37
BAB III
MASYARAKAT SEKO EMBONATANA DAN MEMORI
SALLOMBENGANG
Dalam konteks memori kolektif penulis melakukan penelitian di Seko
Embonatana terhadap Sallombengang sebagai warisan kenangan kebudayaan
tradisional yang masih hidup dalam ingatan masyarakat setempat. Ingatan masa
lalu itu dijelaskan secara mutualistik antara memori dan pengalaman yang
keduanya bertemu secara dialektis membentuk identitas kolektif melalui bahasa,
narasi dan interaksi sosial yang terjalin kuat. Sehingga ingatan itu dapat
bermanfaat pada masa kini sebagai intrumen integrasi sosial. Pada bab ini, penulis
memaparkan atau menyajikan seluruh data yang ditemukan dilapangan terkait
dengan topik yang penulis kaji. Penulis mengelompokkan dan
mengklasifikasikannya dalam pemaparan sub tema untuk memudahkan pembaca
menemukan intisari penelitian sebagaimana yang di sarankan oleh judul.
3.1. Sejarah Singkat dan Geografis Seko
Terdapat beberapa versi mengenai nama Seko, menurut informan kata
Seko berarti sahabat atau saudara. Kata Seko muncul dari istilah Sisekoang yakni
ikatan hidup harmonis dalam segala perbedaan. Padanan kata yang sama dengan
kata ini ialah lea yang diartikan sebagai saudara, kerabat dan sahabat. Nama Seko
muncul pada waktu terjadi ritual rekonsiliasi antara masyarakat Seko Embonatana
dengan masyarakat Karama di bagian barat Seko. Waktu itu kedua pimpinan suku
(Tobara’) mengadakan pertemuan perdamain yang dihadiri oleh seluruh lapisan
38
masyarakat kedua suku tersebut. Dalam upacara rekonsiliasi itu terjadi
pemotongan kerbau jantan sebagai simbol perdamaian. Daging kerbau tersebut
dimakan secara bersama sedangkan kepalanya ditanam. Sebelum kepala kerbau
ditanam kedua kepala suku berdiri di depan masyarakat sambil mengucapkan kata
perdamaian. Inti kata perdamaian yang diucapkan adalah sisekome, sileame
(saapan yang menunjukkan kedekatan yang akrab seperti sahabat, kerabat dan
saudara) karena itu kata siseko atau sisekoang mengandung makna yang sakral
dan harus dipatuhi.1
Sementara narasi lain menjelaskan bahwa kata Seko berasal dari nama
seorang moyang masyarakat Seko yang bernama Seko, kemudian menikah
(mappobahine) dengan seorang putri dewi air (anak ni lea, Dehata Uhai).
Perkawinan itu berlangsung di kediaman dewa air (lipu dehata). Dari perkawinan
itu, melahirkan lima anak laki-laki yakni: Yane, Honeang, Balong, Padang dan
Tappa. Kelima anak mereka masing-masing diwarikan tanah untuk dihuni,sebagai
tempat berburu dan bercocok tanam. Lalu masing-masing anak Seko mendirikan
perkampungan sesuai nama mereka. Yane mendirikan kampung Hoyane,
Honeang mendirikan kampung Pohoneang, Balong mendirikan kampung
Amballong, Padang mendirikan kampung Padang yang juga disebut Hono’, Tappa
yang tinggal di derah Kalletehong tidak dapat mendirikan perkampungan sebab ia
mandul. Informan tidak menjelaskan asal kelima istri anak Seko. Daerah yang
1 Wawancara, Tembo. (Tokoh Masyarakat), 20 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
15.00 WITA.
39
dihuni oleh kelima anak itu kemudian diberi nama Seko sesuai dengan nama
moyang mereka.2
Versi yang lain menceritakan bahwa dahulu kala orang Seko dikenal
dengan dua perkampungan besar yakni kampung Pohoneang dan Hono. Leluhur
kedua kampung tersebut berasal dari keturunan tosumalu (orang yang datang
menyuri sungai) menikah dengan seorang gadis Panasuan, bagian barat Seko
Embonatana. Di Seko mereka melahirkan lima anak laki-laki lalu menyebar
menduduki daerah itu.3 Cerita lainnya menegaskan moyang masyarakat Seko
bernama Hulu Pala, menikah dengan seorang bernama Tamelai, lalu melahirkan
lima anak laki-laki: Tapadang, Tabalaong, Tahoneang dan Tayane dan masing-
masing mendirikan kampung sendiri di Seko. Anak kelima berpropesi sebagai
pottappa’ (pandai besi) tidak mendirikan kampung sendiri, keturunannya
membaur di kampung saudara-saudaranya. Masyarakat itu menggunakan bahasa
Seko sebagai bahasa sehari-hari yang tidak serumpun dengan bahasa Toraja,
Luwu, Endrekang, Bugis, Mamuju, Rampi dan Bada. Bahasa Seko mempunyai
kemiripan dengan bahasa penduduk Panasuan di lereng gunug Sandapang sebelah
barat kampung Pohoneang dan Tabulahang di daerah Mambi.4
Kedua komunitas ini merupakan penduduk asli Seko sedangkan generasi
kedua datang di Seko ialah masyarakat To Lemo dari daerah Kanandede-
Rongkong yang tidak tahan dengan kesewenang-wenangan para pemimpin
2 Wawancara, Petrus Tiranda. (Tobara Hoyane), 21 Desember 2016. Desa Hoyane,
Pukul 16.00 WITA. 3 Wawancara, Teang, (Imam Masjid), 21 April 2016. Desa Hoyane, Pukul 16.00 WITA.
4 Ngelouw, Masyarakat Seko, 3.
40
masyarakatnya. Kaum Eksosdus ini disambut oleh para pemuka masyarakat Seko
di Pohoneang yang diberi pemukiman di daerah Lemo, sebelah barat dekat sungai
Uro. Kemudian mereka dikenal dengan To Lemo, dengan menggunakan bahasa
Rongkong suatu dialek bahasa Toraja.5 Unsur yang ketiga masuk di Seko ialah
masyarakat Rampi yang datang dari daerah Bada’ Sulawesi Tengah dan tinggal di
Sigkalong bagian Utara Seko Padang.
Diantara tiga komunitas itu berlangsung ikatan kekeluargaan yang baik,
harmonis dan damai didalamnya terjadi perkawinan silang sehingga interaksi itu
semakin mengeratkan hubungan sosial antara mereka. Daerah yang dihuni oleh
tiga unsur masyarakat Seko di atas dibagi menjadi tiga bagian yaitu Seko Padang
di timur, Seko Embonatan dibagian tengah dan Seko Lemo dibagian barat. Seko
adalah salah satu kecamatan di kabupaten Luwu-Utara, Provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia terletak ±1200–1800 M di atas permukaan laut pada segitiga perbatasan
antara Provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.6
SK Bupati Luwu Utara, No. 400, tahun 2004, mengakui daerah Seko
dengan 9 wilayah adat. Wilayah itu masing-masing dipimpin oleh ketua adat: (1)
Wilayah adat Hono' dipimpin oleh Tubara’ Hono, (2) Wilayah adat Lodang,
dipimpin oleh Tubara Lodang, (3) Wilayah adat Turong dipimpin oleh Tubara’
Turong, (4) Wilayah adat Singkalong, dipimpin oleh Tokey, (5) Wilayah adat
Ambalong dipimpin oleh Tobara Embonatana, (6) Wilayah adat Hoyane
dipimpin oleh Tobara’ Hoyane, (7) Wilayah adat Pohoneang, dipimpin oleh
5 Ngelouw, Masyarakat Seko, 4.
6 Data Desa Tanama Kaleang, 20 April 2017.
41
Tobara’ Pohoneang, (8) Wilayah adat Kariango dipimpin oleh Tomukaka
Kariango’ dan (9) Wilayah adat Beroppa’ dipimpin oleh Tomukaka Beroppa’.7
Berdasarkan pembagian wilayah Seko di atas yang menjadi lokus
penelitian penulis ialah Seko Embontana, terdiri dari tiga desa dan tiga wilayah
adat (katobaraang). Kata Embonatana merupakan istilah yang dipakai
menyebutkantanah yang subur dan kaya sumber daya alam. Hal ini diketahui
melalui ungkapan sayair lere’: Litak ada’ makasana tonaesongi tobara lae i
Embonatana. Lino’ sanganakta, litak makaleng-laeng. Untaian syair lere’ ini
mengungkapkan kejayaan masyarakat katobaraang Embonatana yang hidup di
atas tanah subur, bersahabat dan kaya sumberdaya alamnya.8
Seko Embonatana berada di dataran tinggi pegunungan “Tokalekaju”
diapit oleh pegunungan Quarles dan Verbeek. Tepatnya di aliran sungai Uro dan
Betue, bagian tengah huruf “K” jantung Sulawesi. Jarak dari ibu kota kabupaten
Luwu-Utara, Masamba 120-150 KM yang ditempuh dengan jalur transportasi
udara dengan menggunakan pesawat perintis, jalur darat menggunakan ojek yang
menghabiskan waktu 2-3 hari. Jalur darat dilalui ojek masih berupa jalan tanah
yang memiliki banyak rintangan seperti lebar jalan yang sempit, dan kondisi tanah
basah dan berlumpur sehingga menyebabkan ongkos transportasi ojek mahal.
