85
BAB IV
MEMAHAMI ULANG 1 KORINTUS 14:34-40
DARI PRESPEKTIF PEREMPUAN JAWA
4.1. Pendahuluan.
Pengalaman patriakal yang terjadi dalam konteks gereja, masyarakat, keluarga terhadap
peran perempuan dan konteks Korintus serta dominasi Romawi telah dijabarkan dalam Bab II
dan Bab III. Pada Bab IV sebagai kelanjutan dari tulisan ini penulis akan melakukan
pemahaman ulang dari perspektif bab II dan konteks sosial politik 1 Korintus yang ada dalam
bab III. Pemahaman ulang terhadap tafsiran teks 1 Korintus 14: 33-40 dengan berpijak pada
perspektif perempuan yang mengalami diskriminasi dalam konteks gereja, masyarakat dan
keluarga. Dalam proses pemahaman ulang terhadap teks 1 Korintus 14: 33-40 maka penulis
akan mengawalinya dengan dua pertanyaan penuntun yaitu apakah teks 1 Korintus 14: 33-40
memunculkan konsep Tuhan yang menyatakan perbedaan peran Perempuan dengan laki-laki
dan apakah teks 1 Korintus 14: 33-40 dapat memberikan pemahaman yang adil tentang
peran perempuan.
4.2. Memahami teks dalam 1 Korintus 14 :34-40
Setelah membahas mengenai teori poskolonial dan meneliti tentang latar belakang
historis budaya patriarkal dalam teks 1 Korintus 14:34-40 dan budaya Jawa, maka dapat
diketahui bahwa ternyata ada bentuk-bentuk pengganjalan Perempuan Jawa untuk menduduki
berbagai jabatan atau menjadi seorang pemimpin. I Korintus 14:33-34 menimbulkan
beberapa masalah kritis bagi para pembaca Alkitab yang berusaha untuk menjadi pengikut
Kristus yang setia dan juga penafsir yang tepat dari seluruh perkataan Allah yang
diungkapkan dalam Kitab Suci. Pertama, serangkaian pertanyaan ditimbulkan bagi pembaca
oleh teks itu sendiri dan kata-kata yang mengikutinya dalam ayat 34-35: Apakah Perjanjian
86
Baru secara keseluruhan menunjukkan bahwa perempuan secara rutin tidak diperbolehkan
untuk berpartisipasi secara lisan dalam ibadah Kristen? Mengapa mereka tidak diijinkan
untuk berbicara? "Hukum" manakah yang dimaksudkan dalam ayat 34? Apa hubungan antara
kata "menundukkan diri" dan "berdiam diri"?
Selanjutnya pertanyaan yang kedua, Bagaimana Paulus dapat mengatakan lebih awal
dalam surat ini bahwa para perempuan harus memakai tudung ketika berdoa dan
memberitakan Injil (11:3-16)? Bagaimana kemudian dalam surat yang sama melarang
partisipasi perempuan secara lisan? Bagaimana harus memahami kesenjangan yang jelas
antara larangan ini dengan begitu banyaknya contoh partisipasi perempuan secara aktif dalam
kehidupan ibadah jemaat Kristen pada jaman itu?
Posisi teks ini terletak pada bagian penutup sebuah bacaan yang panjang yaitu pasal 11-
14, Paulus membahas situasi yang bermasalah dalam konteks ibadah. Paulus telah membahas
kebiasaan yang pantas untuk laki-laki dan perempuan ketika berdoa dan bernubuat (11:2-16);
dan kebiasaan-kebiasaan yang salah dalam Perjamuan Malam (11:17-34); dan akhirnya
hakikat, fungsi, penggunaan dan penyalahgunaan karunia-karunia roh (12-14), dengan
pemikiran khusus pada fenomena "berkata-kata dengan bahasa roh" dan "nubuat" (14:1-25).
Jelas dari konteks bacaan langsung (14:26-40) ucapan yang sulit di pahami (14:33-34),
bahwa sikap meninggikan dan memuja bahasa roh dari beberapa golongan dalam gereja
menimbulkan ketidakteraturan dan kekacauan dalam ibadah. Karena itu ketika membicarakan
jemaat yang berkata-kata dengan bahasa lidah (ayat 27-28), Paulus memerintahkan
keteraturan yaitu mereka harus berbicara "seorang demi seorang." Bahasa roh harus
ditatsirkan (ayat 27), karena tanpa memahami penafsiran akan mengacaukan para pendengar
dan membuat mereka bertanya-tanya apakah orang-orang yang berbicara itu sudah gila
(14:23). Kalimat itu ada dalam ayat 28, jika tidak ada orang yang menafsirkan, "hendaklah
mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat". Ketika berbicara tentang jemaat yang
87
memiliki karunia untuk bernubuat tentang Injil (14:29-33), keprihatinannya terhadap
keteraturan dalam ibadah juga nampak jelas. Mereka harus berbicara "secara bergiliran,"
tidak secara bersamaan. Tujuan dari komunikasi lisan adalah "membangun jemaat" (14:26)
melalui pengajaran dan penguatan setiap orang (14:31). Tujuannya, menurut Paulus, hanya
dapat dilaksanakan jika ada keteraturan dalam jemaat bukan melarang, "Sebab Allah tidak
menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera" (14:33; lihat juga 14:40).
Hal-hal yang tersebut di atas menunjukkan bahwa Paulus berurusan dengan kebiasaan-
kebiasaan yang salah dalam ibadah yang menghalangi tujuan Allah dan karena itu perlu
diperbaiki dengan pemahaman yang baru. Dalam konteks semacam ini, teks nampaknya
tergolong ke dalam kategori ''teks korektif" yang tujuannya terfokus pada keadaan lokal.
Karena itu ucapan Paulus, "perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-
pertemuan Jemaat" nampaknya memiliki makna kuasa ("Apa yang kukatakan kepadamu
adalah perintah Tuhan" 14:37) untuk situasi khusus di Korintus (dan juga situasi-situasi
serupa; misalnya, teks yang dibicarakan pada I Timotius 2:11-12). Karena itu harus berhati-
hati untuk tidak melompat pada kesimpulan bahwa perintah Paulus ini memiliki implikasi
untuk semua perempuan dalam semua jemaat.
