17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pariwisata
2. 1. 1. Definisi Pariwisata
Pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata, yaitu
pari dan wisata. Kata pari berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar atau
lengkap. Sedangkan wisata mempunyai arti perjalanan dan bepergian.
Berdasarkan arti dari dua suku kata tersebut maka pariwisata dapat diartikan
sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari satu
tempat ke tempat yang lain (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kendal,
2016).
Indonesia telah menjadikan pariwisata sebagai salah satu sektor ekonomi
penting. Oleh karena itu, pariwisata mendapatkan perhatian serius dari
pemerintah. Salah satu perhatiannya adalah dengan dikeluarkannya Undang-
Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan yang digunakan sebagai
dasar pijakan dalam penyelenggaraan kegiataan kepariwisataan. Undang-Undang
No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan ini mendefinisikan istilah pariwisata
sebagai berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta
layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan
Pemerintah Daerah. Sedangkan kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang
terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang
muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara
wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan pengusaha. Pariwisata merupakan perpindahan sementara yang dilakukan manusia dalam
rangka keluar dari pekerjaan rutin dan kediamannya dengan melakukan aktivitas
yang sesuai dengan kebutuhannya (Marpaung, 2000).
18
Masih dalam Marpaung (2002), World Tourist Organization (WTO)
mendefinisikan wisatawan sebagai setiap orang yang bertempat tinggal di suatu
negara tanpa memandang kewarganegaraannya, berkunjung ke suatu tempat pada
negara yang sama untuk jangka waktu lebih dari dua puluh empat jam dengan
tujuan perjalanannya dapat dikasifikasikan pada salah satu hal a) memanfaatkan
waktu luang untuk berekreasi, liburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan dan
olah raga, serta b) bisnis atau mengunjungi keluarga.
Istilah pariwisata mempunyai hubungan yang erat dengan pengertian
perjalanan wisata yang merupakan suatu perubahan tempat tinggal sementara
seseorang di luar tempat tinggalnya, karena suatu alasan dan bukan untuk
kepentingan yang menghasilkan upah (Suwantoro, 2001). Sementara Devy, HA &
Soemanto, R.B (2017) menyebutkan bahwa pariwisata merupakan suatu
keseluruhan elemen-elemen terkait yang di dalamnya terdiri dari wisatawan,
daerah tujuan wisata, perjalanan, industri dan lain sebagainya yang merupakan
kegiatan pariwisata.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pariwisata
merupakan suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang
dilakukan dari tempat satu ke tempat yang lain dengan maksud bukan untuk
bekerja atau berusaha melainkan untuk bersenang-senang atau bertamasya dan
mencari pengalaman serta menambah wawasan dalam pengetahuan.
Kegiatan pariwisata memerlukan ruang untuk beraktifitas bagi para
pengunjungnya. Pengunjung di sini merupakan para pelaku perjalanan wisata atau
lebih dikenal dengan istilah wisatawan. Marpaung (2000), mendefinisikan
wisatawan sebagai setiap orang yang melakukan perjalanan dan menetap untuk
sementara waktu ke tempat yang bukan tempat tinggalnya untuk suatu alasan
tertentu selain mencari pekerjaan. Berdasarkan tempatnya, wisatawan dapat
dibedakan menjadi wisatawan mancanegara (wisman) yaitu yang melakukan
perjalanan wisata ke luar negerinya dan wisatawan nusantara (wisnus) yaitu yang
melakukan perjalanan wisata ke negerinya sendiri.
Salah satu kegiatan pariwisata yang berbasiskan kelestarian ekologi dan sosial
adalah ekowisata. Saat ini ekowisata semakin luas dikenal sebagai salah satu daya
19
tarik ekonomi yang menguntungkan dan terus dipromosikan secara gencar dalam
upaya konservasi hutan hujan. Ekowisata tidak hanya diyakini dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi secara regional maupun lokal untuk peningkatan
kesejahteraan masyaraka, namun juga kelestarian sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati sebagai obyek dan daya tarik wisata (Purwanto, S, dkk,
2014).
The International Ecotourism Society (2015) dalam Koroy, K., dkk (2017)
menyatakan bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan ke wilayah
yang masih alami dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan dan
meningkatkan perokonomian penduduk lokal yang dilakukan secara bertanggung
jawab dan disertai unsur mendidik. Masih dalam Koroy, K., dkk (2017),
Yulianda, et. al. (2010) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu konsep
pemanfaatan sumberdaya alam pesisir secara berkelanjutan dengan pelayanan
yang mengutamakan jasa lingkungan.
Dari definisi-definisi tentang ekowisata di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa ekowisata merupakan salah satu kegiatan wisata yang ramah lingkungan
dan bersifat mendidik dan bertujuan untuk meningkatkan perekonomian
masyarakat di sekitar lokasi wisata.
Dalam Undang-Undang Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan
kepariwisataan harus berpedoman pada 11 azas, yaitu 1) manfaat, 2)
kekeluargaan, 3) adil dan merata, 4) keseimbangan, 5) kemandirian, 6)
kelestarian, 7) partisipatif, 8) berkelanjutan, 9) demokratis, 10) kesetaraan, dan
11) kesatuan. Selain itu, kepariwisataan diselenggarakan dengan tujuan untuk:
a). meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
b). meningkatkan kesejahteraan rakyat,
c). menghapus kemiskinan,
d). mengatasi pengangguran,
e). melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya,
f). memajukan kebudayaan,
g). mengangkat citra bangsa,
20
h). memupuk rasa cinta tanah air,
i). memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa, dan
j). mempererat persahabatan antarbangsa.
2. 1. 2. Potensi Wisata
Potensi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di suatu daerah yang dapat
dikembangkan menjadi daya tarik wisata atau segala hal keadaan yang nyata atau
dapat diraba, maupun yang tidak dapat diraba, yang digarap dan diatur sedemikian
rupa sehingga dapat dimanfaatkan dan diwujudkan (Darmadjati, 2001).
Sependapat dengan Darmadjati (2001), Mariotti (n.d) dalam Yoeti (2008),
mendefinisikan potensi wisata sebagai segala sesuatu yang terdapat di daerah
tujuan wisata dan merupakan daya tarik supaya orang-orang datang untuk
berkunjung ke tempat tersebut. Masih dalam Yoeti (2008), Mariotti (n.d)
membagi potensi wisata menjadi tiga, yaitu:
1. Potensi alam, yaitu keadaan serta jenis flora dan fauna pada suatu daerah,
misalnya pantai, hutan, air terjun, dll yang memiliki kelebihan dan keunikan
sehingga dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke tempat tersebut;
2. Potensi budaya, yaitu keadaan serta jenis flora dan fauna pada suatu daerah,
misalnya pantai, hutan, air terjun, dan lainnya yang memiliki kelebihan dan
keunikan sehingga dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke tempat
tersebut; dan
3. Potensi manusia, yaitu kemampuan masyarakat sekitar tempat wisata yang
dapat digunakan sebagai daya tarik wisata melalui atraksi-atraksi wisata.
