88
BAB IV
PERUBAHAN FUNGSI SYAIR GULONG DALAM BIDANG
SOSIAL DAN SENI TAHUN 1970-1990
A. Perubahan Struktur Isi dan Pewarisan Syair Gulong
Sebagaimana elemen kesenian dan budaya lokal pada umumnya, Syair
Gulong memiliki perubahan-perubahan dalam fungsinya sebagai khasanah sosial
dan juga seni. Dalam ranah sosial, perubahan yang dijadikan sudut pandang adalah
dinamika yang muncul di kehidupan bermasyarakat Melayu Kalimantan Barat,
sejauh mana Syair Gulong mempengaruhi komunitas Melayu di daerah hingga
melahirkan elemen-elemen baru dalam sosialitas masyarakat. Sedangkan dalam
konteks seni, perubahan Syair Gulong dilihat dengan sudut pandang artikulasi yang
tercipta dari teks-teks atau naskah syair yang mengalami perubahan dari masa ke
masa serta kaidah dan khasanah budaya yang muncul dari dinamika tersebut.
Salah satu perubahan Syair Gulong terlihat dalam pewarisannya sebagai
salah satu kesenian lokal masyarakat Melayu Kalimantan Barat warisan Kerajaan
Tanjungpura. Hilangnya batasan lingkungan dalam pewarisan dan melestarikan
kesenian Syair Gulong menjadi salah satu sudut pandang utama dari dinamika Syair
Gulong. Dari beberapa hasil wawancara lisan, ada semacam keyakinan di alam
bawah sadar narasumber bahwa Syair Gulong dahulunya hanya berkembang di
lingkungan kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Tanjungpura saja. Dari empat hasil
wawancara, meenyatakan bahwa kesenian Syair Gulong sudah ada sejak zaman
Tanjungpura93, yang mana cukup menimbulkan bias karena periodisasi masa
93 Wawancara dengan Harun Das Putra. 28 Juli 2014.
89
kerajaan Tanjungpura yang mana yang mereka maksudkan, tidak ada petunjuk atau
keterangan lisan yang konkrit seperti penyebutan tahun atau zaman pemerintahan
siapa. Tapi fakta di lapangan, pada masa-masa kerajaan sebelum Kolonialisme
Belanda dan pendudukan Jepang, dalem keraton memiliki juru tulis ataupun guru
yang mencatat semua aktivitas yang berkaitan dengan kerajaan tersebut.
Dari sudut pandang sebagai sebuah formalitas, Syair Gulong dibacakan
untuk menghibur tamu-tamu kerajaan. Menurut hasil wawancara lisan, pembacaan
syair di depan tamu kehormatan keraton sudah diwariskan sejak zaman kerajaan
Tanjungpura. Hanya saja tidak ada kejelasan periodisasi mengenai kapan Syair
Gulong berkembang sebagai bentuk penghormatan kepada tamu-tamu kerajaan
karena terbatasnya ingatan penutur lisan.
Dalam jenis informal, Syair Gulong dituturkan untuk acara yang bersifat
previlege atau interal keluarga saja semisal menunggu atau menimang bayi dalam
kegiatan tanggal pusat, atau berguru ngaji, hingga bahkan menemani tidur sang
raja, atau pangeran, atau putera mahkota. Syair Gulong, dituturkan pada setiap jenis
tersebut. Keluarga kerajaan akan memanggil penutur Syair Gulong terbaik di
kampung, kemudian dipersilahkan menuturkan syair terbaiknya dalam setiap
kegiatan kekeluargaan tersebut. Beberapa syair yang tercatat dalam perjalanan
sejarah kerajaan Tanjungpura adalah syair Awang Leman, syair Siti Zubaidah, syair
Dandan Setie, dan syair Abdul Muluk94.
94 Wawancara dengan Mahmud Mursalin, 1 Agustus 2014.
90
Gambar 2. Salinan teks warqat Kesultanan Kadriah Pontianak.
(Sumber : Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia)
Gambar tersebut merupakan salinan teks asli warqat kesultanan Kadriah
Pontianak kepada Thomas Stamford Raffles, bercap tahun 1819. Isi perkamen
tersebut kurang lebih adalah perwujudan terimakasih keraton terhadap
pemerintahan Raffles selama di Hindia-Belanda, dan beberapa keluhan akan
serangan lanun atau pembajak yang cukup mengganggu aktivitas perdagangan yang
dialami Pontianak pada masa itu95. Dari dokumen di akhir abad ke-19 tersebut,
muncul kemungkinan bahwa segala pengetahuan dan humaniora hingga
95 Hasanuddin, dkk. Pontianak dalam 1771-1900 : Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi.
(Pontianak, Romeo Grafika Pontianak, 2000), hlm. 100.
91
dokumentasi dalam bentuk foto ataupun tulisan bagi masyarakat Melayu di
mayoritas wilayah Kalimantan Barat masih sangat bergantung pada pergerakan
yang terjadi di internal kerajaan. Termasuk dalam hal ini, adalah kesenian dan
kebudayaan.
Maka tidak heran beberapa kitab-kitab syair klasik seperti Syair Bulan
Terbit, ditemukan di lingkungan internal keraton, yang berhasil diselamatkan oleh
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Pontianak. Jika kembali merujuk
secara kepustakaan, kitab syair tersebut tidak dinisbatkan kepada nama seorang
pengarang, tetapi tetap mencantumkan pembubuhan jejak seperti yang ada pada
bagian akhir syair Tuan Madhi. Bagian tersebut ada pada halaman terakhir dan
berbunyi :
“Telah selesai menerbitkan syair ini pada bulan dzul’qadah tahun 1321
Hijriah96”
Masih belum ditemukan tempat dimana Syair Bulan Terbit ini ditulis,
sehingga bisa jadi kitab klasik itu milik berbagai kerajaan yang eksis di Kalimantan
Barat, bukan saja kerajaan Tanjungpura dan turunan-nya secara khusus ataupun
kerajaan Melayu pada umumnya, tetapi juga kerajaan tetangga seperti Kesultanan
Brunei Darussalam. Bagian akhir dari naskah Syair Tuan Madhi tersebut
menunjukkan bahwa penulis dari syair tersebut telah melakukan pencatatan
periodisasi dimana teks syair selesai dikemas dalam sebuah kitab. Sayangnya, tidak
ada kejelasan mengenai tanggal ataupun bulan kapan syair Tuan Madhi ini
diselesaikan, tetapi fakta tertulis bahwa tahun 1321 Hijriah dapat diterjemahkan
96 Syair Tuan Madhi, 1923.
92
sebagai tahun 1923 dalam kalender Masehi.
Gambar 3. Halaman depan Syair Bulan Terbit
(Sumber : Koleksi Arsip Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Pontianak)
Masalah yang muncul adalah kapan mulai berkembangnya kesenian Syair
Gulong di luar lingkaran atau eksternal lingkungan kerajaan tersebut. Diluar
lingkungan kerajaan Tanjungpura, kesenian Syair Gulong justru membentuk
karakternya sendiri hingga nanti munculnya dinamika dalam penyebutan kesenian
ini dari Kengkarangan menjadi Syair Gulong. Berikut adalah cuplikan penelitian
yang menjelaskan kesenian ini di luar lingkungan kerajaan :
“Pada setiap upacara yang dilaksanakan oleh Raja atau Pangeran atau
pejabat kerajaan lain serta para kepala wilayah yang terendah selalu ada saja
93
penyair yang melantunkan syair gulung. Selanjutnya penduduk negeripun
ikut-ikutan membacakan syair gulung untuk upacara perkawinan, sunatan,
dan lain-lain97.”
Pada bagian awal penelitian, konteks perubahan fungsi dilihat secara
lingkungan dimana kesenian Syair Gulong dibacakan. Karena seperti yang
disampaikan dalam makalah tersebut, bahwa Syair Gulong pada awalnya hanya
dibacakan di internal keraton saja tetapi kemudian juga dibacakan pula di luar
lingkungan kerajaan.
Dikotomi dibacakan dalam ataupun luar lingkungan kerajaan sebenarnya
tidak memiliki periode sejarah yang pasti kapan batasan-batasan tersebut
diberlakukan. Atau setidaknya pada masa pemerintahan atau raja siapa, otorisasi
tersebut dilaksanakan. Dalam periode 1970-1990, penyair gulong yang masih hidup
mengatakan bahwa mereka pernah diundang untuk membacakan Syair Gulong di
hadapan keraton98. Perlu diketahui bahwa 1970-an, konsorsium kerajaan-kerajaan
di beberapa daerah Kalimantan Barat sudah tidak memiliki pengaruh yang berarti.
Bangunan-bangunan seperti masjid keraton, gapura, pagelaran keraton, dan
semacamnya hanya simbol-simbol yang banyak ditinggalkan oleh masyarakat.
Dan berbicara masalah konteks sosial, ada dikotomi bahwa kesenian Syair
Gulong wajib dibacakan dengan berdiri di depan khalayak orang ramai. Jika
merujuk kepada substansinya sebagai sebuah seni pertunjukkan, maka definisi
tersebut mengonfirmasi kebenaran bahwa Syair Gulong harus dibacakan di depan
orang banyak sebagai sebuah kesenian yang dipertunjukkan.
97 Hermansyah Ismail, loc.cit. 98 Wawancara dengan Harun Das Putra. 28 Juli 2014
94
Tetapi tidak setiap pembacaan Syair Gulong harus dibaca ketika ada
kegiatan atau orang ramai berkumpul menyaksikan. Ada pembacaan syair yang
dilakukan dirumah-rumah penyair, atau ketika memasak untuk suatu acara, kerap
kali di dapur dituturkan Syair Gulong sambil menunggu masakan jadi.
Kesenian ini masuk dalam kesenian tradisional Melayu yang ada di
Kalimantan Barat. Sastra lokal ini adalah kesenian yang menjadi pionir bagi
perkembangan kesenian melayu lainnya di Kalimantan Barat. Ini karena Syair
Gulong memiliki perjalanan sejarah seperti halnya perkembangan kerajaan
Tanjungpura dan juga perkembangan budaya Melayu di Kalimantan Barat. Syair
Gulong memiliki ciri dan karakternya sendiri. Berbeda dengan kesenian-kesenian
melayu tradisional lainnya, keindahan serta kekuatan Syair Gulong adalah terletak
pada lelaguan dan penutur yang menyanyikan syair-syair99.
Beberapa penelitian ataupun dokumen yang menulis mengenai Syair
Gulong, mendeskripsikan pengertian kesenian tersebut dengan karakteristik seni
pada masa kontemporer. Sedangkan secara substansi, Syair Gulong adalah salah
satu wajah kesenian bertutur syair yang secara fakta, merupakan kesenian yang
hampir berkembang di seluruh Kalimantan Barat. Karena pada hakikatnya,
masyarakat melayu Kalimantan Barat memiliki tradisi bersastra yang relatif baik100.
Dari pengertian tersebut, maka kesenian Syair Gulong memiliki makna
yang luas secara konteks maupun substansi. Luasnya persebaran makna akan Syair
Gulong menyebabkan luasnya juga dinamika fungsi yang mengalami perubahan
99 Wawancara dengan Bapak Mahmud Mursalin, Ketapang, Jumat 1 Agustus 2014. 100 Chairil Effendy, op.cit., hlm. 99
95
seiring berjalannya zaman.
Penuturan dan melagukan syair ini memiliki proses pembelajaran yang
cukup unik dalam menciptakan kesenian tradisional khas Kerajaan Tanjungpura
tersebut. Di dalam lingkungan keraton, Syair Gulong atau Kengkarangan yang
dituturkan berawal dari sebuah cerita dan hikayat. Hikayat dan cerita tersebut
tertulis dalam kitab-kitab kecil. Buku-buku yang dibacakan bermacam-macam
mulai dari tafsir syarah dari kitab-kitab besar fiqih dan tasawuf yang masuk ke
kerajaan selama proses Islamisasi berlangsung, hingga ke cerita masyhur seperti
Siti Zubaidah atau Dandan Setie.
1. Pelisanan Sastra Tulis
Teks sastra lisan yang populer ditengah satu masyarakat tidak semata-mata
hidup dalam tradisi lisan. Dalam berbagai kesempatan, teks dan naskah sastra
tersebut diawetkan dalam bentuk tulisan, ataupun direkam. Salah satu kearifan lokal
yang menjadi ciri kesenian Syair Gulong ada dalam kenuikannya melisankan teks-
teks syairnya baik yang populer di masyarakat maupun tidak. Terkait konsep
pelisanan teks-teks syair, Chairil Effendy menuliskan sebagai berikut :
“Perbedaan penikmatan antara teks sastra tulis dan teks sastra lisan di tengah
masyarakat Melayu (....) pada umumnya hampir tidak ada101. Teks yang
tersedia dalam bentuk naskah (tulisan tangan) atau kitab (cetakan) belum
sepenuhnya dikonsumsi secara individual melainkan dinikmati bersama-
sama. Pada umumnya teks sastra tulis dibaca dengan suara nyaring di depan
khalayak penikmatnya untuk berbagai keperluan102.”
