4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional Cekungan Sumatra Selatan
Cekungan Sumatra Selatan terletak di sebelah Timur Bukit Barisan memanjang
dengan arah Barat Laut – Tenggara, termasuk jenis cekungan belakang busur (back-
arc basin), dibatasi oleh pegunungan Barisan di sebelah Barat Daya dan Paparan Sunda
berumur Pra-Tersier di sebelah Timur Laut (De Coster, 1974).
Cekungan Sumatra Selatan merupakan suatu cekungan besar yang terdiri dari
beberapa sub cekungan. Subcekungan tersebut adalah subcekungan Jambi (Palembang
Utara), sub cekungan Palembang Tengah, sub cekungan Palembang Selatan (Kompleks
Palembang) (Kosesoemadinata, 1980).
Cekungan Sumatra Selatan termasuk lahan eksplorasi aktif yang terbukti
sebagai salah satu daerah penghasil minyak dan gas bumi yang cukup besar. Kecuali
Formasi Kasai, seluruh formasi termasuk batuan dasarnya (basement) telah terbukti
berpotensi menghasilkan hidrokarbon.
2.1.1 Tektonik Setting
Pulunggono et.al. (1992) membagi evolusi Cekungan Sumatra menjadi tiga
fase, yaitu fase kompresional pada Jura Akhir – Kapur Awal, fase ekstensional pada
Kapur Akhir – Tersier Awal dan kembali ke fase kompresional pada Miosen Tengah –
5
sekarang. Perubahan fase-fase tektonik tersebut dikontrok oleh perubahan arah datanya
Lempeng Samudera Hindia ke arah Lempeng Eurasia.
Fase kompresional pada Jura Akhir – Kapur Awal terjadi akibat tumbukan
Lempeng India dengan Eurasia. Jejak tidak langsung tumbukan dikenali dengan adanya
jalur magmatisme berupa intrusi granitis berumur Jura berjajar dengan arah WNW –
ESE dimulai dari pegunungan Gumanti – Liki di Timur kota Padang, pegunungan
Tigapuluh, pegunungan Duabelas yang dikenal sebagai Musi linieament hasil sesar
strike slip berumur Jura Akhir (Pulunggono et.al., 1992). Sejajar dengan Musi
linieament di sebelah selatannya ditemukan jalur magmatik berarah WNW – ESE
berumur kapur dimulai dari gunung Bolang di Tenggara Padang, sungai Gumanti,
singkapan batuan granitis di gunung Tembesi – Rawas hingga batuan dasar granite
Gambar 2.1 Fase-fase tektonik pulau Sumatra (Pulunggono, 1992 dalam “ Pre-Tertiary and Tertiary
Fault Systems as a Framework od The South Sumatera Basin”)
6
serta granodiorite dan di Selat Sunda yang dikenal sebagai Lematang linieament hasil
sesar strike slip berumur Kapur Awal (Pulunggono et.al., 1992). Ke arah Selatan
terdapat tiga linieament yang juga merupakan hasil fase kompresional Jura Akhir –
Kapur Awal, berturut-turut yaitu Kepayang dan Saka linieament.
Fase tektonik selanjutnya adalah fase ekstensional pada kapur Akhir – Tersier
Awal yang terjadi akibat perubahan pergerakan lempeng Hindia menjadi N – S serta
berkurangnya kecepatan konvergensi secara signifikan sejak Eosen Akhir telah
menyebabkan gaya gravitasi menjadi dominan dan shear-shear yang terbentuk
sebelumnya berkembang menjadi zona depresi maupun seri graben berarah NE – SW
dan N – S (Pulunggono et.al., 1992). Sesar mendatar dekstral pada Lematang
linieament yang berarah N300°W terhenti, sedangkan zona depresi yang terletak di
sebelah Selatan Lematang linieament berarah N30°E terbentuk dengan ditunjukkan
oleh kehadiran Formasi Lahat sebagai endapan synrift.
Fase tektonik selanjutnya adalah kompresional kembali aktif pada Miosen
Tengah yang terjadi akibat arah pergerakan lempeng Hindia berubah menajdi N6°E
yang menyebabkan sesar-sesar normal yang terbentuk pada fase ekstensional
sebelumnya berubah menjadi sesar mendatar bahkan sampai terjadi pembalikan dan
menghasilkan antiklin-antiklin seperti yang terdapat pada Lematang linieament
sekarang (Pulunggono et.al., 1992). Fase ini menghasilkan antiklinorium-
antiklinorium yang berarah NW – SE.
7
2.1.2 Stratigrafi
Ryacudu (2005) membagi stratigrafi formasi-formasi di Cekungan Sumatra
Selatan dari yang paling tua ke yang muda yaitu Basement, Formasi Lahat (termasuk
di dalamnya Kikim Tuff), Formasi Talang Akar terdiri dari Gritsand member (GRM),
dan Transitional member (TRM), Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air
Gambar 2.2 Lima linieament berarah relatif WNW – ESE di Cekungan Sumatra
Selatan, terdiri dari empat hasil fase tektonik Jura Akhir – Kapur Awal dan satu hasil
fase tektonik miosen Awal. Linieament tersebut di atas juga didukung dengan bukti
singkapan batuan beku pada jalur-jalurnya dengan umur yang sesuai. Dua linieament
lainnya yang berarah N – S merupakan hasil fase ekstensional. (Pulunggono, 1992
dalam “ Pre-Tertiary and Tertiary Fault Systems as a Framework od The South
Sumatera Basin”)
8
Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai. Kolom stratigrafi Cekungan
Sumatra Selatan ini dapat dilihat pada Tabel 2.1.