Selaras dengan klasifikasi potensi wisata di atas, pada tahun 1985 Direktorat
Jendral Pariwisata, Kementrian Pariwisata Republik Indonesia (Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kendal, 2016) mengklasifikasikan
kegiatan pariwisata ke dalam 3 (tiga) jenis aktivitas pokok yang terdiri dari:
1. Obyek Wisata Alam (Nature Resources)
Bentuk dan wujud dari wisata ini berupa pemandangan alam, seperti
pegunungan, pantai, serta lingkungan hidup yang berupa flora dan fauna.
21
2. Obyek Wisata Budaya (Culture Resources)
Bentuk dan wujud dari wisata ini lebih dipengaruhi oleh lingkungan maupun
manusia, seperti tarian tradisional maupun kesenian, upacara adat, upacara
keagamaan, upacara pemakaman dan lain sebagainya.
3. Obyek Wisata Buatan Manusia (Man made Resources)
Bentuk dan wujud dari wisata ini sangat dipengaruhi oleh upaya dan aktivitas
manusia. Wujudnya dapat berupa museum, tempat ibadah, permainan musik
dan kawasan wisata yang dibangun seperti taman mini, pantai ancol, water
boom dan lain sebagainya.
Pariwisata menjadi salah satu andalan utama sumber devisa karena Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki beraneka ragam jenis pariwisata,
misalnya wisata alam, wisata budaya maupun wisata buatan manusia yang
tersebar dari Sabang hingga Merauke. Dengan potensi-potensi wisata inilah dapat
menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk mengunjunginya
(Devy & Sumanto, 2017)
2. 1. 3. Wisata Alam Pegunungan
Data Agoda tahun 2015 dan 2016 tentang pertumbuhan destinasi domestik di
kalangan wisatawan Indonesia menunjukkan bahwa 6 dari 10 destinasi pilihan
wisatawan merupakan tempat yang dekat dengan alam dan taman nasional. Dari
temuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa wisatawan domestik lebih menyukai
destinasi yang dekat dengan alam atau lebih dikenal dengan wisata alam (Liputan
6.com, 13 Maret 2017).
Wisata alam adalah salah satu bentuk wisata yang daya tariknya bersumber
pada keindahan sumber daya alam dan tata lingkungannya. Kegiatan wisata alam
ini dapat dikelompokkan menjadi ekowisata alam atau ecotourism, wisata
pertanian atau agrotourism dan wisata pedesaan atau village tourism (Fandeli,
1995) dalam Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kendal (2016).
Dalam buku Pedoman Analisis Daerah Operasi Obyek dan Daya Tarik Wisata
Alam (ADO-ODTWA) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Kementrian Lingkungan Hidup Republik
22
Indonesia Tahun 2003, wisata alam diartikan sebagai kegiatan perjalanan atau
sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara
untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di obyek wisata alam,
taman hutan rakyat dan taman wisata alam. Sementara obyek wisata alam
diartikan sebagai suatu kawasan yang mempunyai potensi dan menjadi bahan
perhatian wisatawan untuk dikembangkan menjadi tempat kunjungan wisatawan.
Pada saat ini kegiatan pariwisata alam mulai melakukan pemanfaatan jasa
lingkungan yang di dalamnya terdapat upaya penyelamatan hutan dan peningkatan
nilai manfaatnya (Aryanto, T, dkk, 2016).
Menurut Damanik dan Weber (2006) dalam Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Kendal (2016), sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi
atraksi wisata alam di antaranya adalah keajaiban dan keindahan alam (topografi),
keragaman flora, keragaman fauna, kehidupan satwa liar, vegetasi alam,
ekosistem yang belum terjamah manusia, rekreasi perairan (danau, sungai, air
terjun, pantai), lintas alam (tracking, rafting dan lain-lain), obyek megalitik, suhu
dan kelembaban udara yang nyaman, serta curah hujan yang normal.
Sementara itu, Fennel (1999) dalam Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Kendal (2016) menyebutkan sumber daya alam yang dapat
dikembangkan menjadi sumber daya pariwisata yang meliputi lokasi geografis,
iklim dan cuaca, topografi, air, vegetasi, fauna, serta sifat dan ragam material yang
menyusun permukaan bumi.
Kekayaan alam seperti gunung berapi, air terjun, sumber air panas, kawah,
sungai, gua, danau, perairan karang, hutan mangrove, padang laut dan rumput laut
merupakan potensi obyek dan daya tarik wisata alam (ODTWA) yang dalam
pengembangan pariwisata alam perlu penanganan yang serius agar tetap terjaga
kelestarian dan keberadaannya. Sejalan dengan upaya penyelamatan hutan dan
peningkatan nilai manfaatnya, pemanfaatan jasa lingkungan hutan di antaranya
adalah kegiatan pariwisata alam atau wisata alam yang dinilai mempunyai
prospek yang menjanjikan bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan
masyarakat, peningkatan ekonomi masyarakat serta dalam rangka menekan laju
kerusakan hutan. (Ditjen PHKA, 2003)
23
Diterangkan lebih lanjut bahwa dalam pengembangan ODTWA diperlukan
kriteria dan indikator sebagai dasarnya. Proses ini dilakukan melalui penetapan
unsur kriteria, penetapan bobot, penghitungan masing-masing sub unsur dan
penjumlahan semua nilai unsur kriteria. Tujuan dari pembuatan kriteria ini adalah
untuk menentukan skala prioritas pengembangan ODTWA dan
mengintensifikasikan pemanfaatan dan pembinaan suatu ODTWA. Kriteria yang
dipakai sebagai dasar penilaian terdapat pada Tabel 2.1. berikut ini.
