth: A Roadmap untuk pembuat kebijakan.
GGF
Roadmap
GGAP
eCBA
GGP
Targets inform and test the vision
Feasibility assessment
GG potential assessment
Monitoring & Evaluation
Business Cases
Sector plans
Energy and extractives
Manufacturing
Renewable natural resources
Connectivity
Emerging natural capital
Policies & enablers
National
Province
Corridor
District
Sector
Project generation and Identification
Revisit policy & enablers to remove barriers and ensure projects fully align with Green Growth planningapproach
Roadmap and settingtargets
Business As Usual
National
Province
Corridor
Step 1 Step 2 Step 3
Step 4
Step 5
eCBA Step 7
Step 8
Step 6
Towards a green
growth vision
National & Regional
plansSocial,
economic and
environmental resilience
Greenhousegas emission
reduction
Healthy and productive ecosystems providingservices
Inclusive and
equitable growth
Sustainedeconomic
growthGreen Growth
22
USD 355 juta dan USD 3,8 miliar dalam nilai sekarang (net present value) (GGGI 2015a dan 2015
b).Dengan demikian, hasil dari eCBA dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan
ukuran dari aliran investasi publik dan swasta yang diperlukan untuk memaksimalkan nilai-nilai
tersebut dari waktu ke waktu.
Perlu dicatat bahwa contoh-contoh yang ada menggambarkan manfaat dari rancang ulang
(re-design) proyek yang sudah ada di kawasan ekonomi dan intervensi kebijakan yang
diidentifikasi akan membuat kawasan menjadi 'lebih hijau' jika dibandingkan dengan skenario
BAU. Kebanyakan intervensi yang direkomendasikan memerlukan kombinasi kebijakan
insentif dan adopsi standar dan sertifikasi yang ditentukan agar dapat menarik teknologi hijau
masuk ke KEK. Rekomendasi hanya memberikan gambaran tindakan individu dan kebijakan
berorientasi proyek, bukan solusi terintegrasi untuk mengurangi jejak karbon dari seluruh
KEK. Idealnya, penggunaan eCBAs untuk mememperkirakan dampak dan mengidentifikasi
intervensi pertumbuhan hijau diterapkan sebelum KEK dirancang untuk menarik para investor
hijau.
23
Sumber: GGGI (2015a, 2015b)
Kotak 2: Menerapkan Analisis Biaya dan Manfaat yang diperluas untuk mengidentifikasi
intervensi kebijakan pertumbuhan hijau di Kawasan Ekonomi Khusus Maloy dan Kawasan
Nasional Strategis Mamminasata
Melakukan eCBA adalah sebuah proses yang bergantung pada dukungan dan keahlian dari para pemangku
kepentingan daerah dan nasional. Proses konsultasi kegiatan meliputi:
Mengidentifikasi project baseline dengan bantuan perwakilan proyek dan pemangku kepentingan di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan
Identifikasi opsi untuk meningkatkan kinerja Pertumbuhan Hijau dengan bantuan para pemangku kepentingan daerah dan ahli Pertumbuhan Hijau
Memetakan jalur dampak, menghubungkan perubahan investasi dengan menghitung nilai moneter dampaknya pada pemangku kepentingan
Identifikasi nilai moneter barang publik, eksternalitas lingkungan dan keuntungan sosial yang terkait dengan proyek
Memvalidasi data, asumsi –asumsi dan hasil dengan para pemangku kepentingan daerah
KSN Mamminasata terletak di provinsi Sulawesi Selatan dan meliputi empat wilayah, kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, dan Maros. Kegiatan di kawasan tersebut meliputi pembangunan infrastruktur (jalan, kereta api, pasokan air), pengelolaan limbah padat dan cair, reboisasi, pembangunan pemukiman baru, industri dan kawasan maritim. Intervensi kebijakan pertumbuhan hijau yang diusulkan meliputi:
Mengubah Limbah Padat Perkotaan (MSW) menjadi energi dari gas metana yang timbul dari TPA perkotaan.
Menciptakan nilai tambah produk perikanan (tepung ikan, minyak ikan) melalui pemanfaatan limbah pengolahan ikan
Reboisasi DAS Jeneberang Instrumen kebijakan yang direkomendasikan antara lain:
Jaminan Feed in tariff
Keringanan pajak untuk investasi peralatan mengubah limbah menjadi energi
Dukungan dana untuk industri lokal tepung ikan
KIPI Maloy terletak di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, tujuannya membangun klaster industri yang kompetitif dan menghasilkan peningkatan nilai tambah kegiatan ekonomi dari industri berbasis sumber daya alam. Khususnya, kelapa sawit dan kegiatan berbasis batubara (oleokimia, biodiesel, ekspor olahan) yang merupakan sebagian besar output kawasan. Intervensi kebijakan pertumbuhan hijau yang diusulkan meliputi:
Substitusi batubara untuk biomassa pembangkit listrik
Pelaksanaaan Best Management Practice(BMP) pada pengolahan minyak sawit
Mendorong pengolahan batubara menjadi pupuk dan gas alam
Mengubah jalur kereta angkutan batu bara di sepanjang jalan yang ada dan menatanya ulang untuk digunakan sebagai angkutan CPO.