Dukungan untuk membatasi peran perempuan sebenarnya berasal dari tulisan-tulisan
Paulus yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan di jemaat mula-mula yang menunjukkan bahwa
partisipasi perempuan secara lisan dalam hal ibadah dan peran pengajaran atau
kepemimpinan lainnya diterima dan diakui. Paulus dalam suratnya yang sama menyatakan
keabsahan dan kelayakan perempuan sebagai partisipan penuh dalam doa jemaat dan
pemberitaan Injil (11:5,13). Menurut Paulus yang tidak benar dan tidak dapat diterima adalah
mereka yang melibatkan diri dalam aktivitas ini tanpa tudung kepala, karena penolakan
terhadap norma, budaya atau agama bisa menciptakan penghalang yang besar. Paulus bahkan
menyatakan dalam konteks itu bahwa "Jemaat-Jemaat Allah" tidak mempunyai kebiasaan
88
yang demikian (11:16), yaitu, kesesuaian tudung kepala bagi perempuan-perempuan yang
berdoa dan bernubuat dalam jemaat.
Seandainya Paulus meyakini bahwa perempuan harus berdiam diri dalam jemaat dalam
pengertian yang menyeluruh dan universal, ia tidak akan menghabiskan begitu banyak waktu
(pasal 11) untuk memberitahukan kepada perempuan apa yang harus mereka lakukan dengan
kepala mereka, ia hanya akan melarang mereka berdoa dan bernubuat dalam pertemuan-
pertemuan jemaat. Teks-teks Perjanjian Baru lainnya yang berkaitan dengan peranan
perempuan dalam jemaat pada jaman itu dibahas dalam I Timotius 2:11-12.
Cara pandang Paulus yang lebih luas mengakui dan membenarkan partisipasi
perempuan yang besar dalam jemaat didukung dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru lainnya.
Misalnya pemberitaan "perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah" yaitu pekerjaan
penebusan-Nya di dalam dan melalui Yesus dari Nazareth Kisah Para Rasul 2:11;22-36)
dalam khotbah Pentakosta Petrus ditafsirkan sebagai pemenuhan nubuat dalam Yoel 2:28-29,
yaitu bahwa pada hari-hari terakhir, karena wahyu dari Roh Allah yang tercurah, "Anak-
anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat ... Juga ke atas hamba-hamba-Ku laki-laki
dan perempuan, akan kucurahkan Roh-Ku pada hari-hari itu, dan mereka akan bernubuat"
(Kisah Para Rasul 2:17-18). Sehubungan dengan kata-kata nubuat ini dan dimulainya
pemenuhan nubuat tersebut pada hari Pentakosta, Lukas menyebutkan dengan sebenarnya
bahwa penginjil Filipus mempunyai empat anak perempuan yang melibatkan diri dalam
pelayanan nubuat kabar baik (Kisah Para Rasul 21:8-9).
Berdasarkan fakta yang ada, menjelaskan bahwa perempuan-perempuan dalam jemaat
yang mula-mula digerakkan oleh Karya Roh Kudus untuk melibatkan diri dalam pelayanan
Firman berdampingan dengan laki-Iaki, maka tidak mungkin memahami perintah Paulus ini
sebagai perintah tegas yang dimaksudkan untuk semua gereja di segala tempat sepanjang
waktu. Namun sebaliknya, perintah ini harus dimengerti dalam konteksnya sendiri (dan
89
konteks-konteks serupa "dalam semua Jemaat orang-orang kudus" I Korintus 14:34), sebagai
pembahasan sebuah masalah di Korintus yang perlu dipecahkan.
Menurut Paulus masalah yang khusus dalam ibadah jemaat adalah tentang kekacauan,
kurangnya keteraturan, dan kebingungan. Situasi ini jelas disebabkan oleh pengungkapan
karunia bernubuat dan berbahasa roh secara tidak benar (14:26-31). Jadi mungkin sekali
nasihat untuk berdiam diri ini sedikit banyak berkaitan dengan partisipasi perempuan dalam
penggunaan karunia-karunia ini secara tidak benar. Mungkin perempuan-perempuan dalam
jemaat Korintus, karena pengalaman Injil yang membebaskan dari segala macam ikatan
budaya dan agama, berdiri di garis terdepan dan berkata-kata dengan bahasa roh yang tidak
dltafsirkan (glossolalia) dan melakukan pemberitaan nubuat yang antusias, tanpa
memberikan kesempatan kepada yang lain. Kemungkinan beberapa orang terus berbicara
sementara yang lainnya bernubuat, menimbulkan kekacauan yang hiruk-pikuk di mana tidak
seorang pun dapat "diajar dan dikuatkan."
Adanya korelasi antara para perempuan yang diminta untuk berdiam diri dengan
pengungkapan bahasa lidah dan nubuat yang tidak teratur ini didukung oleh dua rangkaian
kalimat yang paralel dalam teks. Jemaat yang berkata-kata dengan bahasa roh tanpa
penafsiran, Paulus mengatakan, "hendaklah mereka berdiam diri" (14:28). Kemudian, dalam
1 Korintus 14:34, ia menggunakan kata-kata yang tepat sama, "perempuan- perempuan harus
berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat." Variasi terjemahan dalam versi NIV (The
New International Version) tidak mencerminkan bahwa kata kerja bahasa Yunaninya (sigao)
sama.
Membicarakan masalah bahasa nubuat yang tidak teratur (14:29-32), Paulus sekali lagi
mendorong beberapa orang untuk berdiam diri sehingga yang lainnya dapat berbicara secara
bergantian. Terjemahan Alkitab versi NIV "yang pertama harus berdiam diri" (14:30) sekali
lagi tidak mengungkapkan bahwa kata kerja sigao ("tetap diam") digunakan di sini. Tetapi
90
yang lebih penting, ketika memberitahukan kepada para nabi dalam jemaat untuk menyadari
bahwa mereka saling tergantung, Paulus mengatakan, "Karunia nabi takluk kepada nabi-nabi"
(14:32). Kata bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi "takluk kepada" adalah hypotasso.
Kata ini sama dengan yang digunakan Paulus dalam 1 Korintus 14:34, di mana ia
melanjutkan nasihatnya agar berdiam diri (berdasarkan Alkitab versi NIV) dengan kata-kata,
"mereka harus menundukkan diri." Dengan kata lain, para nabi harus menundukkan diri
kepada nabi-nabi lain (dan dengan demikian mereka menundukkan diri satu kepada yang
lain) di dalam jemaat.
Seandainya perempuan secara menyolok berada dalam kelompok nabi yang
dikesampingkan sebagai nabi-nabi yang "tidak teratur," maka dalam 1 Korintus 14:34 Paulus
kemungkinan berbicara kepada mereka secara khusus sehubungan dengan masalah tunduk
kepada nabi-nabi lain ini demi timbulnya damai sejahtera (14:32-33). Kesejajaran dalam
perintah untuk "berdiam diri" dan ''tunduk'' ini memberikan kesan yang kuat bahwa masalah
partisipasi yang tidak teratur dalam pemberitaan nubuat dan bahasa roh sangat menonjol di
antara perempuan-perempuan yang beriman di Korintus, dan dalam kaitan dengan konteks
inilah nasihat-nasihat Paulus harus dimengerti.
