10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum
2.1.1 Bantaran Situ
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bantaran merupakan
jalur tanah pada kanan dan kiri perairan atau yang terletak antara perairan dan
tanggul. Dengan demikian pengertian dari bantaran adalah jalur tanah yang
letaknya berada di pinggiran perairan yang letaknya dibatasi oleh tanggul. Situ
merupakan bagian dari elemen alam yang berperan penting bagi masyarakat
perkotaan. Menurut buku yang berjudul “Lahan Basah Buatan di Indonesia” , situ
adalah sebuah wadah yang didalamnya tergenang air yang merupakan kumpulan
dari air hujan, resapan air, dan merupakan aliran limpasan air dari perumahan
yang kemudian mengalir ke arah situ yang letaknya di atas permukaan tanah yang
terbentuk secara alami maupun buatan (Puspita, Ratnawati, Suryadiputra, &
Meutia, 2005).
Dari kedua definisi tersebut menurut penulis dapat dijelaskan bahwa
pengertian dari bantaran situ adalah jalur tanah yang letaknya berada di pinggiran
Situ dan dibatasi oleh tanggul sebagai pembatas antara permukaan tanah dengan
wadah yang didalam nya tergenang air yang merupakan kumpulan dari air hujan,
resapan air, dan aliran limpasan air. Dengan demikian, daerah bantaran situ adalah
salah satu elemen alam yang ada dalam sebuah perkotaan.
2.2 Tinjauan Arsitektural
2.2.1 Urban Tourism
Urban tourism merupakan konsep pariwisata perkotaan dengan
menggunakan potensi kota yang ada sebagai daya tarik masyarakat dalam dan luar
kota. Christopher M. Law mendefinisikan urban tourism sebagai jenis destinasi
pariwisata yang paling penting di dunia sejak tahun 1980-an, sebagai fenomena
kepariwisataan dunia dengan memperhatikan masyarakat lokal (Law, 1996).
Urban tourism memiliki beberapa komponen utama yang menjadi penunjang
11
sebuah kota dalam mencapai keberhasilan konsep tersebut. Komponen utama
tersebut dapat memengaruhi aktivitas masyarakat dan meningkatkan kualitas
ruang publik sebagai atribut wisata kota. Christopher M. Law mengatakan bahwa
urban tourism berperan melibatkan masyarakat lokal sebagai pemilik wisata
(Law, 1996). Hal itu menjadikan urban tourism bukan hanya untuk wisatawan
luar kota tetapi masyarakat lokal juga berperan penting untuk mencapai
keberhasilan urban tourism. Menurut Christopher M. Law wisatawan perkotaan
menggunakan fasilitas yang ada sebagai daya tarik wisatanya (Law, 1996).
Definisi tersebut menggambarkan bahwa konsep urban tourism dapat berpotensi
meningkatkan pendapatan dan ekonomi asli daerah dan juga memanfaatkan
penggunaan ruang dengan baik.
Konsep urban tourism memiliki lima komponen utama, antara lain atraksi,
amenitas, aksesibilitas, ansilari, dan community involvement. Komponen utama
tersebut menjadi evaluasi penunjang keberhasilan konsep urban tourism. Urban
tourism memanfaatkan potensi daerah sebagai salah satu komponen kualitas ruang
publik untuk beraktivitas dan rekreasi (Law, 1996). Namun, penerapan konsep
urban tourism masih perlu dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki
setiap kota. Oleh karena itu, komponen utama konsep urban tourism tersebut
dapat meningkatkan kualitas ruang publik sebagai daya tarik atribut wisata kota.
