6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nefropati Diabetik
1. Pengertian Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular pada
diabetes mellitus. Sindrom klinik yang dialami penderita nefropati diabetik
ditandai dengan tingginya ekskresi urin albumin (albuminuria), penurunan laju
filtrasi glomerulus (ADA, 2018). Parameter yang dapat digunakan sebagai
penanda nefropati diabetik adalah kenaikan kadar serum kreatinin
(Hendromartono, 2009) dan kenaikan kadar BUN (Martini et al., 2010).
Secara histologis, tanda dari nefropati diabetik adalah membran basalis
yang menebal, terjadi ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya
menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis
tubulo interstitial (Hendromartono, 2009).
Diagnosis stadium klinis nefropati diabetik secara klasik adalah dengan
ditemukannya proteinuria >0,5 gram/hari. Mengingat bahwa hampir semua
ekskresi protein dalam urin berbentuk albumin, dihubungkan juga dengan
perubahan morfologi membran basal yang terjadi, telah dibuat consensus bahwa
diagnosis klinis nefropati diabetik sudah dapat ditegakkan apabila didapat
makroalbuminuria persisten (albuminuria >300 mg/24 jam atau 200
microgram/menit). Dikatakan persisten/menetap apabila dua dari tiga kali
pemeriksaan yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan memberikan hasil
posistif. Pada pasien diabetes melitus tipe 1 diagnosis lebih dini (stadium awal =
incipient nephropathy) nefropati diabetik ditandai dengan ditemukanya
mikroalbuminuria persisten (albuminuria 30-300 mg/ 24 jam atau 20-200
microgram/menit). Consensus ini diajukan oleh The American Diabetes
Assosiation, 1989 dan sampai saat ini masih digunakan oleh Ad Hoc Committee of
the Council on Diabetes Melitus of the National Kidney Foundation 1995.
Dikerenakan bervariasinya ekskresi albumin, dianjurkan pula memperhitungkan
rasio ekskresi kreatinin dan albumin di dalam urin (Roesli et al., 2001).
7
Definisi tahapan nefropati diabetik pada Diabetes Mellitus tipe 1 dan pada
diabetes melitus tipe 2 berdasarkan Roesli et al. (2001) tercantum dalam tabel
berikut.
Tabel 1. Definisi Nefropati Diabetik Berdasarkan Ekskresi Albumin dalam Urin dan Rasio
Albumin/ Kreatinin
Mikroalbuminuria Albumin/
Kreatinin µg/
menit
Mg/
24 jam
DM tipe 1
- Normal < 10 <15 < 0,001
- Stadium. Awal 20-200 30-300 0,02-0,2
- Nefropati klinis >200 >300 >0,2
DM tipe 2
- Nefropati klinis >200 >300 >0,2
Pemeriksaan albumin disertakan sebagai catatan dalam menegakkan
diagnosis harus steril, non-ketotik, sebaiknya urin pertama pagi hari.
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler diabetes melitus.
Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal
terminal (GGT) yang memerlukan terapi cuci darah atau dilakukan cangkok ginjal
(Roesli et al., 2001).
Komplikasi pada ginjal terjadi akibat progresifitas penyakit diabetes
melitus yang tidak terkontrol. Derajat penyakit ginjal akibat penyakit diabetes
melitus dibagi menjadi 5 (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi nefropati diabetik Derajat Penjelasan
I Hiperfiltrasi Terjadi peningkatan LFG sampai 40% diatas normal disertai
pembesaran ginjal.
II The Silent Stage Terjadi perubahan struktur ginjal tapi LFG masih tinggi.
III Microalbuminuria Merupakan tahap awal nefropati, terjadi mikroalbuminuria
yang nyata. Sudah terjadi penebalan membran basalis, LFG
masih tinggi dan terjadi peningkatan tekanan darah.
IV Macroalbuminuria Terjadi proteinuria yang nyata, tekanan darah yang meningkat
dan LFG yang menurun dari normal.
V Uremia Terjadi gagal ginjal dan menunjukkan tanda-tanda sindroma
uremik sehingga memerlukan terapi pengganti.
(Dikutip dari Lubis, 2006)
2. Epidemiologi
Tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab GGT juga
menjadi masalah di Negara-negara lain. Dewasa ini di Amerika, 35% penderita
GGT yang menjalani cuci darah disebabkan oleh nefropati diabetik. Perbedaan
8
prevalensi dari berbagai Negara ini selain disebabkan oleh kriteria diagnosis yang
berbeda, juga disebabkan karena adanya perbedaan ras, genetik, geografis,
maupun faktor-faktor lain yang belum jelas diketahui (Roesli et al., 2001).