Merujuk kepada pendapat Sutrisno yang dikutip dalam Chairil Effendy
tersebut, bahwa ternyata output pelisanan sastra tulis adalah dalam caranya
101 (Sutrisno, 1981:17-8; Teeuw, 1984:280-1; dan Baried, dkk) dalam Chairil., hlm. 18 102 Ibid.
96
menikmati keindahan seni bertutur syair. Tanpa menyadari secara konteks syair
yang dibacakan apakah berasal dari kitab syair ataukah teks-teks Kengkarangan
yang ditulis secara sepihak. Namun tahun 1970, ketika kebudayaan dan kesenian
Melayu mulai dihidupkan kembali, perlombaan-perlombaan bertutur Syair Gulong
mulai berkembang di masyarakat dan mengharuskan kompetitor penyair
melagukan lagu-lagu untuk kitab-kitab syair seperti Syair Siti Zubaidah, Syair
Dandan Setie, menjadi standar umum perlombaan bersyair103. Ada pergeseran
makna pelisanan sastra lisan yang terjadi dari sekedar membacakan dengan
menambahkan elemen melagukan naskah-naskah syair yang dibacakan.
Perlombaan pada masa tersebut banyak melibatkan pembacaan kitab syair melayu
periode klasik. Kitab-kitab tersebut secara umum adalah naskha-naskah yang
diselamatkan oleh masyarakat diantara akhir abad ke-19 hingga 1920.
2. Teks syair yang berubah-ubah
Dinamika Syair Gulong dalam konteks sosial lainnya adalah teks-teks Syair
Gulong yang selalu berbeda satu dengan yang lainnya. Ini yang menyebabkan
perkembangan kesenian bertutur syair ini unik karena penulisan syair secara
substansi mengalami metamorfosis kesusasteraan, meninggalkan wujud aslinya
yang dahulu berawal dari kitab-kitab syair menuju kengkarangan-kengkarangan,
teks-teks syair yang aktual, mewakili jiwa zamannya sesuai dengan masa ditulisnya
syair tersebut, dan memiliki kerentanan atau kepunahan secara waktu.
Sastra lisan merupakan suatu fenomena sosial budaya yang hidup baik di
tengah masyarakat yang belum terpelajar maupun di tengah masyarakat yang sudah
103 Wawancara dengan Harun Das Putra, 28 Juli 2014.
97
terpelajar104. Fakta bahwa kesusasteraan lisan adalah sebuah kepastian yang tidak
memandang strata sosial, ia adalah jiwa bagi zamannya, dan selayaknya sebuah
jiwa tidak akan memilih tubuh mana yang ingin dia tempati dan hidup.
Proses menurunkan teks sastra lisan adalah melintasi generasi demi
generasi, dari mulut ke mulut, sebagaimana upaya masyarakat melestarikan legenda
atau mitos, yang terbukti dari masa ke masa. Penyebaran sejalan dengan dinamika
komunitas pendukungnya tidak terbatas hanya pada satu tempat atau lingkungan
budaya tertentu.
Pentransmisian atau penurunan teks sastra lisan dari generasi ke generasi
berikutnya dilakukan dari mulut ke mulut. Penyebarannya sejalan dengan dinamika
mobilitas komunitas pendukungnya: tidak terbatas hanya pada satu tempat atau
lingkungan budaya tertentu105. Oleh sebab itu, di tempat-tempat yang secara
geografis berjauhan dan di lingkungan yang relatif berbeda, kerap dijumpai teks-
teks lisan yang menunjukkan paralelitas, misalnya dalam hal motif106. Berikut
adalah kaidah sastra lisan di masyarakat Melayu Kalimantan Barat yang dijelaskan
dalam Chairil :
“Sastra lisan merupakan karya seni yang bersifat “sesaat” atau “seni yang
hilang dalam waktu”. Begitu sebuah teks selesai dipentaskan, fenomena
kesastraan yang persis sama tidak mungkin terulang kembali107, Faktor
penyebabnya adalah “penyalinan”, jika dapat dikatakan dengan istilah
tersebut, tidak dilakukan terhadap “naskah induk yang kongkret” ...tetapi
pada “naskah induk yang imajiner”...Tidak pernah ada teks sastra lisan yang
persis sama bila dipentaskan dalam waktu berbeda, sekalipun dipentaskan
oleh penutur yang sama.”
104 (Finnegan 1977:3, Goody 1992:14, Liaw 1975:1), dalam Chairil., hlm.93 105 Thompson, 1977:5 dalam Chairil., hlm. 93. 106 Ibid. 107 Ibid.
98
Dalam penelitian tersebut, dikotomi teks-teks sastra lisan yang hidup
bersama seni pertunjukkan mengalami dinamika yang cukup progresif jika
mengambil konteks teks atau syair yang dilantunkan, disyairkan, dilagukan, dalam
sebuah kegiatan adat ataupun hajatan yang bersifat pertunjukkan adalah selalu
berbeda satu dengan yang lainnya. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa kesenian
bertutur syair di Kalimantan Barat, termasuk bertutur syair gulong.
Penambahan nilai dalam kesenian Syair Gulong juga terdapat pada sindiran,
atau dalam hal ini juga kritik. Sindiran tersebut biasanya adalah kritik yang
‘menyentil’ orang-orang tertentu terkait karakter, perilaku, sepak terjang, dan lain
sebagainya108. Namun kritikan tersebut tidaklah bersifat menghakimi atau juga
memojokkan oknum yang dikritik melainkan hanya sekedar sentilan yang
kemudian ditertawai oleh khalayak yang mendengarnya. Secara umum sindiran
dalam Syair Gulong bukanlah dimaksudkan sebagai insult, atau peleecehan di muka
publik. Tetapi lebih kepada hal-hal kecil dalam kehidupan yang sebenarnya layak
untuk ditertawakan.
Hal ini mencerminkan tata krama masyarakat Melayu dalam mengkritik
seseorang yang begitu halus dan bahkan kritiknya pun dalam bentuk syair. Berikut
bentuk bentuk sindiran halus yang terselip di beberapa bait teks syair :
Seksi dana pak Nasir dan Pak Abdullah
Dalam sidang pembangunan beliau tak mau kalah109
Jadi terpakse juge mengarang
Karene memenuhi permintaan orang
Kisah dahulu lame berselang
Begitu maksud lebih dan kurang
108 Wawancara dengan Mahmud Mursalin. Ketapang 1 Agustus 2014 109 Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005.
99
Membuat syair tidaklah mudah
Lebih menyangkut kisah sejarah
Mau sembarangan takut tersalah
Hanye diserahkan kepade Allah110
Bait syair tersebut jelas menggambarkan kondisi penyair yang mengalami
kesulitan dalam mengarang syair. Penekanan membuat syair tidaklah mudah, lebih
menyangkut kisah sejarah, menguraikan paradigma bahwa mengomposisi syair saja
sudah sulit apalagi menceritakan peristiwa sejarah.
Dinamika kritik mengkritik dalam Syair Gulong adalah terletak pada
substansi kritik yang bisa mengundang banyak arti dalam berbagai sudut pandang.
Kasus teks syair Darbi D Has dapat divisualisasikan sebagai kritik terhadap diri
sendiri karena kesulitan yang dialaminya dalam mengarang syair, atau justru kritik
kepada publik yang ingin menyuarakan bahwa mengarang Syair Gulong tidaklah
mudah, karena membutuhkan kecerdasan yang lebih dalam mengkomposisi setiap
bait-bait syairnya.
Wahai tuan handai dan aulan
Beserte hormat saye haturkan
Adat budaye jangan dilupakan
Agar tak punah di telan zaman
Di tanah Kayung pembangunan pesat
Baik di laut maupun di darat
Banyak peluang boleh di dapat
Banyaklah usaha boleh di buat
Tetapi karena ilmu tak ada
Peluang yang ada terbuang saja
Di isi orang awak menganga
Akhirnya duduk mengurut dada111
110 Dardi D. Has, Syair Hikayat Tanjungpura, 2006. (Pontianak, STAIN Pontianak Press,
2006), hlm. 111 Syair Pemuda dan Sejarah Tanah Kayung, disampaikan pada Festival Budaya Bumi
Khatulistiwa (FBBK IX) Kalimantan Barat pada Kamis 3 Oktober 2013.
100
Pilihan-pilihan kata seperti “Tetapi karena ilmu tak ada/Peluang yang ada
terbuang saja/Di isi orang awak menganga/ akhirnya duduk mengurut dada”
mendeskripsikan ironi konsep kehidupan yang terjadi jika tidak ada keterampilan
maka kesempatan akan diambil orang lain dan pada akhirnya hanya bisa terduduk
mengurut dada. Mengurut dada mengkiaskan kekecewaan dan rasa menyesal.
Sebagai sebuah media sosial, Syair Gulong bertambah secara fungsional
dalam hal kritik terhadap lingkungan sosial sebuah masyarakat. Syair yang
sebelumnya berwarna puji-pujian, cerita-cerita, dan hikayat dan kisah-kisah
petualangan ajaib kemudian mengalami perubahan dengan bentuk-bentuk syair
yang baru yang sarat akan fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat, refleksi
masyarakat atas pemerintahan atau kehidupan mereka, hingga hiburan-hiburan
yang bersifat merakyat.
Selain itu, Syair Gulong juga menjadi kesenian masyarakat yang
didalamnya ada sebuah proses ‘komunikasi’ rakyat yang secara tematik berbicara
tentang kehidupan masyarakat yang tengah terjadi saat itu. Dalam beberapa bagian
syair, telah ada sentilan-sentilun berupa kritik yang berusaha rakyat sampaikan
lewat syair-syair mereka112. Hal ini membuat pencipta serta penutur syair adalah
orang yang kemudian peka terhadap fenomena kehidupan bermasyarakat serta
berusaha mengkomunikasikannya kepada rakyat.
Dilihat dari isinya, Syair Gulong mengekspresikan berbagai hal mulai dari
sejarah kerajaan, pergaulan muda-mudi, percintaan, sampai pada kehidupan sosial-
budaya yang tengah terjadi seperti krisis ekonomi, krisis kepemimpinan, hiruk-
112 Wawancara dengan Mahmud Mursalin. Ketapang 1 Agustus 2014
101
pikuk politik, dekadensi moral kaum muda, dan lain sebagainya113.
3. Wadah Syair Gulong
Wadah Syair Gulong adalah tempat yang digunakan untuk menyimpan
tulisan-tulisan syair tersebut.. Sumber tertulis yang mengutip persoalan tempat
menyimpan Syair Gulong ada di dalam Yudo Sudarto :
“Semula sastra ini bernama kengkarang yang artinya sesuatu yang dikarang-
karang. Ada yang menyebutnya syair layang karena isinya selayang
pandang. Lama-kelamaan karena syair tersebut selalu digulung dan
digantung pada paruh burung kertas dipuncak kekayun. Maka disebut Syair
Gulung114.”
Dalam pengertian secara umum, Syair Gulong adalah bait-bait syair Melayu
yang ditulis di kertas lalu digulung, sebagaimana gulong dalam bahasa Melayu
artinya adalah gulung atau digulung. Disebut syair gulung sebab setelah ditulis
diatas kertas, kertas yang bersangkutan digulung kecil-kecil kemudian digantung di
dinding rumah–entah pada tanduk binatang penghias rumah, entah pada benda
lainnya115.
Sumber lisan lainnya menyebutkan ada Syair Gulong yang disimpan dii
dalam paruh burung dan digantung pada tiang-tiang rumah agar ia tidak lupa
dimana meletakkan gulungan syairnya. Belum ada keterangan ataupun konfirmasi
paruh burung apakah yang digunakan untuk menyimpan gulungan kertas tersebut.
Namun beberapa pengakuan dari hasil wawancara lisan, paruh burung itu besar,
dan berwarna putih. Jika mengacu kepada ekosistem fauna di Kalimantan Barat,
maka kemungkinan paruh burung yang digunakan untuk menyimpan syair tersebut
113 Chairil Effendy, op.cit., hlm. 95. 114 Yudo Sudarto, op.cit., hlm. 123. 115 Ibid.
102
adalah paruh dari burung Enggang Gading. Tidak ada pernyataan yang jelas
mengenai analisis tersebut, tetapi fakta secara lisan mengakui ada suatu saat mereka
mengalami kelupaan sehingga paruh yang digunakan untuk menyimpan Syair
Gulong tersebut lembab karena tertetes air hujan, menyebabkan kertas syair basah
dan lapuk. Di beberapa kesempatan berikutnya, mereka sudah menemukan
gulungan dalam paruh tersebut menjadi bubuk karena dimakan rayap116.
4. Penutur yang tidak selalu Imam Masjid
Sebelum hilangnya batasan perkembangan syair gulong. Imam masjid
adalah figur yang menggambarkan deskripsi alim ulama, orang yang memahami
agama dan hal-hal religiusitas lainnya di dalam Islam sehingga diyakini memiliki
kebijaksanaan tentang keilmuan dan lain sebagainya. Di lingkungan keraton, imam
masjid menjadi tokoh yang memiliki pengaruh terhadap sepak terjang ataupun
keputusan yang diambil oleh pihak Kerajaan.
