44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Gorontalo merupakan ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis
mempunyai luas 79,03 km2 atau 0,65 % dari luas Provinsi Gorontalo. Kota
Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Kecamatan
dengan luas terbesar adalah kecamatan Kota barat. Secara astronomis, Kota
Gorontalo terletak antara 000 28’ 17” – 00
0 35’ 56” Lintang Utara dan antara 122
0
59’ 44” – 1230
05’ 59” Bujur Timur. Berdasarkan posisi geografisnya, Kota
Gorontalo memiliki batas-batas :
1. Sebelah Utara : Kecamatan Bulango Selatan Kabupaten Bone Bolango
2. Sebelah Selatan : Teluk Tomini
3. Sebelah Barat : Sungai Bulango Kabupaten Gorontalo
4. Sebelah Timur : Kecamatan Kabila Kabupatan Bone Bolango
Jumlah penduduk Kota Gorontalo pada tahun 2013 tercatat sebanyak
196.677 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 2.488 per km2. Jumlah
penduduk untuk wilayah kerja Puskesmas Tamalate adalah 27.387 jiwa atau
13.92% dari seluruh wilayah kerja Kota Gorontalo. Untuk wilayah kerja Limba B
jumlah penduduk sebanyak 39.286 jiwa atau 19.97% dari seluruh wilayah kerja
Kota Gorontalo. Wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi dengan jumlah penduduk
18.164 jiwa atau 9.24% dari seluruh wilayah kerja Kota Gorontalo. Wilayah kerja
Puskesmas Dulalowo dengan jumlah penduduk 29.537 jiwa atau 15.02% dari
45
seluruh wilayah kerja Kota Gorontalo. Wilayah kerja Puskesmas Pilolodaa dengan
jumlah penduduk 9.672 jiwa atau 4.92% dari seluruh wilayah kerja Kota
Gorontalo. Wilayah kerja Puskesmas Buladu dengan jumlah penduduk 12.407
jiwa atau 6.31% dari seluruh wilayah kerja Kota Gorontalo. Wilayah kerja
Puskesmas Dungingi dengan jumlah penduduk 23.551 jiwa atau 11.97% dari
seluruh wilayah kerja Kota Gorontalo. Wilayah kerja Puskesmas Sipatana dengan
jumlah penduduk 18.024 jiwa atau 9.16% dari seluruh wilayah kerja Kota
Gorontalo. Wilayah kerja Puskesmas Dumbo Raya dengan jumlah penduduk
18.649 jiwa atau 9.48% dari seluruh wilayah kerja Kota Gorontalo.
Sarana kesehatan puskesmas yang ada di Kota Gorontalo hingga tahun
2013 sebanyak 9 unit dengan jumlah wilayah kerja bervariasi sebagai berikut :
1. Puskesmas Dumbo Raya mencakup wilayah kerja 5 kelurahan.
2. Puskesmas Tamalate mencakup wilayah kerja 6 kelurahan.
3. Puskesmas Limba B mencakup wilayah kerja 10 kelurahan.
4. Puskesmas Pilolodaa mencakup wilayah kerja 3 kelurahan.
5. Puskesmas Buladu mencakup wilayah kerja 4 kelurahan.
6. Puskesmas Dungingi mencakup wilayah kerja 5 kelurahan.
7. Puskesmas Dulalowo mencakup wilayah kerja 6 kelurahan.
8. Puskesmas Sipatana mencakup wilayah kerja 5 kelurahan.
9. Puskesmas Wongkaditi mencakup wilayah kerja 6 kelurahan.
4.1.2 Karakteristik Informan
Karakteristik Informan dalam penelitian ini sebagai berikut :
46
Tabel 4.1 Karakteristik Informan kunci
NO Kode Informan Jabatan
1 KM Petugas Sanitarian Dinas Kesehatan Kota
Gorontalo
2 FM Kepala Seksi Surveilans Dan Imunisasi Dinas
Kesehatan Kota Gorontalo
3 AT Kepala Puskesmas Dumbo Raya
4 AP Kepala Puskesmas Tamalate
5 MH Kepala Puskesmas Limba B
6 RA Kepala Puskesmas Pilolodaa
7 RP Kepala Puskesmas Buladu
8 LP Kepala Puskesmas Dungingi
9 AL Kepala Puskesmas Dulalowo
10 RP Kepala Puskesmas Sipatana
11 MH Kepala Puskesmas Wongkaditi
Sumber : Data primer, 2013
Tabel 4.2 Karakteristik Informan Biasa
NO Kode Informan Jabatan
1 EK Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Dumbo
Raya
2 NS Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Tamalate
3 HT Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Limba B
4 LD Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Pilolodaa
5 SJ Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Buladu
6 YA Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Dungingi
7 FD Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Dulalowo
8 AI Pengelola Program Imunisasi Puskesmas Sipatana
9 VP Pengelola Program Imunisasi Puskesmas
Wongkaditi
10 LU Petugas Sanitasi Puskesmas Dumbo Raya
11 NG Petugas Sanitasi Puskesmas Tamalate
12 ZD Petugas Sanitasi Puskesmas Limba B
13 MY Petugas Sanitasi Pilolodaa
14 YT Petugas Sanitasi Puskesmas Buladu
15 ZKL Petugas Sanitasi Puskesmas Dungingi
16 YA Petugas Sanitasi Puskesmas Dulalowo
17 ND Petugas Sanitasi Puskesmas Sipatana
18 RP Petugas Sanitasi Puskesmas Wongkaditi
Sumber : Data primer, 2013.