Instrumen kebijakan yang direkomendasikan antara lain:
Harga jual layak (Feed-in tariffs) untuk listrik biomassa
Subsidi modal dan jaminan keuangan
Pembayaran jasa ekosistem
Total potensi manfaat sosial bersih dari intervensi kebijakan melalui 5 hasil pertumbuhan hijau: Net Present Value sebesar USD 3.8mil (tingkat diskonto 10%) setara dengan 10% dari PDB Kalimantan Timur tahun 2012
Total potensi manfaat sosial bersih dari intervensi kebijakan melalui 5 hasil pertumbuhan hijau: Net Present Value sebesar $ 355jt (tingkat diskonto 10%) setara dengan 6% dari PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2012
24
3.4. Menciptakan sinergi antara perencanaan KEK dan kebijakan pertumbuhan
hijau
Tujuan utama merancang KEK 'hijau' untuk memastikan masalah keberlanjutan dimasukkan
ke dalam proses kebijakan. Namun, para pembuat kebijakan harus menyadari bahwa mereka
menghadapi banyak faktor pendorong dan isu keberlanjutan (lihat Gambar 5). Sehingga, para
pembuat kebijakan perlu memperhitungkan strategi pengelolaan dan menentukan prioritas
(policy trade-off), setidaknya dalam jangka pendek. Sementara banyak intervensi kebijakan
hijau akan menghasilkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat, beberapa perusahaan dan
pemangku kepentingan lainnya menghadapi biaya langsung (immediate costs) sebagai bagian
dari transisi menuju ekonomi hijau.
Kompleksitas faktor dan pendorong membuat proses kebijakan partisipatif menjadi penting.
Diperlukan proses yang melibatkan pemangku kepentingan dan kesepakatan yang dibangun
bersama antara pemerintah dan perusahaan termasuk keahlian dari pelaku berbagai sektor
yang berhubungan. Selain itu, peraturan dan kebijakan insentif untuk internalisasi biaya
berdampak kuat pada berbagai tingkatan dalam rantai nilai (value chain): hulu di rantai
pasokan; di tingkat operasional dalam proses manufaktur; dan ketika produk perusahaan
digunakan dan dibuang (DFID dan PwC 2009).
25
Gambar 5: Faktor Pendorong dan Isu Keberlanjutan di KEK
Sumber: DFID dan PWC (2009: 2)
Mengingat kompleksitas factor-faktor keberlanjutan dan faktor pendorong, sinergi kebijakan
perlu diidentifikasi agar memungkinkan para pembuat kebijakan merancang instrumen
regulasi insentif yang inovatif untuk memaksimalkan manfaat pertumbuhan hijau. Dalam hal
ini, KEK menawarkan lingkungan yang ideal untuk eksperimen kebijakan publik pertumbuhan
hijau, karena terbentuk dalam kantong yang relatif 'terisolasi' dan mereka sudah memiliki
mekanisme penataan yang biasanya tidak ada di luar kawasan. Contohnya meliputi penerbitan
izin, kemampuan untuk memantau perusahaan-perusahaan dalam jangka waktu yang singkat,
dan tentunya kemampuan untuk mencabut lisensi, mengakhiri sewa, atau menyita barang
(DFID dan PwC 2009).
Sinergi kebijakan mengharuskan pembuat kebijakan untuk menemukan kombinasi ideal yang
sesuai dengan kebijakan berorientasi pasar bebas yang biasanya mengatur pengelolaan KEK
Pemerintah dan
Bisnis
Peraturan
Perpajakan
Politisi lokal/
Nasional
Pemegang
Saham
Biaya
energi
Pengusaha
Tekanan
Pelanggan Teknologi
Rantai Pasokan
Media
Tata Kelola &
Akuntabilitas
Pesaing
26
dan intervensi kebijakan fiskal maupun kebijakan publik untuk mendapatkan solusi kebijakan
pertumbuhan hijau. Banyak rekomendasi kebijakan dengan skenario pertumbuhan hijau yang
sebenarnya selaras dengan kebijakan KEK yang lama dalam arti bahwa mereka membuat
kebijakan fiskal dan peraturan insentif untuk mengurangi beban biaya bagi perusahaan yang
mengadopsi teknologi baru. Seperti sudah dijelaskan dalam 2 studi kasus di Indonesia,
pembebasan pajak dan subsidi modal dapat digunakan untuk mempercepat penyebaran
(deployment) energi terbarukan di KEK. Subsidi untuk pengurangan polusi memberikan
insentif kepada sektor swasta. Peraturan yang lebih jelas yang mengatur sektor seperti
pengelolaan sampah atau minyak sawit dapat mengurangi biaya usaha (GGGI 2015 a, 2015b).
Untuk mengidentifikasi kompleksitas sinergi kebijakan dan mengembangkan intervensi yang
inovatif, perlu membangun kerangka analisis klaster dari rekomendasi kebijakan yang
dikembangkan oleh Wahyuni (2013: 33). Rekomendasi kebijakan utama untuk
mengembangkan KEK di Indonesia dirancang dalam tiga tahap (Gambar 6). Pada tahap 1,
perekonomian berada dalam situasi di mana kebijakan terutama ditujukan untuk
memaksimalkan keuntungan dari faktor-faktor produksi (endowments) suatu negara atau
wilayah. Pada tahap kedua, para pembuat kebijakan dapat menerapkan kebijakan
meningkatkan efisiensi untuk meningkatkan kualitas produk yang diproduksi di KEK. Pada
tahap ketiga dan terakhir, pemerintah mampu menyediakan lingkungan kebijakan di mana
perusahaan dapat mengembangkan dan menerapkan proses produksi yang inovatif dan
canggih, yang menghasilkan produk yang sangat kompetitif.