2.1.2.1 Basement
Batuan dasar pada Cekungan Sumatra Selatan merupakan kompleks Pra-
Tersier yang disusun oleh sebuah kompleks batuan beku Mesozoikum, batuan
Tabel 2.1 Kolom stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan (modified by Ryacudu,
2005)
9
metamorf Paleozoikum – Mesozoikum. Menurut dating batuan tersebut berumur
Kapur Akhir sampai dengan Paleosen – Eosen Awal.
2.1.2.2 Formasi Lahat
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Basement, terdiri dari
batupasir, batulempung, fragmen batuan, breksi, batubara tipis, dan tuf yang semuanya
diendapkan di lingkungan darat (kontinen). Formasi ini berumur Oligosen Awal –
Oligosen Akhir. Ketebalan formasi bervariasi antara 200 – 760 meter.
2.1.2.3 Formasi Talang Akar
Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Lahat. Formasi ini
diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Lahat. Formasi ini dibagi menjadi 2
anggota yakni GRM (grit sand member) yang tersusun oleh klastika kasar dengan
sisipan serpih dan batubara serta angoota TRM (transitional member) yang terdapat
shale. Lingkungan pengendapan Formasi Talang Akar berada di lingkungan litoral
hingga shallow marine yang berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal. Ketebalan
formasi bervariasi antara 100 – 500 meter.
2.1.2.4 Formasi Baturaja
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Litologi
penyusunnya didominasi oleh batugamping yang dikelompokkan menjadi tiga bagian
yaitu batugamping paparan pejal, batugamping terumbu/bioklastik berpori dan napal.
10
Formasi ini berumur Miosen Awal berkisar antara N6 – N7 (Blow). Ketebalan formasi
bervariasi antara 50 – 200 meter.
2.1.2.5 Formasi Gumai
Formasi ini dikenal juga dengan Formasi Telisa, diendapkan selaras di atas
Formasi Baturaja. Batuan pada formasi ini bersifat fossilferous, mengandung serpih
yang berasal dari laut, kadang-kadang mengandung lapisan tipis batugamping
galukonitan. Pada pinggiran cekungan terjadi fasies shallow marine dengan litologi
berupa batulanau dan batupasir halus, serta batugamping dengan sisipan serpih.
Formasi Gumai diendapkan di lingkungan neritik dan berumur Miosen Awal – Miosen
Tengah.
2.1.2.6 Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi
dari formasi ini terdiri dari serpih, batupasir, batulempung, batulanau, dan lapisan tipis
batugamping. Formasi ini diendapkan di atas Formasi Gumai. Ketebalan formasi
bervariasi antara 300 – 600 meter. Fauna yang dijumpai pada formasi Air Benakat ini
antara lain Orbulina universa d’Orbigny, Orbulina suturalis Bronimann,
Globigerinoides subquadratus Bronimann, Globigerina venezuela Hedberg,
Globorotalia perpheronda Blow & Banner, Globorotalia mayeri Cushman & Ellisor,
semuanya menunjukkan umur Miosen Tengah N12 – N13. Formasi ini diendapkan di
lingkungan laut dangkal.
11
2.1.2.7 Formasi Muara Enim
Formasi ini diendapkan di atas Formasi Air Benakat secara selaras. Batuan
penyusun formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan batubara. Batas
bawah dari formasi Muara Enim pada bagian Selatan dari cekungan biasanya berupa
lapisan batubara yang umumnya dipakai sebagai marker. Jumlah dan ketebalan
lapisan-lapisan batubara menurun dari Selatan ke Utara pada cekungan ini. Ketebalan
formasi berkisar antara 250 – 800 meter. Formasi ini berumur Miosen Akhir – Pliosen
dengan lingkungan pengendapan laut dangkal, delta plain, hingga lingkungan non-
marine.
2.1.2.8 Formasi Kasai
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di cekungan Sumatra
Selatan. Formasi ini diendapkan selama Pliosen – Pleistosen dan dihasilkan dari erosi
produk vulkanik pegunungan Barisan dan pegunungan Tiga Puluh. Litologi penyusun
formasi ini terdiri dari batupasir tufan, lempung dan kerakal, dan lapisan tipis batubara.
Umur dari formasi ini adalah N19 – N21 atau Pliosen – Plistosen dengan lingkungan
pengendapan darat.
2.1.2 Petroleum System Cekungan Sumatera Selatan
Pada sistem petroleum ini akan dijelaskan mengenai batuan induk, kematangan
batuan, pola migrasi yang terjadi, reservoir hidrokarbon, tipe geometri dan kualitas dan
jenis perangkap yang ada.
12
Batuan Induk (Source Rock)
Hasil investigasi beberapa peneliti di Cekungan Sumatra Selatan ini
memperlihatkan bahwa minyak dan gas bumi yang terkandung di cekungan ini berasal
dari batuan induk (source rock) yang berupa endapan-endapan lacustrine (danau),
endapan serpih coklat (brown shale) dan batubara berumur Eosen-Oligosen Akhir.