47
4.2 Pembahasan
Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif yang meneliti tentang
sistem pengelolaan limbah medis kegiatan imunisasi di puskesmas se-Kota
Gorontalo. Adapun puskesmas yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Dumbo
Raya, Tamalate, Limba B, Pilolodaa, Buladu, Dungingi, Dulalowo, Sipatana,
Wongkaditi. Alasan pemilihan limbah imunisasi sebagai objek dalam penelitian
ini karena kegiatan posyandu/imunisasi di puskesmas merupakan kegiatan yang
paling banyak menghasilkan limbah. Selain itu alasan pemilihan wilayah Kota
Gorontalo sebagai lokasi penelitian karena kegiatan posyandu/imunisasi
dilaksanakan setiap hari baik di kelurahan maupun di puskesmas. Kegiatan
posyandu/imunisasi ini dilakukan hampir setiap hari dikarenakan generalisasi
wilayah per kecamatan di kota Gorontalo sangat luas. Karena posyandu/imunisasi
dilaksanakan hampir setiap hari ini menyebabkan banyaknya limbah yang
dihasilkan. Oleh karena itu perlu adanya sistem pengelolaan limbah medis
kegiatan imunisasi yang baik.
Pemerolehan data tentang sistem pengelolaan limbah medis kegiatan
imunisasi disetiap puskesmas yang ada di Kota Gorontalo diperoleh dengan cara
wawancara yang menggunakan panduan wawancara serta observasi keadaan
lingkungan sekitar puskesmas. Data yang diperoleh dipilah berdasarkan tahap
sistem pengelolaan limbah medis.
Sistem pengelolaan limbah medis kagiatan imunisasi yang dilakukan
adalah dengan minimasi limbah, pemilahan, pewadahan dan pemanfaatan kembali
48
limbah, memperhatikan tempat penampungan sementara, cara pengangkutan
(transportasi), serta cara pengolahan, pemusnahan, dan pembuangan akhir.
4.2.1 Minimasi limbah
Minimasi limbah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi
limbah dari sumbernya dengan cara kegiatan perawatan dan pembersihan,
Menggunakan bahan produksi lebih awal, mengecek tanggal kadaluarsa.
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh, minimasi limbah yang dilakukan di
sembilan puskesmas yang menjadi lokasi penelitian diuraikan berikut ini.
Tahap minimasi limbah telah dilakukan oleh seluruh puskesmas yang ada
di Kota Gorontalo. Kegiatan tahap minimasi limbah yang dilakukan antara lain
kegiatan perawatan dan pembersihan, penggunaan bahan produksi lebih awal, dan
pengecekan tanggal kadaluarsa. Dari ke-9 puskesmas yang ada, seluruh kegiatan
minimasi limbah yang telah disebutkan di atas dilakukan oleh seluruh puskesmas
tersebut (Tabel 1, terlampir).
Dalam kegiatan perawatan dan pembersihan, dalam hal ini untuk vaksin
imunisasi perlu diperhatikan pengelolaan peralatan vaksin. Pada pengelolaannya,
untuk menjaga kualitas vaksin, vaksin harus disimpan pada waktu dan tempat, dan
kendali suhu tertentu sesuai peraturan yang tertuang dalam Kepmenkes RI No. 42
Tahun 2013 tentang penyelenggaraan imunisasi.Tindakan pengelolaan rantai
vaksin mutlak dilakukan mengingat adanya vaksin yang terbiat dari kuman atau
racun kuman yang hanya dilemahkan dan akan digunakan untuk merangsang
kekebalan tubuh seseorang. Vaksin harus dikelola dengan baik, baik dalam
penyimpanan maupun saat transportasi ke tempat lain, supaya tetap memiliki
49
potensi yang baik (imunogenisitas tinggi). Vaksin adalah produk biologis yang
sentitif terhadap perubahan suhu. Ada vaksin yang sensitif terhadap panas
misalnya vaksin polio, campak dan BCG dan ada juga vaksin yang sensitif
terhadap pembekuan misalnya vaksin heparitis B, DPT, TT dan DT. Oleh karena
itu, setiap puskesmas harus memiliki tempat penyimpanan vaksin seperti lemari
es, vaccine carrier, cold pack., cold box, freeze tag/treeze watch.
Dari sembilan puskesmas yang ada untuk kepemilikan peralatan vaksin
sudah memenuhi tapi untuk puskesmas Dumbo raya belum memiliki lemari es
untuk menyimpan vaksin dan sementara waktu di titipkan di Puskesmas Tamalate.
Hal ini seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan
“torang sudah melakukan perawatan vaksin tapi untuk lemari
es kami belum memiliki, untuk sementara vaksin di titipkan di
Puskesmas Tamalate”(ibu Ek, pengelola program imunisasi
Puskesmas Dumbo Raya).