Apa yang dimaksud dengan "Hukum Taurat" yang mendasari perintah untuk tunduk itu
(14:34)? Dengan mengasumsikan bahwa ketaatan yang digambarkan ini adalah ketaatan
kepada laki-laki atau suami di dalam jemaat, beberapa orang meneliti Perjanjian Lama yang
mungkin mendasari perintah itu. Teks yang paling umum dikutip dari "Hukum Taurat" adalah
Kejadian 3:16. Dua faktor bertentangan dengan anggapan ini. Dimana pun Paulus berbicara
tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, ia tidak pernah menyebutkan bacaan ini.
Selain itu, jelas dari konteks Kejadian 2-3 bahwa isi Kejadian 3:16, "Engkau akan berahi
kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu" tidak menyatakan rancangan Allah mengenai
"kepemimpinan laki-laki" melainkan pernyataan keadaan yang terkutuk karena dosa. Paulus
91
tentu saja mengetahui bahwa pekerjaan penebusan Kristus membebaskan umat manusia dari
kutukan taman Firdaus.
Pernyataan Paulus mengacu kepada norma-norma Yahudi dan kafir yang membatasi
partisipasi perempuan dalam jemaat, dan pembatasan ini terjadi dalam konteks budaya
dimana laki-laki dominan. Tetapi sebenaranya Paulus menggunakan kata "tunduk" tanpa
mengatakan "kepada siapa." Sehingga dengan demikian dugaan bahwa hal ini berarti laki-laki
atau suami mungkin tidak benar. Paulus lebih mungkin kembali kepada pernyataan bahwa
"karunia nabi takluk kepada nabi-nabi." (14:32). Pertanyaan "tunduk kepada siapa atau apa?"
kemudian akan terjawab dalam konteksnya nabi lain, atau prinsip tatanan yang berasal dari
Allah (14:33).
Prinsip Paulus yang berlaku untuk kehidupan jemaat dan ibadah itu tetap. Sehingga
apapun yang menghalangi gerakan Injil menimbulkan kekacauan dan bukan pertumbuhan,
mengganggu dan bukannya mendorong atau menguatkan, menguntungkan diri sendiri dan
mengorbankan orang lain semua ini bertentangan dengan tujuan Allah. Dan selama
perempuan-perempuan di Korintus dan di jemaat manapun menggunakan karunia mereka
bertentangan dengan tujuan Allah, perintah untuk berdiam diri merupakan kata yang tepat
dan berkuasa. Prinsip yang mendasari perintah itu memiliki kuasa atas laki-laki maupun
perempuan di semua jemaat.1
4.3. Pandangan perempuan dalam 1 Korintus 14: 34-40
Secara sepintas berdasarkan pendapat diatas, sebenarnya para perempuan dalam
konteks Korintus ada kebebasan dan tidak ada larangan dalam hal berbicara. Para perempuan
ketika berbicara diharapkan harus melakukannya secara bergantian sehingga ada keteraturan.
1 Manfred T Brauch, Ucapan Paulus yang Sulit, SAAT Malang, 161-168.
92
Menurut konteks Korintus, nyata sekali adanya pengakuan, diakui dan diterima para
perempuan dalam kehidupannya.
Apakah Rasul Paulus Melarang perempuan Berkomentar? ”Biarlah perempuan-
perempuan berdiam diri dalam sidang-sidang jemaat”. (1 Korintus 14:34) Apa yang ia
maksudkan? Apakah ia meremehkan kecerdasan mereka? Ternyata tidak. Malah, ia sering
menyebutkan tentang perempuan-perempuan yang bisa mengajar dengan baik. (2 Timotius
1:5; Titus 2:3-5). Dalam suratnya kepada orang-orang di Korintus, Paulus tidak hanya
menasihati para perempuan tetapi juga orang-orang yang memiliki karunia bernubuat dan
berbicara dalam bahasa lain agar mereka ”berdiam diri” ketika rekan seiman sedang
berbicara. (1 Korintus 14:26-30, 33) Beberapa perempuan Kristen kemungkinan sangat
antusias mengenai iman baru mereka sehingga menyela pembicara untuk bertanya, yang juga
merupakan kebiasaan umum di sana kala itu. Untuk menghindari kekacauan tersebut, Paulus
menasihati mereka agar ”bertanya kepada suami mereka di rumah”. (1 Korintus 14:35).
Tuhan Yesus memilih perempuan untuk melaporkan kebangkitannya. (Matius 28:1,8-10).
Walaupun para perempuan setia ini telah menyaksikan sendiri Yesus dibunuh dan dikubur,
para rasul sulit mempercayai perkataan mereka. (Matius 27:55, 56, 61; Lukas 24:10, 11)
Tetapi, dengan terlebih dahulu menampakkan diri kepada para perempuan, Yesus
menunjukkan bahwa mereka patut dipercaya sama seperti para muridnya yang lain. (Kisah
1:8, 14).
Perempuan harus diam ternyata merupakan sebuah sisipan bukan merupakan tulisan
Rasul Paulus. Berdasarkan hal ini maka muncullah sebuah rekontruksi pola rumah tangga
yang melarang peran perempuan di muka umum. Namun dalam kenyataan dipakai dasar oleh
Gereja Kristen Jawa untuk melanggengkan budaya patriakal. Hal ini bisa dibuktikan dengan
adanya keputusan Sidang Sinode GKJ tahun 1931 hingga 1956 yang melarang perempuan
menduduki jabatan gerejawi. (sudah di jelaskan dalam Bab I). Dampak dari keputusan sidang
93
Sinode tersebut masih dirasakan sampai sekarang ini. Sehingga kepemimpinan Gereja
Kristen Jawa selalu dipegang oleh kaum laki-laki. Perempuan Jawa dihambat bahkan tidak
boleh memegang jabatan sama sekali dalam hidup bergereja.
Identitas Perempuan sudah pasti dimiliki oleh setiap suku bangsa dan ada didalam
kebudayaan apapun. Perempuan Jawapun mempunyai identitas tersendiri dan tentu berbeda
dengan budaya lain. Tuhan menciptakan manusia sungguh amat baik. Perempuan sederajat
dengan laki-laki. Perempuan sungguh bermartabat dihadapan Tuhan.
Permasalahan identitas diri yang dihadapi perempuan Jawa menyangkut empat hal:
(1) perempuan Jawa memandang dirinya, (2) orang lain memandang perempuan Jawa, (3)
hasrat perempuan Jawa untuk menjadi sang lain, (4) tindakan perempuan Jawa dalam
pemenuhan hasratnya menjadi sang lain. Dalam proses menjadi sang lain yang notabene
menjadi Belanda, Eropa, atau Barat, perempuan Jawa yang berasal dari pulau Jawa ini
melakukan sejumlah mimikri (peniruan): (1) mimikri terhadap bahasa, (2) mimikri terhadap
mata pencaharian, (3) mimikri terhadap gaya hidup, (4) mimikri terhadap sistem
kemasyarakatan.