Batuan induk ini mengisi bagian dalam dari graben dan subgraben yang diperkirakan
terbentuk selama fasa ekstensi Kapur Akhir-Tersier Awal, setelah fasa kompresi Yura
Akhir-Kapur Awal.
Migrasi (Migration)
Migrasi adalah perpindahan hidrokarbon dari batuan sumber melewati rekahan
dan pori-pori batuan waduk menuju tempat yang lebih tinggi. Beberapa jenis sumber
penggerak perpindahan hidrokarbon ini diantaranya adalah kompaksi, tegangan
permukaan, gaya pelampungan, tekanan hidrostatik, tekanan gas dan gradien
hidrodinamik.
Mekanisme pergerakan hidrokarbon sendiri dibedakan pada dua hal yaitu
perpindahan dengan pertolongan air dan tanpa pertolongan air. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa migrasi hidrokarbon dipengaruhi oleh kemiringan lapisan secara
regional. Waktu pembentukan minyak umumnya disebabkan oleh proses penimbunan
dan ‘heat flow’ yang berasosiasi dengan tektonik Miosen Akhir.
13
Batuan Waduk (Reservoir)
Di dalam Cekungan Sumatra Selatan, batuan yang berperan sebagai batuan
reservoir yang mengandung minyak dan gas dijumpai pada hampir di semua batuan,
dari Formasi-formasi Lahat, Talang Akar, Batu Raja, Gumai/Telisa, Air Benakat,
Muara Enim dan bahkan dari batuan dasar Pra-Tersier (basement). Tetapi pada umum
nya sebagai batuan reservoir utama adalah batu pasir dari formasi Talang Akar dan
batugamping dari Formasi Baturaja.
Batuan Penyekat (Seal)
Batuan yang berperan sebagai batuan penyekat bersifat regional, dijumpai
sebagai shale yang tebal dari Formasi Telisa / Gumai (GUF) dan dari shale yang
terdapat pada intra-formasi didalam tiap-tiap zone batupasir pada masing-masing
formasi. Shale ini meskipun ketebalannya relatif tipis, namun terbukti dapat berfungsi
secara baik sebagai batuan penyekat (seal) bagi migrasi / akumulasi minyak dan gas
untuk lapisan-lapisan reservoir yang ada dibawahnya.
Perangkap (Trap).
Semua penemuan minyak dan gas di wilayah kerja Cekungan Sumatera Selatan
Lapangan “X” terperangkap di dalam sistem perangkap struktur. Pada awal sejarah
ditemukannya lapangan-lapangan minyak dan gas di lapangan “X” adalah berdasarkan
pemetaan geologi permukaan (surface geological survey). Kemudian pada era tahun
1960-1970-an banyak ditemukan lapangan-lapangan minyak dan gas baru, yang
umumnya juga ditemukan sebagai perangkap struktur.
14
2.2. Teori Dasar
2.2.1 Well Log
Log adalah suatu grafik vertikal kedalaman atau waktu dari suatu set data yang
menunjukan parameter yang diukur secara berkesinambungan di dalam sebuah sumur.
Log digunakan untuk korelasi dan penentuan fasies batuan, seperti mengenal bidang-
bidang kronostratigrafi dan jenis system tract yang mungkin, tetapi penentuan fasies
dengan menggunakan data log saja merupakan sesuatu yang spekulatif sehingga
dibutuhkan analisa data lainnya seperti mud log dan data biostratigrafi.
2.2.1.1 Jenis Wireline Log
2.2.1.1.1 Log Radioaktif
Log radioaktif adalah jenis log yang dihasilkan dari perekaman yang
menggunakan elemen-elemen radioaktif yaitu log Gamma Ray, Densitas dan Neutron.
15
2.2.1.1.2 Gamma Ray Log
Pada dasarnya gamma ray log merekam pancaran radioaktif dari formasi. Sinar
radioaktif alami yang direkam berupa uranium, thorium, dan potassium. Log gamma
ray sederhana memberikan rekaman kombinasi dari tiga unsur radioaktif, sedangkan
spectral gamma ray menunjukkan masing-masing unsur radioaktif (Rider, 1996). Log
gamma ray merekam unsur radioaktif dalam skala API (American Petroleum Institute).
Gambar 2.3 Contoh log radioaktif (gamma ray, neutron, dan density log)
16
Kurva yang dihasilkan menunjukan besarnya intensitas radioaktif yang
terkandung dalam suatu batuan. Unsur-unsur ini (terutama Potasium) banyak terdapat
dalam mineral lempung dan mineral evaporit. Dengan asumsi bahwa mineral lempung
akan berkurang sejalan dengan bertambah besarnya ukuran butir, log ini sangat
berguna dalam penentuan besar butir. Tapi sebagaimana alat bantu lainnya, log GR
punya batasan. Batupasir yang bersih (tanpa lempung) bisa memberikan nilai GR yang
tinggi kalau mengandung potassium feldspar, mika, glaukonit, atau garam uranium.
Sehingga dalam pembacaannya, batupasir tersebut dianggap halus atau shaly. Log GR
dapat dikalibrasi terhadap batuan lewat pembacaan minimum dan maksimum, yang
berhubungan dengan karbonat atau batupasir dan berlawanan dengan anggota terakhir
lempung bersih (pure shale). Konsentrasi elemen radioaktif dalam lempung (clay
shale) biasanya bertambah saat terjadi kompaksi batuan.
