6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Banjir
Banjir berasal dari aliran limpasan yang mengalir melalui sungai atau
menjadi genangan. Sedangkan limpasan adalah aliran air mengalir pada
permukaan tanah yang ditimbulkan oleh curah hujan setelah air mengalami
infiltrasi dan evaporasi, selanjutnya mengalir menuju ke sungai (Hadisusanto,
2010). Dalam (Suripin, 2004) menerangkan, banjir adalah suatu kondisi dimana
tidak tertampungnya air dalam saluran pembuang (palung sungai) atau
terhambatnya air di dalam saluran pembuang, sehingga meluap mengenai daerah
(dataran banjir) sekitarnya. Selanjutnya dinyatakan bentuk hidrograf banjir pada
suatu daerah tangkapan ditentukan oleh 2 hal yaitu :
1. Karakteristik hujan lebat yaitu didistribusi dari intensitas hujan dalam
waktu dan ruang.
2. Karakteristik daerah tangkapan seperti : luas, bentuk, sistem saluran dan
kemiringan lahan, jenis, dan distribusi lapisan tanah serta struktur geologi
dan geomorfologi.
Disebutkan juga mengenai dataran banjir, definisi dataran banjir adalah
dataran yang luas, dan berada pada kiri kanan sungai yang terbentuk oleh sedimen
akibat limpasan banjir sungai tersebut. Umumnya berupa pasir, lanau, dan lumpur.
Dataran banjir merupakan bagian terendah dari floodplain. Ukuran dan bentuk
dari dataran banjir ini sangat tergantung dari sejarah perkembangan banjir, tetapi
umumnya berbentuk memanjang (elongate). Endapan dataran banjir (floodpain)
biasanya terbentuk selama proses penggenangan/inundations (pencariilmu-
goresantinta.blogspot.com,2011).
Dataran banjir saat ini sering dimanfaatkan sebagai lahan tempat tinggal
oleh penduduk, sehingga menyulitkan untuk menanggulangi permasalahan
pengaliran air pada beberapa wilayah yang merupakan aliran air alami. Pada
umumnya banjir di perkotaan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : curah
hujan tinggi, pengaruh fisografi, erosi dan sedimentasi pada saluran,
pendangkalan sungai, kapasitas drainase yang kurang memadai, kawasan kumuh,
7
sampah, alih fungsi lahan, dan perencanaan penanggulangan banjir yang tidak
tepat (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
2.1.1. Penyebab Banjir
Menurut Kodoatie, dan Sugiyanto (2002), banyak faktor menjadi
penyebab terjadinya banjir. Namun secara umum penyebab terjadinya banjir
dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh
sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia.
Yang termasuk sebab-sebab alami diantaranya adalah:
1. Curah hujan
Indonesia mempunyai iklim tropis sehingga sepanjang tahun
mempunyai dua musim yaitu musim hujan yang umumnya terjadi antara
bulan Oktober sampai bulan Maret, dan musim kemarau yang terjadi
antara bulan April sampai bulan September. Pada musim penghujan, curah
hujan yang tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai dan apabila banjir
tersebut melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan.
2. Pengaruh Fisiografi
Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi dan
kemiringan daerah pengaliran sungai (DPS), kemiringan sungai, geometrik
hidrolik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan
memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai dll. merupakan hal-hal
yang mempengaruhi terjadinya banjir.
3. Erosi dan Sedimentasi
Erosi dan sedimentasi di DPS berpengaruh terhadap pengurangan
kapasitas penampang sungai. Erosi dan sedimentasi menjadi problem
klasik sungai-sungai di Indonesia. Besarnya sedimentasi akan mengurangi
kapasitas saluran, sehingga timbul genangan dan banjir di sungai.
4. Kapasitas sungai
Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan
oleh pengendapan yang berasal dari erosi DPS dan erosi tanggul sungai
yang berlebihan dan sedimentasi di sungai yang dikarenakan tidak adanya
vegetasi penutup dan penggunaan lahan yang tidak tepat
8
5. Kapasitas Drainase yang tidak memadai
Hampir semua kota-kota di Indonesia mempunyai drainase daerah
genangan yang tidak memadai, sehingga kota-kota tersebut sering menjadi
langganan banjir di musim hujan.
6. Pengaruh air pasang
Air pasang laut memperlambat aliran sungai ke laut. Pada waktu
banjir bersamaan dengan air pasang yang tinggi maka tinggi genangan
atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater). Contoh
terjadi di Kota Semarang dan Jakarta. Genangan ini terjadi sepanjang
tahun baik di musim hujan dan maupun di musim kemarau.
Yang termasuk sebab-sebab banjir karena tindakan manusia adalah:
1. Perubahan Kondisi DPS
Perubahan DPS seperti penggundulan hutan, usaha pertanian yang
kurang tepat, perluasan kota, dan perubahan tata guna lahan lainnya, dapat
memperburuk masalah banjir karena meningkatnya aliran banjir.
Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi yang besar terhadap
naiknya kuantitas dan kualitas banjir.
2. Kawasan kumuh
Perumahan kumuh yang terdapat di sepanjang sungai, dapat
merupakan penghambat aliran. Masalah kawasan kumuh dikenal sebagai
faktor penting terhadap masalah banjir daerah perkotaan.
3. Sampah
Ketidakdisiplinan masyarakat untuk membuang sampah pada tempat
yang ditentukan, umumnya mereka langsung membuang sampah ke
sungai. Di kotakota besar hal ini sangat mudah dijumpai. Pembuangan
sampah di alur sungai dapat meninggikan muka air banjir karena
menghalangi aliran air.
4. Drainase lahan
Drainase perkotaan dan pengembangan pertanian pada daerah
bantuan banjir akan mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung
debit air yang tinggi.
9
5. Bendung dan bangunan air
Bendung dan bangunan lain seperti pilar jembatan dapat
meningkatkan elevasi muka air banjir karena efek aliran balik (backwater).
6. Kerusakan bangunan pengendali banjir
Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali
banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya menjadi tidak
berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.
7. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat
Beberapa sistem pengendalian banjir memang dapat mengurangi
kerusakan akibat banjir kecil sampai sedang, tetapi mungkin dapat
menambah kerusakan selama banjir-banjir yang besar. Sebagai contoh
bangunan tanggul sungai yang tinggi. Limpasan pada tanggul pada waktu
terjadi banjir yang melebihi banjir rencana dapat menyebabkan keruntuhan
tanggul, hal ini menimbulkan kecepatan aliran air menjadi sangat besar yang
melalui bobolnya tanggul sehingga menimbulkan banjir yang besar.
2.1.2. Daerah Genangan Air
Menurut Kodoatie (2005), akibat adanya peningkatan jumlah
penduduk, kebutuhan infrastruktur terutama permukiman meningkat,
sehingga merubah sifat dan karakteristik tata guna lahan. Sama dengan
prinsip pengendalian banjir perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali
menyebabkan aliran permukaan (run-off) meningkat sehingga terjadi
genangan air. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya genangan-genangan air
di suatu lokasi antara lain:
Dimensi saluran yang tidak sesuai.
Perubahan tata guna lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan
debit banjir di suatu daerah aliran sistem drainase
Elevasi saluran tidak memadai
Lokasi merupakan daerah cekungan
Lokasi merupakan tempat retensi air yang diubah fungsinya misalnya
menjadi pemukiman. Ketika berfungsi tempat retensi (parkir air) dan
10
belum dihuni adanya genangan tidak menjadi masalah. Problem timbul
ketika daerah tersebut dihuni
Tanggul kurang tinggi
Kapasitas tampungan kurang besar
Dimensi gorong-gorong terlalu kecil sehingga terjadi aliran balik
Adanya penyempitan saluran
Tersumbatnya saluran oleh endapan, sedimentasi atau timbunan
sampah
Terjadi penurunan tanah (land-subsidence)
Perubahan fungsi kawasan bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) sebesar
+ 15% mengakibatkan keseimbangan sungai / drainase mulai terganggu.
Gangguan ini mengkontribusi kenaikan (tajam) kuantitas debit aliran dan
kuantitas sedimentasi pada sungai / drainase. Hal ini dapat diartikan pula bahwa
suatu daerah aliran sungai yang masih alami dengan vegetasi yang padat dapat
diubah fungsi kawasannya sebesar 15 % tanpa harus merubah keadaan alam dari
sungai / drainase yang bersangkutan. Bila perubahannya melebihi 15 % maka
harus dicarikan alternatif pengganti atau perlu kompensasi untuk menjaga
kelestarian sungai / drainase, misalnya dengan pembuatan sumur resapan.
2.1.3. Kerugian Akibat Banjir
Menurut Kodoatie, dan Sugiyanto (2002), kerugian akibat banjir pada
umumnya sulit diidentifikasi secara jelas, dimana terdiri dari kerugian banjir
akibat banjir langsung dan tak langsung. Kerugian akibat banjir langsung,
merupakan kerugian fisik akibat banjir yang terjadi, antara lain robohnya gedung
sekolah, industri, rusaknya sarana transportasi, hilangnya nyawa, hilangnya harta
benda, kerusakan di pemukiman, kerusakan daerah pertanian dan peternakan,
kerusakan sistem irigasi, sistem air bersih, sistem drainase, sistem kelistrikan,
sistem pengendali banjir termasuk bangunannya, kerusakan sungai, dsb.
Sedangkan kerugian akibat banjir tak langsung berupa kerugian kesulitan yang
timbul secara tak langsung diakibatkan oleh banjir, seperti komunikasi,
pendidikan, kesehatan, kegiatan bisnis terganggu dsb.
11
2.1.4. Sistem Pengendalian Banjir (Flood Control System)
Menurut Kodoatie, dan Sugiyanto (2002), sistem pengendalian banjir pada
suatu daerah perlu dibuat dengan baik dan efisien, memperhatikan kondisi
yang ada dan pengembangan pemanfaatan sumber air mendatang. Pada
penyusunan sistem pengendalian banjir perlu adanya evaluasi dan analisis atau
memperhatikan hal-hal yang meliputi :
1. Analisis cara pengendalian banjir yang ada pada daerah tersebut atau yang
sedang berjalan.
2. Evaluasi dan analisis daerah genangan banjir, termasuk data kerugian
akibat banjir.
3. Evaluasi dan analisis tata guna tanah di daerah studi, terutama di daerah
dataran banjir.
4. Evaluasi dan analisis daerah pemukiman yang ada maupun perkembangan
yang akan datang.
5. Memperhatikan potensi dan pengembangan sumber daya air mendatang.
6. Memperhatikan pemanfaatan sumber daya air yang ada termasuk
bangunan yang ada.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas dapat direncanakan sistem
pengendalian banjir dengan menyesuaikan kondisi yang ada, dengan berbagai
cara mulai dari hulu sampai hilir yang mungkin dapat dilaksanakan. Cara
pengendalian banjir dapat dilakukan secara struktur dan non-struktur. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1.
12
Gambar 2.1 Pengendalian banjir dengan metode struktur dan non-struktur
Sumber : Kodoatie, Sugiyanto (2002)
A. Pengendalian Banjir Metode Struktur
Cara-cara pengendalian banjir dalam metode struktur dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Sistem jaringan sungai
Apabila beberapa sungai yang berbeda baik ukuran maupun sifatnya
mengalir berdampingan dan akhirnya bertemu, maka pada titik pertemuan,
dasarnya akan berubah dengan sangat intensif. Akibat perubahan tersebut, maka
aliran banjir pada salah satu atau semua sungai mungkin akan terhalang.
Sedangkan jika anak sungai arusnya deras dan membawa banyak sedimen
mengalir ke sungai utama, maka terjadi pengendapan berbentuk kipas. Sungai
utama akan terdesak oleh anak sungai tersebut, bentuk pertemuannya akan
cenderung bergeser ke arah hulu.
