69
BAB IV
PENGATURAN AGAMA DAN PENGANUT AGAMA, KEPERCAYAAN
DAN PENGANUT KEPERCAYAAN DI INDONESIA
Bab ini akan menjelaskan muatan materi beberapa peraturan perundang-
undangan yang tidak melindungi penganut kepercayaan. Melalui peraturan
perundang-undangan tersebut negara melakukan intervensi terhadap kebebasan
berkeyakinan dan membatasi hak penganut kepercayaan. Berikutnya akan
dijelaskan mengenai pertentangan muatan materi dalam peraturan perundang-
undangan tersebut dengan asas/prinsip kesamaan hak penganut agama dan
kepercayaan.
Terakhir akan dijelaskan preskripsi mengenai peraturan perundang-
undangan yang seyogyanya dalam melindungi penganut kepercayaan. Hal prinsip
yang penulis pertahankan adalah bagaimana supaya peraturan perundang-undangan
tersebut memosisikan secara sejajar antara penganut agama dan penganut
kepercayaan.
A. Intervensi Negara terhadap Kebebasan Menganut Kepercayaan Melalui
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan yang mengatur keyakinan (belief) di
Indonesia membuat dikotomi „agama‟ dan „kepercayaan‟. Adanya dikotomi
tersebut berakibat pada perlakuan yang berbeda dari negara terhadap penganut
„kepercayaan‟ dan „agama‟. Bagi penganut agama diluar „agama resmi‟ negara,
pelayanan administrasinya dimasukan pada penghayat kepercayaan. Sehingga
penganut kepercayaan dan penganut agama diluar „agama resmi‟ negara tidak
70
dilayani oleh Kementerian Agama. Pemerintah dengan alasan menjalankan
peraturan perundang-undangan kerap melakukan tindakan yang membatasi,
bahkan merampas hak-hak dasar penganut kepercayaan.
Penganut kepercayaan juga mendapatkan perlakuan intoleran dari
masyarakat dan tokoh agama (enam agama yang diakui negara). Para tokoh agama
kerap menstigma miring dengan memberikan label sesat terhadap penganut
kepercayaan. Akibat pelabelan sesat itu, penganut kepercayaan terancam
keselamatannya dengan bayang-bayang penyerangan. Pelabelan sesat tak lepas dari
peraturan perundang-undangan yang mengatur agama dan kepercayaan di
Indonesia. Pengaturan mengenai agama dan kepercayaan memberi celah kepada
warga mayoritas untuk bertindak intoleran dan diskriminatif terhadap penganut
kepercayaan.
1. Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Pengaturan tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
berdampak buruk terhadap penganut kepercayaan. Muatan materi dalam UU No.
1/PNPS Tahun 1965 mengancam hak/kebebasan menganut kepercayaan dan
menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan. Pengaturan tersebut membuat
penganut kepercayaan berada dibawah bayang-bayang ancaman penodaan agama.
Pasal 1 UU a qua menyatakan “setiap orang dilarang dengan sengaja di
muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
71
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-
pokok ajaran agama itu”.1
Pasal 2 ayat (1) “barang siapa melanggar ketentuan pasal 1, diberi perintah
dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya melalui keputusan
bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat
(2) menyatakan “apabila pelanggaran dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau
sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan
menyatakan aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, setelah Presiden
mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri”.2
Pasal 3 menyatakan “apabila telah dilakukan tindakan oleh Menag bersama
Jaksa Agung, dan Mendagri/Presiden, terhadap orang/organisasi aliran
kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan pasal 1, maka
orang/penganut, pengurus organisasi dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara
1 Penjelasan: dengan kata "dimuka umum" dimaksudkan apa yang diartikan dalam
KUHPidana. Agama-agama yang dipeluk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha
dan khong Cu (Confusius). Kecuali enam agama itu, mendapat jaminan seperti dalam pasal 29 ayat
2 UUD 1945. Terhadap badan/aliran kebatinan, pemerintah berusaha menyalurkannya kearah
pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan
MPRS No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6. Kata "kegiatan keagamaan"
dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran
sebagai Agama, mempergunakan istilah dalam mengamalkan ajaran kepercayaannya. Lihat, UU
Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 2 Penjelasan: sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap penganut kepercayaan
maupun Pengurus Organisasi yang melanggar larangan dalam pasal 1, untuk permulaannya cukup
diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan dilakukan oleh organisasi atau penganut
kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka
Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan organisasi aliran
terlarang dengan akibat-akibatnya (jo pasal 169 KUHP).
72
selama-lamanya lima tahun.”3 Pasal 4 menyatakan ”pada KUHPidana diadakan
pasal baru yang berbunyi; pasal 156a ”dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan:
a. Pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, selain
yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”4
UU di atas menimbulkan diskriminasi karena seseorang/kelompok
penganut kepercayaan bisa divonis melakukan penyalahgunaan atau penodaan
terhadap „agama resmi‟ negara. Peraturan ini tidak berpihak bagi penganut agama
„diluar agama resmi‟ yang dikelompokan kedalam penganut kepercayaan.
Pengaturan di atas hanya melindungi penganut „agama resmi‟ negara, sementara
penganut kepercayaan tidak terlindungi bahkan terancam pidana.
2. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan
Pelayanan administrasi penganut kepercayaan diatur dalam UU No. 24
Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Berawal dari undang-undang inilah terjadi pembedaan perlakuan
3 Penjelasan: ancaman pidana ini adalah tindak lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap
mengabaikan peringatan dalam pasal 2. Karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai
bentuk organisasi, maka mengenai aliran kepercayaan, penganutnya yang masih terus melakukan
pelanggaran dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya
tidak dapat dituntut. Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana
5 tahun dirasa sudah wajar. 4 Penjelasan: Huruf a, tindak pidana disini ialah pada pokoknya ditujukan kepada niat untuk
memusuhi atau menghina. Huruf b, yang melakukan pidana disamping mengganggu ketentraman
orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari negara secara total, dan oleh karena
perbuatannya itu dipidana sepantasnya.
73
negara terhadap penganut agama dan penganut kepercayaan. Negara membedakan
pelayanan administrasi penganut kepercayaan dengan penganut agama mengenai
identitas agama di KTP, kewajiban mendaftarkan organisasi, dan pencatatan
perkawinan yang berimplikasi pada pembuatan akta kelahiran, pembuatan Kartu
Keluarga (KK), pengesahan dan pengakuan anak.
2.1. Pengaturan tentang Mengakui dan tidak Mengakui Agama (Identitas Agama di
KTP)
Pengaturan tentang mengakui dan tidak mengakui agama menjadi pintu
perlakuan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Diskriminasi semakin jelas
dilakukan negara dengan adanya keharusan mencantumkan identitas agama di
KTP. Penganut keyakinan diluar enam „agama resmi‟ negara dikosongkan
identitas agamanya di KTP. Sementara penganut enam „agama resmi‟ negara
dicantumkan sesuai dengan agama masing-masing.
UU No. 24 Tahun 2013 pasal 8 ayat (4) menyatakan “...., persyaratan dan
tata cara pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui
sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan”.5 Pasal 64 ayat (1) menyatakan “KTP-el mencantumkan......,
“agama”.......”. Ayat (5) menyatakan “data penduduk tentang agama bagi penduduk
yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan „tidak diisi‟ tetapi
tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.
2.2. Pengaturan tentang Tata Cara dan Syarat Pencatatan Perkawinan
5 Lihat, UU No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
74
Pengaturan tentang pencatatan perkawinan penganut kepercayaan
berdampak diskriminasi bagi kelompok kepercayaan yang tidak memiliki pemuka
penghayat kepercayaan. Syarat untuk memiliki pemuka kepercayaan, harus ada
surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi kepercayaan. Artinya bagi penganut
kepercayaan yang tidak memiliki SKT, maka perkawinannya tidak bisa dicatatkan.
Perkawinan yang tidak bisa dicatatkan maka tidak mendapat akta perkawinan
sehingga berdampak pada pembuatan akta kelahiran, KK, pengesahan anak,
bahkan berdampak pada perkawinan sang anak dikemudian hari.
Pencatatan perkawinan bagi penganut „agama resmi‟ negara diatur dalam
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sahnya perkawinan diatur dalam pasal
2 yang menyatakan “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu”. PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 2 ayat (2) menyatakan
“pencatatan perkawinan bagi penganut agama dan kepercayaan selain agama
Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil.”6
Peraturan perundang-undangan di atas sama sekali tidak mengatur perkawinan
penganut kepercayaan.
Pengaturan pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan diatur dalam
PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU 24/2003 tentang Adminduk. Pasal
81 ayat (1) menyatakan “perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan
pemuka penghayat kepercayaan”. Ayat (2) “pemuka penghayat kepercayaan,
6 Lihat, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
75
ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan7 tugasnya mengisi
dan menandatangani surat perkawinan”.8 Ayat (3) menyatakan “pemuka penghayat
kepercayaan, didaftar pada kementerian yang tugasnya secara teknis membina
organisasi kepercayaan”.9
Pencatatan perkawinan berimplikasi pada pengangkatan anak dan
pengesahan anak. UU Adminduk pasal 49 ayat (2) menyatakan “pengakuan anak
hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah
menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara”. Pasal 50 ayat
(2) menyatakan “pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya
telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.10
2.3. Pengaturan tentang Keharusan Mendaftarkan Organisasi Kepercayaan
Peraturan perundang-undangan yang mengharuskan organisasi kepercayaan
didaftarkan di pemerintahan substansinya membatasi hak penganut kepercayaan.
Keharusan mendaftar ini bertentangan dengan prinsip bahwa “setiap orang bebas
berserikat”, tanpa harus diformalkan oleh negara. Negara ini terlalu latah terhadap
kebiasaan yang ada di masyarakat bahwa sebuah perserikatan harus diformalkan.
7 Penjelasan ayat (2): “yang dimaksud dengan organisasi penghayat kepercayaan adalah suatu
wadah penghayat kepercayaan yang terdaftar pada instansi di kementerian yang membidangi
pembinaan teknis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”. 8 Lihat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU 24/2003
tentang Administrasi Kependudukan. 9 Pasal 82 menyatakan “peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (2)
wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 60 (enam
puluh) hari dengan menyerahkan: a. Surat perkawinan penghayat kepercayaan; b. Foto kopi KTP; c.
Pas foto suami dan istri; d. Akta kelahiran; dan e. Paspor suami dan/atau istri bagi orang asing. 10
Hal ini ada kaitannya dengan penjelasan ayat (1) yang menyatakan ”yang dimaksud dengan
"pengesahan anak" merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang
telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak
tersebut telah sah menurut hukum negara.
76
Pengakuan negara terhadap sebuah perserikatan seharusnya tidak sebatas pada
formalitas.
Selain itu, persyaratan supaya bisa terdaftar sebagai organisasi di
pemerintah sulit dipenuhi karena sangat eksklusif bagi penganut kepercayaan.
Salah satu syaratnya harus memiliki cabang organisasi yang sudah terdaftar ditiga
kabupaten/kota. Bagi penganut kepercayaan yang tidak memiliki cabang ditiga
kabupaten/kota tidak bisa terdaftar.
Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 5
ayat (1) menyatakan “gubernur menerbitkan SKT organisasi penghayat
kepercayaan tingkat provinsi. Ayat (2) “penerbitan SKT dengan persyaratan
sebagai berikut: ....., d. SKT minimal di 3 (tiga) Kabupaten/Kota; ....., k. surat
keterangan domisili ditandatangani oleh lurah dan camat; l. surat kontrak/izin
pakai tempat bermaterai cukup; ......”.11
Pasal 6 ayat (1) “bupati/walikota
menerbitkan SKT organisasi penghayat kepercayaan tingkat kabupaten/kota”. Ayat
(2) “penerbitan SKT dengan persyaratan sebagai berikut: ......., d. SKT minimal di
3 (tiga) Kabupaten/Kota; ......., k. surat keterangan domisili ditandatangani oleh
lurah dan camat; l. surat kontrak /izin pakai tempat bermaterai cukup;.......”.
3. Pengaturan tentang Pendirian Rumah Ibadah, Pemakaman dan Hak
Pendidikan Penganut Kepercayaan
Peraturan perundang-undangan mengenai pendirian tempat ibadah/sanggar,
pemakaman dan hak pendidikan agama bagi penganut kepercayaan menimbulkan
11
Lihat, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
77
diskriminasi bagi penganut kepercayaan. Ketiga persoalan ini merupakan fasilitas
publik yang harus dipenuhi oleh negara tanpa perlakuan yang berbeda.
3.1. Pengaturan tentang Fasilitas Pemakaman
Pengaturan mengenai fasilitas pemakaman bagi penganut kepercayaan
tidak kondusif karena memberikan celah bagi kelompok mayoritas bertindak
intoleran terhadap penganut kepercayaan. Muatan materi tersebut menjadi celah
melakukan penolakan pemakaman. Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan
No. 41 Tahun 2009, pasal 8 ayat (1) menyatakan “penghayat kepercayaan yang
meninggal dunia dimakamkan pemakaman umum”. Ayat (2) “jika pemakaman
penghayat kepercayaan ditolak di pemakaman umum yang berasal dari tanah
wakaf, pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum”. Ayat (3) “lahan
pemakaman umum dapat disediakan oleh penghayat kepercayaan”. Ayat (4)
“bupati/walikota memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan
oleh penghayat kepercayaan, untuk menjadi pemakaman umum”.
3.2. Pengaturan Mengenai Pendirian Rumah Ibadah/Sanggar
Teknis dan tata cara persyaratan pendirian tempat ibadah/sanggar bagi
penganut kepercayaan mengacu pada Perber Mendagri dan Menbudpar. Sementara
persyaratannya merujuk pada SKB dua menteri yakni Menteri Agama dan
Mendagri tentang kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadah. Syarat
utama supaya bisa membuat rumah ibadah dalam peraturan bersama itu adanya 90
tanda tangan dan foto kopi KTP pengguna rumah ibadah dan 60 tanda tangan dan
78
foto kopi KTP warga sekitar. Syarat ini tentu sangat memberatkan penganut
kepercayaan karena mereka kelompok minoritas.
Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 9
ayat (1) menyatakan “penyediaan sanggar didasarkan atas keperluan nyata dan
sungguh-sungguh bagi penghayat kepercayaan”. Ayat (2) “penyediaan sangggar,
dapat berupa bangunan baru atau bangunan lain yang dialih fungsikan”. Pasal 10
“pembangunan sanggar, harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis
bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal
11 ayat (1) “penghayat kepercayaan mengajukan permohonan ijin mendirikan
bangunan untuk penyediaan sanggar dengan bangunan baru, kepada
bupati/walikota”. Ayat (2) “bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat
90 hari sejak diterimanya permohonan pendirian sanggar yang telah memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Pasal 12 ayat (1) “penyediaan sanggar yang telah mendapat ijin
sebagaimana mendapat penolakan dari masyarakat, pemerintah daerah
memfasilitasi pelaksanaan pembangunan sasana sarasehan dimaksud”. Ayat (2)
“ketika pemerintah daerah dalam memfasilitasi tidak berhasil, pemerintah daerah
berkewajiban memfasilitasi lokasi baru untuk pembangunan sanggar”. Pasal 13
menyatakan ”bupati/walikota memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung sanggar yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan
rencana tata ruang wilayah”.
3.3. Tidak Diaturnya Pendidikan bagi Penganut Kepercayaan di Sekolah Umum
79
Pengaturan tentang Sistem Pedidikan Nasional (Sisdiknas) membuat siswa
penganut kepercayaan tidak mendapat pendidikan kepercayaan di sekolah umum.
Sekolah-sekolah umum12
tidak menyediakan guru dan mata pelajaran kepercayaan
sebagai pengganti mata pelajaran agama. UU Sisdiknas hanya mengatur mengenai
guru dan mata pelajaran bagi penganut agama „resmi negara‟.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) menyatakan
“setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. mendapatkan
pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama……..”.13
UU ini, sama sekali tidak menyinggung
mengenai pendidikan „agama‟ bagi penganut kepercayaan. UU tentang pendidikan
ini berlaku diskriminatif bagi penganut kepercayaan. Padahal setiap orang berhak
mendapatkan pengajaran dan pendidikan termasuk pendidikan agama.
4. Pengaturan tentang Menempatkan Kepercayaan pada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Peraturan yang tidak kondusif mengatur penganut kepercayaan tidak hanya
dari sisi substansi muatan materinya. Kebijakan pemerintah memindahkan
kepercayaan dari Departemen Agama ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
juga bermasalah. Adanya pengaturan itu membuat posisi kepercayaan
tersubordinasi oleh agama. Penghayat kepercayaan dinyatakan bukan agama
sehingga ditempatkan pada kementerian budaya dan pariwisata dan diawasi pula
12
Kenapa sekolah umum? Karena sekolah umumlah yang wajib menerima semua anak bangsa
bersekolah. Apabila sekolah-sekolah yang berada dibawah yayasan berhaluan agama, akan sangat
sulit bagi penganut kepercayaan untuk sekolah di sekolah tersebut. 13
Lihat, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
80
oleh Mendagri. Kepercayaan diposisikan sebagai ajaran atau budaya bangsa, bukan
agama yang disejajarkan dengan „agama resmi‟ negara.
Pada tahun 1975 penghayat kepercayaan dimasukan pada Kanwil Depag
(Kemenag) pada tingkat Propinsi. Berdasarkan Instruksi Menag No. 13 Tahun
1975, pembinaan penganut kepercayaan dialihkan pada sub Bagian Umum Tata
Usaha, Menag. Pada tahun 1978, pelayanan penganut kepercayaan dialihkan pada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah Direktorat Bina Hayat
Kepercayaan berdasarkan Keppres No. 40 Tahun 1978.
Alasan mendasar penghayat kepercayaan tidak dibawah naungan Depag
karena penghayat keperayaan dinilai bukan merupakan agama. Atas dasar itu,
Perpres No. 14 Tahun 2015 pasal 19 mengatur bahwa ”dalam melaksanakan
tugasnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan fungsi: ....., d.
Melakukan pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
……”.14
Sebagai turunannya dibuatlah Permendikbud No. 73 Tahun 2012 tentang
Bantuan Sosial Untuk Komunitas Budaya. Pasal 1 ayat 13 menyatakan ”komunitas
kepercayaan adalah kesatuan sosial genealogis, memiliki keyakinan dan pandangan
kosmologis yang terikat oleh kekuatan adi kodrati, mempunyai kitab yang
dijadikan rujukan, orang yang terpilih sebagai penerima ajaran, ada upacara
peribadatan”. Pasal 4 menyatakan ”bantuan sosial diberikan kepada: ......, b.
14
Lihat, Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
81
komunitas kepercayaan, yang terdiri atas organisasi penghayat kepercayaan yang
terdaftar di pemerintah”.15
5. Pengaturan tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap Penganut
Kepercayaan
Pembinaan dan pengawasan kementerian secara berlebihan mengakibatkan
penganut kepercayaan mendapat perlakuan diskriminatif dan intoleran. Penganut
kepercayaan seakan kelompok keyakinan yang membahayakan sehingga harus
diawasi dan harus dibina.
Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 15
ayat (1) menyatakan “Mendagri melakukan pembinaan dan pengawasan umum
atas pelayanan kepada penghayat kepercayaan. Ayat (2) “pembinaan itu dilakukan
dengan mengoordinasikan gubernur dalam pelayanan kepada penghayat
kepercayaan dan pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada
penghayat kepercayaan”. Ayat (3) “pengawasan umum itu dilakukan dengan
memantau gubernur dalam pelayanan kepada penghayat kepercayaan dan
pembinaan kepada bupati/walikota dalam pelayanan kepada penghayat
kepercayaan”.
Pasal 16 ayat (1) menyatakan “Menbudpar melakukan pembinaan dan
pengawasan teknis atas pelayanan kepada penghayat kepercayaan”. Ayat (2)
“pembinaan teknis itu meliputi: a. pemberian pedoman; b. pemberian bimbingan
teknis, konsultasi, supervisi; dan c. dokumentasi dan publikasi. Ayat (3)
15
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2012 tentang Bantuan Sosial
Untuk Komunitas Budaya.
82
“pengawasan teknis itu dilakukan dengan pemantauan dan evaluasi terhadap
pelayanan penghayat kepercayaan”.
Kemudian pasal 17 menyatakan “gubernur melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap bupati/walikota dalam pelayanan penghayat kepercayaan”.
Pasal 18 ayat (1) “bupati/walikota melaporkan tugas pelayanan penghayat
kepercayaan di kabupaten/kota kepada gubernur”. Ayat (2) “gubernur melaporkan
tugas pelayanan penghayat kepercayaan di provinsi kepada Mendagri dan
Menbudpar”. Ayat (3) “laporan sebagaimana yang dimaksud disampaikan setiap 6
(enam) bulan sekali pada bulan Januari dan Juli atau sewaktu-waktu jika
diperlukan”.
Bukan hanya ‟dibina‟ oleh Kemendagri dan Kemendikbud, penganut
kepercayaan juga diawasi oleh Kejaksaan melalui lembaga Bakor Pakem. UU No.
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan16
pasal 30 ayat (3) menyatakan “......, dalam
bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:…….. d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
……”.17
UU di atas menjadi landasar Kejaksaan membuat Surat Keputusan Jaksa
Agung RI No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Bakor Pakem. Pasal 2 ayat (4) 59:
a. Ketua merangkap anggota: Kepala Kejaksaan Negeri. Susunan dan
Keanggotaan Pakem Tingkat 2 adalah:
b. Wakil Ketua merangkap anggota: Kepala Seksi Intel
16
UU tentang Kejaksaan sudah mengalami beberapa kali perubahan sejak pertama kali
dibentuk pada tahun 1961. 17
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
83
c. Anggota-anggota dari wakil: Pemda tingkat II, Kemenag, Polres, Kodim,
Pendidikan dan Kebudayaan dan lainnya.”18
Pasal 3 ayat (1) 60: tugas tim Pakem menurut pasal 3 Keputusan Jaksa
Agung bertugas:
a. Menerima dan menganalisa laporan dan atau informasi tentang aliran
kepercayaan di Masyarakat;
b. Meneliti dan menilai secara cermat perkembangan suatu aliran kepercayaan
untuk mengetahui dampak-dampaknya bagi ketertiban dan ketentraman
umum;
c. Dapat mengambil langkah-langkah preventif dan represif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melihat peraturan perundang-undangan di atas, negara telah turut campur
dalam keyakinan individu penganut kepercayaan. Hak-hak dasar penganut
keperayaan dibatasi oleh UU tentang penodaan agama, keharusan mencantumkan
identitas agama di KTP, pelayanan administrasi kependudukan, dan pembentukan
Bakor Pakem. Pengaturan itu merugikan hak-hak dasar penganut kepercayaan
bahkan pada beberapa kasus, seseorang dipidana karena dianggap telah menodai
agama. Artinya peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak kondusif
dalam mengatur kepercayan.