Penutur syair yang mengajarkan Syair Gulong di masyarakat melayu
umumnya adalah seorang ulama atau imam masjid. Namun ketika tradisi lisan
tersebut berkembang di perkampungan, maka penutur syair di masyarakat luar
lingkungan kerajaan pun menjadi lebih variatif. Penutur syair, dalam hal ini Syair
Gulong, merambah ke kampung-kampung, adapula yang menjadi guru bagi santri-
santri dari pesantren, pemuda yang tangkas, kepala kampung117, dan lain
sebagainya yang memiliki kelebihan dalam suara yang merdu dan pandai membaca
Al-Quran dengan baik. Ketentuan ini kemudian menjadikan dasar pembaca dan
penutur Syair Gulong berdasarkan kepada kepandaian orang melagukan syair
116 Wawancara dengan Harun Das Putra. 28 juli 2014 117 Wawancara dengan Uti Saban. 3 Agustus 2014.
103
dengan kemampuan suara yang merdu.
Di era kontemporer, variasi penurunan kesenian Syair Gulong dalam
konteks pembelajaran ataupun pelestarian, semakin meluas. Dinamika yang terjadi
di masyarakat perkotaan adalah ajang-ajang perlombaan syair ataupun pentas adat
yang mengompetisikan Syair Gulong sebagai salah satu cabang yang dilombakan.
Perlombaan-perlombaan tersebut berlangsung berkala, seperti dua kali dalam
setahun, atau sekali dalam setahun. Ada juga yang kemudian menjadi mata
pelajaran atau muatan lokal di berbagai sekolah ataupun lembaga sejenisnya.
5. Penyair Gulong Laki-Laki
Secara umum penyair Syair Gulong adalah laki-laki. Walaupun tidak ada
dikotomi khusus mengenai adanya pembenaran bahwa Syair Gulong boleh
dilantunkan atau dilagukan oleh perempuan, tetapi pada tahun 1950-an, kesenian
ini muncul dan dilestarikan oleh pemuda-pemuda Melayu yang memiliki suara
yang indah serta mampu bersyair. Setidaknya ada penjelasan dari beberapa sumber
lisan bahwa pada masa pendudukan Jepang, kegiatan kebudayaan masyarakat
Melayu di Kalimantan Barat lumpuh total. Pelarangan menyanyikan lagu-lagu
Melayu, kegiatan adat, digantikan dengan lagu-lagu kebangsaan Jepang, atribut
berpakaian harus bergaya Nippon, dan sebagainya. Gadis atau perempuan—
perempuan Melayu yang cantik dan memiliki suara yang indah menghilang, dan
hampir sebagian besar dari populasi perempuan di Kalimantan Barat selama masa
pendudukan Jepang118.
Pendudukan tentara Jepang di Kalimantan Barat tidak berlangsung lama,
118 Wawancara dengan Harun Das Putra. 28 Juli 2014
104
tetapi dampak penderitaan yang dialami oleh masyarakat Kalimantan Barat pada
umumnya adalah sangat luar biasa. Masyarakat tidak saja kehilangan pimpinan
mereka yang sangat mereka agung-agungkan. Masyarakat Ketapang kehilangan
salah satu panembahannya yaitu Gusti Muhammad Saunan yang diculik dan
disungkup oleh tentara Jepang. Jasad beliau sampai sekarang tidak diketahui
rimbanya119.
Dengan menghilangnya sebagian besar kaum perempuan Melayu, sanak
saudara, serta juga raja sekaligus pewaris Kerajaan Tanjungpura yang ke-16,
endemik depresi kebudayaan dan kesusasteraan Melayu di Kalimantan Barat
mengalami depresi yang cukup serius sehingga pergerakan dari tahun 1942 hingga
pasca-kemerdekaan cenderung kearah politik dan kedaerahan. Bahkan setelah era
tersebut, tahun 1970-an, dimana kesenian dan kebudayaan di Kalimantan Barat
kembali dihidupkan lewat perlombaan-perlombaan, belum ditemukannya bukti
otentik bahwa penyair perempuan telah ada pada masa kebangkitan tersebut.
Kemunculan penyair gulong perempuan baru terjadi setelah memasuki
tahun 2000-an, dimana kriteria perlombaan baca Syair Gulong memasukkan
kategori untuk penyair perempuan120. Belum ada alasan yang cukup jelas apakah
penjajahan Jepang akhirnya menciptakan trauma terhadap kaum perempuan untuk
menjadi penyair gulong hingga awal millenium. Tetapi salah satu Festival Budaya
Bumi Khatulistiwa ke XI Kalimantan Barat 2013, adanya dokumen yang
mencantumkan nama penyair gulong wanita yang diikutkan dalam festival tersebut.
119 Poltak Johansen, op.cit., hlm 150. 120 Wawancara dengan Mahmud Mursalin, 1 Agustus 2014.
105
Berbicara soal batasan, mengenai penyair gulong yang harus laki-laki
sebenarnya tidak menunjukkan bahwa kesenian syair ini membatasi diri hanya
kepada pria yang memiliki talenta suara dan kecerdasan dalam melagukan syair
saja. Dan belum diketahuinya fakta dan otentitas mengenai keharusan tersebut.
Hanya saja, bukti-bukti selama penelitian menemukan penyair-penyair gulong yang
semuanya adalah laki-laki.
Syair Gulong selanjutnya berkembang dalam kegiatan-kegiatan adat
Melayu Kalimantan Barat di beberapa daerah seperti Ketapang, Sambas, dan
Pontianak. Kalimantan Barat memiliki setidaknya di daerah-daerah. Hasil warisan
pemerintahan kolonial Belanda. Namun kesenian ini secara umum hanya terjadi di
ketiga kabupaten besar tersebut. Untuk kesepuluh wilayah lainnya, seni bertutur
syair telah mengalami perkembangannya masing-masing secara terciptanya
karakteristik bertutur syair baru, dialek dan penggunaan bahasa, yang semakin
mencirikan lokalitas daerah masing-masing, yang keragamannya dan
karakteristiknya berbeda dari konseptualitas Syair Gulong.
6. Tema Syair Yang Berubah-Ubah
Meninjau secara sudut pandang penulisan syairnya, kitab-kitab syair
melayu klasik yang ditulis pada tahun 1920-an masih merepresentasikan kadar
kesusasteraan Melayu yang asli, dalam hal genre, masih membawa warna dan
karakteristik kesenian dan budaya yang kaya akan khasanah keagamaan, dalam hal
ini, agama Islam. Cakupan penceritaan, pengambilan majas, masih sangat sufi-
sentris. Cerita-cerita tentang kehambaan seorang manusia kepada Tuhannya, pasal-
pasal syukur kepada Tuhan, bentuk-bentuk shalawat kepada Nabi, semuanya masih
106
bersandarkan kepada kepercayaan religiusitas Islam.
Pada masa-masa selanjutnya, syair-syair yang mulai ditulis oleh masyarakat
lokal, di perdesaan maupun perkampungan, hanya mengutip sedikit khasanah-
khasanah melayu tersebut dan diimplementasikan kepada semangat lokalitas.
Tahun 1970-1990an, syair-syair yang muncul semakin menunjukkan lokalitasnya
yang membicarakan negeri Kayung, Kalimantan Barat, dan kerajaan-kerajaan
Tanjungpura, Keraton Kadriah Pontianak, dan lain sebagainya.
Berikut adalah contoh dari teks syair kontemporer yang menunjukkan tema-
tema kearifan lokal-nya :
Kepada Tuk Upui disampaikan kisah
Aturan masyarakat dan pemerintah
Tak boleh lagi kawin sedarah
Aturan lain banyak diubah121
Cikram adalah tanda ikatan pertunangan antara dua insan
Kalau sudah jazam dara pilihan
Diutus orang-orang yang dituakan
Untuk datang kepihak dara pilihan122
Dalam adat melayu, tidak boleh adanya perkawinan dalam satu keluarga,
atau dengan kata lain, saudara laki-laki dengan saudara perempuan, kakak dengan
adik, keponakan dengan sepupu, dan lain sebagainya. Pembagian secara hukum
atau norma adat Melayu yang berlaku akan sangat luas jika merujuk kepada
pelarangan menikah satu tali keluarga seperti makna yang tersirat dalam penggalan
bait syair Hikayat Tanjungpura tersebut. Namun, potongan tersebut cukup
memberikan informasi bahwa dalam masyarakat Melayu pernikahan satu darah
121 Dardi D. Has, Syair Hikayat Tanjungpura, 2006. 122 Cukilan Adat dan Budaya Sambas, 2009.
107
atau secara denotasi adalah masih dalam satu keluarga adalah hal yang tabu.
Sedangkan penggalan yang kedua berbicara tentang adat-adat sebelum
melaksanakan pernikahan yang hidup di masyarakat Melayu Sambas. Adanya
ikatan pertunangan sebelum menikah, memberikan informaasi bahwa proses
menikah secara adat Melayu khususnya di daerah Sambas sangat beragam. Kedua
teks tersebut menunjukkan begitu banyaknya kearifan lokal masyarakat Melayu
Kalimantan Barat yang dikemas dalam bentuk sastra syair.
7. Dokumentasi dan Media Pengabadian
Sebelum adanya media cetak, komputer, dan mesin fotografi, Syair Gulong
merupakan alternatif warga masyarakat Melayu yang digunakan untuk
mendokumentasikan dan mengabadikan peristiwa-peristiwa tertentu, secara
kesenian lisan maupun tulisan. Tampak dalam beberapa contoh teks syair seperti
berikut :
Sejarah mencatat disaat itu
Serta tahunnya bilanpun tentu
Saatnya 23 oktober tujuh belas tujuh satu
Selesai dikerjakan sepekan waktu123
Teks tersebut adalah contoh dokumentasi pengetahuan sejarah yang
dilakukan Harun Das Putra, penyair gulong di Pontianak, menceritakan kembali
periode dimana Kesultanan Kadriah Pontianak pertama kali berdiri.
Acara seperti peresmian pemekaran daerah, memperingati hari-hari
nasional, kejuaraan daerah dan sebagainya menjadi jenis-jenis kegiatan yang
didahulukan pentas kesenian adat secara umum, dan penuturan Syair Gulong secara
123 Harun Das Putra, Bumi Khatulistiwa Kote Pontianak Negeri Syair Melayu. (Pontianak,
Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Inkom Kota Pontianak, 2008), hlm. 1.
108
khusus124. Tahun 2008, Harun Das Putra diundang sebagai tamu walikota Pontianak
dan penggalan bait tersebut adalah salah satu bagian dimana ia menulis tentang
sejarah Hari Jadinya Kota Pontianak yang bertanggal 23 Oktober 1771.
Dalam konteks kesenian masyarakat, Syair Gulong tidak berdiri sendiri
sebagai kesenian yang mandiri. Ia membutuhkan wadah seperti kegiatan adat,
perkawinan, hajatan, pentas seni dan budaya, serta acara-acara budaya yang mampu
menyediakan pembukaan sebelum setiap acara dimulai. Maka dari itu hampir
disetiap kegiatan adat masyarakat Melayu di beberapa wilayah kebudayaan di
Kalimantan Barat dibuka dengan penuturan Syair Gulong. pembukaan
Mengucapkan terima kasih pelaksana kegiatan adat/orang yang dituakan/penutur
syair, dsb
Sebelum melanjutkan uraian sya’ir
Selamat datang ucapan terukir
Yth Bpk Mayjend TNI Marinir HM Suandi Thahir
Di kota Jakarta mengukir meniti karir
Juga kepade keluarge beserta rombongan
Ucapan selamat datang tiada ketinggalan
Untuk menghadiri acara pernikahan keponakan
Di Kota Ketapang tanah kelahiran penuh kenangan125
Jadi terpakse juge mengarang
Karene memenuhi permintaan orang
Kisah dahulu lame berselang
Begitu maksud lebih dan kurang
Oleh panitia meminta kami
Membuat sya’ir membuat puisi
Karene tak sanggup membuat sendiri
Kami tak bantu dengan pak Dardi126
124 Wawancara dengan Hermansyah., Ketapang 2 Agustus 2014 125 Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia oleh Mahmud
Mursalin, Ketapang, 8 Desember 2013. 126 Dardi D. Has, loc.cit.
109
Bait-bait dalam Syair Gulong kontemporer semakin menonjolkan elemen-
elemen sosial seperti penghormatan kepada tokoh masyarakat, lembaga
masyarakat, dan lain sebagainya. Adanya kaidah yang berubah dari sudut
kepenulisan secara tekstual, seperti kata-kata “Selamat datang ucapan teukir/Yth”
menunjukkan nilai-nilai retoris sebagaimana kata sambutan dalam pidato ataupun
upacara formal. Penggalan bait syair diatas menyampaikan sebuah bentuk
formalitas yang mengharuskan penyair gulong menyebutkan nama-nama keluarga,
atau tokoh, ataupun rombongan masyarakat dari beberapa kampung sebagai bentuk
penghormatan, dan dokumentasi secara tekstual bahwa mereka pernah menghadiri
acara tersebut.