Karena itu arus anak sungai dapat merusak tanggul sungai utama di seberang
muara anak sungai atau memberikan pengaruh yang kurang menguntungkan bagi
bangunan sungai yang terdapat di sebelah hilir pertemuan yang tidak deras
arusnya. Lebar sungai utama pada pertemuan dengan anak sungai cenderung
bertambah sehingga sering berbentuk gosong-gosong pasir dan berubah arah arus
13
sungai. Guna mencegah terjadinya hal-hal di atas, maka pada pertemuan sungai
dilakukan penanganan sebagai berikut :
Pada pertemuan 2 (dua) buah sungai yang resimnya berlainan, maka pada
kedua sungai tersebut diadakan perbaikan, agar resimnya menjadi hampir
sama. Adapun perbaikannya adalah dengan pembuatan tanggul pemisah
diantara kedua sungai tersebut dan pertemuannya digeser agak ke hilir
apabila sebuah anak sungai yang kemiringannya curam bertemu dengan
sungai utamanya, maka dekat pertemuannya dapat dibuatkan ambang
bertangga.
Pada lokasi pertemuan 2 (dua) buah sungai diusahakan supaya formasi
pertemuannya membentuk garis singgung.
2. Normalisasi alur sungai dan tanggul
Usaha pengendalian banjir dengan normalisasi alur sungai dimaksudkan
untuk memperbesar kapasitas pengaliran saluran. Kegiatan tersebut meliputi :
a. Normalisasi cross section
b. Perbaikan kemiringan dasar saluran
c. Memperkecil kekasaran dinding alur saluran
d. Melakukan rekonstruksi bangunan di sepanjang saluran yang tidak sesuai dan
mengganggu pengaliran banjir.
e. Menstabilkan alur saluran.
f. Pembuatan tanggul banjir.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan pada cara ini adalah penggunaan
penampang ganda dengan debit dominan untuk penampang bawah, perencanaan
alur stabil terhadap proses erosi dan sedimentasi dasar saluran maupun erosi
tebing dan elevasi muka air banjir.
Pada pengendalian banjir dengan cara ini dapat dilakukan pada hampir
seluruh sungai-sungai di bagian hilir. Pada pekerjaan ini diharapkan dapat
menambah kapasitas pengaliran dan memperbaiki alur sungai. Faktor-faktor yang
perlu diperhatikan pada cara ini adalah penggunaan penampang ganda dengan
debit dominan untuk penampang bawah, perencanaan alur stabil terhadap proses
erosi dan sedimentasi dasar sungai maupun erosi tebing dan elevasi muka banjir.
14
3. Pembuatan alur pengendali banjir (Floodway)
Ketika debit banjir terlalu besar dan tidak dimungkinkan peningkatan
kapasitas tampung saluran diatas kapasitas yang sudah ada, maka penambahan
kapasitasnya dapat dilakukan dengan pembuatan saluran baru langsung ke laut,
danau, atau saluran lain. Saluran baru ini disebut saluran banjir (floodway).
Saluran banjir adalah saluran baru yang dibuat untuk mengalirkan air secara
terpisah dari saluran utamanya. Saluran banjir dapat mengalirkan sebagian atau
bahkan seluruh debit banjir.
Saluran banjir ini dibuat dengan berbagai tujuan antara lain menghindarkan
pekerjaan saluran pada daerah pemukiman yang padat atau untuk memperpendek
salah satu ruas saluran. Biasanya saluran banjir dilengkapi dengan pintu atau
bendung untuk membagi debit sesuai dengan rencana. Perencanaan floodway
meliputi : pembagian jalur floodway, normalisasi floodway, dan bangunan
pembagi banjir.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu saluran banjir
(floodway) adalah :
a. Normalisasi alur alam biasanya mengalami kesulitan lahan.
b. Head alur lama tidak menguntungkan, alur jauh, dan berkelok-kelok.
c. Terdapat alur alam untuk jalur floodway.
d. Floodway mempunyai head yang cukup.
e. Tidak mengganggu pemanfaatan sumber daya alam.
f. Dampak negatif sosial ekonomi.
4. Pembuatan sodetan (Shortcut)
Pada ruas sungai yang belok-belokannya (meander) tajam atau sangat
kritis, maka tanggul yang akan dibangun biasanya akan lebih panjang. Selain itu
pada ruas sungai yang demikian, terjadi peningkatan gerusan pada belokan luar
dan menyebabkan kerusakan tebing sungai yang pada akhirnya mengancam kaki
tanggul. Pada belokan bagian dalam terjadi pengendapan yang intensif pula.
Alur sungai yang panjang dan mempunyai kondisi seperti di atas
menyebabkan kelancaran air banjir menjadi terganggu. Untuk mengurangi
keadaan yang kurang menguntungkan tersebut perlu dipertimbangkan pembuatan
alur baru, agar pada ruas tersebut alur sungai mendekati garis lurus dan lebih
15
pendek. Sungai baru seperti itu disebut sodetan. Sodetan ini akan menurunkan
muka air di sebelah hulunya tetapi muka air di sebelah hilirnya biasanya naik
sedikit. Tujuan dilakukannya sodetan ini antara lain :
a. Perbaikan alur sungai yang pada mulanya panjang dan berbelok-belok dan
tidak stabil menjadi lebih pendek dan lebih lurus.
b. Dengan adanya sodetan akan terjadi hidrograf banjir antara bagian hulu dan
hilir sodetan, sehingga akan menguntungkan daerah di bagian hulunya.
5. Groyne (tanggul tangkis/tanggul banjir)
Tanggul tangkis sering juga disebut groyne atau krib. Krib adalah
bangunan yang dibuat mulai dari tebing sampai ke arah tengah untuk mengatur
arus sungai dan tujuan utamanya adalah sebagai berikut :
a. Mengatur arah arus sungai.
b. Mengurangi kecepatan arus sungai sepanjang tebing sungai, memperkecil
sedimentasi, dan menjamin keamanan tanggul/tebing terhadap gerusan.
c. Mempertahankan lebar dan kedalaman air pada alur sungai.
d. Mengkonsentrasikan arus sungai dan memudahkan penyadapan.
B. Pengendalian Banjir Metode Non-Struktur
Analisis pengendalian banjir dengan tidak menggunakan bangunan
pengendali akan memberikan pengaruh cukup baik terhadap resim sungai. Contoh
aktivitas penanganan tanpa bangunan adalah sebagai berikut :
1. Pengelolaan DAS
Pengelolaan DAS berhubungan erat dengan peraturan, pelaksanaan, dan
pelatihan. Kegiatan penggunaan lahan dimaksudkan untuk menghemat dan
menyimpan air dan konservasi tanah. Pengelolaan DAS mencakup aktivitas-
aktivitas berikut ini :
1) Pemeliharaan vegetasi di bagian hulu DAS.
2) Penanaman vegetasi untuk mengendalikan kecepatan aliran air dan erosi
tanah.
3) Pemeliharaan vegetasi alam atau penanaman vegetasi tahan air yang tepat,
sepanjang tanggul drainase, saluran-saluran, dan daerah lain untuk
pengendalian aliran yang berlebihan atau erosi tanah.
16
4) Mengatur secara khusus bangunan-bangunan pengendali banjir (misal :
check dam) sepanjang dasar aliran yang mudah tererosi.
5) Pengelolaan khusus untuk mengantisipasi aliran sedimen yang dihasilkan
dari kegiatan gunung berapi.
2. Pengaturan Tata Guna Lahan
Pengaturan tata guna lahan di daerah aliran sungai, ditujukan untuk
mengatur penggunaan lahan, sesuai dengan rencana pola tata ruang wilayah yang
ada. Hal ini untuk menghindari penggunaan lahan yang tidak terkendali, sehingga
mengakibatkan kerusakan daerah aliran sungai yang merupakan daerah tadah
hujan. Pada dasarnya pengaturan penggunaan lahan di daerah aliran sungai
dimaksudkan untuk :
1. Memperbaiki kondisi hidrologis DAS, sehingga tidak menimbulkan banjir
pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau.
2. Menekan laju erosi DAS yang berlebihan, sehingga dapat memperkecil
laju sedimentasi pada alur sungai di bagian hilir.
2. Pengendalian Erosi
Sedimen di suatu potongan melintang sungai merupakan hasil erosi di
daerah aliran di hulu potongan tersebut dan sedimen tersebut terbawa oleh aliran
dari tempat erosi terjadi menuju penampang melintang itu. Oleh karena itu kajian
pengendalian erosi dan sedimentasi juga berdasarkan kedua hal tersebut di atas,
yaitu berdasarkan kajian supply limited dari DAS atau kapasitas transport dari
sungai.
Faktor pengelolaan penanaman memberikan andil yang paling besar dalam
mengurangi laju erosi. Jenis dan kondisi semak (bush) dan tanaman pelindung
yang bisa memberikan peneduh (canopy) untuk tanaman di bawahnya cukup besar
dampaknya terhadap laju erosi. Pengertian ini secara lebih spesifik menyatakan
bahwa dengan pengelolaan tanaman yang benar sesuai kaidah teknis berarti dapat
menekan laju erosi yang signifikan.
3. Pengembangan Daerah Banjir
Ada 4 (empat) strategi dasar untuk pengembangan daerah banjir yang meliputi:
a. Modifikasi kerentanan dan kerugian banjir (penentuan zona atau
pengaturan tata guna lahan).
17
b. Pengaturan peningkatan kapasitas alam untuk dijaga kelestariannya seperti
penghijauan.
c. Modifikasi dampak banjir dengan penggunaan teknik mitigasi seperti
asuransi dan penghindaran banjir (flood proofing).
d. Modifikasi banjir yang terjadi (pengurangan) dengan bangunan pengontrol
(waduk) atau normalisasi sungai.
4. Pengaturan Daerah Banjir
Pada kegiatan ini dapat meliputi seluruh kegiatan dalam perencanaan dan
tindakan yang diperlukan untuk menentukan kegiatan, implementasi, revisi
perbaikan rencana, pelaksanaan, dan pengawasan secara keseluruhan aktivitas di
daerah dataran banjir yang diharapkan berguna dan bermanfaat untuk masyarakat
di daerah tersebut, dalam rangka menekan kerugian akibat banjir. Kadang-kadang
kita dikaburkan adanya istilah flood plain management dan flood control, bahwa
menajemen di sini dimaksudkan hanya untuk pengaturan penggunaan lahan (land
use) sehubungan dengan banjir dan flood control untuk pengendalian mengatasi
secara keseluruhan. Demikian pula antara flood plain zoning dan flood plain
regulation, zoning hanya merupakan salah satu cara pengaturan dan merupakan
bagian dari manajemen daerah dataran banjir.
Manajemen daerah dataran banjir pada dasarnya bertujuan untuk :
1. Meminimumkan korban jiwa, kerugian maupun kesulitan yang diakibatkan
oleh banjir yang akan terjadi.
2. Merupakan suatu usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan di daerah
dataran banjir dimasa mendatang, yaitu memperhatikan keuntungan
individu ataupun masyarakat sehubungan dengan biaya yang dikeluarkan.
2.2. Drainase
2.2.1. Pemahaman Umum
Drainase adalah prasarana yang berfungsi mengalirkan air permukaan ke
badan air (sungai, danau, laut) atau ke bangunan resapan buatan. Drainase juga
merupakan salah satu fasilitas dasar yang dirancang sebagai sistem guna
memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam
perencanaan infrastruktur. Drainase yang berasal dari kata to drain yang berarti
18
mengeringkan atau mengalirkan air. Drainase menurut Suripin (2004) mempunyai
arti menguras, membuang, atau mengalirkan air yang berfungsi untuk mengurangi
dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan
dapat difungsikan secara optimal. Drainase juga diartikan sebagai usaha untuk
mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas.