18
Keputusan Jaksa Agung RI No. :KEP004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi
Pakem.
84
B. Pengaturan tentang Kepercayaan Bertentangan dengan Hakikat Konsep
Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak
Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan
Peraturan perundang-undangan tentang kepercayaan pada bagian A di atas
bertentangan dengan asas/prinsip hukum universal yang melindungi hak-hak dasar
setiap individu manusia (lihat; bab II). Pengaturan tersebut juga bertentangan
dengan hakikat kesamaan agama dan kepercayaan (lihat; bab III) dimana sejatinya
penganut agama dan penganut kepercayaan posisinya sejajar dimata hukum. Tak
hanya dari sisi muatan materiilnya, peraturan perundang-undangan tersebut juga
bertentangan dengan syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
1. Inkoherensi19
Pengaturan tentang UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan,
serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut
Kepercayaan
Materi muatan dalam UU No. 1/PNPS 1965 bertentangan dengan UUD
NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2015. Substansi
undang-undang tersebut juga bertentangan dengan prinsip non-intervensi, prinsip
non-diskriminasi, dan prinsip toleransi (lihat; bab III) terhadap menganut
kepercayaan. UU tersebut hanya melindungi penganut „agama resmi‟ negara.
Sementara penganut kepercayaan tidak dilindungi, bahkan posisinya terancam
19
Inkoherensi merupakan istilah dalam dunia sikologi. Inkoherensi didefinisikan untuk
menggambarkan pembicaraan yang tidak logis, dimana kata- kata yang diucapkan tidak dapat
dimengerti. Pikiran sangat cepat sehingga kata- kata yang diucapkan tidak mempunyai hubungan
atau tanpa tata bahasa yang menyebabkan disorganisasi. Dalam dunia hukum, inkoherensi
didefinisikan untuk menggambarkan ketidaksesuaian antara peraturan yang satu dengan lainnya
padahal mengatur objek yang sama.
85
pidana. Ancaman ini terbukti dengan adanya beberapa pimpinan kelompok
agama/kepercayaan yang dipidana karena dianggap menodai agama.
Padahal, kebebasan menganut agama atau kepercayaan serta beribadah
sesuai dengan yang diyakini dijamin dan dilindungi UUD NRI 1945. Pasal 28E
ayat (1) menyatakan ”setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya.” Ayat (2) ”setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan
sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28I ayat (1) “kebebasan beragama dan
berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun”. Pasal 29 ayat (2) menyatakan ”negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”20
Prinsip kebebasan beragama ditegaskan juga dalam UU No. 39 Tahun 1999
pasal 4 yang menyatakan “....., hak beragama, ...... adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.21
Pasal 22 ayat
(1)”setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamanya dan kepercayaanya itu.” Ayat (2) ”negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.22
Begitu juga dengan UU No. 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) menyatakan
”setiap orang berhak atas kebebasan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
20
Lihat, perubahan keempat UUD NRI 1945. 21
Lihat, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. 22
Jimly Asshiddiqie, Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi,
makalah, 2 September 2015.
86
menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di
tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya
dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.
Ayat (2) menyatakan ”tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu
kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaannya sesuai
dengan pilihannya. Ayat (3) ”kebebasan untuk mengejawantahkan agama atau
kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum,
dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan dan atau
moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.23
Pengaturan kebebasan beragama di Indonesia tidak kondusif lantaran
adanya UU No. 1/PNPS Tahun 1965 (lihat; Bab IV bagian A point 1). UU ini tidak
kondusif melindungi hak kebebasan menganut kepercayaan, bahkan mengancam
pidana. Muatan materi penjelasan pasal satu misalnya, secara eksplisit menyatakan
bahwa agama-agama yang dipeluk penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Apabila suatu kelompok
kepercayaan melakukan kegiatan/ibadah mirip dengan ritual agama di atas, , maka
bisa saja melanggar UU No. 1/PNPS Tahun 1965.
Ancaman ini bukan isapan jempol belaka, di Indonesia terdapat beberapa
putusan pengadilan yang memidana seseorang karena keyakinannya. Bukan hanya
sangsi pidana, kebijakan pemerintah yang menghentikan kegiatan organisasi
23
Lebih lengkapnya mengenai isi pasal-pasalnya, lihat ICCPR/UU No. 12/2005 tentang Hak-
hak Sipil dan Politik.
87
keagamaan nyata terjadi di Indonesia. Hasil investigasi Amnesty Interbasional
merilis beberapa kasus yang berujung pemidaan terhadap penganut kepercayaan.
Salah satunya menimpa Andreas Guntur Wisnu Sarsono, pemimpin
kepercayaan Amanat Keagungan Ilahi (AKI), sekte keagamaan di Jawa Tengah.
Andreas dipenjara empat tahun karena dianggap menodai agama. Andreas dituntut
berdasarkan Pasal 156(a) KUHP tentang penodaan agama. Melalui putusan
Pengadilan PN Klaten No. 3/Pid.B/2012/PN.Klt24
Andreas dijatuhi hukuman
empat tahun penjara pada Maret 2012. Keputusan itu juga dipertahankan oleh
Pengadilan Tinggi Semarang pada April 2012 dengan Putusan No.
98/PID/2012/PT.SMG25
dan putusan Mahkamah Agung No. 1115 K/Pid/201226
pada Agustus 2012.
Pada akhir laporannya, Amnesty International merilis daftar 106 nama
penganut kepercayaan dan penganut sekte „agama resmi‟ yang secara individu
telah dipenjara karena undang-undang penodaan agama.27
Putusan-putusan
pengadilan tentang penodaan/penghinaan terhadap agama, menjadi landasan bagi
Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara uji materi KUHP jo UU No.
24
Lebih lengkapnya mengenai saksi-sakis, buki-bukti dalam persidangan serta pertimbangan
hakim, lihat Putusan PN Klaten No. 3/Pid.B/2012/PN.Klt. 25
Lebih lengkapnya mengenai pertimbangan hakim, saksi-saksi, serta bukti dalam persidangan
lihat Putusan No. 98/PID/2012/PT.SMG. 26
Lihat juga Putusan Mahkamah Agung No. 1115 K/Pid/2012. Putusan ini menguatkan
putusan PN Klaten dan PT Semarang. 27
Laporan Amnesty Internasional, dipublikasikan pertama kali pada tahun 2014 oleh Amnesty
International Ltd, Peter Benenson House, 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom,
Mengadili Keyakinan Undang-Undang Penodaan Agama IndonesiaHlm. 22-24
88
1/PNPS Tahun 1965. Melalui putusan No. 84/PUU-X/2012,28
MK menolak
seluruh permohonan para pemohon. Sebelumnya, pada tahun 2009 MK juga telah
menolak permohonan Uji Materi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 terhadap UUD NRI
1945. Permohonan para pemohon yang diwakili perorangan termasuk salah
satunya KH Abdurrahman Wahid (alm) dan beberapa LSM pegiat HAM, ditolak
majelis hakim melalui putusan No. 140/PUU-VII/2009.29
Melihat fakta hukum tersebut, UU tentang penodaan agama sangat
bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak konsisten dengan norma hukum
kebebasan beragama dan perlindungan hak asasi manusia sebagai ciri negara
hukum (lihat bab I). Analisis penulis di atas sejalan dengan pandangan dissenting
opinion Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dalam putusan No. 140/PUU-
VII/2009. Maria berpendapat pasal 1 UU No. 1/PNPS Tahun 1965, apabila
dihubungkan dengan penjelasannya maka negara hanya menjamin, melindungi,
dan memberikan bantuan secara penuh hanya kepada enam agama di Indonesia,
(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Sedangkan terhadap agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarasustrian,
Shinto, Taoism tidak dilarang di Indonesia asalkan tidak melanggar ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangan lain”. Demikian pula
dengan penganut aliran kepercayaan “pemerintah berusaha menyalurkannya ke
28
Lebih lengkapnya mengenai saksi dan bukit serta pendapat hakim, lihat, putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No. 84/PUU-X/2012 mengenai uji materi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 dan KUHP
terhadap UU NRI 1945. 29
Lebih lengkapnya mengenai saksi-saksi, bukti, pendapat ahli dan pertimbangan hakim, lihat
putusan No. 140/PUU-VII/2009. Dalam putusan ini, semua tokoh-tokoh agama terlibat menjadi
saksi ahli.
89
arah pandangan yang sehat dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha Esa ...”. Melalui
ayat itu, pemerintah diberikan wewenang untuk menyalurkannya penganut
kepercayaan ke arah „pandangan yang sehat‟ dan ke arah ke-Tuhanan Yang Maha
Esa. Seakan, penganut kepercayaan diasumsikan dalam kondisi tidak sehat (tidak
sehat keyakinannya atau apanya?)
Terhadap pasal 2, Maria berpendapat bahwa rumusan pasal 2 dan
penjelasannya terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju.
Dalam ayat (1) yang menjadi adressat (subjek) norma adalah “barangsiapa ...”
yang dalam bahasa peraturan perundang-undangan biasanya dimaknai dengan
setiap orang atau badan hukum (korporasi). Sedangkan pada ayat (2) yang menjadi
adressat (subjek) norma adalah “organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan.”
Dengan demikian ketentuan pasal 2 sebenarnya hanya ditujukan terhadap “orang
ataupun penganut suatu kepercayaan atau pengurus organisasi, atau aliran
terlarang”. Bukankah negara tidak dapat ikut campur terhadap keyakinan
seseorang?
Terhadap pasal 3 yang mengatur “apabila telah dilakukan sesuai pasal 2
masih melanggar ketentuan pasal 1, maka orang/anggota atau pengurus organisasi
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”, Maria berpendapat
bahwa terdapat perbedaan dari segi adressat (subjek) norma yang dituju. Dalam
pasal tersebut yang menjadi adressat, yang dapat dijatuhi pidana penjara lima
tahun adalah ”pengurus organisasi atau badan aliran kepercayaan” sedangkan
dalam penjelasannya “penganut aliran kepercayaan saja”.
90
Terhadap rumusan pasal 4, Maria berpendapat bahwa pengaturan yang
memerintahkan penambahan suatu pasal ke dalam UU lain adalah sesuatu yang
tidak lazim dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Pendapat
tersebut boleh saja dapat dikesampingkan, dengan alasan karena pada saat
terbentuknya UU itu belum terdapat pedoman yang mengatur tentang pedoman
penyusunan peraturan perundang-undangan.