2.2.2. Definisi Batuan Induk
Secara umum pembentukan minyakbumi terjadi karena penumpukan zat
organik terutama plankton pada dasar laut, dan tertimbun dengan sedimen halus dalam
keadaan reduksi, sehingga terawetkan. Hal ini hanya terjadi di cekungan sedimen
dimana terdapat suatu ambang dari laut terbuka, dengan sedimentasi yang cepat,
dibarengi dengan penurunan. Setelah itu kita mendapatkan suatu urut – urutan batuan
serpih yang kaya akan zat organik dan berwarna hitam yang disebut source rock atau
batuan induk.
2.2.3. Jenis Batuan Induk
17
Pada umumnya batuan induk diinterpretasikan sebagai batuan serpih berwarna
gelap, kaya akan zat organik dan biasanya diendapkan dalam lingkungan laut atau
danau.
Waples (1985) mengklasifikasikan batuan induk menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Batuan induk efektif, yaitu batuan sedimen yang telah menghasilkan
hidrokarbon.
2. Batuan induk berpeluang (possible source rock) yaitu batuan sedimen yang
potensinya belum dievaluasi tetapi kemungkinan telah menghasilkan hidrokarbon
dan untuk meyakinkannya diperlukan suatu studi khusus.
3. Batuan induk potensial, yaitu batuan sedimen belum matang (immature) yang
diyakini akan dapat menghasilkan hidrokarbon jika mempunyai temperatur
pematangan yang lebih tinggi.
Konsekuensinya, suatu lapisan batuan induk yang sama dapat dikatakan
efektif pada suatu tempat, potensial pada daerah yang bertemperatur pematangan
lebih rendah dan dikatakan berpeluang di daerah yang belum diteliti. Bahkan dapat
pula dikatakan sama sekali tidak bersifat sebagai batuan induk jika terjadi
perubahan fasies sehingga kandungan organiknya sangat rendah.
Untuk keperluan identifikasi batuan induk, maka parameter yang dinilai
dalam penginterpretasiannya adalah:
Kuantitas (quantity) yang dapat diperoleh dengan mengetahui persentase
jumlah material organik di dalam batuan sedimen.
18
Kualitas (quality) /Jenis kerogen. Kualitas/Jenis diketahui dengan Indeks
Hidrogen yang dimiliki oleh batuan induk. Dengan mengetahui besarnya
maka tipe kerogennya dapat diketahui sehingga produk yang dihasilkan pada
puncak pematangan dapat pula diketahui.
Kematangan (maturity). Dengan mengetahui tingkat kematangan suatu
batuan maka dapat diperkirakan kemampuan batuan tersebut untuk
menggenerasikan minyak atau gas bumi. Tingkat kematangan suatu batuan
dapat diketahui dengan pemantulan vitrinit (% Ro), indeks alterasi termal
(TAI) dan temperatur maksimum pada pirolisis (Tmax).
2.2.4 Material Organik
Komposisi utama material organik yang terkandung dalam sedimen adalah
bakteri, fitoplankton, zooplangton (terutama foraminifera dan sejenis udang-udangan)
juga tumbuhan tingkat tinggi (higher plant). Pada dasarnya semua organisme
mempunyai kandungan kimia yang sama, antara lain lipid, protein, karbohidrat dan
lignin pada tumbuhan tingkat tinggi, namun terdapat beberapa perbedaan karakteristik
pada sejumlah kandungan utamanya dan pada detail struktur kimianya. Bila kita
berbicara tentang minyak bumi, tentunya kandungan yang terpenting dalam
pembentukannya adalah lipid. Lipid terdiri atas substansi lemak, lilin, dan komponen
lainya yang menyerupai lipid seperti pigmen terlarut pada minyak, terpenoids, steroids,
sterol dan lemak yang kompleks lainnya.
19
Gambar 2.4 Dua siklus utama dari karbon organik dibumi
(setelah Welte, 1970)
Secara umum material organik merupakan semua jenis bahan organik yang
diperkirakan dapat membentuk hidrokarbon. Untuk dapat mengetahui asal material
organik yang terkandung dalam suatu batuan sedimen diperlukan pemahaman
mengenai daur karbon (gambar 2.5) karena hakekat dari konsentrasi material organik
adalah luputnya sejumlah kecil fraksi karbon organik dari daur karbon yang terus
berulang.
Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi komposisi material organik adalah
perubahan iklim, tingkat salinitas, pasokan nutrisi, oksigen dan predator. Di samping
itu adanya proses biokimia yang melibatkan karbohidrat, protein, polyphenol dan lipida
(zat lemak) dalam bentuk biopolimer tunggal maupun kompleks juga turut memberikan
kontribusi yang cukup berarti terhadap perbedaan komposisi material organik.
20
Dalam sedimen dan tanah proses biokimia ini selalu berulang kembali, pada
umumnya terdegradasi dan teroksidasi oleh organisme lainnya menjadi CO2 yang
terjadi setelah organisme mati dan selama proses penguraian oleh bakteri sebagai
transformasi dari bentuk biopolimer menjadi geomonomer. Pada saat biopolimer dan
geomonomer terurai terjadi suatu reaksi yang menghasilkan struktur polimer acak pada
material organik yang berasal dari geosfer dan terendapkan pada tempat dimana reaksi
terjadi, sehingga disebut dengan geopolimer yang relatif stabil terhadap penguraian
oleh bakteri.