Ternyata dalam konteks budaya Jawa yang menganut sistem Patriarkal sangat berbeda
dengan situasi kondisi yang ada dalam jemaat di Korintus. Dalam budaya Jawa yang
menganut sistem kekeluargaan yang Patriakal sangat berbeda dengan konteks masyarakat
Korintus. Banyak responden yang memahami bahwa 1 Korintus 14:34-35, merupakan ayat-
ayat yang membahas adanya budaya patriakal yang berasal dari Hukum Taurat. Dalam
hukum Yahudi perempuan bukanlah seorang pribadi tetapi suatu benda; ia sepenuhnya ada
pada penguasaan ayahnya dan suaminya. Perempuan tidak mempunyai bagian dalam ibadah
di sinagoge; mereka dikurung/diletakkan secara terpisah dalam suatu bagian sinagoge, atau
di serambi dimana mereka tidak bisa terlihat. Seorang laki-laki datang ke sinagoge untuk
94
belajar, tetapi perempuan datang hanya untuk mendengar. Di sinagoge pelajaran dari Kitab
Suci dibacakan oleh anggota-anggota dari jemaat; tetapi tidak oleh seorang perempuan,
karena itu akan mengurangi kehormatan dari jemaat.2 Perempuan Jawa berada dalam posisi
dijajah oleh kaum laki-laki dengan mengatasnamakan sistem patriarkal. Pengajaran-
pengajaran bahasa kaum patriarkal, jika tidak disadari bisa terperangkap sebagai bentuk
kepanjangan tangan sang kolonial terhadap perempuan Jawa.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan
secara genetis. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh budaya patriarkal pada masyarakat Korintus
yang dilatar belakangi oleh konflik masalah karunia. Semua orang menganggap dirinya
paling utama dan masing-masing saling menonjolkan diri sehingga dalam pertemuan jemaat
terjadi ketidakteraturan/kekacauan. Ada juga yang melatar belakang ayat ini adalah
perpecahan dan perselisihan yang terjadi dijemaat Korintus, sehinga Paulus menyarankan
pada perempuan untuk tidak berbicara pada saat pertemuan jemaat agar supaya tidak terjadi
2 Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Minggu, 19 Januari 2014,pkl 19.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
95
perselisihan diantara jemaat. Untuk itulah Paulus membuat aturan-aturan yang dipakai dalam
pertemuan jemaat. Dalam ayat ini juga diketemukan adanya penekanan, penindasan,
pelarangan terhadap hak perempuan. Ayat-ayat ini memperlihatkan sangat dominannya
budaya “Patriarkal”.3
Responden mempunyai pandangan bahwa Budaya Patriarkal masyarakat Jawa dan
ketentuan Hukum Taurat yang tertuang dalam 1 Korintus 14: 34-35 memiliki kesamaan
dalam hal penempatan posisi laki-laki dan perempuan. Bagi masyarakat Jawa yang masih
menggunakan budaya patriarkal, akan cenderung melanggengkan perbedaan peran
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan berjemaat. Bahkan ada yang berpendapat bahwa
ayat-ayat di Alkitab adalah kata-kata Tuhan yang harus dilakukan dengan tidak boleh
ditambah dan dikurangi.4
Menurut Said, kebudayaan dan politik pada kasus kolonialisme telah bekerja sama,
secara sengaja ataupun tidak, melahirkan suatu sistem dominasi yang melibatkan bukan
hanya meriam dan serdadu tetapi suatu kedaulatan yang melampaui bentuk-bentuk, kiasan
dan imajinasi penguasa dan yang dikuasai. 5 Dalam sejarah gereja, hubungan antara gereja
dan budaya telah mendapat perhatian sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian,
hubungan itu tidak berlangsung cuma dalam satu model melainkan beranekaragam,
tergantung pada sejauhmana memahami apa itu gereja dan apa itu budaya.
Peran laki-laki dalam berjemaat lebih diutamakan dibanding dengan perempuan.
Peran perempuan lebih pasif, bahkan untuk urusan pertemuan keagamaan perempuan dituntut
untuk pasif dan tidak agresif dalam berpendapat atau bertanya secara langsung tentang
3 Hasil wawancara dengan Ibu Tfs, IbuHw, Minggu, 19 Januari 2014,pkl 19.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang
Barat) 4 Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Ibu Vk, Ibu Wh, Ibu Srk, IbuHw, Minggu, 19 Januari 2014,pkl 19.00Wib.
(Lokasi di GKJ Semarang Barat) 5 Edward. W Said, Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan. Surabaya: Pustaka Promethea, 2003.
96
masalah agama di dalam forum jemaat. Penyampaian gagasan atau pertanyaan secara
langsung oleh perempuan akan dianggap sebagai budaya yang tidak sopan.6 Perempuan
diharuskan menyampaikan gagasan dan pertanyaannya kepada laki-laki (suami) saat berada
dirumah. Dengan demikian dalam hukum Taurat tersebut perempuan tidak diberi peran untuk
tampil berpendapat atau bahkan memimpin Jemaat. Perempuan dalam ayat-ayat tersebut
berada pada posisi nomer 2, Perempuan tidak layak tampil dihadapan publik dan laki-lakilah
yang utama.7 Berbicara tentang penjajah dengan yang terjajah seringkali tidak mudah untuk
dikategorikan.
4.4. Peran Baru Poskolonial
Analisis poskolonial mewujud dalam debat pembentukan identitas yang terus
berlangsung antara klaim nasionalisme dan internasionalisme, esensialisme strategis dan
hibriditas, penerimaan dan penolakan, serta politik struktur atau totalitas dan politik fragmen.
Teori postkolonial sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh kolonialisme.8 Analisis postkolonial dapat digunakan, di satu pihak untuk
menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat
diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja, dipihak lain membongkar disiplin, lembaga, dan
ideologi yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah peranan bahasa, sastra, dan kebudayaan
pada umumnya dapat memainkan peranan sebab dalam ketiga gejala tersebutlah terkandung
wacana sebagaimana diintensikan oleh kelompok kolonialis. 9
Sasaran postkolonialisme
adalah masyarakat yang dibayang- bayangi oleh pengalaman kolonialisme, seperti yang
dialami oleh perempuan Jawa.