Atas dasar itu, Maria Farida Indrati menyimpulkan bahwa, UU No. 1/PNPS
Tahun 1965 merupakan produk masa lampau, meskipun berdasarkan aturan
peralihan pasal I UUD 1945 secara formal masih berlaku (validity).30
Namun
secara substansial mempunyai berbagai kelemahan karena adanya perubahan yang
sangat mendasar terhadap UUD NRI 1945 khususnya pasal-pasal yang
menyangkut hak-hak asasi manusia. Merujuk penjelasan di atas, muatan materi UU
No. 1/PNPS Tahun 1965 jelas bertentangan dengan norma hukum UUD NRI 1945,
UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 11 Tahun 2015, dan UU No. 12 Tahun 2015.
Negara melakukan pembatasan yang berlebihan, melebihi ketentuan syarat-
syarat pembatasan forum eksternum (lihat: bab III). UU a quo juga bertentangan
dengan prinsip non-diskriminasi negara, karena negara telah membeda-bedakan
status agama yang diakui dan tidak diakui. Agama yang tidak diakui dan penganut
kepercayaan tersubordinasi dan menjadi tidak setara dengan agama yang diakui
negara. UU a quo juga bertentangan dengan prinsip toleransi sehingga memicu
30
Berdasarkan pasal 2 dan Lampiran IIA UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai
penetapan presiden dan peraturan presiden sebagai UU, ditetapkanlah Penetapan Presiden Nomor 1
Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai suatu UU.
Sehingga sejak saat itu berlakulah UU No. 1/PNPS/1965 sebagai suatu UU (yang biasa disebut
dengan Undang-Undang Kondisional). Lihat putusan putusan No. 140/PUU-VII/2009, hlm. 314.
91
terjadinya tindakan intoleransi sesama warga negara dengan label sesat dan
menyesatkan.
2. Inkoherensi Pengaturan Administrasi Kependudukan dengan Hakikat
Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak
Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan
Pengaturan mengenai pelayanan administrasi kependudukan yang
dimaksud pada pembahasan ini yakni pencantuman identitas agama di KTP,
pencatatan perkawinan, dan keharusan mendaftar sebagai organisasi kepercayaan.
Ketiga pengaturan tentang administrasi kependudukan ini inkonsisten dengan
hakikat konsep kesamaan antara agama dan kepercayaan dan bertentangan juga
dengan konsep hukum kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.
Adanya peraturan perundang-undangan tersebut, membuat penganut kepercayaan
terdiskriminasi bahkan kerap mendapat cap/label sesat dari kelompok agama
mayoritas.
2.1. Inkoherensi Pengaturan tentang Mengakui/Tidak Mengakui Agama dengan
Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan
Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan
Pengaturan tentang diakui dan tidak diakuinya agama jelas merupakan
bentuk diskriminasi terhadap penganut kepercayaan. Diskriminasi itu bermula dari
keharusan mencantumkan identitas agama di KTP. Bagi penganut kepercayaan
harus mengosongkan identitas agamanya. Sementara penganut agama diisi sesuai
dengan agama yang mereka yakini. Muatan materi yang diskriminatif ini
bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12
Tahun 2005 yang menghendaki perlakuan sama terhadap penganut agama dan
92
kepercayaan. Keharusan mengisi kolom agama di KTP juga bertentangan dengan
prinsip non-intervensi, non-diskriminasi, dan prinsip toleransi yang menghendaki
semua orang hidup selaras, sejajar, saling menghargai dan harmonis.
Kesetaraan hak pelayanan administrasi penganut agama dan penganut
kepercayaan dapat dirunut mulai UUD NRI 1945. Pasal 28D ayat (1) menyatakan
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28E ayat (1)
menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, ……”. Ayat (2) “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, .......”. Pasal 28H ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak
mendapat, ........., kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”.
Selanjutnya, pasal 28I ayat (1) menyatakan “hak untuk hidup, hak tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,......, adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “setiap
orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”.
Pengaturan tentang kesetaraan hak juga diatur dalam UU No. 12 Tahun 2005.
Pasal 18 ayat (2) menyatakan “tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menganut
atau memilih agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya”.
Kesetaraan hak setiap manusia juga termaktub dalam UU No. 39 Tahun
1999. Pasal 22 ayat (1) menyatakan “setiap orang bebas memeluk agamanya
93
masing-masing dan beribadah menurut agamnya dan kepercayaanya itu”. Ayat (2)
“negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Merujuk pada
peraturan perundang-undangan di atas, negara tidak berhak untuk mengakui dan
tidak mengakui agama.
Sayangnya norma hukum di atas tidak koheren dengan norma hukum UU
No. 24 Tahun 2013 perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 khususnya pasal yang
mengatur pencantuman identitas agama di KTP dan pembedaan pelayanan
adminduk (lihat; Bab IV bagian A point 2). Padahal, sesuai dengan pemaparan di
atas setiap orang berhak bebas dari tindakan diskriminas. Artinya negara telah
menabrak prinsip hukum kesetaraan hak penganut agama dan penganut
kepercayaan.
Pencantuman identitias agama dalam KTP tidak sebatas persoalan
perbedaan tulisan, kosong dan tidak kosong dalam KTP. Jauh dari itu,
pencantuman identitas agama dalam KTP menyangkut substansi hak sebagai warga
negara Indonesia. Warga Indonesia yang agamanya tidak diakui dan penganut
kepercayaan ketika hendak membuat KTP harus susah payah menjelaskan
keyakinan yang dipeluknya.
Setelah menjelaskan panjang lebar, mereka kadang tidak dibuatkan KTP
karena dianggap kelompok komunis-ateis. Mereka yang tidak mau susah berurusan
dengan petugas pembuat KTP, akhirnya mereka merelakan KTP-nya diisi dengan
94
agama resmi negara. Padahal, ibadah mereka sehari-hari tidak berdasarkan „agama
resmi‟ negara, melainkan sesuai dengan agama/kepercayaan mereka sendiri.
Atas dasar inilah, penganut kepercayaan kerap disangka melakukan
penodaan agama terhadap „agama resmi‟ negara. Disinilah lertak kekeliruan negara
mengharuskan mencantumkan kolom agama dalam KTP. Singkat kata, negara
harus menyamakan hak pencantuman identitas mereka tanpa adanya pembedaan.
Hal ini sejalan dengan prinsip non-diskriminasi negara dan kesamaan hak penganut
agama dan kepercayaan (lihat; bab III).
2.2. Inkoherensi Pengaturan mengenai Keharusan Mendaftarkan Organisasi
Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan Kepercayaan
serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan
Pengaturan tentang keharusan mendaftar sebagai organisasi kepercayaan
supaya mendapat Surat Keterangan Terdaftar (SKT), bertentangan dengan prinsip
non-intervensi negara. Negara tidak berhak memaksa sebuah organisasi atau
perserikatan supaya mendaftar di pemerintahan. Untuk mengakui, memenuhi, dan
melindungi penganut kepercayaan, tidak hanya sebatas pada kelompok yang
memiliki SKT. Karena itu, syarat formil muatan materi tentang keharusan
mendaftar sebagai organisasi tidak terpenuhi.
Berkenaan dengan itu, UUD NRI 1945 pasal 28J ayat (1) menyatakan
“setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. UU No. 12 Tahun 2005
pasal 21 menyatakan “hak untuk berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada
pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang
95
ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan politik publik,
atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat,
atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain”.
Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 69 ayat (1) menyatakan
“setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan
tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Ayat (2)
menyatakan “setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar
dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik
serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, meneggakan, dan
memajukannya”.
Kehendak mulia dalam peraturan perundang-undangan di atas tidak
konsisten dengan muatan materi Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No.
41 Tahun 2009 utamanya mengenai kewajiban mendaftarkan organisasi
kepercayaan (lihat; Bab IV bagian A point 2). Pada intinya, pasal-pasal dalam
Perber di atas tidak memenuhi syarat formil pembuatan peraturan perundang-
undangan. Untuk melindungi, memenuhi, serta menghormati penganut
kepercayaan, negara tidak perlu mengharuskan penganut kepercayaan
mendaftarkan diri di pemerintahan.
Merujuk pada pemaparan di atas, pengaturan tentang kengharuskan
kelompok kepercayaan mendaftar sebagai organisasi tidak sejalan dengan UUD
NRI 1945, UU No. 12 Tahun 2005, dan UU No. 39 Tahun 1999 (lihat; bab III).
96
Selain itu pasal-pasal yang menjadi persyaratan tidak ramah bagi penganut
kepercayaan, karena aturan tersebut terlalu memberatkan penganut kepercayaan
terkhusus mengenai keharusan adanya SKT di tiga kabupaten/kota dan keharusan
adanya tanda tangan dari lurah dan camat. Padahal, apabila tidak bisa mendaftar
sebagai organisasi, maka hak-hak administrasi kepercayaan tidak bisa dilayani
utamanya dalam pencatatan perkawinan.
2.3. Inkoherensi Pengaturan Pencatatan Perkawinan dengan Hakikat Konsep
Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut
Agama dan Penganut Kepercayaan
Pengaturan tentang pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan
mengandung norma yang diskriminatif utamanya bagi yang tidak memiliki pemuka
penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan yang bisa mencatatkan
perkawinan hanya yang memiliki izin menikahkan dari pemerintah. Syarat supaya
mempunyai pemuka kepercayaan yang memiliki izin mengawinkan, organisasinya
sudah memiliki SKT. Bagi kelompok kepercayaan yang tidak memiliki SKT secara
otomatis tidak memiliki pemuka penghayat kepercayaan yang mendapat „lisensi‟
mengawinkan dari negara.
Padahal, hak untuk membentuk keluarga yang sah amat fundamental
sehingga UUD NRI 1945 mengaturnya. Pasal 28B ayat (1) menyatakan “setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah. Begitu juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 10 ayat (1) yang
menyatakan “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui pernikahan yang sah”. Ayat (2) “perkawinan yang sah hanya
97
dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang
bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005, pasal 23 ayat (1) menyatakan
“keluarga adalah sendi dasar masyarakat yang dialami dan mendasar yang berhak
atas perlindungan dari masyarakat dan negara”. Ayat 2 menyatakan “hak laki-laki
dan perempuan dewasa untuk menikah dan membentuk suatu keluarga harus
diakui”. Penjelasan ayat ini menyatakan “pengakuan atas hak laki-laki dan
perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk
keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas
dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan”.
Sayangnya, kehendak bebas melakukan perkawinan seperti dalam
pengaturan di atas bertentangan dengan PP No. 37 Tahun 2007 khususnya
mengenai pencatatan perkawinan bagi penganut kepercayaan (lihat; Bab IV bagian
A point 2). Muatan materi dalam PP tersebut berintikan bahwa dapat dicatatkan
atau tidaknya perkawinan penganut kepercayaan ditentukan oleh pemuka
penghayat kepercayaan. Pemuka penghayat kepercayaan tersebut harus mendapat
lisensi mengawinkan dari pemerintah.
