235
Bab VIII
Penutup
Ruang publik di wilayah perkotaan merupakan magnet yang
memiliki daya tarik tersendiri bagi para pelaku usaha sektor informal.
PKL merupakan aktivitas ekonomi sektor informal yang cukup
menjanjikan dan diminati oleh masyarakat migran di kota-kota besar,
aktivitasnyapun memberi dampak terhadap lingkungan di mana
mereka beraktivitas, sehingga pemerintah selalu memberi perhatian
terhadap eksistensi mereka. Tidak jarang terjadi persoalan yang
menyita waktu, tenaga dan materi dalam menata wilayah tersebut
sesuai peruntukannya. Banyak pemerintah daerah yang disibukkan
dengan berbagai persoalan dalam hal penataan wajah kota dari
berbagai permasalahan, salah satu sumber permasalahan yang ditemui
pada kota-kota besar adalah terganggunya aktivitas masyarakat kota
karena banyaknya pelaku sektor informal yaitu munculnya PKL yang
tidak terkendali.
Fenomena penertiban PKL di kota-kota besar selalu menjadi
peristiwa harian yang tiada henti. Hampir setiap saat PKL harus bersiap
perihal kejadian-kejadian penertiban tempat berdagang karena
menempati ruang publik tanpa seizin pemerintah daerah. Dengan
banyaknya persoalan yang diakibatkan oleh eksistensi PKL di kota-
kota besar, maka pemerintah membuat kebijakan melalui regulasi yang
melarang PKL berjualan di tempat-tempat umum. Kebijakan dimaksud
untuk mengendalikan perkembangan jumlah PKL secara tidak
terkendali, sekaligus mengurangi permasalahan yang muncul akibat
aktivitas PKL di ruang publik.
Kebijakan pemerintah daerah untuk melakukan penataan fisik
kota dengan memperindah tampilan wajah kota agar lebih menarik,
dengan ruang publik yang aman dan nyaman sudah sepatutnya
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
236
dilakukan oleh pemerintah. Tetapi penggusuran dan tindak kekerasan
yang dilakukan terhadap PKL sebagai implementasi peraturan daerah
adalah hal yang tidak dapat dibenarkan dari segi hukum, kemanusiaan
dan keadilan (Handoyo, 2012). Realita tersebut menimbulkan masalah
tersendiri bagi pemerintah dengan dampak yang kompleks karena
pemerintah diperhadapkan pada situasi dilematis. Pertentangan antara
kebutuhan hidup warga masyarakat dan kepentingan pemerintah akan
berbenturan kuat dan menimbulkan friksi di antara keduanya. Para
PKL yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan
mereka bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan
begitu banyak kendala yang harus dihadapi di antaranya kurangnya
modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah
dengan berbagai aturan seperti adanya perda yang melarang
keberadaan mereka. Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya
semua tindakan pemerintah didasarkan atas kepentingan masyarakat
atau ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
Berangkat dari fakta tersebut maka pemerintah daerah ketika
merumuskan sebuah kebijakan, perlu mengakomodir berbagai
kepentingan dengan melibatkan pihak-pihak berkepentingan untuk
bersama-sama mencari solusi terhadap permasalahan yang terjadi di
kota. Pengalaman partisipasi PKL dan semua stakeholder di Kota
Salatiga dalam mengupayakan sebuah regulasi untuk mengatur
aktivitas PKL secara bijak sehingga terwujud sebuah kondisi yang aman
dan damai, merupakan pengalaman berharga yang patut ditelaah dari
kaca mata ilmiah dan dapat dijadikan contoh bagi kota ataupun daerah
lain dalam penataan PKL secara bijak.
Langkah bijak yang telah dilakukan pemerintah daerah Kota
Salatiga dengan mengakomodir kepentingan masyarakat melalui
partisipasi publik dalam perumusan penataan pedagang kaki lima,
dengan melibatkan PKL dan stakeholder lainnya adalah sebuah
langkah preventif yang menghasilkan terwujudnya harmoni sosial di
atara semua pihak tanpa larut dalam konflik berkepanjangan. Nilai-
nilai kebersamaan dalam partisipasi merupakan modal utama bagi
langgengnya sebuah partisipasi dan harmoni sosial, sehingga sekalipun
Penutup
237
telah lama dilewati proses implementasi dari sebuah kebijakan, tetapi
partisipasi dan harmoni sosial tetap terjaga.