27
Secara konseptual, dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut tergantung sampai batas
tertentu pada tingkat pendapatan suatu negara. Semakin tinggi pendapatan satu negara
semakin besar kemungkinan secara fiskal menghasilkan kebijakan yang bertujuan menarik
aliran investasi yang didorong oleh inovasi dan nilai tambah yang lebih tinggi. Kondisi
kebijakan investasi Indonesia saat ini masih sangat mencerminkan ciri-ciri di tahap pertama
ketika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan (Wahyuni 2013). Secara khusus,
kebijakan terlalu fokus pada ekstraksi sumber daya alam, tetapi mengabaikan kebutuhan
untuk meningkatkan produksi dan tingkatan value chain.
Konsekuensinya, dilihat dari perspektif pertumbuhan hijau, kesempatan investasi dan
intervensi terbesar di KEK Indonesia kebanyakan mengembangkan skenario pertumbuhan
hijau yang lemah dalamarti menekankan penerapan strategi internalisasi biaya yang sangat
dasar. Hal ini pada umumnya terkait dengan kebijakan di kawasan Penataan lingkungan atau
Pengendalian Pencemaran.
Tantangan bagi para pembuat kebijakan saat ini adalah menilai apakah mungkin untuk
melakukan lompatan besar (leapfrog) untuk memperkuat intervensi kebijakan dengan
skenario pertumbuhan hijau moderat dan kuat untuk mengembangkan KEK eco-industri dan
KEK hijau yang terintegrasi.
Bahkan, KEK sebagai kantong ekonomi yang 'terisolasi' dapat memberikan tempat yang ideal
untuk eksperimen rezim investasi pertumbuhan hijau yang inovatif dan dengan demikian
memberikan kesempatan untuk melakukan lompatan kebijakan nasional. Namun, rezim KEK
28
yang lebih ambisius dengan desain kebijakan 'pertumbuhan hijau yang kuat' membutuhkan
peraturan dan struktur manajemen yang canggih, dan biasanya menjadi kekurangan di
banyak provinsi di Indonesia. Namun demikian, penggunaan pertumbuhan hijau dan kerangka
eCBA dapat membantu pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan kebijakan
pertumbuhan hijau yang realistis dan bersinergi dalam perencanaan KEK.
Masalahnya adalah apakah upaya pencegahan KEK tersebut dapat bebas dari distorsi yang
lebih luas dalam perekonomian dan apakah kapasitas sumber daya fiskal dan SDM pemerintah
daerah sudah cukup dalam mempersiapkan kondisi yang memungkinkan untuk melakukan
lompatan besar pada tingkat KEK yang bersifat nilai tambah lebih besar dan hijau. Berpijak
dari hal tersebut peran penting dari mekanisme keuangan internasional dalam mengurangi
risiko bagi sektor swasta dalam melakukan investasi hijau di KEK dan meningkatkan kapasitas
fiskal pemerintah.
29
Gambar 6: Kerangka Kerja KEK dan Pertumbuhan hijau yang terintegrasi
Faktor pendorong
Makro ekonomi yang baik
Pemerintahan yang kuat dan bersih
Tata kelola perusahaan yang baik
Sarana Prasarana
Pendidikan
Kesehatan
Pendorong efisiensi
Strategi klaster yang sangat baik
Efisiensi tenaga kerja
Pertumbuhan pasar keuangan
Kesiapan teknologi
Ukuran pasar
Inovasi-penggerak
Inovasi dan kreativitas
Kemitraan dan koordinasi antar lembaga
Pendidikan & pelatihan kejuruan
Transfer pengetahuan
Mengembangkan KEK tradisional
Mengembangkan KEK hijau atau rendah karbon
Pertumbuhan hijau lemah Penataan lingkungan yang/Pengendalian Pencemaran KEK Identifikasi hambatan kebijakan dan adopsi langkah-langkah internalisasi biaya dasar Contoh:
Sertifikasi ISPO diperlukan untuk operasi minyak sawit di KEK
Pungutan pencemaran daerah di KEK
Pertumbuhan hijau moderat KEK Eco-Industrial Memperkuat kebijakan penciptaan lingkungan yang kondusif Contoh:
Reformasi sistem subsidi energi
Rancangan sistem feed in tariff yang baik
Pinjaman dana murah, subsidi modal ditargetkan pada industri terpadu hijau di KEK
Pertumbuhan hijau yang kuat Hijau / Rendah Karbon SEZ Kebijakan pemerintah yang proaktif untuk merangsang intervensi pertumbuhan hijau Contoh:
Pajak karbon untuk seluruh perekonomian yang sejalan dengan insentif khusus KEK
KEK dirancang sebagai klaster ekonomi pertumbuhan hijau sejak tahap perencanaan
Analisis pertumbuhan hijau: GGAP dan eCBAs
Analisis Klaster
30
4. Pembiayaan KEK Hijau
4.1. Menghubungkan pengembangan KEK hijau untuk mekanisme pembiayaan
yang inovatif Apa implikasi kebijakan yang utama untuk perencanaan dan pengembangan kawasan
ekonomi khusus hijau atau rendah emisi di Indonesia? Pertama, sangat potensialnya manfaat
secara moneter yang terkait dengan intervensi pertumbuhan hijau di KEK, seperti dua contoh
yang ditunjukkan di bagian 3.3. Kedua, banyak manfaat yang dapat diidentifikasi merupakan
kasus intervensi kebijakan publik, jika dapat terwujud dalam bentuk aliran investasi publik dan
swasta.