Konsekuensi tidak mempunyai pemuka kepercayaan yang mendapat izin
mengawinkan, maka perkawinannya tidak bisa dicatatkan. Problem tidak
mempunyai akta perkawinan ini tampak jelas berimbas pada pencatatan
perkawinan keturunan mempelai selanjutnya dikemudian hari. Ketika orang tua
98
anak tidak memiliki akta perkawinan maka keturunannya tidak bisa dicatatkan
perkawinannya.
Padahal Perpres No. 25 Tahun 2008 pasal 52 ayat (1) mengatur syarat
bahwa pencatatan kelahiran penduduk WNI....., dilakukan dengan memenuhi
syarat berupa: a. ….., c. KK orang tua; d. KTP orang tua; dan e. Kutipan akta
nikah/akta perkawinan orang tua”. Ekses hukum tidak mempunyai akta
perkawinan, dalam akta kelahiran tertulis „anak luar kawin‟ bukan anak dari
„pasangan suami istri‟. Status „anak luar kawin‟ ini diasumsikan anak yang lahir
dari hubungan gelap atau lahir dari hubungan yang bukan suami istri. Stigma
negatif „anak luar kawin‟ akan melekat pada anak dan timbul persoalan ketika sang
anak hendak mendaftar pekerjaan atau hendak mendaptar sekolah.
Persoalan selanjutnya mengenai hak pelayanan Kartu Keluarga akibat tidak
adanya akta perkawinan. Perpres No. 25 Tahun 2008 pasal 12 ayat (1) menyatakan
“penerbitan KK baru bagi penduduk dilakukan setelah memenuhi syarat berupa: a.
......., b. Foto kopi atau menunjukkan Kutipan Akta Nikah/Kutipan Akta
Perkawinan;.......”. Penganut kepercayaan yang tidak memiliki akta perkawinan,
mereka bisa mendapatkan KK dari Dinas Catatan Sipil namun dengan catatan
„kepala keluarga‟ perempuan.31
Status hukum administrasi ini menjadi kebalik-balik dan tidak mengandung
norma kepastian hukum. Akibat dari kepala keluarga perempuan, penganut Sedulur
31
Kasus demikian menimpa penganut Sedulur Sikep (Samin) di Kabupaten Kudus. Lihat, Tedi
Kholiludin (ed.), Jalan Sunyi Pewaris Tradisi....
99
Sikep Kudus pernah ditolak meminjam uang oleh salah satu bank karena dianggap
tidak akan mampu membayar utang jika kepala keluarganya perempuan.
Fakta demikian tentu sangat bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No.
39 Tahun 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005 yang menghendaki setiap orang dan
setiap warga negara sejajar dihadapan hukum. UU yang mengatur tentang
pencantuman identitas agama di KTP, keharusan mendaftar sebagai organisasi, dan
pencatatan perkawinan penganut kepercayaan, jelas bertentangan dengan prinsip
non-intervensi negara, prinsip non-diskriminasi negara, dan prinsip toleransi
negara terhadap penganut kepercayaan. Padahal prinsip-prinsip itu merupakan
kunci untuk menyamakan hakikat konseptual agama dan menyamakan hak
penganut agama dan penganut kepercayaan.
3. Inkoherensi Pengaturan Pendirian Tempat Ibadah, Pemakaman dan
Pendidikan Agama/Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan
Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama
dan Penganut Kepercayaan
Pengaturan mengenai pendirian rumh ibadah/sanggar, pemakaman dan hak
pendidikan merupakan fasilitas fundamental bagi setiap warga negara. Namun
pengaturan mengenai pendirian tempat ibadah, pemakaman, serta hak pendidikan
bagi penganut kepercayaan bermasalah. Akibatnya, penganut kepercayaan tidak
dapat beribadah dengan leluasa dalam sanggarnya, mereka kerap mendapat
penolakan pemakaman di makam umum, penolakan pembangunan sanggar, dan di
sekolah siswa penganut kepercayaan tidak mendapat pengajaran sesuai dengan
ajaran yang mereka yakini.
100
3.1. Inkoherensi Pengaturan Pemakaman dengan Hakikat Konsep Kesamaan
Agama dan Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan
Penganut Kepercayaan
Pengaturan tentang pemakaman bagi penganut kepercayaan memberikan
celah bagi kelompok mayoritas untuk berbuat intoleran. “jika ditolak di
pemakaman yang berasal dari tanah wakaf” menjadi celah bagi masyarakat untuk
menolak pemakaman penganut kepercayaan. Penganut agama mayoritas selalu
beralasan bahwa pemakaman umum adalah berasal dari tanah wakaf sehingga
penganut kepercayaan sah jika ditolak pemakamannya.
Mengenai hak pemakaman yang layak berkaitan dengan UUD NRI 1945
pasal 28A yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28H ayat (1) menyatakan
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Hal itu berkaitan juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal
9 ayat (2) “setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera
lahir dan batin. Ayat (3) “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat”.
Peraturan perundang-undangan di atas menjadi landasan untuk mendapat
fasilitas pemakaman yang layak karena menyangkut kehidupan yang sejahtera lahir
dan batin, serta mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi kerabat
korban yang ditinggalkannya. Materi muatan dalam UUD NRI 1945 ini bertolak
101
belakang dengan Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009
khususnya mengenai pengaturan pemakaman (lihat; Bab IV bagian A point 3).
Mencermati frasa “mengenai adanya penolakan pemakaman” betul-betul
dijadikan pijakan kelompok mayoritas untuk betul-betul menolak jenazah penganut
aliran kepercayaan. Terdapat beberapa kasus penolakan pemakaman penganut
kepercayaan, sementara pemerintah tidak juga kunjung memberikan fasilitas
pemakaman bagi penganut kepercayaan secara merata. Sehingga dengan terpaksa
jenazah penganut kepercayaan harus dimakamkan di pekarangan rumah.
Kondisi demikian tentu tidak ramah dan tidak memihak bagi penganut
kepercayaan. Bagi jenzah sendiri memang tidak mengetahui apa yang terjadi,
termasuk mendapat penolakan, namun yang merasakan pelanggaran ini adalah
kerabatnya yang masih hidup. Kerabat yang mendapat musibah tidak mendapat
penghidupan sejahtera lahir dan batin seperti yang dijamin dalam UUD NRI 1945.
3.2. Inkoherensi Pengaturan Mengenai Pendirian Sanggar dengan Hakikat Konsep
Kesamaan Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak
Penganut Agama dan Penganut Kepercayaan
Pengaturan tentang pendirian rumah ibadah bagi penganut kepercayaan
substansinya sama dengan penganut „agama yang diakui‟ negara. Baik penganut
agama maupun penganut kepercayaan untuk mendirikan rumah ibadah harus ada
90 tanda tangan serta bukti foto kopi KTP calon jemaah dan 60 tanda tangan serta
foto kopi KT warga sekitar. Syarat ini yang menjadi pokok persoalan untuk
mendirikan rumah ibadah bagi penganut kepercayaan yang notabene kelompok
minoritas.
102
Penekanan pada kebebasan untuk mengejawentahkan keyakinannya
menjadi landasan bahwa semua kelompok kepercayaan bebas untuk mendirikan
rumah ibadah. UUD NRI 1945 pasal 28E menyatakan “setiap orang berhak
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.......”. Pasal 29 ayat (2)
menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005 pasal 18 ayat (1) menyatakan
“setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan
pengajaran”.
Begitu juga dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 22 ayat (1) menyatakan
“setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agamnya dan kepercayaanya itu. Ayat (2) “negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Sayangnya, pengaturan di atas tidak
koheren dengan adanya Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41
Tahun 2009 khususnya mengenai pembangunan sanggar (lihat; Bab IV bagian A
103
point 3). Persyaratan pembangunan sanggar penganut kepercayaan di atas hanya
mengatur teknis mengenai proses perizinan pembangunan rumah ibadah.
Syarat-syaratnya dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pendirian rumah ibadah, yakni; Perber Menag dan Mendagri No.
9 dan No. 8 Tahun 2006. Pasal 14 ayat (2) menyatakan “....., pendirian rumah
ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan KTP
pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat
setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagalmana dimaksud dalam pasal
13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang
disahkan oleh lurah/kepala desa.
Bagi penganut kepercayaan akan sangat kesulitan mendapatkan tanda
tangan dan bukti KTP seperti yang ditentukan di atas, karena mereka kelompok
minoritas dan di lapangan kerap terjadi tekanan hebat dari perangkat desa.
Pengaturan ini tidak lazim “melemparkan kebijakan kepada rakyat”. Adanya syarat
90/60 merupakan kebijakan yang sejatinya ada di tangan rakyat, bukan ditangan
pemerintah. Selain itu, juga terdapat klausula mengenai penolakan dan pemerintah
daerah harus memfasilitasi ketika ada persoalan dengan warga sekitar. Muatan
materi ini bermasalah karena memberikan ruang terjadi tindakan intoleransi berupa
penolakan perizinan pembuatan sanggar bagi penganut kepercayaan.
Pengaturan demikian jelas bertentangan norma hukum UUD NRI 1945, UU
No. 12 Tahun 2005, dan UU No. 39 Tahun 1999 yang menghendaki setiap orang
bebas memeluk agama dan bebas untuk beribadah sesuai dengan yang mereka
104
yakini. Dengan demikian, jelas bahwa beberapa kejadian tentang penolakan dan
pembakaran sanggar penganut kepercayaan merupakan pelanggaran HAM dan
bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan prinsip toleransi negara terhadap
penganut kepercayaan.
3.3. Inkoherensi Pengaturan Pendidikan Agama dengan Hakikat Konsep Kesamaan
Agama dan Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut
Agama dan Penganut Kepercayaan
Pendidikan merupakan hak dasar setiap orang yang harus dipenuhi oleh
negara. Hak untuk memperoleh pendidikan agama yang layak tidak boleh
direnggut oleh siapa pun termasuk negara. Sayangnya UU tentang pendidikan
nasional tidak mengatur pendidikan kepercayaan bagi siswa-siswi penganut
kepercayaan. Muatan materi UU tersebut tidak mengatur pendidikan kepercayaan
dan guru mata pelajaran kepercayaan. Sehingga hak pendidikan kepercayaan tidak
dipenuhi sebagaimana hak pendidikan agama bagi penganut agama „resmi negara‟.
Padahal UUD NRI 1945 Pasal 28C ayat (1) menyatakan “setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, ......”. Pasal
28E ayat (1) menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, .......”. Pasal 31 ayat (1)
menyatakan ”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Ayat (5)
“pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia”. Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 12
105
menyatakan “setiap orang berhak, ..... memperoleh pendidikan, ......... sesuai
dengan hak asasi manusia”.
Sayangnya fundamentalnya hak pendidikan setiap orang, tidak diimbangi
dengan pengaturan pendidikan ‟agama‟ bagi penganut kepercayaan. UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 12 ayat (1) menyatakan “setiap peserta didik
pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”.32
Dalam undang-undang tersebut, hak pendidikan kepercayaan siswa penganut
kepercayaan sama sekali tidak diatur.