Untuk kegiatan pembersihan di masing-masing puskesmas menjadi
tanggung jawab pengelola program imunisasi di setiap puskesmas. Untuk
pelaksanaan perawatan dan pembersihan pada setiap puskesmas telah ada
peraturannya. Peraturan yang telah disusun tersebut ditempelkan di atas lemari es
agar setiap petugas yang membuka lemari es tersebut tau bagaimana tata cara
pelaksanaan perawatan yang baik.
Selanjutnya cara minimasi limbah dengan penggunaan bahan produksi
lebih awal dan pengecekan tanggal kadaluarsa. Untuk ke dua kegiatan ini hampir
sama karena dilaksanaan secara bersamaan. Pengelolaan pengecekan tanggal
kadaluarsa serta penggunaan bahan produksi lebih awal atau yang disebut first in
first out (fifo) dilakukan agar penggunaan bahan/vaksin tidak akan berisiko fatal
50
bagi pasien. Sehingga perlu adanya pengelola program imunisasi yang bertugas
untuk membuat perencanaan vaksin sesuai dengan sasaran dan target cakupan
penentuan target cakupan merupakan bagian penting dari perencanaan karena
target dijadikan sebagai tolak ukur dalam pelaksanaan imunisasi. Jadi banyaknya
vaksin yang akan diambil dari gudang farmasi harus sesuai dengan target cakupan
yang dibuat agar tidak akan terjadi penumpukan vaksin serta harus dibarengi
dengan pengecekan tanggal kadaluarasa vaksin. Karena vaksin yang tidak
terpakai/tidak digunakan nantinya akan menjadi limbah apalagi ketika sudah
melewati batas kadaluarsa barang. Jadi perlu adanya pengelolaan yang baik.
Untuk ke sembilan puskesmas yang menjadi lokasi penelitian ini, sudah
melakukan proses minimasi limbah dengan cara mengelola penggunaan vaksin
lebih awal dan mengecek tanggal kadaluarsa vaksin. Jika masih ditemukan vaksin
yang sudah kadaluarsa di puskesmas, maka akan dilakukan pemusnahan dengan
cara lebih dulu mengirimkan surat ke gudang farmasi yang disusul oleh
pengiriman vaksin yang sudah kadaluarsa untuk dilakukan pemusnahan di gudang
farmasi. Ini berdasarkan hasil wawancara dengan seorang informan yang
mengatakan bahwa
“untuk vaksin yang kadaluarsa kami membuat berita
acara”.(Ibu Ht, pengelola program imunisasi Puskesmas
Limba B)
Pernyataan ini juga di dukung oleh pernyataan oleh informan dari dinas
kesehatan Kota Gorontalo
“Biasanya untuk vaksin yang so expair, pengelola program
imunisasi melakukan konfirmasi dengan gudang farmasi di
puskesmas ,vaksin expair itu so tidak bisa dimasukkan di
kulkas dan di taruh diluar, baru gudang farmasi puskesmas
51
konfirmasi dengan gudang farmasi kota gorontalo untuk
dilakukan pemusnahan”. (Ibu FM, Kepala seksi surveilans
dan imunisasi dinas kesehatan Kota Gorontalo)
Untuk kemungkinan adanya limbah vaksin yang kadaluarsa itu sangat
tidak mungkin, karena pengelolaan minimasi limbah dengan cara penggunaan
vaksin lebih awal pelaksanaanya sudah sangat baik. Dimana tiap-tiap puskesmas
mengambil bahan vaksin untuk kebutuhan satu bulan dengan tambahan 10%
vaksin untuk keadaan menunggu sesuai yang telah didaftarkan. Mencegah
terjadinya penumpukan vaksin yang akan menjadi kadaluarsa, teknik pemakaian
yang digunakan adalah mendahulukan vaksin yang lebih dahulu ada dari pada
yang baru diambil. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan informan dari
dinas yang menyatakan bahwa
“Jadi pihak puskesmas dorang bisa minta vaksin untuk yang
satu bulan berdasarkan indeks pemakaian sesuai dengan
pemakaian sebulan ditambah dengan 10 % untuk keadaan
menunggu. Untuk vaksin keadaan menunggu ditujuakan
untuk menaggulangi keadaan dimana kakosongan/habis
vaksin di dinas. Namun jika tidak, maka untuk penggunaan
vaksin berikutnya, vasin yang dalam keadaan menunggu
akan digunakan lebih dahulu dari pada yang baru”. (Ibu
FM, Kepala Seksi surveilans dan imunisasi dinas kesehatan
Kota Gorontalo).
Jadi untuk kegiatan minimasi limbah medis di puskesmas se-Kota
Gorontalo dari kegiatan perawatan dan pembersihan, penggunaan bahan produksi
lebih awal, dan pengecekan tanggal kadaluarsa sudah terlaksana dengan baik.
4.2.2 Proses Pemilahan, pewadahan, pemanfaatan kembali dan daur ulang
Pada Kepmenkes RI No. No. 42 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan
imunisasi puskesmas yang menyelenggarakan imunisasi wajib bertanggung jawab
terhadap pengelolaan limbah imunisasi, dalam hal imunisasi wajib dilaksanakan
52
diluar puskesmas, pelaksana pelayanan imunisasi bertanggung jawab
mengumpulkan limbah ke dalam safety box untuk selanjutnya di bawa ke
puskesmas setempat, sehingga dapat ditegaskan setiap petugas pelaksana
imunisasi mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap penanganan limbah
medis kegiatan imunisasi terutama menyangkut pemilahan limbahnya. Karena
pada tahap pemilahan harus dilakukan sedekat mungkin dengan tempat yang
dihasilkannya limbah.
