BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit asma tidak mengenal umur, ras, dan derajat seseorang.
Siapa saja dapat terkena penyakit asma mulai dari masa kanak-kanak
sampai dewasa. Jika pada anak-anak penyakit ini bersifat kronis (Mus-
liha 2010). Menurut data dan sumber Asosiasi paru-parudi Amerika
mengungkapkan bahwa satu diantara tiga orang penderita asma
adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun dan diketahui sekitar
80 % penyakit asma menyerang anak-anak dan 50 % menyerang
orang dewasa.Sedangkan angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir
ini meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat
modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada di dalam
makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di
masyarakat adalah penyakit asma. (Medlinux, 2008). Sedangkan
dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi
(kekerapan penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan
prevalensi asma di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea
Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara
dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini
semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas
1
2
hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan
bahkan kematian. (Muchid dkk,2007). Semakin rendah tingkat
pendidikan seseorang, maka pemahaman dan pengetahuan yang
didapat semakin rendah dimana hal tersebut akan mempengaruhi
perilaku dalam menjaga pola hidup (Wawan dan Dewi, 2010).
Menurut data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
berbagai propinsi di Indonesia, asma menduduki urutan kelima dari
sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Asma, bronkitis kronik, dan emfisema
sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di Indonesia atau
sebesar 5,6%. Lalu , dilaporkan prevalensi asma di seluruh Indonesia
sebesar 13 per 1.000 penduduk (PDPI, 2006). Dari hasil penelitian
Riskesdas, prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%.
Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini konsisten dan prevalensi
asma bronkial sebesar 5–15%. Di Sembilan provinsi yang mempunyai
prevalensi Penyakit Asma diatas prevalensi nasional, antara lain
Nanggroe Aceh Darussalam di urutan pertama, diikuti oleh Jawa Barat,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Papua Barat
(RIKESDAS, 2007). Status asmatikus adalah asma yang berat dan
persisten yang tidak berespons terhadap terapi konvensional.
Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Ini merupakan situasi
3
yang mengancam kehidupan dan memerlukan tindakan segera.Maka
dari itu peran perawat dalam mengatasi penyakit asma sangatlah
penting dimana perawat sebagai tenaga kesehatan perannya sangat
penting dalam menolong penderita asma.
Asma bronchiale adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan bronkus terhadap
berbagai macam rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran
bernafas yang disebabkan oleh peyempitan yang menyeluruh dari
saluran nafas (Musliha, 2010).
Kekurangan oksigen adalah hal yang berbahaya bagi
keselamatan pasien sehingga perlu diberikannya terapi
oksigen.Pemberian oksigen hendaknya bukan menjadi ritual klinik
tetapi dasar rasional untuk pemberian oksigen harus dikuasai dengan
baik. Pengelolaan oksigenasi pada pasien maka sangat diperlukan
pemahaman yang baik tentang oksigen seperti fungsi oksigen, suplai
oksigen, faktor apa yang berpengaruh pada oksigenasi jaringan,
indikasi, dosis dan cara pemberian oksigen dan kemungkinan bahaya
yang dapat terjadi pada pemberian oksigen (Patria dan Fairuz, 2010).
Studi kasus ini tidak bermaksud menetapkan alogaritma terapi
oksigen, hanya mengamati perlakuan tenaga kesehatan yaitu perawat
dalam memberikan terapi oksigen. Perlu adanya sistematika yang jelas
oleh perawat dalam memberikan terapi oksigen sehingga aspek legal
dalam terapi ini dapat dipertanggungjawabkan.Menurut salah satu
4
survei di rumah sakit,21% peresapan oksigen tidak tepat dan 85%
pasien tidak diawasi dengan baik (Patria dan Fairuz, 2010).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
penyakit asma adalah penyakit yang mempengaruhi paru-paru
dimana penyakit ini adalah penyakit jangka panjang yang paling
umum dari anak-anak, sampai orang dewasa. Asma menyebabkan
episode berulang seperti mengi, sesak napas, sesak dada, dan batuk
pada malam atau dini, episode ini juga dikenal sebagai eksaserbasi
atau serangan. sedangkan asma bronchial adalah suatu penyakit
pernapasan dimana terjadi penigkatan respon saluran pernapasan
yang menimbulkan reaksi obstruksi pernapasan akibat spasme otot
polos bronkus. Upaya yang paling penting dalam penyembuhan
dengan perawatan yangtepat merupakan tindakan yang utama dalam
menghadapi pasien dengan asma bronkial serta untuk mencegah
komplikasi yang lebih fatal di harapkan pasien dapat segera sembuh
kembali dimana Intervensi yang utama adalah mencegah
ketidakefektifan jalan nafas. Perawatan pada pasien asma bronchiale
sangat memerlukan kerja sama antar tim kesehatan maupun dokter
yang menangani. Upaya lain untuk pasien asma bronchiale yaitu
dengan pemberian terapi oksigen dimana bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan O2.
Berdasarkan pengalaman praktek stase KMB di RS Kota
Yogyakarta SOP yang digunakan menggunakan SOP Depkes dan
5
dalam pemberiaan terapi oksigen pada pasien menggunakan nasal
kanul serta pemberian nebulizer menggunakan NRM untuk indikasi
pemberian pada pasien asma, dan gagal ginjal. Sehubungan dengan
hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan studi kasus
tentang “Kebutuhan Oksigenasi pada Pasien Asma Bronchiale di
Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Jogja”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam studi
kasus ini adalah: Bagaimanakah kebutuhan oksigenasi pada pasien
asma bronchiale di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Jogja.
C. Tujuan Komprehensif
1. Tujuan umum
Mengetahui kebutuhan oksigenasi pada pasien asma
bronchiale di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Jogja.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui tingkat kepatuhan perawat dalam pemberian terapi
oksigenasi pada pasien asma bronchiale berdasarkan SOP
yang ada di di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Jogja.
b. Mengetahui tingkat kepuasan pasien asma bronchial dengan
indikator pemberian terapi oksigenasi di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RS Jogja.
6
D. Manfaat Komprehensif
1. Bagi Profesi Keperawatan
Diharapkan studi kasus ini dapat memberikan masukan bagi
profesi keperawatan dalam memberikan oksigenasi pada pasien
asma bronchiale di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Jogja.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi pihak rumah sakit dalam rangka
meningkatkan upaya kesehatan masyarakat khususnya pada
pasien yang mengalami gangguan pernafasan seperti asma
bronchiale.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan studi kasus ini dapat memberikan pengetahuan baru
dan mengembangkan ilmu keperawatan sebagai sumber referensi
tentang proses keperawatan dalam pemberian oksigenasi sebagai
salah satu intervensi meningkatkan kekuatan respirasi pada pasien
dengan asma bronchiale.
4. Bagi observasi
Diharapkan studi kasus ini dapat menambah keterampilan dan
pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan tentang
terapi oksigenasi sebagai salah satu intervensi untuk meningkatkan
kekuatan respirasi pada pasien dengan asma bronchiale.
7
E. Ruang Lingkup
1. Materi
Studi kasus ini termasuk dalam ruang lingkup keperawatan gawat
darurat khususnya mengenai asma bronchiale dan terapi
oksigenasi.
2. Responden
Responden dari studi kasus ini yaitu perawat dan pasien asma
bronchiale diInstalasi Gawat Darurat (IGD) RS Jogja.
3. Tempat
Studi kasus ini dilakukan di IGD RS Jogja.
4. Waktu
Studi kasus ini dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus- 2 Agustus
2013.
F. Keasliaan Studi Kasus/Penelitian yang Revalen
1. Laporan Studi Kasus oleh Renata (2009) “Asuhan Keperawatan
Ny “S” dengan Asma Bronchiale di Ruang Bogenville 4 IRNA I
RSUP Dr. Sarjidto Yogyakarta”. Asuhan keperawatan ini diberikan
untuk membantu mengatasi masalah yang dihadapi pasien. Tujuan
studi kasus ini mendapat pengalaman nyata dalam melaksanakan
asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
8
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, serta pendokumentasian.
Metode yang digunakan adalah deskriftif dengan studi kasus dan
menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Jurnal penelitian oleh Isnin Anang (2008) dengan judul “Kolerasi
Saturasi Oksigen Perkuatan Dengan Parameter Derajat Keparahan
(Severity) pada Asma Eksaserbasi Berdasarkan Kriteria Global
Initiative Of Asma”. Tujuan penelitian ini yaitu meneliti korelasi
saturasi oksigen yang diperiksa dengan alat pulse oksimetri dengan
variabel-variabel dari asma eksaserbasi yang terdapat pada GINA
2008 Populasi penelitian adalah pasien asma eksaserbasi akut di
IRD RSU. Dr. Soetomo Surabaya. Kesimpulan: Saturasi oksigen
perkutan mempunyai korelasi yang sangat kuat dengan derajat
keparahan,respiratory rate dan PaO2, serta dapat mencerminkan
derajat keparahan dari asthma eksaserbasi pada kondisi tertentu.
3. Jurnal penelitian oleh Ida Bagus (2012) dengan judul “Terapi
Pasien Asma Perokok dengan Peranan Teofilin Dosis
Rendah.Metode penelitian yaitu sampel memakai kartikosteroid
inhalasi atau kombinasi dengan inhaler LABA dan dilakukan
penurunan dosis selama 6 minggu untuk kemudian dilakukan
penghentian kartikosteroid selama 2 minggu. Kesimpulan penelitian
ini yaitu terdapat masalah ensensial pada pasien asma perokok
terkait dengan terapi yaitu ensensivitas terhadap terapi
kortikosteroid baik inhalasi, maupun oral.
9
4. Jurnal penelitian oleh Lusiana Tjandra (2013) dengan judul
“Pengunaan Prednison pada Penderita Asma Bronchiale Dikaitkan
dengan Kadar IgE dan IgG”. Metode penelitian yaitu pripitasi
dengan alat imun difusi radial. Hasil penelitian yaitu didapatkan
bahwa kadar IgG rata-rata penderita asma bronchiale yang
menggunakan prednison sebagai terapi yaitu 1332, 09 mg/dl lebih
kecil dibanding dengan kadar IgG rata-rata penderita asma
bronchiale yang tidak menggunakan prednison. Kesimpulan
penelitian ini yaitu penggunaan prednisone tidak mengakibatkan
peningkatan infeksi virus pada penderita asma bronchiale yang
mendapat pengobatan prednison.
G. Metode Komprehensif
1. Instrumen Studi Kasus
a. Lembar observasi
Berupa lembar kinerja perawat dalam melakukan
pemberian terapi oksigenasi pada pasien asma bronchiale
terdiri dari langkah-langkah tindakan keperawatan menurut
SOP/Protap pemberian terapi oksigenasi. Dimana menurut
Lumenta (2011) SOP adalah suatu perangkat intruksi/langkah
yang dilakukan untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan
fungsi. Skala yang digunakan adalah politomi. Jika tidak
dilakukan diberi nilai 1, dilakukan salah diberi nilai 2, dilakukan
10
kurang tepat diberi nilai 3, dan dilakukan dengan sempurna
diberi nilai 4 (Setiadi, 2007).
Rumus:
Total Nilai Nilai akhir = x 100%
Nilai Tertinggi
Keterangan
Nilai 1 : Tidak dilakukan 0-25%
Nilai 2 : Dilakukan salah 26-50%
Nilai 3 : Dilakukan kurang tepat 51-75%
Nilai 4 : Dilakukan dengan sempurna 76-100%
b. Angket kepuasan pasien
Angket kepuasan pasien digunakan untuk mengetahui sejauh
mana efektifitas tindakan keperawatan dan hasil yang dirasakan
pasien termasuk pelayanan perawat.Jika tidak puas diberi nilai 1,
kurang puas diberi nilai 2, cukup puas diberi nilai 3, dan sangat
puas diberi nilai 4 (Setiadi, 2007).