Permasalahan tersebut bukan saja masalah kerugian secara fisik, melainkan juga
masalah budaya, nilai-nilai sosial, serta identitas yang telah berubah akibat penetrasi unsur-
6 Hasil wawancara dengan Ibu Hl, Minggu, 19 Januari 2014,pkl 19.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
7 Hasil wawancara dengan Ibu Vk, Minggu, 19 Januari 2014,pkl 19.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
8 Ratna Nyoman Kutha, Pengantar Pengkajian Sastra. (Semarang: Fasindo.2008), 120.
9 Kutha, Pengantar Pengkajian, 104.
97
unsur budaya bangsa penjajah. Setiap penjajahan pasti membawa dampak fisik, sosial serta
psikologis bagi yang dijajah.
Pendapat responden menanggapi posisi perempuan Jawa yang harus diam dalam
kehidupan jemaat, ternyata perempuan Jawa tidak setuju dengan pendapat tersebut. Oleh
karena itu, Perempuan Jawa harus berani untuk membongkar tradisi patriarkal dalam
kehidupan Korintus supaya tidak diterapkan terhadap perempuan Jawa. Perempuan Jawa
menghendaki adanya perubahan cara pandang yaitu Perempuan harus sepadan, sederajat
dengan laki-laki. Hal ini disebabkan karena responden memahami bahwa Tuhan Allah
menciptakan manusia dalam kondisi yang sangat baik dan sederajat. Perempuan menjadi
penolong yang sepadan. (Kejadian 2:18).
Surat Paulus kepada jemaat di Korintus yang menginstruksikan bahwa perempuan
dilarang berbicara dalam pertemuan-pertemuan dan bahwa perempuan tidak boleh mengajar
telah menjadi dasar bagi beberapa pemimpin gereja untuk menolak keterlibatan perempuan
dalam aktifitas pelayanan secara menyeluruh. Padahal yang dimaksud oleh Paulus ialah
konteks pada waktu itu banyak menyembah kepada dewi venus (Aphrodite) dan akibatnya
banyak terjadi pelanggaran kekudusan perempuan di Korintus.10
Dari sini secara tidak langsung muncul apa yang disebut kontruksi identitas,
pengkategorian dan pengelompokan “menjadi” antara laki-laki dan perempuan. Sangat tepat
pendekatan poskolonial digunakan dalam menganalisa teks-teks Alkitab, mengingat teks
Alkitab dalam banyak tempat bernuasa hegemonik (Sugirtharajah).
Konflik identitas sebagai laki-laki yang berkuasa dan perempuan yang membutuhkan
“pertolongan”, “pengakuan” dan “pembebasan” dari ketidakberdayaanya. Poskolonial
meliputi imperial seluruh budaya (all to cultural) melalui proses imperialisme yang dilakukan
Eropa. Hal ini sangat berkaitan dengan kritik antar budaya baru yang sudah muncul dalam
10
Hasil wawancara dengan Ibu Ts, Minggu, 19 Januari 2014,pkl 19.00Wib. (Lokasi di GKJ Semarang Barat)
98
beberapa tahun terakhir dan wacana tersebut dilembagakan. Poskolonialisme adalah sebuah
perlawanan (resistence) kepada kolonialisme, ideologi-ideologi kolonialis, dan warisan-
warisan kolonialis dalam berbagai bentuk di zaman ini.11
Teori poskolonial menggunakan situasi kolonisasi untuk menyadarkan pembaca Alkitab
sebagaimana berada dalam situasi terjajah, dan karenanya berupaya untuk melakukan
negosiasi kearah pembebasan dan persamaan. Dibawah studi poskolonial, hermeneutik
poskolonial membawa sebuah penyadaran diri bahwa Alkitab yang di baca, di tafsirkan dan
di khotbahkan kepada orang lain sangat dipengaruhi oleh konteks kekuasaan sosial-politik
dan konstruksi identitas (baca: pelabelan). Teks Alkitab tidak jauh dari retorika sastra dan alat
imperialisme. Tetapi tidak dapat dipungkiri, disisi lain teks Alkitab juga memproklamirkan
suara-suara kenabian. Mengisahkan pembebasan dari situasi kolonial yang bervisi keadilan
sebagai tantangan ketidakadilan.
Sebagai pendekatan yang menitikberatkan pada aspek kekinian, yang menekankan
konteks aktual dimana penafsir hidup; yang memiliki dimensi pembebasan, dan kultural
(Sugirtharajah); sebuah metode yang menantang hegemoni Barat (Lozada); mengedepankan
Alkitab sebagai yang memiliki otoritas (Samartha), otoritas Alkitab yang mampu
mendampingi dan menjawab permasalahan-permasalahan dalam konteks (baca: realitas)
penafsir, ini sangat tepat untuk diperhadapkan dalam konteks Indonesia, Jawa secara khusus,
termasuk pergumulan gereja didalamnya. Mengutip Levison yang menghubungkan konteks
pembaca Alkitab dengan proses hermeneutik.
Dalam pengertian semacam ini, meminjam istilah Freire dalam pendidikan, studi
poskolonial membawa kesadaran diri manusia bahwa ia (pernah) berada dalam jalinan
kolonialisme dan (sekarang) masih terkolonialisasi (poskolonialisasi) dengan gaya baru.
11 Laura E. Donaldson, Postcolonialism and Biblical Rading: An Introduction. Dalam Martin Lukito Sinaga,
Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS, 2004, 13.
99
Sadar bahwa dulu pernah menjadi bangsa jajahan oleh bangsa Eropa dan sekarang sulit
(menghindari kata tidak) menghindari hegemoni ekonomi dunia (Barat). Poskolonial
memberikan pengharapan baru, membebaskan setiap manusia yang berada dalam
ketertindasan. Menggugah semangat bahwa Barat tidak akan ada artinya tanpa bangsa Timur.
Barat memiliki arti karena keberadaan bangsa Timur (Said). Dari sini dapat dikembangkan,
Asia, negara bekas koloni Barat, yang secara politis telah memperoleh kemerdekaan, harus
betul-betul merasakan kemerdekaannya, tidak hanya secara politis, tetapi juga kultural dan
ekonomi.
Kontruksi identitas tersebut semakin nampak, ketika banyak orang mengetahui bahwa
laki-laki adalah yang berkuasa dan perempuan yang dikuasai. Hubungan dua insan yang
berbeda kedudukan dan latar belakang kebudayaan masa lalu memunculkan superioritas dan
inferioritas identitas sejak dulu sampai sekarang yang menjadi ciri hubungan mengkolonisasi
dan terkolonisasi. Kolonialisme seringkali berupaya membentuk budaya dan identitas
pribumi berdasarkan konstruksi budaya kolonial.