Keadaan ini didiagnosis dengan adanya ekskresi albuminuria secara terus
menerus, estimasi laju filtrasi glomerulus rendah dan kerusakan ginjal. Keadaan
ini akan dijumpai pada 20-40% penderita diabetes melitus terutama pada diabetes
melitus tipe I tetapi akan dijumpai pada diabetes tipe 2. Nefropati diabetik akan
berkembang setelah 10 tahun penderita diabetes. Nefropati diabetik akan
berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir yang membutuhkan dialysis atau
transplantasi ginjal (ADA, 2018)
Mengingat problematika mahalnya pengobatan cuci darah dan cangkok
ginjal, berbagai upaya dilakukan untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetik
sedini mungkin sehingga progresivitasnya menjadi GGT dapat dicegah ataupun
diperlambat (Roesli et al., 2001).
3. Etiologi
Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya pada penderita nefropati
diabetik adalah kadar gula darah yang tidak terkendali (Gula Darah Puasa/GDP)
140-160 mg/ dL), faktor keturunan (genetik), terjadinya kelainan hemodinamik
(tekanan intraglomerulus meningkat, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
meningkat), hipertensi sistemik, sindrom metabolik ( sindrom resistensi insulin),
peradangan, permeabilitas pembuluh darah yang berubah, protein/ lemak/
karbohidrat mengalami kelainan metabolisme, dan hiperlipidemia
(Hendromartono, 2009).
Nefropati diabetik dapat merupakan komplikasi diabetes melitus tipe 1
maupun dari diabetes melitus tipe 2. Meskipun demikian awal timbulnya penyakit
(onset) pada diabetes melitus tipe 1 lebih jelas sehingga perjalanan penyakitnya
dapat dengan mudah diikuti (Roesli et al., 2001).
3.1 Perjalanan penyakit pada DM tipe 1. Perjalanan penyakit nefropati
diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dapat diikuti dengan jelas dan terjadi secara
runtun. Pada penderita diabetes melitus tipe 1, nefropati terjadi pada 35% kasus,
terjadi lebih sering pada laki-laki terutama yang telah menderita diabetes sejak
9
berusia kurang dari 15 tahun. Perjalanan penyakit gangguan ginjal pada
penyandang diabetes melitus tipe 1 dimulai dari tahap gangguan fungsi awal yang
tidak menetap (tahap I) sampai dengan tahap gagal ginjal terminal (tahap V)
sebagai berikut:
Tahap I: Stadium hipertrofi-hiperfungsi. Pada tahap ini laju filtrasi
glomerular (=LFG = GFR = glomerular filtration rate) meningkat hingga
mencapai 40% diatas normal. Peningkatan filtrasi ginjal akan disertai pembesaran
ukuran ginjal (hipertropi). Albuminuria belum timbul secara nyata. Tekanan darah
biasanya normal. Tahap ini masih reversible, berlangsung antara 0 sampai 5 tahun
sejak awal diagnosis diabetes melitus tipe 1 ditegakkan. Dengan pengendalian
glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fungsi maupun struktur anatomi akan
kembali normal.
Tahap II: Tahap “sepi” (silent stage). Meskipun perubahan struktur
anatomi glomerular tetap berlanjut, namun fungsi ginjal tidak memburuk. Pada
pemeriksaan biasanya didapatkan LFG tetap tinggi yaitu 20%-39% di atas normal,
ekskresi albumin tetap normal. Ekskresi albumin akan meningkat setelah latihan
fisik, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Tahap II terjadi
setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes ditegakkan. Kebanyakan penderita tetap
dalam tahap ini selama bertahun-tahun bahkan bisa seumur hidupnya. Hanya
sekitar 4% penderita/tahun yang akan berlanjut ke tahap III. Progresivitas
penyakit biasanya berhubungan dengan memburuknya kendali metabolik. Pada
tahap ini tekanan darah masih relatif normal, hanya 5-10% penderita yang
menunjukkan hipertensi.
Tahap III: Tahap awal nefropati diabetik (incipient diabetic
nephropathy). Tahap ini ditandai dengan meningkatnya ekskresi albumin di urin
(mikroalbuminuria persisten) yang dapat berkisar antara 20-200 µg/menit atau 30-
300 g/24 jam. Terjadi penebalan dan hipertrofi membrane basal. LFG biasanya
masih tetap tinggi. Tekanan darah sudah mulai beranjak naik. Terjadi peningkatan
tekanan darah sebesar 3%/ tahun. Tahap ini dapat terjadi setelah 10-15 tahun
diagnosis diabetes melitus tipe 1 ditegakkan dan menetap selama bertahun-tahun.
