61
BAB III
METODE DAN OBJEK PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Makna penelitian secara sederhana ialah bagaimana mengetahui sesuatu
yang dilakukan melalui cara tertentu dengan prosedur yang sistematis (Garna,
2000:1). Proses sistematis ini tidak lain adalah langkah – langkah metode ilmiah.
Jadi pengertian dari metodelogi penelitian itu dapat diartikan sebagai pengkajian
atau pemahaman tentang cara berfikir dan cara melaksanakan hasil berfikir
menurut langkah – langkah ilmiah.
Metode penelitian adalah teknik – teknik yang spesifik dalam penelitian.
Terdapat dua metode penelitian yang dikenal dalam kajian ilmu komunikasi, yaitu
metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Banyak perbedaan
yang diungkap oleh para ahli mengenai kedua metde penelitian ini. Namun inti
dari perbedaan metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif
terletak pada realitas perspektif yang dibangunnya, yaitu perspektif objektif dan
subjektif.
Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika
matematis, prinsip angka, atau perhitungan statistik. Sebaliknya, metode
penelitian kuantitatif sering mengabaikan konstruksi sosial dan kultural dari
variabel – variabel yang dikorelasikannya.
Metodelogi penelitian adalah prinsip dan prosedur yang kita gunakan
untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan kata lain, metodelogi
62
penelitian adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik penelitian.
Metodelogi dipengaruhi atau berdasarkan pada perspektif teoritis yang digunakan
untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoritis yang dimaksud adalah
suatu kerangka penjelasan yang memungkinkan peneliti memahami data dan
menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain (Mulyana,
2006:146).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode
penelitian kualititif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan
bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik.
Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia
dan menganalisis kualitas-kualitasnya. Dalam penelitian kualitatif, peran bahasa
dan makna-makna menjadi sangat penting (Mulyana, 2001: 150). Berikut adalah
lima keistimewaan atau keunggulan dari penelitian kualitatif (Alwasilah,
2006:107-110):
1. Pemahaman makna
Makna disini merujuk pada kognisi, afeksi, intens, dan apa saja yang
terpayungi dengan istilah perkspektif partisipan.
2. Pemahaman konteks tertentu
Dalam penelitian kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks
tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu. Dengan pisau
kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian, situasi, dan perilaku,
serta bagaimana semua ini dipengaruhi oleh situasi yang perkasa.
63
3. Indentifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga
Bagi peneliti kualitatif setiap informasi, kejadian, suasana, dan pengaruh
baru berpotensi sebagai data untuk dugaan sementara.
4. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory)
Teori yang sudah jadi atau pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum
naturalis, karena teori – teori ini akan kewalahan jika disergap oleh
informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks
baru.
5. Pemahaman proses
Para peneliti lebih berupaya untuk lebih memahami proses daripada
produk kejadian atau kegiatan yang diamati.
Metode penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan,
diantaranya adalah menggunakan pendekatan fenomenologi, studi kasus, analisis
wacana, etnografi, semiotik, dramaturgis, dan analisis framing.
3.1.2 Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
Dalam bukunya Metode Penelitian Kualitatif (1996), Prof. Dr. H. Noeng
Muhadjir mengungkapkan bahwa metodologi penelitian membahas konsep
teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah
dilanjutkan dengan pemilihan metode yang digunakan. (Muhadjir, 1996:3)
Ilmu komunikasi merupakan ilmu sosial. Pada penelitian dalam ilmu-ilmu
sosial, kita dihadapkan pada suatu metodologi yang harus digunakan ketika
penelitian berlangsung. Dalam suatu penelitian sosial, terdapat dua macan
64
metodologi penelitian, yakni Metode Penelitian Kuantitatif dan Metode Penelitian
Kualitatif.
Pada metodologi penelitian kuantitatif, secara umum data yang
dikumpulkan bersifat konkret karena dapat dikuantitaskan dengan angka-angka.
Data kuantitatif bersifat objektif dan bisa ditafsirkan sama oleh semua orang.
Lain halnya dengan metodologi penelitian kualitatif, dimana proses
risetnya berawal dari suatu observasi atas gejala. Riset kualitatif lebih bersifat
menjelajah, pengetahuan mengenai persoalan masih sangat kurang atau belum ada
sama sekali begitu pun dengan teori-teorinya.
Banyak perbedaan yang diungkapkan oleh para ahli mengenai penelitian
ini. Namun inti dari perbedaan metode penelitian kualitatif terletak pada realitas
perspektif yang dibangunnya, yaitu perspektif objekti dan subjektif.
Berikut adalah garis besar karakteristik penelitian kualitatif dan kuantitatf:
Tabel 3.1
Karakteristik Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif
ASPEK KUALITATIF KUANTITATIF
Fokus Penelitian Kualitas (hakikat, esensi) Kuantitas (berapa banyak)
Akar filsafat Fenomenologi, interaksi
simbolik
Positivisme, empiris
logika
Frase Terkait Kerja lapangan,
etnografi, naturalistik,
grounded, subjektif
Eksperimen, empiris,
sstatistik
Tujuan Pemahaman, deskripsi,
temuan, pemunculan
hipotesis
Prediksi, kontrol,
deskripsi, konfirmasi,
pembuktian hipotesis
65
Desain Kenyal, berevolusi,
mencuat
Ditentukan, terstruktur
Latar Alami, akrab Tidak akrab, buatan
Sampel Kecil, tidak acak,
teoristik
Besar, acak, representatif
Pengumpulan data Peneliti sebagai
instrumen inti, interview,
observasi
Bukan manusia (skala,
tes, survey, kuisioner,
komputer)
Modul Analisis Induktif (Oleh peneliti) Deduktif (oleh metode
statistik)
Temuan Komprehensif, holistic,
ekspansif
Persis, sempit, reduksionis
(Sumber: Muhadjir, 1996:3)
3.1.3 Analisis Framing
Gagasan mengenai metode pembingkaian (framing), pertama kali
dilontarkan oleh Beterson tahun 1995. Mulanya, metode pembingkaian (framing)
dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang
mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyedihkan
kategori – kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian
dikembangkan sebagai kepingan – kepingan perilaku (strips of behavior) yang
membimbing individu dalam membaca realitas.
Pembingkaian (framing) berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai
dan disajikan kepada khalayak. Dari definisi yang sederhana ini saja sudah
tergambar apa efek pembingkaian. Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan
66
dimaknai berneda oleh media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat
berbeda. Eriyanto dalam bukunya Analisis Framing menyatakan, salah satu efek
pembingkaian (framing) yang paling mendasa adalah realitas sosial yang
kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan disajikan dalam berita sebagai suatu
yang sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Pembingkaian
menyediakan (framing) alat bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam
kategori yang dikenal khalayak.
Menurut Eriyanto, ada beberapa definisi mengenai metode framing yang
disampaikan oleh beberapa ahli. Meskipun berbeda dalam penekanan dan
pengertiannya, ada titik singgung utama dari beberapa definisi pembingkaian
tersebut. Analisis pembingkaian (framing) adalah pendekatan untuk mengetahui
bagaimana perpektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya
menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan
dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Peristiwa – peristiwa
ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian
khalayak pembaca.
3.1.4 Konsep Framing
Berikut adalah konsep analisis framing yang diungkapkan oleh Goffman.
Secara sosiologis, konsep analisis framing memelihara kelangsungan
kebiasaan kita mengklasifikasi, mengorganisasi, menginterpretasi secara
aktif pengalaman – pengalaman hidup kita untuk dapat memahaminya.
Stigma interpretasi itu disebut frames, yang memungkinkan individu dapat
melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi, dan memberi label terhadap
peristiwa – peristiwa serta informasi (Sobur, 1999:161)
67
Menurut Eriyanto, dalam bukunya Analisis Framing, menjelaskan framing
adalah sebuah prinsip dimana pengalaman dan realitas yang kompleks tersebut
diorganisasi secara objektif. Lewat frame tersebut, orang melihat realitas dengan
pandangan tertentu dan melihat sebagai sesuatu yang bermakna dan beraturan.