Melalui pengalaman partisipasi publik dalam perumusan
penataan PKL Kota Salatiga, serta peran PKL dan stakeholder dalam
partisipasi, penulis menemukan pula nilai-nilai yang mengikat di
antara PKL dan stakeholder, sehingga sekalipun prosesnya telah
berlangsung dalam waktu yang cukup lama tetapi partisipasi dan
harmoni sosial tetap terjaga. Model penataan PKL Kota Salatiga dapat
diadopsi ataupun direplikasi di daerah lain, karena konflik dengan
eskalasi tinggi dapat diredam melalui upaya bersama tanpa ada
tendensi politik dari pahak-pihak yang berkepentingan. Harus diakui
bahwa kondisi tersebut seringkali dijadikan komoditas politik oleh elit
birokrat maupun elit politik, dalam konteks partisipasi PKL dan
stakeholder Kota Salatiga ditemukan juga upaya-upaya dari para elit
melalui tawaran dana serta fasilitas untuk mencari panggung. PKL dan
stakeholder secara tegas menolak pendekatan dimaksud dengan lebih
mengedepankan kebersamaan melalui swadaya menggunakan potensi
internal yang mereka miliki, sehingga perjuangan mereka bebas dari
kepentingan elit. Dari realita tersebutlah penulis menyimpulkan
tulisan ini.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa fenomena menarik
terkait eksistensi PKL serta partisipasi dalam perumusan kebijakan
penataan PKL yang muncul dari masyarakat. Inisiatif untuk membuat
sebuah regulasi berasal dari masyarakat sendiri sehingga konflikpun
dapat diredam dalam beberapa waktu tanpa berlarut-larut. Berdasarkan
pengalaman tersebut maka pada bagian ini sebagai akhir dari
penelusuran penelitian maka kesimpulannya adalah sebagai berikut:
Pertama, partisipasi yang dilakukan oleh PKL dan stakeholder
merupakan sebuah tanggung jawab atas kesadaran bersama dalam
membangun hubungan di antara mereka demi terwujudya sebuah
tatanan kehidupan yang baik. Tanpa adanya rasa memiliki serta
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
238
tanggung jawab dari semua pihak maka tidak akan mungkin resolusi
konflik terlaksana dengan baik jika masing-masing pihak merasa yang
paling benar tanpa memikirkan kepentingan bersama. Partisipasi yang
terbangun pada PKL dan stakeholder dalam mengupayakan adanya
sebuah kebijakan pemerintah kota melalui Perda Nomor 2 tahun 2003
dilandasi oleh kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan untuk
saling menghargai dan menopang keberlangsungan kehidupan baik
pribadi mapun kelompok. Partisipasi memiliki wajah yang
multidimensi karena di dalamnya membutuhkan keterlibatan berbagai
pihak. Partisipasi semakin baik apabila keinginan masyarakat untuk
membangun tatanan kehidupan yang lebih baik, direspon positif oleh
pihak pemerintah sehingga masyarakat merasa diberi ruang untuk
kreativitas mereka. Tanpa adanya peran pemerintah dalam merespon
niat baik warga sebagai wujud partisipasi dalam mencari solusi
terhadap suatu persoalan maka sangat sulit menemukan kesamaan
persepsi dari semua pihak yang terlibat dalam proses partisipasi.
Kedua, pondasi utama dari partisipasi adalah seberapa baiknya
komunitas masyarakat di suatu tempat, mampu mencari solusi ataupun
keluar dari persoalan yang melilit mereka. Bagaimana kemampuan
mereka dalam mengelola persoalan yang dimulai dari tahap assessment, tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi adalah wujud
partisipasi aktif dalam menjawab persoalan. Peran PKL dan stakeholder
Kota Salatiga dalam partisipasi perumusan kebijakan publik sangat luar
biasa. Melalui aktor partisipasi baik berasal dari pihak PKL sendiri
maupun stakeholder secara proaktif menggerakkan partisipasi dengan
memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki adalah kunci
suksesnya partisipasi. Dengan ditetapkannya Perda Nomor 2 tahun
2003, maka hal tersebut menunjukkan bahwa partisipasi PKL bersama
seluruh stakeholder berjalan dengan baik dan sukses. Aktor intelektual
yang merancang konsep resolusi konflik serta partisipasi yang ditopang
oleh PKL dan seluruh stakeholder berasal dari FMPS sendiri, sebagai
bagian dari masyarakat Kota Salatiga yang peduli dengan kondisi saat
itu. Dari kolaborasi yang solid antara aktor dan PKL, serta seluruh
stakeholder maka kondisi kota yang semrawut serta konflik dengan
berbagai dampakpun dapat dihidari melalui partisipasi bersama.