8. Syair Gulong sebagai penyebaran nilai-nilai keislaman
Pasal Syukur Kepada Tuhan
Pasal syukur hamba sebutkan
Waijblah kita mesti kita syukurkan
Memberi syukur kepada nikmat
Banyakan syukur mereka selamat127
Selain hikayat dan cerita, Syair Gulong merupakan alat bantu menyiarkan
nilai-nilai agama Islam dan memiliki efektivitas tersendiri dalam penyampaiannya.
Nilai tambah tersebut terdapat dari kandungan isi syair yang berbobot hukum Islam
dan penuturannya yang disertai hiburan yang memudahkan masyarakat untuk
menangkap maksud dari apa yang disampaikan di dalam syair tersebut.
Sejarah syiar-syiar Islam dalam kesusasteraan Melayu terbentang panjang
dari abad ke-7 hingga akhir abad ke-19. Dari Hamzah Fansuri hingga penyair yang
tidak menyebutkan namanya dalam kepenulisan syair maupun hikayat yang
127 Syair Bulan Terbit 1922. (Pontianak : Koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Pontianak, 1923), hlm. 3.
110
dikarangnya. Dari periode kitab-kitab sastra klasik hingga naskah dan teks syair
kontemporer. Dan secara umum, syi’ar Islam mengajak masyarakat agar
menebarkan semangat amar ma’ruf nahi munkar, menyeru kepada kebaikan dan
mengingatkan keburukan, mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam syair Bulan Terbit dituliskan :
Beruntung kita menjadi umat
Dunia akhirat mereka selamat
Memberi syukur jangan lupakan
Apa larangan kita jauhkan
Hakekat takut kepada Tuhan
Mengerjakan sekalian apa perintahkan128
Dalam kitab syair klasik, kontekstual ajaran Islam disampaikan secara
gamblang, tanpa memilih konotasi yang dikatakan cukup berat atau menyulitkan
pemahaman bagi pembacanya. Penggalan bait seperti Hakekat takut kepada
Tuhan/Mengerjakan sekalian apa perintahkan adalah bentuk yang lugas dari prinsip
ketaqwaaan dan keimanan seorang muslim kepada Allah SWT.
9. Perubahan Kengkarangan menuju Syair Gulong
Perubahan kengkarangan menjadi Syair Gulong bukanlah evolusi secara
menyeluruh seperti dinamika kesusasteraan syair yang ditunjukkan dalam periode
sastra melayu klasik di abad 7-19. Secara umum, definisi serta maknawi
kengkarangan dan Syair Gulong adalah sama, sama-sama kesusasteraan syair yang
dibacakan di depan khalayak, dalam bait-bait puitikal ditulis dalam lembaran demi
lembaran yang panjang hingga bergulung-gulng, yang ketika dibacakan perlahan
gulungan kertas tersebut terurai hingga ke lantai.
128 Ibid.
111
Namun letak dinamikanya ada pada penamaan kesenian bertutur syair
tersebut. Bagi masyarakat di perkampungan seperti di Kampung Dare, Kampung
Jelai, mereka menyebut kesenian tersebut dengan istilah kengkarangan. Sedangkan
masyarakat yang bermukimnya bermuara ke arah kota, dalam hal ini ketapang,
mereka lebih mengenalnya dengan istilah Syair Gulong. Berikut adalah definisi
Kengkarangan dan Syair Gulong dalam Chairil Effendy :
“Salah satu genre sastra yang berkembang biak di tengah masyarakat
Ketapang, bahkan di tengah kaum mudanya, adalah syair. Masyarakat di
Kampung Jago, kampung Sempurna, kampung Penduhun Melayu,
kampung Bayur Rempangi, dan kampung Sawah menyebutnya
kengkarangan.
Dan sementara itu, masyarakat Melayu di kampung-kampung lain
dan di kota Ketapang sendiri menyebutnya syair gulung. ...Ketika
disenandungkan dalam posisi berdiri di depan khalayak pendengarnya,
gulungan kertas syair yang dapat dimasukkan ke dalam saku baju atau
celana itu dibuka sedikit demi sedikit. Kerap terjadi, bila teks syairnya
panjang, gulungan kertas yang telah dibuka itu berserakan di lantai129.”
Merujuk kepada penelitian Chairil dapat ditarik poin bahwa pengetahuan
masyarakat lokal diluar lingkaran pusat perkembangan budaya, dalam hal ini
Kabupaten Ketapang sebagai pusat persebaran kesenian ini, menyebut Syair
Gulong dengan sebutan kengkarangan. Fakta yang didapat dilapangan adalah
penutur sumber lisan memang menunjukkan penyebutan yang berbeda-beda ; Uti
Saban, penutur Syair Gulong Desa Padang, Kecamatan Benua Kayong
menyebutnya dengan kengkarangan, Mahmud Mursalin, penyair gulong era
kontemporer Desa Tuan-Tuan Kecamatan Benua Kayong menyebutnya dengan
Syair Gulong. Fakta lainnya adalah Harun Das Putra, penyair yang hidup di
Kelurahan Kota Baru, Pontianak, menyebutnya dengan bertutur.
129 Ibid.
112
Perubahan kengkarangan menjadi Syair Gulong adalah proses transformasi
sebuah nilai kesusasteraan Syair Melayu menjadi kesenian Syair Gulong. Jauh
sebelum kengkarangan berkembang syair-syair yang ditulis dalam kitab-kitab
berbahasa Melayu lebih dibacakan sebagaimana puisi Melayu klasik yang
mengedepankan gubahan cita dan rasa dalam intonasi dan tekanan nada yang
fluktuatif, sebagaimana perjalanan panjang sejarah kesusateraan melayu lama yang
tumbuh berkembang di kerajaan Aceh dan komunitas sufi di Sumatera. Kitab syair
muncul pada masa kerajaan Tanjungpura karena hubungan baik yang terjalin antara
pihak keraton dan Kesultanan Brunei Darussalam. Namun belum ada sumber yang
jelas bagaimana bentuk penuturan syair kitab pada masa aktif kerajaan di awal abad
ke-17 dan 18.
Pada tahun 1950, setelah melewati masa kemerdekaan, penuturan syair
muncul kembali, dengan warna yang berbeda. Syair dibacakan dengan suara yang
merdu, tidak stagnan, dan memiliki lelaguan yang berima disetiap baitnya,
membuat munculnya kemungkinan adanya pengaruh nyanyi sejarah kesusasteraan
Hamzah al-Fansuri yang bergejolak di Aceh abad ke 7 hingga 19, hidup di Negeri
Kayung. Tetapi, menyanyikan syair kitab hingga menciptakan lagu syair di
masyarakat Melayu Kalimantan Barat baru muncul diakhir abad ke-19, dimana
perhelatan konsep nyanyi di Aceh sudah tidak terlalu penting.
Jika kembali lagi kepada bagaimana kesenian ini diwariskan, syair gulong
di dalam lingkungan keraton adalah hanya berupa cerita atau hikayat yang
berbentuk syair dan dibacakan hanya untuk kalangan kerajaan kemudian berubah
menjadi sebuah kesenian lokal masyarakat yang hidup di setiap perkampungan
113
warga di luar lingkungan kerajaan. Bentuk perubahan muncul dari mulai adanya
kegiatan adat-istiadat yang menyertakan pembacaan syair di dalam acara tersebut.
Aktivitas kesenian dan kebudayaan sebenarnya tidak seluruhnya
menghilang dari Kalimantan Barat pada masa pemerintahan Kolonial Belanda. Ada
beberapa arsip dan dokumentasi menunjukkan adanya kegiatan kesastraan
Kalimantan Barat yang hidup selama masa kolonial. Tapi berbicara Syair Gulong
bahwa tidak diketemukannya teks-teks syair yang ditulis pada periode kolonial
selain Sjair Uit Sintang, yang kemudian ditulis kembali oleh Helius Sjamsuddin
sebagai Syair Kerajaan Sintang, tanpa merubah sedikitpun baik tekstual maupun
penulisannya.
Nampaknya, perubahan kengkarangan menjadi Syair Gulong adalah
terletak kepada cara penyebutan kesenian tersebut di kalangan masyarakat. Kutipan
tersebut menjelaskan ada beberapa kampung yang menyebutnya sebagai
kengkarangan, sedangkan masyarakat yang cenderung bermukim mendekati pusat
kota menyebutnya dengan Syair Gulung, atau dalam penelitian ini, Gulong, secara
penulisan aksen dan dialek melayu menyebutnya demikian.
B. Perubahan Fungsi Syair Gulong dalam Konteks Sosial
Salah satu bentuk perluasan dinamika Syair Gulong adalah dinamikanya
dalam konteks sosial. Sosial merupakan sesuatu yang dipahami sebagai sebuah
perbedaan, tetapi tetap inheren dan terintegrasi. Ia dimaknai sebagai perbedaan
yang ada dalam sebuah komunitas. Sebuah substansi dimana manusia dengan latar
belakang yang berbeda-beda melakukan kegiatan yang sama. Intinya, sosial
mengacu kepada sifat dasar manusia yang tidak bisa hidup sendiri. Syair Gulong
114
dalam fungsinya sebagai nilai sosial adalah sebagai media masyarakat dalam
berkomunikasi dan mengembangkan kebudayaan dan kesenian Melayu lokal. Syair
Gulong sebagai media komunikasi adalah bagian-bagian syair yang mengandung
kritik atau sentilan-sentilun yang menggambarkan kritik maupun opini masyarakat
dalam menyikapi sesuatu yang tengah terjadi di lingkungan baik dalam kerajaan
maupun luar kerajaan.
Dengan adanya penutur-penutur syair untuk kerajaan yang hidup di
perkampungan warga, pewarisan serta khasanah sosial yang diciptakan oleh
kesenian Syair Gulong menjadi luas. Hal-hal seperti kegiatan-kegiatan adat yang
hidup di kampung menjadi lebih menarik dengan masuknya syair gulong ke
beberapa elemen adat yang hidup di masyarakat tersebut.
1. Media Kampanye Politik
Syair Gulong menjadi salah satu media kampanye politik di era
kontemporer. Beberapa nilai-nilai bernafaskan kampanye ataupun agenda
demokrasi menjadi salah satu tema yang kemudian diangkat dalam penulisan teks
syair. Ada pola keharusan menyebutkan elemen-elemen politis yang dijejalkan
dalam beberapa bait syair seperti berikut :
Tahun 2005, dan bulan Muharram telah tiba
Kita sebagai masyarakat Kab Ketapang siap sedia
Kerna tinggal menunggu waktunya tiba
Akan diadakan PILKADA
Kita sebagai masyarakat, jangan sampai gelisah
Menghadapi pemilihan kepala daerah
Kalau ada yang keliru kita bermusyawarah
Yang penting aman, Pa’ Haji Morkes menang, jangan sampai kalah
Sekarang harus kita amati
Atas perjuangan Pa’ Bupati Kiyai Mangku Negeri, Haji Morkes Effendi
115
Bukan hanya janji tapi memberi bukti
Sebahagian, desa sudah dapat menikmati
Nama pa’ camat kami Benua Kayong M.Run. Prawijaya
Beliau tetap mengusulkan kepada Pemda
Kerna masyarakat maish tetap setia
Untuk memenangkan Pa’ Haji Morkes dalam PILKADA130
Era kontemporer memberikan kebebasan terhadap masyarakat untuk
mengembangkan kesenian Syair Gulong, termasuk di dalamnya memberikan suara
atau aspirasi terhadap kondisi demokrasi yang terjadi di tanah air.
Berbicara kondisi sosial masyarakat Melayu Kalimantan Barat di era
kontemporer, salah satu daerah yaitu Kabupaten Ketapang diresahkan dengan
industri kelapa sawit yang makin marak. Figur tokoh dibelakang mewabahnya
kelapa sawit tersebut adalah Morkes Effendi. Ia adalah Bupati Daerah Ketapang
yang didapuk selama periode 2000-2005131. Tahun 2005 suhu pilitik di Ketapang
mulai memanas. Pesta demokraasi lima tahunan yang dihelat pada 20 Juni 2005 ini
menjadi momentum bersejarah dimana rakyat diberi kesempatan untuk memilih
pemimpin secara langsung.
Berbagai kegiatan politik dan kampanye kemenangan mulai berkembang di
smester awal 2005. Dan Morkes adalah salah satunya yang mencalonkan dirinya
kembali untuk mempertahankan jabatannya sebagai Bupati Ketapang untuk periode
selanjutnya yaitu 2005-2010. Salah satu bentuk kampanye yang ia lakukan adalah
peresmian madrasah di Kecamatan Benua Kayong, Ketapang, sebagaimana naskah
Syair Gulong tersebut ditulis.
130 Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005. 131 Fokus Liputan : Kelapa Sawit,Antara Kepentingan Politik dan Tata Guna Lahan (Bagian
I), mongabay.co.id/tag/tata-guna-lahan/, diakses pada 22 Juli 2016.