2.2.2. Drainase Perkotaan
Menurut Suripin (2004) pemahaman secara umum mengenai drainase
perkotaan adalah suatu ilmu dari drainase yang mengkhususkan pengkajian pada
suatu kawasan perkotaan, yaitu merupakan suatu sistem pengeringan serta
pengaliran air genangan (banjir) akibat adanya hujan lokal (hanya terjadi di kota
tersebut) dari wilayah perkotaan yang meliputi pemukiman, kawasan dagang
(pusat ekonomi), pusat pendidikan (sekolah/kampus), kawasan pemerintahan,
serta tempat-tempat lainnnya yang merupakan bagian dari sarana kota, untuk
kemudian dialirkan ke laut atau saluran pengendali banjir, termasuk penanganan
genangan yang terjadi pada daerah perkotaan yang mempunyai ketinggian muka
tanah di bawah muka air laut maupun muka air banjir pada saluran/sungai
pengendali banjir.
Selanjutnya dijelaskan Ilmu drainase pada awalnya muncul dari keinginan
manusia untuk hidup dekat dengan sumber air untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Karena manusia sebagian besar hidupnya bergantung pada ketersediaan air. Dari
siklus keberadaan air di suatu lokasi dimana manusia bermukim, pada suatu waktu
selalu terjadi kondisi ketersediaan air yang berlebih, sehingga mengganggu
kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu, kemajuan dari berbagai sektor
menyebabkan kegiatan manusia semakin bervariasi sehingga menghasilkan
limbah buangan yang dapat mengganggu. Bermula dari kesadaran akan
kebersihan dan kenyamanan maka orang mulai mencari cara melindungi daerah
aktivitasnya dari air berlebih dan air limbah dengan sistem dan jaringan drainase
perkotaan.
Dengan telah dikembangkannya ilmu drainase dan berbagai kemajuan di
bidang hidro tidak menutup kemungkinan masih terjadinya masalah-masalah yang
berkaitan dengan drainase, salah satunya adalah genangan air (banjir) pada sistem
19
atau jaringan drainase di perkotaan. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya
genangan air di suatu lokasi antara lain :
1. Dimensi saluran yang tidak sesuai.
2. Perubahan tata guna lahan yang menyebabkan terjadinya peningkatan
debit banjir di suatau daerah aliran sistem drainase.
3. Elevasi saluran tidak memadai.
4. Lokasi merupakan daerah cekungan.
5. Lokasi merupakan tempat retensi air yang diubah fungsinya (misal :
pemukiman). Ketika berfungsi sebagai tempat retensi (parkir alir) dan
belum dihuni, adanya genangan tidak menjadi masalah, sedangkan
ketika berubah fungsi menjadi pemukiman, masalah akan muncul.
6. Tanggul kurang tinggi.
7. Kapasitas tampung kurang besar.
8. Dimensi gorong-gorong terlalu kecil sehingga aliran balik
(backwater).
9. Adanya penyempitan saluran.
10. Tersumbatnya saluran oleh endapan, sedimentasi, dan timbunan
sampah.
2.2.3. Tujuan Utama dan Arahan Pelaksanaan Sistem Drainase
Menurut Suripin (2004) tujuan adanya sistem drainase antara lain :
a. Mengalirkan air lebih dari suatu kawasan yang berasal dari air hujan
maupun air buangan, agar tidak terjadi genangan yang berlebihan
(banjir) pada suatu kawasan tertentu.
b. Mengeringkan daerah becek dan genangan air sehingga tidak ada
akumulasi air tanah.
c. Menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal.
d. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan, dan bangunan yang ada.
Karena suatu kota terbagi-bagi menjadi beberapa kawasan, maka drainase di
masing-masing kawasan merupakan komponen yang saling terkait dalam suatu
jaringan drainase perkotaan dan membentuk satu sistem drainase perkotaan.
Sedangkan arahan dalam pelaksanaannya adalah :
20
a. Harus dapat diatasi dengan biaya ekonomis.
b. Pelaksanaannya tidak menimbulkan dampak sosial yang berat.
c. Dapat dilaksanakan dengan teknologi sederhana.
d. Memanfaatkan semaksimal mungkin saluran yang ada.
e. Jaringan drainase harus mudah pengoperasian dan pemeliharaannya.
f. Mengalirkan air hujan ke badan sungai yang terdekat.
2.2.4. Pembagian Sistem Drainase
Menurut Kodoatie (2013), sistem jaringan drainase perkotaan umumnya
dibagi atas 2 bagian, yaitu :
1. Sistem Drainase Makro
Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/badan air yang menampung dan
mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Cathment Area). Pada
umumnya sistem drainase mayor ini disebut juga sebagai sistem saluran
pembuangan utama (mayor sistem) atau drainase primer. Sistem jaringan ini
menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase
primer, kanal-kanal atau sungai-sungai. Perencanaan drainase makro ini
umumnya dipakai dengan periode ulang Antara 5 sampai 25 tahun dan
pengukuran topografi yang detail mutlak diperlukan dalam perencanaan
sistem drainase ini.
2. Sistem Drainase Mikro
Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap drainase
yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan. Secara
keseluruhan yang termasuk dalam sistem drainase adalah saluran di sepanjang
sisi jalan, salurn/selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong-gorong,
saluran drainase kota, dan lain sebagainya dimana debit air yang dapat
ditampung tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro ini
direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2, 5 atau 10 tahun tergantung
pada tata lahan yang ada. Sistem drainase untuk lingkungan pemukiman lebih
cenderung sebagai sistem drainase mikro.
Selanjutnya Subarkah (1990) juga membagi saluran sungai menjadi 3
bagian, yaitu :
21
1. Saluran Drainase Utama/Primer
Saluran yang berfungsi sebagai pembuangan utama/primer adalah
sebagai sungai/tukad yang ada di wilayah perencanaan yang cukup berpotensi
untuk menampung dan mengalirkan air buangan dari saluran sekunder serta
limpasan permukaan yang ada pada daerah tangkapan sungai tersebut.
Sungai-sungai yang berfungsi sebagai pembuangan utama yang ada di
wilayah studi perlu untuk diketahui jumlahnya dan masing-masing sungai
akan terbentuk sistem drainase dan pola aliran tertentu, dengan batas-batas
yang sesuai dengan topografi.
2. Saluran Drainase Sekunder
Fungsi dari saluran sekunder adalah untuk menampung air drainase
tersier serta limpasan air permukaan yang ada untuk diteruskan ke drainase
utama (sungai). Berdasarkan konstruksi saluran drainase dibedakan menjadi 2
macam, yaitu:
a. Saluran terbuka, dibuat pada daerah dimana masih cukup tersedia pola
lahan serta bukan merupakan daerah yang sibuk (pertokoan, pasar, dan
sebagainya).
b. Saluran tertutup, dapat dipertimbangkan pemakaiannya ditempat-tempat
yang produksi sampahnya melebihi rata-rata, seperti: pasar, terminal,
pertokoan, dan pada daerah yang lalu lintasnya padat.
3. Saluran Drainase Tersier
Fungsi saluran tersier adalah untuk meneruskan pengaliran air buangan
maupun air limpasan permukaan menuju ke pembuangan sekunder. Data
mengenai kondisi saluran tersier tidak begitu banyak diperlukan dalam
perencanaan sistem pembuangan air hujan. Banjir yang terjadi pada saluran
tersier bersifat setempat, sedangkan banjir pada saluran sekunder dan saluran
pembuangan utama akan membawa dampak yang luas bagi kehidupan
masyarakat yang menyangkut social, ekonomi, maupun kesehatan.
Selain itu sistem drainase juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar drainase bagi kawasan hunian dan kota serta menunjang kebutuhan
pembangunan dalam menunjang terciptanya scenario pengembangan kota
22
untuk kawasan andalan dan menunjang sector unggulan yang berpedoman
pada Rencana Umum Tata Ruang Kota.
2.2.5. Jenis-Jenis Sistem Drainase
Ada beberapa jenis-jenis sistem drainase dibedakan berdasarkan beberapa
hal (Kusumo dan Kurnia, 2009), yaitu :
a. Menurut sejarah terbentuknya, drainase dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Drainase alamiah (natural drainage)
Adalah sistem drainase yang terbentuk secara alami dan tidak ada unsur
campur tangan manusia.
2. Drainase buatan (arficial drainage)
Adalah sistem drainase yang dibentuk berdasarkan analisis ilmu drainase,
untuk menentukan debit akibat hujan, dan dimensi saluran.
b. Menurut jenis buangannya, drainase terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Drainase air hujan (storm water drainage)
Drainase air hujan terletak di atas permukaan tanah. Air hujan yang turun
ke bumi masih dapat digunakan untuk kehidupan manusia dan makhluk
hidup lainnya, karena tidak mengandung partikel-partikel atau zat-zat yang
merugikan.
2. Drainase air limbah (sewer drainage)
Drainase air limbah terletak di bawah permukaan tanah. Karena untuk air
limbah yang mengandung partikel-partikel atau zat-zat yang merugikan
harus dibuat sistem drainase tersendiri di bawah permukaan tanah, agar
tidak mengganggu kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya.
c. Menurut letak salurannya, drainase terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Drainase permukaan tanah (surface drainage)
Adalah saluran drainase yang berada di atas permukaan tanah yang
berfungsi mengalirkan air limpasan permukaan. Analisa alirannya
merupakan analisa open channel flow.
2. Drainase bawah tanah (sub surface drainage)
Yaitu saluran drainase yang bertujuan mengalirkan air limpasan permukaan
melalui media di bawah permukaan tanah (pipa-pipa), dikarenakan alasan-
23
alasan tertentu. Alasan tersebut antara lain tuntutan artistik, tuntutan fungsi
permukaan tanah yang tidak membolehkan adanya saluran di permukaan
tanah seperti sepak bola, lapangan terbang, taman, dan lain-lain.
d. Menurut konstruksinya, drainase terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Saluran terbuka
Yaitu sistem saluran yang biasanya direncanakan hanya untuk menampung
dan mengalirkan air hujan (sistem terpisah), namun kebanyakan sistem
saluran ini berfungsi sebagai saluran campuran. Saluran terbuka dibuat
pada daerah dimana masih cukup tersedia lahan serta bukan merupakan
daerah sibuk. Pada pinggiran kota, saluran terbuka ini biasanya tidak diberi
lining (lapisan pelindung). Akan tetapi saluran terbuka di dalam kota harus
diberi lining dengan beton, pasangan batu (masonry) ataupun dengan
pasangan bata.
2. Saluran tertutup
Yaitu saluran untuk air kotor yang mengganggu kesehatan lingkungan.
Sistem ini cukup bagus digunakan di daerah perkotaan terutama dengan
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi seperti kota metropolitan dan kota-
kota besar lainnya.
e. Menurut fungsinya, drainase terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Single Purpose
Yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja.
2. Multi Puspose
Yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis buangan, baik
secara bercampur maupun bergantian.
2.2.6. Pola jaringan Drainase
Pola jaringan drainase terdiri dari 6 (enam) macam (Karmawan, 1997),
antara lain :
1. Siku
Digunakan pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi
daripada sungai. Sungai sebagai saluran pembuangan akhir berada di tengah kota.
24
2. Pararel
Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran
cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi
perkembangan kota, saluran-saluran akan dapat menyesuaikan diri. Saluran ini
biasa dijumpai pada daerah dengan topografi yang cenderung datar dan terletak
jauh dari sungai dan danau.