Rumus:
Total Nilai Nilai akhir = x 100%
Nilai Tertinggi
11
Keterangan
Nilai 1 : Tidak puas 0-25%
Nilai 2 : Kurang puas 26-50%
Nilai 3 : Cukup puas 51-75%
Nilai 4 : Sangat puas 76-100%
2. Definisi Operasional
a. Asma Bronchiale
Asma bronchiale adalah suatu penyakit yang ditandai den-
gan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan bronkus
terhadap berbagai macam rangsangan dengan manifestasi
berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh peyempitan
yang menyeluruh dari saluran nafas (Musliha, 2010).
b. Terapi Oksigenasi
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen pada
konsentrasi yang lebih tinggi dari udara bebas untuk mencegah
terjadinya hipoksemia dan hipoksia yang akan mengakibatkan
yang akan mengakibatkan terjadinya kematiaan sel (Yudha &
Muhammad, 2012).
c. Teknik Pengolahan Data
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah data:
a. Edit data: tahap ini dilakukan untuk memastikan bahwa data
yang diperoleh adalah lengkap, terisi semua dan dapat
dibaca
12
b. Kode data: tiap lembar observasi diberi kode untuk
memudahkan pada waktu memasukan data
c. Skor : menghitung skor dari masing-masing observasi
d. Tabel : data yang telah dikoding dimasukan dalam tabel
dengan tujuan untuk mempermudah penyajian data dalam
bentuk distribusi frekuensi
3. Proses Pengamatan dan Pelaksanaan
Pasien datang ke ruang IGD dengan keluhan sesak nafas, nyeri dada,
dispnea, dan klien juga batuk berdahak, dan klien lansung diperiksa oleh
dokter yang bertugas di ruangan dan di diagnosa klien mengalami
penyakit asma bronchiale sehingga dokter memerintahkan perawat untuk
memberikan terapi oksigenasi pada pasien asma bronchiale tersebut.
Dengan demikian disinilah tugas sebagai observasi yaitu untuk
mengamati perawat yang akan melakukan pemberian terapi oksigenasi
tersebut. Observasi melakukan penilaian terhadap tindakan keperawatan
yang dilakukan perawat yaitu dalam memberi terapi oksigenasi
berdasarkan SOP yang ada di ruang IGD RS Jogja. Untuk pelaksanaan
pemberian kuisoner angket kepuasan pasien yaitu diberikan pada pasien
asma bronchiale yang sudah dilakukan tindakan keperawatan oleh
perawat di ruang IGD RS Jogja.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep Dasar Penyakit Asma Bronchiale
a. Anatomi fisiologi sistem pernapasan
1) Anatomi sistem pernafasan
a) Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang(kavum nasi), dipisahkan oleh
sekat hidung (septum nasi). Didalamnya terdapat bulu-
14
bulu yang berguna untuk menyaring udara,debu yang
masuk ke dalam hidung (Saifudin, 2008).
b) Sinus paranasalis
Sinus paranasalis rongga dalam tengkorak yang
terletak di dekat hidung dan mata terdapat empat sinus
yaitu: sinus frontalis, etmoidalis, sfenoidalis, dan
maksilaris (Brunner & Suddart, 2008).
c) Faring
Faring atau tenggorok adalah rongga yang
menghubungkan antara hidung dan rongga mulut ke
laring. Faring dibagi menjadi dalam tiga area,yaitu
nasofaring,orofaring dan hipofaring (Evelyn C. Pearce,
2002).
d) Laring
Merupakan unit organ terakhir pada jalan nafas
atas. Laring juga disebut kotak suara karena pita suara
terdapat disini. Terdapat juga kartilago tiroid yang
merupakan kartilago terbesar pada faring (Ngastiyah,
2005)
e) Trakea
Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua
bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkuskiri. Struktur
lapisan mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya
13
15
tulang rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada
bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang
rawannyamelingkari lumen dengan sempurna. Bronkus
bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus (Francis,
2008).
f) Bronkus
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea terletak
pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. bronkus
mempunyai struktur yang sama dengan trakea dan
terletak mengarah ke paru-paru (Elizabeth, 2007).
b. Fisiologi sistem pernapasan menurut Sylvia A. Price, (2002)
a) Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara masuk dan
keluar paru. Ventilasi terdiri dari dua tahap yaitu,inspirasi dan
ekspirasi.
b) Difusi gas
Difusi adalah proses ketika terjadi pertukaran oksigen
dan karbon dioksida pada tempat pertemuan udara – darah.
c) Tranportasi gas
Bagian ketiga dari proses pernapasan adalah
transportasi gas (oksigen dan karbon dioksida) dari paru
menuju ke sirkulasi tubuh.
16
Berdasarkan teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa
anatomi pernafasan yaitu terdiri dari dua klasifikasi dimana
ada anatomi pernafasan yang terdiri dari hidung, sinus
parinalis, faring, laring, trakea, dan bronkus. Sedangkan
berdasarkan sistem pernafasan itu sendiri terdiri dari
ventilasi, difusi gas, dan transfortasi gas, dan bernafas
adalah proses keluar masuknya udara ke dalam dan keluar
paru dimana proses bernafas diawali dengan memasukan
udara ke dalam rongga paru untuk kemudian diedarkan ke
dalam sirkulasi serta pengeluaran zat sisa (CO2) dari
sirkulasi menuju keluar tubuh melalui paru.
c. Asma bronchiale
a) Pengertian Asma Bronchiale
Menurut Elizabeth (2007) menjelaskan asma
bronchiale merupakan penyakit paru obstruktif, yang
ditandai dengan penyempitan akut atau sub akut jalan nafas,
berupa bronkospasme yang disertai dengan bertambahnya
sekret dimana menyebabkan naiknya tahanan jalan nafas.
Sedangkan Iman Somantri (2008) menyatakan bahwa
penyakit asma bronchiale adalah penyakit jalan nafas
obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi
berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
17
Berdasarkan dua teori diatas dapat disimpulkan asma
bronchialemerupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas
obstruktif yang bersifat reversible, biasa ditandai dengan
terjadinya penyempitan bronkus, reaksi obstruksi akibat
spasme otot polos bronkus, obstruksi aliran udara, dan
penurunan ventilasi alveoulus dengan suatu keadaan
hiperaktivitas bronkus yang khas.
b) Klasifikasi Asma Bronchiale
Smeltzer (2008) menjelaskan asma bronchiale berdasarkan
penyebabnya, yaitu terdiri dari ekstrinsik(alergik) ditandai
dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti : debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora
jamur. Intrinsik(nonalergik) ditandai dengan adanya reaksi
non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti : udara dingin, infeksi
saluran pernafasan, latihan, emosi. Serangan asma ini lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi Bronkhitis Kronik dan Emfisema.
Asma gabungan dimana asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergi dan non alergi. Teori klafikasi
lain menurut Rab (2006) yaitu dengan membedakan
18
tingkatan asma yaitu asma bronchiale intermitten dengan
status asmatikus, dan asma emergency.
Berdasarkan teori-teori diatas maka dapat disimpulkan
bahwa asma bronchiale diklasifikasikan berdasarkan tipe,
tingkatan, dan berat nya asma bronchiale itu sendiri.
c) Etiologi Asma Bronchiale
Heru Sundaru (2007) menyatakan ada beberapa hal
yang merupakan penyebab dari asma bronchiale yaitu
alergen, infeksi saluran pernafasan, stres, olahraga/kegiatan
jasmani, obat-obatan, dan polusi udara. Sedangkan etiologi
lain menurut Yunus (2009) belum diketahui dimana penyakit
ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko yang menyebabkan
asma bronchiale antara lain : Merokok, polusi udara, umur,
jenis kelamin dan ras.
Berdasarkan teori diatas maka dapat disimpulkan
bahwa faktor pemicu penyebab terjadinya asma bronchiale
adalah jenis reaksi alergi, kadang-kadang disebut penyakit
saluran napas reaktif dan setiap orang dengan asma
memiliki faktor pemicu yang berbeda-beda. Sebagian besar
pemicu serangan menyebabkan pada beberapa orang
dengan asma dan tidak pada orang lain antara lain pemicu
serangan asma bronchiale selain alergen ada juga infeksi
19
saluran nafas, stres, olahraga, obat-obatan, dan polusi
udara.
d) Patofisiologi Asma Bronchiale
Menurut Musliha (2010) bila seseorang menghirup
alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat,
alergen bereaksi dengan antibody yang telah melekat pada
sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis
yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor
kemotaktik eosinofilik dan bradikinin dimana efek gabungan
dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan edema lokal
pada dinding brokhiolus kecil maupun sekresi mucus yang
kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos
bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran nafas
menjadi sangat meningkat.
Teori lain menurut Muttaqin (2008)menjelaskan
banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi riwayat atopi melalui
mekanisme Ig E dependent. Reaksi imunologik yang timbul
akibat paparan dengan alergen awalnya menimbulkan fase
sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel
plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel
mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari
20
alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate
asthma reaction).
Berdasarkan dari beberapa pendapat diatas maka
dapat disimpulkan bahwa sesorang yang mengalami asma
mempunyai respon imun yang buruk terhadap lingkungan
dimana antibodi yang dihasilkan (Ig E) kemudian menyerang
sel-sel mast dalam paru. Pada asma idiopatik atau non
alargi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh
faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi
polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Faktor pencetus, segera akan timbul dispnea dimana pasien
akan merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk
dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas.
Kesulitan utama terletak pada saat ekspirasi karena
percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang
selama inspirasi, tetapi sulit untuk memaksakan udara keluar
dari bronkiolus menjadi sempit, sehingga mengalami edema
dan terisi mukus, yang dalam keadaan normal akan
berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat ekspirasi.
e) Gejala- Gejala Asma Bronchiale
Menurut Yunus (2009) menyatakan asma bronchiale
mempunyai beberapa gejala yaitu seperti mengi, sesak
nafas, alergi hidung, dan bronkitis. Sedangkan pendapat
21
lain menyatakan tanda dan gejala asma bronchiale adalah
batuk, dispnea, dan mengi dan biasanya pada penderita
yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis,
tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat
dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan,
serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras
sehingga gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak
nafas, mengi (whezing), batuk, dan pada sebagian penderita
ada yang merasa nyeri di dada ( Smeltzer, 2008).
Berdasarkan teori-teori diatas maka dapat
disimpulkan bahwa asma bronchiale memiliki tanda dan
gejala mulai dari yang ringan sampai yang parah, dan
bervariasi pada setiap orang dan sering kali memiliki gejala
seperti napas yang berat secara rutin disertai dengan tanda
dan gejala seperti batuk dan napas berat sepanjang waktu
atau memiliki gejala primer pada malam hari, atau hanya
saat berolah raga.
f) Komplikasi Asma Bronchiale
Vitahealth (2006) menyatakan komplikasi akibat
penyakit asma bronkial, antara lain yaitu
pneumothorax,pneumomedia stinum, emfisema
subkutis,atelektasis,Gagal napas,Bronkhitis, dan fraktur iga.
Sedangkan komplikasi yang lain menurut Arief Mansjoer
22
(2008) adalah pneumothoraks, pneumomediastinum,
atelektasis, aspergilosis, gagal napas dan bronkhitis.