Sebagian besar organisme terdiri dari beberapa macam polimer (selulosa,
protein, dan lignin) sehingga peluruhan tersebut dapat dianggap sebagai suatu
transformasi dari biopolimer ke geomonomer (Gambar 2.5).
(C8H10O5) n
H2O
n C8H12O6
O
O
O
O
H2O
H3CHC C
O
HN
NH
CH
C
O
HC
HN
H3C
CH3
C O
HN
H3C
CH
C
O
NH2
OHn
H2O
Protein Asam amino
Selulosa Gula
Lignin Flavanon
Gambar 2.5 Contoh transformasi dari bipolimer ke geomonomer (Waples,1985).
21
Faktor oksigen sangat berperan dalam preservasi material organik karena
berhubungan dengan kondisi lingkungan dimana material tersebut diendapkan.
Kondisi anoksik (kandungan O2 < 0.2 ml/l) sangat baik untuk proses preservasi
material organik dalam batuan sedimen. Laju sedimentasi dan penimbunan (burial)
yang cepat juga dapat meningkatkan preservasi material organik, tetapi jika laju
sedimentasi terlalu tinggi justru dapat mereduksi nilai karbon organik (TOC) karena
proses pelarutan (dilution) akan menyebarkan material organik ke seluruh volume
batuan sehingga konsentrasi karbon organik akan lebih sedikit.
Setelah proses pengendapan, material organik tersebut kemudian mengalami
proses-proses perubahan komposisi. Proses-proses tersebut meliputi diagenesis,
katagenesis dan metagenesis (tabel 2.2). Berikut ini akan dibahas mengenai ketiga
proses tersebut.
Diagenesis merupakan serangkaian proses pada suatu sistem dalam mencapai
keseimbangan pada kondisi penimbunan (burial) dangkal dimana sedimen tersebut
menjadi terkompakkan, biasanya kedalamannya dapat mencapai beberapa ratus meter
dengan peningkatan temperatur dan tekanan yang tidak terlalu besar dan perubahan
(transformasi) terjadi pada kondisi yang tidak terlalu ekstrim, selain itu perubahan
kimia biasanya terjadi akibat proses polikondensasi dan insolubilisasi.
Pada awal diagenesis agen utama dari proses perubahan ini adalah aktivitas
mikroorganisme anaerob yang mengkonsumsi oksigen bebas dan sulfat. Energi akibat
dekomposisi material organik tersebut diubah menjadi karbondioksida, amonia dan air.
22
Didalam sedimen itu sendiri material organik berubah untuk mencapai keseimbangan
berupa perubahan polimer atau biopolimer (protein dan karbohidrat) menjadi struktur
polikondensat yang baru (geopolimer) yang kemudian menjadi kerogen oleh aktivitas
mikroorganisme selama sedimentasi dan awal diagenesis. Hidrokarbon yang terbentuk
pada proses diagenesis ini adalah metana, akhir dari diagenesis material organik pada
sedimen ditandai oleh berkurangnya ekstrak asam humik/humus dimana kelompok
karboksil telah dihilangkan.
Katagenesis terjadi karena peningkatan temperatur dan tekanan selama
penimbunan (burial) pada cekungan sedimen, kedalamannya mencapai beberapa
kilometer dan tektonik juga berperan dalam proses ini. Peningkatan ini menyebabkan
sistem membutuhkan keseimbangan lagi yang akhirnya membawa pada perubahan
yang baru. Perubahan tersebut antara lain komposisi dan tekstur pada fase mineral akan
terubah terutama pada fraksi lempung, kandungan air akan terus berkurang, porositas
dan permiabilitas menurun juga salinitas dari air tanah akan meningkat, namun yang
paling utama adalah degradasi termal pada kerogen. Akhir dari katagenesis ditandai
oleh hilangnya rantai aliphatik karbon pada kerogen dan perkembangan dari orde
kerogen akan dimulai.
Tahap katagenesis dapat dibagi 2 berdasarkan suhu dimana hidrokarbon dapat
terbentuk yaitu :
a. Tahap katagenesis lemah atau oil window
Pada tahap ini, berlangsung pada suhu 50–1200C, terjadi perubahan
kerogen menjadi hidrokarbon biasanya berupa hidrokarbon cair.
23
b. Tahap kategenesis lanjut atau gas window
Tahap ini berlangsung pada suhu diatas 1200C. Proses yang terjadi adalah
penghancuran ikatan antar atom karbon dan menghasilkan hidrokarbon yang lebih
ringan seperti gas.
Tahap akhir dari evolusi sedimen dinamakan metagenesis dengan tingkat
kedalaman yang tinggi , temperatur dan tekanan mencapai nilai yang tinggi juga
dipengaruhi oleh magma dan hidrotermal. Beberapa mineral terubah pada kondisi
tersebut misalnya mineral lempung akan mencapai tahap tinggi dari kristalinitas, proses
disolusi tekanan dan rekristalisasi akan muncul seperti pada pembentukan kuarsit dan
dapat mengakibatkan menghilangnya struktur asli dari batuan, namun akan menjadi
tahap awal pembentukan fase mineral greenschist dan amfibolit. Pada tahap ini
material organik akhirnya hanya terdiri atas metana dan residu karbon.