Oleh karena itu para pemangku kepentingan perlu melakukan intervensi kebijakan publik
untuk menghitung manfaat secara moneter sebagai dasar untuk investasi pada proyek-
proyek rendah emisi di KEK dan menemukan cara untuk mendanai investasi tersebut.
Perencanaan KEK, kebijakan, pengembangan proyek dan mekanisme keuangan yang ada
perlu melakukan aliansi strategis untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi investor.
Berikut ini kami sajikan beberapa pemikiran tentang proses penyelarasan konsep dan
beberapa tantangan yang dihadapi, terutama dari perspektif pemerintah daerah yang tertarik
pada pengembangan KEK hijau (Gambar 7 di bawah).
Dalam banyak hal, perencana KEK menghadapi kendala yang sama untuk menarik aliran
pembiayaan dan investasi hijau seperti dalam kasus menghimpun dana untuk proyek-proyek
infrastruktur besar. Banyak proyek emisi rendah atau infrastruktur hijau tidak memiliki
penilaian/profil risiko dan keuntungan yang menarik secara finansial tidak hanya karena
31
adanya biaya modal yang tinggi dan distorsi harga, tetapi juga karena eksternalitas. Bahkan
pada kasus-kasus di mana ada potensi menguntungkan, premi risiko yang lebih tinggi harus
ditambahkan karena ada kesenjangan informasi di pasar modal tentang sifat kebanyakan
proyek hijau (World Bank 2012).
Langkah penting pertama untuk menarik aliran keuangan untuk KEK hijau adalah
mengidentifikasi manfaat moneter proyek rendah emisi dan menilai dana kelangsungan
kesenjangan (viability gap) untuk mendanai proyek-proyek. Dalam menilai viability gap ini,
perencana harus melihat diluar biaya keuangan proyek dan mengungkap potensi ekonomi
proyek hijau yang memperhitungkan manfaat moneter yang diharapkan dari intervensi
pertumbuhan hijau.
Seperti ditunjukkan pada bagian sebelumnya, manfaat moneter tersebut dapat menjadi
signifikan, dengan justifikasi penggunaan alat penilaian pertumbuhan hijau seperti eCBAs
dalam perencanaan KEK di Indonesia. Manfaat yang diharapkan dari cakupan intervensi
proyek meliputi berbagai sektor infrastruktur, tetapi secara umum dapat dikelompokkan
menjadi empat sektor yang umum: energi konvensional dan terbarukan, penggunaan lahan
dan kehutanan, transportasi, dan infrastruktur fisik lainnya. Manfaat tersebut kemungkinan
lebih besar, mengingat biaya sebenarnya dari jasa ekosistem sangat mungkin di bawah
perkiraan karena langkanya ketersediaan data primer.
Selain itu, penting juga untuk memutuskan apakah konseptualisasi KEK hijau, KEK karbon
rendah sejak awal atau mengadopsi intervensi pertumbuhan hijau pada proyek-proyek khusus
32
dalam KEK yang sudah ada atau sudah direncanakan. Pada kasus Indonesia, sampai saat ini
tidak ada KEK hijau. Analisis Biaya dan Manfaat yang Dipeluas (eCBAs) untuk kawasan ekonomi
Maloy dan Mamminasata dilakukan relatif terlambat dalam siklus pelaksanaan dan
perencanaan proyek. Adopsi awal eCBAs di pra-studi kelayakan atau pada tingkat studi
kelayakan akan memungkinkan para pembuat kebijakan mengidentifikasi tambahan biaya
dan manfaat jangka panjang terkait dengan jasa ekosistem dan efisiensi penggunaan modal
alamiah (GGGI 2015a, 2015b).
Selanjutnya, dalam mengidentifikasi proyek-proyek hijau yang memenuhi syarat untuk
mendapat dukungan keuangan, perencana perlu membedakan antara proyek-proyek padat
modal dan kurang padat modal. Proyek padat modal biasanya dapat ditemukan pada
pembangunan infrastruktur seperti proyek pembangkit listrik terbarukan. Proyek kurang
padat modal ditandai dengan mengadopsi langkah-langkah meningkatkan efisiensi produksi,
biasanya sebagai respon terhadap peraturan yang mewajibkan program efisiensi energi atau
standar sertifikasi. Perbedaan ini sangat penting dalam menarik dukungan keuangan: proyek
padat modal biasanya membutuhkan sarana pembiayaan proyek yang kompleks, sementara
uang yang mengalir ke proyek-proyek hijau kurang padat modal dapat disalurkan melalui
neraca keuangan pemangku kepentingan yang berpartisipasi (World Bank 2012).
Setelah pemangku kepentingan menyepakati intervensi pertumbuhan hijau khusus untuk
KEK, kepemimpinan sektor publik yang efektif diperlukan untuk menarik pembiayaan dan
investasi. Karena hanya ada dana iklim global terbatas yang tersedia, pembuat kebijakan perlu
menemukan cara kreatif menggabungkan beberapa instrumen publik dan swasta secara
33
terpadu agar dapat memanfaatkan penggunaan terbatasnya sumber daya domestik dan dana
internasional secara optimal.