Berdasarkan kedua teori diatas maka dapat
disimpulkan bahwa komplikasi yang bisa terjadi pada pasien
asma bronchiale yaitu Komplikasi asma dapat mencakup
status ashmatikus, fraktur tulang iga, Pneumonia, dan
atelektasis(adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-
paru akibat penyumbatan saluran udara, kolaps paru dan
pengap di bagian paru).
g) Pemeriksaan Diagnostik Asma Bronchiale
Menurut Arief Mansjoer (2008) diagnosis asma
bronchiale berdasarkan : Anamnesis meliputi pengkajian,
keluhan pasien dan pemeriksaan fisik meliputi inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi, pemeriksaan Laboratorium
(sputum), serta tes fungsi paru dengan spirometri atau Peak
Flow Meter untuk menentukan adanya Obstruksi Jalan
napas. Sedangkan teori lain menyatakan pemeriksaan
diagnostik asma bronchiale meliputi : Tes faal paru, tes kulit,
tes darah eusinofil, dan scanning paru (Musliha, 2010).
Berdasarkan dua teori diatas maka dapat disimpulkan
bahwa dalam pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan
pada penderita asma bronchiale antara lain foto dada AP
23
lateral, analisa gas darah,pemeriksaan deteksi cepat antigen
RSU yang dapat dikerjakan secara bed side.
h) Pemeriksaan Penunjang Asma Bronchiale
Soeparman (2009) menyatakan pemeriksaan sebagai
penunjang asma bronchiale antara lain pemeriksaan
laboratorium meliputi pemeriksaan sputum, pemeriksaan
AGD meliputi ph menurun (N7,35–7,45), PCO2> 45mmHg,
PO2 menurun (N 95-100mmHg) serta fotodada.Sedangkan
teori lain menyatakan pemeriksaan penunjang meliputi X-ray
Dada/Thorax, Pemeriksaan IgE, dan pemeriksaan
radiologi.
Berdasarkan teori atas maka dapat disimpulkan
pemeriksaan penunjang pada asma bronchiale perlu
dilakukan pemeriksaan LAB yang meliputi pemeriksaan
sputum dan AGD dan disertai dengan pemeriksaan foto
dada untuk menegakan diagnosa keperawatan.
i) Penatalaksanaan Asma Bronchiale
Menurut Bruner dan Suddarth (2002) prinsip umum
penatalaksanaan asma bronchial adalah :
(1) Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
(2) Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat
mencetuskan serangan asma
24
(3) Memberikan penerangan kepada penderita ataupun
keluarganya mengenai penyakit asma, baik
pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya
sehingga penderita mengerti tujuan pengobatan yang
diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat
yang merawatnnya.
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1. Pengobatan non farmakologik yaitu memberikan
penyuluhan, menghindari faktor pencetus, pemberian
cairan,fisiotherapy, dan beri O2 bila perlu.
2. Pengobatan farmakologik :
Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas.
Agonis reseptor beta-adrenergik digunakan dalam bentuk
inhaler (obat hirup) atau sebagai nebulizer (untuk sesak
napas yang sangat berat). Nebulizer mengarahkan udara
atau oksigen dibawah tekanan melalui suatu larutan obat,
sehingga menghasilkan kabut untukdihirup oleh
penderita.Untuk mengatasi serangan akut, obat golongan
beta-agonist misalnya salbutamol: ventolin,
salbuvenmenjadi obat lini pertama yang bekerja sebagai
bronkodilator (merelaksasi bronkus). Obat golongan ini
pun sudah banyak tersedia dalam bentuk inhalasi
sehingga bekerja lebih efektif dalam mengatasi serangan
25
akut. Pada keadaan darurat dimana pasien mengalami
kesulitan bernapas yang parah digunakan metode
pemberian obat secara nebulisasi. Nebulisasi merupakan
metode semacam pengasapan obat yang diberikan pada
pasien sehingga obat dapat masuk ke saluran nafas
dalam kondisi sulit bernafas sekalipun.
Berdasarkan teori di atas maka dapat disimpulkan
penatalaksanaan dan pengobatan asma bronchiale yaitu
hindari factor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas
elergi udara dingin, dan faktor pesikis gunakan obat local
sepertisalbutamol : ventolin, salbuven. inhalasi atau oral
pada serangan asma ringan untuk pengobatan atau
mengatasi serangan asma bronchiale kita bisa
memberikan terapi oksigen berupa nebulisasi untuk
melonggarkan saluran nafas yang mengalami
penyempitan.
b. Terapi oksigen
1) Pengertian
Menurut Francis (2011) terapi oksigen adalah
pemberian campuran gas yang kaya akan oksigen
mempunyai arti yang sangat terbatas pada hipoksia stagnan,
anemik dan histologik, karena yang dapat dicapai melalui
cara ini hanyalah peningkatan dalam jumlah O2 yang larut
26
didalam darah arteri. Hal ini berlaku juga bagi hipoksia
hipoksik yang disebabkan oleh pirau darah vena yang tidak
teroksigenasi melewati paru-paru. Sedangkan Yudha &
Muhammad (2012) menjelaskan pemberian oksigen pada
konsentrasi yang lebih tinggi dari udara bebas untuk
mencegah terjadinya hipoksemia dan hipoksia yang akan
mengakibatkan yang akan mengakibatkan terjadinya
kematiaan sel.
Dalam pemberian terapi oksigen memiliki suatu tujuan
dimana Suparmi (2008) menjelaskan tujuan terapi oksigen
yaitu meningkatkan ekspansi dada, memperbaiki status,
oksigenasi klien, membantu kelancaran metabolisme,
mencegah hipoksia, menurunkan kerja jantung, dan
meningkatkan rasa nyaman dan efisiensi frekuensi napas
pada penyakit paru.
2) Indikasi Pemberian Terapi Oksigen
Menurut Tarwoto&Wartonah (2010) terapi oksigen
efektif diberikan pada klien yang mengalami :
a) Gagal nafas
b) Gangguan jantung (gagal jantung)
c) Kelumpuhan alat pernafasan
d) Perubahan pola napas.
e) Keadaan gawat (misalnya : koma)
27
f) Trauma paru
g) Metabolisme yang meningkat
h) Post operasi
i) Keracunan karbon monoksida
3) Kontraindikasi Pemberian Terapi Oksigen
Aryani (2009) menjelaskan Tidak ada konsentrasi pada
pemberian terapi oksigen dengan syarat pemberian jenis
dan jumlah aliran yang tepat. Namun demikan, perhatikan
pada khusus berikut ini :
a) Pada klien dengan PPOM (Penyakit Paru Obstruktif
Menahun) yang mulai bernafas spontan maka
pemasangan masker partial rebreathing dan non
rebreathing dapat menimbulkan tanda dan gejala
keracunan oksigen. Hal ini dikarenakan jenis masker
rebreathing dan non-rebreathing dapat mengalirkan
oksigen dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-
95%.
b) Face mask tidak dianjurkan pada klien yang mengalami
muntah-muntah
c) Jika klien terdapat obstruksi nasal maka hindari
pemakaian nasal kanul.
Berdasarkan teori diatas maka dapat disimpulkan
bahwa terapi oksigen pada pasien yang mengalami
28
gangguan pernafasan mampu memperbaiki aliran oksigen
ke paru dan meningkatkan pertahanan paru dan membantu
transport mukosilier dan pembersihan. Pemberiaan terapi
oksigen diberikan dengan hati-hati karna masing-masing
metode terapi oksigen mempunyai cara yang berbeda dan
ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi sebelum
melakukan terapi oksigen yaitu diagnosis yang tepat,
pengobatan optimal dan indikasi yang tepat pada pemberian
terapi oksigen itu sendiri.
4) Terapi Oksigen pada Asma Bronchiale
Berdasarkan jenis pemberian terapi oksigen menurut
Francis (2011) sebagai berikut :
a) Kanula nasal merupakan peralatan yg sederhana dan
nyaman. Kecepatan aliran yang berlebihan 6-8 L/menit
dapat menyebabkan pasien untuk menelan udara dan
menyebabkan iritasi dan kekeringan nasal serta mucosa
faring.
b) Masker oksigen merupakan peralatan yang digunakan
untuk memberikan oksigen, kelembaban,atau
kelembaban yang dipanaskan. Tersedia berbagai bentuk
dan digunakan untuk tujuan yang berbeda. Masker
sederhana digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah
sampai sedang sementara masker pernapasan kembali
29
sebagian (nonbreather parsial) atau tidak bernapas
kembali (nonbreather) digunakan untuk konsentrasi
oksigen yang tinggi sedangkan masker venturi adalah
metode pemberian yang paling akurat dan dapat
diandalkan untuk konsentrasi oksigen yang tepat melalui
cara noninvasif.
c) Oxygen Consentrator dimana alat ini secara relatif
portabel, mudah dioperasikan, namun alat ini juga
membutuhkan pemeliharaan lebih dibandingkan tabung
atau sistem cair dan kemungkinan tidak dapat memberi
aliran lebih dari 4 Liter yang memberikan F1O2 kira-kira
36 %.
d) Nebulizer
Nebulizer adalah alat untuk membantu kelancaran
pernafasan bagi pasien dengan aliran 4-5
L/menit .Nebulizer digunanya untuk yang mempunyai
masalah dengan saluran pernafasan, seperti batuk, pilek,
atau asma, yang juga berfungsi untuk membantu
mengeluarkan dahak.
Tabel.1 Metode dan Cara Kerja Pemberian Terapi Oksigen
Jenis alat Aliran
L/mnt
Konsent
rasi / %
Cara kerja Fungsi
30
Nasal kanule 1 – 6 24 – 44 Beri pelicin pada
ujung / kedua
ujung kanule,
masukkan
kedua ujung
kanule ke dalam
lobang hidung
pasien. Fiksasi
cocok untuk
pemasangan
jangka pendek
dan jangka
panjang, dan
efektif dalam
mengirimkan
oksigen.
Kateter nasal 1 – 6 24 – 44 Ukur jarak
antara lubang
hidung sampai
ke ujung daun
telinga. Beri
peliin / jely pada
ujung kateter,
masukkan
melalui lubang
hidung sejauh
yang
diperkirakan
kemudian
difiksasi.
memberian O2
sistem aliran
rendah
ini
ditujukan
untuk pasien
yang
memerlukan O2
tetapi masih
mampu
bernafas.
31
Sungkup muka non
rebreathing
8–12 60 –
100
Isi oksigen ke
dalam kantong
dengan cara
menutup lubang
antara kantong
dengan
sungkup. Atur
tali pengilat
sungkup
sehingga
menutup rapat
dan nyaman.
mencegah
udara kamar
masuk pada
saat inspirasi
dan akan
membuka pada
saat ekspirasi.
Sungkup muka
rebreathing
4–13 30 – 55 Isi oksigen pada
reservoir
sebelum
disambungkan
ke pasien, dan
pasangkan
sungkup
(masker) dan
pastikan tidak
longgar.
Meningkatkan
kadar tekanan
CO2 yang
rendah.
32
Sungkup venturi 10 40-60 Sambungkan
sungkup ke
regulator, atur
aliran oksigen
dan pasang
pada pasien
ketatkan pada
daerah wajah.
Memberikan
aliran udara
yang lebih tinggi
dan dipakai
untuk pasien
dengan tife
ventilasi tidak
teratur.
Sumber : Yudha & Muhammad, 2012
a. Pengertian Kepuasan Pasien
Kepuasaan adalah kesesuaian jasa yang diterima atau dirasakan
melebihi apa yang diharapkan, dirasakan setelah menerima jasa
pelayanan yang dapat digambarkan dengan suatu sikap pasien
berupa derajat kesukaan (kepuasan) dan ketidaksukaan (Supranto,
2006).