Proses Pemilahan, pewadahan, pemanfaatan kembali dan daur ulang
limbah medis sangat penting untuk diperhatikan dan dilakukan. Dalam kegiatan
imunisasi yang dilakukan di seluruh puskesmas di Kota Gorontalo pasti
menghasilkan limbah berupa jarum suntik/ disposable jenis Auto-Disable Syringe
yang hanya dapat dipakai sekali dan dibuang. Gambaran seperti ini menunjukkan
bahwa limbah yang dihasilkan tidak dapat digunakan lagi atau dimanfaatkan
kembali. Oleh karena itu kegiatan imunisasi sangat banyak menghasilkan limbah.
Untuk pengelolaannya, limbah yang dihasilkan ini perlu dilakukan pemilahan dan
pewadahan dengan baik.
Tahap pemilahan telah diakukan oleh seluruh puskesmas meskipun dalam
pelaksanaannya masih tejadi pencampuran antara limbah medis dan limbah medis
non medis. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dari salah satu informan dari
puskesmas Dumbo Raya yang menyatakan bahwa
“untuk pemilahan limbah medis sudah dilakukan tetapi tidak
bisa dipungkiri itu masih juga terjadi pencampuran.” (Ibu
Ek, Pengelola program Imunisasi Puskesmas Dumbo Raya).
53
Pada tahap pemilahan ini untuk limbah jarum suntik/ disposable seluruh
puskesmas dipisahkan dengan limbah lainnya. Limbah yang telah dipilah-pilah
berdasarkan jenisnya dimasukkan ke wadah yang disesuaikan dengan jenis limbah
hasil pemilahan. Pewadahan yang dilakukan harus menggunakan wadah berupa
safety box dengan simbol biohazard, hal ini telah sesuai dengan Permenkes RI
1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah
sakit yaitu benda tajam sebaiknya ditampung menggunakan safety box atau
terbuat dari bahan yang kuat ( Tabel 2, terlampir).
Hal ini agar benda tajam tidak menembus kebagian luar karena apabila
benda tajam seperti jarum suntik menembus tempat pengumpulan akan
menyebabkan tertusuk kepada tenaga kesehatan yang menangani limbah medis
tersebut.
Sedangkan untuk pemilahan limbah berupa flakon, ampul, kapas,
handscoon telah dilakukan pemilahan yaitu dipisahkan dengan limbah non medis
namun dalam hal ini wadah yang digunakan masih belum sesuai dimana beberapa
puskesmas yaitu Puskesmas Sipatana, Dungingi, Wongkaditi menggunakan safety
box sebagai tempat untuk membuang limbah. Berdasarkan Permenkes RI
1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa wadah yang digunakan belum sesuai,
peraturan di atas didukung oleh pernyataan salah satu informan dari dinas
kesehatan kota Gorontalo yang menyatakan bahwa
“menggunakan safety box sebenarnya bisa tapi dalam
klasifikasinya tidak masuk karena itu hanya khusus untuk
jarum suntik/disposable”(Ibu FM, Kepala seksi surveilans
dan imunisasi dinas kesehatan Kota Gorontalo)
54
Di Puskesmas Buladu pewadahannya menggunakan kantong plastik tanpa
simbol biohazard sebagai wadah flakon, ampul, kapas, handscoon dan di
Puskesmas Tamalate, Dumbo Raya, Pilolodaa, Limba B, Dulalowo hanya
menggunakan keranjang sampah biasa sebagai wadah untuk menampung limbah.
Menurut Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 penggunaan kantong plastik
dan keranjang sampah sebagai wadah menampung limbah belum sesuai.
Karena limbah medis imunisasi yang dihasilkan merupakan limbah
infeksius maka untuk kantong plastik yang digunakan berwarna kuning dengan
simbol biohazard. Jadi rata-rata di seluruh puskesmas yang berada di Kota
Gorontalo pewadahannya belum sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam
Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 (Tabel 2, terlampir).
4.2.3 Tempat penampungan
Tempat penampungan sementara, merupakan tempat untuk menampung
limbah sebelum diangkut untuk pemusnahan akhir limbah. Untuk penampungan
sementara sebuah puskesmas minimal mempunyai incinerator di lingkungannya
untuk membakar limbahnya selambat-lambatnya 24 jam, dan bagi yang tidak
mempunyai incinerator maka limbah medis padatnya harus dimusnahkan melalui
kerjasama dengan rumah sakit lain atau pihak lain yang mempunyai incinerator
untuk dilakukan pemusnahan selambat-lambatnya 24 jam apabila disimpan pada
suhu ruang.