Bingkai media mengorganisasikan realitas kehidupan kehidupan sehari – hari dan
akan ditransformasikan ke dalam sebuah cerita. Analisis framing, karenanya,
meneliti cara – cara individu mengorganisasikan pengalamannya sehinga
memngkinkan seseorang mengidentifikasi dan memahami peristiwa – peristiwa,
memaknai aktivitas – aktivitas kehidupan yang tengah berjalan.
Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi
sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan
dengan elemen yang berbeda dalam teks berita – kutipan sumber, latar informasi,
pemakaian kata atau kalimat tertentu – ke dalam teks secara keseluruhan. Bingkai
(frame) berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu
peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks
(Sobur,2006:175).
Ada dua aspek dalam framing, yakni :
1. Memilih fakta/realitas
Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin
melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu
terkandung dua kemungkinan: included (apa yang dipilih) dan exluded
(apa yang dibuang). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas? Bagian
mana dari realitas yang diberitakan dan bagian mana yang tidak
diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angle
68
(posisi) tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain,
memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Intinya,
peristiwa dilihat dari sisi tertentu. Akibatnya, pemahaman dan konstruksi
atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda antara suatu media dengan media
lain. Media yang menekankan aspek tertentu, memilih fakta tertentu akan
menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau media menekankan
aspek atau peristiwa yang lain (Eriyanto, 2002:69).
2. Menuliskan fakta
Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan
kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan
proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan
sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan
dengan pemakaian perangkat tertentu: penempatan yang mencolok
(menempatkan di halaman depan, atau bagian belakang) dan sebagainya.
Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih
aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan
menjadi menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar
dibandingkan aspek lain (Eriyanto, 2002:70).
3.1.5 Model Framing
Framing berkaitan dengan bagaimana realitas dibingkai dan disajikan
kepada khalayak. dari definisi yang sederhana ini saja sudah tergambar apa efek
pembingkaian. Sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh
media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh
69
media. Bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Eriyanto dalam
bukunya Analisis Framing menyatakan, salah satu efek framing yang paling
mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh dimensi dan tidak beraturan
disaikan dalam berita sebgai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi
logika tertentu. Framing menyadiakan alah bagaimana peristiwa dibentuk dan
dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak.
Menurut Eriyanto, ada beberapa definisi mengenai analisis framing yang
disampaikan oleh beberapa ahli. Meskipun berbeda dalam penekanan dan
pengertiannya, ada titik singgung utama dari beberapa definisi pembingkaian
tersebut. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak
menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca.
Berikut adalah definisi framing (Eriyanto, 2002:67-68), menurut para ahli
sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing:
1. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
Framing merupakan konstruksi dan memroses berita. Perangkat kognisi
yang digunakan dalam mengode informasi, menafsirkan peristiwa, dan
dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.
2. Robert N. Entman
Framing adalah proses seleksi dari berbagai realitas sehingga bagian
tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain.
Framing juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam
konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar
daripada sisi yang lain.
70
3. Willian A. Gamson
Framing adalah cara bercerita atau gagasan ide-ide yang terorganisir
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa
yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk
dalam suatu kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau
struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi
makna pesan-pesan yang individu tersebut terima.
4. Todd Giflin
Framing adalah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan
disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak
pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak
menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan
seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari
realitas.
5. David E. Snow dan Robert Benford
Framing adalah pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa atau
kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan
diwujudkan dalam kata kunci, anak kalimat, citra tertentu, sumber
informasi, dan kalimat tertentu.
6. Amy Binder
Framing merupakan skema interpretasi yang digunakan oleh individu
untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasikan, dan melabeli
peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir
71
peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami
dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.
Eriyanto memperkenalkan empat jenis model dalam bukunya. Keempat
model tersebut adalah model Murray Edelman, model Robert N. Entman, model
William A Gamson, serta model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Pada
penelitian ini penulis menggunakan model framing dari Robert N. Entman.
3.1.6 Analisis Framing Model Robert N. Entman
Pada penelitian ini, Penulis menggunakan analisis framing model Robert N.
Entman sebagai ”pisau analisis”. Menurut Entman, framing adalah proses seleksi
dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih
menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-
informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi
lebih besar daripada sisi yang lain (Eriyanto, 2002 : 67).
Menurut pandangan Entman, konsep framing digunakan untuk
menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh
media massa (Eriyanto, 2002 : 186). Framing berita menjadi lebih tajam karena
adanya proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isinya. Entman
melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penonjolan aspek-
aspek tertentu dari realitas atau isu.
Aspek seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Aspek ini didasarkan
pada asumsi realitas yang ada begitu kompleks dan beragam, karena menyangkut
banyak dimensi seperti politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.
Tidak semua bagian peristiwa dapat diberitakan kepada khalayak, selalu ada
72
bagian yang dipilih (included) dan ada yang dibuang (excluded). Strategi seleksi
isu ini bukan semata-mata bagian dari teknik jurnalistik, tetapi juga merupakan
politik pemberitaan (Eriyanto, 2002 : 69).
Pada penelitian ini, Penulis mencoba menganalisis proses seleksi isu atas
rencana penutupan blog-blog musik dan situs-situs file sharing oleh pemerintah
terkait pembajakan musik di Indonesia yang diangkat oleh Majalah Rolling Stone
Indonesia pada edisi #78 yang terbit bulan Oktober 2011. Realitas di lapangan,
rencana penutupan blog-blog musik dan penutupan situs-situs file sharing tersebut
menimbulkan reaksi yang beragam di masyarakat. Wartawan menyeleksi realitas
atau isu apa yang akan ditampilkan, hal ini berkaitan dengan bagaimana wartawan
memandang atau menangkap peristiwa tersebut. Dari proses seleksi inilah
kemudian akan terlihat framing yang dikembangkan Majalah Rolling Stone
Indonesia dalam Rubrik National Affairs dan Rubrik Music Biz.
Proses seleksi isu yang bertujuan untuk mendefinisikan peristiwa, dilakukan
media melalui empat cara/strategi media yang membawa konsekuensi tertentu atas
realitas yang terbentuk oleh media. Keempat strategi media ini merupakan
konsepsi utama (elemen) dalam model Robert N. Entman yang membentuk frame
atas sebuah peristiwa. Konsepsi mengenai framing dari Entman menggambarkan
secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan
(Eriyanto, 2002 : 197 - 198).
Pertama, pada identifikasi masalah (define problems), peristiwa dilihat
sebagai apa dan dengan nilai positif atau negatif apa. Ia menekankan bagaimana
sebuah isu atau peristiwa dipahami oleh wartawan. Pendefinisian masalah menjadi
bingkai pertama dan utama dalam proses konstruksi realitas.
73
Pada proses pendefinisian masalah, bagaimana wartawan memandang dan
menangkap suatu peristiwa berpengaruh pada keseluruhan elemen framing
lainnya. Karena konstruksi realitas dipengaruhi oleh realitas subyektif yang
melekat dalam diri wartawan, maka cara pandang setiap wartawan pun berbeda-
beda, sehingga mungkin dihasilkan frame yang berbeda-beda atas peristiwa ini.
Kedua, perkiraan penyebab masalah (diagnose causes), yaitu
mengidentifikasi siapa atau apa yang dianggap penyebab dari suatu peristiwa.
Bagaimana sebuah peristiwa dipahami tentu saja akan menentukan apa dan siapa
yang dianggap sebagai sumber masalah.
Berdasarkan pendefinisian yang dilakukan wartawan terhadap rencana
penutupan blog musik dan pemblokiran situs file sharing, selanjutnya dapat
diperkirakan apa atau siapa yang menjadi penyebab timbulnya beragam reaksi di
masyarakat. Perkiraan penyebab masalah ini berkaitan dengan cara pandang dan
pemahaman penulis tajuk terhadap kasus ini, juga faktor realitas subyektif dan
obyektif dari wartawan. Faktor realitas obyektif itu misalnya pemahaman atau
pandangan umum (mayoritas masyarakat Indonesia) terhadap rencana pemerintah
yang akan menutup blog musik dan situs file sharing tersebut.