2.2.2 Komponen Utama Konsep Urban Tourism
Konsep urban tourism terdiri dari lima komponen utama yang dapat
meningkatkan kualitas ruang publik. Menurut Grety, Pingkan, dan Judy dalam
jurnalnya yang berjudul “Penerapan Konsep Urban Tourism pada Perancangan
Permukiman Sindulang Satu di Manado” membagi komponen utama konsep
urban tourism menjadi lima komponen (Muntiaha, Egam, & Waani, 2017). Urban
tourism merupakan kumpulan sumber daya wisata yang ada di kota-kota untuk
ditawarkan kepada pengunjung dari tempat lain. Ada lima komponen utama
konsep urban tourism (Muntiaha, Egam, & Waani, 2017), yaitu :
12
1. Atraksi
Atraksi adalah sesuatu yang menarik perhatian, sehingga atraksi
merupakan sebuah aktivitas yang melibatkan kesenian, kebudayaan,
warisan sejarah, tradisi, dan kekayaan alam yang menjadi daya tarik untuk
wisatawan datang ke daerah tersebut.
2. Amenitas
Amenitas adalah sesuatu yang menimbulkan kesenangan dan kenyaman.
Amenitas dapat diwujudkan dengan fasilitas yang dapat digunakan oleh
wisatawan selama mengunjungi kota wisata. Amenitas dapat berbentuk
fasilitas restoran, toko cenderamata, dan fasilitas umum lainnya yang
dapat digunakan umum. Amenitas bertujuan untuk menjadi penunjang
kegiatan berwisata bagi pengunjung yang ingin menikmati daya tarik
wisata dan aktivitas dengan memanfaatkan aksesibilitas yang ada.
3. Aksesibilitas
Aksesibilitas diartikan sebagai sarana untuk menuju destinasi.
Aksesibilitas harus dapat mempermudahkan wisatawan untuk mencapai
area yang diinginkan dalam berjalan kaki maupun dengan transportasi.
4. Ansilari
Ansilari adalah cara pengelolaan destinasi agar dapat terpelihara dengan
baik dari segi atraksi, aksesibilitas dan amenitasnya. Dengan mengelola
destinasi tersebut dapat memberikan keuntungan bagi pihak-pihak terkait,
seperti pemerintah dan masyarakat lokal.
5. Community Involvement
Keterlibatan komunitas menciptakan ruang publik.
2.2.3 Evaluasi Pembentuk Kualitas Ruang Publik
Evaluasi kualitas ruang publik merupakan penilaian untuk mengukur
efektivitas suatu ruang publik dari kota tersebut agar memiliki daya saing antar
kota untuk meningkatkan kualitas ruang publiknya. Evaluasi dalam bahasa
Indonesia, menurut kamus KBBI adalah sebuah penilaian atau pengamatan untuk
mengukur dampak dan efektivitas dari suatu objek. Menurut Seema Praliya dan
13
Pushplata Garg dalam jurnal yang berjudul “Public space quality evaluation:
prerequisite for public space management”, kualitas ruang publik yang baik
harus dapat memenuhi delapan kriteria evaluasi kualitas ruang publik (Praliya &
Garg, 2019), yaitu :
1. Accessible & Linked (Aksesibilitas)
Merupakan evaluasi dari kualitas ruang yang paling penting karena
memperhatikan visibilitas ruang dari kejauhan, visibilitas ruang dari
lingkungannya, kemudahan aksesibilitas pengguna untuk berjalan, dan
kemudahan aksesibilitas transportasi dalam menjangkau tempatnya. Hal
ini memungkinkan pengunjung agar mudah untuk mengakses banyak
tempat sebagai pilihan.
2. Maintenance (Pemeliharaan)
Merupakan evaluasi yang memperhatikan manajemen sampah/kotoran,
kondisi area penghijauan, kondisi infrastruktur taman, kondisi area
jogging, berjalan, dan bersepeda, dan pemeliharaan grafiti serta
vandalisme. Maintenance bertujuan untuk memastikan area tersebut
terpelihara dengan baik dari kategori yang berbeda.
3. Attractiveness and appeal (Atraksi)
Merupakan evaluasi kualitas ruang publik adalah daya tarik dari segi
estetika, ruang-ruang visual, tampilan yang tertata rapi, kondisi dari public
art, penyediaan furniture taman, landscape yang baik, kondisi rumput
yang baik dan area-area bermain. Hal ini bertujuan untuk menarik minat
berbagai pengunjung untuk datang.