116
Penggalan bait Syair Gulong tersebut mengandung pesan-pesan yang sangat
menonjol. Kata-kata atau kalimat seperti ”Kita sebagai masyarakat/jangan sampai
gelisah/Menghadapi pemilihan kepala daerah/Yang penting aman/Pa’ Haji
Morkes menang/jangan sampai kalah ataupun Kerna masyarakat maish tetap setia/
Untuk memenangkan Pa’ Haji Morkes dalam PILKADA” semakin menunjukkan
maksudnya secara jelas bahwa adanya pengaruh politik yang sangat kuat dalam
penulisan naskah tersebut. Dan secara tidak langsung, menghilangkan kaidah
kesenian syair gulong tersebut. Pelanggaran-pelanggaran seperti kata-kata yang
dipaksakan, ataupun masuknya nama tokoh dan persuasi-persuasi kampanye. Ada
semacam budaya menghormati tokoh masyarakat yang kemudian
diimplementasikan dalam penulisan naskah syair, dan dibacakan ketika tokoh
tersebut mendatangi acara, dan dibacakan syair gulong dalam rangka memberikan
sambutan hangat kepadanya.
2. Hajatan
Tiadelah saye bepanjang madah
Mengarang sya’ir menulis risalah
Sekedar nyampaikan hajat si tuan rumah
Semoga mendapatkan keredaan Allah132
Hajatan secara umum adalah kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan
sesuatu yang di-nadzar-kan atau diniatkan. Dalam budaya Islam, hajat atau nadzar
dapat diimplementasikan sebagai sebuah janji yang mengharuskan seseorang yang
melakukannya untuk mengerjakan apa yang telah diniatkan sebelumnya. Ambil
contoh seorang ayah ber-nadzar untuk berpuasa senin dan kamis jika istrinya
132 Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia, 8 Desember 2013.
117
melahirkan anak keduanya. Pilihan yang dihadapi ayah tersebut adalah berpuasa
pada hari senin dan kamis ketika istrinya melahirkan, atau membayar fidyah,
memberi makan fakir miskin, jika ia tidak mampu berpuasa atas kelahiran anaknya
sebagai hukuman atas tidak mampu-nya dia melaksanakan janji yang telah
diniatkan sebelumnya.
Dalam kacamata kebudayaan, hajatan sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan pesta perkawinan ataupun khitanan (sunatan) karena platform dasar dari
kegiatan adat tersebut adalah sama tapi output-nya berbeda. Di masyarakat Melayu
Kalimantan Barat, hajatan lebih dipahami dengan pengadaan acara keadatan atau
kegiatan yang bersifat mengundang pementasan elemen adat Melayu yang
berdampak kepada masyarakat atau lingkungan dimana acara tersebut digelar.
Hajatan mempunyai cakupan penyelenggaran yang sangat universal.
Karena hajatan bisa berupa peresmian masjid di kampung, syukuran khitanan,
syukuran khataman Al-Quran, peringatan hari-hari nasional, dan bahkan
perkawinan sekalipun secara substansi berbeda.
Kasus teks syair pada pernikahan Erlambang dan Lisa sebagai contoh,
terdapat bait “mengarang syair menulis risalah/sekedar menyampaikan hajat si
tuan rumah”. Perbedaan hajatan dan perkawinan terletak pada unsur tekad ataupun
janji. Dalam perkawinan, tidak ada ikatan yang mengharuskan pihak yang menikah
melakukan pesta perkawinan, jika ada kendala lain seperti kesulitan finansial dan
lain sebagainya. Sedangkan hajat, adalah sebuah keniscayaan mewujudkan janji
yang telah disepakati oleh yang menyelenggarakan acara untuk melaksanakan event
tersebut. Bahkan perkawinan dapat dikategorikan sebagai hajatan jika pihak
118
keluarga yang menikah berjanji kepada diri sendiri untuk melaksanakan pesta
perkawinan jika anaknya menikah. Demi memeriahkan pelaksanaan acara dalam
sebuah hajatan, Syair Gulong dipentaskan demi menghibur dan memeriahkan
warga masyarakat yang terlibat atau diundang dalam acara tersebut.
3. Perkawinan
Perkawinan sudah jadi merupakan kegiatan adat masyarakat Melayu
Kalimantan Barat yang didalamnya dilaksanakan kesenian penuturan Syair Gulong.
Perkawinan juga merupakan kegiatan adat Melayu yang pertama kali
memperkenalkan Syair Gulong sebagai kesenian dan pendahuluan ketika acara
tersebut berlangsung. Berikut adalah cuplikan teks syair yang digunakan dalam
perkawinan adat melayu :
Mempelai laki-laki saya sebutkan
Idwantoro anak Po’Rajali, Sukaharja dekat makan Pahlawan
Dapat jodoh di Bintang Musik, kelurahan Tuan-tuan
Mungkin sebelum lahir, Tuhan sudah jodohkan
Toro anak Pa’Rajali, Suami Ibu Marliti
Segala urusan ibuk sangat teliti
4 orang anaknya bersatu lagi
Apalagi Toro, satu-satunya anak laki-laki
Memepelai perempuan sama halipah
Anak rahimin alias hasan suani aisah
Sebelum pelaksanaan ini hati terasa goyah
Sekarang kami ucapkan alhamdulillah
...Dalam kesempatan ini usak mok doakan
Semoga kedua mempelai di Ridoi Tuhan
Dapat anak laki-laki dan perempuan
Kehidupan sukses tak ade gangguan133
Teks diatas adalah Syair Gulong era kontemporer yang bertemakan
133 Syair Pernikahan Idwantoro dan Halifah, tanpa tahun.
119
perkawinan. Uti Saban, penyair gulong yang menulis naskah tersebut tidak
mencantumkan tanggal pasti pernikahan Idwantoro dan Halifah tersebut sehingga
menjadi contoh bahwa adanya kelemahan penyair gulong dalam
mendokumentasikan waktu atau kapan acara tersebut berlangsung.
Pola-pola teks syair perkawinan yang terbentuk setelah tahun 1999-an
adalah selalu mencantumkan bait-bait syair yang menceritakan tentang asal-usul
kedua mempelai, laki-laki maupun perempuan. Ada semacam adjustment yang
mengahruskan penyair gulong membubuhkan beberapa nama anggota keluarga dari
laki-laki ataupun perempuan sebagai bentuk penghormatan telah
diberikannya kesempatan baginya membacakan Syair Gulong di pernikahan
tersebut.
4. Peresmian
Gambar 4. Dokumentasi penuturan syair gulong dalam acara pentas adat.
(Sumber : Catatan Warisan Budaya (Cultural Heritage) di Kerajaan Tanjungpura,
2010, hlm. 127)
Di akhir 1990-an, peresmian secara adat Melayu mengalami perubahan
dengan menampilkan pertunjukkan pertunjukkan seni dan budaya Melayu. Segala
120
tari-tarian, berbalas pantun, lagu-lagu melayu, dirangkum dalam babakan-babakan
yang menjadi sajian untuk menyambut sesuatu yang baru akan hidup di lingkaran
masyarakat Melayu di daerah tersebut.
Syair Gulong, dalam hal ini dibacakan sebagai tanda syukur atas nikmat
Tuhan Yang Maha Kuasa dan mampu menjadi epilog yang baik memadukan antara
humor yang mengundang tawa penonton serta menunduk khidmat atas karunia
Tuhan telah menghadirkan lingkaran masyarakat yang baru, kampung yang baru,
sekolah yang baru, apapun yang baru muncul di kehidupan masyarakat sebagai
tanda kemurahan Hati-Nya kepada hamba-Nya.
Konsep peresmian secara adat melayu dikerucutkan dengan mengambil
kampung adat sebagai sampel, tetapi definisi peresmian ini meluas hingga kepada
setiap pembangunan yang telah dilaksanakan dalam suatu daerah, kabupaten,
kecamatan hingga di perdesaan. Selesainya pembangunan seperti masjid ataupun
sekolah di salah satu daerah terpencil akan menjadi ajang pementasan kesenian
budaya Melayu.
Hasil penelitian dokumen dan wawancara lisan menyimpulkan perluasan
makna peresmian dalam elaborasi atau sudut pandang yang dilihat dari kesenian
syair gulong. Peresmian tidak hanya tentang meresmikan perkampungan baru saja.
Tetapi sudah membicarakan eleme-elemen yang menyentuh lingkungan sosial
seperti pendidikan, politik, budaya, dan lain sebagainya134. Sebagai contoh, berikut
adalah cuplikan teks Syair Gulong tentang peresmian sekolah di Kecamatan Benua
Kayong, Ketapang, 26 Juni 2005 :
134 Wawancara dengan Rijal, 3 Agustus 2014.
121
Mohon kepada bapak, ibu, sdra,sdri
Serta para undangan yang datang kemari
Mohon maaf saya numpang berdiri
Membacakan sya’ir gulung sekedar informasi
Selamat malam kepada Bapak Bupati dan Pak Camat Benua Kayong
Serta muspida dan muspika siap bergabung
Izinkalah saya turut mendukung
Dalam oretan sya’ir bergulung
Saya sebagai sekdes merangkap komdes kuning, di Negeri Baru
Ketua pelaksana Pa’ Muridan mohon saya untuk memacu
Kerna th 2004 sudah berlalu
Tahun 2005, ini kite harus bersatu
Adanya persatuan sangat berarti
Dalam bidang apapun hanya Allah menjadi
Masjid siap, madrasah berdiri.
Malam ini diresmikan Bapak Bupati
Yang kita cari ridanya Allah
Kita berusaha mencari berkah
Seksi dana pak Nasir dan Pak Abdullah
Dalam sidang pembangunan beliau tak mau kalah
Pak Muridan sebagai ketua
Pak Zulkifli sekretari/wakil ketua
Ibuk Roslinam sebagai bendahara
Dana dikeluarkan sudah sekian juta
Beginilah keadaan
Bangunan Madrasyah kami dirikan
Mana yang kurang mohon cukupkan
Kepada Bapak Bupati, dan juga Bapak Dinas Pendidikan135
Dalam Tahun 2005, Pembangunan di Kecamatan Benua Kayong Ketapang
teralihkan kepada isu industri kelapa sawit yang semakin marak di tahun tersebut.
Sektor pembangunan Kabupaten Ketapang di dominasi pembukaan lahan oleh
industri-industri sawit karena mudahnya perizinan membuka lahan oleh pihak
135Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005.
122
administrasi daerah.
Pendidikan adalah salah satu aspek yang tertelan maraknya industri kelapa
sawit di Ketapang. Termasuk di Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang,
dari data statistik kecamatan tahun 2008 mendapatkan setidaknya hanya 35 unit
bangunan madrasah atau sekolah dari semua jenjang pendidikan136.
Dengan meningginya isu kelapa sawit, dan dekatnya PILKADA tahun 2005,
bentuk kampanye-kampanye politik semakin mengerucut kepada adjustment yang
dilakukan oleh tokoh yang maju sebagai calon bupati salah satunya menyentuh
elemen-elemen kecil seperti pendidikan dan kesehatan. Morkes Effendi, adalah
Bupati Kabupaten Ketapang periode 2000-2005 yang kembali mencalonkan dirinya
di PILKADA 2005. Seperti telah dibahas di subbah sebelumnya, naskah syair
peresmian madrasah tahun 2005 Kecamatan Benua Kayong, Ketapang ini sangat
kental dengan nuansa politik. Dan dari penggalan naskah syair tersebut, ada pesan
yang semakin mengerucut kepada pentingnya masyarakat Benua Kayong untuk
bersatu. Adanya ajakan yang tersirat dibalik peresmian madrasah untuk kembali
memenangkan Morkes sebagai Bupati Ketapang di periode selanjutnya.
C. Perubahan Syair Gulong Dalam Konteks Kesenian
1. Hiburan
Syair Gulong yang telah berubah bentuk juga berfungsi sebagai sarana
menghibur masyarakat kampung ketika mereka mendatangi atau berkumpul dalam
sebuah acara atau kegiatan adat. Jauh sebelum itu, kitab-kitab syair seperti Syair
Bulan Terbit menulis ;
136Profil Kecamatan Benua Kayong Kabupaten Ketapang 2016. (Benua-
kayong.blogspot.co.id), diakses pada 22 Juli 2016.
123
Karna hiburkan hati yang susah
Makanya hamba menjadi bisa137
Penggalan sajak dalam kitab syair tersebut menyebutkan hiburan dalam arti
sebagai pelipur lara. Dan menjadi platform atau karakteristik seni dalam
melukiskan hiburan dalam bentuk tulisan.
Perubahan kontekstual hiburan dalam syair gulong secara kacamata seni
adalah mengonsep hiburan yang mengundang gelak tawa penonton atau yang
menyaksikannya138. Berikut adalah contoh hiburan syair gulong kontemporer :
Sunnah rasul perintah agame
Jadi pegangan kite bersame
Tuntutan dan sunnah jadikan yang utame
Wahai pengantin jangan lupa do’e di malam pertame139
Dalam beberapa kesempatan, hal-hal yang berhubungan dengan mahligai
rumah tangga adalah hiburan yang dapat diterima masyarakat Melayu. Khususnya
ketika pesta pernikahan, dan dalam penggalan syair ini, Mahmud Mursalin
mengemas konsep hiburan tersebut.