3. Grid Iron
Pola jaringan ini terjadi pada daerah dimana sungai terletak di pinggir kota,
saluran-saluran cabang dkumpulkan terlebih dahulu pada saluran pegumpul.
4. Alamiah
Pola jaringan alamiah sama seperti pola siku, hanya beban sungai pada pola
alamiah lebih besar.
5. Radial
Pola jaringan radial terjadi pada daerah berbukit, sehingga pola aliran
memencar ke segala arah.
6. Jaring-jaring
Pola ini mempunyai saluran-saluran pembuang yang mengikuti arah jalan
raya, dan cocok untuk daerah dengan topografi datar.
2.2.7. Bangunan-Bangunan Sistem Drainase dan Pelengkapnya
Menurut Suripin (2004), Bangunan-bangunan sistem saluran drainase dan
pelengkapnya terdiri atas:
1. Bangunan-bangunan Sistem Saluran Drainase
Bangunan-bangunan dalam sistem drainase adalah bangunan-
bangunan struktur dan bangunan-bangunan non-struktur.
a. Bangunan Struktur
Bangunan struktur adalah bangunan pasangan disertai dengan
perhitungan-perhitungan kekuatan tertentu. Contoh bangunan struktur adalah:
rumah pompa, bangunan tembok penahan tanah, bangunan terjunan, dan
jembatan.
b. Bangunan Non-Struktur
25
Bangunan non-struktur adalah bangunan pasangan atau tanpa
pasangan, tidak disertai dengan perhitungan-perhitungan kekuatan tertentu
yang biasanya berbentuk siap pasang. Contoh bangunan non-struktur adalah :
Pasangan (saluran cecil tertutup, tembok talud saluran, manhole, street inlet).
Tanpa pasangan (saluran tanah dan saluran tanah berlapis rumput).
2. Bangunan Pelengkap Sistem Drainase
Bangunan pelengkap saluran drainase diperlukan untuk melengkapi
suatu sistem saluran untuk fungsi-fungsi tertentu. Adapun bangunan-
bangunan pelengkap sistem drainase antara lain :
a. Gorong-gorong (culvert)
Gorong-gorong adalah saluran tertutup (pendek) yang mengalirkan air
melewati jalan raya, jalan kereta api, atau timbunan lainnya. Gorong-gorong
biasanya dibuat dari beton, alumunium, dan baja.
b. Bak Kontrol
Merupakan salah satu bangunan pelengkap drainase berupa bak kecil
yang biasa dibuat pada pertemuan saluran sekunder. Disamping itu, bak
kontrol juga dibuat pada saluran yang berbelok, karena pada kondisi tersebut
berpotensi terjadi pengikisan atau erosi dinding saluran yang berakibat
pengendapan (sedimentasi) dan berujung pada berjurangnya kapasitas
saluran. Bak kontrol umumnya memiliki penutup dari beton bertulang dengan
besi pegangan agar lebih mudah dibuka. Dasar bak kontrol harus lebih dalam
dari dasar saluran lainnya dimaksudkan apabila terdapat endapan lumpur agar
lebih mudah dibersihkan dan sebagai peredam energi akibat kecepatan
pengaliran.
c. Inlet
Apabila terdapat saluran terbuka dimana pembuangannya akan
dimasukkan ke dalam saluran tertutup yang lebih besar, maka dibuat suatu
konstruksi khusus yaitu inlet. Inlet harus diberi saringan agar sampah tidak
masuk ke dalam saluran tertutup.
d. Street Inlet
Yang dimaksudkan dengan street inlet adalah lubang di sisi-sisi jalan
yang berfungsi untuk menampung dan menyalurkan limpasan air hujan yang
26
berada di sepanjang jalan menuju ke dalam saluran. Sesuai dengan kondisi
dan penempatan saluran serta fungsi jalan yang ada, maka pada jenis
penggunaan saluran terbuka tidak diperlukan street inlet, karena ambang
bebas. Peletakan street inlet mempunyai ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Diletakkan pada tempat yang tidak memberikan gangguan terhadap lalu
lintas.
Ditempatkan pada daerah yang rendah.
Limpasan yang masuk ke street inlet harus dapat secepatnya menuju ke
arah saluran.
Jumlah street inlet harus cukup untuk dapat menangkap limpasan air pada
jalan yang bersangkutan dengan spacing, menggunakan rumus := √ . (2.1)
Dimana :
D = jarak antar street inlet (m)
S = kemiringan (%)
W = lebar jalan (m)
e. Cacth Basin
Bangunan dimana air masuk ke dalam sistem saluran tertutup dan air
mengalir bebas di atas permukaan tanah menuju catch basin. Catch basin
dibuat pada setiap persimpangan jalan, pada tempat-tempat yang rendah
(tempat parkir).
f. Headwall
Headwall adalah konstruksi khusus pada outlet saluran tertutup dan
ujung gorong-gorong yang dimaksudkan untuk melindungi dari longsor dan
erosi.
g. Shipon
Shipon dibuat bilamana ada persilangan dengan sungai. Shipon
dibangun lebih kebawah dari penampang sungai, karena tertanam di dalam
tanah maka pada waktu pembuatannya harus dibuat secara kuat sehingga
tidak terjadi keretakan ataupun kerusakan konstruksi. Sebaiknya dalam
merencanakan drainase dihindarkan perencanaan dengan menggunakan
27
shipon, dan sebaiknya saluran yang debitnya lebih tinggi tetap dibuat shipon
dan saluran drainase yang dibuat berupa saluran terbuka atau gorong-gorong.
h. Manhole
Untuk keperluan pemeliharaan sistem saluran drainase tertutup di
setiap saluran diberi manhole. Manhole dibuat pada setiap pertemuan,
perubahan dimensi, perubahan bentuk selokan, atau setiap jarak 10-25 m.
Lubang manhole dibuat sekecil mungkin supaya ekonomis, cukup, dan dapat
dimasuki oleh orang dewasa. Biasanya lubang manhole berdiameter 60 cm
dengan tutup dari beton bertulang atau besi.
2.2.8. Perencanaan Sistem Drainase
Menurut Suripin (2004), perencanaan system drainase meliputi :
1. Perencanaan
Perencanaan drainase perkotaan perlu memperhatikan fungsi
drainase perkotaan sebagai prasarana kota yang dilandaskan pada konsep
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Konsep ini antara lain
berkaitan dengan sumber daya air, yang pada prinsipnya adalah
mengendalikan air hujan supaya banyak meresap ke dalam tanah dan tidak
terbuang sebagai aliran, antara lain membuat : bangunan resapan buatan,
kolam tandon, penataan landscape, dan sempadan.
2. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan drainase perkotaan meliputi :
a) Tahapan dilakukan melalui pembuatan rencana induk, studi kelayakan,
dan perencanaan detail dengan penjelasan sebagai berikut :
Studi kelayakan dapat dibuat sebagai kelanjutan dari pembuatan
rencana induk.
Perencanaan detail perlu dibuat sebelum pekerjaan konstruksi drainase
dilaksanakan.
b) Drainase perkotaan di kota besar perlu direncanakan secara menyeluruh
melalui tahapan rencana induk.
c) Drainase perkotaan di kota sedang dan kota kecil dapat direncanakan
melalui tahapan rencana kerangka sebagai pengganti rencana induk.
28
d) Data dan Persyaratan
Perencanaan sistem drainase perkotaan memerlukan data dalam
persyaratan sebagai berikut :
Data primer, merupakan data dasar yang dibutuhkan dalam perencanaan
yang diperoleh baik dari lapangan maupun dari pustaka, mencakup :
1) Data permasalahan dan data kuantitatif pada setiap lokasi genangan
atau atau banjir yang meliputi luas, lama, kedalaman rata-rata dan
frekuensi genangan.
2) Data keadaan fungsi, sistem, geometri dan dimensi saluran.
3) Data daerah pengaliran sungai atau saluran meliputi topografi,
hidrologi, morfologi, sungai, sifat tanah, tata guna lahan, dan
sebagainya.
4) Data prasarana dan fasilitas kota yang telah ada dan yang
direncanakan.
Data sekunder, merupakan data tambahan yang digunakan dalam
perencanaan drainase perkotaan yang sifatnya menunjang dan
melengkapi data primer, terdiri atas :
1) Rencana pengembangan kota.
2) Geoteknik.
3) Pembiayaan.
4) Kependudukan.
5) Institusi/kelembagaan.
6) Sosial ekonomi.
7) Peran serta masyarakat.
8) Keadaan kesehatan lingkungan pemukiman.
2.3. Hidrologi
2.3.1. Hujan
Menurut Hadisusanto (2010), Hujan adalah titik-titik air yang jatuh dari
awan melalui lapisan atmosfer ke permukaan bumi secara proses alam. Hujan
turun ke permukaan bumi selalu didahului dengan adanya pembentukan awan,
karena adanya penggambungan uap air yang ada di atmosfer melalui proses
29
kondensasi, maka terbentuklah butir – butir air yang bila lebih berat dari
gravitasi akan jatuh berupa hujan.
Proses terjadinya hujan menurut teori Kristal Es secara garis besar dapat
diterangkan dengan teori “Bergaron” yang dikemukakan oleh seorang ahli
meteorologi dari Skandinavia untuk mempelajari proses teori Kristas Es sekitar
tahun 1930. Teori ini mengemukakan bahwa pada kondisi udara dibawah suhu
0° C, tekanan air diatas Kristal akan menurun lebih cepat dibandingkan suhu
diatas air yang didinginkan Antara suhu -5°C dan -25°C. Sehingga apabila
Kristal es dan butir-butir uap air yang didinginkan berada secara bersamaan
terjadi di awan, maka titik uap air akan cenderung menyublim langsung diatas
kristal es. Selanjutnya kristal es tersebut akan terbentuk menjadi lebih besar
oleh adanya endapan uap air, yang pada akhirnya es jatuh dari awan ke
permukaan bumi berbentuk es. Jatuhnya butir-butir es melalui awan ini akan
mengakibatkan butir-butir es dapat terus tumbuh dengan proses kondensasi dan
bergabung dengan butir-butir yang lain. Apabila suhu udara di bawah awan
lebih tinggi dari titik beku es, maka es akan mencair dan jatuh sebagian hujan.
2.3.2. Perhitungan Hujan Rata-Rata
Menurut Triatmodjo (2008), stasiun penakar hujan hanya memberikan
kedalaman hujan di titik mana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada
suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada
suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukur yang ditempatkan secara
terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun tidak sama. Dalam
analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah
tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu, metode rerata
aritmatik, metode polygon Thiessen, dan metode Isohiet.
a) Metode rerata aritmatik (aljabar)
Gambar 2.2. Mengukur Tinggi Curah Hujan Metode Aljabar
P3
P2 P1
30
Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata
pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam
waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah
stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang
berada di dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga
masih bisa diperhitungkan.
Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila :
- Stasiun tersebar secara merata di DAS
- Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS
Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh bentuk berikut :P = ....(2.1)
Dimana :
P = hujan rerata kawasan
P1,P2,P3…,Pn = hujan pada stasiun 1,2,3,…,n
n = jumlah stasiun
b) Metode Thiessen
Gambar 2.3. Mengukur Tinggi Curah Hujan Metode Poligon Thiesen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang
mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap
bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga
hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini
digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak
merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan
daerah pengaruh dari setiap stasiun. Perhitungan polygon Thiessen adalah
sebagai berikut : P = .…..…. (2.2)
P1
P 2A3P 3
A2A1
r
31
Dimana :
P = hujan rerata kawasan
P1,P2,…Pn = hujan pada stasiun 1,2,3,…n
A1,A2,…An = hujan daerah stasiun 1,2,3,…n
c) Metode Isohyet
Gambar 2.4. Mengukur Tinggi Curah Hujan Metode Isohyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman
hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu
daerah diantara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata
dari kedua garis isohyet tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat
ditulis : P = .….. ( ).…. (2.3)
Atau
P = ( )∑ (2.4)
Dimana :
P = hujan rerata kawasan
I1,I2,I3,…,In = garis isohyet ke 1,2,3,..,n,n+1
A1,A2.A3,…,An = luas daerah yang dibatasi oleh garis isohyet ke 1 dan 2, 2
dan 3,…, n dan n+1
2.3.3. Interprestasi Data Hujan
Menurut Hadisusanto (2010), agar tidak terjadi kesalahan data maka
interprestasi data hujan perlu dilakukan, hal ini disebabkan sering dijumpai
trend (penyimpangan data hujan) yang diakibatkan:
P1 P2
A 3
P3
A2A 1 P4
A4
32
1. Perubahan letak stasiun hujan.
2. Perubahan system pencatatan data hujan.
3. Perubahan iklim.
4. Perubahan lingkungan.
Dengan demikian untuk koreksi penyimpangan data tersebut perlu
dilakukan analisa “Double Mass Curve Test” dengan cara membandingkan
akumulasi hujan tahunan yang dikoreksi dengan akumulasi hujan rata-rata
tahunan di sekitarnya.
2.3.4. Perkiraan Data Hujan yang Hilang
Menurut Hadisusanto (2010), dalam praktek lapangan sering dijumpai data
hujan yang tidak lengkap, hal ini disebabkan oleh banyak sebab antara lain:
a. Alat ukur hujan rusak.
b. Pengamat stasiun hujan berhalangan.
c. Data pencatat hujan hilang dsb.
Untuk mengisi data hujan yang hilang dapat dilakukan dengan beberapa
cara, tetapi pada sub-bab ini hanya dibahas cara yang sering digunakan untuk
perencanaan hidrologi yaitu:
1. Metode perbandingan normal (Normal ratio method)
2. Metode Inversed square distance
2.3.4.1. Metode Perbandingan Normal
Jika pencatatan pada tahun tertentu terdapat data yang hilang, sedang
stasiun lain di sekitarnya terdapat data pencatatan hujan waktunya panjang
maka untuk memperkirakan data hujan yang hilang dapat digunakan cara
“Metode Perbandingan Normal” yaitu:= ( . 1 + . 2 + . 3+.…+ . ) (2.5)
Dimana:
PA = hujan yang diperkirakan pada stasiun A.
NA = jumlah hujan tahunan normal pada stasiun A.
P1,P2,P3..Pn = hujan pada saat yang sama dengan hujan yang
diperkirakan pada stasiun 1,2,3,..n
33
N1,N2,N3..Nn = jumlah hujan tahunan normal stasiu yang berdekatan.
2.3.4.2. Metode Inversed Square Distance
Apabila terdapat data hujan yang hilang pada stasiun hujan tertentu,
dimana stasiun hujan tersebut dikelilingi oleh beberapa stasiun hujan yang lain,
maka untuk memperkirakan data hujan yang hilang dapat dilakukan dengan
perhitungan metode “Inversed Square Distance” sebagai berikut:= . . . .… ..… (2.6)
Dimana:
PX = hujan yang diperkirakan pada stasiun X (mm).
PA,PB,PC..PN = jarak hujan pada stasiun mengelilingi stasiun
hujan X (mm).
A, b, c,…n = jarak dari stasiun X ke masing-masing stasiun
hujan A,B,C,..N (km).
2.3.5. Hujan Rencana
Menurut Subarkah (1990), Banjir rencana harus ditentukan berdasarkan
curah hujan, dengan menetapkan curah hujan rencana. Untuk perencanaan
gorong-gorong, jembatan, bending, dan sebagainya di dalam sungai, yang
diperlukan ialah besarnya puncak banjir yang harus disalurkan melalui
bangunan tersebut. Jadi sebagai hujan rencana kita tetapkan curah hujan
dengan masa ulang tertentu.
2.3.5.1. Consistency Test (Uji Kepanggahan)
Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya
tidak panggah (inconsistent). Data semacam ini tidak langsung dapat
digunakan dalam analisis, karena data di dalamnya berasal dari populasi yang
berbeda, ketidakpanggahan data dapat saja terjadi karena beberapa penyebab,
yaitu :
34
a) Alat ukur yang diganti dengan spesifikasi yang berbeda atau alat dipasang
dengan patokan yang berbeda.
b) Alat ukur dipindahkan dari tempat semula, akan tetapi secara
administrative nama stasiun tidak diubah.
c) Lingkungan di sekitar alat berubah, misalnya semula dipasang pada tempat
yang ideal kemudian berubah karena adanya bangunan dan pohon besar
yang terlalu dekat dengan penempatan alat.
Metode yang digunakan untuk pengujian data yaitu metode RAPS
(Rescaled Adjusted Partial Sums) yaitu pengujian dengan menggunakan data
hujan tahunan rata-rata dari stasiun yang sudah ditetapkan dengan melakukan
pengujian kumulatif penyimpangan kuadrat terhadap nilai reratanya.
Persamaannya adalah sebagai berikut : (Sri Harto, 1993)So ∗= 0 (2.7)∗= 0∑ ( − ) , dengan k = 1,…., n (2.8)= ∑( )(2.9)∗∗= ∗/ , dengan k = 0,1,…,n (2.10)
Nilai statistic Q Q = max|Sk**| , dimana 0 ≤ k ≤ n (2.11)
Nilai Statistik R (Range)
R = Sk** max – Sk** min, dimana 0 ≤ k ≤ n (2.12)
Tabel 2.1 Nilai Q/√n dan R/√n
nQ/√n R/√n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,6
30 1,12 1,24 1,46 1,4 1,5 1,7
40 1,13 1,26 1,5 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,5 1,62 1,86
1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2
Sumber : Sri Harto, 1993
35
2.3.5.2. Penentuan Distribusi Frekuensi
Penentuan jenis distribusi frekuensi deperlukan untuk mengetahui suatu
rangkaian data cocok untuk suatu sebaran tertentu dan tidak cocok untuk
sebaran lain. Untuk mengetahui kecocokan terhadap suatu jenis sebaran
tertentu, perlu dikaji terlebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu :
1. Menghitung parameter-parameter statsitik Cs dan Ck, untuk menentukan
macam analisis frekuensi yang dipakai.
2. Koefisien kepencengan/skewness (Cs) dihitung dengan persamaan := .∑( )( )( ) (2.13)
3. Koefisien kepuncakan/curtosis (Ck) dihitung dengan persamaan := .∑( )( )( )( ) (2.14)
4. Koefisien variasi (Cv)= (2.15)
Dimana :
n = jumlah data
= rata-rata data hujan (mm)
S = simpangan baku (standar deviasi)
X = data hujan (mm)
Tabel 2.2 Persyaratan Pemilihan Jenis Distribusi/Sebaran Frekuensi
No. Sebaran Syarat
1. Normal Cs = 0
2. Log Normal Cs = 3 Cv
3. GumbelCs = 1,1396
Ck = 5,4002
4.Bila tidak ada yang memenuhi syarat digunakan sebaran Log Person
Type III
Sumber : Sri Harto, 1993
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang
banyak digunakan dalam hidrologi yaitu Distribusi Normal, Log Normal, Log
Person Tipe III, dan Gumbel. Pada situasi tertentu walaupun data yang
diperkirakan mengikuti distribusi yang sudah dikonversi ke dalam bentuk
36
logaritmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup kuat untuk
menjustifikasi pemakaian distribusi Log Normal. Person telah mengembangkan
serangkaian fungsi probilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi
probilitas empiris, dan masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya. (Suripin, 2004)
1. Distribusi Normal
Menurut Suripin (2004), distribusi normal atau kurva normal disebut pula
distribusi Gauss. Fungsi densitas peluang normal (PDF = probability density
function) yang paling dikenal adalah bentuk bell dan dikenal sebagai distribusi
normal. PDF distribusi normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan
simpangan bakunya sebagai berikut :( ) = √ − ( ) −∞ ≤ ≤ ∞ (2.16)
Keterangan :
P(X) = fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal)
X = variable acak kontinu
= rata-rata nilai X
= simpangan baku dari nilai X
Analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistic juga .
Bentuk kurvanya simetris terhadap X = , dan grafiknya selalu di atas dari X =
+ 3 dan X = - 3 . Nilai mean = median = modus. Nilai X mempunyai batas: -
<X<+
2. Distribusi Log Normal
Menurut Suripin (2004), jika variable Y = Log X terdistribusi secara
normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. PDF (probability
density function) untuk distribusi Log Normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-
rata dan simpangan bakunya sebagai berikut :( ) = √ − ( )X > 0 (2.17)
Keterangan :
P (X) = peluang Log Normal
X = nilai variat pengamatan
= nilai rata-rata populasi
37
= deviasi standar nilai variat Y
Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas, maka peluang logaritmik
akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model
matematik dengan persamaan := + (2.18)
Yang dapat didekati dengan := + (2.19)= (2.20)
Keterangan:
YT = perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T-tahunan
Y = nilai rata-rata hitung variat
S = deviasi standar nilai variat
KT = factor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan
tipe modal matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis
peluang.
3. Distribusi Log-Person Tipe III
Menurut Suripin (2004), salah satu distribusi dari serangkaian distribusi
yang dikembangkan Person yang menjadi perhatian ahli sumber daya air adalah
Log-Person Tipe III (LP.III). Pada Log Person Tipe III, parameter statistic yang
diperlukan pada distribusi ini adalah harga rata-rata, standar deviasi, dan koefisien
kepencengan. Untuk menghitung banjir rencana dalam praktek, The Hydrology
Comitte of Water Resources Council, USA, menganjurkan pertama kali
mentranformasi data ke nilai-nilai logaritmanya, kemudian menghitung
parameter-parameter statistiknya.