Kepuasan pasien adalah hasil penilaian pasien berdasarkan
perasaanya, terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang telah menjadi bagian dari pengalaman atau yang
dirasakan pasien rumah sakit, atau dapat dinyatakan sebagai cara
33
pasien rumah sakit mengevaluasi sampai seberapa besar tingkat
kualitas pelayanan di rumah sakit, sehingga dapat menimbulkan
tingkat rasa kepuasan (Timothy, 2008).
Berdasarkan kedua teori diatas dapat disimpulkan bahwa
Pasien yang puas merupakan aset yang sangat berharga karena
apabila pasien puas mereka akan terus melakukan pemakaian
terhadap jasa pilihannya, tetapi jika pasien merasa tidak puas
mereka akan memberitahukan dua kali lebih hebat kepada orang
lain tentang pengalaman buruknya. Untuk menciptakan kepuasan
pasien suatu perusahaan atau rumah sakit harus menciptakan dan
mengelola suatu system untuk memperoleh pasien yang lebih
banyak dan kemampuan untuk mempertahankan pasiennya.
Menurut Supranto (2006) dimensi kepuasan sangat
bervariasi sekali, secara umum dimensi tersebut dapat dibedakan
menjadi 2 macam :
1) Kepuasaan yang mengacu hanya pada penerapan standar dan
kode etik profesi. Dengan pendapat ini ukuran-ukuran
pelayanan kesehatan yang bermutu hanya mengacu pada
penerapan standar serta kode etik profesi yang baik
saja.Ukuran-ukuran yang dimaksud pada dasarnya mencakup
pemikiran terhadap kepuasan mengenai hubungan petugas,
pasien, kenyamanan pelayanan, efektivitas pelayanan,
34
kebebasan melakukan pilihan, pengetahuan kompetensi teknik
dan keamanan tindakan.
2) Kepuasan yang mengacu pada penerapan semua persyaratan
pelayanan kesehatan. Disini suatu pelayanan kesehatan disebut
sebagai pelayanan kesehatan yang bermutu apabila penerapan
semua persyaratan pelayanan kesehatan dapat memuaskan
pasien.Di dalamnya mencakup penilaian terhadap kepuasan
kesehatan, kesinambungan pelayanan kesehatan, penerimaan
pelayanan kesehatan, ketercapaian pelayanan kesehatan,
keterjangkauan pelayanan kesehatan, efisiensi pelayanan
kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan.
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang memenuhi semua
persyaratan pelayanan tidak mudah, sehingga untuk mengatasi hal
ini diterapkan prinsip kepuasan yang terkombinasi secara selektif
dan efektif dalam arti penerapan dimensi kepuasan kelompok
pertama secara optimal, sedangkan penerapan dimensi kelompok
kedua dilakukan secara selektif yaitu hanya yang sesuai dengan
kebutuhan atau kemampuan.
Faktor penentu kepuasan pelayanan kesehatan yaitu :
reliabilitas (kompetensi dan kehandalan), ketanggapan (kesediaan,
kesiapan dan ketepatan waktu), kompetensi (kemudahan, kontak
dan pendekatan), komunikasi (mendengarkan serta memelihara
35
hubungan pengertian), kredibilitas (nilai kepercayaan dan
kejujuran), jaminan rasa aman (dari resiko dan keraguan),
pengertian (upaya untuk mengerti keluhan dan keinginan pasien),
dan wujud pelayanan yang dirasakan ( Timothy, 2008).
Menurut Gerson (2010) terdapat lima dimensi untuk
mengukur mutu pelayanan kepada pasien yaitu :
a. Reliabilitas
Suatu kemampuan yang dapat diandalkan, akurat dan
konsisten dalam hal pelayanan sesuai yang diinginkan
konsumen atau pasien.
b. Responsivenees
Suatu kemauan untuk membantu dan memberi pelayanan
dengan segera. Seperti layaknya seorang petugas rumah sakit
dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya. Mereka
memberi perhatian terhadap keinginan konsumen dengan
menunjukan “kemauan untuk membantu” melayani keinginan
tersebut sesegera mungkin. Yang terpenting adalah bahwa
standar-standar yang digunakan harus sesuai dengan
permintaan. Kecepatan respon yang diinginkan konsumen serta
persepsi konsumen atau pasien tentang kecepatan dan
kesegeraan.
c. Assurance
36
Assurance mencakup keandalan atau jaminan kompetensi,
dapat dipercaya, kejujuran pemberi jasa, pemilikan kecakapan
dan pengetahuan yang diperlukan untuk mengerjakan jasa atau
pelayanan.
d. Emphaty
Empati dapat mencakup kemudahan akses, komunikasi
yang baik dan pemahaman terhadap konsumen.
e. Tangibel
Tangibel dapat mencakup penampilan fasilitas atau
elemen-elemen fisikal, peralatan, personel dan material-material
komunikasi. Tujuannya adalah untuk memperkuat kesan tentang
kualitas, kenyamanan dan keamanan dari jasa atau pelayanan
yang ditawarkan kepada konsumen atau pasien.
Berdasarkan teori diatas disimpulkan bahwa apabila jasa
pelayanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik dan
memuaskan. Jika kualitas pelayanan melampaui harapan
pelanggan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai
kualitas yang ideal.Sebaliknya jika kualitas pelayanan lebih rendah
daripada yang diharapkan maka pelayanan dipersepsikan buruk.
2. Konsep Asuhan Keperawatan Asma Bronchiale
37
a. Pengkajian Asma Bronchiale di Instalasi Gawat Darurat
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah bagian dan rawat jalan
yang merupakan juga bagian layanan terdepan rumah sakit
karena kegiatannya berlangsung selama 24 jam, sehingga
merupakan unit yang paling banyak dikunjungi dalam
memberikan pelayanan medik yang optimal, cepat dan tepat
pada penderita gawat darurat harus berdasarkan kriteria
standar baku serta etika kedokteran (Hartanto 2009).
MenurutMusliha (2010) menyatakan fokus pengkajian
keperawatan adalah Head to toe, hal-hal yang perlu dikaji
pada pasien asma bronchiale meliputi:
1). Pengkajian
a) Primary survey meliputi Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Eksposure.
b) Secondary survey meliputi kepala dimana dikaji apakah
ada riwayat trauma, atau adanya keluhan sakit kepala
atau pusing, vertigo kelang ataupun hilang
kesadaran.Mata apakah adanya penurunan ketajaman
penglihatan akan menambah stres yang di rasakan klien.
Hidung apakah ada pernafasan menggunakan cuping
38
hidung. Mulut dan laring dikaji adanya perdarahan pada
gusi. Leher dikaji adanya nyeri leher, kaku pada
pergerakaan, pembesaran tiroid serta penggunaan otot-
otot pernafasan
Thorak, Paru meliputi : Inspeksi, Palpasi. Perkusi,
Auskultasi. Jantung di kaji adanya pembesaran jantung
atau tidak, bising nafas dan hyperinflasi suara jantung
melemah. Abdomen perlu di kaji tentang bentuk, turgor,
nyeri. Ekstrimitas dikaji adanya edema extremitas, tremor
dan tanda-tanda infeksi pada extremitas karena dapat
merangsang serangan asma.
c. Tertiery survey
1) Spirometri (Tidal volume, kapasitas vital)
2) Pemeriksaan sputum dan pemeriksaan eosinofil total
(biasanya meningkat dalam darah dan sputum).
3) Pemeriksaan alergi (Radioallergosorbent Test :
RAST) : uji kulit, kadar Ig E total dan Ig E spesifik
dalam sputum
4) Foto thorak
5) AGD (adanya hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis
respiratorik)
Menurut Carpenito (2006) diagnosa keperawatan yang
muncul pada pasien asma adalah :
39
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan
pola pernafasan dan kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan bronkospasme dan peningkatan
sekresi pulmoner.
2) Ansietas yang berhubungan dengan sesak nafas, lapar
udara dan takut.
3) Potensial kekurangan cairan yang berhubungan dengan
efek samping obat dan distress pernafasan.
4) Potensial intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
pesipitasi atau memburuknya gejala pernafasan dengan
peningkatan aktivitas.
5) Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang proses penyakit dan tindakan.
Menurut NANDA (2012) diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien asma adalah :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan
pola pernafasan dan kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan bronkospasme dan peningkatan
sekresi pulmoner.
2. Ansietas yang berhubungan dengan sesak nafas, lapar
udara dan takut.
3. Potensial kekurangan cairan yang berhubungan dengan
efek samping obat dan distress pernafasan.
40
4. Potensial intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
pesipitasi atau memburuknya gejala pernafasan dengan
peningkatan aktivitas.
5. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang
informasi tentang proses penyakit dan tindakan.
Berdasarkan diagnosa yang mungkin muncul pada pasien
asma bronchiale diatas maka untuk perencanaan keperawatan
secara teori menurut Judith (2012) diuraikan dibawah ini:
Diagnosa 1 :
Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan
akumulasi mukus.
Tujuan :
Jalan nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Sesak berkurang, batuk berkurang, klien dapat mengeluarkan
sputum, wheezing berkurang/hilang, vital dalam batas normal
keadaan umum baik.
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya :
wheezing, ronkhi.
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi
mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
41
b. Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan
ekspirasi.
Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat
dan dapat ditemukan pada penerimaan selama stres/adanya
proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan
frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
c. Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian
kepala tidak duduk pada sandaran.
Rasional : Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi
pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
d. Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek,
basah. Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki
upaya batuk.
Rasional : batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,
khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan.
e. Berikan air hangat.
Rasional : penggunaan cairan hangat dapat menurunkan
spasme bronkus.
f. Kolaborasi obat sesuai indikasi.
Rasional : Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan
produksi mukosa.
Diagnosa 2
42
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan
penurunan ekspansi paru.
Tujuan :
Pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
Pola nafas efektif, bunyi nafas normal atau bersih, TTV dalam
batas normal, batuk berkurang, ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
1. Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu
pernafasan / pelebaran nasal.
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman
pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan
atelektasis dan atau nyeri dada
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti
krekels, wheezing.
Rasional : ronki dan wheezing menyertai obstruksi jalan
nafas / kegagalan pernafasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan
memudahkan pernafasan.
43
4. Observasi pola batuk dan karakter sekret.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk
sering/iritasi.
5. Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
Rasional : dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana
gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya
bernafas.
6. Kolaborasi
Rasional : memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja
nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan
membantu pengenceran sekret.
Diagnosa 3
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan
suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekret, spasme
bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Tujuan : Menunjukan perbaikan ventilasi dan
oksigenisasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang
normal dan bebas gejala distres pernafasan.
Kriteria Hasil : Berpartisipasi dalam program pengobatan
dalam meningkatkan kemampuan / situasi.
Intervensi :
Mandiri
44
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan penggunaan
otot aksesori.
R : Berguna dalam evaluasi derajat distres pernafasan.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih
posisi yang mudah untuk bernafas.
R : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi
duduk tinggi.
3) Kaji / awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
R : Sianosis mungkin perifer (pada kuku) atau sentral
(bibir / daun telinga).
4) Dorong mengeluarkan sputum.
R : Kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber
utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil.
Kolaborasi :
5) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi.
R : dapat memperbaiki / mencegah memburuknya hipok-
sia.
6) Berikan penekan SSP misal : sedatif atau narkotik dengan
hati-hati.
R : digunakan untuk mengontrol ansietas / gelisah yang
meningkatkan konsumsi oksigen.