4. Comfort (Kenyamanan)
Merupakan bagian dari evaluasi kualitas ruang publik yang dapat
diukur melalui tempat duduk yang nyaman pada daerah tersebut, fasilitas-
fasilitas yang hadir di area tersebut, area parkir yang nyaman, dan buffer
untuk menghalang kebisingan.
5. Inclusiveness (Inklusivitas)
Kualitas ruang publik ini berfungsi sebagai definisi ruang publik
sesungguhnya yang dapat dinikmati dan digunakan oleh siapa saja.
14
Inclusiveness tidak memandang usia, ras, kelas, jenis kelamin, dan
kemampuan fisik.
6. Activity and uses (Aktivitas dan Kegunaan)
Kualitas ruang publik ini mengevaluasi aktivitas masyarakat, seperti
berjalan, bersosialisasi, olahraga, anak-anak bermain, tamasya keluarga,
melihat flora dan fauna yang ada, kunjungan pendidikan, acara atau
pertemuan, dan juga relaxing.
7. Purposefulness (Tujuan)
Merupakan bagian dari evaluasi yang termasuk ke dalam kualitas ruang
publik yang memperhatikan tujuan dari suatu area.
8. Safety & Security (Keselamatan dan Keamanan)
Kualitas ruang publik ini memperhatikan keselamatan dan keamanan yang
menjadi bagian dari kualitas ruang publik, seperti kegiatan pemeriksaan
ataupun ketersediaan informasinya.
2.3 Tinjauan Empiris
2.3.1 Mega Food walk, Thailand
Mega Food walk merupakan sebuah shopping center yang terletak di
Tambon Bang Kaeo Thailand. Bangunan ini dirancang oleh arsitek FOS dengan
luas area sekitar 58000 m2. Bangunan ini memiliki konsep yang dirancang untuk
menghubungkan kembali kehidupan perkotaan dengan alam melalui pengalaman
berbelanja dengan menganalogikan sebagai “Valley” sesuai karakter geografis
metaforanya (González, 2018). Selain menjadi tempat berbelanja, bangunan ini
juga berfungsi sebagai tempat yang mewadahi interaksi sosial dan rekreasi bagi
pengunjungnya.
15
Gambar 2. 1 Perspektif Mega Foodwalk (Sumber : https://www.archdaily.com/894133/mega-foodwalk-
fos?ad_source=search&ad_medium=search_result_all)
Mega Food walk memiliki area atraksi yang menjadikannya sebuah
pengalaman ruang bagi pengunjung yang datang ke bangunan tersebut. Selain itu
atraksi ini menjadi daya tarik dan keunikan pada bangunan, sehingga dapat
menambah kesan untuk pengunjung yang akan datang ke bangunan tersebut
(González, 2018). Pada bagian fasad bangunan digunakan second skin untuk
menahan panasnya matahari yang masuk ke dalam bangunan, sehingga membuat
bagian dalam menjadi lebih nyaman.
16
Gambar 2. 2 Axonometri Mega Foodwalk
(Sumber : https://www.archdaily.com/894133/mega-foodwalk-
fos?ad_source=search&ad_medium=search_result_all)
Gambar 2. 3 Interior Mega Foodwalk
(Sumber : https://www.archdaily.com/894133/mega-foodwalk-
fos?ad_source=search&ad_medium=search_result_all)
17
2.3.2 Shopping Nord Graz, Austria
Shopping Nord Graz merupakan bangunan shopping center yang terletak di
Austria. Bangunan ini dirancang oleh arsitek BEHF Corporate Architects dengan
luas area sekitar 10600 m2 (ArchDaily, 2017). Bangunan ini memiliki sebuah
konsep yang mengembangkan lokasi tersebut menjadi sustainable atau
berkelanjutan dengan menghadirkan pengalaman berbelanja yang baru untuk
dapat dinikmati dengan bersantai. Pada bagian pintu masuk area ini menggunakan
fasad yang terbuka dengan material kaca untuk memberikan kesan mengundang
pengunjung untuk datang ke bangunan tersebut. Bangunan ini juga memiliki
fasilitas penunjang bagi pengunjungnya seperti adanya toilet umum yang dapat
digunakan oleh siapa saja yang datang ke bangunan tersebut (ArchDaily, 2017).
