78
BAB III
PEREMPUAN DALAM TRADISI NIAS
Sekilas Pandang Tentang Nias
a. Geografis
Memahami kedudukan perempuan serta makna keluraga dalam
kehidupan masyarakat Nias terlebih dahulu penulis menguraikan gambaran
geografis, penduduk, bahasa, dan mitos atau cerita rakyat Nias yang
berhubungan denggan penciptaan dan perempuan.
Nias adalah daerah kepulauan yang terletak di sebelah barat
pulau Sumatera, Indonesia, dan secara administratif berada dalam wilayah
Provinsi Sumatera UtaraKepulauan Nias terdiri dari 132 pulau, memiliki
luas daratan kurang lebih 5.625 km2
(7,8 % dari wilayah Sumatra Utara),
yang terletak diantara 0ᵒ 12‘ dan 1
ᵒ 32‘ garis lintang Utara dan 97
ᵒ dan 98
ᵒ
bujur Timur. E. Fries yang kutip Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel,
mengatakan bahwa kepulauan Nias berbatasan dengan1:
- Di bagian utara dengan pulau-pulau banyak Aceh
- Di bagian selatan dengan Pulau Mentawai—Sumatra Barat
- Di Bagian Timur dengan Tapanuli Tengah—Sumatra Utara
1 Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, Salib Dan Adu, Studi sejarah dan Sosial-budaya
Perjumpaan Kekristenan dan kebudayaan Asli Di Nias dan Pulau-Pulau Batu, Indonesia (1865-
1965), (Jakarta, BPK Gunung Mulia: 2015), 13
79
- Di bagian Barat dengan Samudra Hindia
Untuk bisa sampai di Nias bisa melalui Laut lewat pelabhan Sibolga
atau Padang, bisa lewat penerbangan Udara dari Kuala Namu Medan atau
Padang ke Binaka Gunungsitoli.
Dulunya kepulauan Nias merupakan salah satu kabupaten di propinsi
Sumatra Utara, namun pada tahun 2003 Kepulauan Nias menjadi dua
kabupatan yakni kabupaten Nias dan Nias Selatan (Nias Selatan mencakup
pulau-pulaau batu yang diakui sebagai kabupaten pada 25 Februari 2003 dan
diresmikan pada 28 Juli 2003). Pada 29 Oktober 2008 terjadi pemekaran
besar-besaran di kabupaten Nias—Nias Induk, Nias Barat, Nias Utara dan
Kota Gunungsitoli. Kemudian ada wacana dan perjuangan (yang belum
terkabulkan) pembentukan propinsi kepulauan Nias.
Gambar 1. Peta Pulau Nias2
2 http://peta-kota.blogspot.co.id/2011/06/peta-pulau-nias.html, diaksese 23 mei 2017
80
A. Agama, Penduduk dan Mata Pencaharian
Agama mayoritas di daerah ini adalah Kristen Protestan dimana 90%
penduduknya memeluk agama ini, sedangkan sisanya
beragama Katolik, Islam, dan Budha. Penduduk yang memeluk agama
Islam pada umumnya berada di wilayah pesisir Kepulauan Nias
Tabel 1 : Data pemeluk agama di kepulauan Nias tahun 20153.
Kabupaten/kota Islam Protestan Katolik Hindu Budha Konghucu Jumlah
Gunungsitoli 17,151 99,483 9,112 0 245 2 126,202
Nias 1,536 113,293 16,510 0 0 4 131,377
Nias Barat 1,621 64,417 15,740 2 12 1 81,807
Nias Selatan 7,394 223,843 58,123 6 31 2 289,708
Nias Utara 6,894 99,529 20,676 2 1 0 127,244
Total 34,596 600,565 120,161 8 289 9 756,338
Kepulauan Nias didiami oleh kelompok etnis Nias yang menyebut
dirinya sebagai Ono Niha (anak Manusia) dan Nias disebut sebagai tanȍ
Niha (tanah Manusia). Ono Niha percaya bahwa nenek moyang mereka
adalah orang pertama yang tiba—diturunkan (nidada) dari Tetehȍli’ana’a
sehingga mereka menyebut diri mereka sebagai penduduk asli (sowanua),
sementara suku-suku lain disebut sebagai pendatang (sifatewu atau
sanawa)4. Sebagian kecil di daerah perkotaan adalah pendatang yang
berprofesi sebagai pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Buruh.
Mayoritas Penduduk Nias bermata pencaraharian petani—terutama
petani karet (sebagian besar daratan Nias ditanami dengan tanaman karet),
beternak (ayam dan babi), berladang; menam ketela rambat (daunya
dijadikan makanan pokok babi) dan ketela pohon, jagung, menanam padi di
sawah, sebagian lainya adalah PNS, buruh bangunan, buruh pelabuhan,
3 Sumatra utara dalam Angka BPS tahun 2015
4 Bdk. Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, 14
81
karyawan, nelayan, pembantu rumah tangga, supir, tukang becak, dan
sebagian lainya menjadi buruh dan pekerja kasar di berbagai perusahaan
swasta di kota-kota besar.
B. Bahasa
Dalam beberapa tulisan mengungkapkan bahwa Nias masuk dalam
rumpun bahasa Melayu-Polinesia (Austronesia) 5
, walaupun demikian secara
morfologi (linguistic) bahasa Nias yang disebut Li Niha sangat berbeda
berbeda dan tidak memiliki padanan yang mirip atau sama dengan bahasa-
bahasa yang ada di dunia, kecuali ―kata‖ dua, lima yang sama dengan
bahasa Indonesia dan Ama atau Ina yang mirip tetapi tidak sama dengan
makna Ama dan Ina dalam bahasa Sumba atau Timor.
Secara tata bahasa, kosa kata li Niha selalu terbuka bukan tertutup
atau berakhir dengan huruf fokal bukan konsonan, karena itu setiap
ungkapan tidak memiliki ―huruf‖ penutup, misalnya, manga (makan),
mofanȍ (bepergian), mȍrȍ (tidur), dll.
Ada dua logat (logat Nias Selatan dan Nias bagian Utara), sebagian
kecil ada perbedaan pengungkapan bahasa yang berbeda digunakan di Nias.
Perbedaan pengungkapan terkadang tidak menimbulkan kesalahpahaman
atau kesulitan dalam membangun komunikasi, mengingat proses
komunikasi yang berlangsung lama dan adanya pembauran antara
masyarakat dari Nias Selatan dan Nias, sehingga sudah tidak asing lagi bila
mendengar uangkapan dari salah satu bahasa yang dituturkan.
5 Bdk. J. Feldman ‗Nias and its traditionl sculpture‘ yang dikutip Telaumbanua dan Hummel,
18, Muhamad Yamin dalam bukunya 6000 tahun sang merah Putih, yang dikutip oleh F. Yama
Zebua, Sumber-Sumber Kebudayaan Tradisional Ono Niha, Gunungsitoli, Tidak diterbitkan;
1985), 12
82
Tabel 2. Contoh perbedaan dalam pengungkapan
Bahaa Indonesia Nias Nias Selatan
Kepala Hȍgȍ Telau
Kelapa Banio Sekhula
Kelapa Muda Balalu ȍlȍmbu
Makan Manga Mana
Dibawah Sitou Tou
Tuhan Lowalangi Lowalani
C. Cerita Rakyat Asal-usul Nias
Ada beberapa fersi cerita rakyat yang terdapat dalam masyarakat Nias,
baik cerita tentang kosmologi maupun cerita tentang asal-usul nenek
moyang Nias yang keduanya kadang merupakan cerita yang tidak bisa
dipisahkan (berepisode) dan tidak terlepas dari kuasa-kuasa ilahi. Namun
sebagian lainya (kosmologi da nasal-usul nenek moyang) tidak berhubungan
satu dengan lainya.
Menurut beberapa cerita, kisah kosmologi dan penciptaan manusia
bahwa pada mulanya segala sesuatunya kacau balau dan dipenuhi dengan
kegelapan. Maka dalam situasi ini ―Sang pengada‖ yang dianggap memiliki
kekuatan ajaib, perasaanya sangat halus, pemandanganya kedepan sangat
jauh, dan memiliki pendengaran yang sangat peka.6 Sang Pengada ini
kemudian dianggap sebagai ilah yang disebut ―Sihai‖7 atau dalam versi lain
6 Faogȍli Harefa, Hikajat dan Tjeritera Bangsa Serta Adat Nias, (Sibolga, Rapatfonds
Residentie Tapanoeli: 1939), 4 7 Bdk. Faogȍli Harefa, 4; bdk. Tuhoni Telaumbanua Dan Hummel, 20; bdk. Peter Suzuki, The
Religious System And Culture Of Nias, Indonesia : (Granvenhage, Uitgeverij Excelsior-
Oranjeplein: 1959), 4
83
disebut Inada Samihara Luo8 tidak memiliki ayah dan ibu, dia bukanlah
hasil ciptaan, melainkan pencipta lagit, dewa-dewi.
Sebuah kisah penciptaan9 yang mirip dengan kisah penciptaan dalam
Kitab Kejadian. Bahwa suatu waktu Sihai sebagai Sang Pengada,
menciptakan seorang yang bernama Sitahu. Lalu Sihai menciptakan sesuatu
dari kehampaan bagaikan lumut yang halus yang disebut lȍlȍu nuwu nangi,
sebesar butir beras, lalu memerintahkan Sitahu untuk mengadu benda
tersebut dengan ujung jarinya, maka dari kesaktian Sitahu benda itu
semakin besar, maka terjadilah langit yang pertama, kemudian diambilnya
lagi sebesar butir beras dari lagit pertama, lalu diaduk dengan ujung jarinya,
maka terjadilah langit kedua, begitu seterusnya sampai terbentuklah lagit
kedelapan yang disebut Tetehȍli’ana’a, di dalamnya terdapat berbagai
sumber kehidupan dan kekayaan yang tidak ada bandingnya, kemudian
diciptakanlah langit kesembilan yang disebut dengan bumi—itulah Tanȍ
Niha (pulau Nias).
Setelah pekerjaan sembilan tingkatan langit terbentuk, maka
berpikirlah Sihai untuk mengisi dan membuat keteraruran di bumi/tanȍ Niha
(langit ke Sembilan); awalnya Sihai mengadu udara lalu terbentuklah batang
air yang namanya Zea—itulah sumber segala sungai di Nias; selanjutnya dia
mengadu udara dan terbentuklah petir dan kilat sehingga terciptalah api;
kemudian diadunyalah udara yang menyerupai warna merah, maka
terbentuklah matahari yang menerangi alam semesta, kemudian membentuk
8 Suzuki, 3-5; bdk, Telaumbanua dan Hummel, 20
9 Bdk. Harefa, 4-12, bdk, Zebua 62-96; Bdk, Sadieli Telaumbanua, Representasi Budaya Nias
Dalam Tradisi Lisan; Kajian semiotika dan hereneutika fenomenologis mitos asal-usul kejadian,
(Gunungsitoli, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan ―Nias‖: 2006), 86, 92-104
84
ikan dan burung, kemudian tumbuh-tumbuhan, binatang yang bertulang
belakang, dan terakhir adalah segala sesuatu perkakas yang dibutuhkan di
bumi seperti besi, perak, emas, kuningan dll.
Setelah segala sesuatu di bumi dilihat telah lengkap, maka berpikirlah
Sihai untuk menciptakan sesuatu, maka diambilnyalah zat yang sangat
jernih dan dibentuklah sesuatu menyerupai boneka cantik. Dari boneka
tersebut diambilnya sebesar setengah kuku kelingking lalu dibungkus
dengan benda yang sangat halus menyerupai sutera halus lalu ditanamnya di
tanah yang baik, setelah tertiup angin, maka munculah sebentuk kecumbu
lalu semakin besar, berakar, berbatang dan berdaun, tumbuhan ini sangat
harum—kemudian disebut Tora‘a. Beberapa saat kemudian Tora‘a
berbunga dengan sangat indah, setelah bunganya mekar, dari pucuk bunga
itu keluarlah makluk yang sangat indah bagaikan boneka, lalu jatuh ke
tanah, lalu Sihai mengambil dan memberkati, lalu bergeraklah benda
tersebut, selanjutnya Sihai mengucapkan sesuatu ke benda tersebut, maka
benda itu memiliki akal budi—jadilah seorang manusia yang berjenis
kelamin laki-laki yang diberi nama Mosilaȍwa. Kemudian keluar pucuk
bunga Tora‘a berikutnya, dan seperti proses yang sebelumnya, maka jadilah
perempuan yang diberi nama Buruti. Mosilȍwa dan buruti menjadi
pasangan suami istri; terciptalah keluarga pertama dalam masyarakat Nias.
Mosilaȍwa dan Buruti memiliki tiga orang putra, namun hanya satu
orang memiliki keturunan yakni Tuha Sidunia Lȍlȍmbawa. Pada garis
keturunan yang ke 25 Tuha Sidunia Lȍlȍmbawa keturunan yang diberi
nama Lowalangi Kura`a. Lowalangi Kura‘a memiliki tiga orang putra yakni
85
Langi Sagȍrȍ banua, Mangola Tanȍ, dan Mamulikhe bihara. Langi Sagȍrȍ
banua memiliki memiliki dua putra yakni Sirao dengan beristri Buruti Rao,
Mangaraja Langi. Sirao dan Buruti kemudian menjadi nenek moyang orang
Nias yang diturunkan ke bumi. Anak-anaknya adalah Tuha Bawuadanỡ, 2.
Tuha Zangarỡfa, 3. Tuha Bela, 4. Tuha Simanga Buaweto Alitỡ, 5. Tuha
Samadu Sonamo Dalỡ, 6. Hia Walangi Adu, 7. Gỡzỡ Helahela Danỡ, 8.
Daeli Sanau Talinga, 9. Luo Mewỡna
Berkaitan dengan tulisan ini, sebuah bentuk cerita lain yang dipercaya
oleh masyarakat Nias menuturkan bahwa asal usul orang Nias10
dari Inada
Samihara Luo (Dewi Matahari). Inada Samihara Luo lahir dari kabut,
kemudian menciptakan manusia melalui tubuhnya yang terbelah lalu
lahirlah seorang perempuan yang bernama Inada Samadulo Hösi yang
menjadi ibu para dewa dan manusia. Samadulo Hösi (tanpa bersuami)
memiliki 2 (dua) pasang anak kembar. Pasangan pertama Latura Danö
dengan sebutan lain Lawaero Watua —sebagai penguasa dunia
bawah/neraka, menikah dengan saudari kebarnya Hinaya Ndrao Tane‘a
Danö dengan sebutan lain Hinaya Ndrao Jisiwa Bulua. Pasangan kedua
Sabölö Luo Gögömi (sebagai penguasa dunia atas/Teteholi’ana’a dengan
sebutan lain Sabölö Luo Sabua atau Lowalangi, menikah dengan saudari
kembarnya Nadawa Mölö dengan sebutan lain Najaria Mbanua sering juga
disebut dengan nama Silewe Hai Nazarata, lalu mereka memiliki Anak dan
menjadi nenek Moyang masyarakat Nias yakni Sirao. Salah satu versi Mitos
Asal usul Nias menuturkan bahwa Sirao memiliki 9 orang anak 1. Tuha
10
Bdk. Peter Suzuki, The Religious System And Culture Of Nias, Indonesia : (Granvenhage,
Uitgeverij Excelsior-Oranjeplein: 1959), 4-21
86
Bawuadanỡ, 2. Tuha Zangarỡfa, 3. Tuha Bela, 4. Tuha Simanga Buaweto
Alitỡ, 5. Tuha Samadu Sonamo Dalỡ, 6. Hia Walangi Adu, 7. Gỡzỡ
Helahela Danỡ, 8. Daeli Sanau Talinga, 9. Luo Mewỡna11
Inada Silewe Hai Nazarata disebut-sebut sebagai pribadi yang sangat
berperan dalam kehidupan manusia, menata harmoni kehidupan yang
kemudian membudaya (walaupun budaya tersebut mengalami pergeseran).
Silewe Hai Nazarata disebut sebagai Ibu dari orang Nias. Sebagai ibu, dia
adalah sumber kehidupan, sumber kasih sayang yang tidak berpihak dan
tidak bersyarat (unconditional), sangat bertanggung jawab, sumber suka
cita, dan dunia bagi laki-laki12
. Sebaliknya, sebagai respon dari manusia,
Silewe Hai Nazarata yang terimplementasi dalam diri perempuan harus
dihargai, dihormati, disayangi (ira alawe nifolakhömi, Nifosumange sibai).
Sikap seperti ini menjadi budaya dalam masyarakat Nias. Cerita ini sering
sering dituturkan melalui syair-syair tradisional Nias, terutama dalam syair-
syair yang menata harmoni dan aturan yang harus di lakukan dalam sebuah
pernikahan. Salah satunya adalah13
.;
syair yang dituturkan oleh para penatua adat dari pihak pengantin
perempuan dengan cara penuturan khas adat Nias
Tabel 3: Syair yang menuturkan peranan Silewe Hai Nazarata dalam
menata kehidupan Masyarakat Nias
Syair bahasa Nias Terjemahan
Inada Silewe Hai Zazarata, yaia
mege johayaigö danömö dawuo,
Inada Silewe Hai Nazarata dulunya
telah menyamai bibit sirih
11
Suzuki, 7; bdk. Ketut Wiradnyana, Legitimasi kekuasaan pada Budaya Nias; Paduan
Penelitian Arkeologi dan antropologi, (Jakarta, Yayasan Obor: 2010),167-169 12
Bdk. Erick Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriaki: Yokyakarta, Jalasutra: 2007), 6-7 13
Wawancara dengan A. Efir Zendratö; Ina Mesra Harefa; A. Tinu Harefa
87
Ya’ia mege janötöigö nösi mbola
marafule,
Dia memberi wasiat tentang isi
bola14
pegantin laki-laki,
tobali tawuo sini—(sisokhi)—
tobali tawuo lara,
menjadi daun sirih yang baik,
nano labidi langanga ami gulo
nidano taya wa’owokhi dodo,
menjadi daun sirih yang
membahagiakan,
tobali tawuo ösi mbola marafule, jika sudah digulung dan dikunyah,
maka segala rasa haus akan sirna,
tawuo osi mbola numönö,
solemba ba baluze nora jowatö-
sonuza
menjadi isi bola penganti laki-laki
Cerita lain menuturkan bahwa nenek moyang orang Nias berasal dari
suku bangsa besar yakni Austronesian (Sebagian besar suku bangsa tersebut
merupakan orang Taiwan atau dahulu bernama Yunan). Orang Yunan yang
berekspansi sejak 5.000 tahun lalu terdampar di Kepulaan Nias. Mereka
tidak berlabuh di pantai, tetapi menyusuri sungai yakni sungai Susua,
hingga tiba di salah satu desa tua di kecamatan Gomo namanya Börö Nadu
Gomo.15
D. Fondrakȍ dan Famatȍ Harimao
Untuk menjamin keteraturan sosial, menjamin hak-hak seseorang atau
kelompok, masyarakat Nias membuat suatu aturan adat (agama, adat dan
pemeritahan menyatu). Dalam sebuah proses pertemuan para tua-tua adat
yang terdiri dari Balugu atau Tuhenȍri, satua mbanua (kepala adat)/ di Nias
14
Bola atau bola-bola adalah sejenis dompet tradisional Nias yang dianyam dari daun pandan
atau ecek gondok yang digunakan khusus untuk tempat sirih (yang dimaksud sirih bukan hanya
daunya, tetapi yang dimaksud sirih dalam tradisi Nias adalah daun sirih, pinang, tembakau, kapur
sirih, daun gambir). Bagi orang Nias, symbol penghargaan dan relasi yang antara beberapa pihak
berada pada sirih (Afo). Karena itu segala acara adat, tidak akan berjalan bila sirih atau afo tidak
ada. Begitu juga dalam sebuah keluarga, sebagai penghargaan dan penyambutan tamu dirumah,
kepadanya disuguhkan Afo, dalam relasi personal dalam lingkungan sosial, setiap pribadi akan
membawa bola nafo pribadi, bila bertemu dengan orang lain, maka hal yang pertama yang harus
dilakukan adalah menyuguhkan afo dari bola nafo 15
.Tempointeraktif, Sabtu 25 November 2006 dan di Kompas, Rabu 4 Oktober 2006 Rubrik
Humaniora
88
selatan di hadiri oleh Tuhenȍri, balȍ zi’ulu, Si’ulu dari beberapa kampung
dan ȍri untuk membahas dan menetapkan sebuah hukum baru. Pertemuan
ini disebut Fondrakȍ (Nias Utara) atau Famatȍ harimao (Nias Selatan).