Mekanisme pendanaan internasional multilateral untuk investasi hijau merupakan sumber
utama pemerintah untuk mengakses pendanaan iklim dalam bentuk instrumen pinjaman
seperti pembiayaan lunak dan hibah langsung. Dana iklim - yang terdiri dari Dana Teknologi
ramah lingkungan dan Dana Iklim Strategis - menyediakan sumber dana USD 6,4 miliar (per
2012) untuk membantu negara-negara berkembang yang telah merintis proyek rendah emisi
pada infrastruktur inti dan guna lahan/sektor kehutanan (Dunia Bank 2012). Badan
internasional lainnya meliputi Global Environmental Facility (GEF), Global Energy Efficiency and
Renewable Energy Fund (GEEREF) dan mekanisme CDM. Yang terakhir (CDM) menghadapi
ketidakpastian masa depan pasca protokol Kyoto (World Bank 2012).
Pembiayaan hijau dapat digunakan untuk mendukung gabungan instrumen kebijakan
domestik dan menutup vialibility gap dalam dua cara. Pertama, dapat membantu
penyeimbangan ulang distorsi kebijakan yang membuat beberapa investasi rendah emisi tidak
layak. Kedua, dengan mendapatkan manfaat moneter yang diperoleh dari mengurangi
eksternalitas. Instrumen kebijakan pertumbuhan hijau akan memberikan dukungan anggaran
bagi pemerintah untuk mensubsidi feed in tariff secara khusus untuk mendorong penyerapan
energi terbarukan. Hal ini diperlukan terutama di negara-negara seperti Indonesia di mana
pemerintah merasa sulit secara politik untuk mengurangi subsidi BBM dan listrik yang tidak
hanya menguras sumber daya publik, tetapi juga mendistorsi harga energi.
34
Dana pinjaman (leverage) internasional juga bisa digunakan untuk mendanai proyek yang
mengurangi emisi GRK dan mengatasi eksternalitas negatif seperti polusi udara atau polusi air
di daerah. Insentif fiskal dalam negeri termasuk pemotongan pajak, kredit bersubsidi untuk
menginstal atau mengimpor teknologi ramah lingkungan seperti peralatan pengolahan air
limbah. Semua instrumen ini bertujuan untuk meminimalkan risiko proyek hijau dan
menciptakan peluang suksesnya proyek rendah emisi maupun tinggi emisi (World Bank 2012).
Penerapan kebijakan ini sangat tergantung pada kapasitas fiskal dan hubungan antara entitas
pemerintah nasional dan daerah. Laporan dari Kementerian Keuangan Indonesia dan CPI
(2014) menemukan adanya hambatan aliran cepat pendanaan iklim domestik untuk
pemerintah daerah. Anggaran pusat dialokasikan untuk mitigasi iklim (USD 678 juta pada
tahun 2011), termasuk uang internasional, yang disalurkan terutama untuk pemerintah pusat
(97%), sisanya mengalir ke pemerintah daerah (Kementrian Keuangan Indonesia dan CPI 2014).
Selanjutnya, aliran investasi yang terkait mitigasi iklim (climate miigation) dari pemerintah
pusat melalui penyertaan modal dan dana bergulir khusus - dilihat sebagai instrumen yang
berpotensi efektif untuk meningkatkan pendanaan leverage internasional - juga dicairkan
perlahan. Kesenjangan antara aliran investasi dan realisasi pencairan menunjukkan masalah
kapasitas fiskal, mengganggu pelaksanaan kegiatan proyek langsung. Gambar 7
menggambarkan aliran keuangan potensial dari mekanisme pendanaan internasional untuk
tingkat nasional dan daerah, menunjukkan bahwa aliran dana sebagian besar melalui
pemerintah yang sahamnya dimiliki BUMN dan sektor swasta (Kementerian Indonesia dan CPI
2014: 15).
35
4.2. Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
Mengingat bahwa saat ini tidak ada pasar yang layak untuk proyek hijau di Indonesia,
pemerintah dapat menggunakan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk menarik
investasi sektor swasta. Pemerintah Indonesia telah menerapkan kerangka KPS sebagai
bagian dari percepatan proyek dalam bentuk Masterplan (MP3EI).
KPS secara umum didefinisikan sebagai perjanjian kontrak jangka panjang antara perusahaan
swasta dan badan publik dalam hal penyediaan layanan (Merk et al: 29). Ada berbagai
perjanjian kontrak, karena KPS akan berbeda dalam hal pembagian risiko dan skema
manajemen. Perbedaan penting antara KPS dalam menjalankan konsesi, di mana perusahaan
yang beroperasi tergantung pada retribusi sebagai sumber pendapatan utama, atau KPS
sebagai inisiatif pembiayaan swasta (private finance initiatives-PFI), di mana pembayaran
kepada operator swasta tergantung pada penyediaan infrastruktur. Perbedaan ini memiliki
implikasi penting untuk alokasi risiko, dengan jenis konsesi KPS operator swasta memikul
banyak beban risiko permintaan (Merk et al, 2012).
Dari perspektif pertumbuhan hijau, beberapa tantangan penting perlu diatasi jika sarana
pembiayaan KPS berhasil digunakan untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur hijau.