Ketiga, pada penilaian/keputusan moral (make moral judgement) yaitu
penilaian atas penyebab masalah. Cara ini dipakai untuk membenarkan atau
memberi argumentasi pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat.
Pendefinisian masalah sebagai master frame perlu diperkuat dalam
konstruksinya melalui penilaian moral yang melegitimasi argumentasi wartawan.
Dalam menanggapi rencana penutupan blog musik dan situs file sharing ini,
pendefinisian terhadap peristiwa yang menimbulkan reaksi pro - kontra di
74
masyarakat perlu ditinjau dan diperkuat kebenarannya, sehingga pendefinisian
masalah oleh wartawan tidak lemah. Penilaian moral yang disajikan wartawan
akan memperkuat konstruksi atau frame yang dikembangkan oleh Majalah
Rolling Stone Indonesia.
Dan keempat, saran penyelesaian masalah (treatment recommendation)
dipakai untuk menawarkan suatu cara penanganan atau penyelesaian masalah dan
kadang kala memprediksi hasilnya. Penyelesaian itu tentu saja bergantung pada
bagaimana peristiwa dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah
(Eriyanto, 2002 : 189-191).
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, setelah mendefinisikan masalah
mengenai rencana penutupan blog-blog musik dan situs-situs file sharing oleh
pemerintah terkait pembajakan musik di indonesia, konstruksi dilanjutkan dengan
memberikan saran penyelesaian masalah terhadap persoalan. Pemberian saran
penyelesaian jelas tergantung dengan cara pandang dan persepsi wartawan
terhadap isu tersebut. Pemilihan saran penyelesaian masalah oleh wartawan, yang
juga membawakan sikap Majalah Rolling Stone Indonesia, dipengaruhi proses
dialektis yang terjadi dalam diri wartawan saat melakukan konstruksi atas
peristiwa itu.
Proses dialektis yang sangat berpengaruh dalam pemberian saran
penyelesaian masalah yaitu terkait momen internalisasi. Momen internalisasi,
yakni sosialisasi primer (melekatnya budaya, ideologi dan keberpihakan tertentu
dalam diri penulis tajuk) dan sosialisasi sekunder (pengaruh ideologi, kebijakan
dan keberpihakan Majalah Rolling Stone Indonesia sebagai lembaga) akan
melahirkan cara pandang tertentu terhadap rencana penutupan blog musik dan
75
pemblokiran situs file sharing. Hal itu tentunya melahirkan cara pandang tertentu
dalam diri wartawan, ketika ia memberikan saran penyelesaian masalah.
Penonjolan aspek tertentu dari suatu isu sangat berkaitan dengan penulisan
fakta. Proses ini mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa
dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak Penonjolan diartikan
sebagai proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, lebih
berarti atau lebih diingat oleh khalayak. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk diperhatikan khalayak (Eriyanto, 2002 : 197-200).
Aspek penonjolan dilakukan wartawan untuk memperkuat atau
menonjolkan pendefinisian peristiwa atas realitas/isu yang dipilih untuk
ditampilkan dalam frame Majalah Rolling Stone Indonesia dilihat atau
didefinisikan sebagai persoalan apa, sisi inilah yang kemudian difokuskan untuk
ditonjolkan, yaitu melalui pemilihan kata tertentu, pengulangan kata atau makna,
atau asosiasi dengan budaya atau keyakinan tertentu. Penonjolan ini akan
memperkuat konstruksi atau frame yang dikembangkan oleh wartawan Majalah
Rolling Stone Indonesia mengenai peristiwa yang menimbulkan reaksi pro dan
kontra di masyarakat ini. Dari sinilah kemudian akan terlihat sikap dan dan arah
keberpihakan Majalah Rolling Stone Indonesia terkait rencana penutupan blog-
blog musik dan pemblokiran situs-situs file sharing terkait pembajakan musik di
Indonesia.
76
3.2 Objek Penelitian
3.2.1 Majalah Rolling Stone Indonesia
Berawal dari ketidakpuasan dirinya terhadap beragam media yang terbit
pada era 1960-an, Jann S. Wenner mendirikan sebuah majalah bernama Rolling
Stone pada tahun 1967 di San Francisco, Amerika Serikat. Nama Rolling Stone
sendiri terinspirasi dari peribahasa Amerika yang terkenal, “A rolling stone
gathers no moss” yang kurang lebih berarti sebuah manifestasi dari keinginan
akan adanya perubahan. Majalah Rolling Stone tersebut pada awalnya diterbitkan
untuk mengidentifikasi dan melaporkan tentang budaya hippie pada era counter-
culture.
Rolling Stone merupakan sebuah frasa yang cukup populer dan telah
menginspirasi banyak orang untuk menggunakan frasa tersebut dalam karya-karya
mereka. Selain Jann S. Wenner yang menggunakan rolling stone sebagai judul
sebuah majalah, juga terdapat orang-orang besar lain seperti; Muddy Waters,
seorang gitaris blues Amerika yang menggunakan frasa tersebut dalam sebuah
lagu yang ditulisnya. Waters kemudian menginspirasi sebuah band asal Britania
Raya yang menggunakan frasa rolling stone (terdapat dalam lirik lagu Waters)
tersebut sebagai sebuah nama band, sebuah band yang kemudian disebut sebagai
the greatest rock ‘n roll band in the world, The Rolling Stones. Lalu sang legenda
hidup musik folk, Bob Dylan, memakai frasa tersebut sebagai judul dari album
pertama yang membesarkan namanya “Like a Rolling Stone”.
Saat pertama kali diterbitkan, Rolling Stone belum berupa majalah penuh,
terbitan pertama Rolling Stone berbentuk setengah majalah dan setengah lagi
surat kabar. Rolling Stone berkonsentrasi dalam peliputan musik, terutama music
77
genre rock ‘n roll yang saat itu sedang naik daun. Cover pertama mereka adalah
seorang icon dari musik tahun ‘60an yang secara publik dikenal sebagai pribadi
yang mendorong terciptanya gerakan counter-culture, John Lennon dari The
Beatles.
Hari-hari pertama Rolling Stone senantiasa berusaha untuk menjauhkan diri
dari pemberitaan yang banyak diangkat oleh media-media bawah tanah Amerika
pada masa itu, Rolling Stone menerapkan lebih banyak standar jurnalistik
tradisional dan menghindari politik pers radikal yang diusung oleh media-media
bawah tanah saat itu. Wenner menulis bahwa “Rolling Stone bukan hanya tentang
music, tapi juga tentang hal-hal dan sikap yang mencakup music” hal tersebut
telah menjadi motto majalah tersebut sejak awal. Seiring waktu, Rolling Stone
tidak hanya mengulas tentang budaya hippie dan liputan musik saja akan tetapi
juga menyisipkan isu-isu lain seperti budaya pop dan politik.
Sejak awal penerbitannya, Rolling Stone memberikan kesempatan bagi para
penulis untuk menerbitkan ide-ide serta pemikirannya melalui sebuah kolom
khusus yang terbuka bagi publik. Hal tersebut merupakan wujud komitmen
Rolling Stone untuk menjadi wadah bagi para penulis yang memakai media
seperti Rolling Stone untuk kegiatan citizen journalism mereka, menjadi media
alternatif bagi publik untuk menyampaikan pendapatnya. Hal tersebut merupakan
sesuatu yang langka pada saat itu, dan seketika memberikan banyak perhatian
bagi Rolling Stone dari para penulis terkemuka.
Sejak awal era ‘70an Rolling Stone sudah mulai menerbitkan liputan-liputan
bidang politik, editor seperti Gonzo H. S. T. menulis dalam sebuah kolom khusus
politik di majalah tersebut. Gonzo bahkan menerbitkan “Fear and Loathing in Las
78
Vegas” yang kemudian menjadi karyanya yang paling terkenal dalam sebuah
kolom di Rolling Stone. Gonzo kemudian menjadi editor tetap di Rolling Stone
sampai dengan akhir hidupnya. Pada era tersebut, majalah ini juga membantu
meluncurkan karir dari banyak penulis terkemuka seperti sang sutradara dan
penulis naskah film terkemuka, Cameron Crowe, dan Kurt Loder, yang sekarang
menjadi petinggi redaksi pada sebuah channel musik dan gaya hidup paling
dikenal di dunia, MTV.