Tabel 2.1. Kriteria Penilaian ODTWA Pegunungan
No. Kriteria Unsur Bobot Nilai
1
Daya tarik
- Keindahan alam
- Keunikan SDA
- Banyaknya SDA yang menonjol
- Keutuhan SDA
- Kepekaan SDA
- Jenis kegiatan wisata
- Kebersihan lokasi
- Keamanan kawasan
6
2 Potensi pasar - Jumlah penduduk/ propinsi (x 1000)
- Tingkat kebutuhan wisata
5
3 Kadar hubungan/
Aksesibilitas
- Kondisi dan jarak jalan darat dari
ibukota propinsi
- Pintu gerbang udara internasional/
domestik
- Waktu tempuh dari ibukota propinsi
- Frekuensi kendaraan dari pusat
informasi ke obyek wisata
5
4 Kondisi sekitar kawasan - Tata ruang wilayah
- Tingkat pengangguran
- Mata pencaharian penduduk
- Ruang gerak pengunjung
- Pendidikan masyarakat
- Tingkat kesuburan tanah
- Sumber Daya Alam
- Tanggapan masyarakat terhadap
pengembangan ODTWA
5
5 Pengelolaan dan pelayanan
kepada pengunjung
- Pengelolaan
- Kemampuan berbahasa
- Pelayanan pengunjung
4
6 Iklim
- Pengaruh iklim terhadap lama waktu
kunjungan
- Suhu udara pada musim kemarau
4
24
- Jumlah bulan kering rata-rata
pertahun
- Kelembaban rata-rata pertahun
7 Akomodasi - Jumlah kamar penginapan radius 5-
15 km
3
8 Sarana dan prasarana
penunjang lainnya
- Sarana (akomodasi, rumah makan,
sarana angkutan umum, kios
cinderamata)
- Prasarana (jalan, jembatan, areal
parkir, jaringan listrik, jaringan air
minum, jaringan telepon, jaringan
drainase, dll)
3
9 Ketersediaan air bersih - Volume air
- Jarak air bersih terhadap lokasi
ODTWA
- Kelayakan dikonsumsi
- Ketersediaan
6
10 Hubungan dengan obyek
wisata di sekitar
- Obyek wisata lain radius 50 km 1
11 Keamanan - Keamanan pengunjung
- Kebakaran
- Penebangan liar
- Perambahan
5
12 Daya dukung kawasan - Jumlah pengunjung
- Kepekaan tanah terhadap erosi
- Kemiringan lahan
- Jenis kegiatan
- Luas unit zona pemanfaatan (ha)
3
13 Pengaturan pengunjung - Pembatasan pengunjung
- Distribusi pengunjung
- Pemusatan kegiatan pengunjung
- Lama tinggal kunjungan
- Musim kunjungan
3
14 Pemasaran - Tarif/ harga terjangkau
- Produk wisata bervariasi
- Sarana penyampaian informasi
- Promosi
4
15 Pangsa pasar - Asal pengunjung (mayoritas)
- Tingkat pendidikan (mayoritas)
- Mata pencaharian
3
Sumber: Ditjen PHKA, 2003
25
2. 1. 4. Kawasan Strategis Pariwisata
Gunn (1994) menyatakan bahwa suatu kawasan dapat dikembangkan untuk
tujuan wisata karena terdapat atraksi yang merupakan komponen dari suplai.
Atraksi merupakan alasan yang paling kuat untuk seseorang melakukan perjalanan
wisata, bentuknya dapat berupa ekosistem, tanaman langka, landmark, atau satwa.
Ataksi dapat terdapat di daerah pedesaan dan perkotaan. Daerah pedesaan
menyajikan atraksi yang lebih bersifat alami, sedangkan perkotaan menyediakan
atraksi yang lebih berupa budaya dan hasilnya, misalnya sungai kota, museum,
dan sebagainya. Kawasan wisata tergantung pada sumberdaya alami dan budaya,
dimana distribusi dan kualitas dari sumberdaya ini dengan kuat dapat mendorong
pengembangan wisata.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan Bab I Pasal 10 dijelaskan bahwa kawasan strategis pariwisata
adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi
untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu
atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan
sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan
keamanan. Lebih lanjut dijelaskan dalam Bab V Pasal 12 bahwa:
(1) Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan
aspek:
a. Sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya
tarik pariwisata;
b. Potensi pasar;
c. Lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan
wilayah;
d. Perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis
dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;
e. Lokasi yang strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan
pemanfaatan aset budaya;
f. Kesiapan dan dukungan masyarakat; dan
g. Kekhususan dari wilayah.
26
(2) Kawasan strategis pariwisata dikembangkan untuk berpartisipasi dalam
terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan negara Republik
Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. (3) Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan
agama masyarakat setempat. Dalam bab selanjutnya juga dirinci bahwa kawasan strategis pariwisata yang
dimaksud di atas terdiri dari kawasan strategis pariwisata nasional, provinsi dan
kabupaten/ kota, di mana kawasan tersebut merupakan bagian integral dari
rencana tata ruang wilayah nasional, provinsi dan kabupaten/ kota yang ditetapkan
oleh pemerintah setempat. Sedangkan kawasan pariwisata khusus ditetapkan
dengan undang-undang. Dalam pengembangan kawasan strategis pariwisata tersebut harus berdasarkan
atas strategi pengembangan produk destinasi pariwisata yang diwujudkan dalam
“3A” Rencana Strategis Kementrian Pariwisata 2015-2019 (Kemenpar, 2015)
yang terdiri dari: 1. Atraksi wisata atau daya tarik wisata, mencakup upaya-upaya
mengembangkan keragaman/ diversifikasi aktivitas wisata di daya tarik
wisata; pengembangan interpertasi daya tarik wisata, pengembangan
manajemen pengunjung dan peningkatan sadar wisata bagi masyarakat di
sekitar daya tarik wisata; 2. Aksesibilitas, mencakup sarana (moda transportasi angkutan jalan, sungai,
danau dan penyeberangan, angkutan laut dan kereta api), prasarana dan
sistem transportasi; dan 3. Amenitas, mencakup prasarana umum (listrik, air, telekomunikasi,
pengelolaan limbah), fasilitas umum (keamanan, keuangan perbankan,
kesehatan, lahan parkir, tempat ibadah, dll), fasilitas pariwisata (akomodasi,
rumah makan, penginapan, toko cinderamata, papan atau informasi penunjuk
arah, dll).
Dalam pengembangan pariwisata perlu diketahui sumber daya wisatanya.
Avenzora (2001) menjelaskan bahwa sumber daya wisata adalah sesuatu yang
memiliki dimensi ruang tertentu dengan batas-batas tertentu dan memiliki elemen-
27
elemen penyusun tertentu berupa atraksi wisata yang dapat menarik minat untuk
berkunjung dan dapat menampung kegiatan wisata. Yoeti (1996) suatu kegiatan
wisata ditunjang “tourism resources” yang merupakan segala sesuatu yang
terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau
datang berkunjung ke tempat tersebut. Hal-hal yang dapat menarik orang untuk
berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata wisata dapat berupa benda-benda yang
telah tersedia dan terdapat di alam yang dalam istilah pariwisata dikenal sebagai
“natural amenities”, hasil ciptaan manusia (man-made supply) yang berupa
benda-benda bersejarah, kebudayaan dan keagamaan serta tata cara hidup
masyarakat seperti budaya dan adat istiadatnya.