UU Sisdiknas ini sama sekali tidak mengakomodir hak pendidikan
kepercayaan bagi siswa yang menganut kepercayaan. Padahal, siswa penganut
„agama resmi negara‟ disediakan mata pelajaran sekaligus gurunya. Siswa
penganut kepercayaan telah terdiskriminasi dengan tidak diaturnya pendidikan
penganut kepercayaan di sekolah. Adanya peraturan itu, mengakibatkan siswa
penganut kepercayaan kerap mendapatkan diskriminasi di sekolah berupa
pemaksaan pengajaran pendidikan agama. Banyak kasus di sekolah dimana siswa
penganut kepercayaan dipaksa untuk mengikuti pelajaran agama, utamanya
pelajaran agama Islam.
Melihat kondisi demikia, peraturan perundang-undangan tersebut
bertentangan dengan UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12
Tahun 2005. UU Sisdiknas bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan
32
Lihat, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
106
prinsip toleransi yang harus dibangun oleh peraturan perundang-undangan untuk
melindungi semua warga negaranya.
4. Inkoherensi Pengaturan tentang Penempatan Kepercayaan pada
Kemendibud dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan
Kepercayaan serta Konsep Hukum Kesamaan Hak Penganut Agama
dan Penganut Kepercayaan
Kesetaraan status dimata hukum merupakan hak setiap warga negara dan
setiap orang. Sayangnya prinsip ini tidak dirasakan penganut kepercayaan karena
tidak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana penganut
„agama resmi‟ negara. Penganut kepercayaan dilayani oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sementara Penganut Agama dilayani oleh
Kementerian Agama. Alasan pembedaan pelayanan ini karena kepercayaan
dianggap bukan agama, padahal antara agama dan kepercayaan hakikatnya sama.
Adanya pembedaan ini berakibat pada perlakuan yang setara pada penganut
kepercayaan.
Berkaitan dengan itu, UUD NRI 1945 pasal 28D ayat (1) menyatakan
“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Pasal 28H ayat (2)
menyatakan “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”. Senada dengan itu, UU No. 39 Tahun 1999 pasal 3 ayat (1)
menyatakan “setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia
yang sama dan sederajat, ........”. Ayat (2) “setiap orang berhak atas pengakuan,
107
jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dalam semangat di depan hukum. Ayat (3) “setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi”.
Selanjutnya pasal 4 menyatakan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
Begitu juga dengan UU No. 12 Tahun 2015 pasal 18 ayat (1) menyatakan “setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini mencakup
kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang
lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran”.
Muatan materi di atas tidak koheren dengan kebijakan pemerintah yang
menempatkan kepercayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada
tahun 1978, pelayanan penganut kepercayaan dialihkan dari Depag kepada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dibawah Direktorat Bina Hayat
Kepercayaan berdasarkan Keppres No. 40 Tahun 1978. (lihat; Bab IV bagian A
point 4). Atas dasar Perpres itu, kemudian dibuatlah Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 73 Tahun 2012 tentang Bantuan Sosial Untuk Komunitas
Budaya.
108
Inti dari peraturan perundang-undangan di atas yakni penghayat
kepercayaan bukanlah agama. Sehingga tidak dinaungi oleh Departemen Agama
yang sekarang menjadi Kementerian Agama. Masalah muncul ketika sekarang
penganut kepercayaan meminta status yang sama kepada negara dalam pengisian
identitas agama di KTP. Penghayat kepercayaan meskipun secara formalitas
berbeda (yakni agama/kepercayaan) namun mereka menuntut hak-hak yang sama
dari negara. Hak administrasi publik, perkawinan, pendidikan, hak beribadah di
rumah ibadah, penganut kepercayaan menuntut supaya negara menyamakan
dengan hak penganut agama.
Kondisi demikian menjadi persoalan hukum tata negara yang tidak sesuai
dengan hakikat konseptual agama dan kepercayaan, serta kesamaan hak penganut
agama dan penganut kepercayaan. Kebijakan menempatkan kepercayaan pada
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan jelas bertentangan dengan UUD NRI
1945, UU No. 39 1999 dan UU No. 12 Tahun 2005, konsep kesamaan hak
penganut agama dan kepercayaan, serta bertentangan dengan prinsip non-
intervensi, non-diskriminasi, dan toleransi negara terhadap kepercayaan. Ketiga
prinsip ini dilanggar oleh peraturan perundang-undangan tersebut karena
memosisikan kepercayaan tidak sejajar dengan penganut agama. Padahal hakikat
agama dan kepercayaan sama dan memiliki hak hukum yang sama.
5. Inkoherensi Pengaturan tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap
Penganut Kepercayaan dengan Hakikat Konsep Kesamaan Agama dan
Kepercayaan serta Konsep Kesamaan Hak Penganut Agama dan
Penganut Kepercayaan
109
Peraturan perundang-undangan tentang pembinaan dan pengawasan
terhadap penganut kepercayaan sangat eksklusif. Akibatnya penganut kepercayaan
tidak bebas melakukan ibadah, pengamalan, dan pengajaran tentang kepercayaan.
Adanya peraturan perundang-undangan tersebut membelenggu kebebasan
berekspresi penganut kepercayaan karena berada dalam bayang-bayang
penyesatan. Adanya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakor
Pakem) setidaknya membuat tiga kelompok kepercayaan/agama dinyatakan sesat
dan harus dibubarkan. Kondisi peraturan perundang-undangan demikian
bertentangan dengan prinsip bahwa agama dan kepercayaan hakikatnya sama
sehingga harus mendapatkan hak-hak yang sama.
Hal itu senada dengan spirit UUD NRI 1945 Pasal 28E ayat (1) yang
menyatakan “setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, .......”. Ayat (2) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”. Ayat (3) menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Pasal 28I ayat (1) menyatakan “........., hak beragama, ....., adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “setiap
orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”. Pasal 29 ayat (2) menyatakan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
110
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Kebebasan beragama, beribadah, berkumpul dan berserikat juga diatur
dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 22 ayat (1) menyatakan “setiap
orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut
agamnya dan kepercayaanya itu”. Ayat (2) menyatakan “negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaanya itu”.
Senada dengan itu, UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (1) menyatakan
”setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan beragama. Hal ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan
agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengamatan dan
pengajaran”. Selanjutnya ayat (2) menyatakan ”tidak seorangpun dapat dipaksa
sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau
kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Sayangnya pengaturan di atas bertentangan dengan Perber Mendagri dan
Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 khususnya mengenai pembinaan dan
pengawasan penganut kepercayaan (lihat; Bab IV bagian A point 5). Pengaturan
yang koheren di atas juga bertentangan dengan adanya UU No. 16 Tahun 2004
111
tentang Kejaksaan khususnya mengenai pengawasan aliran kepercayaan dan SK
No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Bakor Pakem (lihat; bab IV bagian A point 5).
Adanya beberapa contoh kasus pelarangan dan penyesatan yang menimpa
penganut kepercayaan di Indonesia menjadi bukti bahwa pengawasan dan
pembinaan terhadap penganut „kepercayaan diluar agama‟ membuat kebebasan
beragama terlanggar. Negara telah masuk dalam keyakinan individu yang melekat
pada setiap orang. Akibat intervensi negara melalui pengaturan di atas
mengakibatkan seseorang penganut kepercayaan kerap dituduh sesat. Kondisi
hukum demikian tentu bertentangan dengan hakikat kesamaan konseptual agama
dan kepercayaan dan kesamaan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.
Pengaturan mengenai pengawasan dan pembinaan terhadap kepercayaan di
atas jelas bertentangan norma hukum yang terkandung dalam UUD NRI 1945, UU
No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 utamanya yang mengatur
kebebasan beragama, beribadah, mengamalkan ajarannya. Peraturan perundang-
undangan a quo juga bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara, prinsip
non-diskriminasi, dan prinsip toleransi negara (lihat: bab III) terhadap penganut
kepercayaan.
C. Preskripsi Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Prinsip
Kesamaan Hak antara Penganut Agama dan Kepercayaan di Indonesia
Berdasarkan penjelasan pada bagian B di atas kesalahan utamanya
berpangkal karena negara „mengakui dan tidak mengakui agama‟. Pangkal
permasalahan peraturan perundang-undangan itu menimbulkan tidak terpenuhinya
112
hak-hak dasar penganut kepercayaan. Karena itu, preskripsi yang dipertahankan
dalam penelitian ini, utamanya negara tidak perlu „mengakui‟ suatu agama.
Negara tidak berhak menentukan keyakinan seseorang/kelompok masuk
pada kategori agama atau kepercayaan. Yang paling berhak menentukan bahwa
suatu keyakinan masuk kriteria agama atau kriteria kepercayaan adalah hanya
individu masing-masing. Karena itu peraturan perundang-undangan yang tidak
tepat mengatur kepercayaan harus dirubah bahkan harus dihapus karena tidak
memenuhi syarat formil supaya hak dasar penganut kepercayaan sejajar dengan
penganut agama.
1. Kesalahan Praktik Pemerintah dalam Hubungan Agama-Kepercayaan
Menelaah beberapa peraturan perundang-undangan di atas yang tidak
kondusif mengatur kepercayaan, pangkal persoalannya pada UU No. 1/PNPS
Tahun 1965, UU No. 24 Tahun 2013, dan PP No. 37 Tahun 2007 yang secara
substansi mengatur „mengakui dan tidak mengakui agama‟. Permasalahan utama
dari segala permasalahan yang dialami penganut kepercayaan karena negara
melakukan praktik diskriminatif dengan hanya mengekaui „enam agama resmi
negara‟. Padahal, berdasarkan asas/prinsip hukum kesetaraan (equality) dan
keadilan (justice), negara tidak berhak menjustifikasi suatu kelompok keyakinan
masuk pada kategori agama atau masuk pada kategori kepercayaan.
Negara tidak boleh membuat perundang-undangan untuk mengatur
„mengakui dan tidak mengakui‟ agama. Asas/prinsip yang harus dipegang negara
dalam hubungannya agama dan negara adalah prinsip non-intervensi, prinsip non-
113
diskriminasi, dan prinsip toleransi (lihat: bab III). Keyakinan adalah wilayah forum
internum yang tidak bisa dibatasi dalam keadaan apa pun termasuk dengan
perundang-undangan. Keyakinan seseorang merupakan wilayah yang sangat privat,
inheren, dan melekat pada setiap individu manusia. Ketika negara membuat
kebijakan berupa mengakui enam agama, maka yang terjadi adalah penganut
kepercayaan terlanggar hak-hak dasarnya. Pemenuhan hak dasar penganut
kepercayaan tidak setara dengan hak yang didapat penganut „enam agama resmi
negara‟.
Merunut pangkal persoalan peraturan perundang-undangan tentang
penganut kepercayaan, dapat dimulai dari persoalan administrasi kependudukan
yang paling riil menimpa penganut kepercayaan. Persoalan administrasi
kependudukan yang dialami penganut kepercayaan adalah frasa „anak luar‟ kawin
dalam akta kelahiran, perempuan menjadi kepala keluarga dalam KK, tidak bisa
mengesahkan status anak, dan identitas agama di KTP.33
Persoalan-persoalan
tersebut merupakan „efek domino‟ karena perkawinan penganut kepercayaan tidak
bisa dicatatkan.