Rolling Stone adalah sebuah majalah musik dan hiburan, tetapi sepanjang
empat dekade berjalan mereka secara konsisten menambahkan elemen-elemen
seperti isu-isu sosial dan politik dalam penerbitannya. Rolling Stone secara
tradisional mengambil perspektif editorial kiri, dengan kata lain menentang dan
mengkritisi arus kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan pandangan
majalah. Sebagai contoh, pandangan sangat kritis terhadap pemerintahan Richard
Nixon yang memacu diterbitkannya rubrik National Affairs asuhan Hunter S.
Thompson yang kemudian dilanjutkan oleh Matt Taibi sampai sekarang.
Saat ini Rolling Stone beredar di berbagai benua dan diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa seperti Spanyol, Prancis, Jerman, Italia, Australia, dan
Meksiko. Rolling Stone dibaca oleh lebih dari 12 juta pembaca di seluruh dunia.
Pesatnya perkembangan majalah tersebut dan pengaruhnya terhadap budaya
populer saat ini, membuat Rolling Stone memperluas jaringan distribusinya,
dengan membuat edisi-edisi internasional lain di berbagai negara termasuk
Indonesia.
Rolling Stone edisi internasional pertama adalah Rolling Stone Australia
yang saat itu masih berupa suplemen tambahan dalam majalah GO-Set pada tahun
79
1969, suplemen tersebut kemudian menjadi sebuah terbitan penuh pada tahun
1972. Sukses yang diraih Rolling Stone Australia diikuti dengan mulai dirilisnya
Rolling Stone dalam bahasa-bahasa lain yang berbeda sesuai dengan negara
dimana majalah tersebut terbit. Isi terbitan majalah-majalah tersebut tidak jauh
berbeda dengan Rolling Stone versi Amerika yang identik dengan counter-
culture-nya, beberapa segmen bahkan memakai nama asli sesuai dengan Rolling
Stone terbitan Amerika, namun sebagai tambahan, terdapat konten-konten khusus
berupa muatan lokal yang diterbitkan pada setiap majalah edisi lokal tersebut.
Majalah Rolling Stone Indonesia sendiri mendapat ijin untuk menerbitkan
Rolling Stone versi Bahasa Indonesia pada bulan Mei 2005, hak penerbitan
dipegang oleh JHP Media, Jakarta. Edisi pertama Majalah Rolling Stone
Indonesia beredar pada tanggal 2 Mei 2005, dengan berita utama perjalanan hidup
dan pengaruh musik Bob Marley sementara konten lokalnya mencakup
pemberitaan Slank. Saat itu Indonesia adalah negara Asia pertama dan satu-
satunya yang memiliki versi sendiri Rolling Stone. Misi yang diusung Majalah
Rolling Stone Indonesia adalah menarik perhatian pembaca terutama dengan cara
pandangnya yang unik; pemberitaan yang lugas, serta dedikasinya terhadap dunia
musik. Akhir-akhir ini, artikel-artikel non musik juga mulai mendapat porsi lebih
besar. Terhitung permasalahan politik, olahraga, dan budaya mewarnai edisi-edisi
terbaru Majalah Rolling Stone Indonesia.
80
Tabel 3.2
Porsi Artikel Majalah Rolling Stone Indonesia
Jenis Artikel Porsi
Musik 54%
Hiburan 13%
Global, National & International
Affairs, Health & Science
10%
Culture & General Interest 7%
Fashion & Beauty 4%
Business 3%
Gadget & Electronics 2%
Travel and Sports 2%
Miscelaneous 5%
Pada awal penerbitannya, Majalah Rolling Stone Indonesia mengadaptasi 80%
konten Rolling Stone versi original (Amerika) dengan hasil liputan lokal hanya
sebesar 20% dari keseluruhan isi majalah. Saat ini, konten lokal sudah mencakup
lebih dari 50% isi majalah. Sesuatu yang menggembirakan, karena tentu saja
sangat membantu para praktisi musik lokal untuk lebih dikenal oleh para pembaca
Majalah Rolling Stone Indonesia.
3.2.2 Susunan Redaksi Majalah Rolling Stone Indonesia
Rolling Stone Indonesia
Publisher : PT a&e media
Chairman : Eddie J. Soebari
Commisioner : Andy F. Noya
President Director : R. Monika Soebari
Managing Editor : Adib Hidayat
81
Associate Editor : Ricky Siahaan, Hasief Ardiansyah
Editorial Staff : Wendi Putranto, Wening Gitomartoyo
Art Director : A. Mufrodi
Sr. Graphic Designer : Hendra Anthony Rais
Graphic Designer : Stephen Manuel Wondal
Photographer : Ludmila Ghafar, Bayu Aditya
RollingStone.co.id
Executive Editor : Wendi Putranto
Staff
Ast. Sales Manager : Ario Saloko
Senior AE : Santi YZ, Kiky Anggreny, Renno Partiana
Circulation Staff : Sugiyanto
HRD & GA Manager : M. Audia Firdaus
Finance Controller : Faisal
Finance Manager : Soraya Jufri
Finance Staff : Samsul Hadi
Library Coordinator : Nova Andriya
82
3.2.3 Majalah Rolling Stone Edisi #78 Oktober 2011
3.2.3.1 Rubrik National Affairs
Rubrik National Affairs Majalah Rolling Stone Indonesia edisi #78 berjudul
Penindakan Situs Musik Ilegal, Pakai UU ITE atau UU Hak Cipta? yang
dianalisis oleh penulis terdiri dari enam belas paragraf yang terbit pada bulan
November tahun 2011. Isi artikel tersebut adalah sebagai berikut:
Table 3.3
Isi Rubrik National Affairs Majalah Rolling Stone Indonesia
PARAGRAF ISI
1
Asosiasi-asosiasi musik tersebut meminta agar
Kementerian Komunikasi dan Informatika menutup situs-
situs Internet yang memberikan fasilitas mengunduh lagu
secara ilegal atau menyebarkan lagu tanpa izin yang
memiliki hak atas lagu-lagu tersebut. Setidaknya ada 20
(dua puluh) situs Internet yang mereka anggap
menyediakan akses pengunduhan lagu secara ilegal.
2
Bersamaan dengan hal tersebut, Menteri Komunikasi dan
Informatika Tifatul Sembiring juga menyampaikan
pernyataan yang dikutip berbagai media bahwa
mengunduh lagu-lagu di situs Internet tanpa seizin
pemiliknya dapat dikenakan pidana penjara maksimum
12 (dua belas) tahun. Menurut beliau, adanya ancaman
pidana penjara tersebut adalah karena tindakan tersebut
melanggar ketentuan dalam UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
3
Dengan demikian, ada dua hal yang menjadi perhatian
dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, yaitu
situs-situs Internet yang menyediakan fasilitas
mengunduh lagu secara ilegal dan orang yang mengunduh
lagu tanpa izin penciptanya atau pemegang hak ciptanya
dari situs-situs Internet tersebut. Kementerian
Komunikasi dan Informatika menganggap dua hal
tersebut berada dalam lingkup tugas dan tanggung
jawabnya, sehingga merasa yakin untuk menerapkan
ketentuan-ketentuan UU ITE dalam rangka menang-
gulanginya.
83
4
Untuk melihat apakah memang penanggulangan terhadap
dua hal tersebut masuk dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada
baiknya kita melihat lebih jauh ketentuan-ketentuan
dalam UU ITE yang dianggap relevan dengan dua hal
tersebut. Hal ini penting untuk mengetahui apakah
memang tepat digunakan ketentuan-ketentuan dalam UU
ITE terhadap dua hal tersebut.