Penutup
239
Ketiga, sejak terbangunnya partisipasi PKL dan stakeholder
tahun 2002 serta adanya kebijakan pemerintah daerah melalui
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003, maka sampai saat ini kondisi
kota Salatiga tetap kondusif dan terhindar dari konflik. Konflik
multidimensi karena melibatkan banyak pihak dapat diredam melalui
partisipasi aktif semua pihak dalam menyikapi sejumlah permasalahan
khususnya eksistensi PKL di Kota Salatiga. Hal tersebut tidak terjadi
dengan sendirinya tetapi situasi kondusif dalam waktu yang cukup
lama dipengaruhi oleh nilai kebersamaan, komitmen dan nilai
kemanusiaan baik dalam mencari nafkah maupun saling peduli untuk
sama-sama membangun tatanan kehidupan yang lebih baik. Baik PKL
maupun stakeholder utama, kekuatan lain yang mempersatukan
mereka adalah faktor ekonomi, dimana mereka merasa sama-sama
harus saling menopang demi menghidupi keluarga dan memenuhi
kebutuhan lainnya. Seiring dengan dinamika perkembangan PKL maka
terjadi perubahan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 menjadi
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2015. Perubahan tersebut semakin
menguatkan bangunan partisipasi sebagai warisan yang telah dibangun
sejak tahun 2002. Harmoni sosial yang terbangun antara PKL dan
stakeholder didasarkan pada nilai budaya yang secara umum dikenal
oleh masyarakat Jawa dan menjadi corak budaya Nusantara yaitu
demokrasi, gotong royong, egaliter, dan religius. Nilai-nilai inilah yang
diyakini oleh PKL di Kota Salatiga dan stakeholder sebagai sebuah
panutan dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk sehingga
konsep Bhineka Tunggal Ika benar-benar dipraktekkan dalam wujud
saling menopang dalam perbedaan. Langgengnya harmoni sosial diikat
oleh keyakinan pada nilai luhur budaya bangsa merupakan local wisdom yang patut dilestarikan oleh setiap warga masyarakat sehingga
keseimbangan hidup dalam perbedaan tetap terjaga.
Kontribusi Teori
Partisipasi publik dalam perumusan sebuah kebijakan pada
umumnya diawali oleh arahan ataupun perintah dari atas, ketika para
elit melihat sejumlah problematika ataupun kebutuhan masyarakat
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
240
yang harus disikapi untuk mencari solusi bersama. Karena itu jarang
sekali masyarakat yang menjadi penggerak utama dalam setiap
perumusan kebijakan, sebab pada prinsipnya kebijakan adalah
kewenangan pemerintah. Penelitian ini memiliki kontribusi teori
terhadap tahapan proses partisipasi serta tahap-tahap dalam proses
penyusunan kebijakan publik. Menurut Pujualwanto (2012), partisipasi
merupakan proses yang mempunyai makna dan nilai signifikan bagi
peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola masalah.
Partisipasi adalah proses untuk memecahkan masalah pembangunan
yang terjadi dalam sebuah komunitas, melalui interaksi antara
masyarakat dan negara dalam aktivitas nyata, dengan pengelolaan dan
mekanisme tertentu untuk mencapai tujuan, berbasis nilai tradisional
yang rasional sebagai perwujudan realitas dinamika kehidupan sosial
bermasyarakat dalam satu komunitas.