Secara geopolitik Seko Embonatana terbagi menjadi tiga pemerintahan
Desa yakni Desa Embontana, Tanamakaleang dan Hoyane. Dengan luas wilayah
7 Arsip SK. Bupati Luwu Utara H. M. Luthfi A. Mutty 2004.
8 Wawancara, Tembo. (Tokoh Masyarakat), 20 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
15.00 WITA.
42
703.63 hektar dan jumlah penduduk 4600 jiwa.9 Secara umum masyarakat Seko
Embonatana 96 % bekerja sebagai petani, 4% Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dengan tingkat pendidikan rata-rata 85% lulus SD-SMP sedangkan yang lulus
SMA-S1 mencapai 15%.10
Wilayah adat ini dikenal sebagai daerah yang kaya
akan sumber daya alam baik hasil hutan, mineral, ternak dan hasil-hasil pertanian
dan perkebunan lainnya yang menunjang ekonomi masyarakat setempat.
3.2. Sistem Kepercayaan Orang Seko Embonatana
Dahulu kala pra-agama Kristen dan Islam, kepercayaan masyarakat Seko
Embonatana dilekatkan pada ajaran Aluk Pa’ Ada’ yang akrab dikenal dengan
Aluk Todolu atau Aluk Mapporondo’. Dalam kepercayaan itu masyarakat Seko
meyakini Tuhan sang pencipta (Dehata i’ Tangana Langi’), mempersonifikasi diri
menjadi dewa air (Dehata Uhai’), yang dipuja dengan setia melalui perilaku dan
ritus-ritus sakral. Orang Seko percaya sikap keagamaan merupakan tujuan hidup
mencapai kekekalan di alam baka (katuhoang unda ara upuna) bersama dengan
Dehata Langi’ dan leluhur mereka yang telah dahulu kesana membali’ dehata.
Penghayatan terhadap yang ilahi mewajibkan Orang Seko untuk taat dan setia
menjalankan segala ritual demi keseimbangan kosmos dan menjaga stabilitas
kehidupan manusia, binatang dan tumbuhan sebagaimana yang terkandung dalam
ajaran Aluk dan Pemali.
Ketaatan pada ajaran Aluk dan Pemali menunjukkan sikap religius
masyarakat Seko Embonatana, yang bukan hanya pengabdian kepada Dehata i
9 Wawancara, Esra Nome. (Kepala Desa Hoyane),14 April 2017. Desa Hoyane, Pukul
09.00 WITA. 10
Wawancara melalui via telepon, Topel Pomandia. (Kepala Desa Tanamakaleang), 19
Agustus 2017. Palopo, Pukul 18.00 WITA.
43
Tangana langi (Tuhan Yang Maha Esa), melainkan juga percaya kepada suatu
panteon yang terdiri dari banyak roh-roh (dehata-dehata), seperti roh leluhur yang
beringkarnasi (melondo’) menjadi binatang dan bersemayam di tempat-tempat
tertentu, juga terdapat banyak sekali ilah diantaranya dehata ikatehu yang biasa
disebut dehata i karu kayya ( ilah yang bersemayam di pohon), dehata i potali
(ilah yang bersemayam di gunung tertinggi di Seko Embonatana), dehata i
makaruppanna (ilah di bebatuan) dan sebagainya.11
Bagi orang Seko, yang ilahi menyatu dengan alam sehingga segala bentuk
gejala alam tidak pernah dilepaskan dari kendali Dehata. Berbagai peristiwa-
peristiwa alami seperti banjir, kekeringan, disambar petir, dijatuhi pohon,
dimangsa binatang buas, gagal panen, sakit penyakit, dan kematian atau apapun
yang menimpa kehidupan manusia mengungkapkan kekuatan-kekuatan ilahi adi-
manusia. Sikap religius dan penghayatan ketuhanan masyarakat Seko Embonatana
yang demikian menciptakan keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dalam
semestaan mengandung nilai yang sakral, dan harus dipelihara, dijaga dan
dihargai (nisipa’) lewat tindakan yang baik dan benar, melalui ritual dan sesaji
persembahan mengungkapkan kesetiaan.
3.3. Stratifikasi Masyarakat Seko
Orang Seko Embonatana tradisional tidak mengenal sitem kerajaan
melainkan kehidupan dalam satu konsep pemerintahan demokrasi terpimpin di
berbagai wilayah katobaraang. Secara umum kehidupan orang Seko dikenal tiga
11
Wawancara, Cornelius Paonganan, (Mantan Tobara Hoyane), 23 Desember 2016.
Pukul 16.00 WITA.
44
kedudukan besar yakni kaum bangsawan (Tobara’), Masyarakat (Tau Umbara’)
dan budak (Kunang).12
Tobara’ merupakan kelas bangsawan yang dipilih dan diangkat oleh orang
banyak menjadi seorang pemimpin dengan kriteria Bijaksana (manarang), Berani
(harani), Baik (kinaba) dan kaya (suki). Pada zaman dahulu kala sebelum tahun
1945 Tobara’ adalah jabatan pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin
keagamaan (To Modehata) dikalangan orang Seko. Tobara’ didampingi oleh
seorang penasehat yang bijaksana yang dikenal dengan gelar Possakiih. Di bawah
Possakiih terdapat jabatan Panglima Perang (Pongkalu’), Pemimpin dibidang
Peternakan (Pongarong), Pemimpin di bidang Pertanian (Porrapi), Pemimpin di
bidang Pembangunan (Pombala) dan Seorang Pandai Besi (Pottapah).13
Tau
Umbara’ adalah sekelompok masyarakat yang terdiri dari anggota masyarakat
biasa yang setia dan mematuhi kepemimpinan Tobara’ sedangkan kunang adalah
sejumlah budak yang dibeli dengan kerbau dari daerah sekitar dan budak yang
ditaklukkan dalam peperangan (to nirappah).14
3.4. Sendi-sendi Kebudayaan Seko Embonatana
Sebagai suatu suku bangsa di Sulawesi orang Seko memiliki kebudayaan
tersendiri dan unik. Dalam kebudayaan yang kompleks itu masyarakat Seko
melaksanakannya sesuai dengan situasi religius yang dihayati masyarakat
setempat dalam hubungannya dengan kehidupan manusia (tolino), binatang (olo-
12
Ngelouw, Masyarakat Seko, 213. 13
Wawancara, Usman Sispair. (Masyarakat), 18 Desember 2016. Kota Palopo, Pukul 16.
00 WITA. 14
Wawancara, Teang, (Imam Masjid), 21 April 2017. Desa Hoyane, Pukul 16.00 WITA.
45
olo’) dan tumbuhan (lamungang). Setiap ritual kebudayaan yang dilaksanakan
oleh orang Seko Embonatana selalu ditandai dengan lere’. Lere’ merupakan syair
sakral dinyanyikan sekelompok orang dewasa dengan irama yang beragam sesuai
situasi yang dihadapi. Syair lere dinyanyikan dengan dikomando oleh seorang
pemimpin syair (pollere) dengan maksud mengucapsyukur, bermohon, pesta
budaya, pembukaan lahan baru, dan menunjukkan legitimasi jabatan dan
kekuasan yang dihayati sebagai sakral, mengandung pemujaan kepada Tuhan
penguasa semestaan (Dehata). Setiap syair lere’ memiliki makna yang berbeda-
beda berdasarkan konteks ritual yang dilakukan.15
Dahulu kala setiap ritual yang dilakukan di Seko didasarkan pada tingkat
dan urutannya tetapi urutan ritual tersebut secara pasti tidak dapat lagi diketahui,
sejak orang Seko memeluk agama Kristen dan Islam yang melarang praktek ritual
itu sebab dianggap kafir (kapere’).16
Adapun bentuk kebudayaan dan ritual di
Seko Embonatana sebagaimana yang penulis dapatkan di lapangan dapat
dibedakan dengan kategori besar sebagai berikut:
3.4.1. Ma’ Patokkoh Tobara’
Ma’Patokoh Tobara’ adalah ritual peneguhan pemimpin yang
dilaksanakan oleh seorang penasehat pemimpin (possakiih) kepada calon Tobara’
(pemimpin masyarakat) dengan menyiram air yang disucikan dalam periam yang
di campur dengan berbagai macam tumbuhan sakral diantaranya tabang dan
15
Wawancara, Cornelius Paonganan, (Mantan Tobara Hoyane), 23 Desember 2016.