Gambar 2. 4 Entrance Shopping Nord Graz
(Sumber : https://www.archdaily.com/805071/shopping-nord-graz-behf-corporate-
architects?ad_source=search&ad_medium=search_result_all)
18
Gambar 2. 5 Fasilitas Toilet Shopping Nord Graz (Sumber : https://www.archdaily.com/805071/shopping-nord-graz-behf-corporate-
architects?ad_source=search&ad_medium=search_result_all)
Shopping Nord Graz ini terdiri dari retail dan restoran yang saling
terhubung melalui atap bangunannya. Atap bangunan berfungsi sebagai kanopi
dengan tinggi 10 m (ArchDaily, 2017). Layout bangunan ini disusun secara acak
untuk menciptakan ruang yang hidup dan cerah. Efek yang ditonjolkan pada
bangunan ini adalah bukaan atap kaca asimetris dan melingkar sebagai arah
datangnya cahaya alami. Bukaan atap tersebut dapat menerangi area tempat duduk
dan bagian dalam bangunan sehingga terasa nyaman saat berjalan di dalamnya.
Bagian atap beton ekspos tidak hanya dipecah oleh tiga skylight bentuk bebas,
tetapi juga bersinar karena warna yang digunakan pada area langit-langit disekitar
skylightnya.
19
Gambar 2. 6 Interior Shopping Center Nord Graz
(Sumber : https://www.archdaily.com/805071/shopping-nord-graz-behf-corporate-
architects?ad_source=search&ad_medium=search_result_all)
Gambar 2. 7 Skylight Shopping Center Nord Graz
(Sumber : https://www.archdaily.com/805071/shopping-nord-graz-behf-corporate-
architects?ad_source=search&ad_medium=search_result_all)
20
2.3.3 The Breeze, Indonesia
The Breeze merupakan bangunan shopping center yang berada di BSD
Indonesia. Bangunan ini dirancang oleh Jerde Architect dengan luas site 13500
m2. Bangunan ini memiliki ide konsep open air lifestyle dengan memanfaatkan
potensi waterfront dari Sungai Cisadane. Konsep mall ini memiliki bangunan
yang tidak massif dan saling terbuka satu sama lain dengan minim penggunaan
sekat untuk memaksimalkan sirkulasi udara dan pencahayaannya.
Gambar 2. 8 The Breeze BSD
(Sumber : http://thebreeze.bsdcity.com/)
Pada area pintu masuk dibuat lebih terbuka untuk memberikan kesan open
plan bagi pengunjung saat datang ke bangunan tersebut. Selain itu area pintu
masuk yang terbuka dapat memberikan kesan mengundang bagi pengunjungnya.
Selain itu pengalaman ruang yang diciptakan dari bangunan ini adalah terdapat
area kosong yang diisi dengan kursi-kursi yang disusun secara acak membuat area
ini menjadi tempat berkumpul dan bersantai bagi pengunjung dengan menikmati
pepohonan hijau dan sirkulasi udara yang alami pada area tersebut.
Gambar 2. 9 Entrance The Breeze BSD (Sumber : Difoto oleh Penulis Tahun 2021)
21
The Breeze ini memanfaatkan elemen alam yang sudah ada sebagai daya
tarik pengunjung karena terlihat lebih alami dan sejuk. Selain itu penggunaan
material kaca dan kayu pada bangunan menciptakan suasana yang alami. Dan juga
bangunan ini juga dilalui oleh jalan tol sehingga meningkatkan visibilitas dari
arah jalan tol dan juga dapat menaikan value dari tempat tersebut. Selain itu
fasilitas tempat parkir yang sudah tertata dengan baik sirkulasinya.