Masalah pertama adalah bahwa kerangka KPS tidak berisi prosedur resmi yang tepat untuk
memastikan bahwa proyek-proyek dirancang dengan cara 'hijau'. Tujuan lingkungan yang
jelas perlu diintegrasikan dalam proses pemberian dan harus dianggap sebagai kriteria
evaluasi kritis yang mendorong KPS hijau yang efektif (Merk et al, 2012: 35). Lembaga
36
pemerintah yang tertarik mengembangkan proyek-proyek infrastruktur hijau harus meminta
pengembang proyek untuk menilai proyek-proyek yang masuk dengan ketat, kemungkinan
besar menggunakan Green Growth Assesment Process (GGAP) dan eCBAs sebagai bagian dari
kewajiban pra studi kelayakan dan studi kelayakan, terutama ketika mengakses Viability Gap
Fund ( VGF) di bawah pengawasan Kementerian Keuangan (. 5
Isu penting kedua adalah KPS tidak dapat dipisahkan entitasnya tetapi perlu disertakan dalam
bentuk dukungan fiskal dan paket jaminan resiko agar KPS bekerja dengan baik. Salah satu
contoh adalah Korea, yang telah menerapkan paket kebijakan fiskal yang komprehensif untuk
meminimalkan risiko di bidang infrastruktur hijau kota. Ini termasuk instrumen seperti subsidi
konstruksi; mekanisme kompensasi untuk mengurangi risiko investasi operator swasta;
infrastruktur penjaminan dana kredit; dan insentif pajak (Merk et al, 2012: 33). Kerangka KPS
Indonesia saat ini mengupayakan bahwa setiap lembaga pengontrakan (contracting)
pemerintah yang tertarik mengembangkan proyek dapat mengajukan permohonan insentif
pajak kepada Kementerian Keuangan. Sebagai tambahan, jaminan risiko dan fasilitas
pembiayaan utang murah dapat disediakan oleh PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII),
PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) (Bappenas
2013).6
5 Dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri PMK No 223 / PMK.011 / 2012. 6 Bappenas, 2013, Rencana Proyek Infrastruktur Kemitraan Pemerintah dan Swasta di Indonesia
37
Namun, jumlah proyek terealisasi di lapangan sangat terbatas dan waktu penyelesaianya
panjang. Satu-satunya proyek yang berhasil didokumentasikan KPS masih jauh dari penerapan
praktik terbaik berstandar internasional (Strategic Asia 2012: 36). Hambatan pelaksanaan
efektif dari Perusahaan KPS adalah kurangnya kapasitas pelaku sektor publik karena kurang
memahami mekanisme KPS; kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah;
peraturan yang tumpang tindih dan masalah yang terkait dengan pelaksanaan Undang-
undang pembebasan lahan (Strategic Asia 2012).
Dari perspektif pemerintah daerah, pengayaan kapasitas untuk membangun kerjasama yang
efektif dan memastikan komitmen tinggi pemerintah pusat dan mitra sektor swasta
merupakan hal sangat penting. Pemerintah perlu memiliki kapasitas dan keahlian yang cukup
untuk mengevaluasi proyek. Hal ini diperlukan pada tahap negosiasi dengan penawar dari
sektor swasta untuk menghasilkan persaingan yang cukup untuk memastikan kemungkinan
pemilihan proyek terbaik. Selain itu, kerjasama yang efektif merupakan elemen penting untuk
keberhasilan pelaksanaan proyek berbasis KPS . Karena proyek KPS hijau merupakan usaha
jangka panjang, kemungkian berlangsung setidaknya dalam 15 tahun, komitmen yang tinggi
dan kerjasama perlu dilembagakan (Merk et al 2012).
4.3. Instrumen pasar modal hijau
Dalam beberapa tahun terakhir mekanisme pasar modal hijau telah muncul sebagai sumber
pendanaan inovatif, karena memiliki potensi untuk menekan biaya infrastruktur. Obligasi
infrastruktur memungkinkan investor institusional (misalnya dana pensiun) dapat langsung
38
berinvestasi dalam jangka panjang dan investasi berisiko rendah. YieldCos adalah perusahaan
ekuitas yang mengemas ekuitas dan utang dalam satu paket sehingga dapat menghindari
premi pembiayaan proyek yang terkait dengan proyek tunggal. Obligasi daerah juga dapat
menurunkan biaya pendanaan proyek-proyek dengan pemerintah daerah mengambil peran
sebagai investor itu sendiri dan memikul risiko ekuitas (New Climate Economy 2014).
Instrumen pasar modal paling menjanjikan adalah obligasi hijau. Terdapat beragam obligasi
infrastruktur, tetapi obligasi atau portofolio obligasi yang dinilai berwawasan lingkungan atau
proyek-proyek 'hijau' (HSBC 2013). Obligasi tersebut ditargetkan untuk investor dengan
preferensi berinvestasi pada proyek-proyek ramah lingkungan. Bahkan, obligasi tersebut
menciptakan pasar keuangan hijau baru, yang mungkin bisa menurunkan biaya pendanaan
proyek infrastruktur hijau dalam jangka panjang melalui kekuatan kompetitif. Pada tahun 2013
obligasi hijau yang dikeluarkan senilai USD 11 miliar, nilai tersebut masih sebagian kecil dari
pasar obligasi global tetapi salah satu yang tumbuh (New Climate Economy 2014: 11; HSBC
2013).
Di Indonesia, BUMN dan pemerintah daerah akan menjadi entitas yang paling jelas untuk
menerbitkan obligasi hijau, tetapi pasar untuk produk-produk keuangan hijau masih dalam
masa pertumbuhan. Pembentukan bank investasi hijau, mengikuti contoh seperti KfW
Jerman, China Development Bank atau New Development Bank yang baru-baru ini didirikan
(sebelumnya dikenal sebagai BRICS Development Bank), dapat membantu menggerakkan
permintaan investor untuk aset rendah karbon di pasar domestik, terutama jika fokus akan
berinvestasi dalam proyek-proyek infrastruktur hijau daerah (New Climate Economy 2014).