Fondrakȍ atau Famatȍ harimao di lakukan untuk menjawab setiap
kebutuhan sosial atas berbagai peristiwa atau perubahan sosial dalam sebuah
masyarakat karena perubahan sosial yang terjadi dalam sebuah masyarakat.
Fondrakȍ atau Famatȍ harimao dihadiri oleh para laki-laki yang dipimpin
oleh seorang Ere, dan kemudian hasilnya diumumkan oleh balugu atau
Tuhenȍri tertinggi. Setelah pengumuman hasil pertemuan, maka Ere
membacakan sumpah dengan ritual-ritual, yang kemudian ditutup dengan
jampi-jampi sambil memberkati peserta dengan percikan air dari daun
kelapa yang masih muda. Bagi yang melanggar akan mendapat kutukan dan
hukuman yan seberat-beratnya.
Beberapa tema besar yang menjadi pembahasan dalam fondrakȍ
atau famatȍ harimao adalah16
;
1. Huku sifakhai ba mboto niha. (segala sesuatu yang berhubungan
dengan keselamatan seseorang). Hukum adat mengatur hukum
peradilan bagi pelaku kejahatan (ringan atau berat) yang mengancam
kehidupan seseorang
2. Huku sifakhai ba gokhȍta (hukum yang berhubungan dengan harta
benda). Dalam hukum adat masyarakat Nias ada penjaminan
kepemilikan pribadi, dan juga kepemilikan bersama, misalnya tanah
16
A. Mesra Harefa, A. Suarni Ge`e, A. Setia Laia, A. Efir Zendratȍ; Bdk. Tuhoni
Telaumbanua dan Uwe Hummel, 28-32
89
adat. Tanah adat tersebut berupa lahan atau hutan yang sangat luas
yang menjadi milik masyarakat desa atau kampun tertentu.
3. Huku sifakhai ba jumange ba lakhȍmi (hukum yang berhubungan
dengan harga diri dan martabat seseorang), dalam hukum ini, disepakati
hukum-hukum yang berhubungan dengan martabat seseorang terutama
para tua-tua adat, strata sosial, dan lebih lagi pada martabat seorang
perempuan, karena perempuan adalah seorang ibu. Contoh; bagaimana
hukum bagi orang yang main mata, mencoleh tangan saat bersalaman,
mengintip orang mandi. Dll. Pihak yang dilindungi adalah perempuan.
4. Huku soamakhaita ba wa’atumbu, falȍwa, bȍwȍ, fa’amate, (hukum
yang berhubungan siklus kehidupan dan stratifikasi sosial), apa yang
dilakukan saat seseorang dalam kandungan, lahir, remaja, menikah,
meninggal)
5. Huku so’amakhaita lala halȍwȍ ba fondrȍnia’ȍ (segala sesuatu yang
berhubungan dengan pekerjaan dan kepemimpinan yang di dalamnya
terdapat pranata/hukum kepemimpinan dalam keluarga
Konsep, Tujuan dan Fungsi Keluarga Dalam Masyarakat Nias
Secara tata bahasa Nias, keluarga diartikan ―ngambatȍ‖, yang terdiri dari
dua suku kata yakni nga artinya satu kesatuan, satu unit, satu rumpun, dan mbatȍ
artinya lantai, tempat tidur dari lantai (tanpa ranjang) dalam rumah tradisional
Nias.17
Dari arti leterlek tersebut, masyarakat Nias memahami secara sederhana,
keluarga sebagai sekelompok orang yang berteduh dalam sebuah rumah di sebuah
kampung yang terdiri dari laki-laki dewasa yang disebut suami dan perempuan
17
F. A. Yana Zebua, 262
90
dewasa yang disebut istri yang memiliki ikatan pernikahan yang sah secara
adat18
. Pernikahan ini ini terjadi bukan atas kehendak berdua atau dilandaskan
cinta, melainkan atas kehendak keluarga besar—pernikahan yang terjadi karena
perjodohan19
. Setelah pernikahan, maka suami istri mulai belajar untuk saling
mengenal dan mencintai20
. Dalam tradisi, laki-laki dikenal sebagai pembentuk
keluarga karena itu dia disebut sebagai hȍgȍ ngambatȍ (kepala keluarga) dan istri
disebut sebagai solaya talinga mbatȍ (pengelola rumah tangga), sebagai
pengelola, istri bertugas sebagai bendahara atau pemegang kas keluarga. Anak-
anak disebut sebagai ȍsi ngambatȍ (anggota rumah tangga)
Dikatakan sah secara adat, karena sebelum agama Kristen dan dan
pemerintahan masuk dalam sendi kehidupan masyarakat Nias, maka yang menata
segala sendi kehidupan masyarakat adalah hukum adat yang telah dihukumkan
melalui fondrakȍ atau famatȍ harimao.
Dalam perkembanganya, masyarakat Nias memahami keluarga sebagai
sekelompok orang (seorang laki-laki dewasa yang disebut suami dan atau ayah
dan seorang perempuan dewasa yang disebut istri dan atau ibu beserta beberapa
orang anak kandung atau angkat) yang memiliki komitmen untuk sehidup (namun
tidak semati) bersama dengan memiliki ikatan pernikahan yang sah menurut
18
Yang berhak memutuskan dan mengesahkan sebuah pernikahan adalah warga masyarakat
yang menghadiri pesta pernikahan yang dipimpin oleh kepala suku dan para kepala adat dari kedua
belah pihak (pengantin laki-laki dan perempuan) 19
Perjodohan bisa terjadi atau dilakukan saat sepasang muda-mudi sudah besar, atau
perjodohan juga bisa dilakukan saat sepasang manusia masih kecil atau bayi atau ada perjodohan
yang dilakukan saat manusia tersebut masih dikandungan ibunya. Perjodohan dari kandungan
terjadi karena adanya hubungan kekeluargaan yang baik dari kedua keluarga, sehingga ada
keinginan untuk semakin mempererat hubungan tersebut dengan menikahkan anak mereka kelak.
Perjodohan dari kadndungan atau dari kecil bisa dilakukan antara kerabat dekat dengan tujuan
agar hubunagn persaudaan yang terjalin baik terus terjalin sekaligus agar harta warisan dari
keluarga laki-laki yang melamar tidak beralih ke keluarga yang lain. ( A. Suarni Ge`e, A; A. Reti
Gulȍ; A. Fite Daeli) 20
Bdk. Faogȍli Harefa, 28; F. A. Yana Zebua, 262; A. Gameni Harefa
91
Agama, Pemerintahan dan Adat dan memiliki suatu ikatan bathin yang sangat
kuat21
. Beberapa hal yang perlu digaris bawahi dari konsep terakhir yakni;
1. ―Seorang laki-laki dewasa dan perempuan dewasa‖ konsep ini
menandakan bahwa kalau dulu Nias masih memiliki peluang untuk
berpoligami bagi yang menghendaki, memiliki kemampuan ekonomi,
maka dengan masuknya kekristenan, maka masyarakat Nias dilarang untuk
berpoligami—masyarakat menganut monogamy.
2. ―anak angkat‖. Saat pernikahan terjadi, maka kepada pengantin
perempuan diberi salah satu julukan yakni ―bene’ȍ‖ artinya berbunga.
Pengantin perempuan di identikan dengan tumbuhan yang harus selalu
berbuah, artinya melahirkan anak-anak sebagai pewaris bagi suaminya,
jika hal itu tidak bisa dikabulkan, maka suami berhak untuk menikah
kembali (bagi yang mampu secara ekonomi). Namun berkaitan dengan
catatan pertama, seorang laki-laki dilarang untuk menikah kembali atau
menceraikan istrinya, karena demikianlah ajaran agama yang kemudian
jadi tradisi baru yang tidak boleh dilanggar. Namun untuk mendapatkan
seorang pewaris atau membuat sebuah keluarga semakin hangat atau
bahagia, sebuah keluarga ada kemungkinan untuk mengadopsi seorang
atau lebih (hal ini bisa disebabkan karena tidak memiliki anak atau anak
laki-laki).
Masyarakat Nias memiliki beberapa tujuan dalam pembentukan sebuah
keluarga22
;
21
A. Citra Zebua, A. Ya‘ia, A. Fite Daeli 22
I. Desi Harefa, Ina Gaeni Lase, A. Gameni Harefa, A. Ya‘ia Harefa, A. Efir Zendrato
92
1. Memperoleh keturunan sebagai pewaris. Garis keturunan tersebut diwariskan
melalui anak laki-laki. Itulah sebabnya anak laki-laki disebut sebagai ―ono
fangali mbȍrȍ jisi, ono Fangali mbu’u kawongo” (anak laki-laki sebagai
generasi penerus tradisi-tradisi keluarga dan ahli waris dan juga sebagai
pelindung keluarga). Bagi masyarakat Nias, anak laki-laki sangat penting,
dibanding dengan anak perempuan, itulah sebabnya bila sebuah keluarga tidak
memiliki anak laki-laki maka laki-laki (suami) akan menikah kembali—Nias
tradisional terbiasa dengan poligami.
2. Memperoleh tingkatan kedudukan sosial yang lebih tinggi. Masyarakat Nias
mengenal dua belas tingkatan sosial/strata sosial (baca: strata Sosial. Strata
pertama sampai dengan strata ke enam masuk dalam tingkatan perkembangan
umur seseorang (masa anak-anak)—hal ini tidak bisa dikategorikan sebagai
starata/kelas, namun dihitung sebabgai tahap yang harus dilalui seseorang
untuk menuju strata sosial yang tinggi dalam sebuah masyarakat.
3. Berhubungan dengan tujuan nomor dua, seseorang (anak sulung) laki-laki
yang telah menikah berhak mewarisi kedudukan orang tua dalam adat.
Seyogianya dalam adat selalu diwarisi oleh anak sulung, tetap jika anak sulung
belum menikah atau berkebutuhan khusus, maka hak pewarisan
kedudukan/jabatan adat itu dilabelkan kepada anak laki-laki yang terlebih
dahulu menikah. Namun jika suatu waktu anak sulung menikah, maka hak
pewarisan tersebut akan kembali kepada anak sulung.
4. Masih berhubungan dengan nomor dua, seseorang yang telah menikah
terhitung sebagai orang dewasa dan satu kepala keluarga sehingga layak
mendapat kedudukan dalam adat dan jatah pembagian makanan dalam adat
93
(Fa’asambua mbumbu nomo ma sambua balȍ gȍ,). Seseorang yang berumur
dewasa, namun belum menikah tidak akan diperhitungkan sebagai sebuah
kepala keluarga dalam lingkungan sosialnya—masih dianggap anak-anak.
5. Famakhai zitenga bȍ’ȍ; artinya menjalin dan mempererat hubungan
persaudaran antara keluarga dan atau desa, itulah sebabnya ada ungkapan bagi
perempuan “Ira Alawe Zamaogö Banua, ba ira alawe göi zamoto banua
(perempuan sebagai pemersatu, tetapi bisa juga sebagai pemecah belah dan
biang perselisihan).
6. Media perdamaian antara keluarga atau desa yang lain; ada ungkapan yang
baik bagi perempuan ―Ono Alawe Sanau Tugoa,Ono Alawe Sanau Talinga,
Ono Alawe Samatöla Banua, Ono Alawe Samatöla Gana.” (anak gadis yang
baik dan bijak akan menjadi penghubung dan pemersatu antara desa yang satu
dengan desa lain). Mengapa perlu perdamaian. Pada masa Nias kuno, konflik
antara desa yang satu dengan lainya sering terjadi, konflik yang terjadi akan
berujung perang dan kematian pemuda-pemuda pemberani di kedua belah
pihak. Itulah sebabnya, bila salah satu balungu atau satua mbanua berinisiatif
membangun perdamaian dengan cara melamar anak gadis balugu atau satua
mbanua desa yang sedang bertikai dengan desanya.
7. Tujuan politis. Mengingat hubungan antara desa terkadang terjadi ketegangan,
maka pernikahan antara desa dilakukan, bukan hanya membangun perdamaian,
tetapi juga persekutuan politik, sehingga bila ada desa yang bersengketa
dengan desa lain, maka desa tersebut akan membangun koalisi dengan desa
sahabatnya23
.
23
A. Gameni harefa, A. Suarni Ge`e, A. Ya‘ia Harefa
94
Yang berhubungan dengan konsep dan tujuan pembentukan sebuah keluarga
dalam masyarakat Nias, maka ada beberapa fungsi keluarga menurut tradisi Nias;
1. Fungsi reproduksi, terutama anak laki-laki sebagai ahli waris dan penerus
tradisi sekaligus pelindung keluarga
2. Fungsi perdamaian. Para perempuan-perempuan menjadi agen
perdamaian baik di dalam keluarga maupun di kampung atau antara desa
(Baca: Agen Perdamaian)
3. Fungsi ekonomi. Di dalam keluarga terjadi pengelolahan perekonomian
untuk mencukupi kebutuhan setiap hari dan peningkatan taraf hidup yang
berujung pada peningkatan strata sosial sebuah keluarga
4. Fungsi sosialisasi tradisi dan nilai-nilai sebuah keluarga dan sosial. Fungsi
keluarga sebagai sosialisasi berlangsung seumur hidup. Namun beberapa
hal yang saling menonjol dalam sosialisasi adalah mempersiapkan
seseorang menjadi pribadi yang mandiri dan mampu membangun rumah
tangga yang sejahtera;
Famoto (baca: strata sosial) tidak hanya bertujuan untuk kesehatan
seseorang, tetapi Famoto memiliki dua makna yang terkadang tidak
sadari pertama adalah kepatuhan. Seseorang yang baru di boto kelak
harus patuh kepada orang yang mamoto (orang yang menyunat) karena
orang itulah yang mengetahui, memotong dan melepaskan dia dari rasa
malu—karena bagi orang Nias, tanpa Sunat adalah suatu aib. Kedua
adalah Kemandirian. Seseorang yang sudah di boto harus menjadi
laki-laki yang mandiri, kreatif, dan bijak sana
95
Fame`e ba Folohe Gari (belajar memegang dan menggunakan
pedang), setelah di boto (bagi laki-laki), dan famofo (meratakan gigi
bagi perempuan) maka seorang laki-laki akan dilatih cara
menggunakan pedang—bukan hanya untuk berperang, tetapi juga
untuk berburu, dan bertani atau mencari kebutuhan hidup. Begitu juga
seorang perempuan dilatih untuk bertani, cara menggunakan pisau
(kecil) untuk berkebut, cara menanam padi, ketela (rambat dan pohon),
dan beternak.
5. Fungsi psikologi; adanya perlindungan kepada setiap anggota keluarga
dari tekanan dan ancaman dari luar—hal ini disimbolkan dengan
tinggalnya sebuah keluarga dalam sebuah rumah24
6. Fungsi cinta kasih. Keluarga merupakan lembaga pertama untuk
mengekspresikan sekaligus mendapatkan kasih sayang. Dalam
keseharian cinta tidak mesti dalam tuturan kata atau syair-syair lagu atau
puisi, tetapi lebih pada ekspresi tingkah laku.
Bentuk-Bentuk Keluarga Dalam Masyarakat Nias25
Dalam masyarakat tradisional Nias ditemukaan beberapa bentuk keluarga;
1. Sangambatö adalah keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari suami-
istri yang baru membentuk keluarga (fongambatö), atau mungkin sudah
lama membentuk keluarga sehingga belum memiliki anak, atau mungkin
sudah memiliki beberapa anak, tetapi anak-anak masih belum menikah.
24
Rumah merupakan symbol benteng pertahanan bagi keluarga, rumah adalah zona aman
tanpa ancaman dari luar, itulah sebabnya rumah tradisional Nias bentuknya rumah panggung, pintu
dari samping atau dari bawah rumah dan dari belakang—dengan model rumah seperti ini, maka
segala ancaman dari binatang buas dan atau dari sesama bisa diminimalisir. 25
A. Ya‘ia Harefa, A. Cipta Zebua, A. Gelfina Gulo
96
2. Sangambatö Sebua (keluarga besar) yang dibagi 4;
a. Saudara-saudara yang ada hubungan darah dengan bapak yang disebut
talifuso atau Iwa. Gabungan–gabungan dari sangambatö sebua ini dari
satu leluhur disebut Mado (di Nias Utara, Timur dan Barat). Setiap
nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki atia nadu. Sampai
generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang
untuk generasi selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak
menjadi masalah lagi. Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni;
memisahkan atia nadu keturunan tersebut dari
kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu
dengan memotong babi sebesar 4 alisi ( babi seberat 40 kilogram) dan
memberi emas sara siwalu (seekor babi sebesar 8 alisi/80 kg atau emas
14 karat seberat 10 gram) 26
. Babi tersebut diberikan oleh pihak laki-
laki. Upacara pemisahan Atia Nadu ini menandakan bahwa mereka
bukan saudara lagi (tidak memiliki hubungan darah). Dengan demikian
pernikahan bisa dilangsungkan27
. Apabila anak sangambatö tadi
terutama anak perempuan kawin maka yang banyak memegang peranan
ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal upacara sampai
berakhir, mereka yang menjadi penghubung antara pihak laki-laki dan
orangtua perempuan serta yang menentukan segala sesuatu yang
berhubungan dengan upacara tersebut. Mereka ini merupakan kelompok
26
Bdk. F. Yama Zebua, 254 27
Bila pernikahan tersebut terjadi masih pada generasi ke tiga, maka yang dilakukan adalah,
selain babi dan emas, maka ketua adat melakukan upacara Fanila lȍsu (pembelahan lesung dan
alu), sebagai symbol bahwa antara keluarga itu niha bȍ’ȍ atau tidak memiliki hubungan darah
(orang asing), walaupun pernikahan itu tetap berlangsung tetapi dianggap sebagai pernikahan yang
tidak layak dan terkutuk (bdk. F. yama Zebua, 255)
97
kekerabatan yang disebut menurut dekatnya dengan sangambatö tadi.