2. 1. 5. Pembangunan Berkelanjutan
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar
dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke
dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan. Atau dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.
Ada 2 (dua) kunci konsep utama dari pembangunan berkelanjutan, yaitu :
pertama, konsep tentang kebutuhan atau needs yang sangat esensial untuk
penduduk miskin dan perlu diprioritaskan. Kedua, konsep tentang keterbatasan
atau limitation dari kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan generasi
sekarang dan yang akan datang (Hadi, 2012). Untuk itu diperlukan pengaturan
agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia.
Dalam pembangunan berkelanjutan, terdapat 3 (tiga) dasar pilar yaitu :
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendekatan ekonomi dalam pembangunan
berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia melalui
28
pertumbuhan ekonomi dan efesiensi penggunaan kapital serta mengurangi
dampak dari kegiatan eksploitasi dari penggunaan sumber daya dengan biaya
tambahan. Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menjamin keberadaan
lingkungan hidup yang dapat mendukung pembangunan ekonomi dan sosial
masyarakat secara berkelanjutan. Sedangkan pendekatan sosial dilakukan melalui
partisipatif masyarakat untuk pengelolaan sumberdaya alam dengan memberikan
motivasi yang mengarah kepada keberlanjutan. Faktor sosial menjadi sangat
penting dalam pembangunan berkelanjutan, karena bukti-bukti menjelaskan
bahwa proyek pembangunan yang kurang memperhatikan faktor sosial
kemasyarakatan akan menjadi ancaman bagi keberhasilan proyek atau program
pembangunan yang dilaksanakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat sekitarnya (Saragih, 2011). Unsur-unsur dan muatan pembangunan
berkelanjutan lebih menghendaki terwujudnya pembangunan sosial dimana peran
serta, keadilan menjadi bagian di dalamnya.
2. 1. 6. Pariwisata Berkelanjutan dan Pengembangannya
Menurut Kurniawati (n.d.), pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang
mengalami perkembangan yang sangat pesat, termasuk pertambahan arus
kapasitas akomodasi, populasi lokal dan lingkungan, dimana perkembangan
pariwisata dan investasi – investasi baru dalam sektor pariwisata tersebut tidak
membawa dampak buruk dan dapat menyatu dengan lingkungan, yaitu dengan
memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif sehingga ada
beberapa inisiatif yang diambil oleh sektor publik untuk mengatur pertumbuhan
pariwisata agar menjadi lebih baik.
Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016
Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan mendefinisikan pariwisata
berkelanjutan sebagai pariwisata yang memperhitungkan dampak ekonomi, sosial
dan lingkungan saat ini dan masa depan, memenuhi kebutuhan pengunjung,
industri, lingkungan dan masyarakat setempat serta dapat diaplikasikan ke semua
bentuk aktifitas wisata di semua jenis destinasi wisata, termasuk wisata masal dan
berbagai jenis kegiatan wisata lainnya.
29
Masalah pariwisata bekelanjutan ini ditempatkan sebagai prioritas karena
merupakan usaha atau bisnis yang baik yang dapat melindungi sumber–sumber
atau aset penting bagi pariwisata yang mempunyai manfaat tidak hanya untuk
masa sekarang tetapi juga untuk masa depan. Pembangunan pariwisata
berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumber daya
alam, sosial dan budaya yang dimanfaatkan untuk pembangunan pariwisata pada
generasi ini masih dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Stulbelj dan Bohanec (2010) dan Gunawan, et. al
(2000) dalam Aryanto, T, dkk. (2016) dimana pariwisata berkelanjutan dilakukan
dengan tidak menimbulkan gangguan lingkungan meskipun di dalamnya terdapat
kehadiran wisatawan dan fasilitas pendukungnya.
“Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang
artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka
panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap
masyarakat” (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995 dalam Kurniawati, n.d).
Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah upaya terpadu dan terorganisasi
untuk mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan,
pengembangan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya secara berkelanjutan.
Gunn (1994) menyebutkan, terdapat 5 (lima) tujuan pariwisata berkelanjutan
yang meliputi 1) untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman bahwa wisata
dapat memberikan kontibusi terhadap lingkungan dan ekonomi; 2) untuk
mempromosikan pembangunan yang ramah lingkungan; 3) untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat lokal; 4) untuk memberikan pengalaman yang
berkualitas kepada pengunjung; dan 5) untuk mempertahankan kualitas
lingkungan.
Dalam Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Kabupaten Kendal
Tahun 2015-2025 disebutkan bahwa pembangunan pariwisata yang berkelanjutan
dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya. Prinsip - prinsip tersebut meliputi: 1. Partisipasi, yaitu partisipasi masyarakat yang dimulai dari proses perencanaan
sampai dengan monitoring dan evalusi kegiatan pembangunan pariwisata.
30
2. Keikutsertaan para pelaku, yang di antaranya adalah kelompok dan institusi
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah
daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lain yang berpengaruh
dan berkepentingan dalam kegiatan pembangunan pariwisata.
3. Kepemilikan lokal, yaitu keterlibatan masyarakat sekitar dalam memiliki dan
mengelola kegiatan kepariwisataan beserta fasilitas penunjangnya.
4. Penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, dimana kegiatan pariwisata
harus menjamin bahwa sumber daya alam dan buatan yang digunakan dapat
dipelihara dan diperbaiki serta sesuai dengan kriteria-kriteria dan standar-
standar internasional.
5. Mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, dalam rangka menciptakan situasi dan
kondisi yang harmonis antara pengunjung/wisatawan, tempat dan masyarakat
setempat, misalnya dengan kerja sama dalam wisata budaya atau cultural
tourism partnership yang dilakukan mulai dari tahap perencanaan,
manajemen, hingga tahap pemasaran.
6. Daya dukung, merupakan kapasitas lahan meliputi daya dukung fisik, alami,
sosial dan budaya yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan dan
pengembangan pariwisata serta harus sesuai dan serasi dengan batas-batas
lokal dan lingkungan yang juga harus mencerminkan batas penggunaan yang
dapat ditoleransi (limits of acceptable use).
7. Monitoring dan evaluasi, mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak
kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan
untuk mengukur dampak pariwisata dengan menggunakan pedoman yang
berskala nasional, regional dan lokal.