39
Namun, seperti halnya di negara maju, investor di pasar keuangan Indonesia masih
berorientasi pada pertumbuhan jangka pendek dan lebih cenderung mencari aset likuid.
Selain itu, aturan yang membingkai industri keuangan saat ini, baik aturan akuntansi dan
peraturan investasi, mungkin juga menghalangi investor institusional (seperti dana pensiun)
dari aset jangka panjang dan aset tidak likuid seperti obligasi infrastruktur hijau (New Climate
Economy 2014: 12). Relevansi untuk situasi di Indonesia khususnya adalah peraturan yang
mewajibkan aturan kecukupan modal yang lebih ketat yang dimaksudkan untuk mengurangi
eksposur bank untuk utang jangka panjang. Sementara memenuhi permintaan lingkungan
keuangan yang lebih menerapkan kehati-hatian, yang merupakan warisan krisis keuangan
pada tahun 1998 dan 2008, juga membatasi kemauan dan kemampuan bank dalam negeri
dalam menangani investasi hijau, termasuk obligasi hijau (New Climate Ekonomy 2014).
40
Catatan: panah merah menunjukkan arus keuangan potensial, panah biru adalah hubungan kebijakan dan perencanaan
Menilai Viability Gap Keuangan dan Ekonomi
Masyarakat Internasional Pasar Keuangan Internasional Lembaga pemeringkat
Stakeholder utama: Pemerintah daerah Sektor swasta, organisasi masyarakat sipil
Stakeholder utama: Pemerintah daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, penelitian / lembaga akademis, lembaga donor
Stakeholder utama: Instansi Pemerintah Pusat/ pemerintah Daerah
Kebijakan KEK Hijau, Perencanaan dan Pengembangan Proyek Pembangunan
Mengidentifikasi Intervensi Pertumbuhan Hijau Desain Instrumen Kebijakan
Pemerintah Indonesia
Anggaran Negara
BUMN
Dana bergilir
KPS
Sektor Swasta
Menggabungkan Instrumen
Keuangan
Sumber keuangan dan
Mekanisme
Intervensi Pertumbuhan Hijau
Feed in tariffsSubsidi Modal
Pengurangan Pajak
Pinjaman bersubsidi
Manfaat Moneter
Pertumbuhan Ekuitas
Ketahanan
Menurunkan GRK
Ekosistem Sehat
eCBAs and GGAP
Eksternalitasdistorsi
kebijakan
Pengembangan Proyek Hijau yangBankable dan Mengamankan Pembiayaan Proyek
Kehutanan & guna lahan
Transportasi
Energi Infrastruktur
lain
Pemilihan proyek:
Intensitas modal
Proyek hijau individu
KEK hijau
Dana Iklim Internasional
Pasar Modal
Obligasi infrastruktur
Obligasi hijau
Obligasi daerah
YieldCos
Mendanai Pengembangan Proyek
Gambar 7: Hubungan Perencanaan dan Pembiayaan KEK
Links
41
5 Kesimpulan
Bab ini menjelaskan cara mengintegrasikan tujuan pertumbuhan hijau ke dalam perencanaan
dan pengembangan kawasan ekonomi khusus.
Bagian pertama melihat bagaimana isu-isu lingkungan menjadi faktor penting dalam
pengembangan KEK dan menyoroti secara garis besar alasan keberlanjutan dan internalisasi
biaya untuk dimasukkan sebagai faktor penting dalam menentukan daya saing.
Bagian kedua memberikan kerangka analisis pertumbuhan hijau untuk mendapatkan 5 hasil
yang diinginkan dari pertumbuhan tersebut: dengan cara menghindari dan membatasi emisi
GRK, membangun ketahanan terhadap iklim ekstrem dan perubahan jangka panjang,
menggunakan sumber daya yang lebih efisien, berkelanjutan dan peningkatan PDB dan
standar hidup yang terdistribusi merata, dan secara ekonomi menghitung kekayaan alam yang
sering tidak terlihat membawa keberhasilan pertumbuhan ekonomi.
Bab ini menunjukkan secara garis besar potensi KEK sebagai kawasan inovasi untuk
menerapkan kebijakan pertumbuhan hijau. Tiga intervensi kebijakan utama untuk merancang
KEK hijau telah diidentifikasi. Pertama, pemberian insentif untuk memastikan bahwa produk
hijau masuk KEK; kedua, menerapkan kebijakan pertumbuhan hijau untuk seluruh KEK sejak
tahap perencanaan awal sehingga menjamin kinerja lingkungan terbaik bagi seluruh kawasan
ekonomi; dan ketiga, memungkinkan insentif dan regulasi kegiatan ekonomi untuk menarik
teknologi hijau dan inovasi dalam KEK.
42
Kerangka pertumbuhan hijau ini dapat diterapkan untuk merancang atau rancang ulang KEK
serta mengidentifikasi dan memperkirakan kesempatan investasi hijau dengan menggunakan
analisis biaya manfaat diperluas (eCBAs). Manfaat moneter diharapkan terkait dengan
intervensi kebijakan pertumbuhan hijau yang berpotensi besar, seperti yang ditunjukkan
dalam 2 contoh kasus kawasan ekonomi di Indonesia. Akan tetapi, membuat proyek-proyek
layak investasi (investable) hijau membutuhkan intervensi kebijakan publik untuk
meningkatkan manfaat proyek dan / atau mengurangi risiko proyek.