Penggalan bait syair tersebut menunjukkan syi’ar Islam tidak memiliki
perubahan yang signifikan dari yang hidup pada masa periode melayu Klasik
ataupun kitab-kitab syair di tahun 1920-an. Nampaknya kontekstual adalah elemen
yang terus mengalami penyempurnaan sebagaimana kesenian Syair Gulong ini
akhirnya selamat hingga era 2000-an hingga saat ini. Dan pada baris terakhir,
terlihat bagaimana penyair gulong ingin menyampaikan indah dan nikmatnya
pernikahan hingga ke hal-hal kecil seperti membaca doa sebelum malam pertama.
137 Syair Bulan Terbit, loc.cit. 138 Wawancara dengan Mahmud Mursalin. Ketapang 1 Agustus 2014 139 Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia, 8 Desember 2013.
124
Lagi, elemen-elemen kecil tersebut menjadi kearifan lokal yang menggelitik
masyarakat Melayu dan bagi kesenian syair ini terus menyesuaikan jiwa zamannya.
2. Pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa
Bismiallah itu suatu firman
Fardulah kita kepadanya iman
Muttasil pula dengan rahman
Hasil maksudnya pada yang budiman
Bismillah ayat mula dikata
Alhamdulillah puji yang nyata
Bersholawat kepada Nabi yang Mulia
Ikatan Sekalian Ulama Auliya140
Dengan Bismillah permulaan kalam
Allah pencipta semesta alam
Nabi Muhammad penghulu Islam
17 rakaat dalam sehari semalam141
Dengan Bismillah awalnye kalam
Allah pencipte semeste alam
Tidak lupa salawat dan salam
Pada Nabi Muhammad penghulu Islam
Bismillah itu permulaan Qalam
Atas name Allah Khaliqul Alam
Memberi syafaat siang dan malam
Kepade makhluk seisi alam
Assalamualaikum warahmatullah
Waalaikumsalam jawab terjumlah
Di dalam kertas ditulis gisah
Mulai di baca dengan bismillah
Pendahuluan kata saya tuliskan
Para pembaca sangat dimuliakan
Pemaparan sastra telah disyairkan
Pemusatan pikiran dalam penyusunan
Assalamualaikum saya ucapkan
Ayah dan bunda saudara sekalian
Ayolah bersama kita renungkan
140 Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005. 141 Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia, 8 Desember 2013.
125
Agar disimak setiap dibentangkan142
Bismillah itu permulaan kalam
Dengan nama Allah haliqul’alam
Memberi rahmat siang dan malam
Kepada mahluk seisi alam143
Ada semacam keyakinan dalam penyair-penyair menuliskan syairnya
bahwa setiap syair yang mereka tuliskan harus dimulai daengan memanjatkan puji
syukur kepada Allah SWT. Hampir semua teks syair tersebut diawali dengan
Bismillah, kosa kata bahasa Arab yang berarti “dengan nama Allah”. Kasus Syair
Bulan Terbit memberikan pondasi dasar terhadap pembukaan teks-teks syair
kontemporer di akhir 90-an dan era 2000-an. Dengan Islam dan religiusitasnya, ada
elaborasi yang terjadi pada kesenian kesusasteraan melayu yang mengharuskan
membuka segala sesuatu dengan ucapan bismillah, dan memanjatkan syukur, puji-
pujian kepada Allah SWT.
Teks-teks Syair Gulong sangat kaya dengan pengetahuan, apalagi kadar dan
batasan untuk bercerita dan melagukan syair tidak memiliki pagar yang baku karena
komposisi syair adalah bergantung kepada pengetahuan penyair itu sendiri. Salah
satu dinamika Syair Gulong dalam konteks pengetahuan adalah teks-teks syairnya
mampu menceritakan kisah atau peristiwa sejarah atau mitos serta legenda yang
hidup turun-temurun. Berikut adalah kutipan teks-teks syair yang didalamnya
menceritakan kisah dan sebagainya :
mulutnya manis bijak laksana
barang lakunya semuanya kena
putih kuning unsur sederhana
memberi hati gundah gulana
142 Harun Das Putra., loc.cit. 143 Dardi D. Has, loc.cit.
126
dapatlah nama puteri zubaidah
awal dan akhir tidak sudah
sebarang lakunya memberi faedah
menundukkan orang terlalu mudah
semuanya sudah dibawah perintahnya
tunduk dan kasih akan ianya
terkena di dalam lemah lembutnya
lemahlah hati segala seterunya
itulah akal orang sempurna
bijak bestari arif laksana
ditanggung dahulu bina dan dina
kemudian kebesaran juga tersedia
isi mana kita dapat mencari
seperti akal, zubaidah puteri
takut dan tunduk segala puteri
patutlah jadi mahkota negeri144
(Syair Siti Zubaidah, awal abad ke-19)
Raja berani sangatlah bertuah
Hukumannya ‘adil kalbunya murah
Segenap tahun zakat dan fitrah
Fakir dan miskin sekalian limpah
Sultan di Goa raja yang sabar
Berbuat ‘ibadat terlalu gemar
Menjauhi nabi mendekatkan amar
Kepada pendeta baginda belajar
Baginda raja yang amat elok
Serasi dengan adinda di telo’
Seperti embun yang sangat sejuk
Cahayanya limpah pada segala makhluk
Tiadalah habis gharib kata
Sempurnalah baginda menjadi sultan
Dengan saudaranya yang sangat berpatutan
Seperti emas mengikat intan
144 Syair Perang Makassar 1670. Syair Perang Mengkasar (dahulu bernama Syair
Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang Makassar dengan Belanda,
mangkaasara.wordpress.com/tag/syair-perang-mengkasar-dahulu-bernama-syair-sipelman/,
Diakses pada 25 Juli 2016.
127
Bijaksana sekali berkata-kata
Sebab berkapit dengan pendeta
Jikalau mendengar khabar berita
Sadarlah baginda benar dan dusta
Kekal ikrar apalah tuanku
Seperti air zamzam di dalam sangku
Barang kehendak sekalian berlaku
Tentaranya banyak bersuku-suku
Patik persembahkan suatu rencana
Mohon ampun dengan karunia
Arutnya janggal banyak ta’kena
Karena ‘akalnya belum sempurna
...Maka patik berani berdatang sembah
Harapkan ampun karunia yang limpah
Tuanku ampuni hamba Allah
Karena aurnya banyak yang salah
Tamatlah sudah memuji sultan
Tersebutlah perkataan Welanda syaitan
Kornilis Sipalman penghulu kapitan
Raja Palakka menjadi panglima
Berkampunglah welanda sekalian jenis
Berkatalah Jenderal Kapitan yang bengis
Jikalau alah Mengkasar nin habis
Tunderu’ kelak raja di Bugis145
Tersebut dalam buku sejarah
Dari indocine nenek moyang alkisah
Datang kemari perasaan pasrah
Maksud mendiami seluruh wilayah
Pendatang pertame ke wilayah kite
Rombongan tuk upui namenye serte
Berpangkat demong gelarnye nyate
Di tebang Cine tempat cengkrame
Rombongan kedua pimpinan tuk bubut
Datang kemari angkut berangkut
Di mane tempat rakitnya sangkut
Merekepun turun berebut-rebut
145 Ibid.
128
Tuk Upui Patih berpangkat
Dijadikan pemimpin oleh masyarakat
Banyak penduduk datang mendaulat
Raje Ulu Aik melekat
Rombongan Tuk Pui hitam kenditnye
Rombongan tuk Bubut kuning gelangnye
Sampai sekarang terlihat nyate
Waktu mengadekan suatu upacare
Datang kemudian rombongan ketige
Seorang pimpinan bername Rangge
Sudah mengenal ajaran agame
Hindu budha dari Sriwijaya
Mungkin karene tempat menetap
Beliau disebut tuk rangge sentap
Mangkubumi gelar yang mantap
Bermukim die di sungai sentap
Tuk rangge sentap pendatang baru
Mungkin dari kerajaan Melayu
Atau Sriwijaya kerajaan dahulu
Mengadekan penelitian sangatlah perlu146
Berhentilah kisah raja Hindustan
Tersebutlah pula suatu perkataan
Abdul Hamid Syah paduka Sultan
Duduklah baginda bersuka-sukaan
Abdul Muluk putra baginda
Besarlah sudah bangsawan muuda
Cantik menjelis bijak laksana
Memberi hati bimbang gulana
Kasih kepadanya mulia dan hina
Akan rahmah puteri bangsawan
Parasnya elok sukar dilawan
Sedap manis barang kelakuan
Sepuluh tahun umurnya tuan
Sangatlah suka duli mahkota
Melihat puteranya besarlah nyata
Kepada isteri baginda berkata
146 Dardi D. Has, op.cit., hlm. 89
129
“Adinda nin apalah bicara kita?
Kepada fikir kakanda sendiri
Abdul Muluk kemala negeri
Baiklah kita beri beristeri
Dengan anankanda Rahmah puteri147”
Sekilas sejarah sultan-sultan
Pada masanya disaatlah dahulu
Pangeran Sy.Abdurrahman telah bersatu
Para pengikutnya berjiwalah batu
Pontianak membuka bertemu hantu
Perjalanan dimulai dari Mempawah
Pengikutnya banyak berjiwa rendah
Perahu berangkat empat belas buah
Penentuan tersebut dicatat sejarah
...syair dikembangkan meluruskan susunan
Syarif abdurrahman sudahlah dinobatkan
Seberang kota istana didirikan
Sebagai bukti kita menyaksikan
Sultan Syarif Abdurrahman yang pertama
Sejak tanggal 23 Oktober 1771 awalnya
Selesai masa tahun 1808 akhirnya
Segera diganti anak kandungnya148
Kitab-kitab Melayu klasik juga menghadirkan peristiwa peristiwa sejarah
yang menjadi khasanah bagi perjalanan kebudayaan Melayu di Nusantara. Syair
Gulong, sebagai bagian kecil dari keluarga besar kesusasteraan Melayu, juga
memasukkan elemen bercerita yang sama dengan kita-kitab di periode klasik.
Penyair-penyair gulong yang pernah bertamu dan membacakan syair di keraton
seperti menanam kontrak bahwa suatu saat mereka akan dipanggil lagi untuk
147 Syair Abdul Muluk 1938, (Pontianak, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
Pontianak, 1998), hlm. 4. 148 Harun Das Putra, Bumi Khatulistiwa Kote Pontianak Negeri Syair Melayu. (Pontianak,
Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Inkom Kota Pontianak, 2008), hlm. 7.
130
membaca atau menuliskan syair tentang kerajaan mereka.
Beberapa naskah syair berisi insight mengenai pengaruh kerajaan-kerajaan
Hindu Budha seperti yang terkandung dalam bait “Tuk rangge sentap pendatang
baru/Mungkin dari kerajaan Melayu/aAau sriwijaya kerajaan terdahulu”.
Penggalan tersebut dapat menjelaskan mengapa pengaruh Melayu sangat kuat di
Kalimantan Barat karena datangnya Tuk rangge sentap, tokoh khayalan menurut
kearifan lokal, adalah seseorang yang datang dari kerajaan Melayu di Sumatera
ataupun Kerajaan Sriwijaya.
Harun das Putra, penyair gulong asal Pontianak, adalah salah satu generasi
awal penyair gulong setelah kembalinya semangat berkebudayaan dan kesenian di
Kalimantan Barat 1970-an. Ia menyatakan pernah dipanggil keraton Kadriah
Pontianak dan diminta membacakan syair gulong, yang pada masanya, dia sebut
dengan bertutur149. Kemudian di tahun 2008, sebagai salah satu tamu kehormatan
keraton, ia diundang oleh Walikota Pontianak, Dr. H. Buchary Abdulrachman, dan
diminta menulis naskah syair tentang Pontianak negeri syair Melayu. Dan dalam
salah satu bagian dari naskahnya, terdapat bab tersendiri ; Sekilas Sejarah Sultan-
Sultan.
Fakta menunjukkan bahwa adanya semangat menuliskan kembali sejarah
ataupun kearifan lokal masyarakat Melayu pada masa lalu yang muncul di kalangan
penyair gulong. Mereka menyadari, bahwa sejarah sangat penting dan kesenian
tersebut adalah salah satu mengapa budaya Melayu harus tetap dilestarikan pada
generasi selanjutnya
149 Wawancara dengan Harun Das Putra. 28 Juli 2014.
131
Keunikan lainnya dari kesenian Syair Gulong dalam kacamata seni adalah
syairnya dibacakan bukan seperti halnya puisi, tetapi dilagukan seperti
membacakan atau mencitasi ayat-ayat Al-Quran. Perlombaan pada tahun 1990-an
menciptakan pondasi lagu-lagu Syair Gulong yang lestari hingga sekarang. Syair-
syair yang ditulis tidak lagi mengikuti kaidah sastra melayu klasik dan akhirnya
cenderung beradaptasi dengan lingkungannya secara perlahan-lahan.