8. Akuntabilitas, dalam hal ini perencanaan pariwisata harus memberi perhatian
yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan
perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-
kebijakan pembangunan serta memastikannya bahwa sumber-sumber yang
ada tidak dieksploitasi secara berlebihan.
9. Pelatihan, yang berguna untuk membekali pengetahuan masyarakat dan
meningkatkan keterampilan bisnis, vocational dan profesional, misalnya
31
pelatihan tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta
topik-topik lain yang relevan.
10. Promosi, yaitu promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat
karakter lansekap, sense of place, dan identitas masyarakat setempat yang
bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang
memberikan kepuasan bagi pengunjung.
Alasan utama pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, baik
secara lokal, regional maupun lingkup nasional pada suatu negara sangat erat
kaitannya dengan pembangunan perekonomian daerah atau negara tersebut.
Dengan kata lain, pengembangan kepariwisataan pada suatu daerah tujuan wisata
selalu akan diperhitungkan dengan keuntungan dan manfaat bagi rakyat banyak
(Yoeti, 2008).
Gunn (1994) menyatakan bahwa pengembangan pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourism) merupakan suatu perubahan yang positif dari sosial
ekonomi yang tidak merusak sistem ekologi dan sosial, tempat masyarakat dan
kehidupan sosialnya. Suatu keberhasilan implementasi membutuhkan integrasi
antara proses kebijakan, perencanaan dan sosial, kelangsungan hidup politik yang
bergantung pada dukungan penuh masyarakat yang dipengaruhi oleh pemerintah,
institusi sosial dan aktivitas pribadi masyarakat. Dengan demikian, pembangunan
berkelanjutan tidak saja terkait dengan isu-isu lingkungan, tetapi juga isu
demokrasi, hak asasi manusia dan isu lain yang lebih luas. Tak dapat dipungkiri,
hingga saat ini konsep pembangunan berkelanjutan tersebut dianggap sebagai
“resep” pembangunan terbaik, termasuk pembangunan pariwisata. Dalam Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2016 Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan juga disebutkan
bahwa pembangunan kepariwisataan dikembangkan dengan pendekatan
pertumbuhan dan pemerataan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat dan
pembangunan yang berorientasi pada pengembangan wilayah, bertumpu kepada
masyarakat dan bersifat memberdayakan masyarakat yang mencakupi berbagai
aspek yang mencakup sumber daya manusia, pemasaran, destinasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, keterkaitan lintas sektor, kerjasama antar negara,
32
pemberdayaan usaha kecil, serta tanggung jawab dalam pemanfaatan sumber
kekayaan alam dan budaya, yang kemudian ditetapkan beberapa kriteria yang
dijadikan sebagai dasar penilaian atau penetapan sesuatu di destinasi pariwisata
yang menerapkan pariwisata berkelanjutan.
Berikut adalah kriteria destinasi pariwisata berkelanjutan yang tercantum
dalam Peraturan Menteri Pariwisata Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016
Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan.
Tabel 2.2. Kriteria Penilaian Destinasi Pariwisata Berkelanjutan
No. Variabel Indikator Sub Indikator
1
Pengelolaan
destinasi
pariwisata
berkelanjutan
- Strategi destinasi
berkelanjutan
- Fokus pada keberlanjutan
- Mudah diakses oleh umum
- Dikembangkan dengan melibatkan
masyarakat
- Diterapkan dengan menggunakan
komitmen politik
- Organisasi
manajemen
destinasi
- Bertanggung jawab untuk melakukan
koordinasi dalam pengelolaan pariwisata
berkelanjutan
- Ada keterlibatan pihak swasta dan
pemerintah
- Sesuai dengan ukuran dan skala destinasi
yang ada
- Ada tanggung jawab individu
- Memiliki dana yang memadai
- Monitoring - Ada pengawasan dan pelaporan publik
yang dilaksanakan secara aktif
- Sistem pengawasan dikaji dan dievalusi
secara berkala
- Prosedur mitigasi terhadap dampak
pariwisata didanai dan dilakukan secara
aktif
- Pengelolaan
pariwisata musiman
- Strategi khusus untuk memasarkan atraksi
pada musim sepi
- Adaptasi terhadap
perubahan iklim
- Ada sistem tentang adaptasi perubahan
iklim dan penilaian resiko
- Ada hukum/ kebijakan untuk mitigasi
perubahan iklim
- Ada program diklat mengenai perubahan
iklim
- Inventarisasi aset dan
atraksi pariwisata
- Inventarisasi aset
- Klasifikasi aset
33
- Pengaturan
perencanaan
- Panduan perencanaan dan zonasi,
peraturan dan atau kebijakan yang
melindungi sumber daya alam dan budaya
- Merupakan masukan dari masyarakat
lokal dan melalui proses kajian secara
rinci
- Dikomunikasikan kepada masyarakat dan
ditegakkan
- Akses untuk semua - Bisa diakses oleh semua kalangan
termasuk penyandang disabilitas
- Akuisisi properti - Tersedia kebijakan/ peraturan termasuk
ketentuan penegakannya
- Kebijakan sesuai dengan kompensasi yang
wajar
- Kepuasan
pengunjung
- Ada data kunjungan dan kepuasan
pengunjung
- Ada sistem yang menangani keluhan
pengunjung
- Standar
keberlanjutan
- Ada standar pariwisata berkelanjutan
- Ada sertifikasi pariwisata berkelanjutan
- Monitring terhadap partisipasi bisnis
pariwisata
- Verifikasi data secara berkelanjutan yang
tersedia untuk publik
- Keselamatan dan
keamanan
- Ada pos dan petugas keselamatan dan
keamanan
- Penanganan keselamatan
- Sistem penceahan dan tanggap kejahatan
- Pengaturan transportasi umum
- Petunjuk keamanan dan keselamatan
- Manajemen krisis
dan kedaruratan
- Ada rencana tanggap krisis dan darurat
- Ada dana dan SDM untuk tanggap krisis
dan darurat
- Standar penanganan krisis dan darurat
- Simulasi penanganan darurat
- Rencana tanggap darurat diperbarui secara
berkala
- Promosi - Memiliki kalender of event
- Strategi promosi yang akurat
- Ada kerjasama dengan phak swasta dan
pemerintah
- Originalitas produk wsiata daerah yang
aktual
2 Pemanfaatan
ekonomi untuk