Pukul 16.00 WITA. 16
Wawancara, Tembo. (Tokoh Masyarakat), 20 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
15.00 WITA.
46
petappe’. Dalam ritual itu seorang Tobara’ (pemimpin yang diteguhkan)
menyediakan makanan dengan memotong sejumlah kerbau untuk menjamu
seluruh masyarakat yang hadir menyaksikan upacara itu.17
Peneguhan seorang Tobara’ dapat dilakukan apabila masyarakat
setempat memberikan pengakuan bahwa seorang calon Tobara tersebut sudah
layak dilaksanakan. Syarat untuk mendapatkan jabatan sebagai seorang Tobara’
di Seko ialah berani menanggung setiap resiko (harani), bijaksana (manarang),
berjiwa luhur (kenaba’) dan memiliki harta benda (suki atau pahela’).18
Jika calon Tobara’ sudah memiliki empat kriteria di atas selanjutnya
dilakukan pembuktian kualiatasnya melaui kegiatan mappeandei’. Mappeandei’
adalah proses pengujian kualitas kepemimpinan seorang Tobara’ yang
dibuktikan oleh alam dan disaksiakan manusia. Pembukitian kualiats itu dilihat
dari angka kematian manusia dan hewan, kesuburan tanaman serta hasil
pertanian. Ketika seorang calon Tobara’ berhasil melewati masa mappeandei’
dengan memperoleh bukti dan pengakuan masyarakat (tauummbara’) dan
pengamatan beberapa ahli di bidang pertanian dan peternakan (porrappi dan
pongarong) maka seorang calon Tobara’ ditegukan (nipatokkoh), pada saat yang
sama diadakan aktivitas lere’. Sebaliknya dalam fase itu seorang calon Tobara’
yang gagal memberikan bukti kelayakannya maka dinyatakan batal diteguhkan,
17
Wawancara, Yohanis Andekan. (Pensiunan PNS), 2 Januari 2017. Tana Toraja, Pukul
10.00 WITA. 18
Wawancara, Fajar Padalingan. (Masyarakat), 28 Desember 2016. Desa Tanamakaleang,
Pukul 16.00 WITA.
47
selanjutnya dicari penggantinya.19
Kepemimpinan Tobara' yang dimaksudkan di
atas telah mengalami perubahan dan pergeseran makna, waktu, peralihan fungsi
kepemimpinan tradisional menjadi pemerintahan distrik dan desa yang
seluruhnya mengeserkan nilai yang dijunjung tinggi masyarakat setempat dalam
jabataan katobaraang dalam kehidupan masyarakat Seko Embonatana yang
semuanya disesuaikan dengan peraturan dan kebijakan pemerintah.
3.4.2. Meleppo’
Meleppo’ merupakan aktivitas kebudayaan dalam rangka pembangunan
rumah tempat tinggal. Dalam kegiatan ini diadakan ritual menarik kayu dari
hutan dan menarik batu sungai (moriu hatang ya hatu) yang dilakukan secara
gotong royong. Batang kayu yang ditarik dari hutan dengan ukuran besar (garis
tengah 2 cm), dijadikan tiang dan pondasi rumah, sedangkan batu besar kira-kira
sebesar kerbau jantan yang ditarik dari sungai, dijadikan sebagai dasar pondasi.
Dalam kegiatan moriu hatang dan hatu dipimpin oleh seorang mandor yang
mengomando masyarakat dengan hitungan oso’ (sebagai tanda tarikkan pertama)
dan hiuoso’ (tanda tarikan kedua). Sementara lere terus dinyanyikan sebagai
tanda ucapan syukur atas alam yang menyedikan segala fasilitas yang
dibutuhkan. Kegiatan ini dilakukan dengan pemotongan kerbau dan babi untuk
menjamu masyarakat yang bergabung dalam kegiatan itu.20
19
Wawancara, Yunus Pangnga’. (Kaur Pembangunan), 27 Desember 2016. Desa Hoyane,
Pukul 18.00 WITA. 20
Wawancara, Paulus Ulu’. (Masyarakat), 19 April 2015. Desa Hoyane, Pukul 16.00
WITA.
48
Sebelum ritual ini dilaksanakan seorang tukang yang ahli memilih jenis
kayu untuk bangunan rumah (pombala) menyapa kayu itu dalam bahasa lere,
kemudian secara berbalasan sekelompok masyarakat menyanyikan lere sebagai
berikut: Pombala: Kayu aka teeh lea, lea kayyu aka teeh? (ini kayu apa dan
milik siapa kawan). Sekelompok Masyarakat: Kayunna lea Pombala ’ (ini
adalah kayu milik tukang di hutan ini). Hal tersebut sengaja diungkapkan supaya
roh kayu tersebut tidak murka atas manusia. Selanjutnya dilakukan kegiatan
bersama menarik kayu tersebut, ketika kayu itu berada di tempat jurang yang
terjal dan membahaya kanorang yang melukan kegiatan itu, maka kayu sebagai
yang hidup. Menurut informan bahwa dalam kegiatan itu belum pernah ada
masyarakat Seko yang dicelakai kayu atau batu yang ditarik dalam kegiatan
pembangunan rumah sebab mereka mampu menjiwai kayu itu. Sapaan terhadap
kayu atau batu itu dilakukan dengan menyanyikan lere berikut; kayu aka telea?
mambekkongnga solana. (Ini kayu apa ini kawan? Kenapa dia hendak menjepit
sesamanya).21
3.4.3. Mettaung
Mettaung artinya mengelola bumi, ritual ini dilakukan pada saat
masyarakat memasuki masa pengelolaan tanah pertanian. Dahulu kala masyarakat
Seko belum akrab dengan bertani di sawah. Jadi masyarakat bercocok tanam
dengan membuka ladang perkebunan dan menanam padi, jagung dan sayur-
sayuran. Sebelum masyarakat mengerjakan lahan baru pemimpin pertanian dan
21
Wawancara, Tembo. (Tokoh Masyarakat), 20 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
15.00 WITA.
49
peternakan (pongarong dan porrapi’) pergi mensurvei lahan yang direncanakan
untuk ladang baru. Lalu porrapi’ mengambil tanah dan menyanyikan lere’
sebagai berikut:
Metemmi to lea Pongarong, Pongarong lea e polio, polio lea e
merayo. Lalu Pongarong menjawabnya, Leba’ io lea e Porrappi’,
Porrapi lea e barumbong. (Begitulah adanya kawan, tanah ini akan
penuh biji-bijian padi dan jagung. Lalu Pongarong menjawahnya,
Ia betul kawan, tanah ini juga akan penuh sayur-sayuran yang
tumbuh).22
Setelah itu masyarakat berbondong-bondong membuka ladang sesuai batas
kemampuannya mengolah ladang perkebunan. Pada hari pertama sebelum bekerja
masing-masing anggota keluarga membawa ayam jantan dan memotongnya di
dalam ladang yang di kerjakan. Mereka mengucapkan doa berkat untuk tanah itu
(modehata) kemudian mereka bekerja sambi menyayikan Hokke. Hokke adalah
syair lagu yang berisikan doa kepada Dehata (Tuhan pemilik alam) adapun syair
hokke’ yang dinyanyikan masyarakat dalam membuka lahan baru di ladang ialah
sebagai berikut:
Hokke lea, polio le a polio 116. 465
Polio le a merayo 4656. 465
Parayo le a barumbong 4656.565
Pengertian syair hokke’ di atas ialah, hokke (harapan yang dinyatakan
dalam bentuk lagu), lea (bermakna sapaan kedekatan yang mengacu pada
persaudaraan dan persahabatan), polio (bermakna tanaman padi-padian), porayo
22
Wawancara, Tembo. (Tokoh Masyarakat), 20 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul 15.00
WITA.
50
(bermakna tumbuhan jagung), merayo (berarti sayur-mayur).23
Selanjutnya
sesudah mengerjakan ladang itu (tumete’), masyarakat secara serempak membakar
kayu dan rerumputan (mosohe/morappung), lalu menanam sayur-sayuran
(mallamung isuang) padi dan jagung (mattuda’). Setelah tanaman tumbuh
dipelihara dengan baik mereka membersikan ladang secara rutin. Waktunya padi
itu menguning maka masyarakat menyanyikan syair lere di ladang mereka
masing-masing. Lere tersebut dinyanyikan terus menerus hingga waktu menuai
padi. Pada waktu panen padi (morako) masing-masing keluarga memilih seorang
anggota keluarganya menjadi pemimpin ritual panen itu, lalu mereka menjuluki
porrotang. Seorang yang dipilih sebagai porrotang adalah anggota keluarga yang
dianggap memiliki hari beruntung ditahun itu dengan harapan padi yang dituai
mencapai hasil yang melimpah. Porrotang wajib mengikuti seluruh aturan tabu
selama masa panen.24
Setelah panen selesai maka diadakanlah ritual mappeandei, suatu kegiatan
syukuran hasil pertanian sekaligus menikmati hasilnya di tahun itu dengan
memotong kerbau dalam jumlah yang disepakati menurut hasil panen. Dalam
upacara ini diadakan berbagai macam tarian masyarakat yang mengekspresikan
sukacita dan kebahagiaan.