45
46
B. Kerangka Teori
Gambar 1
Sumber : Muttaqin (2008), Sundaru H (2002),Doengoes (2002), Musliha (2010)
Ekstinsik (inhaled alergi)Intrinsik (infeksi, psikososial, stress)
Hiperaktif non spesifik stimuli penggerak
Penurunan stimuli reseptor terhada piritan pada trakeobronkhial
Broncial mukosa menjadi sensitif oleh Ig E
Peningkatan mast cell pada trakheobronkhial
Stimulasi reflek reseptor syarat parasimpatis pada
mukosa bronkhial
Pelepasan histamin terjadi stimulasi pada bronkhial smooth sehingga terjadi kontraksi bronkus
Perangsang reflek reseptor tracheobronkial
Peningkatan permiabilitas vaskuler akibat kebocoran protein dan cairan dalam jaringan
Stumuli bronchial smooth dankontraksi otot bronkhiolus
Perubahan jaringan,peningkatan Ig E dalamserum
Respon dinding bronkus
Hipersekreasi mukosa
Sekret tidak keluar
Wheezing
bronkospasme Udema mukosa
Penumpukan sekret kentalBronkus menyempit
Ketidakefektifan pola nafas
Ventilasi terganggu
Batuk tidak efektif
Bernapas melalui mulut
Intoleransi cemas
Hipoksemia Gangguan pertukaran gas
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Keringnya mukosa
Gelisah
Gangguan pola tidur cemas
Resiko infeksi
47
C. Kerangka Konsep
Keterangan :
= Yang diamati
Gambar 1
Sumber : Betz (2002), Francis (2011), Yudha & Muhammad (2012)
Non Rebreathing Mask(NRM)
Masker
Nasal Kateter
Nasal KanulaTerapi OksigenASMA BRONCHALE
Rebreathing Mask(RM)
VenturiNebulizer
48
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Gambaran Umum RS Kota Jogja
Rumah Sakit Jogja adalah rumah sakit yang berada di bagian
Selatan Kota Yogyakarta. Pasien yang dilayani tidak hanya berasal
dari wilayah kota Yogya melainkan juga melayani pelanggan dari
wilayah Bantul, Sleman, Gunung Kidul, dan luar Propinsi
DIY.Rumah sakit ini mempunyai visi dan misi sebagai pelaksana
pelayanan prima dalam bidang kesehatan yang sesuai dengan
standar pelayanan dan mewujudkan pengembangan pelayanan
perumah sakitan dan manajemen rumah sakit yang
memuaskan.Dengan motto Pelayanan dengan Senyum, Sapa,
Sopan, Santun dan Sembuh (5S), rumah sakit ini bertekat untuk
menjadi pusat pelayanan kesehatan masyarakat Kota Yogyakarta
dan sekitarnya yang membutuhkan layanan kesehatan..
Dengan demikian maka pengamatan dilakukan mulai tanggal
19-24 agustus2013 dengan mengumpulkan data melalui observasi
dan pemberian kuesioner yang diberikan kepada responden
sebanyak 10 pasien di IGD RS Jogja, dimana meliputi proses
pemberiaan terapi oksigen,dan angket kepuasan pasien terhadap
respon perawat.
49
2. Karakteristik Ruang IGD RS Jogja
Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah bagian dan rawat jalan
yang merupakan juga bagian layanan terdepan rumah sakit karena
kegiatannya berlangsung selama 24 jam. Pasien yang datang ke
IGD akan menjalani pemilahan terlebih dahulu, kemudian
dianamnesis untuk membantu menentukan sifat dan keparahan
penyakitnya. Penderita yang terkena penyakit serius biasanya lebih
sering mendapat visite lebih sering oleh dokter daripada mereka
yang penyakitnya tidak begitu parah. Setelah penaksiran
dan penanganan awal, pasien bisa dirujuk ke RS, distabilkan dan
dipindahkan ke RS lain karena berbagai alasan, atau dikeluarkan.
Jenis pelayanan emergency yang paling sering dilakukan di IGD
RS Jogja meliputi tindakan penyelamatan jiwa pada pasien henti
napas dan henti jantung, penanganan pasien sesak napas,
penanganan serangan jantung/payah Jantung, penanganan pasien
tidak sadar penanganan pasien kecelakaan, penanganan pasien
cidera, mis. cedera tulang, cidera kepala, penanganan pasien
dengan pendarahan, penanganan kasus stroke, penanganan
pasien kejang dan kejang demam pada anak, penanganan pasien
dengan luka-luka, penanganan pasien keracunan, penanganan
pasien dengan sakit perut hebat, serta penanganan medis korban
bencana /disaster. Fasilitas yang ada di Instalasi Gawat Darurat
yang tersedia meliputi : ruang tunggu, ventilasi mekanik,
50
defibrilator, bedside monitor, pulse oxymeter , monitor tekanan
darah, elektrokardiografi (EKG), dan peralatan resusitasi.
Pemeriksaan yang dilakukan pada saat masuk pasien masuk IGD,
perawat akan mengantar pasien ke tempat pemeriksaan dan
menanyakan tentang gejala/gangguan yang diderita, memeriksa
nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dll. Selanjutnya petugas
administrasi akan menanyakan mengenai data identitas, nomor
rekammedik dan kartu asuransi (bila ada), dan pasien akan
diperiksa oleh Dokter Jaga. Untuk pemeriksaan medis Dokter Jaga
dapat meminta dilakukan pemeriksaan Laboratorium, FotoRontgen,
USG, EKG dll, dalam rangka menegakkan diagnosa. Adapun
metode Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien di
ruangan Instalasi Gawat Darurat adalah meliputi penanganan
emergency yang dilakukan secara cepat, akurat dan komprehensif
oleh tenaga medik dan perawat yang profesional.
Penyakit/gangguan yang tidak membahayakan nyawa atau tidak
memerlukan penanganan segera, dapat ditangani diIGD namun
pasien emergency tetap didahulukan, terutama pada pasien yang
mengalami kondisi akut seperti pasien yang mengalami gangguan
sirkulasi, gangguan pernafasan, gangguan fungsi otak dan
penurunan kesadaran di IGD sendiri akan dilakukan pemeriksaan
Head to toe dimana meliputi Pengkajian ABCD yaitu Airway,
Breathing, Circulation, Disability, dan Eksposure.
51
3. Gambaran Asma Bronchiale di IGD RS Jogja
a. Umur Klien
Hasil dari analisis data didapatkan umur termuda 20 tahun dan
tertua 76 tahun.
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil dari data yang didapat dari 10 orang klien
yang dirawat di ruang IGD 4 laki-laki dan 6 perempuan.
c. Status Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan yaitu sebanyak 3 orang pasien
yang berpendidikanSD, SMA, ada 5 orang dan yang
berpendidikan S-3 ada 2 orang.
d. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data yang ada pada pasien asma bronchiale yang
dilakukan tindakan terapi oksigen diagnosa utama didasarkan
pada perkembangan pasien dan tindakan perawat yag diberikan
pada pasien yang di kelola. Diagnosa utama pada 10 orang
pasien asma bronchiale yaitu rata-rata memiliki diagnosa yang
hampir sama yaitu Tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan penurunan ekspansi paru, dan ketidakefektifan bersihan
jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme dan
peningkatan sekresi pulmoner.
52
e. Keluhan Pasien yang Datang ke IGD RS Jogja
1) Hari senin 19 agustus 2013 Tn “M” mengeluh sesak napas,
RR 30x/menit,dispnea,nyeri dada, klien juga batuk berdahak,
dada klien terasa ampeg dan klien di diagnosa mengalami
penyakit asma bronchiale sehingga perintah pengobatan
yang di berikan dokter yaitu memberikan terapi oksigen
nebulizermenggunakan obat ventolin 1 respul ditambah
flixotide1 respul dan setelah kondisi klien membaik sudah
tindakan keperawatan pemberiaan oksigenasi oleh perawat
1 sampai 3 jam klien langsung diperbolehkan pulang oleh
dokter.
2) Hari selasa 20 agustus 2013
a. Tn “B” mengeluhsesak napas, RR 30x/menit, takipnea,
dispnea, nyeri dada, klien juga batuk berdahak, dada
klien terasa ampeg, klien di diagnosa mengalami
penyakit asma bronchiale sehingga perintah pengobatan
yang diberikan dokter yaitu memberikan terapi oksigen
nebulizer menggunakan obat ventolin 1 respul ditambah
flixotide 1 respuldan setelah kondisi klien membaik sudah
tindakan keperawatan pemberiaan oksigenasi oleh
perawat 1 sampai 3 jam klien langsung diperbolehkan
pulang oleh dokter.
53
b. Ny “N” mengeluh sesak nafas dan merasa sesak yang
semaikn berat, dan tubuh lemas RR 28x/menit, setelah
dilakukan pemeriksaan suara paru whezing dan klien di
diagnosa mengalami penyakit asma bronchiale sehingga
perintah pengobatan yang diberikan dokter yaitu
memberikan terapi oksigen nebulizer menggunakan obat
ventolin 1 respuldan setelah kondisi klien membaik sudah
tindakan keperawatan pemberiaan oksigenasi oleh
perawat 1 sampai 3 jam klien langsung diperbolehkan
pulang oleh dokter.
c. Tn “Y” mengeluh merasa sesak nafas RR 30 x/menit,
batuk berdahak susah untuk dikeluarkan suara mengi(+),
dan pasien posisi duduk, sulit berkata dan klien di
diagnosa mengalami penyakitasma bronchiale sehingga
perintah pengobatan yang di berikan dokter yaitu
memberikan terapi oksigen nebulizer menggunakan obat
ventolin 1 respul ditambah flixotide 1 respuldan setelah
kondisi klien membaik sudah tindakan keperawatan
pemberiaan oksigenasi oleh perawat 1 sampai 3 jam
klien langsung diperbolehkan pulang oleh dokter.
3) Hari rabu 21 agustus 2013 Ny “R” mengeluh sesak nafas,
dada terasa ampeg,di auskultasi bunyi nafas whezing. Klien
di diagnosa mengalami penyakit asma bronchiale sehingga
54
perintah pengobatan yang diberikan dokter yaitu
memberikan terapi oksigen nebulizer menggunakan obat
ventolin 1 respul dan di encerkan dengan aquades 1 ccdan
setelah kondisi klien membaik sudah tindakan keperawatan
pemberiaan oksigenasi oleh perawat 1 sampai 3 jam klien
langsung diperbolehkan pulang oleh dokter.
4) Hari kamis 22 agustus 2013
a. Ny “M” pasien datang ke IGD dengan keluhan dadanya
sesak dan batuk,pasien juga mengatakan tubuhnya
lemas. Klien di diagnosa mengalami penyakit asma
bronchiale sehingga perintah pengobatan yang di berikan
dokter yaitu memberikan terapi oksigen nebulizer
menggunakan obat ventolin 1 respuldan setelah kondisi
klien membaik sudah tindakan keperawatan pemberiaan
oksigenasi oleh perawat 1 sampai 3 jam klien langsung
diperbolehkan pulang oleh dokter.
b. Ny “S” Klien datang ke IGD RS Jogja dengan keluhan
sesak nafas ± 2 hari, sesak sering kambuh, untuk
bernafas sulit, klien mengatakkan saat batuk sekretnya
susah untuk dikeluarkan.Klien di diagnosa mengalami
penyakit asma bronchiale sehingga perintah pengobatan
yang di berikan dokter yaitu memberikan terapi oksigen
nebulizer menggunakan obat ventolin 1 respulditambah
55
fixsotide 1 respuldan setelah kondisi klien membaik
sudah tindakan keperawatan pemberiaan oksigenasi oleh
perawat 1 sampai 3 jam klien langsung diperbolehkan
pulang oleh dokter.
c. Nn. W mengeluh sesak nafas, sesaknya di rasa cukup
berat di sertai batuk. Pasien mengatakan selama
menderita sesak nafas belum pernah belum pernah
rawat inap di RS karena sesaknya, tetapi Cuma rawat
jalan saja dan biasanya setelah berobat memang
sesaknya berkurang, tapi selang beberapa hari
pengobatan sesaknya kambuh lagi sampai
sekarang.Klien di diagnosa mengalami penyakit asma
bronchiale sehingga perintah pengobatan yang di berikan
dokter yaitu memberikan terapi oksigen nebulizer
menggunakan obat ventolin 1 respulditambah fixsotide
1 respuldan setelah kondisi klien membaik sudah
tindakan keperawatan pemberiaan oksigenasi oleh
perawat 1 sampai 3 jam klien langsung diperbolehkan
pulang oleh dokter.