Secara garis besar langkah-langkahnya adalah sebagai berikut (Suripin,
2004) :
1. Ubahlah data ke dalam bentuk logaritmis, X = log X
2. Hitung harga rata-ratanya dengan rumus := ∑ (2.21)
3. Hitung harga simpangan baku dengan rumus :
38
= ∑ ( )(2.22)
4. Hitung koefisien kepencengan dengan rumus := ∑ ( )( )( ) (2.23)
5. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T mengunakan
rumus : = log + . (2.24)
Dimana :
- = curah hujan dengan periode ulang tahun
- = rata-rata log curah hujan harian maksimum
- = factor penyimpangan, seperti tabel 2.3
- = simpangan baku
- = variable standar untuk X yang besarnya tergantung koefisien
kemencengan G
39
Tabel 2.3 Nilai K untuk distribusi Log-Person III
1.0101 1.25 2 5 10 25 50 100
99.000 80.000 50.000 20.000 10.000 4.000 2.000 1.0003 -0.667 -0.636 -0.396 0.420 1.180 2.278 3.152 4.051
2.8 -0.714 -0.666 -0.384 0.460 1.210 2.275 3.114 3.9732.6 -0.769 -0.696 -0.368 0.499 1.238 2.267 3.071 2.8892.4 -0.832 -0.725 -0.351 0.537 1.262 2.256 3.023 3.8002.2 -0.905 -0.752 -0.330 0.574 1.284 2.240 2.970 3.7052 -0.990 -0.777 -0.307 0.609 1.302 2.219 2.092 3.605
1.8 -1.087 -0.799 -0.282 0.643 1.318 2.193 2.848 3.4991.6 -1.197 -0.817 -0.254 0.675 1.329 2.063 2.780 3.3881.4 -1.313 -0.832 -0.225 0.705 1.337 2.128 2.706 3.2711.2 -1.449 -0.844 -0.195 0.732 1.340 2.087 2.626 3.1491 -1.558 -0.852 -0.164 0.758 1.340 2.043 2.542 3.022
0.8 -1.733 -0.856 -0.132 0.780 1.336 1.993 2.453 2.8910.6 -1.880 -0.857 -0.099 0.800 1.328 1.939 2.359 2.7550.4 -2.029 -0.855 -0.066 0.816 1.317 1.880 2.261 2.6150.2 -2.178 -0.850 -0.033 0.830 1.301 1.818 2.159 2.4720 -2.326 -0.842 0.000 0.842 1.282 1.751 2.051 2.326
-0.2 -2.472 -0.830 0.033 0.850 1.258 1.680 1.945 2.178-0.4 -2.615 -0.816 0.066 0.855 1.231 1.606 1.834 2.029-0.6 -2.755 -0.800 0.099 0.857 1.200 1.528 1.726 1.880-0.8 -2.891 -0.780 0.132 0.856 1.266 1.448 1.606 1.733-1 -3.022 -0.785 0.164 0.852 1.128 1.366 1.492 1.588
-1.2 -2.149 -0.732 0.195 0.844 1.086 1.282 1.379 1.449-1.4 -2.271 -0.705 0.225 0.832 1.041 1.198 1.270 1.318-1.6 -2.388 -0.675 0.254 0.817 0.994 1.116 1.166 1.197-1.8 -3.499 -0.643 0.282 0.799 0.945 1.035 1.069 1.087-2 -3.605 -0.609 0.307 0.777 0.895 0.959 0.980 0.990
-2.2 -3.705 -0.574 0.330 0.752 0.844 0.888 0.900 0.905-2.4 -3.800 -0.537 0.351 0.725 0.795 0.823 0.830 0.832-2.6 -3.889 -0.490 0.368 0.696 0.747 0.764 0.768 0.769-2.8 -3.973 -0.469 0.384 0.666 0.702 0.712 0.714 0.714-3 -7.051 0.420 0.369 0.636 0.660 0.666 0.666 0.667
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang)
Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded)Koef G
Sumber : Suripin, 2004
40
4. Distribusi Gumbel
Menurut Suripin (2004), gumbel menggunakan harga ekstrim untuk
menunjukkan bahwa dalam deret harga-harga ekstrim X1, X2, X3,…Xn
mempunyai fungsi distribusi eksponensial ganda.= + ∗ (2.25)= (2.26)
Dimana :
X = harga rata-rata sampel
S = standar deviasi (simpangan baku) sampel
Yt = reduced variate sebagai fungsi periode ulang “T” tahun= − − (2.27)
Sn = reduced standart deviation yang tergantung dari jumlah data
Yn = reduced mean yang juga tergantung dari jumlah data
Untuk besaran K, Sn, Yn, Yt dapat dilihat pada tabel 2.4 sampai dengan tabel 2.7
Tabel 2.4 Faktor Frekuensi untuk Nilai Ekstrim (K)
nKala Ulang (tahun)
10 20 25 50 75 100 1000
15 1,703 2,410 2,632 3,321 3,721 4,005 6,265
20 1,625 2,302 2,517 3,179 3,563 3,836 6,006
25 1,575 2,235 2,444 3,088 3,463 3,729 5,842
30 1,541 2,188 2,393 3,026 3,393 3,653 5,727
40 1,495 2,126 2,326 2,943 3,031 3,554 5,476
50 1,466 2,086 2,283 2,889 3,241 3,491 5,478
60 1,466 2,059 2,253 2,852 3,200 3,446
70 1,430 2,038 2,230 2,824 3,169 3,413 5,359
75 1,432 2,029 2,220 2,812 3,155 3,400
100 1,401 1,998 2,187 2,770 3,109 3,349 5,261
Sumber : Suripin, 2004
41
Tabel 2.5 Simpangan Baku Tereduksi (Sn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 910 0.94 0.96 0.98 0.99 1.00 1.02 1.03 1.04 1.04 1.0520 1.06 1.06 1.07 1.08 1.08 1.09 1.09 1.10 1.10 1.1030 1.11 1.11 1.11 1.12 1.12 1.12 1.13 1.13 1.13 1.1340 1.14 1.14 1.14 1.14 1.14 1.15 1.15 1.15 1.15 1.1550 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.17 1.17 1.1760 1.17 1.17 1.17 1.17 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.1870 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.18 1.19 1.19 1.19 1.1980 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.19 1.2090 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20100 1.20
Sumber : Suripin, 2004
Tabel 2.6 Rata-rata Tereduksi (Yn)
n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 910 ,495 ,499 ,503 ,507 ,510 ,512 ,515 ,518 ,520 ,52220 ,532 ,525 ,526 ,528 ,529 ,530 ,532 ,533 ,534 ,53230 ,536 ,537 ,538 ,538 ,539 ,540 ,541 ,541 ,542 ,54340 ,543 ,544 ,544 ,545 ,545 ,546 ,546 ,547 ,547 ,54850 ,548 ,549 ,549 ,549 ,550 ,550 ,550 ,551 ,551 ,55160 ,552 ,552 ,552 ,553 ,553 ,553 ,553 ,554 ,554 ,55470 ,554 ,555 ,555 ,555 ,555 ,555 ,556 ,556 ,556 ,55680 ,556 ,557 ,557 -0.557 ,557 ,558 ,558 ,558 ,558 ,55890 ,558 ,558 ,558 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559 ,559100 ,560
Sumber : Suripin, 2004
Tabel 2.7 Hubungan Antara Kala Ulang dengan Faktor Reduksi (Yt)
Kala Ulang(tahun)
2 0.36655 1.499910 2.250225 3.198550 3.9019100 4.6001
Faktor Reduksi (Yt)
Sumber : Suripin, 2004
42
2.3.6. Pengeplotan Data
Menurut Suripin (2004), pengeplotan data pada kertas probabilitas
merupakan nilai probabilitas yang dimiliki oleh masing-masing data yang diplot.
Banyak metode yang telah dikembangkan untuk menentukan posisi pengeplotan
yang sebagian besar dibuat secara empiris. Untuk keperluan penentu posisi ini,
data hidrologi (hujan atau banjir) yang telah ditabelkan diurutkan dari besar ke
kecil (berdasarkan peringkat m), dimulai dengan m = 1 untuk data dengan nilai
tertinggi dan m = n (n adalah jumlah data) untuk data dengan nilai terkecil.
Periode ulang Tr dapat dihitung dengan persamaan Weibull, yaitu := (2.28)
Dengan :
m = nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil
n = banyak data atau jumlah kejadian (event)
2.3.7. Uji Kecocokan
Menurut Suripin (2004), diperlukan penguji parameter untuk menguji
kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap distribusi peluang yang
diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut.
Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-kuadrat dan Smirnov-
Kolmogorov.
1. Uji Chi – kuadrat
Uji Chi – kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan
distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistic sampel data
yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2 ,
yang dapat dihitung dengan rumus berikut:= ∑ ( )(2.30)
Dengan :
Xh2 = parameter chi-kuadrat terhitung
G = jumlah sub kelompok
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei = jumlah nilai teoritus pada sub kelompok i
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan persamaan Strurges :
43
= 1 + 3,332 log (2.31)
Dengan :
K = jumah kelas
n = jumlah data
Derajat bebas (number of degrees of freedom)
V = K – h – 1 (2.32)
Dimana : h = jumlah parameter = 2
Interprestasi hasil uji adalah sebagai berikut :
a. Apabila peluang lebih lama dari 5%, maka persamaan distribusi yang
digunakan dapat diterima.
b. Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang
digunakan tidak dapat diterima.
c. Apabila peluang berada diantara 1-5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, diperlukan tambahan data.
Tabel 2.8 Nilai Kritis untuk Distribusi Chi-Kuadrat
dk(α) derajat kepercayaan
0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005
1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.879
2 0.0100 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.210 10.879
3 0.072 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838
4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.448 11.143 13.277 14.860
5 0.421 0.554 0.831 1.145 11.070 12.832 15.086 16.750
6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548
7 0.989 1.239 1.690 2.167 14.067 16.013 18.475 20.278
8 1.344 1.646 2.180 2.733 15.507 17.535 20.090 21.955
9 1.735 2.088 2.700 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589
10 2.156 2.558 3.247 3.940 18.307 20.483 23.209 25.188
11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.920 24.725 26.757
12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.712 28.300
13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.891
14 4.075 4.660 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319
15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.578 32.801
16 5.142 5.821 6.908 7.962 26.269 28.845 32.000 34.267
44
17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.409 35.718
18 6.265 7.015 8.231 9.390 28.869 31.526 34.805 37.156
19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 38.582
20 8.034 8.260 9.591 10.851 31.410 34.170 37.566 39.997
21 8.643 8.897 10.238 11.591 32.671 35.479 38.932 41.401
22 8.643 9.542 10.982 12.338 33.924 36.781 40.289 42.796
23 9.260 10.196 11.698 13.091 36.172 38.076 41.638 44.181
24 9.886 10.856 12.401 13.848 36.415 39.364 42.980 45.558
25 10.250 11.524 13.120 14.611 37.652 40.464 44.314 46.928
26 11.160 12.198 13.844 15.379 38.885 41.923 45.642 48.290
27 11.808 12.879 14.573 16.151 40.113 43.194 46.936 49.645
Sumber: Suripin, 2004
2. Uji Smirnov – Kolmogorov
Uji kecocokan Smirnov – Kolmogorov sering disebut juga dengan uji
kecocokan non parametik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi
distribusi tertentu. Namun dengan memperhatikan kurva dan penggambaran
data pada kertas probabilitas. (untuk contoh penggambaran data pada masing-
masing distribusi dapat dilihat pada lampiran). Prosedur pelaksanaannya
adalah sebagai berikut :
1) Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan
besarnya peluang dari masing-masing data tersebut.
X1 = P (X1)
X2 = P (X2)
X3 = P (X3), dan seterusnya.
2) Urutkan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran
data (persamaan distribusinya).
X1 = P’ (X1)
X2 = P’ (X2)
X3 = P’ (X3), dan seterusnya.
3) Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukanlah selisih terbesarnya
Antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
D maksimum = P (Xn) – P’ (Xn) (2.33)
45
4) Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolmogorov test) tentukan
harga Do dari tabel 2.9
Tabel 2.9 Nilai kritis untuk uji Smirnov – Kolmogorov
NDerajat Kepercayaan,
0,2 0,1 0,005 0,01
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,19
15 0,27 0,3 0,34 0,4
20 0,23 0,26 0,29 0,36
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,2 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,2 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
N > 501,07N , 1,22N , 1,36N , 1,63N ,
Sumber : Suripin, 2004
2.3.8. Analisis Intensitas Hujan
Didalam buku Triatmodjo (2008) Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF)
biasanya diberikan dalam bentuk kurva yang memberikan hubungan antara
intensitas hujan sebagai ordinat, durasi hujan sebagai absis dan beberapa grafik
yang menunjukan frekuensi atau periode ulang. Gambar 2.5 adalah kurva IDF
untuk daerah Halim Perdana Kusuma Jakarta. Dalam gambar tersebut terdapat
lima grafik IDF yang masing-masing menunjukan periode ulang 5,10,25,50 dan
100 tahunan. Untuk hujan dengan durasi 30 menitan dengan periode ulang 10
tahunan diperoleh intensitas hujan sekitar 170 mm/jam.