3.4.4. Mabuea’ dan Morrondo’
Mabua’ merupakan aktivitas kebudayaan masyarakat Seko Padang dan
Seko Embonatana yang dilaksanakan dalam suatu pesta untuk menguatkan daya
23
Marsunyi Bangai, dalam Zakaria J. Ngelow, Masyarakat Seko, 240. 24
Wawancara, Teang, (Imam Masjid), 21 April 2017. Desa Hoyane, Pukul 16.00 WITA.
51
hidup manusia, kerbau dan padi. Dalam pesta rakyat itu diadakan seni marronno
atau menatto bagian tertentu tubuh seorang yang bersedia, kegiatan mabue
bercikal bakal dari dunai roh. Pada zaman dahulu kala sebuah keluarga di
daerah Wono, Seko Padang mempunyai seorang anak laki-laki yang hidupnya
dimanjakan dengan tidak memberikan pekerjaan dalam bentuk apapun
kepadanya, lalu datanglah seorang roh di dalam sungai dan berkata kepada orang
tuanya: Jangan kau sayangi anakmu dengan cara seperti itu. Karena itulah harus
ada suatu pesta, lalu roh itu membawa anak itu ke dalam air alam roh, kemudian
menikahkandengan seorang anaknya. Dua tahun tinggal dengan roh itu dimana
melihat kegiatan mabuea’ dan mempelajari kebiasaan itu. Setelah itu ia pulang
bersama istrinya ke Hono dan mempraktekkan kegiatan bua’ yang ia lihat dalam
alam roh.25
Kegiatan ini dilakukan apabila beberapa kali terjadi kegagalan panen,
kematian ternak dan manusia yang terkena penyakit atau kematian maka
diputuskan untuk melakukan bua’. Pada waktu ladang dan sawah akan ditanami
maka orang berjanji kepada roh-roh (dehata) bahwa jika panen mereka berhasil
mereka akan melakukan upacara bua’. Kegiatan bua’ berkaitan erat dengan
pengorbanan tandasang (manusia belian) dari negeri jauh yang ditukar dengan
kerbau. Dalam upacara upacara itu, masyarakat dijamu dengan makanan dari
kerbau yang dipotong, tandasang (budak belian) pun diberi makan dengan
disuap sebab ia tidak bisa melayani dirinya karena kedua tangannya diikat.
25
Ngelouw, Masyarakat Seko, 220.
52
Setelah makan orang menggiring tandasang keluar dan membenturkan
kepalanya pada balok pembuatan (fuya) di kolong rumah Tobara’ (kaum
bangsawan). Lalu orang lain membawanya ke kolong rumahnya masing-masing
dan membenturkan kepalanya pada lesung padinya sementara itu orang
memasukan makanan ke mulutnya. Sesudah dianiaya, akhirnya tandasang
dibawa kembali kerumah Tobara’. Di sini ditempatkan di atas serambi duduk
dipuncak tangga, semua orang berdiri di bawah dengan memegang sebatang
kayu.
Kemudian Tobara’ berkata kepada tandasang itu: Jangan menganggap saya
salah karena saya membunuh orang. Saya juga manusia seperti engkau, tetapi
saya telah membelimu dengan kerbau. Lalu ia menarik kaki tandasang itu
kebawah lalu orang-orang memukulinya hingga mati. Setelah itu mayatnya
dibaringkan di depan rumah Tobara’ dan para wanita beramai-ramai
memukulinya.
Lalu pongkalu memenggal kepalanya dan tubuhnya dikuburkan di sebelah
barat rumah Tobara’ dengan kaki di atas. Kepalanya di masak sampai licin supaya
bagian-bagian yang lembek terpisah sehingga mudah dikerutkan. Setelah itu orang
menggantungkan kepalanya pada tiang tengah (petuho’) rumah Tobara’ bersama
dengan tanduk kerbau yang dikorbankan. Setelah Pongkalu memanjat kesebelah
atas tanduk kerbau kemudian mempersembahkan sesaji nasi, hati kerbau dan
53
sebutir telur kepada Dehata kemudian orang membongkar meja
persembahan(paruang).26
Setelah usainya pesta mabuea’ maka diadakan marronno’ (tato) kepada
haliang (para gadis anak Tobara’ yang berperan menyambut dan menjamu
tandasang sementara itu orang lain memiliki kesempatan untuk ditato’ baik laki-
laki maupun perempuan. Kegiatan menatto dilakukan oleh seniman yang di sebut
porrondo dengan syarat aturan tabu yang berlaku atas dirinya dan bagi orang yang
di tattonya selama kurun waktu tertentu. Sebelum dilakukan acara marrondo,
terlebih dahulu diadakan ritual pemotongan kerbau dan mempersembahakan sesaji
kepada Dehata. Lalu dilaksanakan kegiatan merajah pada beberapa bagaian
tertentu tubuh manusia.
Alat yang digunakan untuk menato (marrondo’) ialah besi kecil berbentuk
jarum (osu), jelaga damar, empedu ular sawa dan sedikit air. Adapun gambar yang
dilukis dibagian tubuh manusia yakni wajah (sila-sila), kantong siri (seriria
sipu’), kapas (kapa-kapa), telur (lisa), jenis pakis yang tidak dimakan (papu-
papu), jenis tanaman paku-pakuan (tanusu), gagang parang yang diikat dengan
rotan (salungang), sebuah tanaman yang dianggap sakral (tabang),pengukur
panjang dari siku ke ujung jari (suka), hiasan (obe), batang pisang yang biasa
dimasak sayur (tita), tempat menggantung sesuatu (saikkang), sebuah kancing (tu’
u-tu’tu’),gambar antara (ala’na) dan gambar perhiasan lainnya.27
Makna yang
26
J. Kruyt, Het ma’ boea en de tatouage in Seko, (Miden-Celebes). Bijdra tot de teaal, lond-
en Volkenkunde Van Nederlandsch-Indies 76, 1920, blz 235-257. Mabuea di Pohoneang Seko
bagian Tengah dalam Ngelouw,Masyarakat Seko,112-217. 27
Ngelouw, Masyarakat Seko, 223-224.
54
terkandung disetiap lukisan tatto di atas menggambarkan kejayaan, kekayaan,
peran dan fungsi serta dengan strata sosial dalam masyarakat.
3.5.Sallombengang
Sebagaimana yang menjadi pengetahuan bersama bahwa Sallombengang
merupakan ritual yang dilakukan masyarakat Seko Embonatana apabila semua
bentuk ritual sudah dilaksanakan, akan tetapi kegagalan dan kemalangan terus
menerus melanda manusia, tanaman dan hewan. Maka diadakanlah siaya
(pengakuan para petuah kampung), selanjutnya diadakan ritual Sallombengang
dalam rangka menjaga kestabilan sosial yang terekat, utuh dan bersatu.
Informan menjelaskan bahwa cerita yang diwariskan oleh orangtua kepada
kami, bahwa Sallombengang merupakan ritual yang dilaksanakan dengan
memotong kerbau sebagai simbol perdamaian yang dipegang teguh oleh seluruh
masyarakat setempat. Alasan memotong kerbau dalam ritual Sallombengang
kareana kerbau tergolong binatang yang memiliki nilai yang paling tinggi dalam
masyarakat (matodo’ hulunna). Menurut narasi rakyat bahwa kerbau merupakan
hewan peliharaan Dehata Uhai (Dewa Air). Dahulu kala di sungai Betue tempat
mengadakan ritual dan kultus kepada Dehata Uhai, seekor kerbau jantan muncul
dari dalam air ke darat lalu di susul kerbau betina dan manusia menangkapnya.
Sebab itu kerbau diyakini sebagai binatang yang bernilai suci. Dengan pemaknaan
yang demikian kerbau digunakan dalam berbagai macam ritual masyarakat, salah
satunya adalah Sallombengang. Dalam Ritual Sallombengang dilakukan ketika
terjadi perseteruan, konflik dan benturan antara masyarakat Seko sendiri maupun
55
masyarakat luar. Jika tidak dilakukan ritual ini maka akan terjadi malapetaka yang
menimpa masyarakat dalam bentuk penyakit, kematian, gagal panen dan
sebagainya.28
3.5.1. Pengertian Sallombengang
Berdasarkan tuturan lisan Sallombengang berasal dari kata lombeng yaitu
tempat menyimpan, memasukkan, mengumpulkan, menimbang dan menyatukan
biji-biji emas kecil untuk ditimbang. Dari kata inilah muncul istilah
Sallombengang yang diartikan sebagai wadah menyimpan kebenaran,
menghimpun kebaikan, menimbang keadilan dan menyatukan seluruh masyarakat
dalam satu ruang yang kuat tempat menyatukan biji emas yang memiliki
keragaman bentuk. Dengang menjunjung tinggi nilai kemanusian, keadilan,
kejujuran, kesetiaan dan kesetaraan hidup dalam ikatan yang kuat (tuh’
sakkapu’).29
Orang Seko meyakini bahwa Sallombengang merupakan ajaran dari Tuhan
(kareba’ nipasaki’ nei Dehata) melalui sabda yang disampaikan oleh Passupu
(perantara Tuhan dan manusia) yang bernama Roka. Waktu itu di kampung
Amballong Seko Embonatana, Passupu mengundang seluruh Tobara dan tetua
kampung, lalu ia naik ke atas pohon beringin (katehu/harana’) yang rimbun dan
besar, dengan memegang biji manik-manik (saruhane) menyerupai kalung dengan
28
Wawancara, Laso’. (Masyarakat) 23 April 2017. Desa Embonatana, Pukul 15.00 WITA. 29
Wawancara, Usman Sispair. (Masyarakat), 18 Desember 2016. Kota Palopo, Pukul 16. 00
WITA.