Kelompok keluarga yang paling dekat yaitu yang sekandung dan
sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki yang disebut Iwa.
b. Saudara/saudari yang ada hubungan darah dengan saudari ayah yang
disebut onoalawe. kelompok-kelompok saudara perempuan yang sudah
kawin beserta keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono
atau ono alawe, termasuk keluarga yang mengawini anaknya
perempuan. Kelompok ini merupakan pekerja dalam upacara yang
dilaksanakan oleh sangambatö tadi. Itulah sebabnya dalam
pembagian urakha (jatah makanan berupa daging babi) yang menjadi
bagian mereka adalah tangan/kedua kaki bagian depan sebagai lambang
kecekatan.
c. Keluarga dari pihak istri (ibu) yang disebut uwu, Menurut tradisi Nias
uwu adalah sumber kehidupan bagi anak-anak sangambatö, hal inilah
yang menjadikan derajat uwu lebih tinggi kedudukannya dari semua
bentuk keluarga, karena itu selalu mendapat penghormatan yang
tertinggi dari ngambatö tersebut. Karena uwu adalah sumber kehidupan
maka mereka harus mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari
kelompok keluarga lainnya. Kalau mereka baru pertama kali
datang/berkunjung kerumah saudarinya (sangambatȍ), maka saudarinya
harus memotong seekor babi. Tidak ada alasan tidak ada persediaan,
harus dicari biarpun berutang. Selain memotong anak babi biasanya
pemilik rumah tersebut haruslah memberikan penghargaan dengan
mengikutsertakan satu ekor anak babi kepada saudaranya di tambah
98
amplop berisi uang sebagai permohonan berkat (fanefe idanö). Jika
pihak keluarga uwu mengamati bahwa keluarga sangambat memiliki
ekonomi yang lemah maka uwu jarang datang kerumah saudari
perempuan yang telah menikah
d. Keluarga yang memberi istri bagi anak laki-laki sangambatö merupakan
satu bentuk keluarga yang disebut sitenga bö’ö. Sangambatȍ harus
memperlakukan zitenga bö’ö sebagai mana halnya keada uwu.
Kelompok ini harus selalu diundang apabila sangambatö mengawinkan
anaknya, mengadakan pesta kematian (syukuran) atau pesta adat
lainnya.
3. Banua (kampung)—kampung dipimpin oleh seorang kepala adat yang
terdiri dari saudara/saudari yang memiliki hubungan darah dengan bapak
(memiliki satu nenek moyang dari bapak)
4. Fongambatȍ lakha (Keluarga janda atau duda) yang terdiri dari seorang
janda atau duda yang memiliki anak dan atau tidak memiliki anak namun
hidup dalam satu rumah atau menumpang di rumah orang lain.
Strata Sosial Masyarakat Nias.28
a. Strata pertama adalah masa jambang bayi masih dalam kandungan. Masa ibu
muda hamil, maka keluarga datang ke rumah mertua (orangtua dan keluarga
perempuan) untuk menginformasikan bahwa keluarga tersebut telah terberkati
dengan sebuah kehamilan (hal ini hanya dilakukan pada anak pertama)
dengan membawa makanan (nasi dan daging anak babi yang dibungkus rapi
28
. A. Gameni Harefa,;A. Ya‘ia Harefa; A. Cipta Zebua, A.Rife Gulo
99
dari daun pisang). Sesampai di rumah mertua maka orang tua perempuan
merestui dengan memberkati dan mendoakan kandungan tersebut. Strata ini
disebut fangaruwusi. Ibu muda ini didoakan dan diberkati, karena kelak dalam
proses persalinan dialami dengan sangat berat. Persalinan tidak dilakukan di
rumah tetapi di bawah pohon besar disebuah hutan, menurut anggapan orang
Nias kuno, bahwa saat persalinan ada roh-roh jahat, karena itu persalinan itu
tidak boleh dilakukan di rumah agar roh-roh jahat tersebut tidak mendekat di
rumah. Saat persalinan akan terjadi, ibu muda di antar dan dilengkapi dengan
doa-doa baik dari orang tua maupun dari Ere sehingga proses tersebut berjalan
dengan baik29
.
b. Fa’atumbu ba fangai bowoa. setelah kelahiran anak pertama (laki-laki dan
perempuan), maka orang tua anak tersebut membawa anaknya ke rumah
kakek-neneknya dengan membawa makanan (nasi dan daging seekor anak
babi) serta membawa uang atau emas yang disebut ȍmȍ ndraono (utang anak),
untuk anak laki-laki adatnya dibayar penuh sebesar…sementara untuk anak
perempuan dibayar setengah, karena setengahnya nanti akan dibayar saat anak
perempuan tersebut menikah. Sepulang dari rumah kakek-neneknya, maka
kepadanya diberi periuk yang berisi beras dan telur dan ditutup dengan daun
pisang. Sesampainya di rumah maka daun pisang itu disobek di mulut bayi,
agar cepat dan mahir berbicara. Lain halnya di Nias Selatan, saat pulang dari
rumah mertua, anak laki-laki akan diberikan tombak dan parang sebagai
pertanda bahwa kelak anak ini
c. Famatrörö töi (pemberian nama); saat pemberian nama maka keluarga
29
A. Mesra Harefa, 17 April 2017
100
memotong satu ekor babi, lalu memanggil keluarga besar, kampung, atau
bahkan lingkungan persekutuan dalam sebuah gereja akan berkumpul dan
makan bersama (setelah agama masuk, maka pendeta atau penatua memimpin
ibadah, namun sebelum Agama Kristen masuk di Nias, yang memimpin
upacara pemberian nama adalah Ere (Imam) dan yang memberi nama adalah
kepala adat atas persetujuan dan diskusi dengan para hadirin dan orangtua
anak
d. Famoto (penyunatan)—penyunatan dilakukan oleh Ere (imam) dengan
menggunakan fasu (sejeni kulit bambo) yang telah disterilkan dengan api, saat
penyunatan dilakukan, maka keluarga menyediakan Luha30
(tempat makanan
babi) yang belum pernah digunakan, saat itu difungsikan sebagai tempat
daging babi untuk penghargaan yang besar bagi (balugu/tuhenȍri) kepala suku
dan kepala-kepala adat, saat penyunatan dilakukan maka Ere menyebut
kalimat ―sayalah yang melepaskan anda dari aib,‖ dan mengangkat lurus keatas
fasu lalu berteriak memberitahukan bahwa anak remaja telah dilepas dari masa
anak kecil dan aib31
. ungkapan itu sebagai ungkapan simbol kekuasaan Ere
terhadap yang disunat, sehingga kelak, dia harus mendengar dan patuh
terhadap perintah Ere. Saat acara ini dilakukan maka keluarga besar akan
memototong beberapa ekor babi dan makan besar. Untuk seorang anak
perempuan disebut famofo nifö (perataan gigi).
e. Pemberian Keris. Tidak lama setelah Famoto, anak yang menginjak umur
30
Luha itu kemudian digunakan sebagai tempat bakan babi untuk pernikahannya beberapa
tahun ke depan. Karena itu orang tua akan berusaha agar anak itu dinikahkan paling lama 2 tahun
setelah famoto atau berumur 17 tahun. Bila melebihi umur 17 atau 18 tahun, hal itu suatu aib 31
Jauh sebelum agama masuk famoto sudah merupakan budaya bagi orang Nias, karena itu
Famoto sangatlah penting dalam kehidupan seseorang. Tanpa famoto, harga diri seseorang bisa
terinjak-injak, sehebat apapun dan sekaya apapun dia, pribadi itu tidak akan dihargai.
101
pemuda akan diajari cara memegang pedang serta cara penggunaanya untuk
bekerja dan berperang. Bagi anak perempuan dilatih untuk menari.
f. Pelatihan pemakaian/penggunaan keris dan bagi perempuan pelatihan bertani,
beternak, mengelola dapur keluarga.
g. Fongambatȍ (berkeluarga/menikah). Fongambatȍ adalah tahap yang sangat
penting bagi seseorang dalam masyarakat (baca: tujuan pernikahan). Seseorang
baru bisa naik pada strata sosial berikutnya bila telah berkeluarga. Namun
sebelum terjadinya sebuah pernikahan, dua catatan yang perlu digaris bawahi
- Bagi keluarga kepala suku dan kepala-kepala adat, yang memiliki beberapa
budak (gadis), maka kepada anak laki-laki tersebut diberi masa pencobaan
perkawinan dengan mempersitri gadis-gadis budak (gadis-gadis ini sebagai
istri tidak sah) setelah famoto
- Seorang kesatria yang mampu membunuh musuh-musuhnya dan
memenggal kepala kesatria dari kampung yang bersengketa dengan
kampunya, maka kepadanya diberi istri sesuai dengan jumlah kepala yang
dipenggalnya. Pada tahap ini pengantin laki-laki tidak membayar
mahar/belis pernikahan bukanlah emas, uang dan babi.32
h. Tahȍ dȍdȍ. Beberapa hari setelah pernikahan, maka dilakukanlah upacara
besar sebagai ―pemuliaan‖ bagi pengantin perempuan yang disebut dengan
istilah tahȍ dȍdȍ. dengan pemotongan babi, makan bersama, pembagian
daging (baik yang telah dimasak maupun daging mentah) kepada para ibu-
ibu. Upacara ini dihadiri oleh para Tuhenȍri atau balugu, tua-tua adat, warga,
keluarga besar mertua (sitenga bȍ‘ȍ) dan semua keluarga besar), dan di akhir
32
A. gameni Harefa; bdk. Tuhoni Telaumbanua dan Uwe Hummel, 25
102
dari acara ini, ditambalkanlah nama kebesaran bagi perempuan atau pengantin
perempuan tersebut.
i. Famasindro banua. Stara 9 dan sepuluh, seseorang yang telah berkeluarga
dan melakukan upacara tahȍ dȍdȍ bagi istrinya, maka tahapan berikutnya
adalah upacara mendirikan pemerintahan adat sendiri yang beranggotakan
beberapa warga, sehingga dia menjadi kepala adat dari beberapa warga
tersebut.
j. Strata 11 dalam stara sosial angkat 11 tidak digunakan lagi dalam stratas
sosial menurut adat, konon dulu di saat Tuada Sirao melakukan pesta besar
(owasa sebua), maka pada pesta tersebut, dinyalakan obor sebanyak dua belas
(sesuai starta sosial), kemudian Tuhada Luo Mewȍna meniup kedua belas
obor tersebut, obor yang padam adalah obor kesebelas dimana Tuhada Luo
mewȍna berada pada posisi strata ke sebelas. Maka pada saat itu diputuskan
bahwa strata sebelas tidak digunakan untuk masyarakat secara umum, strata
tersebut hanya untuk Tuhada Luo Mewöna.
k. Strata 12 diperoleh dengan berbagai persyaratan yang diresmikan dengan
pelaksanaan pesta Famasindro gowe (batu besar sebagai lambang kebesaran),
dan pesta adat yang disyahkan oleh balugu/Tuhenȍri (kepala suku) dan ketua-
ketua yang tertua diantara balugu di dalam dan diluar wilayah banua, pada
pesta ini disertai pemberian nama kebesaran.
Strata sosial masyarakat Nias bisa dikelompokan dalam empat tahapan
a. Strata pertama sampai ketiga adalah tahap pertama (masa kecil); pada
masa ini orang tua berperan aktif melakukan beberapa ritual adat demi
kesehatan dan keselamatan anak
103
b. Strata 4 sampai enam adalah tahap ke dua (masa remaja); pada tahap ini
terjadi sosialisasi nilai-nilai (pendidikan). Sebelum pendidikan formal
diperkenalkan, maka proses pendidikan terhadap anak telah berlangsung
mulai dari masa famoto, folohe gari dan famasa niasa gari bagi laki-laki,
famofo ifȍ, latihan menari dan folohe balatu bagi anak perempuan. Laki-
laki dilatih untuk berperang (melindungi), berburu dan berkebun (untuk
bertahan hidup), bagi perempuan dilatih untuk seni menari, menggunakan
parang untuk berladang, bersawah untuk menjadi calon ibu dan solaya
ngai mbatȍ. Orang tua yang telah mendapatkan pendidikan yang baik dari
orang tuanya dan memiliki karakter yang baik akan menghasilkan generasi
yang bijak—pribadi yang memiliki kepribadian dan wawasan yang baik
(bisa diandalkan dalam segala hal).
c. Strata 7 adalah tahap transisi menuju pada tahap yang lebih menekankan
harga diri
d. Strata 8 sampai 12 adalah tahapan kedelapan (dewasa), pada tahap ini
pengembangan dan pembangunan harga diri menjadi prioritas utama.
Naiknya status seseorang dipengaruhi dua faktor; pertama adalah factor
keturunan dan kedua adalah factor ekonomi.
Proses Terjadinya Keluarga Melalui Pernikahan
Terbentuknya sebuah keluarga melalui pernikahan dengan proses adat yang
berbelit-belit dalam waktu yang cukup lama dan dengan anggaran (uang, emas,
babi) yang sangat banyak, selain itu, dalam proses ini akan semakin kelihatan
bagaimana kedudukan perempuan dalam sebuah keluarga. Berikut proses
104
terjadinya sebuah keluarga melalui sebuah pernikahan.33
1. Peminangan
- Famaigi Niha. Dahulu orangtualah yang berinisiatif untuk mencari siapa
pasangan anak laki-lakinya, karena itu orang tua selalu memperhatikan
anak gadis orang, kemudia melihat latar belakang keluarganya, ekonomi
dan strata sosialnya.
- Fame`e Li (pelamaran) dengan diawali oleh pengutusan seorang ibu-ibu
(disebut perantara, di Nias utara menyebutnya Si’o, di Nias Selatan
menyebutnya bȍrȍ li) yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga
laki-laki dan bijak, kepada salah seorang ibu yang memiliki hubungan
keluarga dengan perempuan yang akan dilamar, untuk menyampaikan
niat peminangan. Dalam pembicaraan ini kedua si’o tidak mengambil
keputusan—sekedar penyampaian niat peminangan, baru si’o dari pihak
perempuan menyampaikanya kepada orang tua perempuan. Bila ada
penerimaan pelamaran, maka selanjutnya yang berurusan adalah si’o
laki-laki (bapak-bapak yang memiliki hubungan keluarga dekat dengan
keluarga calon pengantin)di antara kedua belah pihak, baru kemudian si’o
tersebut membicarakanya kepada kelarga yang bersangkutan
2. Tunangan
- Fame,e laiduru silȍ oroma. Bila lamaraan diterima,maka tahapan berikut
adalah pemberian cincin terselubung, dikatakan terselubung karena acra
ini dilakukan bukanlah dirumah orang tua perempuan yang dilamar, tetapi
dirumah kerabat dekat (atau dirumah Si’o dari pihak perempuan), dan
33
. A. Melvina Gulȍ, 29 Juni 2017
105
acara yang dilakukan sangat sederhana. Kepada keluarga laki-laki calon
pengantin harus memberikan 1 cincin emas, Awȍ laiduru (pendamping
cincin) 10 keping koin uang kuo yang disebut rufia, uang sekhe-sekhe
laiduru (penyokong cincin) serta satu ekor babi 4 Alisi (40kg)
- Fame`e laiduru sebua. Pemberian cincin walaupun pada tahap ini tidak ada
lagi cincin yang perlu disandingkan di jari perempuan yang dilamar,
tetapi pada tahap ini, orang tua perempuan memberitahukan kepada Iwa
atau talifusȍ bahwa ada orang yang melamar anak gadis mereka.
Keluarga laki-laki harus memberikan 1 ekor babi 4 alisi dan hundra nomo
(biaya acara yang dilaksanakan).
- Fanunu manu jamatoro. Acara ini sebagai pemberitahuan bagi tetanggga,
saudara jauh bahwa ada peminangan terhadap anak gadis mereka.
- Fanunu manu sebua. Pemberitahuan bagi warga kampung, saudara-saudara
jauh (iwa, talifusȍ), keluarga besar saudara ibu perempuan yang disebut
uwu ma sitenga bȍ’ȍ, saat ini keluarga laki-laki harus memberikan 4 ekor
babi masing-masing 4-5 alisi serta biaya acara tersebut. Pada acara ini
ada sebuah penentuan hari pernikahan (walaupun penentuan tersebut
tidak harus ditepati) yang disebut Fazazi nono zalawa dengan membayar
sejumlah uang sebagai simbol perjanjian yang disebut Ana’a fazazita.
Nias Barat mengenal istilah Fame kȍla dengan jumlah babi 5 ekor babi 4
alisi (lima wa ȍfa), sekaligus membawa minyak kelapa34
- Fanofu li (hauga mbowȍ). Pihak keluarga laki-laki yang dipandu oleh si’o
datang kekeluarga pihak perempuan untuk menanyanyakan besaran
34
A. Melvina Gulȍ; A. Mesra harefa, A. ya‘ia Harefa
106
mahar yang harus mereka bayar, walaupun dalam penetapan besaran
mahar sangat tergantung dari strata sosial dalam adat. Saat datang
menanyakan besaran mahar pihak keluarga laki-laki molewe (membawa
nasi dan daging anak babi yang dioleh sesaai adat Nias yang dibungkus
dengan pelepah pinang berserta tuak. Tingkatan mahar masing-masing
strata; ( rumpun adat di Luzamanu –Kecamatan Lotu dan sekitanya)35
strata ke 7 masyarakat biasa 50 rigi (sejenis uang koin kuno) atau 500
firȍ36
(sejenis uang koin kuno), dua ekor babi 8 alisi (80kg) sebagai
babi adat (bawi walȍwa), beras secukupnya, 12-18 ekor babi 4-6 alisi
(40-60 kg)37
strata 8-9 (kepala adat) sebesar 80 ringgit 800 firo babi 2 ekor 8 alisi di
tambah beberapa ekor babi seperti yang di atas.38
Strata 10-12 dengan mahar 120 ringgit atau 200 firo di tambah 2 ekor
babi 12 alisi di tambah beras dan beberapa ekor babi seperti di atas39
Tingkatan mahar masing-masing strata; Rumpun adat Laraga—kecamatan
Gunungsitoli dan sekitarnya)
Kelas budak; 1 ekor babi 8 alisi, di tambah 1 sese (5 firȍ)
35
A. Ya‘ia Harefa; A. Efir Zendratȍ, 25 Juni, 2017 36
Bila dirupiahkan sekarang, 1 rigi bernilai Rp. 75.000 dan satu firȍ bernilai Rp.150.000, 1
zese sma dengan 5 firȍ 37
dengan uraian 1 ekor untuk acara Fame’e laiduru sitobini, 1 ekor untuk acara Fame`e
laiduru sebua, 1 ekor pada acara fanunu manu jamatoro, 1 ekor pada acara fanunu manu sebua, 1
ekor pada acara Fanofu li, 1 ekor pada acara saat pengantar jujujuran/mahar (Fanema Ana’a), 1
ekor untuk pemuliaan para ibu (sumange ndra ina), 1 ekor pada acara Fame’e ba Famotu (acara
penggembalaan pra Nikah dari ibu-ibu), 2 ekor untuk saudara ibu yang disebut uwu, hal ini satu
ekor yang dipotong dan satu ekor yang kasih dengan hidup-hidup). 1 ekor sumange failasa, satu
ekor saat famuli nukha
38 Bagi anak kepala adat, maka jumlah babi semakin bertambah, yang digunakan sebagai
pemuliaan bagi kepala-kepala adat yang lain. 39
Semakin banyak tamu yang dimuliakan, maka jumlah babi yang dibebankan kepada keluarga
pengantin laki-laki semakin banyak.