5
Dalam Siaran Pers Kementerian Komunikasi dan Informatika tertanggal 27 Juli 2011, diketahui beberapa
pasal dalam UU ITE yang digunakan sebagai dasar
hukum untuk perlindungan hak cipta di dunia maya.
Siaran Pers tersebut antara lain mengutip ketentuan Pasal
25 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi
karya intelektual, situs interneI, dan karya intelektual
yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan
Intelektual berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
6
Selain itu, terdapat pula ketentuan dalam Pasal 32 ayat 1
UU ITE yang mengatur mengenai larangan bagi setiap
orang yang de-ngan sengaja dan tanpa hak atau melawan
hukum dengan cara apapun mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik
orang lain atau milik publik. Atas pelanggaran Pasal 32
ayat 1 UU ITE tersebut, Pasal 48 ayat 1 UU ITE
mengatur sanksi pidana penjara maksimum 8 (delapan)
tahun dan/atau denda maksimum Rp 2 miliar.
7
Demikian pula Pasal 32 ayat 2 UU ITE yang mengatur
larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum dengan cara apapun
memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik kepada sistem elektronik
orang lain yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 32 ayat 2 UU ITE tersebut,
maka orang yang melakukannya dapat dipidana penjara
maksimum 9 tahun dan/atau denda maksimum Rp 3
miliar menurut ketentuan Pasal 48 ayat 2 UU ITE.
8
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat
(1) dan (2) UU ITE tersebut mengakibatkan kerugian bagi
orang lain, maka ancaman pidananya menjadi lebih besar.
Pasal 36 juncto Pasal 51 ayat 2 UU ITE mengatur
ancaman pidana perbuatan tersebut menjadi maksimum
12 (dua belas) tahun penjara dan/atau denda maksimum
Rp 12 miliar.
84
9
Apabila ketentuan pasal-pasal dalam UU ITE di atas
diterapkan terhadap situs-situs Internet yang menyediakan
fasilitas meng-unduh lagu secara ilegal, dan juga terhadap
orang yang mengunduh lagu tanpa izin penciptanya atau
pemegang hak ciptanya dari situs-situs Internet tersebut,
tentu akan mengundang perdebatan teknis. Salah satu
contoh, apakah kegiatan mengunduh dapat dipersamakan
dengan kegiatan memindah-kan atau mentransfer
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik?
Dalam praktik, mengunduh suatu file itu merupakan
tindakan memperbanyak file, karena mi-salnya semula
hanya ada satu file pada suatu situs, setelah selesai
diunduh akan ada satu file lagi pada media penyimpanan
tanpa meng-hilangkan file pada situs tersebut. Hal ini
berbeda dengan tindakan memindahkan atau mentransfer
yang dalam pemahaman umum tidak menambah jumlah
barang yang dipindahkan atau ditransfer.
10
Kalau lebih jeli memperhatikan ketentuan Pasal 25 UU
ITE, diterangkan bahwa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya
intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada
di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, ketika suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik mengandung Hak
Kekayaan Intelektual (HKI), maka ketentuan yang
mengatur mengenai pelanggaran terhadapnya seharusnya
adalah ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang HKI, bukan UU ITE. Hal ini sesuai dengan asas
hukum lex specialis derogate lex generali, yang artinya
peratutan atau UU yang bersifat khusus
mengesampingkan peraturan atau UU yang umum.
11
Oleh karena itu, sebenarnya akan lebih tepat jika
ketentuan-ketentuan dalam UU No. 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang diterapkan jika
berbicara mengenai penindakan terhadap situs-situs
Internet yang menyediakan fasilitas mengunduh lagu
secara ilegal, dan juga terhadap orang yang mengunduh
lagu tanpa izin penciptanya atau pemegang hak ciptanya
dari situs-situs Internet tersebut. Pasal 2 ayat (I) UU Hak
Cipta mengatur bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif
bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Apabila situs-situs Internet yang akan diblokir tersebut
menyediakan file-file lagu dengan cara mengunduh
85
12
sendiri file-file lagu tersebut agar dapat diakses publik,
maka hal itu dapat dianggap suatu tindakan mengumum-
kan dan memperbanyak karya cipta berupa lag tanpa hak.
Menurut Pasal 72 ayat I UU Hak Cipta, perbuatan
tersebut dapat diancam pidana penjara maksimum 7 tahun
dan/atau denda maksimum Rp. 5 miliar.
13
Apabila situs-situs Internet yang akan diblokir tersebut
hanya memuat tautan dari file-file lagu yang telah
diunggah oleh pihak lain di berbagai file hosting yang sepatutnya diketahui dlakukan tanpa seizin pencipta atau
pemegang hak ciptanya, maka dapat dianggap telah
dengan sengaja menyiarkan atau memamerkan suatu
ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta. Perbuat-
an tersebut diancam dengan pidana penjara maksimum 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500 juta
menurut ketentuan Pasal 72 ayat 2 UU Hak Cipta.
14
Mengunduh lagu dari situs Internet pada dasarnya juga
termasuk perbuatan memperbanyak ciptaan yang memer-
lukan izin dari pencipta atau pemegang hak ciptanya.
Namun, UU Hak Cipta memberikan pengecualian
terhadap tindakan pengumuman atau perbanyakan suatu
ciptaan untuk tujuan tertentu, sehingga sepanjang
disebutkan atau dicantumkan sumbernya hal itu tidak
dianggap sebagai pelanggaran hak cipta, yaitu antara lain:
1. Penggunaan karya cipta pihak lain untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari pihak
pencipta;
2. Pengambilan karya cipta pihak lain, baik
seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan
pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau (ii)
pertunjukan atau pementasan yang tidak
dipungut bayaran dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari
pencipta;
3. Perbanyakan suatu karya cipta bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf
braile guna keperluan para tunanetra, kecuali
kalau perbanyakan itu sifatnya komersial;
4. Perbanyakan suatu karya cipta selain program
komputer, secara terbatas dengan atau alat apa
pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan
umum, lembaga ilmu pengetahuan atau
pendidikan, dan pusat dokumentasi yang non-
komersial semata-mata untuk kepentingan
86
3.2.3.2 Rubrik Music Biz
Rubrik Music Biz Majalah Rolling Stone Indonesia edisi #78 berjudul
Industri Musik, Apa Selanjutnya? yang dianalisis oleh penulis terdiri dari tujuh
belas paragraf yang terbit pada bulan November tahun 2011. Isi artikel tersebut
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.4
Isi Rubrik Music Biz Majalah Rolling Stone Indonesia
PARAGRAF ISI
Akhir Juli lalu sempat semarak berita bahwa 20 situs atau
blog musik ternama akan ditutup oleh Kemenkominfo;
fasilitasnya; atau
5. Dengan itikad baik memperoleh suatu karya
cipta semata-matauntuk keperluan sendiri dan
tidak digunakan untuk suatu kegiatan
komersial dan/atau kepentingan yang
berkaitan dengan kegiatan komersial.
Oleh karena itu, mengunduh lagu dari situs Internet tidak
dapat dianggap pelanggaran hak cipta jika dilakukan
dengan cara dan tujuan sebagaimana dijelaskan di atas.
15
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
penindakan atas situs-situs Internet yang menyediakan
fasilitas mengunduh lag secara ilegal seharusnya
mengutamakan penerapan ketentuan dalam UU Hak
Cipta. Dengan demikian, penanganan dugaan pelanggaran
hak cipta tersebut lebih tepat diserahkan kepada aparat
kepolisian atau penyidik pegawai negeri sipil di
lingkungan Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
16
Apa yang disampaikan di atas tidak dimaksudkan untuk
mengendurkan semangat untuk melawan pembajakan di
era digital. Hal tersebut hanya sebagai pengingat bahwa
penegakan hukum tidak sepatutnya dilakukan secara
sembarangan. Apalagi jika semata-mata didasarkan pada
desakan publik. Oleh karena itu, harus dipikirkan dengan
benarpenggunaan ketentuan hukum yang tepat untuk
melindungi kepentingan hukum para pihak yang terkait di
dalam proses penegakan hukum, serta menjamin proses
hukum dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar.