Berdasarkan penjelasan tersebut jika disinkronkan dengan
realitas kehidupan masyarakat dalam mencari solusi bersama atas setiap
problematika yang mereka alami, maka relasi antar sesama masyarakat
adalah modal untuk membangun relasi dengan pihak pemerintah
sebagai penentu sebuah kebijakan. Relasi yang dibangun oleh
masyarakat sebagai pemangku kepentingan akan mempererat serta
memperkuat ikatan emosional dalam komunitas formal sehingga
semakin besar partisipasi dalam mencari solusi atas permasalahan yang
dihadapi. Dengan demikian maka tinggi rendahnya tingkat partisipasi
masyarakat tergantung juga pada seberapa kuat relasi yang terbangun
di antara mereka.
Dalam hubungan dengan proses partisipasi yang terjadi di
masyarakat, terdapat pemikiran dari beberapa ahli yang secara khusus
membahas tahapan partisipasi. Tahapan partisipasi menurut Uphoff
(1986: 127), terdiri atas empat bagian besar yaitu: perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Sedangkan menurut Ndraha
(Pujoalwanto 2012:277), melihat tahapan partisipasi terdiri atas:
infomasi, perencanaan, penentuan anggaran, hasil, evaluasi. Seirama
dengan kedua ahli di atas, Kaho (Pujoalwanto 2012), membahas
tahapan partisipasi terdiri atas: pembuatan keputusan, pelaksanaan,
Penutup
241
pemanfaatan, monitoring, dan evaluasi. Berdasarkan pemikiran terkait
proses partisipasi jika dihubungkan dengan konteks partisipasi PKL dan
stakeholder di Kota Salatiga, maka semua unsur telah dilaksanakan
secara baik mulai dari perencanaan sampai dengan tahap evaluasi.
Penelitian ini melihat bahwa kekuatan utama dari partisipasi
PKL dan stakeholder adalah kemampuan mereka dalam membangun
relasi melalui konsolidasi untuk mengorganisir diri dengan
membentuk paguyuban-paguyuban serta saling menopang antara satu
dengan lainnya. Ketika mengkaji teori partisipasi yang dikemukakan
oleh Arnstein (1969). Secara spesifik mengemukakan untuk
mengetahui kualitas relasi antar pemangku kepentingan, khususnya
antara masyarakat dan negara dalam pengelolaan pembangunan,
relevan diketahui derajat partisipasi yang terjadi. Derajat partisipasi
menjadi salah satu hal yang menarik dalam partisipasi terkait dengan
kualitas partisipasi yang dihasilkan.
Menurut Arnstein (1969), derajat partisipasi sering juga disebut
dengan tangga partisipasi. Tahapan yang paling rendah adalah ketika
masyarakat hanya sebagai pengikut, sedangkan pada tahapan yang
paling tinggi ketika masyarakat mempunyai kewenangan untuk
mengontrol suatu kegiatan. Inilah derajat partisipasi yang menjadi
impian masyarakat dalam era demokrasi sekarang ini. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa derajat partisipasi masyarakat (PKL dan
stakeholder) Kota Salatiga berada pada tangga yang paling tinggi
karena delegasi kekuasaan, masyarakat diberi limpahan kewenangan
untuk memberikan keputusan dominan pada rencana tertentu. Kendali
masyarakat, masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program
yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Pada konteks delegasi
kekuasaan dan kendali masyarakat sebagaimana dijelaskan Arnstein,
berada pada tangga tertinggi sehingga partisipasi dalam
memperjuangkan kepentingan bersama lewat patisipasi publik dalam
perumusan kebijakan penataan PKL yang melahirkan regulasi (Perda
Nomor 2 Tahun 2003) adalah wujud suksesnya partisipasi masyarakat.
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
242
Gambar 8. 1 Model Partisipasi PKL dan Stakeholder dalam Perumusan
Kebijakan Publik
Penelitian ini membuktikan bahwa tahapan partisipasi diawali
dari adanya masalah sebagaimana telah dijelaskan pada bab
pendahuluan tentang konflik multidimensi, baik yang berasal dari atas
atau dari bawah, kemudian dikuti dengan identifikasi kebutuhan
(assessment), penentuan prioritas, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi (lihat Gambar 8.1). Hasil penelitian ini memberikan kontribusi
terhadap tahapan partisipasi masyarakat dimulai dari identifikasi
permasalahan, penentuan prioritas, kemudian diikuti perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi. Tahapan tersebut merupakan sebuah urutan
dalam rangkaian yang utuh untuk mencapai tujuan. Membangun
partisipasi masyarakat dalam konteks PKL dan stakeholdernya bukan
perkara yang mudah, karena begitu kompleks dan heterogen didorong
oleh kepentingan masing-masing golongan. Belum lagi adanya
persoalan laten di antara paguyuban PKL itu sendiri, sehingga tidak
memungkinkan terbangunnya sebuah partisipasi. Mengatasi persoalan
ini, maka langkah awal yang dilakukan adalah melakukan resolusi
konflik, baik itu antar paguyuban PKL maupun dengan stakeholder.