107
Strata 7 sara balaki (setara dengan 2 ekor babi 8 alisi atau 20 firȍ), 1
ekor babi 8 Alisi di tambah 1 sese
Strata 8 dua balaki di tambah 2 ekor babi 8 alisi di tambah dua sese
(10 Firȍ)
Strata 9 dan sepuluh, tiga balaki di tambah 3 ekor babi 8 Alisi ditambah
3 sese (15 firȍ)
Strata 12 seratus balaki, di tambah 100 ekor babi 8 alisi ditambah 100
zese40
Sejumlah uang koin kuno, babi yang terurai di atas diterima oleh orang tua, di
tambah lagi, bȍwȍ yang diterima oleh, uwu (saudara ibu dari pengantin
perempuan) awe/tua (nenek kakek) satu ekor babi sebesar 6 alisi, talifusȍ
(saudara perempuan yang telah menikah) masing-masing satu ekor babi 4
alisi, tana nama (om atau saudara ayah laki-laki masing-masing 1 ekor 4 alisi,
sifasambua tua (keluarga dari satu kakek), banua (yang satu kampung)41
- Femanga mbawi nisila hulu. Acara ini pengokohan kembali perjanjian
tentang pernikahan yang pernah dilakukan
- fangȍtȍ mbongi? Pembicaraan dan perencanaan hari pernikahan.
Penentuan hari pernikahan ini ada 3 tipe42
Bongi nono zalawa, artinya perjanjian yang dibuat oleh para kepala
adat dengan perhitungan kelender perbintangan. Perjanjian hari
pernikahan pada tipe ini masih bisa berubah.
Bongi dalifusȍ. Artinya penentuan hari pernikahan yang
40
Strata 11 dan dua belas sebenarnya tidak terdapat lagi dalam strata sosial manusia, karena
strata terssebut terdapat dalam mitos manusia pertama di Nias, dan hal itu tidak yaitu Tuada Luo
Mewȍna dan tuada Sirao 41
Bisa dibandingkan dengan budaya ȍsi ulu moro‘ȍ kabupaten Nias Barat; A. Melvina Gulȍ 42
A. Cipta Zebua; A. Gameni Harefa; Ama Mesra Harefa
108
direncanakan oleh keluarga besar dari kedua belah pihak. Hari
pernikahan dalam perjanjian ini juga masih bisa berubah
Bongi Nina yang sering juga disebut bongi adulo (hari telur). Disebut
bongi adulo karena, hari yang ditentukan oleh seorang ibu harus
ditepati, kalau meleset berarti ada yang tidak beres dan pernikahan
tersebut bisa saja dibatalkan. Untuk mendapatkan kepastian hari
pernikahan, keluarga laki-laki mengunjungi rumah keluarga
perempuan, dengan membawa kembali bȍwȍ (mahar yang telah
disepakati) 43
.
- Sebelum fame’e, orang tua calon pengantin perempuan mendatangi keluarga
besar uwu (saudara ibu) untuk memberitahukan bahwa ada acara
pernikahan, sekaligus membawa bȍwȍ, sinema nuwu)
3. Pra Pernikahan
- Folau bawi (membawa Babi yang telah ditentukan jumlahnya) dan
yang lebih penting disini adalah dua ekor babi besar yang disebut bawi
walȍwa (babi adat untuk pernikahan) sebesar 12-15 alisi (120-200kg setiap
satu ekor). Sebelum pihak keluarga pengantin laki-laki berangkat
membawa babi tersebut, terlebih dahulu ere melakukan ritual yakni
memberi makan babi dengan telur disertai dijampi-jampi agar babi ini
menjadi babi pernihakan yang membawa kebahagiaan.
- Fame’e: pada saat ini para ibu-ibu melakukan penggembalaan pra nikah—
menyampaikan arahan-arahan, anjuran dan pantangan dalam keluarga bagi
calon pengantin perempuan, dalam proses ini pengantin perempuan
43
A. Gameni harefa, Ina Mesra Harefa
109
diwajibkan menangis, sebagai makna duka bahwa dia tidak akan mungkin
mampu melakukan semua yang anjuran dan pantangan, sekaligus adanya
kesadaran bahwa besoknya akan berpisah dengan keluarga intinya menuju
pada keluarga asing (orang-orang yang tidak dikenal). Hal yang paling
penting ditekankan di sini adalah kedudukan perempuan sebagai istri;
Solaya Talinga Mbatȍ. Istri adalah pengelola dapur dan rumah tangga,
sebagai bendahara yang bijak dan mampu memenuhi gizi anggota
keluarga. Seorang istri bukan hanya mengelola pendapatan atau apa yang
dibawa oleh suami, tetapi harus bekerja keras juga agar dapurnya selalu
berasap tanpa ketergantungan dari suami.
Istri sebagai agen perdamaian dalam keluarga (lebih lengkap dan jelasnya,
baca: perempuan dalam keluarga)
4. Pesta Pernikahan. Pesta pernikahan dipimpin oleh kepala adat atau balugu,
dan dipenghujung acara, para penatua adat mengambil daun kelapa yang
masih putih, dan memotong-motongnya, kemuidian mensosialisasikan semua
tangungjawab, etika dan utang adat pengantin laki-laki dalam sebuah
keluarga, keluarga besar dan kampung, itulah sebabnya dalam penutup acara
ini, seorang kepala adat menyampaikan kalimat ―hȍnȍ mbȍwö no awai, ba
hȍnȍ mbȍwȍ so tosai (segala jalur adat telah dilalui dan diselesaikan, namun
segala urusan adat masih tersisa) artinya bahwa walau mahar telah diberikan
dengan penuh, namun seumur hidup menantu harus tunduk terhadap aturan
adat untuk mendukung mertua dalam setiap kegiatan dan acara keluarga
serta menghargai pihak mertua sebagai pemberi kehidupan bagi anak-
anaknya
110
Karena perempuan dianggap sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata,
maka saat perempuan menjadi pengantin, perempuan dianggap sebagai ratu
yang harus diagungkan, saat acara pesta pernikahan, maka pengantin
perempuan dipindahkan dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya dengan
digotong dalam sebuah kursi kebesaran dan dengan menggunakan baju
kebesaran (baju adat)—sebagai seorang ratu, perempuan dilarang
menginjakan kaki ke tanah dari rumah orang tuanya sampai rumah suaminya.
5. Pasca Pernikahan;
- Fame gȍ atau simȍi molohe mbaya-mbaya wakhe atau solo’ö tome sikoli.
Beberapa hari setelah pernikahan, maka ibu pengantin perempuan beserta
beberapa keluarga dekat menjenguk pengantin perempuan dengan
membawa lȍwȍ-löwö (nasi dan daging anak babi), pada acara ini keluarga
pengantin laki-laki menyambut ibu mertua beserta rombongan dengan
menghidangkan makanan besar berupa daging seekor babi 8 alisi. Begitu
juga untuk para ibu-ibu (istri-istri saudara ayah pengantin perempuan),
saudara pengantin perempuan yang telah menikah, saudara ayah pengantin
perempuan, dan setelah acara selesai maka bagi mereka siberi lagi babi
masing-masing satu ekor 8 alisi atau diuangkan dengan uang koin kuno 20
rufia (untuk ibu tidak boleh digantikan dengan uang koin—tetapi harus
dengan babi yang hidup). Kemudian untuk menghargai kepala adat yang
ikut, kepadanya diberi daging satu ekor babi, dan bagi peserta semua yang
ikut—daging masak dihidangkan ditalam besar dengan disimbolkan dalam
rahang babi.
- Famuli Nukha sebua ba femanga Gahe. Dua Minggu setelah pernikahan
111
maka pengantin baru beserta beberapa orang dari anggota keluarga dekat
datang kerumah mertua dengan membawa lȍwȍ lȍwȍ, satu ekor babi hidup
8 alisi dan sara zese dan di sana mereka dihidangkap kaki babi yang telah
diasap. Acara ini memiliki dua tujuan;
Pengembalian baju kebesaran pengantin perempuan berupa baju adat,
kemudian, kepadanya diberi kain dengan kain-kain (bakal) dalam
jumlah banyak
Besoknya sebelum pulang, mereka didatangi oleh keluarga besar mertua
dengan memberi mereka ayam dan atau anak babi sebagai modal untuk
hidup, namun bila suatu waktu ada acara di keluarga besar mertua—
iparnya menikah, atau mertuanya meninggal, maka pengantin baru ini
(yang disebut menantu) harus memberi sejumlah uang dan babi sebagai
pertanda dukungan—ini hukumnya wajib, tapi tidak dianggap sebagai
beban, tetapi kemuliaan atau wibawa dari menantu itu sendiri sehingga
dia merasa bangga akan pemberiannya.
Proses terbentuknya keluarga terumuskan dalam sebuah ―hada‖ (adat)
yang telah di rakȍ atau famatȍ harimao. Karena itu, hada tidak boleh dilanggar,
bila ada sebuah pelanggaran maka diberi sangsi adat, pengasingan dan kutukan
dari para nenek moyang.
Masing-masing ―ȍri‖ (rumpun beberapa kepala adat) memiliki perilaku
adat yang berbeda dengan ȍri yang lain—baik proses terbentuknya sebuah
keluarga, maupun dalam bȍwȍ yang dijalani, namun perbedaan ini tidak
mencolok karena berpedoman pada hasil fondrakȍ. Namun dalam penelitian ini
yang menjadi perhatian utama bukanlah proses pembentukan sebuah keluarga
112
baru dan bȍwȍ, tetapi kedudukan dan peranan perempuan dalam proses
pembentukan keluarga dan bȍwȍ tersebut.
Filosophi Bȍwȍ
Dalam bahasa Nias kata bȍwȍ mengandung tiga arti, tergantung konteks
penggunaan istilah tersebut. Makna pertama adalah budi baik, perilaku yang
sesuai dengan adat istiadat misalnya sȍskhi sibai mbȍwȍnia (perilakunya baik
sekali), lȍ sulȍ mbȍwȍ sisȍkhi sino matema (tidak ada balasan atas kebaikan hati
yang telah kami terima) obȍwȍ, (pemurah, murah hati), i`ila mbȍwȍ (tahu
tatakrama); kedua adalah bȍwȍ bisa diartikan sebagai sebuah pemberian karena
kasih sayang (pemberian orang tua kepada anak); ketiga adalah berhubungan
dengan mahar yang harus dibayarkan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak
kelurga perempuan—hal ini ada kaitanya dalam proses pembentukan keluarga
baru (pernikahan). bȍwȍ untuk pernikahan strandarnya telah ditentukan dalam
sebuah fondrakȍ, walaupun bȍwȍ tersebut dalam pelaksanaanya mengalami
kelenturan, kelenturan ini terjadi dalam negosiasi kedua belah pihak (tanpa
melibatkan calon pengantin)
Dilihat dari besaran bȍwȍ di atas (baca: Prose pembentukan Keluarga)
pada dasarnya bȍwȍ (mahar) hanya sekedar upacara pernikahan dengan
pengesahan-pengesahan yang disimbolkan dalam beberapa uang koin kuno (firȍ),
dan beberapa ekor babi. Simbol-simbol penghargaan tersebut dibayarkan oleh
keluarga pihak laki-laki sebagai sebuah pengorbanan yang harus dilakukan untuk
mendapatkan dan pemindahan seorang yang dimuliakan, dihargai, yaitu
perempuan. Bukti pemuliaan perempuan, terjadi saat pernikahan telah selesai,
113
maka pengantin perempuan digotong dalam sebuah kursi kebesaran dan pakaian
kebesaran adat sampai ke rumah pengantin laki-laki—pengantin prempuan
dianggap sebagai ratu. Bagian kedua adalah pada zaman dahulu, seorang suami
memiliki istri resmi dan istri dari budak. bȍwȍ adalah sebuah ―kebahagiaan‖ dan
pemuliaan bagi perempuan di mana perempuan yang menikah tersebut telah
menjalani prosesi pernikahan melalui pengorbanan suaminya. Hal itu
membedakan istri yang disebut beli gana’a tersebut dengan istri-istri dari budak
yang tidak menjalani prosesi dan ritual pernikahan serta tidak pernah di beri bȍwȍ,
bagi orang tuanya.44
Bila dilihat dari sejarahnya, bȍwȍ yang di bahas di atas sebenarnya
terjadi setelah orang-orang Aceh, orang Arab masuk di Nias melakukan
perdagangan, terutama pembelian budak-budak yang kemudian di jual dimana
mereka singgah berdagang, itulah sebabnya nama seorang istri dari budak
disebut real (mata uang arab). Penentuan besaran bȍwȍ dengan menggunakan
firȍ, terjadi setelah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) masuk
dikepulauan Nias, sehingga Nias mulai mengenal mata uang sebagai alat tukar,
dan hal ini juga digunakan dalam penentuan ―bȍwȍ‖ (mahar).
Sebelum Arab, Aceh dan Belanda masuk di Nias, sebuah cerita rakyat
yang sangat dipercaya oleh masyarakat Nias bahwa bȍwȍ yang harus dibayarkan
oleh pengantin laki-laki jauh lebih besar. Konon suatu waktu Tuada Ho
melakukan pesta besar dengan mengundang para tua-tua adat, kemudian dalam
pesta adat tersebut Inada Nandrua (Istri Ho) berpenampilan kurang layak (tiak
rapi dan kurang bersih), karena itu orang-orang dekat Ho menyampaikan
44
Pdt. F. S Gea, A. Gameni Harefa, A. Efir Zendratȍ
114
kekecewaanya atas penampilan Nadrua dan mendorong Ho untuk menikah
kembali. Pada suatu waktu Ho berjalan tanpa arah alu sampailah Ho di Nakhe
Lauru, terus menelusuri arus air dan tibalah dia ke sungai Idanoi, dan di situ dia
menemukan ada sekam terbawa arus, lalu dia berpikir bahwa dihulu sungai
Idanoi pasti ada perkampungan. Lalu dia menelusuri sungai tersebut dan tibalah
di kampong Delamaera, sekarang disebut Onowaembo. Sebelum tiba
diperkampungan, Ho melihat seorang perempuan berparas cantik, setelah tiba di
perkampungan, dia menuju rumah Tuada Daeli. Setibanya di rumah tersebut
baru di menyampaikan keinginanya untuk melamar seorang gadis (yang
dilihatnya dipermandian) dan Tuada Daeli bertanya gerangan yang mau
dipasangkan dengan perempuan tersebut, lalu Tuada Ho menjawab bahwa dialah
yang akan meminang permpuan tersebut. dengan penolakan yang halus, tuada
daeli menyatakan persetujuan dengan persyaratan bȍwȍ yang harus di bahwa
adalah emas seberat badan anak gadisnya. Tuada Ho tidak keberatan, lalu pamit
dan berjanji akan kembali, beberapa hari kemudian Ho kembali bersama dengan
pelayanya yang memikul emas melebihi berat badan adak gadis tuada Daeli,
pernikahanpun dilangsungkan. Mulai saat itu, bȍwȍ menjadi budaya bagi
masyarakat Nias sebagai bagian penghargaan dan pemuliaan bagi perempuan
Nias.45
Dalam perkembangan akibat pergeseran budaya, maka bȍwȍ tidak
dipandang lagi sebagai pengorbanan, tetapi sebagai beban dan transaksional
ekonomi, dalam penentuan bȍwȍ sebuah pernikahan, tidak hanya ditentukan oleh
strata sosial (adat), tetapi berdasarkan strata sosial ekonomi, dan pendidikan, dan
45
A. Tinus harefa, A. Mesra Harefa. Pdt. F. S. Gea.
115
pekerjaan calon pengantin. bȍwȍ tidak dihitung lagi dengan uang koin kuno,
tetapi dengan uang, emas dan babi, sehingga jumlah bȍwȍ yang harus dibayarkan
dalam pernikahan sekarang ini kurang lebih seratus juta.
Laki-laki dalam tradisi dan Keluarga Nias.
Sebelum membahas Perempuan dalam keluarga, terlebih dahulu kita
membahas laki-laki dan anak dalam keluarga secara singkat. Laki-laki yang telah
berkeluarga sangat dituntut keterlibatannya dalam lingkungan sosial. Keterlibatan
bukan yang dimaksud adalah keaktifan dalam memecahkan permasalahan sosial
dan budaya. Setiap saat para laki laki yang terdiri dari tuhenöri, satua
mbanua,si’ulu, balö ji’ulu, si’ila (Nias Selatan), para tokoh yang lain berkumpul
bersama membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan ―adat‖ desa yang
dihubungkan dengan tata cara hidup/etika, status, pernikahan, kematian,
pemberian nama, atau konflik antar desa (Nias selatan menyebutnya horö
mbanua), sengketa tanah atau segala sesuatu yang berhubungan kehidupan
bermasyarakat.
Laki-laki yang kemudian disebut ayah (Ama) sebagai kepala rumah tangga
(hȍgȍ wongambatȍ) berperan sebagai perencana masa depan anak dan atau
keluarga, pemberi keputusan, pelindung istri dan anak anaknya, melakukan
pekerjaan yang berat, berperan aktif mencari dan memenuhi kebutuhan keluarga46
.