10
Dilaporkan juga bahwa pada sebagian kasus, terapi pencegahan, seperti kendali
metabolik yang ketat, terapi antihipertensi dapat mencegah progresivitas penyakit.
Tahap IV: Tahap nefropati diabetik klinik (overt diabetic
nephropathy). Tahap ini secara diagnosis klinik dikenal sebagai nefropati
diabetik. Pada tahap ini terjadi proteinuria yang menetap. Ekskresi protein dalam
urin biasanya >0,5 g/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat pada sebagian
kasus. Terjadi kenaikan tekanan darah sebesar 7%/tahun. LFG didapatkan sudah
mulai menurun, dengan kecepatan penurunan sekitar 12 cc/tahun. Pada tahap ini
biasanya dapat dijumpai pula komplikasi mikro/ makro vascular lain diabetes
seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.
Tahap ini terjadi 15-30 tahun setelah diagnosis diabetes ditegakkan. Penderita
pada tahap ini biasanya akan terus melanjut ke arah gagal ginjal meskipun banyak
penelitian mengatakan apabila tekanan darah dan glukosa darah tetap terkendali
dengan baik, kecepatan berlanjutnya penyakit tersebut dapat diperlambat.
Tahap V: Tahap gagal ginjal terminal (End stage renal failure). Pada
tahap ini LFG sudah demikian rendah sehingga penderita sudah menunjukkan
tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan
cangkok ginjal.
3.2 Perjalanan penyakit pada DM tipe 2. Pada diabetes melitus tipe 2
perjalanan penyakitnya tidak sejelas pada diabetes melitus tipe 1. Hanya sekitar 3
sampai 16% penderita diabetes melitus tipe 2 akan berlanjut menjadi nefropati
diabetik. Perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2 sering terjadi bersamaan
dengan kondisi-kondisi klinis lain yang menyertai. Sehingga pada penderita
semacam ini meskipun menunjukkan gambaran kelainan morfologi yang spesifik,
tetap tidak dapat dipastikan bahwa kelainan tersebut merupakan akibat nefropati
diabetik. Selain itu ada kemungkinan suatu glomerulosklerosis kronik terjadi
bersamaan atau menutupi morfologi spesifik diabetes.
4. Diagnosa
Sebagaimana halnya pada penyakit-penyakit lain. Untuk mendiagnosis
komplikasi nefropati diabetik akibat diabetes melitus tipe 1 atau diabetes melitus
tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang menunjang
11
penyakit dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (nefropati
diabetik).
4.1. Manifestasi Klinis. Sesuai dengan tahap-tahapannya, keluhan dan
gejala pada penderita nefropati diabetik dapat bervariasi dari yang asimtomatik
(tahap I s/d III) sampai dengan gejala uremia yang berat (tahap IV/V). Gejala-
gejala uremia diantaranya dapat berupa lemas, anoreksia, mual, muntah yang
disertai anemia, overhidrasi, asidosis, hipertensi, kejang-kejang sampai koma
uremik. Selain itu penderita nefropati diabetik sering disertai dengan komplikasi
mikro/ makrovaskular lain seperti neuropati, retinopati dan gangguan
serebrovaskular atau gangguan profil lemak (Roesli et al., 2001).
Diabetes melitus tipe 1, lamanya seseorang telah menderita diabetes
berkorelasi sangat erat dengan timbulnya komplikasi nefropati diabetik. Pada
penyandang diabetes melitus tipe 1, lima tahun pertama setelah diagnosis
ditegakkan biasanya merupakan periode laten, yaitu belum ditemukan komplikasi
apapun. Setelah itu, baik komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular mulai
muncul dan mencapai puncaknya setelah 10-15 tahun menderita penyakit
diabetes. Sedangkan pada diabetes melitus tipe 2 hubungan antara timbulnya
komplikasi dengan lamanya diabetes tidak dapat digambarkan dengan jelas.
Seringkali komplikasi ditemukan pada saat diagnosis baru mulai ditegakkan atau
bisa ditemukan pada tahap pre diabetes (Roesli et al., 2001).