Melalui resolusi konflik ini, diharapkan terbangunnya kepedulian
bersama terhadap persoalan penataan PKL, sehingga dapat terbangun
sebuah kekuatan yang solid untuk menciptakan sebuah kondisi yang
kondusif memungkinkan bagi semua pihak untuk mencari nafkah
Penutup
243
tanpa merugikan siapapun. Gambar 8.1 merupakan sebuah model dari
partisipasi PKL dan stakeholder dalam merumuskan kebijakan publik
pada konteks PKL di Kota Salatiga. Model tersebut dapat diadopsi dan
diimplementasikan di wilayah lain dengan karakteristik dan dinamika
persoalan yang sama dengan Kota Salatiga.
Dengan hasil ini, kiranya tahapan tersebut dapat menjadi
panduan, agar tujuan dari partisipasi dapat tercapai. Berfungsinya
organisasi dalam komunitas masyarakat baik paguyuban-paguyuban
maupun kelompok kepentingan lainnya yang memiliki kepentingan
bersama, memperoleh secara langsung manfaat bagi kepentingan lebih
besar dalam hubungan dengan eksistensi semua pihak, dan adanya
pengendalian oleh masyarakat, menjadi basis partisipasi masyarakat.
Terkait dengan temuan penelitian ini, maka terdapat beberapa
hal yang dapat dicermati dari proses partisipasi, yaitu: telah
berlangsung praktek penyelesaian masalah dengan tindakan sukarela di
tataran level terendah yaitu komunitas masyarakat, melalui prinsip
kebersamaan baik dalam wilayah atau zona yang sama ataupun
berbeda. Dengan dilakukannya diskusi homogen antar sesama PKL
maupun dengan stakeholder menunjukkan pemecahan masalah sosial
yang sesungguhnya lahir dari komitmen bersama. Masyarakat memiliki
kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mengetahui
apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program
diimplementasikan dan selesai dijalankan. Dengan demikian maka
kebijakan penataan PKL yang diimplementasikan pada tahun 2003
merupakan hasil partisipasi secara langsung dari semua pihak yang
mengalami dampak permasalahan PKL.
Kontribusi Kebijakan
Hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pemerintah
daerah dalam hal penentuan kebijakan daerah yang bertujuan
mensejahterakan masyarakat secara umum. Konflik yang terjadi di
kota-kota besar dalam menangani eksistensi PKL terkadang tidak
diawali dengan kajian yang menyeluruh dengan melibatkan semua
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
244
pihak yang punya kepentingan sehingga banyak kendala yang ditemui
pada saat mengimplementasikan kebijakan dimaksud. Kebijakan publik
sendiri dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan atau kegiatan yang
dicetuskan oleh individu, kelompok dalam masyarakat maupun
pemerintah di dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatasi
hambatan atau keadaan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat
wilayah tersebut. Nantinya, dengan adanya kebijakan publik tersebut,
dapat berguna di dalam masyarakat untuk mengatasi hambatan atau
kendala dalam rangka untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat
di suatu wilayah.
Penentapan kebijakan publik juga bertujuan meminimalisir
terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. Dengan demikian suatu
kebijakan yang dihasil bukan untuk menghadirkan resistensi yang
destruktif terhadap tatanan kehidupan bermasyarakat dalam sebuah
komunitas sehingga tidak terkesan pemerintah menggunakan
kewenangan dengan semena-mena tanpa melibatkan masyarakat pada
tahap perencanaan. Karena itu relasi yang baik dengan melibatkan
semua pihak dalam setiap perumusan kebijakan publik akan
meminimalisir dampak pada saat implementasi sebuah kebijakan.