56
ukuran kecil, sedang dan besar dan memegang buah aren (kotta) yang berbeda
warnahnya lalu ia berkata dalam bahasa Seko Embonatana tradisional:
E to Seko. Anna u issang ti masallombengang, uiataah ti halusuna
lino. Sakko anna idauissangngi ti masallombengang ya umetenga
re saruhane ung sisarak-sarak, ya unapapelahakka raa’. Sakko
anna uisang hoda ti masallombengang ya umutenga ree kotta ree
eh, namoi andanamasandia sakko mamesa’ marasang nei
kanaung sakko tuho sule.30
Artinya: Wahai orang Seko jika kalian mengetahui hidup
masallombengang yang bersatu, rukun, mengasihi, jujur maka kalaian akan
merasakan kedamaian dan menikmatikesejahtraan hidup di dunia tetapi jika kalian
tidak menghidupi Sallombengang maka kalian akan terporak-porandakan sama
seperti manik ini jika tali pengikatnya dilepaskan tetapi jika kalian tetep
mengetahui dan menghidupi Sallombengang, maka kalian akan seperti buah aren
ini sekalipun berbeda, ukuran, bentuk, dan warnanya akan tetap utuh. Bahkan jika
ada yang jatuh ketanah pasti akan tumbuh, berbuah dan berfungsi seperti pohon
aren ini segala unsurnya memiliki manfaat untuk kehidupan. Karena itu
Sallombengang wajib dilakukan dalam kehidupan sehari-hari kapan dan di
manapun kita berada.31
Perspektif lain memaknai Sallombengang dari kata lombeng itu sebagai
tali pengikat tuyu. Tutu’ adalah jenis tanaman yang dianyam menjadi tikar,
banyaknya kira-kira satu genggaman orang dewasa. Pengikat tuyu itulah yang
disebut satu lombeng atau sallombengang. Jadi Sallombengang dalam versi ini
30
Wawancara, Narto Lome. (Pendeta), 20 Desember 2016. Tana Toraja, Pukul 13.00
WITA. 31
Wawancara, Cornelius Paonganan, (Mantan Tobara Hoyane), 23 Desember 2016. Pukul
16.00 WITA.
57
diartikan sebagai tali perekat yang mempersatukan kepelbagian dalam masyarakat
baik kelas sosial, jabatan, pekerjaan, pendidikan dan gender.32
3.5.2. Sejarah Sallombengang dan Roka
Berdasarkan cerita yang hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya,
melalui cerita baik di rumah maupun tempat bertani, saatduduk bersama pada
waktu makan dan minum kopi (jam 4 sore) seperti biasanya orangtua
menceritakan Sallombengang sebagai sejarah penting bagi kehidupan masyarakat
Seko Embonatana, sebab melaluinya kita bisa hidup bersatu, berdamai dan
melakukan segala hal yang baik. Menurut tuturan lisan itu kami mendengar bahwa
amanah, Sallombengang diperkirakan muncul pada abad ke-XVIII sekitar tahun
1820-an. Dalam konteks itu masyarakat Seko berada dalam situasi yang kacau
balau akibat perang saudara antara wilayah katobaraang (wilayah adat) hampir
seluruh wilayah Seko. Kehidupan yang tidak bersatu membuka peluang bagi dua
kerajaan besar yakni kerajaan Luwu di timur dan kerajaan Kulawi di utara untuk
memperebutkan seluruh wilayah katobaraang di Seko. Tekanan dari dua kekuatan
besar itu menjadi ancaman bagi peradaban Seko, muncullah seorang passupu
(perantara Tuhan dan manusia) yang bernama Roka dengan membawa ajaran
Sallombengang yang menekankan persatuan dan kebersamaan hidup yang wajib
dipegang teguh oleh seluruh masyarakat Seko demi memperoleh perdamaian yang
abadi.33
32
Wawancara, Teang, (Imam Masjid), 21 April 2016. Desa Hoyane, Pukul 16.00 WITA. 33
Wawancara, Barnabas Bara’. (Tokoh Masyarakat), 26 Desember 2016. Desa Embonatana,
Pukul 16.00 WITA.
58
Roka adalah seorang perempuan yang diyakini menyampaikan sabda ilahi
dari Tuhan (mappadea kareba nipasaki nei Dehata). Ia berasal dari latarbelakang
keluarga terpinggirkan, miskin dan tidak terpandang di masyarakat pada
zamannya tetapi dia diberi ilham atau karunia oleh Dehata dalam mengarjarkan
Sallombengang sebagai pandangan dan cara hidup masyarakat Seko Embonatana.
Masyarakat meyakini bahwa Roka adalah seorang yang memiliki kekuatan supra
natural yang diperoleh dari Dehata Sumarakading (Tuhan Yang Maha Kuasa),
sehingga mampu melakukan mujizat dan nubuatan yang dibuktikan kemudian
hari di Seko. Ia menggunakan bahasa sakti yang berasal dari kayangan dan sulit
dipahami makna dan tujuannya kecuali seorang yang memiliki karunia
mengartikan dan menerjemahkannya.34
Ada anggapan bahwa inti pengajaran Roka adalah“inang ba’ru” atau
dunia baru. Dunia baru yang ia maksudkan yakni dunia modern, sebagaimana
yang ia jabarkan dalam sabdanya di atas“pala’ka” (kemah tempat menyampaikan
ajaranya), dengan menggunakan bahasa Seko Embonatana tradisional. Waktu itu
beliau menubuatkan perkembangan dunia modern yang akan datang kemudian di
Seko. Adapun isi nubuatannya yakni:
Anna idauissang i ti masallombengang,auissangngi timassapang
katuhoang.Pengaraah anna buru ti tau maleholong matanna, buruah
dah ti appeku ussahu bahulaknna, usi ande-ande beteah,
unapapelahakkah ra’a. Adia hurai memammu ti upomemamnga. Anna
uissamo ti masallombengang pengaraah anna buru ti pare kotta’
34
Wawancara, R. Kondo Lada. (Tobara Embonatana), 19 Desember 2016. Desa
Embonatana, Pukul 16. 00 WITA.
59
lakkang kuayang, leppo basi ummelaking. Kanak-kanak mane ni
sasaiah da tahuninna tiunnipomatuaah.35
Arti ramalan tersebut yakni; Jika kalian tidak hidup bersatu, tentu kalian
tidak akan bisa menangkal dan membentengi hidup. Satu saat nanti akan datang
sekelompok orang yang bermata biru, (yangbermata biru yang dimaksudkan oleh
Roka diperkirakan orang asing dari Eropa yang datang di Seko pada tahun 1920-
an). Akan datang sekelompok laki-laki yang berambut panjang (orang yang
berambut panjang diduga tentara DI/TII yang datang di Seko tahun 1950-an).
Kalian pasti saling memakan sama seperti ikan, yang besar memangsa yang kecil,
yang kuat membunuh yang lemah sehingga darah mengalir sampai pinggang.
Bukan lagi kehendakmu yang akan jadi tetapi jika kalian kembali hidup bersatu,
maka saatnya akan datang datang tanaman biji-bijian seperti kakao dan kopi,
kemudian disusul datangnya elang besi (pesawat) dan rumah berjalan (mobil).
Seorang pemimpin akan tampil dari anak kecil yang baru dipotong tali pusarnya.
Semua yang diramalkan atau dinubuatkan Roka, di atas terjadi dan dialami
oleh masyarakat Seko dalam rentang sejarah yang panjang yakni;
Tahun 1923 Agama Sarani (Kristen) masuk di Seko yang
diajarkan oleh Van Weerden, Weerden ini penginjil tentara
Belanda dan matanya biru,yang memaksa agamanya
dianut,kemudian agama Kristen dilanjutkan oleh tuang Pandita
Pither Sangka Palisungan orang Tator (Tana-Toraja). Tahun
1930an kalau saya tidak salah Agama Sallang (Islam) masuk di
Seko yang dibawa oleh orang Duri yang datang menjual dan beli
kopi di Seko, lalu orang Duri itu menikah dengan orang Seko, lalu
memperkenalkan agama Sallang, lalu agama Sallang datang lagi
dibawah oleh tentara gurilla yang panjang rambutnya pada tahun
1951 dan menyuruh masyarakat Seko menganut agama Sarani
35
Wawancara, R. Kondo Lada. (Tobara Embonatana), 19 Desember 2016. Desa
Embonatana, Pukul 16. 00 WITA.