Sebagai konsekuensi, otentisitas identitas perempuan Jawa terdistorsi, mengalami
perubahan dan karenanya melahirkan hibriditas identitas yang ambigu. Perempuan Jawa tidak
lagi berada dalam otentisitas identitas laki-laki, tetapi sebuah identitas yang sudah
terkontaminasi dengan latar belakang budaya patriarkal dan kebudayaan Jawa. Dalam posisi
seperti ini, identitas perempuan Jawa menjadi in between space yang membentuk hibriditas
identitasnya.
Penempatan istilah „hibrid‟ menurut Homi Bhabha (1998) merupakan metafora untuk
menggambarkan bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari
masing-masing bentuk sementara sekaligus juga meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki
keduanya. Bhabha menambahkan bahwa poskolonialitas bukan hanya menciptakan budaya
100
atau praktek hibriditas, tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan negosiasi
baru sekelompok orang di dalam relasi sosial dan politik mereka.12
Inilah yang terjadi dengan
perempuan Jawa. Sebagai pribadi dan sekaligus bangsa yang inferior, disatu sisi ia menerima
formula (pembentukan), kontruksi identitas dan pelabelan citra yang ditanamkan oleh oleh
laki-laki yang mewakili Penjajah, Artinya, ia berusaha untuk menghindar dari konstruksi
identitas yang ditanamkan kepadanya. Kontruksi identitas Jawa menjadi ke-Barat-Barat-an
dalam bentuk arsitektur bangunan gereja menjadi bukti yang tidak terbantahkan hibriditas
orang-orang Jawa Kristen dalam “bangunan GKJ”. Laki-laki dan perempuan Jawa dalam
bacaan 1 Korintus pada dasarnya menegaskan perbedaan identitas mereka. Laki-laki
direfleksikan sebagai representasi bangsa superior, perempuan Jawa, sebagai representasi
kaum terjajah.
Berdasarkan pemahaman Responden Perempuan Jawa tentang identitasnya sebagai
perempuan yang ideal maka banyak responden yang menghendaki adanya perubahan.
Perempuan Jawa menemukan bahwa patokan yang dipakai kaum laki-laki yang selama ini
dipegang dalam masyarakat Jawa berbeda dengan firman Tuhan dalam Korintus.
Berkaitan dengan posisi dan kedudukan laki-laki dan perempuan pada budaya Jawa
berlaku prinsip hormat yang harus diterapkan, namun prinsip ini tidak memberikan privilese,
tetapi hanya menuntut pengakuan senioritas dalam sikap lahiriah.13
Laki-laki telah
memanipulasi perbedaan-perbedaan dan merampas hak perempuan demi keuntungan dirinya.
Perempuan menuntut kembalinya hak-hak yang dianggapnya telah dirampas oleh kamu laki-
laki. Gerakan emansipasi yang mendorong perempuan mempunyai kesepatan (peran) dan
kedudukan yang sama dengan laki-laki masih diwarnai hambatan dari berbagai faktor
sosiologis, adat, maupun budaya yang merupakan nilai hidup dan makna nilai norma
12
Arie Setyaningrum Pamungkas, “Memetakan Lokasi bagi „Politik Identitas‟dalam
Wacana Politik Poskolonial” pernah dimuat dalam “Jurnal Mandatory IRE, 2005” (Internet). 13
Christiana S. Handayani, Kuasa Wanita Jawa, (Yogyakarta: LKis, cet I, 2014), 122.
101
kesusilaan. Semua faktor dan sifat diatas hanya dapat diatasi oleh perempuan sendiri dengan
keberanian dan peran sesuai dan atau sepadan dengan laki-laki.14
Perempuan Jawa senada dengan Kaum feminis radikal yang berpendapat bahwa
perempuan ditindas oleh kaum laki-laki, makanya perempuan harus keluar dari kondisi ini.
Kaum feminis saat ini lebih fokus pada bagaimana menata kehidupan yang lebih adil bagi
perempuan dan laki-laki? Dengan kata lain masalah yang ditimbulkan oleh sistem budaya itu
yang menjadi fokus perhatian dan mengusahakan budaya hidup yang lebih adil.15
Perempuan
dengan keberaniannya harus tampil dan bertanya tentang keputusan para pemimpin.
Perempuan mempunyai kemampuan untuk menentukan sendiri hidup dan memperjuangkan
apa yang menjadi hak dan kewajibannya.16
Berdasarkan atas ulasan dan pandangan-pandangan yang sudah disampaikan maka
ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian dan penegasan yaitu: Perempuan Jawa
bermartabat sebagai ciptaan Tuhan, Identitas perempuan Jawa berbudaya Jawa, dan
Perempuan Jawa sebagai agen perubahan.
4.4.1. Martabat Perempuan.
Perempuan Jawa sebagai mana perempuan yang lain, merupakan perempuan yang
memiliki martabat dihadapan Sang Pencipta. Walaupun Perempuan Jawa adalah
mencerminkan wajah ketertindasan dan tidak memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki.
14
Shanti Dellyana, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, ( Yogyakarta: Liberty, Cet I, 1988), 155. 15
Natar, Ketika Perempuan berteologi : Berteologi Feminis Kontektual, 27-28. 16
Natar, Ketika Perempuan, 37-39.
102
Sebaliknya, perempuan menjadi korban dominasi laki-laki. Di sini ada persekongkolan
kultural kekuasaan yang menguatkan posisi dan peran tradisional perempuan.17
Perempuan sejak lama selalu dilekati dengan sifat-sifat nrimo, pasrah, lembah manah,
setia, atau halus. Pembakuan sifat ini menjadi cenderung ideologis karena muncul dalam
konstruksi sosial yang acapkali meminggirkan perempuan. Inferioritas sering menjadi
momok bagi perempuan, karena dioperasionalkan melalui mekanisme sosial, kultural, dan
kekuasaan. Sambungan “keapesan” perempuan terus mendapati fragmen-fragmen yang
tragis. Babad Tanah Jawi pun secara eksplisit membenarkan nasib apes perempuan. Bagi
orang Jawa, Perempuan digambarkan sebagai orang yang harus dihormati oleh anaknya
karena surga terletak di bawah kaki ibu. Setidaknya ada term di masyarakat Jawa yang biasa
digunakan untuk menyebut perempuan sebagai Wadon. Wadon berasal dari bahasa Kawi,
“Wadu” yang artinya kawula atau abdi. Secara istilah bisa diartikan bahwa perempuan
dititahkan di dunia ini sebagai abdi laki-laki. Perempuan juga perlu pendidikan yang tinggi
agar bisa memerankan dengan baik peran-peran ini. Perempuan dituntut untuk selalu
merealisasikan tiga kewajiban perempuan (tri perkawis). Dan yang dimaksud dengan tiga
kewajiban itu adalah kedudukannya sebagai wadon, wanita, maupun estri. Dalam kehidupan
perempuan Jawa juga sering kita dengar istilah masak, macak, manak yang artinya pandai
memasak, pandai berdandan atau bersolek, dan bisa memberi keturunan. Meski terlihat
sederhana istilah tersebut, tapi sebenarnya ketiga kata tersebut memiliki makna yang sangat
dalam.