Untuk Puskesmas Wongkaditi dilihat dari tempat penampungannya telah
memenuhi syarat tapi jika disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh WHO
tempat penampungan sementara yang dimiliki Puskesmas Wongkaditi belum
55
sesuai. Adapun tempat penampungan yang sesuai berdasarkan rekomendasi WHO
yaitu :
a. Ruangan atau bangunan terpisah yang ukurannya sesuai dengan
kuantitas limbah yang dihasilkan
b. Lantai yang kokoh, impermiebel, drainase baik, dan mudah
dibersihkan / desinfeksi
c. Ruangan penampungan harus tetap di kunci untuk mencegah
masuknya mereka yang tidak berkepentingan.
d. Ruangan harus terlindungi dari sinar matahari.
e. Ruangannya harus terlindung dari serangga, burung dan binatang
lainnya.
f. Pencahayaan ruangan baik fentilasinya pasif
g. Frekuensi pengumpulan limbah.
Di Puskesmas Wongkaditi limbah yang dipilah ditampung di dalam
gudang incinerator, dengan ukuran 2 x 2 meter. Ukuran gudang tempat
penampungan ini sudah sesuai dengan banyaknya limbah yang dihasilkan. Lokasi
gudang yang dijadikan tempat penampungan ini terpisah dari gedung utama
puskesmas sehingga tidak menggangu aktifitas pelayanan puskesmas. Hampir
seluruh persyaratan yang direkomendasikan WHO untuk tempat penampungan
telah sesuai, namun untuk frekuensi penampungan limbah belum sesuai. Dimana
frekuensi penampungan yang ada di puskesmas ini telah melebihi batas waktu
yang telah direkomendasikan yaitu ≤ 27 jam. Artinya untuk penampungan limbah
yang ada sudah mengalami penumpukan (Tabel 3, terlampir). Hal ini terjadi
56
diakibatkan oleh incinerator yang dimiliki puskesmas telah rusak. Hal ini sesuai
dengan pernyataan salah satu informan
Sudah lama ditumpuk diruangan incinerator sebagai tempat
penampungan sementara karena tidak diangkut (Ibu
Rp,petugas sanitasi Puskesmas Wongkaditi)
Gambar 4.1 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas
Wongkaditi
Untuk tempat penampungan sementara di Puskesmas Dumbo Raya,
limbah di tampung dalam sebuah ruangan yang berada di dalam puskesmas,
tercampur dengan limbah lain berupa kardus kosong. Ruangan yang digunakan
tidak terkunci sehingga memungkinkan masuknya hewan pengerat atau serangga.
Sedangkan untuk lama penampungan telah >27 jam dan terjadi penumpukan
karena Puskesmas Dumbo Raya tidak memiliki alat pemusnah limbah (Tabel 3,
terlampir). Hal ini seperti yang pernyataan salah satu informan
“Jemputan dari dinas belum ada, sehingga limbah medis
masih menumpuk dipuskesmas” (Ibu Lu, Petugas Sanitarian
Puskesmas Dumbo Raya)
57
Gambar 4.2 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas Dumbo
Raya
Sementara di Puskesmas Tamalate tidak memiliki tempat penampungan
sementara limbah. Dari hasil observasi ditemukan bahwa limbah yang dihasilkan
dari kegiatan imunisasi di letakkan dibawah tangga yang ada di puskesmas, dan
lama penampungan limbah sudah >27 jam karena puskesmas tidak memiliki
incinerator (Tabel 3, terlampir). Dengan gambaran lokasi penampungan limbah
yang seperti ini menunjukkan ketidaklayakan tempat dan tidak sesuai dengan apa
yang telah direkomendasikan.
Gambar 4.3 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas
Tamalate
Selanjutnya tempat penampungan limbah yang dihasilkan dari kegiatan
imunisasi di Puskesmas Limba B. untuk limbah yang dihasilkan diletakkan di
salah satu ruangan staf, diletakkan didekat lemari es untuk penyimpanan vaksin.
Dari segi kelayakan tempat penampungan, tempat yang digunakan oleh
58
puskesmas ini tergolong tidak layak karena tempat yang digunakan sebagai
tempat penampungan bukan merupakan ruangan khusus yang dibuat untuk
penampungan. Selain itu, lokasinya yang masih berbaur dengan ruangan-ruangan
lain yang ada dipuskesmas juga menggambarkan salah satu bentuk ketidak
layakan tempat penampungan ini. Di Puskesmas Limba B ini sudah memiliki
incinerator tapi alat ini tidak berfungsi lagi, sehingga untuk limbah yang
ditampung perlu dikirim untuk proses pemusnahan nanti. Untuk limbah yang akan
dikirim, minimal lama penampungan di tempat penampungan harus ≤ 27 jam.
Tapi kenyataan menunjukkan bahwa lama penampungan limbah ini sudah >27
jam. Sehingga dari segi lamanya waktu penampungan limbah di puskesmas ini
sudah tidak sesuai dan tidak memenuhi syarat lagi (Tabel 3, terlampir). Hal ini
juga seperti pernyataan dari salah satu informan
“karena tidak ada pengangkutan berarti sudah lama
tertumpuk di ruang penampungan” (Ibu Zd,Petugasa sanitasi
Puskesmas Limba B)
Gambar 4.4 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas Limba B
Di Puskesmas Pilolodaa tidak memiliki tempat penampungan limbah.