Gambar 2. 10 Interior The Breeze BSD
(Sumber : Difoto oleh Penulis Tahun 2021)
Gambar 2. 11 Parkir The Breeze BSD (Sumber : Difoto oleh Penulis Tahun 2021)
22
2.3.4 Kuta Beachwalk, Indonesia
Kuta Beachwalk merupakan bangunan shopping center yang berada di Bali,
Indonesia. Bangunan ini dirancang oleh PT. Envirotech dan PT. Atelier 6 Struktur
dengan luasan site sekitar 37000 m2. Bangunan yang memiliki konsep modern
dengan memanfaatkan Pantai Kuta sebagai daya tariknya. Bangunan ini didesain
sebagai tempat peristirahatan dari panasnya Pantai Kuta dan menjadi landmark
bagi daerah tersebut.
Gambar 2. 12 Perspektif Kuta Beachwalk Bali
(Sumber : https://au.hotels.com/go/indonesia/kuta-beachwalk)
Pada bangunan ini Terdapat atrium di tengah yang luas memberikan
sirkulasi aliran udara alami dan keteduhan yang cukup oleh taman yang dipenuhi
penghijauan. Desain tersebut juga menerapkan langkah-langkah ramah
lingkungan dalam desain berkelanjutannya, termasuk penggunaan AC yang
minim di ruang terbuka dan bahkan terdapat sistem pengumpulan air hujan
khusus. Dan juga fasad pada bangunan menggunakan tanaman gantung Lee Kuan
Yew sebagai second skin yang dapat melindungi dari sinar matahari dan
mengurangi penggunaan material kaca.
23
2.4 Tinjauan Teori
2.4.1 Eco Tourism
Eco-tourism merupakan sebuah konsep turunan dari urban tourism yang
lebih berfokus kepada elemen alamnya. Hal tersebut dapat menjadi daya tarik bagi
objek wisata rekreasi yang dapat selaras dengan alam. Menurut organisasi The
Ecotourism Society (1990) mendefinisikan eco-tourism sebagai suatu bentuk
perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi
lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan dari penduduk
setempat (Wood, 2002).
Menurut J. Stephen, Page dan Dowling K. Ross (2002) dalam bukunya yang
berjudul “Ecotourism”, ekowisata adalah kegiatan pengusahaan wisata yang
dapat memberikan banyak manfaat, seperti sumber pendanaan bagi kawasan
konservasi, perlindungan kawasan konservasi, alternatif sumber mata pencaharian
masyarakat lokal, pilihan untuk mempromosikan konservasi dan dorongan upaya
konservasi secara khusus (Page & Dowling, 2002). Eco-tourism merupakan
konsep yang berbasis alam dan memiliki lima prinsip eco-tourism yang harus
dipenuhi yaitu:
1. Nature based yang berarti berbasis alam memiliki pengertian yaitu
pengembangan eco-tourism yang berfokus pada lingkungan alam sekitar.
2. Ecologically sustainable yang berarti berkelanjutan secara ekologis
memiliki pengertian yaitu eco-tourism dapat memberikan acuan terhadap
pariwisata secara keseluruhan dan dapat membuat ekologi yang
berkesinambungan.
3. Environmentally educative yang berarti pendidikan lingkungan memiliki
pengertian tentang pengembangan ekowisata harus mengandung unsur
pendidikan atau perilaku seseorang menjadi memiliki kepedulian,
tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan.
4. Locally beneficial yang berarti manfaat bagi masyarakat lokal memiliki
pengertian tentang pengembangan ecotourism harus dapat menciptakan
keuntungan yang nyata bagi masyarakat sekitar. Pengembangan harus
didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta
24
peka dan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan tradisi keagamaan
yang dianut masyarakat di sekitar kawasan.
5. Generates tourist satisfaction yang berarti menghasilkan kepuasan
wisatawan memiliki pengertian tentang pengembangan ekowisata harus
mampu memberikan kepuasan pengalaman kepada pengunjung untuk
memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan. Selama lima prinsip
diatas, dalam penerapan pengembangan ekowisata, juga diharuskan bagi
para pengelola dan pengembang untuk memperhatikan aspek legalitas di
tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, serta mengembangkan
pola kemitraan antar pihak (Page & Dowling, 2002).
Top Related