Tabel 2.2 Transformasi material organik dalam sedimen dan batuan sedimen (Wapples,1985)
24
25
2.2.5 Kerogen
Kerogen adalah salah satu bentuk dari geopolimer yang berasal dari berbagai
tipe molekul prazat serta mengalami polimerisasi tinggi dan terbentuk di kondisi
lingkungan yang bervariasi, sehingga terdapat beberapa jenis kerogen dengan
karakteristik tertentu pula dengan unsur – unsur utama berupa karbon, hidrogen,
nitrogen, dan sulfur. Secara khusus, kerogen didefinisikan sebagai material organik
yang terdapat dalam batuan sedimen yang tidak larut dalam pelarut organik biasa dan
larutan alkali (NaOH) karena molekulnya berukuran besar (Tissot dan Welte, 1984).
Dalam geokimia minyak bumi, kerogen merupakan sesuatu yang penting
karena kerogen merupakan sumber dari sebagian besar minyak bumi dan gas. Sejarah
diagenesis dan katagenesis kerogen, juga kondisi alami material organik penyusunnya,
sangat mempengaruhi kemampuan kerogen memproduksi minyak bumi dan gas.
2.2.5.1 Pembentukan Kerogen
Pembentukan kerogen secara berturut-turut terjadi dalam dua tahap yaitu tahap
polimerisasi yang melibatkan pembentukan geopolimer dari geomonomer yang terjadi
setelah organisme mati dan tahap penyusunan kembali komposisi kerogen yang terjadi
26
setelah geopolimer pertama terbentuk dan akan terus berlangsung selama kerogen tetap
ada, dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tahap polimerisasi dimulai pada saat perusakan dan transformasi tubuh
organisme terjadi, dimana biopolimer organik berukuran besar (protein dan
karbohidrat) akan terurai dan membentuk geopolimer baru yang tidak memiliki
struktur biologi teratur.
Tahap selanjutnya adalah pembentukan kerogen diawali dengan terjadinya
diagenesis pada kolom air, tanah dan sedimen yang menyebabkan ukuran molekul
geopolimer menjadi lebih besar dengan susunan struktur yang lebih kompleks dan
makin tidak teratur karena hilangnya air, CO2 dan amonia dari geopolimer asalnya.
Sedangkan untuk tahap Katagenesis dan Metagenensis merupakan perubahan dari
kerogen menjadi hidrokarbon.
2.2.5.2 Klasifikasi dan Komposisi Kerogen
Komposisi kerogen sangatlah bervariasi. Klasifikasi dari kerogen dapat dibagi
berdasarkan analisis mikroskopis dari material organik (maceral), analisis kimia
(elemental) dan produk dari pemecahan kerogen (breakdown).
Berdasarkan analisis mikroskopis dari material organik (maseral), maka
kerogen dapat dibagi kedalam 4 kelompok yaitu :
a. Grup alginit
Didominasi oleh maseral alginit yang merupakan alga air tawar, bersifat
menghasilkan minyak (oil-prone).
27
b. Grup eksinit
Didominasi oleh maseral eksinit (spora, polen), kutinit (kutikula dari tumbuhan
darat), resinit (resin dari tumbuhan darat, getah damar), liptinit (lemak dari tumbuhan
darat dan alga laut), bersifat oil-gas prone.
c. Grup vitrinit
Didominasi oleh maseral vitrinit (material selulosa dari tumbuhan berkayu),
bersifat gas-prone.
d. Grup Inertinit
Didominasi oleh arang kayu (charcoal), material organik yang teroksidasi dan
terbawa dari tempat lain (reworked), sulit menghasilkan hidrokarbon.
Berdasarkan analisis kimia, Institut Francais du Petrole (IFP) membagi
kerogen menjadi 4 tipe yaitu :
a. Tipe I
Sangat jarang ditemukan karena berasal dari alga danau. Kehadiran kerogen
tipe ini terbatas pada danau yang anosik dan jarang didapatkan pada lingkungan laut.
Kerogen tipe ini memiliki kapasitas yang tinggi untuk menggenerasikan hidrokarbon
cair.
b. Tipe II
Berasal dari beberapa sumber yang sangat berbeda, yaitu alga laut, polen dan
spora, lapisan lilin tanaman, dan fosil resin. Lemak tanaman juga menghasilkan
kerogen Tipe II. Kebanyakan kerogen Tipe II ditemukan dalam sedimen laut dengan
28
kondisi reduksi. Kerogen tipe II dapat dibandingkan dengan jenis exinit dari batubara
dan biasa menghasilkan hidrokarbon cair dan gas.
c. Tipe III
Terdiri dari material organik darat yang hanya sedikit mengandung lemak atau
zat lilin. Selulosa dan lignin adalah penyumbang terbesar pada kerogen Tipe III.
Kerogen Tipe III mempunyai kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah
daripada kerogen Tipe II, dan jika tanpa campuran kerogen Tipe II biasanya kerogen
Tipe III ini menghasilkan gas. Kerogen Tipe III ini kaya akan struktur aromat, dengan
O/C cukup tinggi dan H/C yang relatif rendah, dapat dibandingkan dengan vitrinit dari
batubara.
d. Tipe IV
Dari rombakan organik dan material yang teroksidasi yang berasal dari
berbagai sumber. Kerogen ini biasanya tidak memiliki potensi menghasilkan
hidrokarbon.