5) Hari Jumat 23 agustus 2013Ny “C”klien mengeluh sesak
nafas, terutama saat suhu dingin untuk mengurangi
keluhan sesak nafas klien tidur setengah duduk, sesak
nafas berulang pada waktu malam dan pagi. Klien di
56
diagnosa mengalami penyakit asma bronchiale sehingga
perintah pengobatan yang di berikan dokter yaitu
memberikan terapi oksigen nebulizer menggunakan obat
ventolin 1 respuldi encerkan dengan aquades 1 ccdan
setelah kondisi klien membaik sudah tindakan
keperawatan pemberiaan oksigenasi oleh perawat 1
sampai 3 jam klien langsung diperbolehkan pulang oleh
dokter.
6) Hari sabtu 24 agustus 2013 Tn. J Pasien datang kerumah
sakit dengan keluhan demam, batuk, kepala pusing dan
kelihatan pucat, lemas dan susah tidur dimalam hari,
pasien juga mengatakan sesak dan nyeri pada bagian
dada dan daerah mata tampak cekung. Klien di diagnosa
mengalami penyakit asma bronchiale sehingga perintah
pengobatan yang di berikan dokter yaitu memberikan
terapi oksigen nebulizer menggunakan obat ventolin 1
respul ditambah fixsotide 1 respuldan setelah kondisi
klien membaik sudah tindakan keperawatan pemberiaan
oksigenasi oleh perawat 1 sampai 3 jam klien langsung
diperbolehkan pulang oleh dokter.
4. Proses Pemberian Terapi Oksigen
Tabel 2.
57
Pemberian Terapi Oksigen yang Dilakukan Perawat pada Pasien
Asma Bronchiale di IGD RS Jogja
No Pasien Umur Terapi Oksigen dan Obat
yang Diberikan
Aliran
L/mnt
Total Nilai
SOP
1 Tn “M” 49 Tahun Nebulizer(Ventolin 1 respul +
fixsotide 1respul)
5 81, 48 %
2 Tn “B” 29 Tahun Nebulizer (Ventolin 1 respul+
fixsotide 1 respul)
4 85,18%
3 Ny “N” 49 Tahun Nebulizer (Ventolin 1 respul) 4 90,74%
4 Tn “Y” 49 Tahun Nebulizer ( Ventolin 1 respul
+ flixotide 1 respul)
4 83,33%
5 Ny “R” 68 Tahun Nebulizer ( Ventolin 1 respul
+ aquades 1 cc)
3 93,51%
6 Ny “M” 50 Tahun Nebulizer ( Ventolin 1
respul)
3 72,22%
7 Ny “S” 51 Tahun Nebulizer ( Ventolin 1
respulditambah fixsotide 1
respul)
4 87,00%
8 Nn“W” 20 Tahun Nebulizer ( Ventolin 1
respulditambah fixsotide 1
respul)
5 85,18%
9 Ny “C” 49 Tahun Nebulizer ( Ventolin 1 respul 3 74,00%
58
+ aquades 1 cc)
10 Tn “J” 76 Tahun Nebulizer (Ventolin 1 respul+
fixsotide 1 respul)
4 74,00%
Sumber: data primer, 2013 N=10
Berdasarkan Tabel 1. diatas,dapat kita lihat tindakan perawat
berdasarkan SOP dalam pemberian terapi oksigen dengan
nebulizer dapat disimpulkan dari 10 orang perawat yang diamati,
sebanyak7 orang perawat yang melakukan terapi oksigen dengan
sempurna dan 3 orang perawat melakukan terapi oksigen kurang
tepat, serta tidak terdapat perawat yang salah dalam melakukan
terapi oksigen.
5. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan di IGD RS Jogja
Tabel 3
Kepuasan pasien asma bronchiale terhadap pelayanan yang
diberikan di IGD RS Jogja
KategoriNo Pasien Nilai Tidak
puas Kurang puas Cukup
puas Sangat puas
1 Tn “M” 73,21% - - -
2 Tn “B” 85,71% - - -
3 Ny “N” 92,85 % - - -
4 Tn “Y” 71,42 % - - -
5 Ny “R” 66,00 % - - -
6 Ny “M” 60,71 % - - -
59
7 Ny “S” 69,64 % - - -
8 Nn “W” 51,78% - - -
9 Ny “C” 39,28% - - -
10 Tn “J” 35,71% - - -
Sumber: data primer, 2013 n = 10
Berdasarkan Tabel 3.diatasdapat kita lihat tingkat kepuasan
pasien asma bronchiale terhadap pelayanan yang di berikan
perawat di ruang IGD RS Jogjadari 10 pasien yang diberi kuisoner
tentang pelayanan yang diberikan perawat yaitu terdapat 2 orang
pasien yang merasa kurang puas, dan terdapat 6 orang merasa
cukup puas, dan 2 orang yang merasa sangat puas.
B. Pembahasan
1. Karakteristik Ruang IGD RS Jogja
Secara umum Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah bagian
dan rawat jalan yang merupakan juga bagian layanan terdepan
rumah sakit karena kegiatannya berlangsung selama 24 jam. IGD
juga merupakan unit yang paling banyak dikunjungi dalam
memberikan pelayanan medik yang optimal, cepat dan tepat pada
penderita gawat darurat harus berdasarkan kriteria standar baku
serta etika kedokteran (Hartanto 2009). Sehubungan hal tersebut
Instalasi Gawat Darurat sebagai ujung tombak pelayanan di Rumah
Sakit yang dituntut untuk selalu siap melayani pasien, kesiapan itu
60
meliputi peningkatan pelayanan dan sumber daya manusia baik
pelayanan medis, pelayanan keperawatan dan non keperawatan.
Di Unit Gawat Darurat RS Jogja sendiri hampir setiap saat ada
kasus kegawatan yang harus segera mendapat pelayanan dan di
sini perawatlah yang selalu kontak pertama dengan pasien selama
24 jam. Berdasarkan pengamatan yang telah di peroleh selama
praktek di ruang IGD RS Jogja beberapa pemeriksaan yang
dilakukan di IGD membutuhkan waktu 1 sampai 2 jam sehingga
pasien harus menunggu sebelum diberikan pengobatan.
Penanganan emergency akan segera dilakukan Dokter Jaga
sedangkan penanganan definitif setelah diagnosis ditegakkan. Bila
pasien memerlukan perawatan lanjutan maka akan ditempatkan
pada Ruang Perawatan Umum atau Ruang Intensif tergantung
keadaan pasien. Pasien/keluarganya akan diminta persetujuan
perawatan untuk kamar perawatan dan Dokter yang akan merawat
dan pasien yang tidak memerlukan perawatan akan dipulangkan
setelahmendapatkan pengobatan.
Fasilitas alat yang ada di ruang IGD sudah lengkap sehingga
dalam memberikan tindakan keperawatan perawat bisa melakukan
sesuai dengan kebutuhan pasien. Untuk asuhan keperawatan di
ruang IGD berdasarkan wawancara dikatakan bahwa kalau
perawat IGD tidak sempat menulis askep dikarenakan kesibukan
dan jumlah pasien yang banyak sehingga perlu dilakukan
61
penangganan segera. Dalam memberikan tindakan perawat harus
berdasarkan pada SOP yang sudah ditetapkan di ruang IGD sendiri
SOP yang digunakan adalah SOP Depkes. Hal ini sudah sesuai
dengan teori yaitu menurut Lumenta (2011) dimana SOP adalah
suatu perangkat intruksi/langkah yang dilakukan untuk
melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi.
2. Gambaran Asma Bronchiale di IGD RS Jogja
Berdasarkan hasil pengamatan selama 1 minggu, pasien yang
menderita asma bronchiale rata-rata berusia 20-76 tahun. Menurut
Medlinux (2008), penyakit asma tidak mengenal umur, ras, derajat
seseorang. Siapa saja bisa terkena penyakit asma mulai dari
kanak-kanak sampai dewasa. Menurut data dan sumber asosiasi
paru-paru di Amerika (2007), mengungkapkan bahwa satu diantara
tiga orang penderita asma adalah mereka yang berusia dibawah 18
tahun dan diketahui sekitar 80 % penyakit asma menyerang anak-
anak dan 50% menyerang orang dewasa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa asma bronchial adalah penyakit semua usia.
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah pasien berjenis kelamin
perempuan lebih banyak dari pada laki-laki.Sebagian besar pasien
berpendidikan SMA berjumlah 5 orang dan SD 3 orang. Sedangkan
yang berpendidikan S-3 berjumlah 2 orang. Hal tersebut
62
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan seseorang berpengaruh
terhadap perilaku orang tersebut dalam menjaga kesehatan dan
gaya hidup. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka
pemahaman dan pengetahuan yang didapat semakin rendah. Hal
tersebut akan mempengaruhi perilaku dalam menjaga pola hidup
(Wawan dan Dewi, 2010).
Sebagian besar 10 pasien yang menderita asma bronchiale
rata-rata mempunyai diagnosa yang hampir sama yaitu Tidak
efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru, dan ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan
dengan bronkospasme dan peningkatan sekresi pulmoner.
Berdasarkan berbagai macam teori dari berbagai untuk diagnosa
yang mungkin muncul pada pasien asma adalah Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola pernafasan dan
kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan bronkospasme
dan peningkatan sekresi pulmoner, Ansietas yang berhubungan
dengan sesak nafas, lapar udara dan takut, Potensial kekurangan
cairan yang berhubungan dengan efek samping obat dan distress
pernafasan.
3. Keluhan Pasien yang Datang ke IGD RS Jogja
Sebagian besar pasien yang menderita asma mengalami tanda
dan gejala seperti sesak napas, RR 30x/menit, dispnea, nyeri
63
dada, klien juga batuk berdahak, dada klien terasa ampeg. Menurut
Yunus (2009), tanda dan gejala pada pasien asma bronchial yaitu
mengi, sesak napas, batuk, dispnea, gelisah, nyeri dada. Sebagian
pasien mengalami sesak napas tanpa disertai batuk. Berdasarkan
berbagai macam teori yang telah disimpulkan oleh penulis,
mengatakan bahwa asma bronchial memiliki tanda dan gejala mulai
dari yang ringan sampai yang parah, dan bervariasi pada setiap
orang dan seringkali memiliki gejala seperti napas yang berat
secara rutin disertai dengan tanda dan gejala seperti batuk dan
napas berat sepanjang waktu atau memiliki gejala primer pada
malam hari atau saat berolah raga.