60
dan Sallang tahun itu. Lalu tahun 1953 tentara gurila menyuruh
semua orang Seko masuk agama Sallang dan banyak orang Seko
yang masuk agama itu lalu merea juga jadi tentara gurilla. Orang
yang menolak masuk Sallang dibunuh. Orang Seko yang tidak
mau menerima agama Sallang mengusi ke daerah Karama daerah
bagian Mamuju dan tinggal dengan masyarakat sekitar khusunya
daerah Huko, Ledo, Makki. Ada juga yang ke Toraja di daerah
Baruppu sampai ke Awan, ada juga yang pigi di Palu. Itu tahun
terjadi pengusian 1952-1956. Kemudian 1961. Masyarakat Seko
pulang ke Seko dan memulai kehidupannya yang baru karena
rumah mereka sudah dibakar gurilla, lumbung padi juga dibakar
dan hewan ternak tidak ada lagi sudah habis ditembak. Waktu
masuknya tentara gurilla banyak sekali orang Seko yang mati.
Mungkin ini yang dibilang Passupu bahwa unapapelahakkah raa,
(karena kalian tidak hidup bersatu maka darah akan mengalir
sampai dipinggang menghiasi bumi Seko). Puji Tuhan sekarang
kita sudah menikmati pare kotta (padi, jagung, coklat dan kopi
yang melimpah) dan kita sudah lihat lakkang kuayang (pesawat),
leppo basi ummelakking (mobil) yang datang di Seko saat ini.36
Berdasarkan pengalaman hidup yang dialami oleh orang Seko di atas
mestinya menjadi pembelajaran bagi generasi Seko saat ini, dalam rangka
mengatasi beragam konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat terkait persoalan
pembangunan infrastruktur PLTA Seko Power Prima yang tampaknya memupuk
konfilik yang kembali ditampilkan pada perseteruan kepentingan yang bercikal
bakal dari hal-hal sepele kemudian menggoncang masyarakat Seko yang pro dan
kontra terhadap pembangunan itu. Berbagai jalur baik hukum, pemerintah dan
gereja telah ditempuh untuk memediasi agar terjadi harmonisasi dan perdamaian
tetapi konflik sosial masih saja terjadi dan kesenjangan sosial antara masyarakat
semakin memprihatinkan.37
36
Wawancara, Suleman Sobong. (Sekertaris Desa), 27 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA. 37
Wawancara, Yunus Pangnga’. (Kaur Pembangunan), 27 Desember 2016. Desa Hoyane,
Pukul 18.00 WITA.
61
Pengajaran yang lainnya Roka’, mengritik ketidakadilan yang dilakukan
oleh pemimpin masyarakat kepada rakyatnya sehingga tidak sedikit masyarakat
mengikuti ajarannya, maka terjadilah kecemburuan sosial dari salah seorang
Tobara’di Amballong. Maka Tobara’ meminta bantuan pasukan kerajaan Luwu
di bawah pimpinan Opu Daeng Makole Tarue yang bertugas di Seko dan
beberapa orang dari Beroppa Seko Lemo untuk menyerang pala’ka’ kemah
pemberitaan sabda Sallombengang. Penyerangan pertama Roka tidak
terkalahkan oleh sejumlah orang yang menyerangnya tetapi penyerangan kedua
berlangsung Roka mengundurkan diri bersama pengikutnya karena kuatir
peperangan itu akan banyak menelan korban jiwa.
Kemudian ia mengungsi ke seberang sungai Betue tepatnya di Tarette
wilayah yang terjal sehingga orang sulit menjangkaunya. Setelah tinggal di
Tarette selama tiga tahun, lalu pindah ke Tadepong dan ke Kapiri, terakhir pindah
ke Usaho sebuah wilayah di Seko Embonatana, disitu ia membangun pala’ka dan
mengajarkan Sallombengang selama tiga tahun.Tahun 1872 Roka jatuh sakit dan
kehilangan kekuatannya hingga ia meninggal tahun 1891. Jenasanya dibawah ke
tempat pertama menerima ilham dari Dehata Sumarakading (Tuhan Yang Maha
Kuasa) dan di kuburkan dalam goa, tiga kilo meter dari kampung Amballong
Seko Embonatana, sampai sekarang peti dan kerangka jenasanya masih utuh.38
3.5.3. Ritual Sallombengang
38
Wawancara, Suleman Sobong. (Sekertaris Desa), 27 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA.
62
Sallombengang adalah salah satu bentuk ritual kebudayaan dari beragam
upacara yang dipraktikkan oleh masyarakat Seko dalam setiap tahunnya.
Sallombengang merupakan ritual yang dilaksanakan untuk merekatkan ikatan
persatuan dan persaudaraan antara wilayah adat (katobaraang) di Seko
Embonatana. Sebelum dilaksanakan ritual Sallombengang para tetua kampung
(Tobara dan Amanna Lipu) terlebih dahulu mengadakan musyawarah untuk
menentukan tempat dan waktu pelaksanaan kegiatan. Setelah sepakat, tetua
kampung membagi pekerjaan dan menyuruh beberapa anggota masyarakatnya
menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam kegiatan itu.39
Satu hari sebelum dilakukannya ritual itu, semua perempuan datang
membawa beras untuk komsumsi hari esok. Sedangkan laki-laki menyiapkan kayu
bakar dan bahan lainnya yang dibutuhkan. Keseokan harinya diadakanlah ritual
Sallombengang dalam acara itu seluruh masyarakat di masing-masing wilayah
adat (katobaraang) terlibat mengikuti ritual, dengan nyanyian (hatta) sebagai
ungkapan syukur atas kebersamaan yang terjalin. Selanjutnya diadakan pentas
seni budaya dan pemotongan kerbau dalam jumlah yang disepakati oleh tetua
kampung. Hati kerbau yang dipotong sedikit dipersembahkan kepada Tuhan
(Dehata), dengan cara menancapkannya dalam sebuah lingkaran sambil
mengucapkan doa (massodang).40
Lalu Tobara berdiri di depan orang banyak, kemudian menjelaskan arti
dan makna Sallombengang dengan memegang manik-manik (saruhane’), buah
39
Wawancara, Teang, (Imam Masjid), 21 April 2017. Desa Hoyane, Pukul 16.00 WITA. 40
Wawancara, Narto Lome. (Pendeta), 20 Desember 2016. Tana Toraja, Pukul 13.00 WITA.
63
aren (hoana kotta), buah pinang (hoana buaa’), pengikat tuyu’ (pekapu tuyu’)
seperti yang diajarkanRoka. Selanjutnya tetua dari dikampung tetangga bergantian
menyampaikan wejangan hikmat dan perdamaian. Kemudian diadakan makan
bersama di rumah Tobara’, lalu masyarakat yang datang dalam ritual itu boleh
pulang ke kampung mereka masing-masing.41
Sekalipun sudah dilaksanakan ritual Sallombengang antara wilayah adat
(kotobaraang) tetapi masyarakat di kampung tertentu mengalami sakit-penyakit,
kematian, kegagalan panen, dan ternak tidak berkembang biak dengan baik maka
dilakukanlah ritual Sallombengang yang kedua kalinya. Proses pelaksanaan
upacara itu diawali dengan musyawarah (mokobo’) oleh para tetua kampung
(amanna lipu’) yang dipimpin oleh seorang Tobara’. Inti musyawarah tersebut
ialah mencari segala penyebab terjadinya kemalangan yang mereka alami
(massalu tuho). Ketika mereka menemukan penyebab kemalangan maka diadakan
pengakuan kesalahan kepada Tuhan (Dehata) atas pelanggaran yang mereka
lakukan. Lalu beberapa waktu kemudian dilaksanakanlah ritual Sallombengang.42
Selang waktu 2 hari sebelum kegiatan ritual Salombengang dilakukan,
seperti biasanya tetua kampung membagi pekerjaan bagi masing-masing anggota
masyarakatnya untuk mempersiapkan ritual. Usainya persiapan dilakukan, maka
dimulailah ritual di kediaman Tobara. Kemudian masyarakat berdiri melingkar di
bawah kolong rumah Tobara’ sambil menombak kerbau yang disediakan untuk
41
Lihat arti kata lombeng, saruhane, kotta’, bua’pekapu tuyu’ pada pengertian dan makna
Sallombengang di atas. 42
Tetua Kampung yang dimaksudkan ialah Tobara’ Possakiih, Pongarong, Porrappi,
Pokkalu’, Pottappah dan Pombala.
64
ritual itu. Lalu pokkalu (bidang peternakan), turun dari rumah Tobara’ dengan
memegang bambu bulat yang ukurannya kira-kira 2 meter panjangnya, lalu
memukul tiang rumah sambil berkata: Sai to’ massaku balulangku? (siapakah
yang menombak kerbauku?) Maksud ungkapan ini untuk massondo’ (menjiwai)
roh kerbau itu supaya tidak merasa kecil hati kerena ditombak oleh manusia.