Limbah yang dihasilkan dari kegiatan imunisasi ini langsung dibawa dan di
masukkan ke tempat sampah medis yang kemudian dibakar. Dengan bentuk
59
pemprosesan limbah seperti ini, di Puskesmas Pilolodaa ini otomatis juga sudah
tidak memiliki incinerator sebagai alat pemusnah limbah.
Lain halnya di Puskesmas Buladu yang memiliki incinerator namun sudah
tidak berfungsi lagi. Untuk tempat penampungan limbahnya digunakan ruangan
incinerator yang jika dilihat dari segi kelayakan tempat sudah sesuai. Tapi dari
hasil observasi, masih juga ditemukan limbah medis berupa jarum
suntik/disposable yang berserakan di tanah yang berada di samping ruangan
incinerator yang terlihat pada gambar 4.5 Kondisi seperti ini tentunya dapat
membahayakan. Sehingga dari bentuk kalayakan tempat penampungan sudah
sangat tidak sesuai.
Gambar 4.5 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas Buladu
Untuk Puskesmas Dungingi, tempat penampungan limbah digunakan
ruangan incinerator tapi ruangan ini tidak terkunci dan sudah ada limbah yang
berserakan atau keluar dari ruangan tersebut. Hal ini diakibatkan terjadi banjir di
Puskesmas Dungingi yang berhasil menerobos masuk ke dalam tempat
penampungan sehingga safety box yang dijadikan sebagai wadah unruk
menampung limbah menjadi basah dan rusak. Jadi keadaan didalam ruangan
penampungan sudah tidak teratur dengan baik. Di puskesmas ini sudah memiliki
60
incinerator tapi sudah tidak berfungsi lagi sehingga terjadi penumpukan limbah
dengan lama penampungan >27 jam (Tabel 3, terlampir).
Gambar 4.6 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas
Dungingi
Sementara di Puskesmas Dulalowo dan Sipatana tempat penampungannya
sebagai berikut, untuk Puskesmas Dulalowo tempat penampungan limbah berada
di daerah sekitar puskesmas. Ruangan yang digunakan ini hanya ditutupi dengan
terali besi, sehingga dapat dikatakan bahwa ruangan ini merupakan ruang terbuka
seperti pada gambar 4.7 yang memungkinkan serangga atau hewan pengerat dapat
masuk keruangan tersebut. Di puskesmas ini juga tidak memiliki incinerator dan
lama penampungan limbah yang dilakukan sudah melebihi dari apa yang
ditentukan (Tabel 3, terlampir). Hal ini di karenakan tidak dilakukan pemusnahan
limbah.
Gambar 4.7 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas
Dulalowo
61
Sedangkan di Puskesmas Sipatana tidak memiliki tempat atau ruangan
khusus untuk menampung limbah. Tempat yang digunakan sebagai tempat
penampung hanya meminjam bangunan kantor yang berada di depan puskesmas.
Walaupun sudah memiliki tempat penampungan, tapi ruangan ini dibiarkan
terbuka. Sehingga masih dalam kualifikasi tempat yang belum sesuai. Puskesmas
ini juga merupakan salah satu puskesmas yang tidak memiliki incinerator, yang
mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah. Hal ini juga disebabkan oleh
karena lama penampungan yang sudah >27 jam dari apa yang ditentukan (Tabel
3, terlampir).
Gambar 4.8 Kondisi Tempat Penampungan Limbah Medis di Puskesmas Sipatana
Mengacu pada persyaratan tempat penampungan yang telah
direkomendasikan oleh WHO, dari ke sembilan puskesmas yang menjadi tempat
penelitian tidak ada satu pun yang memenuhi syarat yang telah direkomendasikan.
Keadaan seperti ini harus diperhatikan oleh instansi yang bersangkutan untuk
perbaikan dan kelayakan sistem penampungan yang ada di masing-masing
puskesmas.
62
4.2.4 Pengangkutan (Transportasi)
Pada proses pengangkutan limbah, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a) Kantong limbah medis padat sebelum dimasukkan ke kenderaan
pengangkut harus diletakkan dalam kontainer yang kuat dan
tertutup.
b) Kantong limbah padat harus aman dari jangkauan manusia
maupun binatang.
c) Petugas yang mengangani limbah, harus menggunakan alat
pelindung diri terdiri dari topi/helm, masker, pelindung mata,
pakaian panjang, apron untuk industry, pelindung kaki/sepatu bot,
dan sarung tangan khusus (disposable gloves atau heavy duty
gloves)
Untuk pengangkutan jarum suntik/disposable ini diseluruh puskesmas
yang ada tidak menggunakan wadah atau tempat untuk mengumpulkan limbah
melainkan jarum suntik/disposable yang sudah berada di dalam safety box
diangkut ke tempat penampungan sementara maupun ke tempat penangan akhir
limbah (Tabel 4, terlampir). Berdasarkan wawancara dengan salah satu informan
di puskesmas Wongkaditi mengatakan :
“Untuk mengangkut jarum suntik/disposable tidak
menggunakan wadah lain tapi langsung safety box itu di
angkat dan dipindahkan ke gudang incinerator karena safety
box itu sudah aman ” (Ibu RP, Petugas sanitasi Puskesmas
Wongkaditi)
Sedangkan untuk pengangkutan flakon, ampul, kapas, handscoon di
beberapa puskesmas berbeda, seperti misalnya di puskesmas Dumbo Raya,
63
Dungingi, Sipatana, dan Wongkaditi, diangkut menggunakan safety box yang
digunakan untuk menampung limbah tersebut (Tabel 4, terlampir). Untuk
puskesmas Tamalate, Limba B, Pilolodaa, Buladu, Dulalowo menggunakan
tempat sampah untuk mengangkut limbah tersebut ke tempat penampungan
maupun tempat pemusnahan (Tabel 4, terlampir).