4.2. Pemeriksaan Laboratorium.
4.2.1. Kadar glukosa darah. Sebagaimana halnya penyakit diabetes,
kadar glukosa darah akan meningkat. Tetapi perlu diperhatikan bahwa pada tahap
lanjut yaitu bila telah terjadi gagal ginjal kadar glukosa darah bisa normal atau
justru rendah. Hal ini disebabkan karena menurunnya bersihan ginjal terhadap
insulin endogen maupun eksogen.
4.2.2. Proteinuria. Penanda (marker) utama nefropati diabetik
adalah meningkatnya ekskresi protein didalam urin. Sebagian besar protein
diekskresikan dalam bentuk albumin. Terutama pada diabetes melitus tipe 1,
peningkatan ekskresi albumin berkorelasi dengan peningkatan tahap penyakit.
12
Pada keadaan gagal ginjal terminal, dimana fungsi filtrasi membrane basal hilang,
ekskresi albumin dapat menurun kembali.
4.2.3. Profil lipid. Gangguan profil lipid sering terjadi bersamaan
dengan nefropati diabetik. Biasanya berupa peningkatan jumlah kolesterol total,
kolesterol LDL, trigliserida, apoprotein B serta penurunan kolesterol HDL.
Gangguan tersebut berhubungan dengan gangguan terhadap sensitivitas terhadap
insulin (Roesli et al., 2001).
4.3. Diagnosis Dini. Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya
albuminuria pada penderita diabetes melitus, baik tipe I maupun tipe II. Bila
jumlah protein maupun albumin di dalam urin masih cukup rendah, sehingga sulit
untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin biasa, akan tetapi sudah >30
mg/24 jam ataupun >20mg/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini
sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria
ini juga dapat ditentukan dengan rasionya terhadap kreatinin dalam urin yang
diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau kreatinin rasio (ACR) (Sunaryanto,
2010).
Tinggi rendahnya ekskresi albumin atau protein dalam urin akan
menunjukkan tingkat keparahan kerusakan ginjal, sebagaimana terlihat dalam
tabel 3.
Tabel 3. Tingkat kerusakan ginjal
Kategori Urin 24 jam
(mg/ 24 jam)
Urin dalam
waktu tertentu*
(µg/menit)
Urine sewaktu (µg/mg
kreat)
Normal < 30 < 20 < 30
Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299
Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300
Sumber: PERKENI, 2015
Pencegahan progresivitas penyakit kearah gagal ginjal hanya dapat
memberikan hasil yang optimal apabila dilakukan pada tahap-tahap dini nefropati
diabetic. Masalahnya adalah pada tahapan ini belum ditemukan manifestasi klinis
yang cukup jelas.
4.3.1. Mikroalbuminuria. Penanda (marker) paling dini nefropati
ialah terdapat mikroalbuminuria, selain menjadi penanda terjadinya gangguan
basal membrane juga dapat terjadi peramal (predictor) progresivitas penyakit
13
kearah terjadinya nefropati klinis. Bahkan mikroalbumineria juga merupakan
penanda terjadinya gangguan endotel pembuluh darah secara sistemik dan dapat
menjadi peramal kematian akibat komplikasi kardiovaskular yang secara umum
berhubungan dengan gangguan sensitivitas terhadap insulin.
4.3.2. Enzim-enzim tubular. Selain gangguan glomeruli,
belakangan ini ditemukan bahwa terjadi juga gangguan pada tubuli ginjal sebagai
dasar pathogenesis nefropati diabetik. Pada beberapa penelitian terjadinya
peningkatan enzim tubuli serta protein dengan berat molekul kecil yang sudah
dapat ditemukan pada tahap-tahap awal nefropati diabetic, bahkan sebelum
ditemukannya mikroalbuminuria. Berbagai enzim tubuli dan antigen akan
diekskresi oleh sel tubuli sebagai akibat gangguan morfologi maupun fungsi
tubuli. Enzim tubuli yang telah diteliti dan dilaporkan dapat merupakan penanda
kelainan tubuli pada diabetes antara lain n-acetyl-glucosamindase (NAG),
gamma-glutamyl-transferase, dan berbagai jenis proteinseperti α1-microglobulin,
retinol binding protein, transferrin, leucine-aminopeptidase dan alkali fosfatase.
NAG merupakan enzim yang paling sensitive untuk mendeteksi kelainan
tubuli, sedangkan human-intestinal alkaline phosphatase (h-IAP) merupakan
enzim yang selektif menandai segmen S3 tubuli. Penggunaan enzim tubular
sebagai penanda diagnosis dini nefropati diabetik belum digunakan secara luas,
tetapi diperkirakan dikemudian hari akan lebih banyak digunakan sebagai penanda
kelainan tubuli pada diabetes (Roesli et al., 2001).