Dengan terbunuhnya kerbau itu diharapkan membawa segala tindakan buruk ke
alam kematian. Kemudian kepala kerbau disucikan oleh seorang pemimpin ritual
(Ponodehata), lalu Pongkalu memberikan wejangan persatuan.43
Beberapa laki-laki yang sudah ditentukan pergi memasak daging kerbau
yang ditombak itu, sedangkan perempuan mempersiapkan nasi untuk makan
siang. Sesudah persiapan, semua masyarakat naik kerumah Tobara’ dan duduk
membentuk lingkaran luas di bagian tengah rumah itu (kalena’ lleppo’). Tobara’
berdiri di tengah-tengah orang banyak itu lalu menyampaikan pengakuan massal
atas segala bentuk pelanggaran yang disengaja maupun yang tidak disengaja
dengan harapan mereka luput dari murka Dehata sehingga kemalangan tidak
menimpa mereka.44
43
Wawancara, Paulus Ulu’. (Masyarakat), 19 April 2015. Desa Hoyane, Pukul 16.00 WITA.
44
Menurut tuturan lisan dahulu kala Tobara’ di Seko Embonatana tidak meiliki rumah
khusus melainkan tinggal bersama dengan masyarakatnya, hanya saja di dalam rumah itu ia
memiliki kamar khusus untuk keluarganya, demikian masyarakat yang lain. Hal itu dapat
dibuktikan dengan melihat batu pondasi rumah sebagai peninggalan sejarah di derah Penakang,
Lamba dan Polipuang yang sekarang menjadi Desa Hoyane. Menurut tuturan informan bahwa,
masyarakat Seko Embonatana secara khusus yang tinggal di Hoyane mengalami pembantaian
massal dari tiga kerajaan besar yakni Luwu di bagian Timur, Maradika pada bagian Barat dan
Kulawi bagian Utara menggabung kekuatan untuk menaklukkan wilayah Katobaraang Hoyane
yang terkenal dengan tanah yang paling subur dan melimpah kekayaan sehingga masyarakatnya
menjadi“sombong” dan menyinggung kerajaan di sekitar. Ukuran rumah tradisional di Seko
Embonatana memiliki panjang 300-400 meter, dengan luas 90 meter yang dihuni laki-laki siap
65
Sesudah pengakuan dilaksanakan maka Tobara’ menyampaikan amanah
Sallombengangyang menyingkap makna persatuan seperti:lombeng (tempat
menyimpan, memasukkan dan menimbang biji emas), saruhane (kumpulan
manik-manik yang beragam ukuran warna), kotta (keindahan dalam buah aren),
bua’ (kesatuan pada buah pinang) dan pekaputuyu’ (pengikat pada tanaman
tuyu’). Setelah itu diadakan makan bersama, kepala tanduk kerbau tersebut
disimpan di depan atas rumah Tobara’. Ritual Sallombengang berakhir dan
masyarakat kembali kerumah masing-masing dan melakukan berbagai macam
aktivitas seperti biasanya.45
Penting menjadi perhatian bersama bahwa ritual Sallombengang tidak lagi
dilakukan sebagai ritual masyarakat saat ini dikarenakan justifikasi agama Kristen
dan Islam yang menilai kebudayaan adalah hal yang kafir dan bebas nilai, tetapi
amanah yang terkandung di dalamnya masih tetap hidup dalam ingatan bersama
yang diajarkan oleh orangtua kepada anak-anaknya melalui dapur rumah sebagai
tempat berkumpul bersama anggota keluarga sambil mengelilingi api dan
menunggu masaknya nasi dan sayur. Ajaran yang terdapat dalam amanah itu
didialogkan dalam kelompok yang lebih luas melalui interaksi di tempat bekerja
pada saat menuai kopi, coklat dan padi baik di kebun, ladang maupun sawah.46
perang sebanyak kira-kira 850 jiwa per rumah. Wawancara, Petrus Tiranda. (Tobara Hoyane), 21
Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul 16.00 WITA. 45
Wawancara, Narto Lome. (Pendeta), 20 Desember 2016. Tana Toraja, Pukul 13.00 WITA.
46
Wawancara, Petrus Tiranda. (Tobara Hoyane), 21 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA.
66
3.5.4. Simbol Sallombengang
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Sallombengang, merupakan simbol
kebudayaan yang mereprsentasikan nilai persatuan dalam kehidupan masyarakat.
Simbol yang terkandung dalam Sallombengang adalah ajaran tentang persatuan
dan kebersamaan hidup bagi Orang Seko. Sallombengang mengungkapkan
beberapa simbol diantarnya:
3.5.4.1. Lombeng
Dalam memahami persatuan sebagai nilai hidup, Sallombengang
dimaknai wadah pencapainnya. “Kebhinekaan itu terungkap secara spontan
melalui simbol lombeng yang dijadikan pandangan hidup sekaligus cara hidup
merekatkan seluruh elemen masyarakat Seko Embonatana. Lombeng dimaknai
sebagai alat yang digunakan untuk menyatukan masyarakat, menyimpan
keadilan, menyiapkan kebenaran dan menimbang segala perilaku hidup yang
mencerminkan emas. Dari kata inilah masyarakat memaknainya dalam arti
kehidupan yang utuh (tuho’ sakkapu’)”.47
Untuk menjaga persekutuan itu setiap
orang Seko Embonatana wajib mempraktikkan Sallombengang’ sebagai dasar
kehidupan bersama dengan mengedepankan sikap hidup yang adil, jujur dan
setia pada kemanusiaan.48
47
Wawancara, Usman Sispair. (Masyarakat), 18 Desember 2016. Kota Palopo, Pukul 16. 00
WITA.
48
Wawancara, Narto Lome. (Pendeta), 20 Desember 2016. Tana Toraja, Pukul 13.00 WITA.
67
3.5.4.2.Saruhane’
Saruhane atau manik merupakan simbol yang dipakai Roka dalam
menjelaskan Sallombengang kepada masyarakat Seko zaman dahulu kala. Saat itu
Roka mengajarkan tentang inang ba’ru atau dunia baru sambil ia memegang
kalung dan mengatakan:
Anna i da metengko re saruhane akkareeh, namoi ara ung supi,
kakaleanna anna ussama, ya sisengarang rondona. Usisarak-
sarakkah meteng akare saruhane reeh.49
Artinya ialah; Jika kamu tidak seperti manik-manik ini bersatu meskipun
ada yang kecil, sedang dan besar serta warna-warni yang beragam, maka kamu
akan bercerai-berai seperti manik ini jika dilepaskan ikatannya, sebab itu kamu
harus sisallombengang.
Simbolisme manik-manik (saruhane) menggambarkan kehidupan orang
Seko Embonatana. Manik-manik kecil adalah orang kecil yang dilihat dari strata
sosial, manik yang sedang adalah gambaran kelas menengah dalam masyarakat.
Sedangkan manik yang paling besar yang menjadi mahkota, yaitu orang besar
atau kelas atas dalam masyarakat yang harus merendahkan diri dan wajib berbagi
kasih kepada yang kecil. Meskipun terdapat perbedaan ukuran dalam manik-
manik tersebut tetapi semuanya harus hidup dalam suatu ikatan persatuan yang
kokoh.50
49
Wawancara, Petrus Tiranda. (Tobara Hoyane), 21 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA. 50
Wawancara, Roni. (Masyarakat), 30 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul 19.00 WITA.
68
Dalam kumpulan manik-manik terdapat lingkaran yang menghubungkan
antara manik yang berukuran kecil, sedang dan besar. Hal itu dimaknai sebagai
lingkaran hidup yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Kehidupan akan
terus berjalan dengan keterkaitan utuh dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain. Sebab jika salah satu manik tersebut hilang, maka masyarakat akan
hancur. Lebih dalam dari itu masyarakat kehilangan identitas dan makna dirinya.51
Sedangkan warna-warni dari manik melambangkan bahwa dalam masyarakat
terdapat beragam kehidupan yang menunjukkan klasifikasi pemilikan harta benda,
tingkat pengetahuan, bentuk fisik, agama yang berbeda-beda tetapi mereka hidup
berdampingan bersatu dan saling melengkapi dalam komunitas.52
Tali pengikat
yang menghubungkan saruhane yang berbeda bentuk dan warnya itulah yang
disebut sebagai ulang Sallombengang (tali perekat Sallombengang) yang
menyatukan seluruh aspek perbedaan dalam kehidupan masyarakat Seko
Embonatana.53
3.5.4.3.Kotta
Sallombengang diibaratkan dengan buah aren (kotta) yang menyatu padu.