Rata-rata untuk petugas yang menangani limbah di puskesmas melekat
pada tugas dari petugas sanitasi yang ada dipuskesmas. Namun di puskesmas
Tamalate dan Pilolodaa yang bertugas mengangkut limbah adalah cleaning
service, sehingga banyak kendala yang dihadapi dalam pengangkutan limbah
(Tabel 5, terlampir). Seperti yang diutarakan oleh informan dari Puskesmas
Pilolodaa.
“karena petugas yang mengangkut limbah adalah cleaning
service, jadi pemahaman tentang pengelolaan limbah sangat
kurang” (Bpk My, Petugas sanitasi Puskesmas Pilolodaa)
Sehingga perlu adanya pelatihan atau pengetahuan bagi mereka akan
bahaya-bahaya apabila tidak berhati-hati dalam melakukan penangan limbah.
seperti agar tidak terkontaminasi oleh limbah harus menggunakan alat pelindung
diri yang sesuai standar. Sebab dari hasil wawancara ada juga petugas yang
menangani limbah tidak menggunakan alat pelindung. Seperti yang diutarakan
oleh salah satu informan yang mengatakan bahwa
“petugas yang mengangkut limbah medis, pada saat
pengangkutan sama sekali tidak menggunakan alat pelindung
sesuai yang direkomendasikan” (Bpk My, Petugas sanitasi
Puskesmas Pilolodaa)
Hanya di Puskesmas Dumbo Raya, Tamalate, Limba B, dan Buladu yang
menggunakan handscoon disaat menangani limbah. Itu pun belum sesuai karena
64
handscoon yang digunakan masih saja bisa ditembus oleh benda tajam (Tabel 5,
terlampir).
Pengangkutan limbah medis hanya di lakukan dari sumber penghasil
limbah ke tempat penampungan sementara maupun ketempat penanganan akhir
karena ada beberapa puskesmas yang menangani limbah dengan cara
dibakar/ditimbun dilingkungan sekitar puskesmas. Keadaan ini terjadi karena
incinerator yang berada di puskesmas maupun di dinas kesehatan dalam keadaan
rusak.
Jadi untuk pengangkutan limbah, di Sembilan puskesmas ini belum
memperhatikan hal-hal atau standar yang ditentukan dalam pengangkutan, karena
masih banyak hal-hal yang belum sesuai seperti alat yang digunakan untuk
mengangkut serta alat pelindung yang digunakan.
4.2.5 Pengolahan, pemusnahan, dan pembuangan akhir limbah medis padat
Untuk penanganan akhir jarum suntik/disposable di Puskesmas Dumbo
Raya dan Limba B pernah dimusnahkan dengan cara dibakar/ditimbun ada juga
yang dibuang ke TPA. Hal ini disebabkan karena puskesmas ini tidak memiliki
fasilitas atau alat untuk memusnahkan limbah atau memiliki alat namun sudah
tidak dapat difungsikan (Tabel 6, terlampir). Namun saat ini penanganan seperti
ini tidak dilanjutkan lagi karena lahan yang digunakan untuk penimbunan dan
pembakaran sudah tidak ada lagi sehingga terjadi penumpukan. Hal ini seperti
yang di kemukan oleh salah satu informan di puskesmas
“dulunya ketika masih ada lahan, penanganan akhir jarum
suntik/disposable dimusnahkan dengan cara
dibakar/ditimbun, Karena sudah tidak ada lahan jadi
65
dibiarkan menumpuk di tempat penampungan”.(Ibu ZD,
Petugas sanitasi Puskesmas Limba B)
Di Puskesmas Dulalowo pemusnahannya hampir sama dengan puskesmas
Dumbo Raya dan Limba B. Bedanya di puskesmas sama sekali tidak memiliki
alat pemusnah limbah. Mereka hanya mengandalkan alat yang berada di dinas
kesehatan. Kondisi ini didukung dengan adaya pernyataan dari salah satu
informan yaitu
“Karena limbah medis di puskesmas paling banyak adalah jarum suntik
sehingga penanganannya sederhana, tidak memerlukan peralatan dan
tenaga yang fungsional, seharusnya limbah itu dimusnahkan lewat
incinerator tapi incinerator di kota tidak ada jadi kita hanya
menggunakan galian dan dibakar” (Bpk Al, Kepala Puskesmas Dulalowo)
Pernyataan ini juga dibenarkan oleh informan dari dinas kesehatan yang
menyatakan bahwa
“Tahapan akhir pembuangan limbah medis terjadi
penumpukan limbah medis padat di puskesmas karena tidak
ada incinerator ”. (Bpk KM, Petugas sanitarian dinas
kesehatan Kota Gorontalo)
Cara penanganan yang seperti ini tidak sesuai dengan
Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa benda tajam harus diolah
dengan incinerator . Penggunaan incinerator dipilih untuk mengolah limbah
yang tidak dapat didaur ulang, tidak dapat dimanfaatkan kembali, atau dibuang di
lokasi landfill. Incinerator yang dioperasikan harus pada suhu antara 1000 0C dan
1200 0C sampai limbah benar-benar musnah dan residunya aman untuk dibuang.