Pasien yang datang ke IGD sebagian besar adalah pasien
lama yang mengalami serangan berulang dan secara rutin
melakukan pengobatan di IGD RS Jogja. Penanganan yang
diberikan pada psien asma bronchiale di IGDtergantung pada
kondisi klinis pasien dan jangka waktu menderita asma. Pada
pasien dengan tanda dan gejala seperti sesak napas, nyeri dada,
batuk berdahak, dada terasa ampeg, klien dilakukan terapi
nebulizer menggunakan ventolin dicampur flixotide 1 respul.
Menurut Fancis (2011), ventolin merupakan obat bronkodilator yang
berfungsi untuk melebarkan saluran nafas dan mengandung
oksigen dicampur dengan flixotide yaitu untuk meredakan gejala
dan eksaserbasi asma pada pasien yang sebelumnya diterapi
64
dengan bronkodilator saja atau dengan terapi profilaksis asma
berat pada dewasa dan remaja >16 tahun dan untuk penanganan
rutin jangka panjang. Hal tersebut sesuai dengan kondisi pasien
yang mendapatkan serangan berulang dan melakukan pengoatan
secara rutin. Berdasarkan hal tersebut dapat dinilai bahwa tindakan
perawat tersebut sudah sesuai dengan teori. Sebagian pasien
mendapatkan terapi ventolin dicampur aquades. Terapi ini sesuai
untuk pasien baru yang pertama kali mendapatkan terapi nebulizer.
a. Proses Pemberian Terapi Oksigen.
Asma bronchiale adalah suatu penyakit yang ditandai
dengan tanggap reaksi yang meningkat dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan
manifestasi berupa kesukaran bernafas yang disebabkan oleh
peyempitan yang menyeluruh dari saluran nafas (Musliha,
2010).
Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama 1 minggu
di Ruang IGD RS Jogja, sebagian besar perawat yaitu 7 orang
melakukan terapi oksigen dengan sempurna dan sebanyak 3
orangperawat melakukan terapi oksigen kurang tepat. Hal ini
menunjukkan bahwa 70,00 % perawat sudah patuh dan
terdapat 30,00 % perawat yang kurang patuh dalam melakukan
tindakan berdasarkan SOP.
65
Ruang IGD sendiri merupakan ruang yang membutuhkan
tindakan yang cepat dan tepat. Intensitas kesibukan dan
tindakan keperawatan yang tinggi yang terjadi di ruang IGD
menjadi salah satu alasan perawat dalam melakukan
pelaksanaan terapi oksigen yang kurang tepat berdasarkan
SOP.
Menurut Suparmi (2008), tujuan terapi oksigen yaitu
meningkatkan eskspansi dada, memperbaiki status oksigenasi,
membantu kelancaran metabolisme, mencegah hipoksia,
menurunkan kerja jantung, dan meningkatkan rasa nyaman
serta efisiensi frekuensi napas pada penyakit paru. pemberian
terapi oksigen yang kurang tepat dan kurang sesuai akan
berpengaruh pada kondisi klinis pasien. Perawat dalam hal ini
harus memahami kebutuhan oksigenasi pasien sehingga
dalam penanganannya dapat lebih efektif dan kebutuhan
oksigenasi pasien terpenuhi. Dalam memberikan terapi
oksigen, harus sesuai dengan SOP sebagai pedoman dan
dasar dalam pemberian terapi. Penatalaksanaan yang tidak
sesuai dengan SOP akan memberikan hasil yang minimal dan
kurang berdampak pada pemenuhan kebutuhan oksigen
pasien.
Dalam pemberiaan terapi oksigen di ruang IGD yaitu
dengan menggunakan terapi nebulizer menggunakan masker
66
oksigen (sungkup NRM) dan obat ventolin. Menurut Fancis
( 2011), masker oksigen merupakan alat yang digunakan untuk
memberikan oksigen, kelembaban, kelembaban yang
dipanaskan dan digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah
sampai sedang dan sesuai untuk terapi nebulizer. Sedangkan
obat yang diberikan adalah obat ventolin dimana ventolin itu
mengandung oksigen dan mengencerkan sekret.
b. Kepuasan Pasien Terhadap Respon Perawat
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 1
minggu, sebagian besar pasien yaitu sebanyak 6 orang merasa
cukup puas dengan pelayanan perawat, sebanyak 2 orang
pasien merasa sangat puas dan 2 orang pasien merasa kurang
puas dengan pelayanan perawat. Hal tersebut menunjukkan
bahwa perawat dalam melakukan asuhan keperawatan sudah
cukup maksimal. Menurut Utama (2007), kepuasan pasien
adalah hasil penilaian pasien berdasarkan perasaanya,
terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit
yang telah menjadi bagian dari pengalaman atau yang
dirasakan pasien rumah sakit, atau dapat dinyatakan sebagai
cara pasien rumah sakit mengevaluasi sampai seberapa besar
67
tingkat kualitas pelayanan di rumah sakit, sehingga dapat
menimbulkan tingkat rasa kepuasan.
Hasil pengamatan menunjukan bahwa pelayanan yang
diberikan perawat sudah sesuai dengan harapan pasien.
Memahami kebutuhan dan keinginan konsumen dalam hal ini
pasien adalah hal penting yang mempengaruhi kepuasan
pasien. Pasien yang puas merupakan aset yang sangat
berharga karena apabila pasien puas mereka akan terus
melakukan pemakaian terhadap jasa pilihannya, tetapi jika
pasien merasa tidak puas mereka akan memberitahukan dua
kali lebih hebat kepada orang lain tentang pengalaman
buruknya. Maka perawat harus konsisten dan terus menerus
meningkatkan mutu pelayanan agar pasien merasa nyaman dan
puas terhadap pelayanan yang diberikan.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat
1. Faktor Pendukung
a. Adanya perawat yang di observasi dalam melakukan
tindakan pemberian terapi oksigenasi di Instalasi Gawat Darurat
(IGD) RS Jogja
b. Adanya pasien asma bronchiale sehingga tindakan
keperawatan bisa dilakukan oleh perawat di Instalasi Gawat
Darurat Jogja
68
c. Perawat memberi kesempatan seluasnya untuk
melakukan pengamatan
2. Faktor Penghambat
a. Pengamatan yang dilakukan tidak selama 24 jam jadi
tidak terpantau secara maksimal dan hanya secara acak
b. Metode yang digunakan adalah observasi murni
c. Tidak terdapat dokumentasi asuhan keperawatan atau
pedoman asuhan keperawatan di Instalasi Gawat Darurat RS
Jogja
69
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Sebagian besar pasien asma bronchial mempunyai mengeluhkan
sesak napas, RR 28-30x/menit, dispnea, nyeri dada, batuk
berdahak, dada terasa ampeg
2. Terapi oksigen yang diberikan adalah dengan nebulizer
menggunakan obat ventolin 1 respul ditambah fixsotide 1 respul
dan ventolin 1 respul dengan aquadest 1cc
3. Sebagian besar dari 10 perawat yang diamati di IGD dalam
melakukan terapi oksigen terdapat 70,00 % perawat yang sudah
mematuhi SOP dan terdapat 30,00 % perawat yang dianggap
kurang mematuhi SOP.
4. Pasien yang menderita asma bronchiale rata-rata semuanya
membutuhkan terapi oksigenasi.
4. Berdasarkan kepuasan pasien terhadap pelayanan di IGD RS
Jogja, 20,00 % pasien sudah merasa sangat puas, dan terdapat
60,00 % pasienmerasa cukup puas, serta 20,00 % pasien yang
merasa kurang puas.
70
B. Saran
1. Bagi Perawat
a. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan harus sesuai
dengan SOP agar mendapatkan hasil yang maksimal dan
sebagai pertanggungjawaban hukum.
b. Mempertahankan dan meningkatkan pelayanan keperawatan
terhadap pasien agar mencapai hasil yang optimal
c. Setiap tindakan yang dilakukan harus didokumentasikan dalam
asuhan keperawatan sehingga setiap penatalaksanaan
dimonitor dengan baik dan sesuai dengan kondisi klinis pasien.
2. Bagi Mahasiswa
Meningkatkan ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang asma
bronchiale dan pemberiaan terapi oksigen sehingga menambah
wawasan menjadi perawat yang profesional.
3. Bagi Rumah Sakit
1. Meningkatkan kompetensi perawat melalui pelatihanuntuk
mempertajam keterampilan serta menambah wawasan ilmu
pengetahuan agar yang kurang tepat menjadi lebih tepat dalam
memberikan mutu pelayanan pada pasien teutama pada pasien
yang mengalami kegawatdaruratan.
66
71
2. Meningkatakan mutu pelayanan dalam pemberiaaan terapi
oksigenasi serta meningkatkan sarana dan prasarana di dalam
ruangan seperti bed tempat tidur pasien bisa tambahkan didalam
ruangan karna di ruang IGD sendiri masih kekurangan bed tempat
tidur sehingga pasien yang datang ke ruang IGD bisa lebih nyaman
dan pelayanan dirasakan bisa leebih memuaskan.
4. Bagi Penulis Selanjutnya
Diharapkan dapat menyempurnakan studi kasus ini dengan
mengembangkan lebih luas lagi dalam pemberiaan terapi
oksigenasi sehingga hasilnya lebih optimal, oleh karena itu
disarankan pada studi kasus berikutnya disarankan untuk
memperpanjang waktu untuk melakukan pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Aryani. pemberian-oksigen-dengan-berbagai-cara.Dibuka dari http://nikenadipuspita.blogspot. Html. 20/07/2013. Diakses pukul 14.00 WIB
Alsegaff & Mukti. (2002) Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : EGC
Arif Muttaqin. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.
Betz, Cecily L. (2002). Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddart. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC.
72
Buku Panduan Praktikum Laboratorium (2013). Kebutuhan Dasar Manusia II. STIKES WH Yogyakarta.
Carpenito, Lynda Juall. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta :EGC
Doenges, Marilynn. ( 2012). Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta : EGC.
Dwi Hartanto. (2009) Manajemen Instalasi Gawat Darurat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Foster, Timothy. (2008). 101 Cara Meningkatkan Kepuasan Pelanggan. Jakarta : PT Alex Media Komputindo
Gerson, R.F. (2010). Mengukur Kepuasan Pelanggan : Panduan Menciptakan Pelayanan Bermutu. Jakarta : Penerbit PPM
Heru Sundaru. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.
Ida Bagus. (2012). Terapi Pasien Asma Perokok dengan Peranan Teofilin Dosis Rendah. Jurnal. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Iman Somantri (2008). Makalah Asuhan Keperawatan ASMA BRONKIAL. Yogyakarta.
Isnin Anang. (2008). Kolerasi Saturasi Oksigen Perkuatan dengan Parameter Derajat Keparahan (Severity) Pada Asma Eksaserbasi Berdasarkan Kriteria Global Initiative Of Asma. Jurnal. PPDS I IP Paru FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya.
http://hariskumpulanaskep.blogspot.com/2011/09/askep-asma-bronchial.html. 20/07/13. Diakses pukul 12.32 WIB
Http://Medlinux.blogspot.com/2008/07/penatalaksanaan asma.html.Diakses tanggal 5 september 2013
Judith. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9.Jakarta: ECG
Litbangkes Depkes 2002. laporan SKRT 2001.
Lucilla Suparmi. (2008). Konsep Dasar Pemeriksaan Fisik Keperawatan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
73
Lumenta. (2011). Buku Pedoman Penyusunan SOP untuk RS. Yogyakarta: Nuha Medika.