Perkawinan penganut kepercayaan dapat dicatatkan dengan syarat telah
dinikahkan oleh pemuka penghayat kepercayaan yang memiliki „lisensi‟
menikahkan dari pemerintah. Syarat supaya memiliki pemuka penghayat
kepercayaan yang mendapat „lisensi‟ dari pemerintah, organisasi kepercayaan
harus terdapatar di pemerintahan sebagai organisasi kepercayaan. (lihat: PP No.
33
Lebih lengkapnya lihat, Tedi KH dkk, Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa
Tengah Tahun 2014, (Semarang, elsa pers, 2014), hlm 18.
114
37/2007). Syarat mendaftar sebagai organisasi kepercayaan merupakan penjabaran
dari kebijakan negara yang hanya mengakui enam „agama resmi‟ negara. Jadi,
pangkal persoalan administrasi kependudukan penganut kepercayaan ketika
dirunut pengaturannya, persoalan utamanya karena negara “mengakui dan tidak
mengakui agama‟.
Persoalan selanjutnya mengenai hak pendidikan kepercayaan di sekolah
umum. Siswa penganut kepercayaan tidak mendapatkan mata pelajaran
kepercayaan di sekolah karena UU Sisdiknas hanya mengatur pendidikan agama
bagi siswa yang menganut enam „agama resmi‟ negara (lihat: UU No. 20/2005).
Begitu juga dengan hak fasilitas pemakaman, negara telah membeda-bedakan dan
akibatnya banyak kasus penolakan pemakaman.34
Pengaturan pemakaman dengan
adanya frasa „jika mengalami penolakan” (lihat: Perber Mendagri dan Menbudpar
No. 43/41 Tahun 2009) merupakan pengejawentahan dari peraturan perundang-
undangan tentang penyalahgunaan dan penodaan agama.
Persoalan nyata akibat negara mengakui „enam agama‟ resmi negara adalah
adanya lembaga Bakor Pakem. Adanya Bakor Pakem merupakan turunan dari UU
tentang Kejaksaan yang mempunyai tugas untuk mengawasi aliran kepercayaan
(lihat: UU No. 16/2004 dan SK Jaksa Agung No.KEP004/J.A/01/1994). UU
Kejaksaan merupakan pengejawentahan dari peraturan pemerintah yang
memindahkan pelayanan penganut kepercayaan dari Kementerian Agama ke
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Alasan dipindahkannya pelayanan
34
Lihat, Tedi KH dkk, Laporan Kebebasan Beragama Tahun 2014, (Semarang, elsa pers, 2014)
hlm. 17.
115
penganut kepercayaan ke Kemendikbud karena kepercayaan dianggap bukan
agama dan negara hanya mengakui „enam agama resmi‟ negara.
Berdasarkan uraian tentang pokok-pokok persoalan hukum yang menimpa
penganut kepercayaan di atas, jelaslah bahwa persoalan utamanya adalah negara
„mengakui dan tidak mengakui agama‟. Negara telah masuk pada wilayan
internum individu yang sangat privat. Negara seharusnya menciptakan peraturan
perundang-undangan yang mendorong terciptanya toleransi dalam menyikapi
perbedaan. Sementara itu, tidak akan terjadi kondisi toleransi dan saling
menghargai selama ada peraturan perundang-undangan di atas, justru yang akan
terjadi mendorong intoleransi.
2. Pengaturan tentang Kepercayaan yang Sesuai dengan Prinsip Kesamaan
Hak antara Penganut Agama dan Kepercayaan
Preskripsi pengaturan tentang agama dan kepercayaan yang sesuai dengan
asas/prinsip kesamaan hak antara penganut agama dan penganut kepercayaan
adalah negara „tidak mengaturnya‟. Pilihan terbaik pengaturan relasi antara agama
dan negara adalah negara tidak mengintervensi agama/kepercayaan dengan cara
tidak mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan. Negara tidak perlu
mengatur keyakinan (baik agama, kepercayaan, atau sebutan lainnya) karena
merupakan wilayah privat-individu dengan „sesuatu yang dianggap melebihi
dirinya yang lazimnya disebut Tuhan‟. Ketika wilayah „privat‟ diatur, yang terjadi
justru banyak hak-hak dasar penganut kepercayaan (minority belief) yang dirampas
oleh negara.
116
Berdasarkan hasil pembahasan di atas yang seharusnya sebagai preskripsi,
penulis merekomendasikan perlunya;
Pertama, peraturan perundang-undangan tentang agama/kepercayaan yang
secara substansial bertentangan dengan prinsip non-intervensi negara maka harus
dicabut/dibatalkan secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan tersebut
yakni; UU No. 1/PNPS Tahun 1965, Kepres No. 40 Tahun 1978, Perber Mendagri
dan Menbudpar No. 43/41 Tahun 2009.
Kedua, ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan tentang
agama/kepercayaan harus dihapus atau diperbaiki. Pengaturan tersebut yakni; UU
No. 24 Tahun 2013, PP No. 37 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan,
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan.
2.1. Pembatalan/Penghapusan Pengaturan tentang Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama
UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama harus dibatalkan. Alasan dibatalkannya UU a quo karena muatan
materinya bertentangan dengan kesamaan hakikat dan kesamaan hak penganut
agama dan penganut kepercayaan. Penulis sejalan dengan pandangan dissenting
opinion Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dalam putusan MK No. 140/PUU-
VII/2009. Maria berpendapat bahwa permohonan para pemohon yang
menginginkan UU a quo dibatalkan, seharusnya dikabulkan.
Selain merujuk pada pendapat Maria, UU a quo juga bertentangan syarat
formil dan materiil pembuatan peraturan perundang-undangan. Materi muatan UU
117
tersebut bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan utamanya pasal 5 yang menyatakan “dalam
membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; ……, c. kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan; ……., f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan”.
Selanjutnya pasal 6 ayat (1) menyatakan “materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan asas; a. pengayoman; b. kemanusiaan;
c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g.
keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban
dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”.35
Melihat syarat formil pembuatan peraturan perundang-undangan di atas,
jelas bahwa UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tidak memenuhi persyaratan. Ketika UU
tentang penodaan agama dihapus, tidak akan terjadi lagi kasus penganut
kepercayaan dipidana karena „dianggap„ menodai „agama resmi‟ negara. Tiadanya
UU tersebut akan menciptakan kesetaraan status penganut agama dan penganut
kepercayaan dimata hukum.
Pendapat yang menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tidak perlu
dibatalkan karena suatu waktu bisa diterapkan tidak tepat, karena secara
substansial muatan materi ini bertentangan dengan konstitusi. Ketika ada sengketa
mengenai agama atau kepercayaan maka negara tidak lagi menggunakan delik
penodaan agama. Namun, negara bisa memberlakukan pasal hate speech atau
35
Lebih jelasnya mengenai syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan, lihat,
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
118
anjuran kebencian atas dasar Sara yang sejatinya sudah diatur dalam UU No 12
tahun 2005.
2.2. Pembatalan Keppres yang Menempatkan Kepercayaan pada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Keppres No. 40 Tahun 1978 yang isinya “memindahkan pelayanan
penganut kepercayaan dari Depag ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”
harus dicabut. Konsekuensi dicabutnya Keppres di atas, maka Perpres No. 14
Tahun 2015, pasal 19 yang mengatur penyelenggaraan pembinaan terhadap
lembaga kepercayaan” harus dicabut. Demikian juga dengan Permendikbud No. 73
Tahun 2012, pasal 1 ayat 13 yang isinya mendefinisikan kepercayaan dengan
“kesatuan sosial-genealogis yang memiliki keyakinan dan pandangan kosmologis,
terikat kekuatan adi kodrati, mempunyai kitab pedoman, mempunyai orang sebagai
penerima ajaran, ada upacara peribadatan” serta pasal 4 yang menyatakan ”bantuan
sosial diberikan kepada komunitas kepercayaan, yang terdiri atas organisasi
penghayat kepercayaan” harus dihapus.
Dicabutnya Kepres No. 40 Tahun 1978 di atas, maka peraturan perundang-
undangan yang mengatur teknis pelayanan kepercayaan oleh Depdikbud harus
dihapus. Pelayanan kepercayaan harus dikembalikan kepada Kementerian Agama,
supaya hak-hak dasarnya sejajar dengan penganut enam „agama resmi‟ negara.
Konsekuesninya, maka Kementerian Agama harus berubah nama menjadi
„Kementerian Agama dan Kepercayaan‟.
Penulis cenderung memilih mengganti „nama kementerian agama‟ menjadi
kementerian keyakinan supaya mencakup semua sistem keyakinan, yang ada di
119
Indonesia. Bahkan ada solusi yang lebih ekstrem yakni Kementerian Agama dan
MUI serta „embel-embel agama‟ dalam lembaga resmi negara harus dihapus.
Negara ini memang membingungkan dari sisi ketata negaraan, negara bukan
negara agama, namun terdapat lembaga negara yang mengurus agama. Hemat
penulis, jika masih ada lembaga negara yang mengatur agama, maka negara ini
negara agama.
Sejatinya, Indonesia tidak masalah jika sekalian menjadi negara agama,
asalkan hak-hak dasar kelompok minoritas kepercayaan dipenuhi, dilindungi, dan
dihormati. Jadi, Indonesia boleh menjadi negara agama, namun penganut
kepercayaan bebas mendirikan rumah ibadah, bebas menyebarkan ajaran
kepercayaan, serta tidak ada lagi gejolak intoleran seperti penoalakn dan
penyesatan. Kondisi ini akan lebih baik daripada Indonesia mengaku „negara
Pancasila‟ namun penganut kepercayaan dieksklusi oleh peraturan hak-hak
dasarnya.
Berdasarkan analisis penulis, secara „organisasi‟ Indonesia bisa tetap
mempertahankan keberadaan Kementerian Agama. Namun keberadaannya hanya
sebagai pengayom, pemenuhan, dan perlindungan umat beragama. Tiga pilar ini
pernah dilakukan Presiden ke-4 KH. Abdur Rahman Wahid yang telah gigih
memperjuangkan supaya terpeliharanya keberagaman di Indonesia. Karena itu,
seorag Presiden atau seorang Menteri Agama harus sepemikiran dengan Gus Dur.
Seorang menteri agama atau Presiden Indonesia wajib meniru keberanian Gus Dur
120
dalam memimpin negara yang multi agama, ras, etnis, budaya ini. Dengan itu,
spirit kebersamaan, toleransi, dan perdamaian tetap terjaga.
2.3. Pembatalan Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009
tentang Pedoman Pelayanan bagi Penganut Kepercayaan
2.3.1. Penghapusan Pengaturan tentang Pemakaman Penganut Kepercayaan
Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 8
ayat (2) dan (3) yang mengatur tentang “pemakaman penganut kepercayaan yang
ditolak di pemakaman umum harus dibuatkan pemakaman khusus penganut
kepercayaan” harus dihapus. Adanya pengaturan tersebut menjadi celah bagi
penganut agama mayoritas untuk bertindak intoleran dengan menolak pemakaman
penganut kepercayaan. Preskripsi tersebut yang hanya menghapus pasal
merupakan alternatif dengan mempertimbangkan realitas di masyarakat. Solusi
tersebut tidak substansial karena tidak sesuai dengan asas/prinsip kesamaan hak
penganut agama dan penganut kepercayaan.