Tahap-tahap kebijakan publik juga diartikan sebagai suatu pola
dimana di dalam pola tersebut terdapat ketergantungan yang bersifat
kompleks terhadap keputusan yang menentukan suatu tindakan yang
dibuat oleh kelompok badan yang dimiliki oleh pemerintah. Arti
kebijakan publik yang seperti ini menekankan bahwa hanya badan
yang berwenanglah dalam hal ini adalah pemerintah yang dapat
menentukan dan menetapkan suatu kebijakan publik yang berlaku di
dalam kehidupan bermasyarakat. Tentunya kebijakan publik yang
ditentukan untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakatnya didasarkan pada asas-asas pokok demokrasi di Indonesia
agar masyarakat merasa dilibatkan dalam menentukan suatu kebijakan
yang nantinya akan mengatur kehidupan masyarakat itu sendiri.
Ketika menilik proses partisipasi masyarakat di Kota Salatiga
dalam merumuskan arah kebijakan untuk menggapai kehidupan yang
baik dalam kompleksitas kepentingan, menunjukkan bahwa
Penutup
245
masyarakat memiliki kemampuan dalam mengelola permasalahan yang
mereka hadapi karena itu pemerintah tidak memposisikan masyarakat
sebagai objek dari implementasi sebuah kebijakan tetapi sebaliknya.
Pemerintah bersama masyarakat membangun relasi yang saling
menopang serta saling melengkapi sehingga setiap perencanaan
kebijakan publik, pemerintah sebaiknya menggunakan sumber daya
yang ada di dalam masyarakat itu sendiri sehingga merekapun merasa
memiliki terhadap kebijakan yang diambil pemerintah.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah memiliki
otoritas dalam menentukan sebuah kebijakan sebagaimana pemikiran
Anderson (1984:12), ia memberikan pengertian kebijakan sebagai
serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti
dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu. Lebih tegas ia menyatakan
bahwa yang dimaksud kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan
oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Pengertian ini
menurutnya berimplikasi pada beberapa hal: Pertama, kebijakan selalu
mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang
berorientasi pada tujuan. Kedua, kebijakan itu berisi tindakan-tindakan
atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. Ketiga, kebijakan
merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerin-
tah. Keempat, kebijakan bisa bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah
tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. Kelima, kebijakan, dalam
arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan
bersifat memaksa (otoritatif). Dari pemikiran Anderson dapat dipahami
bahwa peran pemerintah sangatlah besar untuk menentukan kebijakan
publik tetapi tidak serta merta pemerintah memiliki kewenangan
untuk memposisikan diri sebagai satu-satunya penentu setiap kebijakan
tanpa melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.
Belajar dari pengalaman perumusan kebijakan penataan PKL
Kota Salatiga maka kontribusi dari tulisan ini terhadap pemerintah
daerah dalam perumusan kebijakan publik adalah bagaimana
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
246
masyarakat diberi ruang untuk terlibat aktif dalam perumusan sebuah
kebijakan, sebab keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui
kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan
yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani
mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka
sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional.
Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik
formal atau kebijakan-kebijakan politik yang sepihak. Jika masyarakat
telah dilibatkan untuk mengkritisi kebijakan politik, maka masyarakat
sudah tunduk patuh terhadap sistem karena merekapun merasa
memiliki dan telah menjadi bagian dari sebuah kebijakan yang diambil.
Masyarakat harus diberi ruang dalam praktek demokrasi,
sehingga mereka sebagai warga negara dapat menyatakan opini-opini,
kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara
diskursif. Ruang yang diberikan harus bersifat otonom, tanpa
intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga
berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap
terhadap problematika politik yang di dalamnya mengatur seluruh
tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu negara. Ruang publik tidak
hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah
komunikasi antar warga itu sendiri, sehingga berbagai perbedaan yang
berpotensi konflik dapat dihindari. Adanya keterlibatan masyarakat
dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki maka suksesnya
sebuah kebijakan dapat dipastikan, karena semua pihak yang terlibat
memiliki tanggung jawab bersama pula sehingga implementasi dari
sebuah kebijakan akan direspon positif oleh masyarakat.
Sebuah kebijakan pemerintah harus dibuat berdasarkan kajian
komprehensif dengan melihat sumber daya yang ada pada masyarakat.