masyarakat lokal
- Pemantauan
ekonomi
- Monitoring dan laporan tentang kontribusi
pariwisata
- Laporan data tenaga kerja berdasarkan
jenis kelamin dan usia
34
- Peluang kerja
untuk masyarakat
lokal
- Peraturan / kebijakan tentang kesempatan
kerja bagi semua masyarakat
- Program pelatihan berlaku untuk semua
- Peraturan/ kebijakan tentang keselamatan
kerja bagi semua
- Peraturan/ kebijakan tentang kesetaraan
upah
- Partisipasi
masyarakat
- Pelibatan pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam pengambilan keputusan
- Pertemuan rutin dengan masyarakat
- Opini masyarakat
lokal
- Aspirasi masyarakat lokal mengenai
manajemen destinasi
- Waktu pengumpulan aspirasi sesuai
kesepakatan
- Akses bagi
masyarakat lokal
- Pengelolaan diserahkan kepada
masyarakat
- Monitoring kepuasan pengunjung
- Fungsi edukasi
sadar wisata
- Ada pokdarwis
- Agenda kegiatan sadar wisata secara rutin
- Bintek sadar wisata secara rutin
- Pencegahan
eksploitasi
- Hukum dan program untuk mencegah
praktik eksploitasi
- Hukum dan program dikomunikasikan
kepada publik
- Dukungan untuk
masyarakat
- Program CSR perusahaan kepada
lingkungan sekitar
- Mendukung
masyarakat lokal
dan perdagangan
yang adil
- Program yang mendukung dan
membangun penduduk lokal, pengusaha
kecil dan menengah
- Program yang mendorong industri untuk
membeli produk dan pelayanan dari area
setempat
- Program yang mempromosikan dan
mengembangkan produk lokal yang
berkelanjutan
- Program yang melibatkan perajin, petani
dan penyedia lokal dalam rantai pariwisata
3 Perlindungan
budaya bagi
masyarakat dan
pengunjung
- Perlindungan
atraksi wisata
- Sistem pengelolaan untuk melindungi
situs alam dan budaya
- Sistem untuk mengawasi, mengukur dan
melakukan mitigasi terhadap dampak
pariwisata
- Pengelolan
pengunjung
- Memiliki sistem pengelolaan pengunjung
untuk tapak wisata
35
- Perilaku
pengunjung
- Panduan budaya dan lingkungan untuk
perilaku pengunjung pada situs yang
sensitif
- Tata laksana bagi pemandu wisata
- Perlindungan
warisan budaya
- Hukum dan peraturan untuk melindungi
artefak bersejarah dan arkeologi
- Program untuk melindung warisan seni
budaya tak berbentuk (lagu, musik, drama,
kerajinan tangan, dll)
- Intepretasi tapak - Informasi interpretatif tersedia untuk
pengunjung
- Informasi seuai dengan budaya setempat
- Informasi dikembangkan secara
kolaboratif bersama masyarakat
- Informasi tersedia dalam bahasa yang
relevan dengan pengunjung
- Pelatihan bagi pemandu wisata dalam
penggunaan informasi yang tepat
- Perlindungan
kekayaan
intelektual
- Ada hukum, peraturan dan program untuk
melindungi hak kekayaan intelektual
individu dan masyarakat
4 Pelestarian
lingkungan
- Perlindungan alam
liar (flora dan
fauna)
- Kesesuaian dengan hukum lokal, nasional
dan internasional dalam berburu atau
menangkap, memamerkan dan menjual
flora dan fauna
- Standar untuk berburu atau menangkap,
memamerkan dan menjual flora dan fauna
- Perlindungan
lingkungan sensitif
- Inventarisasi habitat da margasatwa yang
sensitif dan terancam punah
- Sistem perlindungan ekosistem,
lingkungan dan spesies yang sensitif
- Sistem untuk mencegah masuknya spesies
asing
- Transportasi ramah
lingkungan
- Program untuk meningkatkan penggunaan
transportasi ramah lingkungan
- Program untuk menarik minat pengunjung
menggunakan transportasi aktif
- Konservasi energi - Program untuk promosi dan mengukur
konsevasi energi dan konsumsi energi
kepada publik
- Kebijakan dan insentif untuk mengurangi
ketergantungan bahan bakar fosil
- Pengelolaan air - Program pendampingan untuk membantu
perusahaan dalam penggunaan air
36
- Keamanan air - Sistem pengelolaan untuk memastikan
bahwa air yang digunakan oleh
perusahaan dan masyarakat lokal telah
seimbang dan sesuai
- Kualitas air - Sistem pengelolaan untuk memonitor dan
melaporkan kualitas air kepada
masyarakat
- Hasil monitoring disediakan untuk
masyarakat
- Sistem untuk menanggapi isu kualita air
dengan tepat
- Upaya mengurangi
limbah padat
- Sistem pengumpulan limbah padat
- Perencanaan pengelolaan limbah padat
yang baik
- Program daur ulang limbah padat
- Program pengurangan penggunaan limbah
padat plastik
- Upaya mengurangi
limbah cair
- Program pendampingan untuk membantu
perusahaan dalam meengolah dan
menggunakan limbah cair secara efektif
- Sistem pengelolaan limbah cair yang baik
- Resiko lingkungan - Penilaian keberlanjutan dstinasi dengan
identifikasi resiko lingkungan
- Sistem penanganan resiko telah tersedia
- Polusi cahaya dan
suara
- Panduan dan peraturan untuk
meminimalkan polusi cahaya dan suara
- Program pendampingan perusahaan untuk
mengikuti panduan dan peraturan untuk
meminimalkan polusi cahaya dan suara
- Emisi gas rumah
kaca
- Program pendampingan untuk membantu
perusahaan dalam mengukur, memonitor
dan melaporkan kepada publik
penggunaan emisi gas rumah kaca
- Sistem pendampingan untuk membantu
perusahaan melakukan mitigasi emisi gas
rumah kaca
Sumber: Kemenpar, 2016
Kriteria destinasi pariwisata berkelanjutan ini bersumber dari Global
Sustainable Tourism Council (GSTC) (2013) yang menyebutkan bahwa untuk
memenuhi destinasi pariwisata berkelanjutan, destinasi harus mengambil
pendekatan interdisipliner, holistik dan integratif yang meliputi empat tujuan
utama, yaitu:
37
(1) Mendemonstrasikan pengelolaan destinasi yang berkelanjutan dengan
melakukan monitoring, pengelolaan pariwisata musiman, adaptasi terhadap
perubahan iklim, mengatur manajemen destinasi serta menentukan strategi
destinasi berkelanjutan. (2) Memaksimalkan keuntungan ekonomi untuk masyarakat lokal dan
meminimalkan dampak negatif dengan melakukan pemantauan ekonomi,
mendukung pengusaha lokal untuk melakukan perdagangan yang adil,
memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk beropini,
berpartisipasi dan mendapatkan akses serta peluang kerja.