Selain itu jika limbah jarum suntik/ disposable ini langsung dibuang ke TPA
tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu dapat membahayakan
diantaranya bahaya kematian yaitu dengan membiarkan jarum bekas berada di
tempat atau tanah terbuka menimbulkan resiko bagi masyarakat. Paling sering,
66
anak-anak menjadi korban terkena luka tusukan jarum akibat pembuangan jarum
yang di lakukan sembarangan. Begitu juga pemulung di lokasi pembuangan akhir
limbah. Selain itu penularan penyakit dapat terjadi mengingat virus hepatitis B
dan C dapat bertahan sampai 1 minggu pada tetesan darah yang berada dalam
jarum suntik.
Lain halnya dengan Puskesmas Pilolodaa yang melakukan pemusnahan
jarum suntik menggunakan nidle destroyer untuk menghancurkan jarum suntik ini
sudah tepat dan untuk dispo dibakar dengan limbah lainnya di tempat sampah
medis yang telah disediakan di puskesmas (Tabel 6, terlampir).
Sedangkan untuk Puskesmas Tamalate, Buladu, Dungingi, Sipatana, dan
Wongkaditi tidak melakukan pemusnahan, dimana limbah dibiarkan menumpuk
di tempat penampungan sementara karena puskesmas tidak memiliki fasilitas yang
mendukung pengelolaan limbah dan ada juga incinerator yang mereka miliki
sudah tidak berfungsi lagi (Tabel 6, terlampir). Hal ini dibenarkan dari hasil
wawancara Kepala Puskesmas Dungingi yang menyatakan bahwa
“sarana tidak bisa difungsikan lagi, sehingga limbah medis
menjadi tertumpuk”. (Ibu Lp, Kepala Puskesmas Dungingi)
Hal yang sama juga di nyatakan oleh salah satu informan
“Kendalanya itu karena setelah mau dikelola alatnya rusak
jadi sekarang torang masih tampung di safety box” (Ibu Rp,
Kepala Puskesmas Sipatana)
Jadi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hampir seluruh puskesmas di
Kota Gorontalo belum melakukan pemusnahan limbah dengan baik, kecuali
Puskesmas Pilolodaa (Tabel 6, terlampir).
67
Seperti halnya penanganan jarum suntik/disposable untuk penanganan
akhir flakon, ampul, kapas, handscoon di Puskesmas Dumbo Raya, Pilolodaa, dan
Wongkaditi dimusnahkan dengan cara dibakar/ditimbun seperti hasil wawancara
dengan salah satu informan yang mengatakan
“untuk flakon, ampul, kapas, handscoon dimusnahkan
dengan cara dibakar di dalam tempat sampah medis”.(Bpk,
My, Petugas Sanitasi Puskesmas Pilolodaa)
Hal ini tidak sesuai dengan Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004
bahwa untuk limbah infeksius sebaiknya di musnahkan menggunakan incinerator,
karena ampul dan flakon terbuat dari bahan kaca/tajam maka tidak akan cepat
musnah jika tidak dilakukan pembakaran dengan suhu yang tepat Hal ini
dibenarkan oleh informan dari Dinas Kesehatan Kota Gorontalo
“pembakaran yang dilakukan mesti diawasi dan dijaga
sampai hancur karena ini kaca tidak cepat membaur dengan
tanah, itu pentingya incinerator karena semua limbah
flakon, ampul yang dimasukkan semuanya dibakar
habis”.(Ibu Fm, Kepala seksi surveilans dan imunisasi dinas
kesehatan Kota Gorontalo)
Sedangkan untuk Puskesmas Limba B membuang limbah ke TPA, hal ini
dapat menimbulkan resiko penularan penyakit kepada masyarakat, karena
beberapa vaksin yang pada dasarnya adalah virus atau bakteri yang dilemahkan
seperti virus hepatitis sangat persisten di udara kering dan dapat bertahan hidup
selama beberapa minggu diatas tanah dan vektor seperti tikus, lalat, dan kecoa
yang makan maupun bertelur pada sampah organik, disebut sebagai carrier pasif
mikroba patogen, jumlahnya akan meningkat tajam jika terjadi kekeliruan dalam
pengelolaan limbah (Tabel 7, terlampir).
68
Untuk puskesmas lainnya seperti Puskesmas Buladu, Tamalate, Dungingi,
Dulalowo, Sipatana, untuk limbah ini tidak dilakukan pemusnahan tetapi
dibiarkan menumpuk di tempat penampungan atau ruang incinerator (Tabel 7,
terlampir).
Jadi untuk cara pengolahan, pemusnahan, dan pembuangan akhir limbah
medis padat di Sembilan puskesmas se-Kota Gorontalo belum sesuai dengan apa
yang di rekomendasikan dalam Permenkes RI 1204/MENKES/SK/X/2004.
Top Related