Merujuk kepada dokumen tulis sezaman, lelaguan ini ternyata berkembang
tidak hanya di Syair Gulong, tetapi juga pantun melayu atau karya sastra lainnya,
berikut adalah cuplikan lelaguan yang ditulis di akhir babak 1990-an :
Tidurlah anak tidurlah sayang
Jika tidur ibu nyanyikan
Nyanyian ibu dengarlah sayang
Dengarlah sayang dalam impian
Mimpilah anak mimpilah sayang
Melihat ayah pergi berdagang
Berdagang di tanah seberang
Negeri Semarang disebut orang150
Penggalan teks tersebut adalah nyanyian pantun Melayu yang biasa
dinyanyikan ibu ketika menimang anaknya di dalam ayunan saat beranjak tidur.
Teks tersebut ditulis pada 1 Desember 1998, ketika pembuatan jurnal pribadi Serial
Sejarah Sekuntum Mawar Tentang Sejarah & Hari Jadi Ketapang oleh Salim bin
H.Achmad Atik. Di masa tersebut, belum ada penulisan sejarah tentang hari jadi
Ketapang dan Salim mencoba menuliskan penelitian-penelitiannya tentang
Kabupaten tersebut. Salah satu bagian dari tulisannya adalah adat-istiadat Melayu
150 M. Salim, op.cit., hlm. 125.
132
yang hidup di lingkungan masyarakat Melayu Ketapang.
Adanya standar-standar dalam melagukan Syair Gulong menyebabkan
semakin banyaknya kemunculan penyair gulong yang berangkat dari
kemampuannya melagukan syair. Dari yang sebelumnya, penyair gulong adalah
tokoh yang religius, imam masjid, dan memiliki talenta dalam membacakan syair
berevolusi dan menciptakan cakupan yang lebih luas dengan kemungkinan bahwa
siapa pun yang memiliki suara yang bagus maka dapat membacakan Syair Gulong.
Berikut adalah daftar lagu-lagu Syair Gulong di dalam Sinopsis Festival
Budaya Kalbar 2013 :
1. Lagu Siti Zubaidah
2. Elang Mengantuk
3. Lagu Awang Leman
4. Lagu Lembang Melayu Kayong
5. Lagu Patotoan Adat
6. Lagu Lebah Begantong
7. Lagu Seluang Beranyut
8. Lagu Siqah (diadopsi dari lagu barzanji)
9. Lagu Simpang
10. Lagu “Selendang Delima” yang berasal dari negeri Jiran Malaysia151
Kesepuluh lagu tersebut adalah lagu-lagu Syair Gulong yang berkembang
pada era kontemporer.
151 Mahmud Mursalin, “Syair Gulung Kabupaten Ketapang”. Makalah disampaikan pada
Festival Budaya Bumi Khatulistiwa (FBBK XI) Kalimantan Barat, Kamis 3 Oktober 2013.
133
Pada era kitab-kitab syair klasik. Kritik sosial dalam sebuah naskah syair
disandarkan kepada ancaman atau kecaman yang datang dari Tuhan yang Maha
Esa, dalam hal ini Allah Azza Wa Jalla kepada hamba-Nya jika melakukan sesuatu
keburukan atau menyimpang dari apa yang diajarkan dalam Islam. Hal tersebut
dapat dilihat dari beberapa contoh berikut :
Jikalau hamba banyak syukurnya
Jika tiada syukur pada-Nya
Jangan dibuat melaga-laga
Jangan dibikin seperti tembaga
Tarok diatas jangan dibawa
Sampailah habis umur semua
Sampaikan badan menjadi sehat152
Dalam teks syair tersebut ada konotasi-konotasi yang tersembunyi dalam
kata-kata seperti melaga-laga, jangan dibikin seperti tembaga. Jika mengacu
kepada tingkat pembahasaan, kitab-kitab syair klasik jelas menampilkan kadar
intelektualitas yang universal dan menggambarkan kebijaksanaan hidup akan
jangan memupuk kesombongan dan rasa tamak. Kearifan-kearifan melayu ini hidup
dalam naskah-naskah syair Melayu di periode 1900-an.
Di era selanjutnya, yaitu era kontemporer, kritik mengalami perubahan
bentuk dari yang substansial menjadi kontekstual. Bait-bait syair zaman
kontemporer lebih berani menunjukkan bahasa-bahasa yang lugas mengoreksi
ataupun menilai sesuatu sesuai sudut pandang penyair gulong. Perubahan konteks
kritik sangat menonjol pada teks-teks Syair Gulong era kontemporer. Berikut
adalah bait-bait syair era 2000-an yang mengandung konteks kritik :
Tetapi karena ilmu tak ada
Peluang yang ada terbuang saja
152 Syair Bulan Terbit, op.cit, hlm. 4.
134
Di isi orang awak menganga
Akhirnya duduk mengurut dada
Di tanah Kayung banyak kesempatan
Untuk menjadi sumber pendapatan
Karena pengetahuan tak ada di badan
Orang lain yang memanfaatkan
Kekurangan ilmu kite semue jatoh
Karene banyak yang masih bodoh
Peluang yang dekat menjadi jaoh
Nasibpun malang celaka tumboh153
Ada pula dalam beberapa kitab yang menceritakan hikayat petualangan
ajaib dalam versi kitab, elemen kritik lebih dikemas dengan menampilkan dalam
bentuk karma, sebuah dogma yang mempercayai bahwa seseorang akan menerima
apa yang telah diperbuatnya, baik atau buruk, akan kembali kepadanya.
Dalam penggalan naskah syair Pemuda dan Sejarah Tanah Kayung yang
disampaikan pada Festival Budaya Bumi Khatulistiwa, Kamis 3 Oktober 2013,
komposisi kritik tampaknya semakin menunjukkan maksudnya. Kata-kata
“kekurangan ilmu kite semue jatoh/karene banyak yang masih bodoh” adalah
bentuk nyata personifikasi yang penutur syair gulong gunakan untuk mencerminkan
masyarakat yang tidak tahu-menahu tentang ilmu hanya akan menjerumuskan diri
ke dalam kebodohan. Jika elemen demi elemen bait tersebut dilakukan komparasi
dengan penggalan syair bulan terbit sebelumnya, maka perubahan yang muncul ada
pada pengambilan kosa kata dan bahasa yang digunakan penyair untuk
menggambarkan kritik atau pandangan apa yang mereka lihat dari apa-apa yang
hidup di lingkungan masyarakat pada zaman itu.
153 Syair Pemuda dan Sejarah Tanah Kayung. Makalah disampaikan pada Festival Budaya
Bumi Khatulistiwa (FBBK XI) Kalimantan Barat, Kamis 3 Oktober 2013.
135
BAB V
PENUTUP
Masyarakat Melayu Kalimantan Barat secara hakikat memiliki semangat
berkesenian dan berkebudayaan yang baik. Aktivitasnya terbentang dari
kesusasteraan sastra tulis hingga sastra lisan, bahkan terjadi dinamika diantara
keduanya, menunjukkan dinamisnya seni dan budaya di lingkungan masyarakat
lokal.
Syair Gulong adalah sebuah bentuk kesenian masyarakat Melayu di
Kalimantan Barat yang merupakan potret sejarah panjang perjalanan kesusasteraan
Melayu di Kalimantan Barat. Pewarisan kesenian ini muncul dari datangnya kitab-
kitab syair karangan tanpa nama yang merupakan wajah kesusasteraan Melayu di
abad-17 sampai akhir abad-19, hingga menuju ke kengkarangan dimana sastrawan
Melayu cenderung menciptakan syair atau puisi yang dikarang-karang secara
spontan, ditulis di kertas seadanya kemudian digulung. Sebagaian masyarakat yang
hidup mengarah ke Kabupaten Ketapang kemudian menyebutnya dengan Syair
Gulong. Namun secara substansi, kesenian ini mencitrakan semangat kesenian
bertutur syair yang kemudian hidup di berbagai daerah di Kalimantan Barat dengan
dinamika dan karakter keseniannya masing-masing.
Dalam perjalanan sejarah dan pewarisannya, kesenian Syair Gulong
diturunkan secara tradisi lisan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Dalam
beberapa kesempatan, seniman Syair Gulong mengakui kesenian ini merupakan
warisan budaya dari Kerajaan Tanjungpura, kerajaan tradisional terbesar di
Kalimantan Barat. Pada masa kerajaan tersebut, Tanjungpura kedatangan Putera
136
dari Kesultanan Brunei Darussalam, dan kedatangannya menjadi awal pengaruh
kesenian Melayu berkembang di lingkungan keraton. Tidak ada bukti pasti syair
gulong berkembang pada masa itu, tetapi di generasi berikutnya ditemukan kitab-
kitab syair bercap kerajaan Brunei Darussalam, menandai bahwa kesusasteraan
syair melayu periode klasik berkembang di kerajaan ini.
Masa penjajahan, baik Belanda maupun Jepang menjadi titik balik kesenian
Syair Gulong dan kesenian Melayu di Kalimantan Barat secara umum. Politik
kolonial dan pembukaan lahan untuk perkebunan mendominasi kehidupan
masyarakat dan pembatasan kekuasaan keraton, mengebiri feodalisme kerajaan-
kerajaan Melayu hingga mereka kehilangan pengaruhnya sebagai konsorsium yang
memerintah rakyat. Meskipun begitu, setidaknya penulisan naskah syair muncul di
era kolonial yaitu Sjair Uit Sintang, syair yang kemudian menjadi satu-satunya
syair sejarah yang mewakili jiwa zaman kolonialisme di Kerajaan Sintang.
Pendudukan Jepang melengkapi hilangnya semangat kebudayaan dan
kesenian Melayu di Kalimantan Barat. Selain karena kepentingan politiknya dalam
menghadapi Perang Pasifik, Jepang juga melakukan pemusnahan dengan menculik
dan membuang orang-orang sehingga depresi melanda hampir ke seluruh
penduduk. Walaupun pada akhirnya hanya bertahan 4 tahun, tetapi trauma yang
ditinggalkan mereka sangat berdampak kepada sendi-sendi kehidupan masyarakat
di era selanjutnya.
Tahun 1970, menjadi era kembalinya kebudayaan dan kesenian di
Kalimantan Barat. Ditandai dengan munculnya lomba-lomba bertutur syair di
beberapa daerah termasuk di Kabupaten Ketapang, wilayah peninggalan Kerajaan
137
Tanjungpura yang masih lestari secara situs-situs yang selamat dan kembali dipugar
masyarakat. Kesenian Syair Gulong kembali muncul di masa-masa ini dalam
kompetisi-kompetisi yang diadakan masyarakat tersebut. Perkembangan zaman
membuat kesenian Syair Gulong mengalami dinamika hampir di setiap lini. Secara
umum Syair Gulong di akhir 90-an dan era 2000-an semakin mengerucut kepada
kearifan lokal masyarakat Melayu Kalimantan Barat secara umum. Adanya
kesepakatan budaya yang muncul di kalangan masyarakat Melayu yang kemudian
perlahan-lahan mengubah universalitas Syair Gulong kepada sesuatu yang hidup di
tengah-tengah lingkaran sosial. Pernikahan, hajatan, isu-isu politik, hingga
peresmian seperti pembangunan sekolah adalah lokalitas-lokalitas yang kemudian
menjadi tema-tema Syair Gulong kontemporer.
Universalitas kesenian Syair Gulong secara esensinya sebagai kesenian
yang berkembang dari sastra tulis yang dilisankan, lebih diartikan dalam semangat
bertutur syair karena pada kenyataannya tidak seluruh wilayah di Kalimantan Barat
berkembang kesenian Syair Gulong yang sama. Ada kesenian-kesenian bertutur
syair yang muncul kemudian mengentaskan dirinya sebagai kesenian baru, seperti
misalnya Bercerite dan Bedande di masyarakat Melayu Sambas, joda dan jolai di
masyarakat Melayu Sanggau, tundang, hadrah, dan bertutur di masyarakat Melayu
Pontianak, dan lain sebagainya. Meskipun dilihat dari substansinya, kesenian-
kesenian tersebut sangat mirip secara definisi memiliki persamaan dalam konteks
bertutur syair-nya, yang juga dimiliki oleh Syair Gulong. Persebaran kebudayaan
dan kesusasteraan Melayu tersebut adalah buah dari pertumbuhan kengkarangan
sebagai awal mula kegiatan bersyair dan kesusasteraan yang pada akhirnya tumbuh
138
dengan warna sesuai di daerah atau kawasan kerajaan dan masing-masing
masyarakat melayu di Kalimantan Barat.
Dalam konteks batasan ruang lingkup keseniannya, Syair Gulong dibagi
dalam dua kolam ; internal kerajaan dan eksternal kerajaan. Dalam lingkungan
kerajaan-kerajaan Melayu Kalimantan Barat, seperti Kerajaan Tanjungpura, Syair
Gulong diartikan bukan sekedar pengantar ketika tamu-tamu kerajaan mengunjungi
keraton, atau penghibur raja dan pangeran ataupun sebagai lagu pengantar tidur
ketika malam tiba, tetapi juga sebagai perwujudan dari kecintaan terhadap Islam
dan juga kebudayaannya.