Harkat dan martabat perempuan dalam Babad Tutur menjadi suatu sisi terang untuk
merevisi sisi gelap yang terdapat dalam Serat Panitisastra. Serat Panitisastra merupakan
17 Konsep perempuan Jawa yang tertuang dalam Novel “Hati Sinden” karya Dwi Rahayuningnsih, 2011
(Yogyakarta : Diva Press).
103
tanda proses perubahan dan pada masa sastra Jawa Madya menjadi obyek fungsional yang
selalu dibayangi oleh konvensi rasial dan religi yang paternalistik. Pemahaman itu merupakan
dampak atas mekanisme dari kekuasaan yang mengacu pada keraton. Sastra Jawa memang
didominasi oleh para pujangga keraton yang tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang
paternalistik, yakni keraton dan kolonial.
Pada konteks itulah maka perempuan mendapat tempat kehormatan, lebih bermartabat
dan tidak diposisikan di lapisan bawah. Persepsi terdahulu yang dilandasi kultur feodalisme
konvensional tidak lagi mendapatkan tempat, karena keberadaan perempuan sebagai kaum
feminin semakin dihormati, dijunjung tinggi dan berperan sejajar dengan laki-laki, walaupun
dari sisi biologis terdapat perbedaan alami (melahirkan), itu wajar.
Di kalangan terbatas (kampus) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), persoalan
kesetaraan gender ditinjau dari berbagai perspektif sudah banyak dibahas dan dibincangkan
untuk kemudian diimplementasikan. Mereka lebih suka memilih kata perempuan daripada
wanita untuk organisasinya. Namun di kalangan awam sesungguhnya hal demikian belum
nampak diinternalisasikan secara optimal. Sesungguhnya persoalan ini sangat bergantung
kaum perempuan itu sendiri, karena eksistensi perempuan sebagai entitas secara kemanusiaan
mestinya sejajar dengan kaum laki-laki. Bukankah nasib akan berubah jika yang
bersangkutan mau merubahnya sendiri?
Padahal Allah menciptakan manusia dengan tingkat harkat atau tingkat derajat
kemanusiaan yang sama bagi lelaki dan perempuan. Cerita penciptaan versi abad ke-10 SZB
menulis, "... Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." (Kejadian
2:18) Dalam bahasa aslinya digunakan "nomina ezer", yang berarti pihak yang mampu
membantu. Bahkan Allah disebut ezer di Mazmur 115:9-11. Jadi, sebutan "ezer" sama sekali
104
tidak bersifat merendahkan, bahkan sebenarnya mengagungkan. Lalu cerita itu menyebut
perempuan sebagai penolong yang sepadan. Bahasa aslinya "neged" yang berarti sepantar.
Penciptaan yang ditulis empat abad kemudian mencatat, "... menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." (Kejadian 1:27)
Perhatikan bahwa yang diciptakan sesuai dengan citra Allah bukan hanya gender lelaki,
melainkan juga gender perempuan. Jadi, kedua versi cerita itu sama-sama mengakui bahwa
lelaki dan perempuan diciptakan dengan martabat kemanusiaan yang sama tingkatnya.
4.4.2. Perempuan Sebagai Manusia Berbudaya
Budaya patriarki mempengaruhi kondisi hubungan perempuan dan laki-laki, yang pada
umumnya memperlihatkan hubungan subordinasi, hubungan atas-bawah dengan dominasi
laki-laki. Kebudayaan Jawa menempatkan perempuan sebagai the scond sex. Dalam hal
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana kultur yang telah berlalu
dan menjadi budaya. Ada sebuah konsepsi peternalistik yang berkembang dalam masyarakat
Jawa bahwa istri adalah konco wingking. Namun konco wingking yang dapat diartikan
menjadi orang yang berada dibelakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang
menentukan.
Oleh sebab itu, merupakan kemunduran jika meniru budaya-budaya tertentu di Timur
Tengah dalam pemahaman tentang perempuan. Di sana ada negara yang melarang anak
perempuan bersekolah, melarang perempuan mengemudi mobil atau motor, melarang
perempuan berjalan tanpa suami pada malam hari, melarang perempuan menduduki jabatan
tertentu, dan banyak larangan lain. Juga ada peraturan yang mengharuskan perempuan
berpakaian begini atau begitu, mengharuskan perempuan membawa izin tertulis dari suami
105
bila bepergian ke luar negeri, atau mengharuskan perempuan bersedia dimadu oleh
suaminya.18
Dalam budaya universal, ketertindasan perempuan, menurut Ortner merupakan
manivestasi dari pemahaman antara budaya dan alam yang kemudian dibandingkan dengan
posisi laki-laki dan perempuan pada peran sosialnya. Secara umum, kebudayaan memberikan
pembedaan antara masyarakat manusia dan alam. Kebudayaan berupaya mengendalikan dan
menguasai alam yang selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Oleh sebab itu
kebudayaan berada pada posisi superior dan alam dipihak inferior. Kebudayaan diciptakan
untuk menguasai, mengelola dan mengendalikan alam untuk mempertahankan kelangsungan
kehidupan masyarakat. Dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan, maka
perempuan selalu diasosiasikan dengan alam, dan laki-laki diasosiasikan dengan kebudayaan.
Oleh karenanya merupakan suatu hal yang alami jika perempuan berada pada posisi yang
dikontrol, dikendalikan dan dikuasai. Konsep ini ada kesamaan dengan konsep orang Turki
tentang perempuan, bahwa perempuan diasosiasikan dengan tanah dan laki-laki diasosiasikan
dengan benih (padi) sebagai pemahaman atas reproduksi.
4.4.3. Perempuan Sebagai Agen Perubahan Budaya
Perempuan Jawa di jaman yang semakin maju ini. Pandangan terhadap kedudukan
perempuan akhirnya sedikit demi sedikit berubah setelah R.A. Kartini memperjuangkan hak
mereka untuk memperoleh pendidikan. Dikarenakan, keterbelakangan kaum perempuan
disebabkan tidak adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
Sejak masa Kartini, perempuan Jawa mulai melangkah ke depan. Walaupun
membutuhkan proses yang panjang, perjuangan Kartini itu membuahkan hasil, diantaranya
adalah makin terbukanya kesempatan perempuan untuk mengenyam pendidikan dan
menyadarkan sebagian masyarakat bahwa perempuan memiliki hak untuk memperoleh
18
Andar Ismail, Selamat Berpadu, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2014, 12-15.