Lusiana Tjandra . (2013). Pengunaan Prednison pada Penderita Asma Bronchiale Dikaitkan dengan Kadar IgE dan IgG. Jurnal. MedicalPharmacistLecturerFaculty ofMedicine,University ofWijayaKusumaSurabaya.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Muchid, A. dkk. (2007). Pharmaceutical Care Untuk penderita Gangguan Depresif. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DepKes. RI.
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nanda. (2009-2011).Diagnosis Keperawata.Jakarta : ECG
Ngastiyah.(2005). Perawatan Anak Sakit. Edisi2. Jakarta : EGC
Patria dan Fairuz. 2012.Aplikasi Klinis Terapi Oksigen. Jakarta: EGC
Pearce,C.Evelyn. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedic. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Prancis Caia. (2011). Perawatan Respirasi. Jakarta : Erlangga
Rab, T. (2006). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates.
Renata. (2009).Laporan Studi Kasus “Asuhan Keperawatan Ny “S” dengan Asma Bronchiale di Ruang Bogenville 4 IRNA I RSUP DR. Sarjidto Yogyakarta. Fakultas Kedokteran Universitas UGM Yogyakarta.
Riskesdas (2007). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Saifudin(2008). Anatomi dan fisiologi. Jakarta : EGC
Setiadi. (2007). Konsep Penulisan Riset Keperawatan. Jogyakarta : Graham Ilmu
74
Smeltzer, S. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Soeparman. (2009). Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.
Supranto, J. 2006. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan.Jakarta: Rineka Cipta.
Sylvia, Price. (2002). Patofisiologi.Jakarta : EGC.Tarwoto & Wartonah.(2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Vitahealth. (2006). Asma : Informasi Lengkap untuk Penderita & Keluarganya. Jakarta: Gramedia.
Wawan, A dan Dewi, M. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap danPerilaku Manusia. Yogyakarta : Nuha Medika.
Yudha & Muhammad. (2012). Aplikasi Klinis Terapi Oksigen. Jakarta : ECG.
Yunus Cit Musliha. (2009). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
75
LAMPIRAN
Lampiran 1.
SOP OKSIGENASI DI IGD RS JOGJA
RS Kota Yogyakarta
Prosedur Tetap Inhalasi Oksigen
No. Dokumen No. Revisi Halaman6
Prosedur Tetap Tanggal Terbit30 Januari 2013
Pengertian :
76
Merupakan prosedur pemenuhan kebutuhan oksigen dengan
menggunakan alat bantu oksigen.Pemberian oksigen pada klien dapat
melalui tiga cara, yaitu: kateter nasal, kanula nasal dan masker oksigen.
Tujuan :
1. Memenuhi kebutuhan oksigen.
2. Mencegah terjadi hipoksia
Alat dan bahan:
1. Tabung oksigen atau outlet oksigen sentral dengan flowmeter dan
humidifier.
2. Kateter nasal, kanula nasal atau masker.
3. Vaselin / jely.
Prosedur :
A. Menggunakan kateter nasal
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2. Cuci tangan
3. Observasi humidifier dengan melihat jumlah air yang sdah
disiapkan sesuai level yang telah ditetapkan.
4. Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan,
kemudian observasi humidifier pada tabung air dengan
menunjukkan adanya gelembung air.
77
5. Atur posisi dengan semi fowler.
6. Ukur kateter nasal dimulai dari lubang telinga sampai ke hidung
dan berikan tanda.
7. Buka saluran udara dari flommeter oksigen.
8. Berikan minyak pelumas (vaselin/jely).
9. Masukkan ke dalam hidung sampai datas yang ditentukan.
10.Lalukan pengecekan kateter apakah sudah masuk atau belum
dengan menekan lidah pasien dengan menggunakan spatel (akan
terlihat posisinya di bawah uvula).
11.Fiksasi pada daerah hidung.
12.Periksa kateter nasal setiap 6 – 8 jam.
13.Kaji cuping hidung, septum, mukosa hidung serta periksa
kecepatan aliran oksigen, rute pemberian dan respon pasien.
14.Cuci tangan seterlah prosedur dilakukan.
B. Menggunakan kanula nasal
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2. Cuci tangan
3. Observasi humidifier dengan melihat jumlah air yang sudah
disiapkan sesuai level yang telah ditetapkan.
4. Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan,
kemudian observasi humidifier pada tabung air dengan
menunjukkan adanya gelembung air.
78
5. Pasang kanula nasal pada hidung dan atur pengikat untuk
kenyamanan pasien.
6. Periksa kanula nasal setiap 6 – 8 jam.
7. Kaji cuping hidung, septum, mukosa hidung serta periksa
kecepatan aliran oksigen, rute pemberian dan respon pasien.
8. Cuci tangan seterlah prosedur dilakukan.
C. Menggunakan masker oksigen NRM/RM
1. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2. Cuci tangan
3. Atur posisi semi fowler.
4. Observasi humidifier dengan melihat jumlah air yang sudah
disiapkan sesuai level yang telah ditetapkan.
5. Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan,
kemudian observasi humidifier pada tabung air dengan
menunjukkan adanya gelembung air.
6. Tempatkan masker oksigen diatas mulut dan hidung pasien dan
atur pengikat untuk kenyamanan pasien.
7. Periksa kanula nasal setiap 6 – 8 jam.
79
Lampiran 2.
SOP NEBILIZER DI IGD RS JOGJA
No ASPEK YANG DINILAINILAI
1 2 3 4
A ALAT
1 Set nebulizer
2 Obat bronkodilator
3 Bengkok 1 buah
4 Tissue
80
5 Spuit 5 cc
6 Aquades
7 Tissue
B Tahap Pra Interaksi
1 Melakukan verifikasi program pengobatan klien.
2 Mencuci tangan
3 Menempatkan alat di dekat pasien
C Tahap Orientasi
1 Memberikan salam dan menyapa nama pasien
2 Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada
keluarga/klien
3 Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan
dilakukan
D Tahap kerja
1 Menjaga privacy pasien
2 Mengatur pasien dalam posisi duduk
3 Menempatkan meja/troly di depan pasien yang
berisi set nebulizer
4 Mengisi nebulizer dengan aquades sesuai takaran
5 Memastikan alat dapat berfungsi dengan baik
6 Memasukkan obat sesuai dosis
7 Memasang masker pada pasien
81
8 Menghidupkan nebulizer dan meminta pasien
nafas dalam sampai obat habis
9 Bersihkan mulut dan hidung dengan tissue
E Tahap Terminasi
1 Melakukan evaluasi tindakan
2 Berpamitan dengan klien
3 Membereskan alat-alat
4 Mencuci tangan
5 Mencatat kegiatan dalam lembar catatan
keperawatan
TOTAL
Lampiran 3.
KUISONER KEPUASAN PASIEN
TERHADAP PELAYANAN DI IGD RS JOGJA
(Lingkari kode huruf sesuai jawaban Bapak/lbu/Saudara)
1. Apa pendapat anda tentang kemudahan proses pelayanan yang
anda jalani pada bagian dimana anda sedang berobat ?
a. Tidak Mudah
b. Kurang Mudah
c. Mudah
d. Sangat Mudah
P*)
1
2
3
4
82
2. Menurut pendapat anda, apakah sesuai antara syarat-syarat yang
harus anda penuhi dengan jenis pelayanan yang anda terima pada
bagian dimana anda sedang berobat saat ini ?
a. Tidak sesuai
b. Kurang sesuai
c. Sesuai
d. Sangat Sesuai
1
2
3
4
3. Bagaimana pemahamanBapak/Ibu/Saudara tentang kejelasan dan
kepastian petugas yang melayani di unit ini
a. Tidak jelas
b. Kurang jelas
c. Jelas
d. Sangat jelas
1
2
3
4
4. Menurut pendapat anda, bagaimana kedisiplinan para petugas pada
bagian dimana anda sedang berobat saat ini ?
a. Tidak disiplin
b. Kurang disiplin
c. Disiplin
d. Sangat disiplin
1
2
3
4
5. Menurut pendapat anda, bagaimana tanggung jawab para
petugaspada bagian dimana anda berobat saat ini ?
a. Tidak bertanggung jawab
b. Kurang bertanggung jawab
c. Bertanggung jawab
d. Sangat bertanggung jawab
1
2
3
4
6. Menurut pendapat anda, bagaimana kemampuan para petugas, pada
bagian di mana anda berobat saat ini ?
a. Tidak mampu
83
b. Kurang mampu
c. Mampu
d. Sangat mampu
1
2
3
4
7.Menurut pendapat anda, bagaimana kecepatan para petugas dalam
melayani anda pada bagian dimana anda berobat saat ini ?
a. Tidak cepat
b. Kurang cepat
c. Cepat
d. Sangat cepat
1
2
3
4
8. Menurut pendapat anda, apakah anda diperlakukan secara adil
ketikadilayani pada bagian dimana anda berobat saat ini ?
a. Tidak adil
b. Kurang adil
c. Adil
d. Sangat adil
1
2
3
4
9. Menurut pendapat anda, apakah petugas sopan dan ramah ketika
melayanianda pada bagian dimana anda sedang berobat saat ini ?
a. Tidak sopan dan ramah
b. Kurang sopan dan ramah
c. Sopan dan ramah
d. Sangat sopan dan ramah
1
2
3
4
84
10. Menurut pendapat anda, apakah biaya yang anda keluarkanwajar
dibandingkan dengan pelayanan yang anda terima pada bagian
dimana anda berobat saat ini ?
a. Tidak wajar
b. Kurang wajar
c. Wajar
d. Sangat wajar
1
2
3
4
11. Menurut pendapat anda apakah besarnya biaya yang anda bayarkan
sudahsesuai dengan jumlah biaya yang ditetapkan oleh petugas
Rumah Sakit?
a. Selalu tidak sesuai
b. Kadang-kadang sesuai
c. Banyak sesuainya
d. Selalu sesuai
1
2
3
4
12. Menurut pendapat anda, apakah pelayanan pada bagian dimana anda
berobat saat ini dimulai tepat waktu ?
a. Selalu tidak tepat
b. Kadang-kadang tepat
c. Banyak tepatnya
d. Selalu tepat
1
2
3
4
13. Menurut pendapat anda, apakah ruangan dan lingkungan pada
bagian dimana anda berobat saat ini NYAMAN ?
a. Tidak nyaman
b. Kurang nyaman
c. Nyaman
d. Sangat nyaman
1
2
3
4
14. Menurut pendapat anda, apakah pelayanan yang anda terima di
85
bagian anda berobat saat ini terasa AMAN ?
a. Tidak aman
b. Kurang aman
c. Aman
d. Sangataman
1
2
3
4
*) keterangan : P = Nilai pendapat masyarakat/responden (diisi oleh petugas)
Lampiran 4.
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN DI INSTALASI GAWAT DARURAT
(IGD)
Identitas Pasien
Klien : ...................................................................................
Nama initial : ...................................................................................
86
Umur : Tahun
Status perkawinan : ...................................................................................
Agama/suku : ...................................................................................
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan : Swasta
Alamat rumah : ...................................................................................
Diagnos medik : ...................................................................................
A.Pemeriksaan Fisik (Head To Toe)
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
B.Pemeriksaan Penunjang (Lab, Rontgen Fokus Ss Kasus Pasien)
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
87
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
C.Riwayat Penyakit Sekarang
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
................................................................................................................
Pengkajian DX. Kep Jam Intervensi dan tindakan
keperawatan
Paraf
Airway Intervensi :
-
Implementasi :
-
Breating Intervensi :
-
Implementasi :
-
Circulation Intervensi :
-
Implementasi :
-
88
Disability Intervensi :
-
Implementasi :
-
Exposure Intervensi :
-
Implementasi :
-
Top Related