29
Gambar 2.6 Klasifikasi dan komposisi kerogen (Waples, 1985)
Berdasarkan produk yang dihasilkannya, kerogen dapat digolongkan menjadi:
a. Oil-prone kerogen
Kerogen yang kaya akan komponen lipid dan hidrogen serta cenderung
menggenerasikan minyak (molekul C6+) ketimbang gas (molekul C1-C5), suhunya
berkisar antara 100-1500 0C dibawah permukaan bumi.
b. Gas-prone kerogen
Kerogen yang komponennya didominasi oleh lignin dan miskin hidrogen serta
cenderung menggenerasikan gas (molekul C1-C5) pada suhu berkisar antara 150-2300
0C dibawah permukaan bumi.
2.2.5.3 Kematangan Kerogen
Kematangan material organik dikontrol oleh dua faktor utama yaitu suhu dan
waktu. Pengaruh suhu tinggi dalam waktu yang singkat atau sebaliknya akan
mengakibatkan kerogen terubah menjadi hidrokarbon. Selain dua faktor tersebut, umur
batuan juga terlibat karena kaitannya dengan proses pemanasan dan jumlah panas yang
diterima batuan induk. Kematangan material organik pada umumnya ditentukan
dengan :
a. Pemantulan vitrinit (Ro %)
30
Analisis ini didasari pada suatu pengertian bahwa kematangan pada kerogen
akan mengakibatkan perubahan pada fisik kerogen yang dibarengi dengan
kemampuannya memantulkan cahaya. Vitrinit sendiri adalah jenis maseral utama
penyusun batubara yang juga tersebar luas pada sedimen. Peningkatan pantulan vitrinit
akan meningkat seiring panambahan kematangan dan kedalaman.
b. Skala alterasi termal (Thermal Alteration Scale-TAS)
Merupakan salah satu analisis penentuan kematangan material organik yang
berbasis pada adanya pengaruh kematangan termal terhadap perubahan fisik pada fosil
dari kelompok spora dan polen.
c. Penentuan temperature maksimum (Tmax) dan indeks produksi minyak
(Oil Production Index-OPI).
Tmax merupakan suhu maksimum pada saat pembentukan hidrokarbon yang
terjadi selama pirolisis kerogen, sedangkan indeks produksi adalah rasio antara
hidrokarbon dalam batuan dan hidrokarbon yang dihasilkan sebagai akibat perubahan
kerogen menjadi bitumen selama pembentukan hidrokarbon.
31
Gambar 2.7 Model pembentukan hidrokarbon dari berbagai tipe kerogen yang menunjukkan jenis
cairan dan gas yang dihasilkan pada berbagai variasi harga reflektansi vitrinit (Waples, 1985).
Tabel 2.3 Klasifikasi tingkat kematangan material organik berdasarkan analisis mikroskopis
dan Rock-Eval Pyrolisis (Peters & Cassa, 1994)
32
2.2.6 Sistem Pengendapan Fluvial
Sistem fluvial adalah sumber utama pengumpul atau pendistribusi material
sedimen yang dihasilkan dari proses pelapukan pada tinggian di daratan dan
ditransportasi baik itu kelingkungan danau (lacustrine) atau laut (marine).
Bentuk utama dari aggradasi permukaan fluvial adalah channel yaitu berupa
saluran tunggal atau bercabang dengan intensitas kelokan yang besar ataupun kecil.
Bentuk braided dihasilkan oleh channel dengan intensitas aliran yang kecil (low-river
stage weaves) diantara bar-bar multipel (multiple bars channel). Ketika intensitas
alirannya bertambah besar, bar-bar tersebut membentuk bidang perlapisan aktif.
Bentuk meander dihasilkan oleh channel dengan intensitas aliran kelokan yang besar
yang membentuk bar seiring dengan migrasi channel. Channel dengan bentuk lurus
(straight) didominasi oleh lempung, intensitas kelokan kecil, terbentuk oleh
submerged, perpindahan arus terjadi pada perpindahan kelompok-kelompok bar.
Segmen cahnnel ini jarang terbentuk pada jarak yang panjang.
Pada gambar 2.8 diperlihatkan bahwa gradien kecepatan arus material sedimen
pengisi dan ukuran butiran batuan sedimen berkurang dari sumber asal material
tersebut kearah laut dan terlihat perubahan bentuk channel dari tipe braided pada
daerah proximal ketipe straight pada daerah distal.
Secara umum Allen, G.P. (1987), menggambarkan perubahan tersebut
meskipun demikian harus ditekankan pula bahwa perubahan tersebut tidaklah mutlak
karena tergantung pada morfologi daerah sistem fluvial tersebut. Seperti keterangan di
33
atas, Selley (1982) berpendapat bahwa bentuk utama dari channel yang ada yaitu
bentuk atau tipe braided dan tipe meander.
Gambar 2.8 Perubahan Tipe Channel Dari Daerah Proximal Ke Arah Distal (Allen G.P, 1987)
2.2.6.1 Sistem Braided
Sistem sungai braided ini terbentuk oleh jalinan channel dengan intensitas
kelokan yang kecil. Pada daerah ini pengerosian terjadi dengan cepat, proses pengisian
material sedimen juga cepat dan sporadis. Oleh karena itu pada umumnya sungai sistem
ini kelebihan material sedimen.