Maju terus musik Indonesia!
87
1
tepatnya, para asosiasi pelaku industri musik yang tergabung
dalam kampanye ’Heal Our Music’ telah melayangkan
sebuah surat kepada Kemenkominfo, yang juga disebar
kepada kantor-kantor media berita. Sampai penulisan artikel
ini, belum terlihat ada tindakan apapun terhadap situs-situs
yang tertera pada surat permintaan tersebut. Ini merupakan
sebuah gejala zaman, yang memiliki akar sejarah yang
cukup panjang.
2
Industri musik rekaman yang kita kenal sekarang berawal dari mulainya komersialisasi produk musik lewat piringan
hitam. Musik yang ingin kita nikmati hanya bisa kita nikmati
lewat pertunjukan langsung, dan pembelian piringan hitam
(dan dalam gilirannya, kaset dan CD). Para pelaku industri
musik rekaman memiliki kekuasaan cukup ketat terhadap
distribusi musik, karena akses ke musik dibatasi pada sebuah
produk fisik, berupa piringan hitam, kaset atau CD. Sebuah
pola bisnis yang relatif sempurna terbentuk – sebuah struktur
industri yang menjual beraneka ragam musik, dalam format
dan harga yang relatif sama, yang dapat dipertahankan
nyaris secara tak terhingga, selama tidak ada kondisi pasar
yang bergeser.
3
Salah satu inovasi yang mengembangkan industri musik
rekaman juga jadi salah satu penyebab besar industrinya
secara relatif turun drastis. Musik dikemas dalam CD
diperkenalkan ke publik pada tahun ’80-an, dan menawarkan
kemurnian suara yang nyaris menandingi piringan hitam
(bahkan, bedanya mungkin tidak dapat terdeteksi oleh
sebagian banyak orang). Setelah meng-alami masa kaset
yang memiliki beberapa keterbatasan teknologi, misalnya
kalau terlalu lama didengarkan lagunya jadi ngageol kalau
kata orang Sunda, CD memberikan sebuah pengalaman
mendengarkan musik yang cukup konsisten, yang hanya
akan dibatasi oleh perangkat audio yang digunakan.
Dilengkapi dengan pola media dan berita yang pada zaman
itu masih relatif tersentralisasi, promosi dan penjualan
produk musik sangat berkembang. Zaman CD adalah zaman
keemasan industri musik rekaman. Tapi pasar berubah.
Pertumbuhan pemakaian Personal Computer (PC) pada
tahun ’90-an memicu industri perangkat lunak untuk makin
berkembang – bukan saja oleh perusahaan-perusahaan besar
seperti Microsoft dan Apple, tapi juga pengembang-
pengembang lunak independen dan open source – yang
menemukan cara supaya isi CD Audio dapat disalin ke
dalam komputer, dalam format MP3, yang semula
dimaksudkan oleh Moving Picture Experts Group sebagai
bagian dari protokol enkripsi video. Software pertama yang
bisa membuat file format MP3 dikeluarkan oleh Fraunhofer
Society pada tahun 1994, yang kemudian disusul oleh
88
4 berdirinya website MP3.com untuk musisi-musisi
independen, dan keluarnya WinAmp yang mempopulerkan
MP3 sebagai format penyebaran musik, sampai akhir ’90-an.
CD yang semula tidak mudah dibuat duplikatnya
(dibandingkan dengan kaset yang sangat mudah diduplikasi
dengan perangkat dubbing), ternyata dapat diduplikasi
dengan mudah melalui perangkat lunak khusus dan
CD writer, dan bahkan disalin isinya menjadi MP3 yang
dapat disebar dengan mudah melalui Internet! Penyebaran
penggunaan MP3 sebagai format musik pilihan seperti
dikukuhkan oleh berdirinya Napster pada tahun 1999.
5
Model bisnis industri musik rekaman tergantung pada dua
hal: penemuan (discovery) musik, kemudian kontrol akan
akses konsumen terhadap musik tersebut. Dengan pengaruh
besar pada TV, radio, koran dan majalah, termasuk majalah
seperti Rolling Stone, para label musik dapat
memperkenalkan musik baru atau artis baru secara baik dan
terpola, dan nyaris memastikan bahwa lagu tersebut akan
disukai oleh khalayak umum. Kalau begitu banyak media
membicarakan artis atau lagu yang sama, pasti lagunya
bagus atau enak, bukan? Setelah promosi dilakukan dengan
cermat, konsumen digiring untuk memilih bagaimana
caranya dia akan mengakses musiknya: menunggu lagunya
diputar di radio, atau membeli piringan hitam, kaset, atau
CD. Tur konser keliling dunia biasanya dilakukan untuk
memastikan penjualan album bisa lebih tinggi.
6
Sekarang, dunia musik seolah sudah terbalik: penjualan CD
turun terus (dan kaset sudah nyaris punah) karena
pembajakan lewat Internet maupun CD palsu, album
sekaligus diperlakukan sebagai alat promosi artis/band
supaya orang maumenonton konsernya, media sudah
terdesentralisasi dengan berkembangnya Internet dan jutaan
blog, dan sampai saat ini MP3 masih banyak beredar bebas
lewat Internet. Promosi berpola lebih sulit dilakukan karena
fragmentasi media (dan fragmentasi penikmat musik), dan
akses konsumen ke musik secara umum sulit dilakukan,
karena hadirnya suatu file musik di Internet bisa berarti
penyebaran otomatis ke seluruh dunia, sehingga mengurangi
potensi konsumen membeli produk musik tersebut.
7
Industri musik rekaman di Indonesia berkembang pesat lagi
setelah hadirnya ringbacktone, yang sebenarnya sudah
berkembang jadi produk gaya hidup atau produk ekspresi,
seperti layaknya status message pada Yahoo! Messenger
atau Blackberry Messenger. Promosi dapat dilakukan terpola
melalui operator telekomunikasidan elemen-elemen
pendukung lewat media TV, radio dan majalah, dan akses
konsumen pun terkontrol dengan baik karena layanan RBT
hanya dapat diakses langsung melalui operator. Operator pun
89
menjadi ‘teman baik’ baru para label musik, setelah para
retailer dan toko CD sayangnya tidak sanggup memberikan
volume bisnis yang signifikan. Untuk merangkul
perkembangan teknologi, langkah berikut yang dilakukan
oleh industri musik rekaman dengan para operator
telekomunikasi adalah mengembangkan layanan menjual
musik dalam format digital seperti MP3, AAC ataupun
WMA. Satu masalah menghalangi – penyebaran MP3 tidak
terkontrol lewat Internet. Tindakan utama: hentikan atau
kontrol.
8
Kita lihat bahwa industri musik rekaman, walaupun pola
pikirnya sudah sangat jauh berkembang pada awal 2000-an,
masih berusaha memperlakukan musik rekaman sebagai
komoditas. Ini sama sekali tidak salah – memperlakukan
produk musik sebagai komoditas adalah sebuah prinsip
bisnis yang bagus, dan mempermudah perhitungan
pembiayaan, prakiraan keuntungan, dan berapa jumlah uang
yang dapat diinvestasikan kembali ke produk berikutnya.
Tapi bisnis komoditas sangat bergantung kepada pertanyaan
apakah akses dan distribusi komoditas tersebut bisa
dilakukan dengan baik dan terukur. Kaset bisa. CD bisa.
Tapi kalau sebuah file digital, sulit, dengan Digital Rights
Management sekalipun. Dilema ini yang sedang melanda
industri-industri musik, film, buku, dan perangkat lunak.
Dan sampai sekarang, belum tampak solusi yang dapat
menyelesaikan masalah semua orang dengan praktis dan,
tentunya, dapat menghasilkan keuntungan yang signifikan.
Karena tanpa keuntungan, sebuah bisnis dapat berlanjut –
sebuah label musik tidak akan dapat menginvestasikan
uangnya ke artis baru atau album baru; tidak dapat
membayar berbagai pekerja industri yang bekerja di
belakang layar supaya hasil rekamannya bagus, supaya
pertunjukan artisnya bagus, dan sebagainya.