Preskripsi yang sesuai dengan prinsip kesamaan hak penganut agama dan
penganut kepercayaan adalah Perber No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 secara
keseluruhan harus dihapus secara keseluruhan. Merujuk pada asas pembuatan
peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam pasal 5 dan 6 UU No. 12
Tahun 2011, perber tersebut tidak memenuhi syarat formil pembuatan peraturan
perundang-undangan. UUD NRI 1945 pasal 28J ayat (2) menyatakan bahwa setiap
pembatasan hak asasi harus dengan UU, bukan dengan Peraturan Meneteri, karena
itu, Perber sudah selayaknya dihapus.
2.3.2. Penghapusan Pengaturan tentang Pendirian Sanggar
121
Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 9,
10, 11, 12, dan 13 yang mengatur tentang pendirian sanggar harus dihapuskan.
Selama ini, pengaturan tentang pendirian rumah ibadah diatur dalam Perber Menag
dan Mendagri No. 9/8 yang salah satu syaratnya harus ada 90 tanda tangan dan
KTP pengguna tempat ibadah dan 60 tanda tangan dan KTP warga sekitar. Pasal
ini harus dihapuskan karena sudah dipastikan penganut kepercayaan tidak akan
mendapat izin mendirikan sanggar jika syarat 90/60 tersebut masih ada.
Jadi, pengaturan tentang pendirian rumah ibadah bagi penganut
kepercayaan harus disamakan dengan pengaturan pendirian rumah ibadaha bagi
penganut „enam agama‟ resmi negara, dengan catatan, bahwa syarat 90/60 harus
dihapuskan. Penulis bahkan, cenderung untuk menghapus segala peraturan tentang
pendirian rumah ibadah, karena tidak sesuai dengan asas pembuatan peraturan
perundang-undangan dan spirit kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinan dan agamanya masing-masing. Seseorang/kelompok yang hendak
menghadap Tuhannya, tidak perlu mendapat izin dari pemerintah yang rumit dan
memberatkan kelompok minoritas.
2.3.3. Penghapusan Pengaturan tentang Syarat Mendaftar sebagai Organisasi
Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 pasal 5
dan 6 yang isinya “mengatur tata cara dan syarat pendaftaran organisasi
kepercayaan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota” harus dihapuskan. Pasal ini
tidak memenuhi syarat materiil dan melanggar asas/prinsip pembentukan peraturan
peundang-undangan. Preskripsi di atas yang hanya menghapus beberapa pasal,
122
merupakan pilihan moderat karena mempertimbangkan realita di masyarakat.
Preskripsi tersebut tidak sesuai dengan asas/prinsip kesamaan hak penganut agama
dan penganut kepercayaan. Preskripsi yang tepat sesuai dengan asas/prinsip di atas
maka Perber No. 43 dan No. 41 Tahun 2009 harus dibatalkan. UUD NRI 1945
sendiri mengatur bahwa pembatasan hak dan kebebasan harus dengan UU, bukan
dengan peraturan bersama menteri.
Hal itu sesuai dengan pasal 28J ayat (2) menegaskan bahwa dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang. Alasan logis setiap pembatasan hak dan kebebasan harus dengan
UU karena dalam pembentukannya melibatkan wakil rakyat. Sementara dalam pembuatan
Perber Mendagri dan Menbudpar No. 43 dan No. 41 Tahun 2009, tidak ada keterlibatan
wakil rakyat, sehingga tidak merefresentasikan kebutuhan penganut kepercayaan. Karena
itu, organisasi kepercayaan tidak perlu diatur supaya didaftarkan di pemerintahan karena
justru akan menjadikan penganut kepercayaan „tidak diatur‟.
2.4. Penghapusan pasal tentang Pengawasan dan Pembinaan terhadap Penganut
Kepercayaan dan Pencabutan SK Bakor Pakem
UU No. 16 Tahun 2004 pasal 30 ayat (3) yang mengatur pengawasan terhadap
penganut kepercayaan” harus dihapus. Konsekuensi dihapusnya pasal di atas, maka SK
Jaksa Agung RI No. KEP004/J.A/01/1994 tentang Pembentukan Bakor Pakem harus
dicabut. Dicabutnya SK Kejagung, secara otomatis Bakor Pakem harus dibubarkan.
Bubarnya Bakor Pakem, akan membuat penganut kepercayaan leluasa dalam beribadah
dan mengajarkan keyakinan karena tidak dibayang-bayangi penyesatan dan pelarangan.
Dengan demikian, maka hak dasar penganut kepercayaan untuk beribadah dan
123
mengajarkan kepercayaan sama dengan hak dasar penganut agama untuk beribadah dan
mengajarkan agama.
2.5. Penghapusan pasal dalam UU tentang Administrasi Kependudukan
2.5.1. Penghapusan pengaturan tentang Mengakui dan tidak Mengakui Agama (Identitas
Agama di KTP)
Muatan materi dalam UU Adminduk yang mengatur „mengakui dan tidak
mengakui agama‟ serta pasal yang memuat tentang pencantuman identitas agama di KTP
harus dihapuskan. UU No. 24 Tahun 2013 pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) yang mengatur
“tempat pencatatan perkawinan antara penganut agama Islam dan penganut agama non-
Islam/kepercayaan” serta “pencatatan perkawinan penganut kepercayaan diatur lebih
lanjut dalam perundang-undangan” harus dihapus. Pasal 8 di atas, merupakan pangkal
pembedaan perlakuan terhadap penganut agama Islam dan penganut agama diluar
Islam/penganut kepercayaan.
Begitu juga dengan pasal 64 ayat (1) yang mengatur “mencantumkan identitas
agama di KTP” harus dihapus. Pasal tersebut merupakan pangkal terjadinya diskriminasi
layanan publik bagi penganut kepercayaan. Pasal ini tidak mencerminkan asas/prinsip
dalam pembentukan perundang-undangan yang termuat dalam pasal 5 dan 6 UU No. 12
Tahun 2011. Dihapusnya identitas agama di KTP dan frasa „agama belum diakui‟, menjadi
pintu sejajarnya hak penganut agama dan penganut kepercayaan. Tiadanya identitas agama
di KTP, akan menyejajarkan status agama dan kepercayaan. Tidak ada lagi keyakinan
yang superior dan inferior, semua terlindungi, dihormati, dan dipenuhi hak-hak dasarnya
secara sejajar.
2.5.2. Penghapusan Syarat Pemuka Penghayat Kepercayaan dalam Pencatatan Perkawinan
Salah satu syarat pencatatan perkawinan penganut kepercayaan diharuskan adanya
pemuka penghayat kepercaayaan yang sudah mendapat „lisensi‟ menikahkan dari
pemerintah. Ayat ini yang harus dihapus, karena tidak semua organisasi kepercayaan
124
memiliki pemuka kepercayaaan yang sudah mendapat sertifikat izin mengawinkan dari
pemerintah. PP No. 37 Tahun 2007 pasal 81 ayat (3) yang mengatur “perkawinan
penganut kepercayaan harus dihadapan pemuka penghayat kepercayaan yang terdaftar di
pemerintahan” harus dihapus.
Jadi, pasal 81 cukup sampai ayat (1) dan (2) yang menyatakan “perkawinan
penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan” dan
“pemuka penghayat cukup ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan.36
Ketentuan
dalam ayat (3) yang mengharuskan pemuka penghayat ditetapkan oleh negara merupakan
bentuk intervensi negara terhadap penganut kepercayaan. Karena itu, harus dihapus supaya
semua perkawinan penganut kepercayaan bisa dicatatkan.
2.6. Penghapusan Pasal tentang Pendidikan Agama dalam UU Sisdiknas
Hak pendidikan tentang kepercayaan juga harus didapatkan oleh siswa penganut
kepercayaan. Sementara dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas tidak
mengautrnya. Karena itu, pasal 12 ayat (1) yang mengatur “setiap peserta didik berhak
mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh
pendidik yang seagama harus dihapus”. Preskripsi di atas sesuai dengan substansi
asas/prinsip kesamaan hakikat dan hak penganut agama dan penganut kepercayaan.
Artinya, sekolah umum tidak menyediakan mata pelajaran agama/kepercayaan.
Pendidikan tentang agama/kepercayaan harus dikembalikan kepada pemuka agama dan
pemuka kepercayaan masing-masing, artinya disediakan pada internal masing-masing
lembaga keagamaan atau kepercayaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pengaturan yang tepat mengenai relasi
antara agama dan negara adalah negara tidak mengintervensi agama/kepercayaan dengan
36
Penjelasan ayat (2): “yang dimaksud dengan organisasi penghayat kepercayaan adalah suatu
wadah penghayat kepercayaan yang terdaftar pada instansi di kementerian yang membidangi
pembinaan teknis kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
125
cara tidak mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan. Negara tidak perlu
mengatur keyakinan (baik agama, kepercayaan, atau sebutan lainnya) karena itu
merupakan wilayah antara privat-individu dengan „sesuatu yang dianggap melebihi
dirinya‟ (umumnya disebut Tuhan). Ketika wilayah privat diatur, maka yang terjadi
banyak hak-hak dasar penganut kepercayaan yang dirampas oleh negara melalui peraturan
perundang-undangan.
Negara kaitannya dengan agama/kepercayaan, harus patuh pada rambu-rambu
prinsip non-intervensi negara. Prinsip itu harus dipegang negara untuk menciptakan
kondisi kehidupan yang non-diskriminasi dan toleransi terhadap penganut kepercayaan.
Selama ini, ada pinsip yang keliru dimana segala sesuatu hubungan individu dan negara
harus daitur. Tidak mengatur, bukan berarti negara absen dalam hal agama/kepercayaan.
Sesuai dengan teori kebijakan publik, negara tidak membuat kebijakan pun, itu merupakan
kebijakan terbaik dari ngegara. Karena itu, pilihan terbaiknya adalah negara membuat
kebijakan yang membatasi hak penganut kepercayaan.
Perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan terhadap penganut agama dan
penganut kepercayaan tidak dibutuhkan pengaturan secara khusus tentang agama dan
kepercayaan. Negara dalam melakukan pemenuhan hak dasar, harus berpedoman pada
UUD NRI 1945, UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 12 Tahun 2005, dan UU No. 11 Tahun
2005. Peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan prinsip non-intervensi
negara, non-diskriminasi, dan toleransi. Adanya pengaturan tentang agama dan
kepercayaan justru menimbulkan diskriminasi dan toleransi terhadap penganut
kepercayaan serta umumnya terhadap penganut agama minoritas.
Pengaturan tentang agama dan kepercayaan menjadi landasan perlakuan
diskriminatif baik secara langsung dan tidak langsung. Pengaturan itu menjadi sponsor
tindakan intoleran kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Umpanya mengenai
126
pembangunan rumah ibadah, Perber Menag dan Mendagri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006,
menjadi „sponsor‟ perilaku intoleran bahkan kekerasan berupa penolakan dan pembakaran
rumah ibadah. Karena itu, preskripsi yang tepat mengenai pengaturan agama dan
kepercayaan adalah negara tidak mengaturnya.