Selain itu, seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diidentikkan
sebagai raja dalam keluarga, maka segala sesuatu yang dia putuskan menjadi
46
Idealnya dalam tradisi Nias laki-laki adalah tulang punggung keluarga, dialah yang harus
bertanggungjawab mencari dan mencukupkan kebutuhan keluarga bertanggungjawab melakukan
pekerjaan-pekerjaan berat, namun kenyataanya sebagian bapak-bapak menjadi bayi-bayi besar
yang harus dipelihara, diberi kebutuhan oleh istrinya. Istri membawa kapak menebang kayu di
ladang, bahkan ada yang memanjat kelapa, istri ikat pingganya kuat-kuat untuk menyadap karet,
kerja diproyek demi sesuap nasi untuk anak-anak dan suaminya, bayar utang nikah, suami sibuk
―orahu‖ di warung-warung sambil minum tuak.
116
hukum yang tidak boleh dilanggar atau didaulat oleh anak dan isterinya.
Keputusannya adalah hukum yang harus dilaksanakan, baik semasa dia hidup
maupun setelah meninggal.
Setelah kematian, seorang ayah dalam sebuah keluarga dikultuskan dan
dianggap sebagai tuhan (menghormati bahkan memujanya sebagai roh nenek
moyang—maka anak-anaknya membuatkan patung baginya yang disebut adu
jatua), karena itu setiap acara (menanam, panen, pernikahan, dll.) dalam
masyarakat Nias selalu melakukan ritus-ritus dan berdoa meminta bimbingan dan
izin sang ayah.
Anak Dalam Keluarga Masyarakat Nias
Ada ungkapan dalam bahasa Nias mengatakan ― Do hörö gana’a ba do
dödö Nono (leterlek ―darah mata emas dan darah hati adalah anak) artinya emas
dan harta adalah suatu yang indah dan menyenangkan sekaligus dengan memiliki
harta dan emas yang banyak akan mengankat strata sebuah keluarga di mata
masyarakat. Meraih harta dan emas perlu perjuangan dan kerja keras. Sementara
anak adalah buah hati yang didambakan kehadiranya dalam sebuah keluarga,
karena itu bila sebuah keluarga baru belum kunjung memiliki momongan, maka
keluarga itu melakukan berbagai ritus;
1. Menemui si’o/telangkai47
(perantara yang mempersatukan dua keluarga—
keluarga pihak perempuan dan pihak laki-laki sehingga terjadi suatu
pernikahan), dengan membawa löwö-löwö (anak babi yang disembelih sesuai
dengan adat Nias) serta membawa firö (sejenis mata uang logam Belanda
jaman dulu) yang bisa diganti dengan uang ratusan ribu. Kemudian si’o berdoa
47
Sirait Laoli Rostina R., dkk, Adat dan Upacara Pernikahan Daerah Nias, Depdikbud Prov
Sumatra Utara, 1984/1985, Hal. 43
117
agar keluarga baru tersebut diberkati Tuhan yang ditandai dengan kehadiran
buah hati (seorang anak).
2. Menemui paman isteri (saudara ibu isteri—dengan ritus yang sama)
3. Menemui orang tua isteri (dengan ritus yang sama)
Jika ritus tersebut telah dilakukan dan ternyata belum juga mendapatkan
momongan, maka akan menjadi gunjingan dalam suatu masyarakat bahwa isteri
seseorang itu mandul. Dengan demikian maka suami berhak menikah kembali,
demi mendapatkan keturunan yang berfungsi sebagai pwearis baginya. Tetapi
jika seorang isteri hamil maka, keluarga melakukan ritus lanjutan, yaitu menemui
orangtua perempuan (isteri) untuk memberitahukan bahwa keluarga baru itu akan
mendapatkan momongan (isteri telah hamil) yang disebut dengan istilah
faruwusi48
.
Jika keluarga baru telah melakukan beberapa ritus tetapi istri belum
menunjukan tanda-tanda hamil, atau telah memiliki beberapa anak perempuan—
belum ada anak laki-laki, maka dalam tradisi Nias Kuno, suami bisa menikah,
namun setelah Kekritenan menjadi Agama suku‖ Nias hidup berpoligami di
larang keras. Untuk mendapatkan anak (pewaris) cukup mengadaopsi anak49
dari
saudaranya.
Ritus adopsi anakpun harus dilalui oleh pasangan suami istri yang
mengadopsi seorang anak bagi mereka. Keluarga kecil ini harus memenuhi
persyaratan-persyaratan adat misalnya menjamu makan semua masyarakat dan
48
Mendrofa Sw, Tingkatan Dan Proses Hukum Tradisional Ononiha, Sejak Manusia Itu Lahir
Sampai Menikah—Berumah Tangga, Gunungsitoli, 1992, hal 2-3 49
Ada sebua kepercayaan bagi masyarakat Nias bahwa mengadopsi anak bertujuan untuk
―memanggil anak‖ mereka yang masih berada di dunia lain, bila proses ini dilakukuan maka
beberapa bulan kemudian perempuan (istri) akan hamil. Dan anak yang diangkat tetap diakui
sebagai anak kandung.
118
keluarga anak yang diadopsi, orang tua, saudara pihak bapak dan ibu dan penetua
adat, juga dengan membayar dengan emas sebesar 3 fanulo (30 gram emas) untuk
diberikan kepada penetua adat dan pihak paman (saudara laki-laki dari ibu
sianak)50
dan sembilan fanulo untuk membayar air susu ibu kandung anak yang
diadopsi. Jika ternyata, keluarga kecil ini belum diberkahi anak kandung, maka
suami tetap menerima kenyataan ini, mereka tetap menganggap anak adopsi
sebagai anak kandung, sebagai pewaris keluarga.
Perempuan Dalam Keluarga
A. Perempuan Sebagai Anak dalam keluarga
Ada beberapa hal yang menarik dengan kedudukan perempuan bagi
masyarakat Nias (baik dalam keluarga atau dalam lingkungan sosial). Di satu
sisi, perempuan sebagai ibu, karena itu dia harus dan selalu dihargai,
dimuliakan dan menjadi cerminan dan penentu masa depan anak-anak. Di sisi
lain, perempuan diposisikan sebagai kelas subordinat sehingga bisa
dikategorikan sebagai subaltern dalam bahasa poskolonial feminism. Berikut
akan diuraikan filosophi kedudukan perempuan dalam masyarakat Nias yang
di dalamnya penulis mengajak pembaca untuk melihat realita perempuan
dalam keluarga dan masyarakat Nias.
Bila seseorang lahir, maka masing masing (baik laki-laki maupun
perempuan) berada dalam suatu konstruksi sosial dan harapan-harapan
keluarga bagi seseorang tersebut. Seorang anak laki-laki yang baru lahir
desebut sebagai fangali mbrȍrȍ jisi, fangali mbu’u kawongo (sebagai gerenasi
penerus dan pewaris dan pelindung bagi keluarga), sementara jika seorang
50
http://Library.usu.ac.id/download/fh-mariati
119
anak perempuan yang lahir, maka kepadanya diberi harapan sebagai ana’a
jatua (emas dan harta bagi orang tua), berhubungan dengan `Ana‘a atua, maka
perempuan itu sebagai samatȍla banua, famakhai jitenga bȍ`ȍ (penghubung
desa dan atau keluarga, media pemersatu dengan keluarga yang lain)—melalui
pernikahan51
.
Berhubungan dengan hal tersebut, maka disaat orang tuanya melakukan
ritus fangai bowoa, maka (Nias utara) orang tua menyerahkan ȍmȍ nono
(utang adat anak kepada kakek-nenek dan paman-pamanya) bila anak laki-laki
dibayar penuh, dan bila anak perempuan dibayar setengah, karena yang
setengahnya atau bahkan jauh lebih besar adalah saat anak itu besar dan
dinikahi—di saat orang tua datang famanȍrȍ ono dan kepada anak diberi
periuk yang berisikan beras, telur yang kemudian ditutup dengan daun pisang
(baca. Proses terbentuknya keluarga dan strata sosial). Di Nias Selatan, bagi
anak laki-laki akan di beri pedang dan tombak, sebagai simbol bahwa anak itu
kelak sebagai pemburu, penacari nafkah dan pelindung bagi keluarga,
sementara agi anak perempuan diberi periuk sebagai simbol bahwa anak itu
kelak wilayah domisilinya sebatas dapur.
Saat anak-anak semakin besar, anak laki-laki diberi kebebasan untuk main
di luar bersama teman-temannya dan setelah agama Kristen masuk di Nias,
pendidikan mulai disosialisasikan, maka anak laki-laki selalu di dorong untuk
mengejar pengetahuan dan sekolah setinggi-tingginya.
Anak perempuan dibatasi ruang geraknya untuk bermain (dilarang keluar
jauh dari rumah), tidak di dorong masuk sekolah, tetapi bersama dengan
51
A. Cipta Zebua, A. Mesra Harefa
120
ibunya mengurusi urusan dapur, bertani, berkebun dan memelihara binatang
piaraan ayahnya (beberpa ekor babi di kandang) agar perekonomian ayahnya
semakin membaik dan mempengaruhi strata sosial keluarga tersebut—anak
perempuan sebagai pekerja keras tanpa bayaran dalam rumah tangga. Sejak
kecil sampai besar anak perempuan sangat di jaga dengan tujuan agar harta itu
jangan sampai tercemar dan hilang ―dicuri orang.‖ 52
Dalam tahap ini, anak
perempuan bisa dikatakan sebagai pribadi titipan, karena saat dia menikah,
perempuan tersebut pergi dari rumah orang tuanya tanpa membawa harta
warisan dari orang tua. Seorang nenek menceritakan pengalamanya semasa
kecil;
―waktu kecil (sejak umur 8 tahun) kami (anak-anak perempuan) diwajibkan untuk
membantu pekerjaan rumah dan diberi tugas khusus untuk mengambil makanan
babi, saudara kami laki-laki dipaksa untuk sekolah, jika malas pergi ke sekolah
maka ayak saya memukul saudara-saudara kami laki-laki, tetapi anak-anak
perempuan dipaksa bekerja di lading dan di sawah. Setelah umur saya 13 tahun
saya di lamar—saya tidak mengerti apa-apa) saya sedang asik bermain di
halaman, beberapa bulan demikian orang tua mengatakan bahwa saya akan
menikah. Saya mengiakan saja, karena tidak mengerti apa itu pernikahan, saat
hari pernikahan saya dipaksa berperilaku layaknya pengantin, namun setelah
sampai dirumah suami, saya tukar baju dan pergi kerumah orang tua saya lagi,
bapak saya marah-marah, tetapi mama menenangkan bapak dan memanggil saya
dan memberitahukan semua apa yang harus saya lakukan. Beberapa tahun
kemudian, saudara laki-laki saya menikah, orang tua memanggil kami (saya
bersama suami) dan memberitahukan utang bȍwȍ yang harus kami berikan.
Suami saya menurut saja karena seperti itulah tradisinya‖ (IH)
Cerita tersebut menggambarkan perilaku orang tua terhadap anak-anaknya
dalam tradisi Nias. Setelah sampai pada strata lima dan enam (baca: strata
sosial), seorang anak perempuan akan dipinang/dilamar. Dalam proses
peminangan, anak perempuan tidak mengetahui bahwa dirinya sedang atau
ingin di lamar, kalau pelamar berasal dari desa tetangga, maka perempuan ini
52
Mendrofa Sw, Tingkatan Dan Proses Hukum Tradisional Ononiha, Sejak Manusia Itu Lahir
Sampai Menikah—Berumah Tangga, (Gunungsitoli, 1992), 2-3
121
tidak mengetahui (fisik dan karakter) laki-laki yang dijodohkan kepada-nya,
walaupun kemudian akan diberitahu bahwa ada yang melamar, bukan dalam
arti meminta persetujuan-nya—hanya sekedar informasi, dan di saat para si’ȍ
dan laki-laki yang meminang datang kerumah, perempuan ini tidak boleh ke
ruang tamu, melainkan mengunci diri di kamar atau bekerja di dapur. selain
itu perempuan yang dilamar tidak berhak mengetahui bȍwȍ (mahar)
pernikahan, besaran bȍwȍ akan di ketahui kelak di saat sudah diperistri dan
mertuanya memberitahukan semua utang (bawi, emas, uang) kepada orang—
sebelum pernikahan, keluarga laki-laki meminjam uang, emas dan babi
dengan kerabat, karena itu dia harus bekerja keras untuk membayar utang-
utang tersebut.
Hampir semua narasumber melihat sisi positip ruang gerak anak
perempuan sangat dibatasi, pertama adanya anggapan bahwa perempuan
sangat rentan dengan kekerasan dari luar rumah. Walaupun tidak bisa
dipungkiri bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berasal dari luar
rumah, tetapi juga dari dalam rumah—dari orang-orang yang dikenal. Hasil
penelitian yang pernah dilakukan oleh PKPA dengan metode kuantitatif pada
tahun 2007 menunjukan data bahwa 12,6 % anak remaja mengalami
kekerasan fisik dari orang tua.
Beberapa data dari kepolisian menginformasikan bahwa rentanya
perempuan terhadap kekerasan di luar rumah;
- Data yang diambil dari polsek Sirombu (Kabupaten Nias Barat)
mencatat ada enam kasus, yang terdiri dari 1 kasus pelecehan seksual,
122
dua kasus penganiayaan, satu kasus pembunuhan, pencurian dan
penhinaan masing-masing satu kasus
- Data yang diambil dari polsek Tuhemberua (kabupaten Nias Utara)
mencatat ada 11 kasus; masing-masing pencabulan, penganiayaan,
pelecehan dan pengancaman
- Data yang diambil dari Polres Nias mencatat ada empat kasus
pemerkosaan, 2 kasus pelecehan/ cabul pada tahun 2007, pada tahun
2006 terdapat lima kaus pemekosaan dan pelecehan seksual sebanyak
lima kasus
Selain dari lembaga kepolisian, data yang didapat dari lembaga
swadaya masyarakat (LSM)—lembaga-lembaga ini berkiprah khusus
perlindungan dan pendampingan hukum terhadap perempuan dan anak,
sehingga masyarakat yang mengetahui keberadaan LSM ini lebih memilih
mendatangi dan meminta perlindungan-pendampingan hukum ketimbang
langsung ke kantor polisi.
Table 4: data kekerasan terhadap perempuan dari berbagai lembaga53
Nama
Lembaga
Kasus 2007 2006
PKPA Nias Pemerkosaan 9 kasus
Pelecehan
seksual
1 kasus
Pusaka
Indonesia
Pemerkosaan 1 kasus 2 kasus
Pelecehan
seksual
1 kasus 2 kasus
Dilacurkan 2 kasus -
Pesada Pemerkosaan 1 kasus -
Pelecehan
seksual
- -
53
Tim Peneliti PKPA, Perempuan Nias Merajut Mimpi, ( Medan, PKPA:2008), 36-37
123
Data yang ditemukan di lapangan, seorang pemudi menceritakan
pengalamanya, dua tahun sepeninggal almarhum ibunya, ayahnya memanggilnya.
― suatu malam saya dipangil ayah memberitahukan kepada saya kalau ayah punya
niat untuk pergi merantau, karena itu, dia menitipkan adek-adek ke saya, baru
saya menangis, dan bertanya kepada ayah bagaimana saya menghidupi adek-
adek…malam itu tidak ada penyelesaian, ayah keluar rumah dan kami anak-anak
tidur di kamar. Dua hari berikutnya ayah memanggil saya kembali dan
mengulangi pernyataanya karena sudah tidak tahan di rumah, karena ibunya
sudah tidak ada, karena itu jika DN melarang ayah pergi, maka DN harus
melayani Ayah sebagaimana ibumu dulu—sebagaimana suami istri. Saya marah
dan pergi dari hadapa ayah, satu minggu berikutnya ayah kembali meminta
pendapat saya, baru selang satu bulan, hampir setiap hari ayah bilang mau pulang,
dank arena saya khuatir dengan adik, adik, akhirnya saya melayani ayah sebagai
suami istri, beberapa bulan berselang saya mulai hamin, dan saya berusaha
menutupi hal itu, tetapi lama-kelamaan perut saya tidak bisa ditutupi lagi,
akhirnya dengan desakan keluarga,, aparat desa dan bantuan LSM kasus saya
dilaporkan dikepolisian, ayah dipencara dan saya melahirkan, anak tersebut cacat
kemudian meninggal. Sekarang kami ditampung oleh salah satu panti asuhan di
luar Nias‖
Cerita ini mau mengisahkan begitu rentannya perempuan terhadap
kekerasan. Kekerasan bisa saja datang dari berbagai pihak, kapan dan di mana
saja. Seorang ibu (CS) menceritakan rasa pedih kematian anak perempuanya.
―Masih terngiang diingatan saya bagaimana anak saya mampir pergi sekolah,
pagi-paginya dia berangkat dengan menggunakan baju kerja karena mau
menderes karet, selesai dari situ langsung ganti baju dan siangnya pergi sekolah.
Tetapi sorenya KN tidak pulang-pulang, malam hari kami mulai gelisah, tetapi
anak kami belum pulang-pulang. Tengah malam semua orang desa ikut mencari
KN, tetapi tidak bertemu. Siangnya pencarian masih saja berlanjut, baik di desa
maupun dirumah-rumah temannya, serta menelefon saudara-saudara yang di
Sibolga atau Medan—dengan anggapan siapa tahu KN melarikan diri dengan
laki-laki. Dua hari berselang, kami hampir pasrah, kami menemukan mayat KN
di bawah jempatan dengan tali-tali yang melilit tubuhnya. Kami sangat
kehilangan KN diperkosa dan dibunuh‖
Dua cerita tersebut hanya segelintir kekerasan terhadap perempuan,
kekerasan-demi kekerasan terhadap perempuan masih lebih banyak lagi yang
124
tidak terungkap terutama kekerasan fisik dan psikis terhadap anak dalam sebuah
keluarga.
B. Perempuan sebagai Anak Tunggal dalam Sebuah Keluarga.
Kehadiran sorang anak dalam sebuah keluarga adalah sebuah sukacita
yang sangat besar. Namun jika dikemudian hari keluarga hanya memiliki
seorang atau lebih anak perempuan, maka keluarga (ayah dan ibu) tidak merasa
nyaman dan kurang bahagia.
Dalam tradisi (budaya) orang Nias anak perempuan tidak berhak
mewarisi harta warisan orang tuanya. Jika kelak orang tua (ayah) meninggal
dunia, maka semua harta warisan akan dikelola dan menjadi milik saudara laki-
laki ayah atau keponakan ayah (anak saudara laki-laki dari ayah).
C. Perempuan sebagai anak angkat dalam sebuah Keluarga
Bila sebuah keluarga tidak memiliki anak, maka pasangan suami istri bisa
mengangkat seorang anak. Jika anak yang diangkat adalah seorang anak
perempuan, kedudukanya sama seperti seorang anak kandung perempuan pada
umumnya, dia akan diperlakukan sebagai seorang perempuan (tidk mendapat
harta warisan dan tidak berhak mewarisi marga dan tradisi keluarganya.