9
Ada satu hal yang terlewat – industri musik bukan ‘hanya’
industri musik rekaman. Kalau orang sempat ramai
mengatakan kalau ‘industri musik akan mati’, justru itu
pernyataan yang salah. Industri musik yang bergantung pada
penjalan CD itu yang akan mati. Industrinya sendiri masih
dalam transisi mencari bentuk baru. Tapi apakah pencarian
bentuk baru tersebut, harus melibatkan penutupan berbagai
situs dan blog musik, yang notabene tidak hanya digunakan
untuk penyebaran MP3 secara ilegal, tapi juga dijadikan
saluran penyebaran MP3 legal oleh band-band indie?
90
10
Kita lihat di seluruh dunia, perusahaan rekaman sedang
berusaha berubah bentuk: beerapa telah membentuk event
organizer sendiri, ada yang memiliki manajemen artis
sendiri, sampai mengelola merchandise sendiri, sebagai
usaha diversivikasi pemasukan uang, dan memaksimalkan
pengembalian investasi atas uang yang dikeluarkan
perusahaan tersebut untuk artis atau album yang dikelola.
Sisi buruknya adalah artis menjadi terikat ke kontrak yang
cukup komprehensif mengambil keuntungan dari semua lini
pemasukan artis tersebut, dan segala kegiatan artis tersebut –
pertunjukan, merchandise, album – diperlakukan sebagai
komoditas. Tidak salah, tapi bukan satu-satunya cara.
11
Salah satu hal yang diajarkan pada saya saat awal bekerja di
sebuah perusahaan rekaman adalah, “You can’t fight the
pirates.” Percuma. Kalau harga CD diturunkan dari Rp
75.000, menjadi Rp 30.000, para pembajak masih untung
dengan menjual CD bajakannya sebesar Rp 10.000, arena
tidak harus membayar berbagai royalti dan bagi hasil. Dan
MP3 ilegal bisa mudah didapatkan dari berbagai sumber;
Internet, kios-kios ringtone yang banyak terdapat di pusat
perbelanjaan, atau dikirim lewat Bluetooth dari teman. Satu-
satunya cara ‘bertempur’ dengan para pembajak adalah
dengan bergerak lebih cerdik. Apakah salah satu caranya
adalah menutup situs atau blog yang berisi MP3 ilegal?
Menurut saya, tindakan itu perlu tapi kurang tepat kalau
berdiri sendiri – mengingat mudahnya membuat situs atau
blog baru dan mudahnya menemukan apaun di Internet
dengan bantuan mesin pencari seperti Google. Lagipula,
kebanyakan dari situs-situs tersebut hanya menaruh tautan
pada file tersebut yang berada pada situs-situs seperti
4shared, yang tidak ada dalam wilayah hukum Indonesia.
12
Kebanyakan dari situs-situs internasional seperti 4shared,
Mediafire, Rapidshare dan sebagainya rata-rata mengadopsi
Digital Millenium Copyright act, yang mendukung
diturunkannya konten-konten yang dianggap melanggar Hak
Cipta – dengan syarat, setiap konten yang dianggap
melanggar harus diidentifikasi dan dilaporkan kepada
layanan-layanan tersebut supaya diturunkan. Mau tidak mau
kalau tujuannya mengontrol konten yang ada di berbagai
situs ilegal, harus diidentifikasi satu per satu. Ini tentunya
tidak mudah bagi perusahaan-perusahaan rekaman yang
memiliki ratusan ribu lagu dalam koleksinya. Bukan berarti
tidak bisa.
13
Tentunya, tidak ada solusi ajaib yang akan menyelesaikan
persoalan penggunaan hak cipta versus pembajakan. Digital
Rights Management? Akhirnya ‘pahlawan-pahlawan’
industri musik digital seperti iTunes Store dan Amazon MP3
Music Store sudah menjual musik tanpa DRM semenjak
91
tahun lalu. Sepertinya, setiap kasus akan membutuhkan
solusinya sendiri, yang bisa memastikan baik konsumen,
artis dan perusahaan rekaman sama-sama senang.
14
Satu hal yang sering saya kedepankan adalah hentikan
memberlakukan musik sebagai komoditas. Metode
komoditas ini akan mati perlahan, karena sangat tergantung
ke kontrol distribusi. Jangan tergantung ke musik sebagai
komoditas, tapi model bisnis baru harus dikembangkan ke
arah yang lebih mendekati produknya sendiri: pengalaman.
15
Kenapa kita suka sebuah lagu? Kenapa kita berulang kali
melihat remaja-remaja umur tanggung menjerit-jerit lagu
favoritnya saat mereka menonton artis favoritnya di TV,
bahka dipertnjukan yang sangat pagi? Karena lagu
menggugah emosi. Lagu menjadi cerminan ekspresi kita:
cinta, benci, sedih, senang, anti pemerintah, konyol, dan
sebagainya. Ikatan antara lagu – atau artisnya – adalah
sesuatu yang tidak bsa ‘diciptakan’, dan akan timbul sendiri.
Dan ikatan emosi ini, adalah langkah pertama dari
pengembangan sebuah ‘pengalaman konsumen’.
16
Tentunya pengalaman konsumen ini tidak berlaku sama
untuk semua artis, semua lagu dan semua perusahaan
rekaman. Ada berbagai band indie yang hidup dari
merchandise dan konser sebagai pengalaman konsumen, dan
nyaris nol dari produk musik. Ada juga band yang tetap
menjual produk musik, dari yang gratis sampai box set CD
yang mahal, dan mempergunakan berbagai tingkatan produk
(dengan perbedaan kualitas, harga dan elemen-elemen
tambahan seperti kaos, poster bertanda tangan dan lain-lain)
sebagai cara memberikan pengalaman yang berbeda kepada
para penggemarnya. Ini yang dilakukan Nine Inch Nails
beberapa tahun yang lalu. Contoh lain: ekosistem iTunes
Music Store: selama bertahun-tahun konsumen iTunes
Music Store sudah mengunduh jutaan lagu tanpa peduli
adanya DRM atau tidak, karena perpaduan iTunes dan iPod
begitu mudah dan praktis bagi konsumen. Sebuah
pengalaman konsumen yang sampai saat ini sulit diduplikasi
oleh perusahaan lain. Ada yang mungkin beranggapan
bahwa iTunes Music Store adalah bukti potensi musik
digital sebagai komoditas itu masih besar, tapi justru yang
membuat iTunes begitu dinikmati konsumennya adalah
pengalaman konsumennya. Ada pula perusahaan rekaman
plus manajemen artis yang menjadikan lagu bentuk digital
sebagai pancingan untuk berlangganan berbagai layanan atau
menghadiri konser-konsernya.
Masih banyak contoh model bisnis dan kegiatan yang dapat
dijadikan acuan, tapi pada dasarnya sama: penggabungan
berbagai kegiatan dan produk untuk memberi penawaran
musik kepada konsumen, yang sulit ditiru oleh pembajak.
92
17
Pembajak mungkin dengan mudah mendapatkan akses pada
file digital sebuah lagu, tapi akan sulit mendapatkan akses
pada artisnya, dan pastinya akan sulit menginvestasikan
uang dan waktu untuk membuat pengalaman konsumen yang
lebih canggih. Artis atau band harus lebih jeli dan berpikir
seperti entreprenuer, dan perusahaan rekaman perlu
mengembangkan diri menjadi business enabler. Para
perusahaan penerbit musik, yang mewakili pencipta lagu,
juga perlu mengembangkan diri dan lebih fleksibel
menghadapi perkembangan teknologi. Inovasi teknologi dan
inovasi model bisnis akan berkembang terus, sehingga
metode penrhitungan royalti juga perlu berkembang.
Sebagain besar pembajakan adalah gejala perkembangan
teknologi, bukan tindakan sengaja melawan hak cipta.