(3) Memaksimalkan keuntungan untuk masyarakat, pengunjung dan budaya serta
meminimalkan dampak negatif dengan mengadakan perlindungan terhadap
atraksi wisata, warisan budaya kekayaan intelektual dan interpretasi tapak
serta melakukan pengelolaan pengunjung yang baik.
(4) Memaksimalkan manfaat untuk lingkungan dan meminimalkan dampak
negatif dengan melakukan perlindungan terhadap lingkungan sensitif, flora
dan fauna, menggunakan transportasi ramah lingkungan, melakukan
pengelolaan dan konservasi air, udara dan energi dengan baik serta
mengurangi penggunaan limbah baik padat, cair maupun gas.
2. 2. Sistem Informasi Geografis (SIG)
2. 2. 1. Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menurut Rais (2005) dalam Aini (n.d), Sistem Informasi Geografis atau
Geographic Information System (GIS) pertama kali diperkenalkan di Indonesia
pada tahun 1972 dengan nama Data Banks for Development. Istilah Sistem
Informasi Geografi (SIG) seperti yang dikenal sekarang ini, muncul setelah
dicetuskan oleh General Assembly dari International Geographical Union di
Ottawa Kanada pada tahun 1967 dan dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang
kemudian disebut CGIS (Canadian GIS atau SIG Kanada). CGIS ini berfungsi
untuk menyimpan, menganalisa dan mengolah data yang dikumpulkan untuk
38
menginventarisasi tanah di Kanada (CLI atau Canadian Land Inventory) sebuah
inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan
memetakan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas,
unggas dan penggunaan tanah pada skala 1 : 250.000. Sejak saat itu Sistem
Informasi Geografis (SIG) berkembang di beberapa benua terutama Benua
Amerika, Benua Eropa, Benua Australia, dan Benua Asia. Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang
memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi geografi yaitu
pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali),
manipulasi dan analisis data, serta keluaran sebagai hasil akhir (output). Hasil
akhir (output) dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah
yang berhubungan dengan geografi (Aronoff, 1989). Chrisman (1997) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah
sistem yang terdiri atas perangkat keras, perangkat lunak, data, manusia
(brainware), organisasi dan lembaga yang digunakan untuk mengumpulkan,
menyimpan, menganalisis, dan menyebarkan informasi-informasi mengenai
daerah-daerah di permukaan bumi. Sementara Budianto (2010) mendefinisikan
Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai sistem komputer yang memiliki
kemampuan untuk mengambil, menyimpan, menganalisa, dan menampilkan
informasi dengan referensi geografis. Sedangkan menurut sumber ESRI (1990), SIG merupakan kumpulan
terorganisasi dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan
personil yan dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan,
mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk
informasi yang bereferensi geografis (Prahasta, 2006).
Berdasarkan beberapa definisi SIG tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
SIG merupakan suatu integrasi antara perangkat keras, perangkat lunak, data
manusia (brainware) yang bekerjasama dalam mengolah data dimulai dari
manajemen data, manipulasi dan analisis data sehingga menghasilkan output atau
hasil akhir yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan
terhadap suatu permasalahan yang sedang dihadapi.
39
Berdasarkan desain awalnya tugas utama Sistem Informasi Geografis (SIG)
adalah untuk melakukan analisis data spasial. Di sini, SIG mempunyai beberapa
fungsi yaitu a) input data, b) pembuatan peta, c) manipulasi data, d) manajemen
file, e) analisis query dan f) memvisualisasikan hasil dalam bentuk peta atau
grafik. Kemampuan ini membedakan SIG dari sistem informasi lainnya, dan
membuatnya berharga bagi berbagai perusahaan umum dan swasta untuk
menjelaskan kejadian, memprediksi hasil dan melakukan strategi perencanaan.
(http://www.westminster.edu/staff/athrock/GIS/GIS.pdf, Diakses tanggal 23 Juni
2017)
Purnaweni (2012) menyimpulkan bahwa SIG dipercaya sebagai cara yang
lebih efektif dan efisien dalam menyusun kebijakan publik oleh pemerintah yang
inovatif meskipun tidak semua data yang digunakan dalam memformulasikan,
merencanakan dan mengevaluasi kebijakan publik tersedia di dalamnya.
2. 2. 2. Sistem Informasi Geografi (SIG) dalam Pariwisata
Sistem Informasi Geografis (SIG) bukanlah suatu sistem yang semata-mata
berfungsi untuk membuat peta, tetapi merupakan alat analisis (analyical tool)
yang mampu memecahkan masalah spasial hampir di semua bidang ilmu yang
bekerja dengan informasi keruangan, diantaranya bidang kehutanan, perikanan,
pertanian, pariwisata, lingkungan, perkotaan dan transportasi. (Jaya, 2002)
Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam penelitian pariwisata
masih sangat sedikit dilakukan meskipun teknologi SIG telah dibahas dalam
literatur pariwisata lebih dari satu dekade terakhir (Gunn dan Larsen, 1988) dalam
Rahman (2010). Teknologi ini telah digunakan dalam penelitian yang
berhubungan dengan perencanaan ekowisata (Bunruamkaew & Murayama, 2011,
2012), dan (Rahayuningsih, et al., 2016) penilaian sumber daya visual dan
manajemen, identifikasi lokasi yang cocok, dan bahkan telah digunakan dalam
aplikasi yang berkaitan dengan pemasaran pariwisata. Pariwisata merupakan kegiatan yang sangat bergantung pada sumber daya
lingkungan sehingga diperlukan sebuah perencanaan yang tepat dalam
pengelolaannya. Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diterapkan
40
dalam rangka pencapaian pembangunan pariwisata berkelanjutan. Tabel berikut
menggambarkan kemampuan fungsional dan potensi SIG dengan
mengkategorikan aplikasi SIG dalam pendekatan terstruktur sesuai dengan
pertanyaan generik yang sering digunakan untuk penyelidikan. Selanjutnya,
Bahaire dan Elliot-White (1999) juga menghubungkan kategori ini dengan
aplikasi dasar di bidang pariwisata, dan juga fungsi SIG yang dapat dilihat pada
Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Kemampuan SIG dalam Pariwisata
Kemampuan Fungsional
SIG Pertanyaan Dasar tentang SIG
Aplikasi
Pariwisata
1 Data entry,
penyimpanan dan
manipulasi
Lokasi Apa itu? Persediaan sumber
daya pariwisata
2 Produksi peta
Kondisi Dimana itu? Identifikasi lokasi
3 Integrasi dan
pengelolaan database
Tren Apa yang
berubah?