D. Perempuan Sebagai Isteri
Kutipan syair dalam tarian tradisonal masyarakat Nias yang disebut
maena, menuturkan, ―habȍrȍ wa’atabȍ mbawimi, habȍrȍ wa’ebua gana’ami,
mihalȍ niha ba dalu ndrȍfi, lȍ mibalai ginȍtȍ wamasi” (Karena tambunya
babi, karena besarnya emas, kalian mekukan pernikahan dimusim paceklik,
tidak sabar menunggu musim panen). Terbentuknya sebuah keluarga terjadi
125
karena uang, emas dan babi, filosophi awal bȍwȍ sebagai kemulaian,
kebanggaan dan pengorbanan keluarga besar pengantin laki-laki bergeser
menjadi sebuah transaksi ekonomi. Filosophi Tujuan terbentuknya sebuah
keluarga tidak hanya pada reproduksi, membangun peresekutuan dengan desa
dan keluarga lain, perdamaian, politis, tetapi juga bertujuan pengembangan
ekonomi kelurga besar perempuan, itulah sebabnya jika anak perempuan yang
lahir, disebut ana’a zatua. Karena pernikahan hampir hampir menjadi
transaksi jual beli (ekonomi) 54
. Sesampainya pengantin perempuan dirumah
pengantin laki-laki kepadanya diberi nama: 55
Böli gana’ö (pribadi/manusia yang ditukarkan dengan emas), sehingga
isteri dalam sebuah keluarga dianggap sebagai harta, karena itu suami bisa
memperlakukan isterinya dengan sesuka hati, karena dia hanyalah harta.
Perlakuan kasar suami terhadap istri, pada umumnya terjadi atas profokasi
dari ibu mertua dan lakha mbȍli gana`a (saudari suami), ibu mertua
menjadi pengendali penuh sebuah keluarga, dan menjadikan menantunya
sebagai pembantu atau budak, karena dia adalah bȍli gana`a. Ibu mertua
memaksa menantunya kerja dari subuh sampai malam untuk mendapatkan
hasil pertanian yang lebih banyak, beternak babi lebih banyak untuk
memabayar utang, sekaligus untuk mengangkat stara sosial mereka.
Kekerasan dalam keluarga tidak hanya terjadi dengan kata-kata, tetapi
kekersan fisik yang dilakukan oleh suami, ibu mertua, bahkan lakha mbȍli
gana`a. Jika utang telah dilunasi, uang dan emas semakin banyak, maka
mereka bisa melekukan pesta besar (mangowasa) untuk memperoleh nama
54
Bdk. Nurulantropologi.blogspot.co.id diakses pada 20 September 2016. 55
Sirait Laoli Rostina R., dkk, Adat dan Upacara Pernikahan Daerah Nias, Depdikbud Prov
Sumatra Utara, 1984/1985, Hal. 43
126
satua hada atau balugu. 56
perempuan baru bisa menjadi solaya talinga
mbatȍ (pengendali dapur atau perekonomian keluarga) secara penuh di
saat ibu mertuanya telah meninggal (hal ini hanya berlaku bagi menantu
anak sulung), atau disaat anak-anak sudah mulai besar, utang pernikahan
sudah terlunasi semua dan pisah rumah dari orang tua. Seorang ibu
menceritakan bagaimana pengalamanya setelah menikah.
― Beberapa minggu, bulan dan tahun setelah menikah saya bagaikan
seorang budak dalam keluarga. Budak dalam mengerjakan segala sesuatu
walaupun saya tidak mampu mengejakannya. Budak seksual suami. kami
memiliki sawah (kurang lebih 25 km dari rumah) subuh sekali (setengah
4) sudah bangun, mengurus ternak dan memasak, jam lima dengan
membawa obor berangkat ke sawah, kadang bersama suami dan kadang
dengan ibu mertua. Sautu kali saya bilang suami supaya kami tidak
pulang pergi dari rumah kesawah setiap hari, apa lagi disaat mewo (
menjaga hama burung yang selalu memakan), maka suami
menyetujuinya, menjelang malam kami istreahat dan makan, kemudian
suami pergi meninggalkan saya sendiri semalaman ditengah persawahan
yang luas, suami pergi ke kampong berjudi. Say kami dirumah para
lakha dan ibu mertua memukili saya dengan kayu tanpa alas an yang
jelas. Seteah anak-anak saya lahir, pakaian mereka compang-camping,
kadang ibu saya sendiri yang membelikan kain bakal dan dijahitnya utuk
anak-anak saya. Bekal padi begitu banyak, uang ada, tetapi ibu mertua
saya sangat pelit, yang dipikirkan hanya untuk kemuliaan dan strata
sosial saja‖ (Ina G)
Niowalu (isteri seorang laki-laki), seorang isteri betugas melayani
suaminya dalam segala hal. Seorang isteri dituntut menjadi pendamping
hidup bagi suaminya dalam mencari kebutuhan setiap hari—bahkan
sebagian keluarga menjadikan isteri menjadi tonggak utama dalam
mencari nafkah, beternak dan berkebun/berladang, sebagai tukang cuci
dan tukang masak bagi suaminya. Jika istri tidak bisa memasak dengan
baik maka dia bukanlah isteri yang baik dan sempurna, karena itu
selayaknya dia diusir dari rumah dengan memanggil semua orang desa dan
56
Ina Gamita, 2 Mei 2017; I. Edwin Telaumbanua
127
memberitahukan kejelekan atau kelemahan isterinya dan memotong seekor
babi yang besar, kemudian perempuan itu diusir dari rumah suaminya.
Atau jika memulangkan perempuan dirumah keluarganya, maka suami
berhak untuk menikah kembali. Seorang pengantin baru menceritakan
bagaimana dia dipukul oleh suami atas hasutan ibu mertua;
―beberapa hari setelah pernikahan, saya mulai memasak, walaupun saya
belum pintar memasak, saya melihat dari raut wajah ibu mertua dan ipar-
ipar saya saat makan, kelihatanya mereka tidak menikmatani makananya.
Beberapa hari berselang, maka ibu mertua saya mungkin sudah tidak
tahan dengan masakan saya, dan marah-marah, kemudian saya galau dan
menangis, menutup diri di kamar. Sorenya suami saya pulang kerja, dan
ibu mertua melanjutkan amarahnya melihat hal tersebut suami saya
marah dan masuk kamar, lalu saya di tarik, dijambak, ditendang, saya
merasa pergelangan saya kesemutan dan rupanya tangan saya patah, saya
ditendang seperti seorang musuh atau pencuri, beberapa tulang rusuk
saya patah dan akhirnya dengan sisa tenaga melarikan diri dan saya
diantar di LSM dan dengan bantun LSM saya dibawa berobat dan
didampingi secara hukum‖ (ibu ZN)
Bene’ö. perempuan diidentikan sebagai sebatang pohon yang harus
berbunga dan berbuah, artinya seorang istri dituntut untuk melahirkan
anak (laki-laki sebagai pewaris dan perempuan sebagai harta) bagi seorang
suami, jikalau seorang isteri tidak memiliki seorang anak, maka
perempuan itu dianggap tidak sempurna dan tidak layak dipanggil sebagai
ibu, karena itu perempuan yang tidak sempurna itu layak dimadu atau
diusir dari rumah suaminya. Nias tradisonal mengijinkan seseorang untuk
berpoligami, demi mendapatkan anak laki-laki. Berikut cerita salah
seorang ibu yang tidak memilki anak;
― suatu hari suami, minta saya mengizinkanya menikah kembali karena saya
tidak bisa memberinya anak. atas desakan keluarga besarnya, dan perlakukan
kasar baik dari suami atau dari ibu mertua, maka akhirnya saya
mengizinkanya menikah kembali dengan menggunakan semua harta benda
hasil jerih payah saya selama ini‖ (Ina UZ)
128
Jika suami seorang yang baik hati (tidak terpengaruh dengan hasutan
orang tua dan keluarga besar), maka jika suatu waktu suami meninggal,
maka status istri sebagai janda dan tidak memilik hak dalam keluarga
tersebut (termasuk mewarisi harta benda), dan atau jika keluarga kecil
tersebut memilki satu atau beberapa anak perempuan, maka anak-anak
perempuanya tidak berhak mewarisi harta benda dari orang tuanya—yang
berhak adalah saudara sepupu laki-laki. Seorang ibu menceritakan
bagaimana pedihnya menerima kenyataan bahwa dia tidak memiliki anak
Dari tiga nama tersebut di atas, maka perempuan yang telah menjadi istri
akan mengalami berbagai bentuk ketidak adilan;
1. Ada istilah tebai saita zimbi zigelo. Maknanya, seorang perempuan baik
dilingkungan masyarakat atau dalam keluarga tidak boleh memimpin,
bahkan tidak memiliki hak suara dan atau tidak bisa mengambil keputusan,
karena perempuan itu ha ni’ȍli tȍla hȍgȍ (sesesorang yang dibeli dengan
uang, emas dan babi).
2. Bila ada cara dirumah orang tuanya, keluaga ini dipanggil sebagai ono
alawe (anak perempuan yang telah menikah), namun memiliki
tanggungjawab sebagai pekerja di dapur, bila acar tersebut adalah sebuah
acara pernikahan (saudara yang menikah), atau orang tua meninggal, maka
keluarga ono alawe ini harus membayar (babi dan uang) sebagai dukungan
dan penghargaan atau pemuliaan dirinya sendiri sebaga ono alawe, di sisi
lain, dalam acara ini ono alawe tidak memilki hak suara, karena dia
hanyalah ono alawe
129
3. Perempuan sebagai istri akan dan selalu mengalami kekerasan fisik dan
non fisik, baik dari suami maupun ibu mertua. Jarang sekali terjadi
hubungan yang baik antara menantu dengan ibu mertua (perilaku akur ini
hanya terjadi pada keluarga yang memilki starat sosial yang lebih tinggi).
Sebuah data lembaga swadaya masyarakat yang membantu pelayanan dan
perlindungan hukum terhadap perempuan yang mengalami kekerasan
dalam rumah tangga pada tahun 2015-2017
Tabel 5: Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga pada tahun
2015-2017
No Jenis
Kekerasan
Jumlah Keterangan
1 seksual 4 terjadinya kekerasan seksual dalam rumah
tangga
2 Fisik 7 Terjadi berbagai pemukulan, sampai
tingkat patah tulang
3 Ekonomi 5 Pemiskinan perempuan dalam keluarga
dengan pembatasan kebutuhan
4 Psikis 3 Berbagai penghinaan dan tekanan mental Data telah di oleh dari data base Pesada
Data ini hanya sebagian kecil dari berbagai bentuk kekerasan dalam rumah
tangga—sebagian besarnya tidak berani melaporkan, karena menjaga
nama dan identitas keluarga dengan alasan bahwa masalah pasti akan
berlalu, sementara nama dan identitas keluarga selalu dibawa seumur
hidup.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh PKPA dengan metode
kuantitatif pada tahun 2007 menunjukan data bahwa 12,6 % anak remaja
mengalami kekerasan fisik dari orang tua, perempuan sebagai Istri
mengalami kekerasan fisi 8,3 %, suami dan mertua 15,1, data ini
130
menunjukan bahwa di dalam keluarga suami melakukan kekerasan
terhadap istrinya lebih banyak dipengaruhi oleh ibu laki-laki (ibu mertua)57
Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh PKPA Nias,
menjelaskan bahwa dari sekian angket yang disebar, maka 51, 4 %
mengaku mengalami kekerasan secara verbal , baik posisi perempuan
sebagai anak, sebagai istri maupun sebagai menantu.
Tabel 6: kekerasan fisik yang dialami oleh perempuan dalam keluarga58
No Pelaku Kekerasan Persentasi
1 Suami 13,3 %
2 Suami dan orang tua 5,0 %
3 Suami dan mertua 1,4 %
4 Orang tua 12,8%
5 Mertua 0,9 %
4. Adanya streotipe bahwa sebagai istri harus tunduk kepada suami, tidak
boleh membantah walaupun dia tahu bahwa hal itu salah, jika anggota
keluarga tersebut bijak, maka bantahan demi bantahan tidak akan
dilakukan di depan umum atau di depan saudara-saudara, di depan mertua,
tetapi istri akan melihat waktu yang baik, di saat mereka tidur.
5. Perempuan sebagai istri memiliki segudang pekerjaan (beban ganda),
bekerja keras untuk menopang ekonomi keluarga, setibanya di rumah, istri
harus mengusrus anak-anaknya, memasak, menyuci dan mengurus anak
ibu mertuanya (suaminya).
6. Lantai rumah adat Nias terdiri dari empat tingkatan; salogotȍ (lantai
tingkat atas) yang menjadi tempat duduk para bapak dalam keluarga, atau
bila ada acara, maka salogotȍ adalah tempat duduk para kepala ada, posisi
57
PKPA, 34 58
PKPA 35
131
kedua disebut batȍ sebua (lantai tingkat dua) tempat duduk para
perempuan; ketiga adalah batȍ (lantai dasar rumah), tempat main anak-
anak, atau tempat duduk perempuan di saat ada acara); lantai terkhir
adalah dapur. Dalam waktu santai atau saat ada acara adat, tempat duduk
laki-laki lebih tinggi dibanding tempat duduk perempuan. Perempuan
bekerja menggulung sirih untuk para tamu dan suaminya59
7. Walaupun dalam filosophi keluarga, perempuan sebagai solaya talinga
mbatȍ, tetapi kenyataanya bahwa laki-lakilah yang mengelola semua
perekonomian keluarga, istri hanya sebatas tukang masak.
E. Perempuan Sebagai Janda
Sepeninggal suaminya, maka peranan seorang isteri dalam rumah tangga
menjadi ganda (berperan sebagai ayah dan ibu bagi anak-anak), selain itu bila
ada acara keluarga besar, seorang janda harus maumpu berbaur dalam sebuah
komunitas keluarga besar mantan suaminya, dengan konsekuensi bahwa dia
hanya mengikuti semua keputusan60
; tidak berhak menolak dan memberi suatu
tanggapan yang bertentangan karena perempuan janda hanya seorang isteri—
sementara isteri itu hanyalah seorang beli gana’a, seseorang yang dibeli
dengan emas. Seorang janda ( ibu GM) menceritakan pengalamanya di saat-saat ada
pertemuan keluarga.
―Begitu sakitnya hati ini, sepeninggal suami, maka biala ada acara keluarga,
kami memang selalu diundang, dan dalam setiap pertemuan, laki-lakilah yang
mendominasi pembicaraan dan mengambil keputusan, walaupun keputusan
tersebut tidak sesuai dengan hati nurani saya. Suatu waktu saya menyampaikan
pendapat, lalu adek laki-laki dari suami saya memotong pembicaraan saya, lalu
59
I. Edwin Telaumbanua; A. suani Ge‘e; A. Setia Laia 60
Ina Pian Lase; Ina Gamita Lase; bdk. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id.
132
dia mengatakan bahwa ―He ga`a ha ni‘ȍli tȍla hȍgȍ wȍ ndraugȍ ba da`a (kak, di
rumah ini kamu hanya seorang yang dibeli). Maka saya berhenti, tidak berani
berbicara lagi‖ (Wawancara tgl 4 Mei 2017)
Bila janda tidak memiliki anak laki-laki (hanya memiliki anak perempuan)
maka Janda tidak berhak untuk menjual segala bentuk warisan suaminya,
kepadanya diberi hak untuk mengelola, namun setelah Janda tersebut
meninggal maka, para keponakan berhak untuk mengambil alih pengelolaan
bahkan menjual segala harta warisan tersebut. 61
F. Perempuan Sebagai Pengelola Rumah Tangga
Bagi keluarga yang baru terbentuk, laki-laki disebut hȍgȍ wongambatȍ
dan istri adalah solaya talinga mbatȍ artinya pengelola keuangan rumah
tangga, sebagai bendahara yang bijak. Seorang istri bukan hanya mengelola
pendapatan atau apa yang dibawa oleh suami, tetapi harus bekerja keras juga
agar dapurnya selalu berasap tanpa ketergantungan dari suami62
.
Sebagian rumpun adat melakukan pemberian nama bagi pengantin
perempuan sebelum acara acara pernikahan selesai, sebagian lainya melakukan
setelah pengantin perempuan sudah sampai di rumah pengantin laki-laki.
Setibanya di rumah pengantin laki-laki, maka pengantin laki-laki duduk
dilantai bersama suaminya dan menggulung sirih, sirih pertama diberukan
61
Penulis mengamati selama bertahun-tahun kemudian mewawancara pada tanggal 5 Mei
2017) sebuah keluarga yang memiliki seorang anak perempuan, tiga tahun terakhir suami (kepala
rumah tangga) meninggal. Sepeninggal suami, Janda (katakan Ibu GP)tersebut sangat terganggu
dengan perilaku baik keponakanya maupun lakha (saudara laki-laki dari suami), dengan semena-
mena mengelola kebun, memakai motor dan mobil, di saat anak perempuan menamatkan
pendidikan sekolah menengah umum (SMU), ibu ingin menyekolahkan anak perempuanya di
fakultas kedokteran, karena itulah mandate sari mendiang suami. Tetapi untuk masuk fakultas
kedokteran butuh dana yang sangat besar, lalu ibu GP berniat untuk menjual mobil dan beberapa
aset tanah, namun para lakhanya melarang. Karena harta itu bukanlah miliknya. 62
Ina Edwin Telaumbanua; I. Vandel Daeli, Ina Gaeni Lase; Ina Mesra Harefa
133
kepada suaminya, kemudian kepada ayah mertuanya, ibu mertuanya dan yang
lainya. Selesai acara ini, maka para kepala adat memandu pemberian nama
bagi pengantin perempuan dengan memberi kesempatan kepada para ibu untuk
mengajukan nama tersebut. pemberian nama ini sebagai pertanda bahwa
seorang perempuan yang telah menikah meninggalkan dan menanggalkan masa
keremajaanya, tidak hanya secara fisik, tetapi berhubungan dengan pola
pikir—tidak lagi berpola pikir sebagai anak-anak, tetapi berpola pikir dewasa,
seseorang yang telah menikah memiliki tanggung jawab yang besar sebagai
istri, ibu, dsb. Setiap nama memiliki magna dan harapan keluarga pengantin
laki-laki, misalnya Faeri Barasi, Faeri itu artinya pembimbing. Seorang
pengantin perempuan diharapkan sebagai pembimbing saudara-saudara
suaminya dan pemersatu keluarga. Empat nama yang ditambalkan pada nama
yang ditambalkan kepada pengantin perempuan sesuai stratifikasi sosial
keluarga pengantin laki-laki, nama-nama ini diidentikan dengan kadar emas.