5. Pencegahan dan Pengobatan
Pengelolaan nefropati diabetik yang harus diutamakan adalah usaha
pencegahan. Usaha pencegahan tersebut dapat berupa usaha untuk mencegah
terjadinya mikroalbuminuria. Usaha mencegah berlanjutnya komplikasi
mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria, atau yang dikenal sebagai nefropati
diabetes klinis (overt) yang dapat terus berlanjut menjadi gagal ginjal terminal.
Rekomendasi yang dianjurkan ialah semua penyandang diabetes melitus 1
berusia >12 tahun yang penyakitnya telah berlangsung selama 1 tahun dan semua
penyandang diabetes melitus tipe 2 sejak dari ditegakkan diagnosis, harus
menjalani pemeriksaan mikroalbumin minimal 1 kali per tahun. Pemeriksaan
14
dilakukan pada urin pagi hari, bila hasilnya posistif, harus dilanjutkan dengan urin
kumpul dalam 12 atau 24 jam. Mikroalbuminuria harus diantisipasi dengan
rendah glukosa darah yang ketat. Pada penderita diabetes melitus tipe 1 sebaiknya
berikan terapi insulin intensif. Pemberian insulin harus dipertimbangkan pada
penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkendali baik dengan obat
hioglikemik oral. Tekanan darah yang dianggap normal adalah <140/90 mmHg
untuk penderita usia 60 tahun dan <160/90 mmHg untuk penderita >60 tahun.
Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah golongan inhibitor-ACE.
Antihipertensi yang dapat mengganggu metabolisme glukosa atau lipid sebaiknya
tidak diberikan. Diuretik yang dapat diberikan adalah golongan loop diuretic. Diet
rendah protein harus dipertimbangkan pada pasien dengan mikroalbuminuria.
Dosis yang disarankan adalah 0,8 – 1 g/kgBB/hari, diutamakan protein hewani.
Bila telah ada nefropati klinis (makro-albuminuria) dosis diturunkan menjadi 0,6
– 0,7 g/kgBB/hari. Bila ada hiperlipidemia harus diterapi, dilarang merokok.
Usaha pencegahan berlanjutnya komplikasi nefropati diabetik yang
dilaporkan memberikan hasil yang positif dengan pengendalian kadar glukosa
darah secara intensif baik secara non farmakologi (pengaturan makan, olahraga,
cara hidup sehat) maupun farmakologi (insulin atau obat antidiabetik oral) dapat
mencegah terjadinya mikroalbuminuria persisten pada 39% kasus. Selain itu juga
dapat menurunkan komplikasi mikroaneurisma sebesar 27%, retinopati 76% dan
nefropati 54%. Pengendalian tekanan darah. Penurunan tekanan darah sampai
batas normal dapat mencegah progresivitas nefropati terutama pada diabetes
melitus tipe 1. Terdapat korelasi yang jelas antara tingginya tekanan darah dan
meningkatnya sekresi albumin. Antihipertensi yang mepunyai efek penurunan
mikroalbuminuria adalah golongan penghambat ACE dan antagonis kalsium.
Golongan beta blocker juga mempunyai efek yang sama tetapi dapat
menimbulkan gangguan metabolisme. Pada penderita nefropati diabetik sebaiknya
tidak diberikan diuretik sebagai monoterapi, karena dapat menimbulkan gangguan
toleransi glukosa.
15
Gambar 1. Step Care Pengobatan Hipertensi Pada Diabetes Melitus (Roesli R et al, 2001)
Diet rendah protein. Ekskresi protein yang berlebihan dapat menimbulkan
percepatan kerusakan membrane basal. Oleh karena itu diet rendah protein dapat
memperbaiki kerusakan glomeruli. Asupan protein dibatasi hanya 0,6-0,8
kgBB/hari dan asupan garam 3-6 g/hari.
Apabila pasien sudah memasuki tahap gagal ginjal biasanya akan terus
berlanjut menjadi gagal ginjal terminal (GGT). Bila terapi konservatif tidak dapat
lagi mencegah peningkatan uremia, maka harus dilakukan Terapi Ginjal
Pengganti (TGP) yang dapat berupa: Cuci darah (dialysis). Seperti Hemodialysis
dan Continous Ambulatory Peritonela Dialysis (CAPD). Cangkok (transplantasi)
ginjal. Pemilihan jenis TGP sangat individual, selain indikasi medis juga
tergantung pada fasilitas dan biaya (Roesli R et al., 2001).