Buah itu tidak akan jatuh dan rontok jika belum waktunya. Makna dari filosofi
simbol ini adalah cerminan hidup masyarakat yang matang, berkumpul dalam satu
ikatan Sallombengang yang memberi keindahan. Bagi masyarakat Seko
perbedaan adalah suatu hal yang indah jika dimaknai sama seperti warna majemuk
51
Wawancara, Suleman Sobong. (Sekertaris Desa), 27 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA. 52
Wawancara, Cornelius Paonganan, (Mantan Tobara Hoyane), 23 Desember 2016. Pukul
16.00 WITA. 53
Wawancara, Yunus Pangnga’. (Kaur Pembangunan), 27 Desember 2016. Desa Hoyane,
Pukul 18.00 WITA.
69
yang menyatu pada pohon aren sebagai pohon kehidupan. Jika pohon aren jatuh
ke tanah ia akan memberikan hidupan baru, hal ini menunjukkan bahwa
kehidupan yang dipupuk dalam persatuan dan kesatuan tidak akan pernah pudar
tertelan masa, sekalipun usia berlalu di dunia ini sikap persatuan akan tetap
tumbuh bagi generasi selanjutnya. Hal ini menegaskan bahwa persatuan dan
kesatuan harus dihidupkan dari generasi ke generasi sebagaimana yang
diungkapkan pada buah pohon aren.54
3.5.4.4.Bua’ Kalebu
Bua’a kalebu merupakan simbol persatuan masyarakat Seko Embonatana
sebagaimana yang dijabarkan dalam amanah Sallombengang oleh Roka yakni;
Tuho mamesa ko se, meteng bua kalebu. Mesa’ inaha, tanga,
paissang, pahela ya hatang putti Seko. Tuho masallombengang diaah
moh manssapang nasang kamakarimo-rimoang.55
Ungkapan simbolis diatas dapat dimaknai sebagai faedah hikmat yang
mewajibkan segenap orang Seko untuk hidup bersatu sama seperti bulatnya buah
pinang. Masyarakat dituntut untuk hidup sehati, sepikir, sejiwa dalam ikatan
kekeluargaan yang utuh ibarat pohon pisang yang tidak pernah tumbuh secara
tunggal melainkan hidup dalam kebersamaan dan serta sagala unsur pada dirinya
bermanfaat untuk kehidupan. Hidupbersatu (masallombengang) akan
membentengi dan memagari kehidupan dari segala bentuk malapetaka,
penderitaan dan kesulitan hidup. Jiwa yang melebur dalam satu ikatan persatuan
54
Wawancara, Suleman Sobong. (Sekertaris Desa), 27 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA. 55
Wawancara, Yunus Pangnga’. (Kaur Pembangunan), 27 Desember 2016. Desa Hoyane,
Pukul 18.00 WITA.
70
adalah kehidupan. Perbedaan prinsip hidup awal dari kematian (mesa’ inaha
nipotuho’ pattang sipa’ nipomate).56
3.5.4.5.Tanduk Balulang
Dalam ritual Sallombengang diadakan pemotongan kerbau (balulang) sesuai
kesepakatan para tetua kampung. Kerbau yang dipotong itu dimakan secara
bersama oleh seluruh masyarakat yang hadir, sedangkan tanduknya disimpan di
rumah Tobara’ sebagai bukti bahwa ritual Sallombengang sudah dilaksanakan
dalam tahun itu.57
Menurut tuturan lisan, dahulu kala tanduk kerbau tersebut disucikan dengan
doa lalu Tobara menyampaiakan sumpah: “Anna utekai ti kada’ mesa
Sallombengang, dia te tanduk reeh ti mattandukko’ Barang siapa yang sengaja
melanggar Sallombengang sebagai kesepakatan bersama maka ia akan dilanda
oleh malapetaka”. Malapetaka yang akan terjadi bagi orang yang melanggar
kesepakatan itu seperti yang disimbolkan ditanduk kerbau ialah gagal panen,
gagal beternak, diserang penyakit dan dimangsa binatang buas yang mematikan.58
3.6. Nilai yang Terkandung dalam Sallombengang
Dalam Sallombengang terdapat nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia sebagai yang berharga karena itu perbedaan yang
timbul sebagai ciri manusia perlu dijiwai (nisipa’) supaya tercipta kebersamaan
56
Wawancara, Tembo. (Tokoh Masyarakat), 20 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul 15.00
WITA. 57
Wawancara, Petrus Tiranda. (Tobara Hoyane), 21 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA. 58
Wawancara, Barnabas Bara’. (Tokoh Masyarakat), 26 Desember 2016. Desa Embonatana,
Pukul 16.00 WITA.
71
yang harmonis, rukun dan damai. Makna dan nilai persatuan itu terjabar melalui
keterikatan yang kuat dengan dorongan kekuatan hati yang luhur (mabusana
penanaha), sikap lapang dada (mahoi penanaha), mengharagai (mappake’)
sesama anggota masyarakat, utamanya yang dituakan seperti, lembaga adat,
pemerintah dan lembaga keagamaan dengan prinsip saling menghidupkan
(situhoi), saling menghidupi (sipatuho), saling menopang (sitoko) dalam segala
situasi hidup.59
Nilai yang terkandung dalam Sallombengang menekankan kebersaman
hidup menyatukan seluruh perbedaan golongan agar terwujud persatuan hidup
seperti yang dicita-citakan oleh seluruh manusia. Perwujudan nilai itu dapat
dinikmati oleh orang Seko jika mereka secara konsisten mempraktikkan
Sallombengang dalam kata dan perbuatan. Hal ini diejewantahkan dalam
pengungkapan nilai Sallombengang sebagai daya hidup dalam ikatan satu ikatan
tali persatuan yang kuat merajut segenap jiwa orang Seko (Tuho
ma’sallombengang diamo patuna inaha nasang lilini sassekoang).60
Sebab dalam nilai itu mengandung ajaran hidup positif dengan
mengedepankan kasih (pamase’) yang jujur ikhlas (mahulo penanaha) tidak
mementingkan diri sendiri dan rela mengabdikan diri demikebersaman, terlibat
aktif mengikuti kegiatan sosial, gotong royong,upacara adat dan aktivitas
59
Wawancara, Petrus Tiranda. (Tobara Hoyane), 21 Desember 2016. Desa Hoyane, Pukul
16.00 WITA. 60
Wawancara, Yohanis Andekan. (Pensiunan PNS), 2 Januari 2017. Tana Toraja, Pukul
10.00 WITA.
72
keagamaan.61
Falsafah hidup dalam Sallombengang direpresentasikan melalui
bua’a (buah pinang) yang dimaknai sebagai kesatuan yang bulat dan utuh (bua’a
kalebu) mencerminkan pola hidup orang Seko menyatu padu dalam satu pohon
kehidupan. Tuturan kata itu dimaknai dalam suatu pandangan hidup yang
disampaikan Roka bahwa;
Tuho mamesa ko se, meteng bua kalebu.Mesa’ inaha, tanga,
paissang, pahela ya hatang putti Seko. Tuho masallombengang
diaah moh manssapang nasang kamakarimo-rimoang.62
Arti kata di atas ialah; Hendaknya kalian hidup bersatu, sama seperti
bulatnya buah pinang. Satu perasaan, pikiran, kemampuan, kekayaan dan satu
kesatuan dalam raga Seko. Hidup masallombengang (bersatu) akan membentengi
dan memangari kehidupan dari segala bentuk penderitaan dan kesulitan hidup.
Hatang putti merupakan simbol kekeluargaan yang rukun dari dalamnya
menciptakan kehidupan yang serbaguna, sebagaimana setiap unsur pisang
memiliki manfaat bagi kehidupan. Akar pisang (oa’na) dijadikan obat (pakuli),
batangnya (hatanna) dijadikan sayur, daunnya (donna) dipakai membungkus
berbagai macam makanan lokal, buahnya dimakan, jantung pisang (puso’na)
dijadikan makanan dan warna pada karya seni.
Berdasarkan data yang ditemukan dalam penelitian lapangan, penulis
menyimpulkan bahwa, Sallombengang adalah puncak kebudayaan masyarakat
Seko Embonatana yang melaluinya orang Seko Embonatana merefleksikan
seluruh makna hidup dan kehidupannya dalam satu kesatuan yang kuat. Dengan
61
Wawancara, R. Kondo Lada. (Tobara Embonatana), 19 Desember 2016. Desa
Embonatana, Pukul 16. 00 WITA. 62
Wawancara, Yunus Pangnga’. (Kaur Pembangunan), 27 Desember 2016. Desa Hoyane,
Pukul 18.00 WITA.
73
mengedepankan nilai kemanusiaan, keadilan, kejujuran, kesetian dan perdamaian
dalam membangun relasi dengan sesamanya manusia, Tuhannya dan alam
semesta. Sedangkan amanah yang terkandung dalam Sallombengang di pelihara
dan dijaga melalui ritual Sallombenggang dan diekspresiakan melalui cara hidup
yang terjalin secara harmonis dengan mengedepankan sikap kerja sama dan
gotong royong dalam kehidupan sehari-hari kapan dan dimanapun itu dilakukan.
Top Related