Nama tersebut adalah Barasi, Balaki, sa‘usȍ, dan Ria.63
a. Bila ayah mertuanya memiliki kedudukan sebagai Balugu atau Tuhenȍri,
maka pengantin perempuan diberi nama Barasi selain nama baru yang
diberikan kepadanya sebagai yang telah berkeluarga. Misalnya; Faeri
Barasi. Barasi artinya bersih. Hal ini identic dengan emas London (emas
murni). Nama Faeri bukanlah nama kecil, melainkan nama yang diberikan
kepadanya sebagai pertanda bahwa perempuan tersebut adalah perempuan
dewasa yang telah diperistri, kemudian dibelakangnya diberi nama
63
A. Cipta Zebua; A. evir Zendratȍ; A. Mesra Harefa
134
kebesaran sesuai stratifikasi sosialnya. Seorang perempuan Barasi
diharapkan memiliki perilaku;64
Hidup pasrah terhadap yang supranatural/Pengada; kemampuan
seseorang untuk memikirkan dan melakukan hal-hal yang baik
sangat ditentukan oleh kehidupan doa dan sikap penyerahan diri total
dihadapan Pengada—segala sesuatu menjadi sia-sia jika segalanya
didasarkan pada kekuatan dan pengetahuan sendiri
Rajin dan kreatif; seorang perempuan sangat diharapkan mampu
mengendalikan dan mengelola perekonomian keluarga dengan baik,
karena itu dia harus rajin melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
produktif dengan kreatifitas yang tinggi tanpa dibatasi oleh
kemampuan fisik dan jenjang pendidikan. Misalnya bertani—
berkebun seperti kebun pisang, bersawah—walaupun belum pernah
bersawah, namun ada niat dan usaha serta keberanian untuk bertanya
dan belajar dari orang lain. Di saat ada niat, jarak dan daerah
64
Ina Vandel Daeli, 4 Mei 2017; Ina Mesra, harefa; Ina Gaeni Lase; bdk. Sebuah cerita
seorang janda (ibu VB) yang sudah tua (umur 82 tahun) namun masih kelihatan muda. Ibu VB
memilik 8 orang anak, seorang pensiunan guru. Mendiang suaminya seorang guru, mantan
anggota DPRD dan aktifis gereja. ―setiap kali ada acara famotu ononihalȍ atau fame`e
(penggembalaan pra Nikah menurut adat Nias), lalu saya selalu menekankan hal ini bagi calon
pengantin baru, menjadi istri itu harus kreatif, rajin dan pasrah total di tangan Tuhan. Setiap istri
harus berperilaku sebagai Barasi, tidak harus menjadi istri balugu atau tuhenȍri. Perbuatan, tutur
kata, semangat hidup yang menentukan kelas atau strata sosial seseorang, bukan karena owasa
(pesta adat. Saya pernah bersawah, walaupun saya tidak pernah melakukan pekerjaan ini, tetapi
saya datang ke dinas pertanian, lalu saya di ajarin bagaimana menanam padi, disertai dengan buku
panduan bertani. Baru saya bertani (menanam padi), jarak saawah dengan rumah saya 20
Kilimeter, setiap subuh kami sudah berangkat ke sawah dengan naik sepeda ondel, jam delapan
malam baru sampai di rumah. Setiap kali ke sawah saya ditemani sama anak-anak yang kost
dirumah. Mengetahui saya menanam padi, lalu suami saya melaporkan saya ke orang tua saya,
dengan maksud agar saya mengurungkan niat bersawah. Tetapi saya tetap melakukanya,
bayangkan pak, bagaimana membiayai anak yang delapan orang. Pernah suatu waktu saya
menangis, karena tangan saya sakit, namanya tidak pernah kerja di sawah, tidak pernah pegang
parang. Tapi dengan niat, saya terus bersemangat, sampai padi menguning dan kami panen,
beberapa tahun saya melakukan hal itu. Saya juga beternak babi, beberapa ekor, beternak ayam
dan berkebun pisang. Akhirnya anak-anak saya semuanya berhasil, karena Tuhan memberkati
setiap apa yang kita kerjakan, asal kita menyerahkan semuanya di tanganya‖
135
persawahan yang jauh tidak mengurungkan niat untuk tetap bersawah
demi anak-anak dan keluarga. beternak babi dan ayam. Kreatifitas
dan kerja kerasnya semata-mata untuk pengembangan ekonomi
keluarga dan masa depan anak-anak bukan untuk kepentingan sendiri
(gaya hidup/gaya)Mampu berpikir merencanakan masa depan
keluarga dan anak-anak; setiap orang tua berharap bahwa masa depan
anak-anaknya lebih baik dari kehidupan masa sekarang. Karena itu
anak-anak di dorong bekerja keras dan belajar keras.
Seorang perempuan/istri/ibu dalam rumah tangga harus menjadi juru
damai dalam keluarga dan masyarakat karena itu kepadanya dibeli
julukan ina samaogö, ina sangosara tödö dan sangosambua (baca:
Perempuan sebagai agen perdamaian)
Seorang perempuan harus mampu menjadi teladan yang baik bagi
anak-anaknya—teladan dalam bersikap, teladan dalam bertutur kata
dan teladan dalam beriman.
Seorang perempuan harus mampu menjaga kesucian hidup
Ira alawe sanau talinga (Baca: ira alawe sanau talinga)
b. Balaki ditambalkan pada nama seorang menantu yang mertuanya sampai
pada strata sosial ke delapan sampai sepuluh
c. So‘usȍ ditambalkan pada nama seorang menantu yang mertuanya sampai
pada strata sosial ke tujuh
d. Ria ditambalkan pada nama seorang menantu yang mertuanya seorang
budak (tidak terhitung pada strata sosial masyarakat Nias).
G. Perempuan Sebagai Ibu.
136
Manusia mengenal perempuan dalam hidupnya pertama-tama sebagai
ibu. Kemudian manusia itu akan mengenal perempuan tersebut sebagai istri
dan anak. Dalam tahap ini perempuan perlu diberi kasih sayang,
diperhatikan, respon ganda.
Laki-laki berasal dari perempuan, tulang-tulang laki-laki terbentuk dari
tubuh perempuan dan darah laki-laki dialiri oleh darah perempuan. Dari
dalam Rahim seorang perempuan terbentuk menjadi manusia, dan dari air
susu ibulah laki-laki menjadi besar, menjadi kuat dan mendapatkan
immunisasi yang sempurna. Ibu bagi anak-anaknya adalah dunia yang penuh
kasih sayang, lemah lembut, dan selalu menjadikan anak sebagai hal utama—
walaupun capek, sakit, tetapi saat anaknya terbangun dimalam hari, ibu selalu
bangun mengurus anaknya. Walaupun sedang makan, minum, tetapi disaat
anaknya buang air, ibu meningkalkan makananya dna mengurus anak. bagi
seorang ibu, anak adalah hal yang utama dan semuanya sama—tidak pernah
pilih kasih kepada anak-anaknya.
Dalam pribadi seorang ibu, perempuan menjadi ni’ofalu (cermin) dan
teladan bagi anak-anak, baik dalam bertutur kata, bekerja, dan berbuat. Dalam
pribadi seorang ibu, perempuan menjadi agen perdamaian dalam keluarga,
masyarakat.
Sebagai ibu, orang Nias sangat merespon, menghargai, dan mendengar
serta serta mencintai perempuan, melebihi seorang ayah. Tetapi setelah
menikah, perempuan lebih banyak diperlakukan sebagai pembantu dan atau
budak baik oleh suami atau oleh perempuan sendiri. Sebagai anak, Laki laki
memperlakukan perempuan sepagai pribadi titipan dalam sebuah keluarga,
137
pribadi yang tidk memiliki hak (kecuali hak hidup dan hak makan), tetapi
memiliki segudang kewajiban.
H. Perempuan Sebagai Agen Perdamaian
Ada beberapa ungkapan populer Nias yang berhubungan dengan
fungsi perempuan sebagai ―agen‖ dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, dan berbudaya. Pertama “Ono Alawe Sanau Tugoa,Ono
Alawe Sanau Talinga, Ono Alawe Samatöla Banua, Ono Alawe Samatöla
Gana.”Ungkapan lain yang mirip dengan itu adalah “Hulö Latanö Magai Oi
Fakhai Ji Siwa Bu’u Hili,” artinya melalui pribadi perempuan akan ada
sebuah persekutuan, lalu terjalinnya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan
antara keluarga, komunitas dan desa yang lain.
Dalam budaya Nias, perempuan digambarkan dalam dua tipe karakter,
hal ini nampak dalam sebuah ungkapan “Ira Alawe Zamaogö Banua, ba ira
alawe göi zamoto banua; ono alawe sanau tugoa, ono alawe sanau talinga,”
artinya perempuan dapat menjadi pribadi yang menyatukan, agen perdamaian,
dan persekutuan.Hal ini disebabkan karakter dan kepribadian ibu. Kedua
adalah sebagai pemecah, dan biang pertengkaran serta permusuhan.
Sebagaimana dijelaskan bahwa Inada Silewe adalah perempuan—dia
adalah ibu dari manusia, sebagai ibu dia adalah dunia dari manusia itu sendiri,
sumber kebahagiaan, cintanya tidak pudar dan tidak memihak, peduli, lemah
lembut, penuh dengan kehangatan dan kasih sayang. Sang ibu (perempuan)
selalu tampil dalam penyelesaian masalah disaat-saat kritis, baik dalam
cakupan kecil (keluarga) maupun pada cakupan yang lebih besar yakni
138
lingkungan sosial—antara keluarga yang satu dengan yang lain (selalu
membangun solidaritas kekeluargaan pedesaan), antara desa. Perempuan
dianggap sebagai pemersatu (samakhai zidombua banua) dua desa, pemersatu
dua keluarga yang memiliki latar belakang berbeda65
.
Sebagai agen perdamaian, adat Nias memiliki beberapa nama untuk
perempuan;
1. Kole Idanö:
Sebelum pernikahan berlangsung biasanya para ibu-ibu melakukan
fotu (pengarahan terhadap calon pengantin perempuan tentang sikap hidup
seorang istri dalam keluarga)66
. Ada beberapa untaian kata yang harus
dilakukan oleh calon pengantin perempuan saat Fotu yaitu; “he onogu
yatobali ndra’ugö kole nidanö, böi tobali ndra’ugö kole wanikha”.
Mengapa para orang tua mengharapkan anaknya jadi agen
perdamaian dalam sebuah keluarga yang dituju?
1. Hubungan persaudaraan tidak selamanya berjalan dengan mulus,
pertikaian atau pertengkaran antara saudara (saudara kandung, sepupu
maupun saudara jauh) selalu merupakan dinamika dalam hubungan
persaudaraan, terlebih bila berhubungan dengan warisan atau mungkin
hal lain,bahkan terkadang hubungan suami dengan orang tuanya tidak
selamanya baik. Maka fungsi seorang istri pertama, meredakan emosi
suami dan memberikan pertimbangan pertimbangan terhadap suami,
kedua, menjadi mediator dalam membangun perdamaian dalam sebuah
keluarga, menyatukan yang tercerai-berai, membersihkan yang kotor
65
Wawancara dengan A. Setia Laia (balö ji‘ila ba Hili‘ana‘a-Teluk Dalam) 66
Wawancara dengan Ama Fite Gulö labe‘e töi ba wa‘asalawa balugu seu, Satua mbanua
Tetehösi-Mandrehe Nias Barat)
139
dan dan memoles yang retak, karena itu perempuan itu adalah sigu-sigu
(lem pemersatu) dalam keluarga;67
itulah yang dimaksud sebagai kole
nidanö.
2. Harus diakui walaupun perempuan itu adalah interpretasi dari Inada
Silewe Hia Nazarata, bukan dalam arti perempuan terlepas dari kehendak
bebas. Hakekat seorang perempuan adalah banyak bicara dari pada
mendengar, membesar-besarkan masalah, karena itu perempuan bisa
menjadi pemicu pertengkaran, permusuhan bahkan saling membunuh antar
saudara, antar laki-laki karena perilaku seorang perempuan atau istri
(itulah kole wanikha)—menyiram api dengan bensin.68
2. Ni’owalu (pengantin perempuan)
Ni’owalu atau ni’ofalu dari kata falu artinya cermin. Dalam
keluarga, istri adalah cermin bagi suami; cermin itu memperlihatkan
perilaku, atau menyatakan sesuatu dari kacamata seorang perempuan yang
lemah lembut, peduli, seorang pelaku kasih yang tanpa syarat terhadap
seorang suami(mengingat fungsi cermin yaitu sebagai alat untuk berkaca,
memperhatikan penampilan rapi atau tidak, bersih atau kotor, hitam atau
putih). Jadi kalau ada kalimat ―dibalik keberhasilan laki-laki ada
perempuan hebat‖, kalau di katakan bahwa perempuan itu adalah ni’owalu
bagi suami maka segala sesuatu yang mau dilakukan oleh suami harus atas
67
Wawancara dengan A. Suarni Ge‘e (balö ji‘ulu Mbotohili tanö, Teluk Dalam-Nisel) 68
Wawancara dengan I. Gaeni Lase (ina mbanua Lolomboli, Gunungsitoli Selatan)
140
pertimbangan dari istri69
. Istri harus menjadi idanö otalua gambukha,
idanö sangokafui ba sondrara dödö70
Pada acara Fanika era-era mböwö, para tua-tua adat selalu
memberi nasehat kepada seorang pengantin laki-laki yakni agar seorang
suami bila bepergian bersama dengan istri, hendaklah suami berada di
belakang sementara istri berada di depan, artinya selain pribadi yang
dilindungi, suami juga harus menempatkan istri sebagai panduan atau
cermin dalam pengambilan keputusan; mengingat karakternya yang
mengutamakan hati bukan otak, perasaan bukan intelektual71
.
Dalam budaya Nias ada beberapa istilah lain untuk perempuan;
1. ira alawe talangö (kutu busuk); perempuan pembawa masalah baik dari
tutur kata maupun dari perbuatannya; di mana dia hadir di situ ada
masalah—hubungan yang baik menjadi renggang dan bermasalah
2. ira alawe do’ia (burung pelatuk) perempuan yang ingin melakukan
sesuatu dalam hal membangun perdamaian, tetapi selalu gagal karena
tidak ada keberanian dan untuk berbuat yang dilatarbelakangi oleh
minimnya pengetahuan
3. ira Alawe dowi-towi; seorang perempuan yang senang dengan berita-
berita hangat—cerita dan kejelekan orang lain disebarkan dalam
kelompok-kelompok gossip dengan menambahkan bumbu-bumbu
gossip yang tidak sedap.
69
. Wawancara dengan I. Dewi Harefa (ina mbanua Mazingö (Gunungsitoli Selatan) dan
anggota Lembaga budaya Nias) 70
. Wawancara dengan A. Reti Daeli (Sirombu) 71
Wawancara dengan Pdt. FS Gea. (Anggota LBN)
141
4. Ira alawe naha nawu; (perempuan yang domisilinya hanya di dapur)
seorang perempuan yang suka bekerja—pekerja keras dan tidak
mempedulikan penampilan, tetapi sangat sulit banginya bersosialisasi
dan berkontribusi pemikiran dalam sebua kelompok (keluarga besar)
5. Ira alawe jinata seorang perempuan yang bisa diandalkan untuk
menerima tamu sesuai dengan tradisi, memiliki ketrampilan bertutur
kata namun kelemahanya adalah perempuan ini tidak mampu
mengelolah dapur dan rumah tangganya dengan baik.
6. ira alawe Barasi seorang perempun bersih bukan hanya penampilannya
tetapi pemikirannya selalu jernih dan menjadi falu bagi suami yang
didahului oleh keteladanan hidup sehingga perempuan seperti ini sering
disebut juga dengan istilah ira alawe samaeri.72
3. Ira Alawe Sanau Talinga: Perempuan Bertelinga Panjang
Dalam budaya Nias ada istilah perempuan yang bertelinga panjang (ira
alawe sanau talinga), kodrat seorang perempuan adalah anting-anting sebagai
aksesoris. Dalam sejarah, biasanya keluarga duhenöri, si’ulu (keluarga
bangsawan) memiliki aksesoris yang lebih banyak dan besar-besar, sehingga
saat anting-anting yang besar tersebut digunakan dalam waktu yang cukup
lama, maka otomatis mempengaruhi besaran atau panjangnya telinga
perempuan73
. Namun tidak tertutup kemungkinan juga pada perempuan lain
(selain perempuan bangsawan)
Apa hubungannya dengan perempuan sebagai agen perubahan?
Keluarga bangsawan biasanya memiliki pola pembinaan dan pendidikan yang
72
A. Ya‘ia Harefa (börö wondrakö di Hiligeo Afia, dan satua mbanua, Afia Lotu—Nias Utara) 73
I. Dewi Harefa
142
jauh lebih baik dibanding dengan masyarakat pada umumnya. Mereka
memiliki pengetahuan yang luas dan pembinaan karakter yang jauh lebih baik
(bukan melalui pendidikan formal, tetapi keteladanan hidup dari seorang ibu,
dan hal ini dilakukan turun temurun). Itulah sebabnya kalau dulu keluarga
bangsawan hendak menikahkan anaknya, maka terlebih dahulu mereka
menelusuri silsilah keluarga, karena mereka tidak mau bila anak mereka
menikah dengan keluarga yang tidak memiliki pendidikan, pola pikir,
karakteryang baik.
Pertanyaannya apakah perempuan yang memiliki latar belakang
keluarga ―non bangsawan‖ tidak bisa menjadi agen pendamai karena pola
pendidikannya yang tidak sehebat keturunan bangsawan? Dalam budaya
pernikahan, ada istilah Famotu ono nihalö, akhir-akhir ini, famotu dilakukan
hanya satu kali yakni satu atau dua hari sebelum puncak acara pernikahan,
tetapi dulu, famotu dilakukan dilakukan berulang-ulang selama berbulan-
bulan, setiap kali acara famotu di lakukan maka akan ada pemukulan gong
(laböji garamba), para ibu-ibu sangat berperan aktif untuk memberikan
araha-arahan yang berhubungan dengan perilaku seorang perempuan yang
baik, menjadi cermin bagi suami, menjadi perekat, pembawa damai, dan
sukacita dalam keluarga74
Ira Alawe Sanau Talingaadalah perempuan-perempuan yang memiliki
pola pikir, tindakan, sikap yang layak menjadi teladan dan betul-betul
menjadi ni’ofalu bagi suami, sehinga dia sangat dikagumi, dihormati (lebe’e
74
.Pdt. FS Gea ( mantan bishop Gereja Amin dan sekarang sebagai anggota Lembaga budaya
Nias)
143
yawa zumange, lafolakhömi), apa saja yang dikatakannya pasti didengar dan
dipatuhi75
Ira Alawe Sanau Talinga dalam membawa perdamaian dimulai dari
keluarganya,76
istri selalu berdikusi dengan suami dan membisikkan nilai-
nilai karakteristik seorang ibu, kemudian dia menjadi juru damai terhadap
anak-anaknya, dia tidak pernah memihak dan di lingkungan sosial dia sangat
didengar dan dipatuhi. Konon dulu “ndra alawe sanau talinga lafolakhömi
sibai” bila ada suatu percekcokan dan pertengkaran atau perkelahian, maka
bila seorang perempuan melewati lokasi tersebut,secara otomatis
pertengkaran dan perkelahian tersebut harus dihentikan karena perempuan
sedang melewati lokasi tersebut. Kedua, bila di desa terjadi pertengkaran dan
perkelahian antar laki-laki maka bila perempuan menyuruh orang untuk
menghentikan perkelahian tersebut, dan jika para laki-laki tidak juga berhenti,
kemudian dia akan mendatangi lokasi dan menegur mereka.Jika masih saja
ribut atau tidak mendengar maka beberapa jam kemudian akan dilangsungkan
suatu pertemuan adat/orahu ji’ila untuk menghukum orang-orang yang tidak
menggubris seorang ibu yang telah menegur mereka. Perempuan selalu
menjadi mediator yang baik karena dia adalah seorang ibu yang sangat
mengasihi, dia adalah dunia bagi manusia, menyelesasikan masalah tanpa
berpihak.