Pembajakan adalah tren konsumsi hiburan yang perlu diteliti
dan disikapi, karena yang pasti, hampir tidak mungkin
dihapuskan. Pendidikan untuk apresiasi hak cipta masih bisa
dilakukan dengan inovasi bisnis, tapi tidak dengan represi.
3.2.4 Musik, Industri Musik dan Pembajakan Musik
Bagi sebagian besar orang, musik telah menjadi bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupannya sehari-hari. Musik telah berubah fungsi, tidak lagi
hanya dijadikan sebagai alat hiburan akan tetapi juga telah menjadi kebutuhan
utama. Saat ini, musik tidak lagi dipandang sebagai sebuah karya seni yang hanya
dinikmati oleh para peminat seni saja. Beberapa penelitian bahkan membuktikan
bahwa musik dapat menjadi penunjang produktifitas lintas disiplin. Sebuah
penelitian yang dilakukan kepada para insinyur dan desainer teknik di Silicon
Valley telah membuktikan kalau sebagian besar dari mereka menjadi lebih
produktif ketika diijinkan bekerja sambil mendengarkan musik yang mereka sukai
(Center for the Arts in the Basic Curriculum, 1997).
Keberadaan musik juga dipandang sangat penting dalam proses pendidikan
dan pengembangan sumber daya manusia. Para eksekutif kelas atas di Amerika
93
Serikat setuju bahwa penerapan pendidikan musik bagi para pelajar akan
memperbaiki kelemahan sistem pendidikan di negara tersebut sehingga
menghasilkan lulusan yang lebih baik untuk menghadapi dunia kerja di abad ke-
21 (Business Week, Oktober, 1996). Begitu pentingnya peranan musik dalam
dunia pendidikan sehingga mendorong para penyedia pendidikan perguruan tinggi
di Amerika Serikat untuk memberikan pendidikan musik sebuah tempat dalam
kurikulumnya. Para penyedia pendidikan tersebut mengakui bahwa keterlibatan
mahasiswa dalam musik terbukti memberikan dampak positif dalam hal
manajemen waktu, kreatifitas, ekspresi, serta keterbukaan pikiran (The Associated
Press, Oktober, 1999).
Musik itu sendiri adalah seni yang menggunakan bebunyian sebagai
medium ekspresinya. Musik merupakan segala bunyi yang dihasilkan secara
sengaja oleh seseorang atau sekumpulan orang dan disajikan sebagai musik
(Wikipedia.org, Februari, 2012). Musik adalah sebuah fenomena intuitif natural
yang hidup dalam tiga dunia, waktu, pitch, dan energi, dibawah tiga struktur
organisasi yang saling berdekatan dan berhubungan satu sama lain yaitu ritme,
harmoni dan melodi (Music Novatory, The Science of Music, Februari, 2012).
Keberadaan musik sebagai alat komunikasi yang merubah perilaku para
pendengarnya sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh Carl Hovland.
Komunikasi adalah proses yang memungkinkan seseorang untuk menyampaikan
pesan agar merngubah tingkah laku orang lain (Carl Hovland). Dalam
komunikasi, musik berperan sebagai media penyampaian pesan. Komunikasi
adalah penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu
94
atau mengubah sifat, baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui
media tertentu (Onong).
Musik adalah bagian dari konstruksi sosial dalam kehidupan manusia
(Music and Discourse: Toward a Semiology of Music, 1990). Musik seringkali
disadari sebagai sebuah seni atau hiburan, akan tetapi pada dasarnya musik adalah
sebuah fakta sosial yang definisinya bergantung kepada suatu masa dan budaya
tertentu (Jurnal Musik, no. 17:37–62, 1975). Keberadaan musik dalam keseharian
serta kehidupan sosial manusia tersebut yang akhirnya mendorong perkembangan
musik ke arah industri.
Pada perkembangannya, musik yang awalnya hanya sebagai alternatif
hiburan untuk pengisi waktu luang kemudian menjadi sebuah produk yang
potensial untuk dijadikan industri.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyatakan
sumberdaya musik adalah sebuah cultural capital yang luar biasa. Untuk itu
pemerintah bertekad untuk mengangkat kekayaan sumber daya musik ini
dalam konteks pengembangan ekonomi dan industri kreatif. (Okezone.com,
November, 2011)
Rubrik Music Biz Majalah Rolling Stone Indonesia menceritakan awal mula
pembajakan musik yang diawali oleh komersialisme di masa lalu yang
berkembang seiring perkembangan jaman menjadi sebuah permasalahan
kompleks ketika industri tersebut dikejutkan oleh isu pembajakan melalui format
digital yang tersebar di internet.
Industri musik rekaman yang kita kenal sekarang berawal dari mulainya
komersialisme produk musik lewat piringan hitam. Musik yang ingin kita
nikmati hanya bisa kita nikmati lewat pertunjukan langsung, dan pembelian
piringan hitam. Para pelaku industri musik rekaman memiliki kekuasaan
cukup ketat terhadap distribusi musik, karena akses ke musik dibatasi pada
sebuah produk fisik tersebut. Sebuah pola bisnis yang relatif sempurna
terbentuk – sebuah struktur industri yang menjual beraneka ragam musik,
dalam format dan harga yang relatif sama. (Majalah Rolling Stone
Indonesia #78 edisi Oktober 2011)
95
Salah satu inovasi yang mengembangkan industri musik rekaman juga jadi
salah satu penyebab besar industrinya secara relatif turun drastis adalah
digunakannya Compact Disk Audio (CDA) sebagai media distribusi musik.
Musik yang dikemas dalam CDA diperkenalkan ke publik pada tahun ’80-
an, dan menawarkan kemurnian suara yang nyaris menandingi piringan
hitam. Setelah mengalami masa kaset yang memiliki beberapa keterbatasan teknologi, CDA memberikan sebuah pengalaman mendengarkan musik
yang cukup konsisten, yang hanya akan dibatasi oleh perangkat audio yang
digunakan. Dilengkapi dengan pola media dan berita yang pada zaman itu
masih relatif tersentralisasi, promosi dan penjualan produk musik sangat
berkembang untuk kemudian menjadikan era CDA sebagai era keemasan
industri musik rekaman.
Pertumbuhan pemakaian Personal Computer (PC) pada tahun ’90-an
memicu industri perangkat lunak untuk makin berkembang – bukan saja
oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft dan Apple, tapi juga
pengembang-pengembang lunak independen dan open source – yang
menemukan cara supaya isi CDA dapat disalin ke dalam komputer, dalam
format MP3, yang semula dimaksudkan oleh Moving Picture Experts Group
sebagai bagian dari protokol enkripsi video. Software pertama yang bisa
membuat file format MP3 dikeluarkan oleh Fraunhofer Society pada tahun
1994, yang kemudian disusul oleh berdirinya website MP3.com untuk
musisi-musisi independen, dan keluarnya WinAmp yang mempopulerkan
MP3 sebagai format penyebaran musik, sampai akhir ’90-an. CD yang
semula tidak mudah dibuat duplikatnya (dibandingkan dengan kaset yang
sangat mudah diduplikasi dengan perangkat dubbing), ternyata dapat
diduplikasi dengan mudah melalui perangkat lunak khusus dan CD writer,
dan bahkan disalin isinya menjadi MP3 yang dapat disebar dengan mudah
melalui Internet. Keberadaan format MP3 inilah yang kemudian menjadi
pemicu tumbuhnya pembajakan musik secara masal melalui medium
internet. (Majalah Rolling Stone Indonesia #78 edisi Oktober 2011)
Seiring dengan semakin dikenalnya format MP3 di negara-negara maju,
perkembangan industri musik di Indonesia juga mulai terpengaruh.
“Nilai pembajakan musik pada 2010 mencapai Rp 4,5 triliun! Angka ini
sama saja dengan nilai pada tahun lalu. Padahal, bisnis musik sendiri turun
dari Rp 6,31 triliun pada 2009 menjadi Rp 6 triliun pada 2010 ini. Dari
omset ini, musik digital menyumbang Rp 1, 81 triliun (2009) kemudian Rp
1,5 triliun (2010).“ (Bisnis Indonesia, Desember, 2010)
Top Related