Pengulangan pembentukan bar dan cabang-cabang channel membentuk sistem
jaringan braided ini. Sikuen sedimentasi sistem braided, umumnya didominasi oleh
material sedimen berbutir kasar dengan sedikit material sedimen berbutir halus pada
bagian atasnya (Gambar 2.9). Struktur sedimen yang terbentuk merefleksikan
34
pengendapan pada energi tinggi dengan aliran yang searah (undirectionalflow), tabular
cross bedding dan punggungan bar yang lurus memanjang.
Gambar 2.9 Sub Lingkungan Pengendapan dan Sikuen Sedimentasi pada Braided Channel (Selley, 1982)
2.2.6.2 Sistem Meander
Sikuen umum dari tipe ini didominasi oleh material dengan butiran halus dan
memperlihatkan distribusi menghalus kearah atas (finingupward).
Struktur sedimen yang berkembang merefleksikan berkurangnya energi arus
yang bekerja, yaitu trough cross bedding pada bagian bawah dan parallel laminasi
pada bagian atas channel. Permukaan lateral akresi yang terbentuk merefleksikan
perpindahan point-bar secara tegak lurus terhadap arah aliran sungai.
35
Sub-Lingkungan Flood plain
Endapan pasir sangat halus, lanau dan lempung, diendapkan pada daerah
overbank flood plain sungai. Struktur sedimen yang terbentuk diantaranya paralel
laminasi, ripple mark dan kadang-kadang terdapat horison batu pasir yang mengisi
struktur shringkage crack, yang diasumsikan terdapat pada daerah subarerial.
Terdapatnya tanah (soil) diindikasikan oleh adanya carbonat chaliches, ferruginous
laterites dan rootlets horizon. Gambut kemungkinan dapat terbentuk dan juga
kumpulan sisa tanaman yang terawetkan pda permukaan lapisan. Sub-fasies ini
sebagian besar diendapkan pada arus suspensi selama air sungai melimpah dan
memotong bagian tanggung disisinya.
Sub-Lingkungan Abandoned Channel
Sub-fasies abandoned channel terdiri dari endapan batupasir halus berbentuk
tapal kuda dan biasanya disebut ox-bow lake yang terbentuk ketika sungai meander
memotong bagian lain dari permukaan disekitar sungai tersebut. Endapan pada sub-
fasies ini serupa dengan endapan pada sub-fasies floodplain, tetapi dapat dibedakan
dari geometrinya, yaitu endapan yang menindih abrasi konglomerat channel lag, tidak
terdapat selang dengan sikuen batupasir point-bar.
36
Gambar 2.10 Sub Lingkungan Pengendapan dan Sikuen Sedimentasi pada MeanderingChannel (Selley, 1982)
Sub-Lingkungan Channel
Perpindahan lateral meanderchannel mengerosi bagian luar dari tepi sungai
yang cekung (concave bank), menoreh dasar sungai dan mengendapkan sedimen pada
inner bank (pointbar). Proses tersebut menghasilkan karakteristik sikuen pada ukuran
butir dan struktur sedimen. Pada dasar permukaan bidang erosi diisi oleh material
sedimen berbutir kasar, mud pellet dan sisa-sisa kayu. Endapan tersebut disebut sebagai
lagdeposite pada dasar channel dan ditindih oleh sikuen batupasir dengan distribusi
butiran menghalus keatas (finingupward). Struktur massive, lapisan datar (flatbedded)
dan troughcross-bedded bergradasi menjadi tabular plannar cross-bedded kebagian
atas channel.
2.2.6.3 Sistem Pengendapan Delta
Delta adalah salah satu bentuk lingkungan pengendapan transisi yang
merupakan akumulasi sedimen fluvial pada muara sungai. Delta akan terbentuk bila
pasokan (supply) sedimen dari sungai lebih besar daripada sedimen yang didispersikan
oleh gelombang dan pasang laut atau danau, sehingga akan terbentuk keseimbangan
37
dinamika antara arus sungai dan mekanisma yang bekerja pada suatu cekungan.
Bersamaan dengan pembentukan delta tersebut, terbentuk pula morfologi delta yang
khas dan dapat dikenali pada sistem delta yang ada. Morfologi delta tersebut secara
umum terbagi atas tiga komponen utama, yaitu: delta plain, delta front dan prodelta .
2.2.6.3.1 Dataran Delta (Delta Plain)
Delta plain merupakan bagian delta yang bersifat subaerial yang terdiri dari
channel yang aktif maupun sudah ditinggalkan. Delta plain merupakan baigan daratan
dari delta dan terdiri atas endapan sungai yang lebih dominan daripada endapan laut
dan membentuk suatu daratan rawa-rawa yang didominasi oleh material sedimen
berbutir halus, seperti serpih organik dan batubara.
2.2.6.3.2 Upper Delta Plain
Pada bagian ini terletak diatas area tidal atau laut dan endapannya secara umum terdiri
dari endapan channel yang disebut distributary channel, endapan limpah banjir yang
disebut interdistributary channel flood plain, dan endapan gambut atau batubara yang
disebut marsh delta plain.
Endapan distributary channel ditandai dengan adanya bidang erosi pada bagian
dasar urutan fasies dan menunjukkan kecenderungan menghalus ke atas. Struktur
sedimen yang umumnya dijumpai adalah cross bedding, ripple cross stratification,
scour and fill dan lensa-lensa lempung.
38