106
pendidikan. Karena dengan bekal pendidikan itu sebagian perempuan Jawa memperoleh
pekerjaan di luar rumah tangganya sehingga tugas-tugas perempuan yang semula hanya di
wilayah domestik meluas ke wilayah publik.
Peran perempuan itu membuktikan ada alur yang berbeda dari tradisi kesusastraan Jawa
yang yang selama ini didominasi oleh lelaki. Kehadiran Babad Tutur pun seakan mengusung
sebuah gugatan terhadap nasib perempuan yang mengacu pada masa lalu dan seterotipe
perempuan Jawa. Babad Tutur mengisahkan tentang peran perempuan dalam restrukturisasi
kebudayaan Jawa oleh Mangkunegoro I. Perempuan pada saat itu mendapatkan perubahan
nasib dalam peran dan harga diri dengan munculnya prajurit estri yang dijuluki Ladrang
Mangungkung dan Jayengasta serta memiliki peran dalam setiap pertempuran (Zainuddin
Fananie, Pandangan Dunia KGPAA Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur, 1994 : 202-
204) sebagaimana yang dijelaskan dalam buku tersebut :“Pangeran Dipati sering
memberikan pelajaran pada para prajurit estri dengan menunggang kuda melontarkan
senjata. Para prajurit menerimanya di atas punggung kuda.”
Keadaan sekarang benar-benar berubah dan berbeda dengan masa lampau yang penuh
“penjajahan” bagi kaum perempuan. Sekarang Perempuan benar-benar berkesempatan
meraih keinginannya setinggi-tingginya dan seluas-luasnya. Kalau pada masa lampau
demikian kelabu bagi kaum perempuan, sebagian mereka ada yang mampu berprestasi sangat
hebat, apakah ada alasan untuk tidak berprestasi saat ini?. Menjadi sangat ironis apabila kaum
perempuan sekarang tidak mampu berprestasi.
Selama abad XX mencatat banyak prestasi yang yang telah diukir oleh kaum
perempuan. Nyai Walidah Ahmad Dahlan yang mampu menjadi pelopor pergerakan
Perempuan Indonesia, Margareth Teacher yang mampu menjadi Perdana Mentri Inggris,
Indra Gandhi menjadi Perdana Mentri India, Qorazon Aquino menjadi Presiden Philipina.
107
Di bidang ekonomi, banyak Perempuan yang menjadi direktur perusahaan besar,
ekonom, pengamat, cendikiawan, mentri, dan sebagainya. Di bidang hukum, banyak yang
menjadi hakim, pembela, pengamat, penuntut umum, pakar dan sebagainya. Di bidang
militer, banyak yang menjadi jendaral dan menduduki jabatan strategis.
Kaum perempuan mempunyai kesempatan untuk meraihnya. Tidak ada lagi dominasi
laki-laki yang bisa menghalangi langkanya. Hanya satu hal yang perlu diingat, bahwa secara
kodrati perempuan adalah istri bagi suami dan ibu bagi anak-anak. Tugas sebagai istri dan
ibu tidak boleh ditinggalkan. Jangan sampai mempunyai kedudukan terhormat, tetapi di
dalam rumah tidak dapat menciptakan harmoni rumah tangga bersama suami dan tidak
mampu menjadi teladan bagi anak-anak. Apapun kedudukan dan jabatannya, perempuan
tetaplah seorang istri dan ibu. Oleh karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik
kaum perempuan dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan dengan cara
melakukan perubahan secara nyata.
Ada ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan dalam
masyarakat, yang harus dilawan. Keadilan dan kesetaraan laki-laki dengan perempuan
perlahan akan menghapus budaya patriarki. Program-program yang perlu diperjuangkan
adalah sebagai berikut: Menuntut hak terhadap akses ekonomi (upah, pemberian kredit) yang
sama antara perempuan dan laki-laki. Menuntut hak memperoleh pendidikan yang sama
antara laki-laki dan perempuan. Menuntut adanya pembagian tanggungjawab yang sama
antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga. Keluarga adalah tanggungjawab bersama.
Hak waris yang sama antara laki-laki dan perempuan. Hak politik yang sama antara laki-laki
dan perempuan. Pemberdayaan perempuan sehingga secara ekonomi perempuan dapat
mandiri. Penyadaran kepada kaum perempuan untuk berani mengungkapkan kekerasan
domestik yang dialaminya seperti pemerkosaan, pemukulan,dan lain-lain kepada publik.
Slogannya adalah mempublikkan masalah-masalah domestik.
108
4.5. Penutup.
Berdasarkan pemahaman tersebut diatas maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu:
1. Pendapat yang diungkapkan oleh Edward William Said sangat terbukti dalam
kebudayaan Jawa. Kekuasaan dijalankan oleh penguasa dalam hal ini laki-laki dalam sistem
patriarkal untuk menindas kaum perempuan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
keuntungan baik dalam hidup berkeluarga, bergereja maupun bermayarakat. Sehingga dapat
dipastikan bahwa sebenarnya dalam budaya Jawa maupun budaya di Korintus, sama-sama
mempraktikan budaya patriakal untuk kepentingan kaum laki-laki.
2. Gayatri Chakravort Spivak menggunakan istilah subaltern (menunjuk kelompok
yang mengalami penindasan dari kelompok yang berkuasa). Dalam konteks ini, baik dalam
budaya Jawa maupun budaya di Korintus terbukti bahwa laki-laki melakukan penindasan
terhadap perempuan dengan sistem patriakalnya. Sehingga perempuan Jawa mengalami
masalah dalam menemukan identitas dirinya sebagai ciptakan Tuhan Allah. Berdasarkan hal
tersebut maka terjadi ketidaksetaraan hubungan antara laki-laki dengan perempuan Jawa serta
munculnya pertarungan ideologi antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat.
3. Sedangkan menurut Hopmi. K. Bhaba yang berusaha menemukan pertalian dan
ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas, sehingga terjadi pencarian identitas
yang ideal tidak pernah berhenti. Pencarian identitas yang tidak pernah berhenti itulah yang
sekarang dilakukan oleh perempuan Jawa untuk mengalami perubahan. Sehingga apa yang
dikatakan oleh Bhaba benar-benar terjadi dalam diri perempuan Jawa. Perempuan Jawa
mengalami masalah dalam hal identitas dirinya sebagai kelompok yang terjajah. Akibat dari
kolonialisasi, perempuan yang terjajah dengan sistem patriakal seolah mengalami proses
mimikri, akibatnya budaya perempuan Jawa hilang secara berlahan. Perempuan Jawa
membutuhkan pengakuan dan perubahan dalam memahami konteks.
Top Related