Pengalaman perumusan kebijakan penataan PKL kota Salatiga pada
tahun 2003, merupakan sebuah proses demokrasi deliberatif yang dapat
dijadikan contoh bagi daerah lainnya. Karena itu menurut penulis
pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang bertujuan
mengembangkan institusi, berupa pemberdayaan organisasi ataupun
Penutup
247
paguyuban yang telah ada sehingga setiap program yang dicanangkan
dapat dengan mudah disosialisasikan melalui wadah yang ada.
Menyikapi pengalaman partisipasi PKL dan stakeholder Kota
Salatiga maka perlu dibentuk forum bersama antara PKL dan
stakeholder, forum ini sangat penting dalam rangka menggerakkan
partisipasi masyarakat. Gaung partisipasi yang telah terlaksana sejak
tahun 2002 sampai 2015 dan sekalipun Perda Nomor 2 Tahun 2003
tidak lagi berlaku, tetapi masih berdampak pada kehidupan PKL dan
stakeholder sampai saat ini. Karena itu dengan adanya forum bersama
maka peranya tidak hanya untuk mengatasi persoalan yang muncul
akibat interaksi antara PKL dengan stakeholder tetapi lebih pada
pengembangan komunitas yang lebih mengedepankan pemberdayaan
ekonomi, dan kehidupan masyarakat bermartabat yang saling
menopang dalam berbagai hal.
Keterbatasan Penelitian dan Agenda Penelitian Selanjutnya
Penelitian penulis lakukan dengan mendasarkannya pada fakta
empirik serta kajian berdasarkan data-data lapangan yang bersumber
dari mereka yang terlibat dalam proses partisipasi sejak awal sampai
akhir dan mereka adalah pelaku ataupun aktor partisipasi itu sendiri.
Mengingat begitu banyaknya pelaku partisipasi yang tersebar di
hampir seluruh daerah Salatiga maka tidak mungkin penggalian
informasi melalui pengamatan dan wawancara dapat dilakukan penulis
secara menyeluruh pada obyek dan pelaku, dengan demikian maka
tidak dapat dipungkiri bahwa pengamatan dan wawancara yang telah
dilakukan pada obyek dan pelaku tertentu saja kemudian dianalisis
secara ilmiah tidak menghindari kesan subjektif. Sebab itu penulis
sadar bahwa tingkat subjektifitas peneliti adalah konsekuensi yang sulit
dihindari ketika menginterpretasikan data yang diperoleh dari
lapangan dalam pembahasan maupun analisisnya. Berdasarkan fakta
tersebut maka terbuka ruang untuk studi selanjutnya dalam
mengungkap fakta dan model yang berbeda dari obyek serta pelaku
Partisipasi Publik dan Harmoni Sosial
248
yang berbeda pula sehingga dapat diperoleh analisis yang paripurna
atas semua proses yang terjadi.
Penelitian ini dilakukan semenjak tahun 2015 karena itu
sangatlah besar kemungkin kondisi sosial masyarakatnyapun
mengalami perubahan seirama berjalannya waktu. Kondisi masyarakat
yang dinamis membuka ruang untuk bagaimana penelitian selanjutnya
dilakukan, selain itu kebijakan pemerintahpun dari waktu ke waktu
akan dievaluasi sesuai kondisi masyarakatnya sehingga perubahan
terhadap setiap regulasi yang tidak sesuai konteks ataupun persoalan
yang dihadapi akan diperbaharui berdasarkan kajian terbaru. Dengan
demikian ruang bagi peneliti selanjutnya tetap terbuka dan
analisnyapun lebih komprehensif.
Ruang lainnya adalah fokus penelitian ini ada pada proses
partisipasi publik dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2003, dengan demikian dinamikanyapun dari waktu ke waktu
mengalami perubahan. Karena itu penelitian selanjutnya dapat
dilakukan dengan mengkaji permasalahan selanjutnya karena
masyarakatnya serta PKL juga dari waktu ke waktu turut mengikuti
arus perubahan. Salah satu contoh untuk kasus penataan PKL di Kota
Salatiga, peraturan daerahnya pun telah mengalami perubahan dari
Perda Nomor 2 Tahun 2003 ke Perda Nomor 4 Tahun 2015, dengan
realita tersebut terbuka ruang bagi penelitian selanjutnya.
Top Related