75
. Wawancara dengan A. Suarni Ge‘e (balö ji‘ulu desa botohili tanö) 76
A. Surni Ge‘e
144
4. Sisara Manga Afo:Pranata Dalam Membangun Harmoni Melalui Tangan
Perempuan77
Afo(Sirih yang telah digulung yang terdiri dari daun sirih, pinang, kapur
siri, gambir dan tembakau) adalah ―hidup orang Nias‖ segala sesuatu akan
berjalan dengan baik bila ―sisara manga Afo‖ ada. Dikatakan bahwa sisara
manga Afo(makan sirih) adalah hidup orang Nias karena Afo bermanfaat dalam
membangun harmoni kehidupan, diantaranya;
1. Harmoni dalam keluarga. Famiji/famagaölönafo (menggulung sirih)
adalah pekerjaan perempuan atau ibu. Jadi afo yang dikonsumsi oleh kaum
bapak adalah hasil kerja dari dari ibu/istri. Seorang ibu diharapkan mahir
menggulung nafo suaminya, baik disaat suaminya dirumah, atau disaat
suaminya pergi keluar rumah (istri sudah mempersiapkan afo yang
digulung). Jika suami tidak mau mengonsumsi afo yang telah digulung
istri, berarti komunikasi antara suami istri tersebut sedang kurang baik. Afo
melanggengkan hubungan suami-istri.
2. Harmoni antara sesama (lingkungan sosial).Setiap orang (tua) selalu
membawa ―bola nafo‖ sehingga bila bertemu dengan orang lain maka
mereka akan menawarkan/menyuguhkan Nafo. Bila diantara mereka tidak
terdapat sebuah kecurigaan dan permasalahan, maka satu sama lain akan
mengonsumsi nafo yang ditawarkan. Walaupun diantara berdua ada
pertikaian/permasalahan, tetapi jika mereka mengonsumsi nafo yang
disuguhkan maka lamban laun hubungan/komunikasi akan kembali
membaik
77
Wawancara dengan Ama Efir Zöndratö (Satua mbanua botogawu sibohou, Desa Hiligeo
Afia, Lotu, Nias Utara); A. Mesra Harefa, Pdt. F.s. Gea; Ina Desi Harefa; Ina Gaeni Lase; A.
Suarni Ge`e
145
3. Harmoni Adat. Dalam berbagai acara adat afo sangat memegang peranan
penting. Tanpa afo acara tersebut tidak akan disebut sebagai acara adat.
Dalam acara pernikahan misalnya, afo adalah salah satu bagian yang harus
dipenuhi.
Afo adalah media(tools) yang digunakan oleh orang Nias dalam
membangun perdamaian (harmoni kehidupan) diantara sesama manusia,
sekaligus menjadi media dalam menyampaikan penghormatan besar /sumange
sebua terhadap orang lain,. Setiap orang yang bertamu ke rumah orang lain
kepadanya akan disuguhkan nafoyang dilakukan oleh nyonya rumah (ina
yomo), setiap kali ada acara (besar atau kecil) yang disuguhkan pertama adalah
afo yang dipersiapkan dan disuguhkan oleh perempuan.
Sisara manga afo bukan hanya perilaku yang membudaya, tetapi sebuah
kaidah yang ditentukan oleh Nenek moyang yang sampai hari ini masih tetap
dilestarikan. Dalam acara adat pernikahan, telah dikukuhkanbahwa afo
merupakan bagian terpenting dalam proses pernikahan tersebut. Dalam hoho
dan hedri-hedri diuraikan bahwa Inada Silewe Hai Nazarata telah
mempersiapkan akan kebutuhan tersebut, mungkin hal ini muncul
darikesadaran bahwa cucunya membutuhkan suatu media dalam membangun
sebuah harmoni kehidupan.
Inada Silewe bekerja sebagai penghubung antara penghuni dunia bagian
atas (kaum dewa) dengan penghuni dunia manusia. Selain itu demi terciptanya
harmoni kehidupan di bumi maka Inada Silewe Hai Nazarata mengurus bumi
dengan membuat berbagai pranata kehidupan berupa norma-norma kemudian
norma itu diekspresikan dalam tingkah laku sampai norma tersebut menjadi
146
budaya. Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai syair sastra (baik hohomaupun
hedri-hedri). Salah satu hedri-hedri pernikahan menuturkan78
syair yang dituturkan oleh para penatua adat dari pihak pengantin
perempuan dengan cara penuturan khas adat Nias—syair ini sampaikan dengan
bersahut-sahutan
Tabel 7; syair yang dituturkan dipesta pernikahan
Syair bahasa Nias Terjemahan
Inada Silewe Hai Zazarata, yaia
mege johayaigö danömö dawuo,
Inada Silewe Hai Nazarata dulunya
telah menyamai bibit sirih
Ya’ia mege janötöigö nösi mbola
marafule,
Dia memberi wasiat tentang isi
bola79
pegantin laki-laki,
tobali tawuo sini—(sisokhi)—
tobali tawuo lara,
menjadi daun sirih yang baik,
nano labidi langanga ami gulo
nidano taya wa’owokhi dodo,
menjadi daun sirih yang
membahagiakan,
tobali tawuo ösi mbola marafule, jika sudah digulung dan dikunyah,
maka segala rasa haus akan sirna,
tawuo osi mbola numönö,
solemba ba baluze nora jowatö-
sonuza
menjadi isi bola penganti laki-laki
syair yang dituturkan oleh para penatua adat dari pihak pengantin
perempuan dengan cara penuturan khas adat Nias
Tabel 8; syair yang tuturkan oleh penatua adat dari pihak pengantin
perempuan
Syair bahasa Nias Terjemahan
maowai afo mano niohe danga
numono,
Jangan dikira sirih yang luar biasa
sirih yang dibawa menantu
ha koli-koli mbua mawo, Hanya buah palma yang telah
78
. A. Ya‘ia Harefa; A. Efir Zendratȍ; I. Mesra Harefa, A. Tinu Harefa, I. Desi Harefa; 79
Bola atau bola-bola adalah sejenis dompet tradisional Nias yang dianyam dari daun pandan
atau ecek gondok yang digunakan khusus untuk tempat sirih (yang dimaksud sirih bukan hanya
daunya, tetapi yang dimaksud sirih dalam tradisi Nias adalah daun sirih, pinang, tembakau, kapur
sirih, daun gambir). Bagi orang Nias, symbol penghargaan dan relasi yang antara beberapa pihak
berada pada sirih (Afo). Karena itu segala acara adat, tidak akan berjalan bila sirih atau afo tidak
ada. Begitu juga dalam sebuah keluarga, sebagai penghargaan dan penyambutan tamu dirumah,
kepadanya disuguhkan Afo, dalam relasi personal dalam lingkungan sosial, setiap pribadi akan
membawa bola nafo pribadi, bila bertemu dengan orang lain, maka hal yang pertama yang harus
dilakukan adalah menyuguhkan afo dari bola nafo
147
kering
ha leu-leu dawuo dano, Hanya daun sirih yang sudah
kering
balaji ndraugo na ebolo dodomo
inagu/amagu sotoi yaugo;
Kiranya tuan-tuan/nyonya-nyonya
memaklumi dan memaafkannya
Perempuan di masyarakat Nias Selatan
Kedudukan perempuan dalam keluarga di Masyarakat Nias Selatan sedikit
berbeda dengan di Nias bagian Utara. Perbedaan ini hanya terletak pada
pewarisan harta. Bila sebuah keluarga kecil tidak memiliki anak laki-laki, maka
janda (mendiang suami) dan atau anak perempuan berhak mewarisi harta
warisan. Selain itu, istri juga bisa mewarisi kedudukan dalam adat mendiang
suami. Salah satu contoh adalah ina Fo`ȍsi di desa Hiligeho kecamatan teluk
dalam. Setelah mendiang suaminya meniggal, maka para tua-tua adat (si’ila)
menetapkan Ina Fo‘ bȍwȍsi jadi si‘ulu di desa tersebut80
.
Perbedaan yang lain adalah bahwa dimasyarakat Nias selatan tidak ada
penambalan nama (seperti Barasi, balaki, sa‘usȍ dan nama setelah menikah,
seperti Faeri), setiap pengantin baru selalu dipanggil dengan nama kecilnya.
Namun hal ini tidak berarti bahwa perlakuan terhadap istri atau menantu berbeda
dengan di Nias bagian Utara. Posisi perempuan sebagai anak, istri, menantu
sama denagn di Nias bagian Utara.
Perubahan Sosial Menuntut Perubahan Adat Tanpa Fondrakȍ
Suatu kenyataan hidup dan suatu yang pasti terjadi dalam kehidupan
manusia adalah adalah perubahan sosial. Proses (cepat atau lambat) perubahan
sosial akan selalu terjadi pada setiap masyarakat dan bangsa di manapun dan
80 A. Setia Laia; A. Suarni Ge`e
148
kapanpun—tanpa terkecuali. Perubahan sosial yang terjad karena sebuah
perencanaan atau secara tiba-tiba atau tidak disegaja. Perubahan yang
direncanakan tersebut sebagai kegiatan ―pembangunan‖, karena ditujukan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat81
.
Menurut JL Gillin dan JP Gillin perubahan sosial adalah ―suatu variasi
dari cara hidup yang diterima masyarakat, akibat adanya perubahan kondisi
geografis kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena
difusi dan penemuan baru dalam masyarakat‖82
. Mac Iver mendenisikan
perubahan sosial adalah ―perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau
sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial‖83
. Dari kedua
defenisi perubahan sosial tersebut, menjelaskan bahwa perubahan sosial yang
terjadi meliputi perubahan, perubahan relasi sosial cara atau gaya hidup dan
perubahan dalam lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, di antaranya
keluarga. Perubahan sosial tersebut akibat dari demografi, ideology, dan
hubungan-hubungan sosial (perubahan immaterial), serta perubahan material
perubahan material (geografi, teknologi).
Perubahan sosial yang terjadi di Nias akibat kehadiran agama Kristen dan
globalisasi dalam sendi kehidupan bermasyarakat. Globalisasi dan Kekristenan
hadir dalam kehidupan bermasyarakat Nias bagaikan tamu tanpa di undang,
namun memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mengubah tata nilai
kehidupan bermasyarakat.
81
Bdk. Soeradi ―Perubahan Sosial Dan Ketahanan Keluarga: Meretas Kebijakan Berbasis
Kekuatan Lokal‖ dalam Informasi Vol. 18, No. 02, (Tahun 2013), 85 82
Hefri Asra Omiki, ―Perubahan Sosial‖,
https://infosos.wordpress.com/2012/03/21/perubahan-sosial/, dimuat 21 Maret 2012, Diakses 2
Juli 2017 83
ibid
149
Dulunya, bila terjadi suatu kebutuhan akan hukum, sehingga menuntut
adanya perkembangan hukum adat, maka diadalakanlah suatu fondrakȍ untuk
menjawab berbagai kebutuhan tersebut. Namun akhir-akhir ini, Fondrakȍ atau
Famatȍ harimao tidak pernah dilakukan lagi, kehadiran Kekristenan yang
sekaligus menghadirkan pendidikan membuat orang semakin sadar bahwa ada
banyak hal dalam hukum-hukum adat yang dirumuskan oleh nenek moyang tidak
sesuai dengan ajaran agama, kedua bahwa keterikatan dengan hukum adat secara
penuh membuat masyarakat Nias akan semakin ketinggalan zaman. Menurut
masyarakat Nias bahwa dalam hal-hal tertentu agama dan hukum pemerintahan
mampu menggantikan posisi hukum adat dalam menata kehidupan bermasyarakat.
Perubahan sosial ada yang bersifat positif da nada hal-hal yang negatif.
Hal-hal positif yang terjadi akibat perubahan sosial; misalnya;
1. Penghapusan hukum penggal atau ditenggelamkan bagi orang-orang yang
berbuat jinah, pembunuhan
2. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk mengenyam
pendidikan walaupun sebagian keluarga memberlakukan hal ini pada tingkat
SMU saja
3. Untuk kelas mengengah keatas hubungan antara menantu dengan mertua
terjalin dengan baik, bagaikan hubungan ibu dengan anak.84
namun hal ini
tidak bisa digeneralisasi artinya bahwa dikeluarga yang lain juga terjadi hal
sebaliknya, karena menantu sibuk dan berpendidikan, menantu mera bahwa
84
Seorang ibu (ibu DO) dalam sebuah wawancara tanggal 24 April 2017 menceritakan
pengalamanya. ―saya beruntung sekali, dinikahi oleh seorang laki-laki yang memiliki keluarga
yang sangat terbuka, mungkin karena keluaarga ini merupakan keluarga yang berpendidikan atau
mungkin juga karena aktifis gereja. Saya tidak dianggap sebagai menantu, tetapi sebagai anak
kandung bahkan sebagai teman, di sela waktu kamu bercerita, bahkan kami memasak bersama.
Jika saya sibuk, ibu mertua saya yang memasak, dan anak-anak sangat dekat dengat neneknya‖.
150
bukan lagi zamanya menantu atau istri melakukan berbagai hal di rumah.
Istri tidak harus tunduk kepada mertua dan suami.85
4. Sebagian keluarga tidak menyetujui system perjodohan—memberi
kesempatan kepada anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan untuk
memilih dan menentukan pasangan hidupnya.
5. Pengaruh stratifikasi sosial semakin menipis dalam menentukan bȍwȍ, bȍwȍ
ditentukan oleh kelas ekonomi dan pendidikan serta pekerjaan seseorang.
Sehingga seseorang bekerja keras bukan lagi bertujuan untuk menaikan strata
sosial dari sisi adat, melainkan untuk menyekolahkan anaknya—jika anaknya
berpendidikan tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak dengan
penghasilan yang menetap, secara otomatis strata sosial keluarga tersebut
akan naik, perekonomianya juga akan semakin mapan. Jika pekerjaan seorang
perempuan hanya sebagai pembantu rumah tangga, maka bȍwȍ yang harus
dibayar sekitar 20 juta sampai 35 juta di tambah bebebrapa ekor babi,
sementara untuk seorang serjana dan pegawai negeri sipil, maka bȍwȍ yang
harus dibayar sekitar 60 Juta sampai 150 Juta Rupiah di tambah beberapa
ekor babi. Di kecamatan Gomo, bȍwȍ yang harus dibayar oleh pihak laki-laki
tidak hanya berupa uang, tetapi ditambah lagi dengan emas sebanyak dua atau
tiga pound.
85
wawancara dengan ibu DN pada tanggal 3 Mei 2017. Ibu DN adalah seorang aktifis
perempuan mengtakan begini ―saya sangat tidak setuju dengan adat Nias terlebih dengan kata
bȍwȍ. perempuan dalam keluarga bagaikan barang yang harus perjualbelikan. Laki-laki dan
perempuan dalam keluarga sama-sama bekerja untuk menunjang ekonomi keluarga, tetapi saat
pembagian warisan, perempuan tidak mendapat apa-apa. Di rumah saat telah diperistri hanya
mengurus dapur, kasur dan sumur, bagaikan budak suami dan ibu mertua. Itulah sebabnya kalau
di rumah saya tidak perlu mengurus ini dan itu. Baju cuci sendiri, makanan dimasuk sama
pembantu, kalau mau makan, yah ambil makan sendiri. Saya tdak suka kalau ibu mertua mengatur
rumah tangga saya, saya dan suami yang mengatur sendiri. Karena saya berskap seperti ini,
akhirnya ibu mertua tidak suka tinggal di rumah, belua lebih memilih tinggal dengan anaknya yang
lain. Kan lebih bagus begitu‖ (DN)
151
6. Adanya pergeseran fungsi keluarga dari fungsi reproduksi menuju teman
sekerja Allah, sehingga bila keluarga kecil tidak dikaruniai anak, maka suami
tidak memadu istrinya karena hukum agama melarang akan hal itu.
Hal-hal negatif yang terjadi akibat perubahan sosial
1. Penggantian alat pembayaran bȍwȍ yang sebelumnya menggunakan firȍ
dengan uang dan emas, membuat jumlah bȍwȍ yang harus dibayar
semakin besar.
2. Perempuan dijadikan alat transaksional, walaupun bȍwȍ yang diterima
oleh keluarga pengantin perempuan bukan untuk memperkaya diri, tetapi
semuanya igunakan untuk biaya pesta selama proses pembentukan
keluarga berlangsung
3. Bȍwȍ yang besar menjadi bagian dari proses pemiskinan keluarga yang
membentuk keluarga baru—mereka bekerja hanya untuk bayar utang
4. Bȍwȍ yang besar mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga semakin
meningkat.
5. Akibat kehadiran teknologi dalam keluarga, dan terjadinya berbagai
kekerasan dalam keluarga, maka kasus perceraian semakin meningkat.
6. Dengan kehadiran globalisasi, akhirnya peranan Agama dan adat istiadat
dalam kehidupan keluarga mulai dilupakan
Kehadiran globalisasi dan agama dalam sendi kehidupan masyarakat Nias
tidak hanya berdampak positif, tetapi juga memiliki efek yang negative.
Perubahan sosial yang terjadi terjadi dalam berbagai sendi kehidupan—terjadijadi
pergeseran makna, tujuan dan fungsi sebuah keluarga yang mempegaruhi proses
terjadinya sebuah keluarga. Perubahan sosial juga terjadi dalam kedudukan
152
perempuan dalam keluarga—perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki
untuk mengenyam pendidikan, sehingga sekarang ini perempuan sudah bisa
memimpin sebuah lembaga(termasuk gereja), itulah sebabnya sekarang ini, ada
banyak pendeta di beberapa sinodal di Nias yang berjenis kelamin perempuan.
Top Related