Mengukur dampak
pariwisata
4 Data query dan
pencarian
Rute Mana rute
terbaik?
Pengelolaan
pengunjung/ arus
5 Analisis spasial
Pola Apa polanya? Menganalisis
hubungan yang
terkait dengan
penggunaan sumber
daya
6 Permodelan spasial Permodelan Bagaimana
jika...?
Kaji potensi dampak
pembangunan
pariwisata
7 Dukungan keputusan Sumber: Bahaire and Elliot-White 1999, p. 159 (diterjemahkan)
Dari tabel diatas tampak jelas bahwa SIG mempunyai banyak manfaat dalam
pengelolaan dan perencanaan pariwisata. Beberapa fitur utama SIG yang
bermanfaat bagi perencanaan wisata, meliputi:
a. Kemampuan memanipulasi data dan atribut spasial;
b. Menyediakan informasi nilai tambah yang diperlukan;
c. Kemudahan dalam mengalokasikan sumber daya;
41
d. Kemampuan beradaptasi dalam menyediakan dan merubah data dari waktu ke
waktu; dan
e. Kemampuan untuk mengidentifikasi pola atau relasi berdasarkan kriteria
tertentu dalam pengambilan keputusan. Teknologi SIG dalam pariwisata dapat digunakan sebagai alat pendukung
dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, SIG dapat digunakan untuk
memberikan pendekatan yang lebih holistik terhadap pemecahan terhadap suatu
masalah dimana di dalamnya terdapat data kualitatif dan kuantitatif yang harus
diproses. Pada umumnya, teknologi ini digunakan untuk mengumpulkan
informasi, data, dan analisis spasial yang kemudian ditampilkan dalam bentuk
grafik atau peta yang lebih efektif yang lebih mudah untuk dipahami oleh
pengguna. (Riwayatiningsih dan Purnaweni, 2017)
Berdasarkan tujuan dalam pengembangan kawasan wisata dan rekreasi, maka
SIG juga berperan dlam mengkarakteristikan sumberdaya, mengidentifikasi
kesesusaian yang potensial dan mengidentifikasikan konflik antar tujuan-tujuan
tersebut. Proses dan identifikasi potensi kawasan untuk tujuan wisata melalui SIG
dapat dilakukan dengan cara menumpangsusunkan (overlay) peta-peta tematik
yang memuat karakteristik biofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya terhadap
peta-peta yang memuat persyaratan (kriteria) dari setiap kegiatan pembangunan
yang direncanakan. (Untari, dkk, 2009)
Integrasi penginderaan jauh dan SIG juga mempunyai peran yang penting
dalam perencanaan ekowisata karena teknologi ini dianggap bertindak sebagai alat
yang efektif untuk menyimpan, memanipulasi dan menganalisa berbagai data
spasial. Lebih khusus lagi, SIG dapat digunakan untuk memetakan tutupan dan
habitat darat, memantau perubahan lanskap, model distribusi spesies dan
memprediksi habitat yang sesuai untuk spesies yang berbeda (Fung & Wong,
2007, P. 88). Poin, garis dan poligon merupakan tiga elemen penting yang digunakan untuk
mewakili informasi spasial dan ketiga istilah ini sering digunakan di SIG untuk
mewakili data spasial. Dalam penelitian pariwisata SIG digunakan untuk
mengkarakterisasi tujuan wisata dengan menggunakan titik, garis dan poligon
42
terutama bentang alam yang berbeda. Fitur titik mewakili tempat-tempat wisata
individu, misalnya, sebuah perkemahan di taman, atau situs bersejarah di
sepanjang jalan raya. Pantai dan resor pantai sering mengikuti pola linier,
sementara taman bertema besar atau taman alam merupakan ciri khas fitur poligon
(Giles, 2003) dalam Rahman (2010). Namun, karena kurangnya anggaran dan kurangnya database yang sesuai,
penerapan teknologi ini dalam ekowisata masih sangat terbatas. Misalnya, hanya
ada sedikit informasi spesifik lokasi tentang sumber asal dan tujuan pengunjung,
motivasi perjalanan, pola tata ruang rekreasi dan penggunaan pariwisata, pola
belanja pengunjung, tingkat penggunaan dan dampak, dan kesesuaian situs untuk
pengembangan rekreasi atau pariwisata yang kesemuanya merupakan bidang
aplikasi SIG yang sesuai. Oleh karena itu, aplikasi SIG dalam pengembangan
ekowisata terbatas pada pengelolaan lahan berbasis pariwisata, inventarisasi
fasilitas rekreasi, penilaian dampak pengunjung, konflik rekreasi-satwa liar,
pemetaan persepsi padang gurun, sistem manajemen informasi pariwisata dan
sistem pendukung keputusan (Giles, 2003) dalam Rahman (2010). Kapasitas SIG yang disebutkan di atas dan penerapan SIG di bidang
pariwisata memberikan gambaran umum tentang permintaan SIG di bidang
pariwisata. Namun, SIG bukanlah alat yang umum di bidang pariwisata namun
memiliki potensi yang cukup untuk digunakan dalam perencanaan pariwisata
sebagai alat pendukung keputusan untuk perencanaan dan pengembangan
pariwisata yang berkelanjutan.
2. 3. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis dengan
membandingkan antara faktor eksternal Peluang (Opportunities) dan Ancaman
(Threats) dengan faktor internal Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan
(Weaknesses) untuk mengambil keputusan strategis yang terkait dengan
pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan organisasi dalam kondisi yang
ada saat ini (Rangkuti, 2016).
43
Kerangka formulasi strategis terdiri dari tiga tahap yaitu pengumpulan data,
analisis data, dan pengambilan keputusan. Pada tahap pengumpulan data
dilakukan kegiatan pengklasifikasian dan pra-analisis yang menghasilkan data
eksternal (data yang diperoleh dari dari lingkungan di luar organisasi) dan data
internal (data yang diperoleh dari lingkungan di dalam organisasi itu sendiri).
Pada tahap analisis data dibuat matriks SWOT dengan memanfaatkan semua
informasi dalam model kuantitatif perumusan strategi. Matriks ini
menggambarkan dengan jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang
dihadapi organisasi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki. Dari matriks ini dapat diperoleh empat set kemungkinan alternatif
strategis, yaitu:
a. Strategi SO: strategi yang dibuat berdasarkan jalan pikiran organisasi, yaitu
dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan
peluang sebesar-besarnya.
b. Strategi ST: strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki organisasi
untuk mengatasi ancaman.
c. Strategi WO: strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang
ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada.
d. Strategi WT: strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif
dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman
(Rangkuti, 2016).
Top Related