Bagian ketiga dan terakhir memberikan cara mengidentifikasi mekanisme pembiayaan yang
inovatif untuk mendukung perencanaan dan pengembangan KEK hijau di Indonesia. Para
pemangku kepentingan perlu melakukan intervensi kebijakan publik untuk menghitung
keuntungan berinvestasi dalam proyek-proyek rendah emisi di KEK dan menemukan cara
untuk mendanai investasi tersebut. Perencanaan KEK, kebijakan-kebijakan, pengembangan
proyek dan mekanisme keuangan yang tersedia perlu menyelaraskan dengan cara strategis
untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investor. Dari perspektif pemerintah
nasional dan daerah, kerjasama pemerintah swasta (KPS) dan instrumen baru seperti obligasi
hijau merupakan sumber keuangan yang menjanjikan untuk proyek-proyek infrastruktur hijau,
tetapi masih ada hambatan kelembagaan dan kebijakan yang harus segera diatasi sebelum
instrument tersebut efektif digunakan di pasar keuangan Indonesia.
43
Jika intervensi dan kebijakan berorientasi pada pengembangan KEK hijau, pengelolaan modal
alam yang lebih baik akan dipastikan dan prospek manfaat meningkatnya kesejahteraan bagi
ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan akan jauh lebih baik.
Referensi
Bappenas, 2013, Public-Private Partnerships Infrastructure Project Plans in Indonesia
44
DFID and PWC (2009). Bangladesh Economic Zones: A Sustainability Framework. Dechezleprete, Antoine and Misato Sato (2014). “The Impacts of Environmental Regulations on Competitiveness.” Policy Brief (November 2014). Graham Research Institute on Climate Change and the Environment and Global Green Growth Institute. Farole, Thomas and Gokhan Akinci (Eds.) (2011). “ Special Economic Zones: Progress, Emerging Challenges and Future Directions.” The World Bank: Washington D.C. FIAS/World Bank (2008). “Special Economic Zones: Performance, Lessons Learned, and Implications for Zone Development.” The World Bank Group: Washington D.C. GGGI (2014). “ Green Industry Mapping Strategy (GIMS) in Indonesia. International Leading Practice Report. “Government of Indonesia – GGGI Green Growth Indonesia Program: Jakarta GGGI (2015a, forthcoming). “ KIPI Maloy: Moving Towards Green Growth. Technical Report.” Government of Indonesia – GGGI Green Growth Indonesia Program: Jakarta GGG( (2015b, forthcoming). “KSNMamminasata: Moving Towards Green Growth. Technical Report” Government of Indonesia – GGGI Green Growth Indonesia Program: Jakarta GGGI (2015c, forthcoming). “ Delivering Green Growth in Indonesia: A Roadmap for Policymakers.” Unpublished Working Paper. Government of Indonesia – GGGI Green Growth Indonesia Program: Jakarta HSBC (2013). “ Bonds and Climate Change. The State of the Market in 2013.” Climate Bonds Initiative. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (2007). “Climate Change 2007: Synthesis Report.” IPCC: Geneva. The New Climate Economy (2014). “ Better growth, Better Climate. “ Report by the Global Commission on the Economy and Climate. New Climate Economy / World Resources Institute: Washington DC IPCC (2011). Special Report on Renewable Energy Sources and Climate Change Mitigation [O. Edenhofer, R. Pichs-Madruga,Y. Sokona, K. Seyboth, P. Matschoss, S. Kadner, T. Zwickel, P. Eickemeier, G. Hansen, S. Schlomer, C.von Stechow (eds)], Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA KPMG International Cooperative (2014). “ A New Vision of Value: Connecting Corporate and Societal Value Creation.”
45
Ministry of Finance Indonesia and Climate Policy Initiative (CPI) (2014). “ The Lansdscape of Public Climate Finance in Indonesia.” Jakarta
Merk, O., Saussier, S., Staropoli, C., Slack, E., Kim, J-H (2012), ―Financing Green Urban Infrastructure, OECD Regional Development Working Papers 2012/10, OECD Publishing; http://dc.doi.org/10.1787/5k92p0c6j6r0-en Navigant Research (2014). “Energy Efficient Retrofits for Commercial and Public Buildings.” Strategic Asia (2012). “ Public Private Partnerships (PPPs) in Indonesia: Opportunities from the Economic Master Plan.” Paper prepared by Strategic Asia for the UK Foreign Office. Wahyuni, Sari (2013). “ Competitiveness of Special Economic Zones. Comparison Between Indonesia, Malaysia, Thailand and China.” Jakarta: Salemba Empat Yeo, Han-Koo and Gokhan Akiinci (2011). “ Low Carbon, Green Special Economic Zones.” In: Farole, Thomas and Gokhan Akinci (Eds.) (2011). “ Special Economic Zones: Progress, Emerging Challenges and Future Directions”: pp.283-308. World Bank 2010, World Development Report 2010: “Development and Climate Change.” Oxford University Press, New York World Bank (2012). Green Infrastructure Finance: Framework Report. The World Bank: Washington D.C.. World Bank (2014) “ Low Carbon Zones: A Practitioner’s Handbook.” World Bank: Washington D.C.
Top Related