Analisis IDF dilakukan untuk memperkirakan debit puncak didaerah
tangkapan kecil, seperti dalam sebuah perencanaan sistem drainase kota, gorong-
gorong, dan jembatan. Didaerah tangkapan yang kecil, hujan yang deras dengan
durasi singkat ( intensitas hujan dengan durasi singkat adalah sangat tinggi) yang
46
jatuh di berabagai titik pada seluruh daerah tangkapan hujan dapat terkonsentrasi
di titik kontrol yang ditinjau dalam waktu yang bersamaan, yang dapat
menghasilkan debit puncak.
Gambar 2.5 Kurva IDF untuk daerah Halim Perdana Kusuma Jakarta
Hubungan antara intensitas, lama hujan dan frekuensi hujan biasanya
dinyatakan dalam lengkung Intensitas – Durasi – Frekuansi (IDF/Intensity-
Duration-Frequency Curve). Diperlukan data hujan jangka pendek, misalnya 5
menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit, dan jam-jaman untuk membentuk lengkung
IDF. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos penakar hujan otomatis.
Selanjutnya berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung IDF dapat
dibuat dengan salah satu dari beberapa persamaan berikut (Triatmodjo, 2008) :
1. Rumus Talbot (1881)
Rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapan-tetapan
a dan b ditentukan dengan harga-harga yang terukur.= (2.34)
Dimana :
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
a dan b = konstranta yang tergantung pada lama terjadinya DAS.= ∑[ . ]∑ ∑ . ∑[ ]∑[ ] [∑. ] (2.35)
47
= ∑ .∑[ . ] ∑ .∑[ ] [∑. ] (2.36)
2. Rumus Sherman (1905)
Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya
lebih dari 2 jam.= (2.37)
Dimana :
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
n = konstantalog = ∑ . ∑[ ] ∑[ . ] ∑∑[ ] [∑ ] (2.38)= ∑ .∑ ∑[ . ]∑[ ] [∑ ] (2.39)
3. Rumus Ishiguro (1953)= √ (2.40)
Dimana :
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
a dan b = konstanta= ∑ .√ ∑ ∑ .√ ∑[ ]∑[ ] [∑. ] (2.41)= ∑ .∑ .√ ∑ .√∑[ ] [∑. ] (2.42)
Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data
hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus
Mononobe.= (2.43)
Dimana :
I = Intensitas hujan (mm/jam)
t = lamanya hujan (jam)
48
R24 = curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm).
2.3.9. Analisis Debit Rencana
Menurut Suripin (2004), pada saat pembangunan bangunan air seperti
bendungan, gorong-gorong dan saluran pembuang, dimensi diperhitungkan cukup
untuk mengalirkan sejumlah volume air tertentu dalam satuan waktu tertentu yang
disebut dengan debit. Pada saat pembangunan bangunan air ini yang menjadi
masalah adalah berapa debit banjir yang harus disalurkan. Kalau yang disalurkan
itu adalah debit saluran irigasi dan atau air minum yang besarnya sudah tertentu,
maka dimensi bangunannya ditentukan berdasarkan debit yang tertentu pula,
tetapi kalau yang harus disalurkan tersebut adalah debit saluran pembuang atau
sungai maka besarnya debit air yang harus diambil cukup besarnya, debit banjir
ini disebut debit banjir rencana.
Ada beberapa metode untuk memperkirakan laju aliran puncak (debit
banjir). Metode yang dipakai di suatu lokasi lebih banyak ditentukan oleh
ketersediaan data. Metode yang digunakan adalah Metode Hidrograf dan Non
Hidrograf.
1. Metode Hidrograf Satuan
Hidrograf dapat didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur
aliran terhadap waktu. Hidrograf tersusun dari dua komponen, yaitu aliran
permukaan yang berasal dari aliran langsung air hujan, dan aliran dasar (base
flow). Aliran dasar berasal dari air tanah yang ada pada umumnya tidak
memberikan respon yang cepat terhadap hujan. Hujan juga dapat dianggap
terbagi dalam dua komponen, yaitu hujan efektif dan kehilangan (losses). Hujan
efektif adalah bagian hujan yang menyebabkan terjadinya aliran permukaan.
Kehilangan hujan merupakan bagian hujan yang menguap, masuk ke dalam
tanah kelembaban tanah, dan simpanan air tanah. (Suripin, 2004)
Metode Hidrograf dapat dibagi menjadi dua yaitu Hidrograf Satuan dan
Hidrograf Satuan Sintetis. Untuk Hidrograf Satuan memerlukan rekaman data
limpasan dan data hujan. Padahal sering dijumpai beberapa DAS tidak memiliki
sama sekali catatan limpasan. Dalam kondisi seperti itu, Hidrograf Satuan
Sintetis dapat digunakan. Penurunan Hidrograf Satuan Sintetis berdasarkan pada
49
tr
Tp 1,67 Tp
qp
12 tr tp
t (jam)
q (m /dt.cm)
karakteristik fisik dari DAS. Hidrograf Satuan Sintetis dapat digunakan dengan
salah satu dari beberapa metode, yaitu Metode Snyder, Metode SCS (Soil
Conservation Service), Metode Gama I dan Metode Nakayasu. Dalam hal ini,
yang akan dibahas adalah Metode SCS.
Hidrograf SCS (Soil Conservation Service)
Hidrograf SCS (Soil Conservation Service) menggunakan hidrograf tak
berdimensi yang dikembangkan dari analisis sejumlah besar hidrograf satan dari
data lapangan dengan berbagi ukuran DAS dan lokasi berbeda (Triatmodjo,
2008).
Ordinat hidrograf satuan untuk periode waktu berbeda dapat diperoleh dari
tabel berikut, dengan nilai (Gupta,1989) didalam Tratmojo (2008) := , ∙(2.44)= + (2.45)
Keterangan :
tp = kelambatan DAS (jam)
Tp = waktu puncak (jam)
tr = durasi hujan efektif (jam)
qp = debit puncak per satuan luas (m3/dt.cm)
Qp = debit maksimum (m3/dt)
Gambar 2.6 Grafik Hidrograf Segitiga SCS
50
Tabel 2.10 Hidrograf satuan metode SCS
t/Pr Q/Qp t/Pr Q/Qp t/Pr Q/Qp
0 0 1,0 1,0 2,4 0,18
0,1 0,015 1,1 0,98 2,6 0,13
0,2 0,075 1,2 0,92 2,8 0,098
0,3 0,16 1,3 0,84 3,0 0,075
0,4 0,28 1,4 0,75 3,5 0,036
0,5 0,43 1,5 0,66 4,0 0,018
0,6 0,6 1,6 0,56 4,5 0,009
0,7 0,77 1,8 0,42 5,0 0,004
0,8 0,89 2,0 0,32 0
0,9 0,97 2,2 0,24
Sumber : Triatmodjo, 2008
Hidrograf Satuan Sintesis Nakayasu
Nakayasu dari Jepang, telah menyelidiki hidrograf satuan pada beberapa
sungai di Jepang. Ia membuat rumus hidrograf satuan sintetik dari hasil
penyelidikannya. Rumus tersebut adalah sebagai berikut (Soemarto, 1995):= , ( , , ) (2.46)
Dimana :
Qp = debit puncak banjir (m3/detik)
R0 = hujan satuan (mm)
Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam)
T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurun debit puncak sampai menjadi
30% dari debit puncak (jam)
C = 1,2 (Nakayasu)
- Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf satuan mempunyai
persamaan:= ,(2.47)
Dimana Qa = limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3/detik) dan t
adalah waktu (jam).
51
- Bagian lengkung turun (decreasing limb) :> 0,3 = . 0,3 , (2.48)0,3 > > 0,3 = . 0,3 , ,, (2.49)0,3 > = . 0,3 , ,, (2.50)
Tenggang waktu Tp = tg + 0,8 tr dimana untuk : (2.51)
L < 15 km tg = 0,21 L0,7
L > 15 km tg = 0,4 + 0,058 L
Dimana:
L = panjang alur sungai (km)
tg = waktu kosentrasi (jam)
tr = 0,5 tg sampai tg (jam)
T0,3 = tg (jam)
Untuk daerah pengaliran biasa = 2
Untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang
cepat = 1,5
Untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang
lambat = 3
Gambar 2.7 Grafik Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
52
2. Metode Rasional
Menurut Suripin (2004) Metode rasional umum yang di pakai untuk
memperkirakan laju aliran permukaan puncak adalah metode Rasional USSCS
(1973). Metode ini sangat simple dan mudah penggunaanya, namun
penggunaanya terbatas untuk DAS-DAS ukuran kecil yaitu kurang dari 300 ha.
Karena model ini merupakan model kotak hitam, maka tidak dapat menerangkan
hubungan curah hujan dan aliran permukaan dalam bentuk hidrograf. Persamaan
matematik metode rasional dinyatakan dalam bentuk :
Qp = 0,2778 C I A (2.52)
Dimana :
Qp = laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/detik)
C = koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1)
I = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas DAS (km2)
53
Tabel 2.11 Koefisien Aliran Permukaan untuk Metode Rasional
Business
Perkotaan 0,70 - 0,95
Pinggiran 0,50 - 0,70
Perumahan
Rumah tunggal 0,30 - 0,50
Multiunit, terpisah 0,40 - 0,60
Multiunit, tergabung 0,60 - 0,75
Perkampungan 0,25 - 0,40
Apartemen 0,50 - 0,70
Industri
Ringan 0,50 - 0,80
Berat 0,60 - 0,90
Perkerasan
Aspal dan beton 0,70 - 0,95
Batu bata, paving 0,50 - 0,70
Atap 0,75 - 0,95
Halaman, tanah berpasir
Datar 2% 0,05 - 0,10
Rata-rata, 2-7% 0,10 - 0,15
Curam, 7% 0,15 - 0,20
Halaman, tanah berat
Datar 2% 0,13 - 0,17
Rata-rata, 2-7% 0,18 - 0,22
Curam, 7% 0,25 - 0,35
Halaman kereta api 0,10 - 0,35
Taman tempat bermain 0,20 - 0,35
Taman, perkuburan 0,10 - 0,25
Hutan
Datar, 0-5% 0,10 - 0,40
Bergelombang, 5-10% 0,25 - 0,50
Berbukit, 10-30% 0,30 - 0,60
Deskripsi lahan/karakter permukaan Koefisien aliran (C)
Sumber : Suripin, 2004
54
2.3.10. Waktu Kosentrasi (tc)
Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang di perlukan oleh air
hujan yg jauh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS
(titik control) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi.
Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu
konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan
aliran terhadap titik kontrol. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu
konsentrasi adalah rumus yang di kembangkan oleh Kirpich (1940) dikutip
oleh (Suripin, 2004), yaitu := , ×× ,(2.53)= ∆(2.54)
Dimana :
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (kilometer)
S = kemiringan saluran
ΔH = selisih ketinggian antara tempat terjauh dan tempat pengamatan
(meter)
Selain rumus Kiprich, ada beberapa rumus waktu konsentrasi lain, yaitu :
1. California Culvert practice (1942)= 60 , ,(2.55)
Dimana :
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang aliran sungai (meter)
H = selisih ketinggian antara saluran pembagi dan saluran pembuang
(meter)
2. Federal Aviation Administration (FAA, 1970)= , ( , ) ,, , (2.56)
Dimana :
tc = waktu konsentrasi (jam)
55
L = panjang aliran sungai (meter)
i = intensitas hujan (mm/jam)
c = koefisien perlambatan
S = kemiringan aliran
3. Kinematic wave formulas (1965)= , , . ,, . , (2.57)
Dimana :
tc = waktu konsentrasi (jam)
L = panjang aliran sungai (meter)
i = intensitas hujan (mm/jam)
n = koefisien kekasaran dinding
S = kemiringan lintasan aliran
Suripin (2004) juga menyatakan bahwa waktu konsentrasi dapat dihitung
dengan membedakannya menjadi dua komponen, yaitu :
1. Waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai
saluran terdekat (to)
2. Waktu perjalanan dari pertama masuk saluran sampai titik keluaran (td),
sehingga :
tc = to + td (2.58)
dengan : = × 3,28 × × √ menit (2.59)
dan = . menit (2.60)
Dimana :
n = angka kekasaran manning
S = kemiringan lahan
L = panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (meter)
Ls = panjang lintasan aliran di dalam saluran (meter)
V = kecepatan aliran di dalam saluran (detik)
56
2.4. Hidraulika
Zat cair dapat diangkut dari satu tempat ke tempat lain melalui bangunan
pembawa alamiah ataupun buatan manusia. Bangunan pembawa ini dapat terbuka
atau memiliki bagian permukaan yang bebas maupun tertutup bagian atasnya atau
bagian permukaannya tidak bebas. Saluran yang tertutup bagian atasnya disebut
saluran tertutup (closed conduit), sedangakan yang terbuka bagian atasnya disebut
saluran terbuka (open channel). Sungai, saluran irigasi, selokan, gorong-gorong,
terowongan merupakan saluran terbuka, sedangkan pipa merupakan saluran
tertutup (Suripin, 2004).