Syair Gulong di luar lingkungan keraton merepresentasikan kehidupan
masyarakat Melayu Kalimantan Barat dalam skala kecil, yang berarti bahwa ada
lingkup masyarakat Melayu di beberapa daerah kecil di Kalimantan Barat yang
menghidupi kesenian ini dengan kearifan lokal-nya, menghibur rakyat disekitarnya,
menciptakan semangat berkebudayaan dan membangunkan kesenian-kesenian
lainnya seperti seni pertunjukkan, seni tari, seni suara, serta seni musik.
Dalam konteks sebagai khasanah seni, adalah kesenian yang mengangkat
sastra Melayu, sebuah seni pertunjukkan yang memperlihatkan keindahan suara
yang memadukan syiar-syiar keagamaan, nasihat, hiburan, dalam bait-bait yang
sarat makna. Sebagai satu seni pertunjukkan, Syair Gulong dikemas dengan baik
sehingga dapat mengundang selera humor dan gelak tawa penontonnya.
Sebagaimana kita-kitab syair pada masa sebelumnya, Syair Gulong mengemas
kearifan lokal masyarakat Melayu secara kontekstual, memadukan tema-tema yang
menjadi wajah masyarakatnya, mewakili jiwa zaman pada masanya. Syair Gulong,
139
dalam kacamata seni dan masyarakat, adalah medium yang mampu
mengekspresikan kearifan lokal masyarakat pendukungnya, dengan muncul atau
dibacakan di berbagai macam kegiatan adat.
Pelestarian menjadi masalah utama kesenian Syair Gulong karena begitu
dinamisnya teks-teks syair yang setiap satu teks dengan yang lainnya tidak pernah
sama. Hanya teks syair-syair melayu klasik saja seperti Siti Zubaidah, Dandan
Setie, dan beberapa lainnya yang berasal dari sastra kitab, dan buku-buku tersebut
pun tetap masuk dalam kesenian Syair Gulong yang ternyata mengembangkan
lelaguan untuk beberapa syair yang fenomenal seperti Siti Zubaidah.
Penyimpanan, penulisan, hingga budaya memberikan teks syair yang telah
dibacakan kepada orang yang ingin memintanya, ataupun yang dituakan secaera
status quo di masyarakat adalah problematika mengapa teks-teks syair ini sulit
didapatkan. Belum lagi penyair gulong, yang menulis, mengomposisi, dan
membacakan lagu demi lagu bagi syair yang ditulisnya jarang sekali menyimpan
naskah ataupun salinanya untuk alasan pelestarian kesenian ini. Tak heran, teks-
teks syair yang seharusnya mampu diselamatkan pada periodisasi sejarah penelitian
ini tidak cukup membantu karena tidak didapatkan bukti otentik naskah yang ditulis
sezaman. Namun, hanya kearifan lokal penyair gulong-lah yang akhirnya
membantu penelitian ini dengan memberikan teks-teks syair di akhir 90 dan awal
era kontemporer, yang mana diyakini penutur dan sumber-sumber lisan selama
penelitian, adalah mewakili naskah Syair Gulong, kesenian Syair Gulong, dan
semangat berkebudayaan serta berkesenian Melayu yang hidup di Kalimantan Barat
di tahun 1970-1990.
140
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Arsip :
Syair Bulan Terbit 1922. Pontianak : Koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Pontianak.
Syair Sultan Madi 1923. Pontianak : Koleksi Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Pontianak.
Borneo Barat Bergerak : Pembatjaan Pemimpin dan Penolong Anak Negeri No.7
1 januari 1920. Jakarta : Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Serial Sejarah Sekuntum Mawar Tentang Sejarah & Hari Jadi Ketapang, Jakarta
& Bekasi 1 Desember 1998. Pontianak : Jurnal Pribadi M. Salim Bin
Achmad Atik.
Syair Kayung Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan Lisa Amalia, Desember
2013. Ketapang : Koleksi Mahmud Mursalin.
Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung 18 Februari 2005. Ketapang : Koleksi
Uti Saban.
Syair Pendidikan. Ketapang : Makalah Festival Budaya Bumi Khatulistiwa (FBBK
XI) Kalimantan Barat 2013.
Syair Pemuda dan Tanah Kayong 3 Oktober 2013. Ketapang : Makalah Festival
Budaya Bumi Khatulistiwa (FBBK XI) Kalimantan Barat 2013.
Buku :
Bayu Widjiatmoko. 2014. Kronik Peralihan Nusantara Liga Raja-Raja Hingga
Kolonial. Jogjakarta : Mata Padi Presindo.
Braginsky, V.I. 1999. Yang Faedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu dalam Abad
7-19. Jakarta : Balai Pustaka.
Chairil Effendy. 2006. Bercerite dan Bedande ; Tradisi Kesastraan Melayu
Sambas. Pontianak : Stain Pontianak Press.
______. 2006. Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya. Pontianak : Stain
Pontianak Press.
Claire, Holt. 2006. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia (edisi
terjemahan Soedarsono). Bandung : Masyarakat Seni Pertunjukkan
141
Indonesia.
Edi Setyawati. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukkan. Jakarta : Sinar
Harapan.
_____.2014. Kebudayaan di Nusantara dari Keris, Tor-Tor, sampai Industri
Budaya. Jakarta : Komunitas Bambu.
Ibrahim Badjuri. 2006. Sejarah Singkat Kerajaan Tanjungpura dan Kerajaan-
Kerajaan yang Asal-Usulnya dari Kerajaan Tanjungpura. Ketapang :
Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ketapang.
I Made Satyananda. 1997. Skenario Perekaman Upacara Gunting Rambut Suku
Melayu Pontianak Kotamadya Pontianak Kalimantan Barat. Pontianak :
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Jenks, Chris. 2013. Culture, Studi Kebudayaan (edisi terjemahan oleh Erika
Setyawati). Jogjakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit
Djambatan.
Marwati Djonoed, dkk. 1984.Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Penerbit
Balai Pustaka.
M. Darbi D Has. 2008. Kebudayaan, Adat Istiadat dan Hukum Adat Melayu
Ketapang. Ketapang : Kantor Informasi Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Ketapang.
Moeflih Hasbullah, dkk. 2012. Filsafat Sejarah. Jakarta : Pustaka Setia.
M. Zaini. AR. 1991. Kesah Nagri Sambas 1568-1944. Pontianak : Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
R.M. Soedarsono. 2007. Seni Pertunjukkan Indonesia di Era Globalisasi.
Yogyakarta: UGM Press.
Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta :
PT Gramedia.
Syaikh Ja’Far Al Barzanjie. 2003. Terjemahan Al-Barzanjie. Jakarta : Pustaka
Amani Jakarta.
Taufik Abdullah. 2014. Indonesia dalam Arus Sejarah Volume III : Kedatangan
dan Peradaban Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.
Yudo Sudarto. 2010. Catatan Warisan Budaya (Cultural Heritage) di Kerajaan
Tanjungpura. Ketapang : Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan
142
Olahraga.
Sumber Jurnal :
Direktorat Jenderal Sejarah, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2000.
Sukadana : Suatu Tinjauan Sejarah Kerajaan Tradisional Kalimantan
Barat. Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
_____. 2001. Upacara Tradisional Tumpang Negeri Bagi Masyarakat Melayu
Ngabang Kabupaten Landak. Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Pontianak.
_____. 2001. Kerajaan Simpang ; Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Juniar Purba, dkk. Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan no 07/2009. Pontianak
: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
______. Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan no 07/2005. Pontianak : Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
Syafaruddin Usman. 2003. Sejarah dan Silsilah Pemerintahan dan Kekerabatan
Kerajaan Matan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Pontianak :
Perpustakaan Pribadi Syafaruddin Usman.
E-Jurnal :
Yudo Sudarto. 2008. Upaya Menggali dan Melestarikan Warisan Budaya dan
Sejarah Kerajaan Tanjungpura di Kabupaten Ketapang. (//E:/backup
kuliah/KULIAH/save the page/index.php.htm). Diakses pada 12 Rabu
Februari 2014.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2012. Syair Gulong : Registrasi
Warisan Budaya Tak Benda Nasional. (http://www.bpsnt-
pontianak.org/index.php?pages=rubrik). Diakses pada Rabu 12 Februari
2014.
M. Darbi D. Has. 2008. Syair Gulong Sastra Peninggalan Kerajaan Tanjungpura.
(http://yudosudarto.blogspot.com/2009/03/syair-gulung-sastra-
peninggalan.html). Diakses pada Rabu 12 Februari 2014.
143
DATA INFORMAN
1. Nama : Harun Das Putra
Umur : 75 Tahun
Alamat : Jl. Merdeka Gg. Pipit No. 25, Kota Baru, Pontianak
Pekerjaan : Sastrawan dan penyair Syair Gulong sejak tahun 1950.
Pernah diundang dalam event-event kebudayaan seperti ;
PSN IV-Kuching Malaysia 1988. Pengembangan Sastra
Daerah Pontianak 1989, Kongres Kebudayaan Jakarta
1991. Temu Teater Indonesia Solo 1993. Dialog Borneo
Pontianak 1995. Seminar Seni Masyarakat Pedalaman se-
Asfac 1993. Pekan Teater Kalimantan I Tenggarong
Kaltim 1996, dan Kalteng 1997. Dialog Burneo di
Sarawak 2004. PSN IX Brunei 2001. Kembara Sastra
Nusantara 2001. Temu Budaya Indonesia Makassar 2001.
Festival Pantun Serumpun se-Asia Tenggara 2008.
Menulis naskah syair ; Syair Timbang Matahari Pontianak
2001, Syair Pengucapan Puisi Dunia Pontianak 2006,
Jamu Besan DK Kalbar 2007, Syair Bumi Khatulistiwa
Kota Pontianak Negeri Bersyair 2008.
2. Nama : Uti Saban
Umur : 75 Tahun
Alamat : Desa Padang, Kecamatan Benua Kayung, Ketapang
Pekerjaan : Sastrawan dan penyair Syair Gulong sejak tahun 1970.
Pernah diundang dalam acara Peresmian Madrasah
Kecamatan Benua Kayung, Kabupaten Ketapang, Kalbar
2005. Menulis naskah syair ; Syair Peresmian Madrasah
Benua Kayung 18 Februari 2005.
3. Nama : Mahmud Mursalin
Umur : 54 Tahun
Alamat : Desa Tuan-Tuan, Kecamatan Benua Kayung,
Ketapang
Pekerjaan : Sastrawan dan penyair Syair Gulong sejak tahun 1993.
Pernah diundang dalam acara Festival Seni Budaya
Melayu (FSBM ke IX) Sambas, Kalbar. Festival Budaya
Bumi Khatulistiwa (FBBK IX). Menulis naskah syair ;
Syair Pemuda dan Tanah Kayong 3 Oktober 2013, Syair
Kayung Walimatul Ursy Erlambang Ardiansyah dan Lisa
Amalia, 1 Desember 2013.
144
4. Nama : Chairil Effendy
Umur : 59 Tahun
Alamat : Komplek Univ Tanjungpura, Jl. Imam Bonjol,
Pontianak
Pekerjaan : Rektor Universitas Tanjungpura, Pontianak dan Profesor
Sastra Lisan untuk Provinsi Kalimantan Barat.
5. Nama : Hermansyah
Umur : 60 Tahun
Alamat : Kelurahan Kauman, Kecamatan Benua Kayung,
Ketapang
Pekerjaan : Budayawan. Pernah merintis Mas Bayu Kayong yang
kemudian menjadi Majelis Adat Budaya Melayu (MABM)
Ketapang.
145
LAMPIRAN
146
Lampiran I
Syair Sultan Madi, Tahun 1923
147
Syair Sultan Madi, Tahun 1923
148
Lampiran III
Syair Sultan Madi, Tahun 1923
149
Syair Sultan Madi, Tahun 1923
Lampiran 1
Syair Sultan Madi, Tahun 1923
150
di,
Tahun
1923
151
152
153
154
Lampiran II
Syair Bulan Terbit, Tahun 1923
155
156
33
157
Lampiran 1
158
Syair Sultan MTahun
159
ampiran 1
160
Lampiran III
Kesah Nagri Sambas 1568-1944
161
1991
162
163
164
Lampiran IV
Foto Kitab Syair Dandan Setie
165
Lampiran V
Foto Syair Gulong, 1 Desember 2013
166
Lampiran VI
Silsilah keluarga keraton Kadriah Pontianak
167
Lampiran VII
Syair Pendidikan Karangan Mahmud Mursalin, 2013
168
Lampiran VIII
Syair Kota Pontianak Negeri Bersyair, tahun 2008
169
170
171
172
173
174
175
Lampiran IX
Pemuda dan Sejarah Tanah Kayung karangan Mahmud Mursalin, 2013
176
Lampiran X
Syair Uit Sintang (Syair Kerajaan Sintang)
177
178
Lampiran XI
179
Syair Kayung Walimatul Ursy Pernikahan Erlambang Ardiansyah dan
Lisa Amalia, 1 Desember 2013
180
181
182
183
184
Lampiran XII
Syair Peresmian Madrasah Benua Kayung, Ketapang, Februari 2005
185
186
Top Related