2.4.1. Penampang Saluran
Penampang hidrolik terbaik adalah penampang yang mempunyai keliling
basah terkecil pada luas penampang tertentu yang akan memberikan aliran
yang maksimum atau penampang saluran memberikan luas penampang aliran
(penampang basah) terkecil pada debit aliran tertentu dimana bentuk
penampang saluran akan dapat berpengaruh terhadap besarnya debit aliran
yang dapat diangkut/dialirkan oleh saluran (Suripin, 2004).
Disamping untuk meningkatkan kapasitas saluran, bentuk penampang
saluran juga dapat disesuaikan dengan fungsi saluran tersebut dibuat. Adapun
bentuk-bentuk saluran yang dikaitkan dengan fungsi saluran adalah sebagai
berikut :
a. Bentuk penampang persegi panjang apabila dilihat pada bagian dinding
saluran dapat digunakan sebagai dinding penahan serta ruang untuk
saluran sangat terbatas.
b. Bentuk penampang lingkaran atau parabola. Walaupun pembuatannya
relatif agak sulit tetapi apabila dilihat dari fungsi saluran cukup efektif
untuk mengalirkan bahan endapan, serta adanya fluktuasi debit aliran atau
untuk mengalirkan air limbah.
c. Bentuk penampang tersusun dibuat apabila lahan terbatas untuk saluran
atau fungsi saluran mengalirkan air limbah dan air hujan (tercampur).
Penampang tersusun dapat dibuat kombinasi antara empat persegi panjang
dengan setengah lingkaran atau persegi panjang dengan setengah lingkaran
atau persegi panjang dengan segitiga dibagian bawah dan sebagainya.
57
h
B
Pemilihan bentuk penampang saluran dalam praktek harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin dipenuhi aspek ekonomis
penampang saluran dalam arti kata dengan luas penampang tertentu mampu
mengalirkan debit sebanyak-banyaknya (maksimum), selain juga melihat
fungsi saluran, misalnya apabila saluran untuk mengalirkan endapan.
Menurut Suripin (2004), bentuk-bentuk saluran yang ekonomis adalah
sebagai berikut :
1. Penampang Berbentuk Persegi paling Ekonomis
Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar
B dan kedalaman air h (Gambar 2.8), luas penampang basah A dan keliling
basah P dapat dituliskan sebagai berikut :
A = B . h (2.61)
atau= (2.62)
P = B + 2h (2.63)
Gambar 2.8 Penampang melintang saluran berbentuk persegi panjang
Substitusi persamaan (2.62) ke (2.63), maka diperoleh persamaan := + 2ℎ (2.64)
Dengan asumsi luas penampang, A, adalah konstan, maka persamaan
(2.64) dapat dideferensialkan terhadap h dan dibuat sama dengan nol untuk
memperoleh harga P minimum.= − + 2ℎ = 0 (2.65)
58
Jari-jari hidraulik= = .(2.66)
Dalam hal ini, bentuk penampang melintang persegi yang paling ekonomis
adalah jika kedalaman air setengah dari lebar dasar saluran, atau jari-jari
hidrauliknya setengah dari kedalaman air.
2. Penampang Berbentuk Trapesium yang Ekonomis
Luas penampang melintang, A, dan keliling basah, P, saluran dengan
penampang melintang yang berbentuk trapesium dengan lebar dasar B,
kedalaman air h, dan kemiringan dinding 1 : m (gambar 2.9), dapat
dirumuskan sebagai berikut :
A = (B + m.h). h (2.67)= B + 2h√ + 1 (2.68)
atau= P − 2h√ + 1 (2.69)
Nilai B pada persamaan (2.69) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.67),
maka diperoleh persamaan berikut := P − 2h√ + 1 ℎ + . ℎ (2.70)
atau= P . h − 2 . h √ + 1 + . ℎ (2.71)
Diasumsikan bahwa luas penampang, A, dan kemiringan dinding, m,
adalah konstan, maka persamaan (2.68) dapat dideferensialkan terhadap h dan
dibuat sama dengan nol untuk memperoleh kondisi P minimum.= P − 4h√ + 1 + 2 ℎ = 0 (2.72)
Atau = 4 √ + 1 − 2 ℎ (2.73)
59
h
B
m
1
m
1
?
h
?
Gambar 2.9 Penampang melintang saluran berbentuk trapesium
Penampang trapesium yang paling efisien adalah jika kemiringan
dindingnya = √ atau Ө = 60o. Trapesium yang terbentuk berupa setengah
segienam beraturan (heksagonal).
3. Penampang Segitiga yang Ekonomis
Pada potongan melintang saluran yang berbentuk segitiga dengan
kemiringan sisi terhadap garis vertikal, Ө, dan kedalaman air, h (gambar
2.10), maka penampang basah, A, keliling basah, P, dapat ditulis sebagai
berikut :A = h tanθ (2.74)= √√ ( ) (2.75)
Gambar 2.10 Penampang melintang saluran berbentuk segitiga
60
B
t
h1
h2
Saluran berbentuk segitiga yang paling ekonomis adalah jika
kemiringan dindingnya membentuk sudut 45o dengan garis vertikal (Ө = 45o).
Untuk mendapatkan saluran yang ekonomis juga dapat digunakan
penampang kombinasi yaitu menggabungkan dua jenis penampang. Salah
satunya adalah penampang segiempat (di bagian atas) dan lingkaran (di
bagian bawah). Adapun keunggulan dari penampang ini antara lain :
Memiliki penampang basah yang besar
Mengalirkan debit besar dengan kelandaian kecil
Mampu mengalirkan debit dalam jumlah minimal
Dapat melewatkan endapan/sedimen dengan mudah
Saluran air menjadi lancar dan genangan dapat dikurangi
Kombinasi antara segi empat pada bagian atas dan setengah lingkaran
pada bagian bawah (Suripin, 2004)
Gambar 2.11 Kombinasi penampang saluran
Keterangan :
t = tinggi jagaan
h = kedalaman air
b = lebar saluran
61
2.4.2. Kekasaran Dinding Saluran
Rumus kecepatan menurut Manning (1889) dikutip oleh (Suripin, 2004) := (2.76)
Keterangan :
R = jari-jari hidrolik (m)
V = kecepatan aliran (m/dt)
I = kemiringan memanjang dasar saluran
n = koefisien kekasaran menurut Manning yang besarnya tergantung
dari bahan dinding saluran yang dipakai. Semakin kecil nilai n,
maka semakin besar kecepatan aliran tersebut.
Apabila bentuk rumus Manning diubah menjadi rumus Chezy maka
besarnya C adalah sebagai berikut := (2.77)
Dimana rumus Chezy : = √ (2.78)
Keterangan :
C = Koefisien Chezy
R = jari-jari hidrolik (m)
n = koefisien kekasaran menurut Manning yang besarnya tergantung
dari bahan dinding saluran yang dipakai
Menurut Chow (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi
kekasaran Manning adalah sebagai berikut :
1) Kekasaran permukaan, yang ditandai dengan ukuran dan bentuk butiran
bahan yang membentuk luas basah dan menimbulkan efek hambatan
terhadap aliran. Secara umum dikatakan bahwa butiran halus
menyebabkan nilai n yang relatif rendah dan butiran kasar memiliki
nilai n yang tinggi.
2) Tetumbuhan yang juga memperkecil kapasitas saluran dan menghambat
aliran.
3) Ketidakteraturan saluran, yang mencakup pula ketidakteraturan keliling
basah dan variasi penampang, ukuran dan bentuk di sepanjang saluran.
Secara umum perubahan lambat laun dan teratur dari penampang
62
ukuran dan bentuk tidak terlalu mempengaruhi nilai n, tetapi perubahan
tiba-tiba atau peralihan dari penampang kecil ke besar memerlukan
penggunaan nilai n yang besar.
4) Trase saluran, dimana kelengkungan yang landai dengan garis tengah
yang besar akan mengakibatkan nilai n yang relatif rendah, sedangkan
kelengkungan yang tajam dengan belokan-belokan yang patah akan
memperbesar nilai n.
5) Pengendapan dan penggerusan. Secara umum pengendapan dapat
mengubah saluran yang sangat tidak beraturan menjadi cukup beraturan
dan memperkecil n, sedangkan penggerusan dapat berakibat sebaliknya
dan memperbesar n. Namun efek utama dari pengendapan akan
tergantung dari sifat alamiah bahan yang diendapkan.
6) Hambatan, berupa balok sekat, pilar jembatan dan sejenisnya yang
cenderung memperbesar nilai n.
Tabel 2.12 Harga rata-rata n dalam rumus Manning
Bahan n
Besi tulang lapis 0,014
Kaca 0,010
Saluran beton 0,013
Bata dilapis mortar 0,015
Pasangan batu disemen 0,025
Saluran tanah bersih 0,022
Saluran tanah 0,030
Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput 0,040
Saluran pada galian batu padas 0,040
Sumber : Triatmodjo, 2008
Nilai yang berupa koefisien atau angka (jari-jari) kekasaran dinding
akan sangat berpengaruh pada besarnya kecepatan aliran dan akan
berpengaruh terhadap besarnya debit aliran. Semakin kasar dinding akan
semakin besar nilai kekasaran dinding dan menghasilkan debit aliran yang
semakin kecil dan juga sebaliknya semakin halus dinding akan menghasilkan
debit aliran yang semakin tinggi.
63
2.4.3. Kapasitas Saluran
Perhitungan hidraulika digunakan untuk menganalisa dimensi penampang
berdasarkan kapasitas maksimum saluran. Penentuan dimensi saluran baik
yang ada (eksisting) atau yang direncanakan, berdasarkan debit maksimum
yang akan dialirkan. Rumus yang digunakan (Suripin, 2004) adalah :
Q = A . V (2.79)
Dimana :
Q = debit banjir rancangan (m3/dt)
A = luas penampang basah (m2)
V = kecepatan rata-rata (m/dt)
Dengan :
A = (B + mh) h (2.80)
P = B + 2h (1 + ) (2.81)
R = (2.82)
Dengan :
B = lebar dasar saluran (m)
P = keliling basah saluran (m)
h = tinggi muka air (m)
m = kemiringan talud saluran
Tabel 2.13 Tinggi Jagaan untuk Saluran Pasangan
No Debit (m3/dt ) Tinggi Jagaan (m)1 0,0 - 0,3 0.32 0,3 - 0,5 0.43 0,5 - 1,5 0.54 1,5 - 15,0 0.65 15,0 - 25,0 0.756 > 25 1
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, KP-03 (1986)
Top Related