B. Farmakoekonomi
1. Definisi Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah deskripsi dan analisis biaya terapi pada
masyarakat atau sistem pelayanan kesehatan. Farmakoekonomi mengidentifikasi,
mengukur dan membandingkan biaya dan konsekuensi dari produk dan pelayanan
farmasi (Andayani, 2013).
16
Tujuan dari farmakoekonomi diantaranya membandingkan obat yang
berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu dapat
membandingkan pengobatan (Treatment) yang berbeda untuk kondisi yang
berbeda. Prinsip farmakoekonomi adalah menetapkan masalah, identifikasi,
alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga
dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari
intervensi alternatif, menilai biaya dan efektivitas, dan selanjutnya adalah
interpretasi dan pengambilan kesimpulan (Walley et al., 2004).
2. Tipe Studi Farmakoekonomi
2.1 Cos-Minimization Analysis (CMA). Merupakan tipe analisis yang
menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang
diperoleh sama (Walley et al., 2004). Kelebihan CMA yaitu analisis yang
sederhana karena outcome diasumsikan sama, sehingga hanya biaya dari
intervensi yang dibandingkan. Kekurangannya intervensi yang bisa dianalisis
terbatas dan tidak bisa digunakan jika outcome dari intervensi tidak sama
(Andayani, 2013).
2.2 Cost-Effectivenrs Analysis (CEA). Dari studi farmakoekonomi, CEA
merupakan bentuk analisis ekonomi yang komprehensif, dengan mendefinisikan,
menilai dan membandingkan sumber daya yang digunakan (input) dengan
konsekuensi dari pelayanan (output) antara dua atau lebih alternatif. CEA
memberikan pendekatan untuk mengevaluasi nilai moneter dari suatu outcome
klinik. Biaya umumnya dihitung dalam rupiah yang dikeluarkan, sedangkan
efektivitas ditentukan independen dan dapat diukur hanya dari segi klinis,
menggunkan unit klinis yang berarti (Andayani, 2013).
CEA penting dalam memutuskan perspektif yang akan digunakan, apakah
perspektif pasien, badan asuransi maupun rumah sakit. Perspektif ini akan
mempengharui sumber daya yang akan digunakan maka hanya sedikit yang
mencerminkn biaya total, karena badan asusransi hanya dominan terhadap
beberapa biaya saja tidak secara keseluruhan (Bootman et al, 2005).
2.3 Cost-Utility Analysis (CUA). Merupakan teknik ekonomi untuk
menilai efisiensi dari intervensi pelayanan kesehatan. Untuk mengukur
17
konsekuensi kesehatan digunakan utility yang merupakan nilai pada tingkat status
kesehatan. Outcome dinilai menggunakan pengukuran khusus yaitu Quality-
Adjusted Life Year (QALY) menggabungkan kualitas (morbiditas) dan kuantitas
(mortalitas) hidup (Andayani, 2013).
2.4 Cost-Benefit Analysis (CBA). Merupakan metode analisis khusus
karena membandingkan biaya dan keluaran dalam unit mata uang. CBA
digunakan untuk membandingkan dua alternatif yang mempunyai tipe outcome
yang berbeda, tetapi memiliki kesulitan dalam menilai outcome kesehatan dalam
nilai mata uang (Andayani, 2013). Cost-benefit ini adalah perangkat ekonomi
yang digunakan untuk menentukan keinginan atau preferensi dari dua jenis pilihan
obat (Walley et al, 2004).
2.5 Cost of Ilness (COI). Merupakan salah satu metode evaluasi ekonomi
yang paling awal di sektor pelayanan kesehatan, dengan tujuan utama digunakan
untuk mengevaluasi beban ekonomi dari suatu penyakit pada masyarakat, meliputi
seluruh sumber daya pelayanan kesehatan yang dikonsumsi. Studi COI dapat
menggambarkan penyakit mana yang membutuhkan peningkatan alokasi sumber
daya untuk pencegahan atau terapi, tetapi mempunyai keterbatasan dalam
menjelaskan bagaimana sumber daya dialokasikan karena tidak dilakukan
pengukuran benefit. Selain itu dalam studi ini juga dikembangkan berbagai
metode yang dapat membatasi perbandingkan dari hasil studi. Studi dapat
bervariasi sudut pandang, sumber data yang digunakan, kriteria biaya tidak
langsung, dan kerangka waktu untuk menghitung biaya (Andayani, 2013).
3. Biaya
Biaya (cost) adalah pengorbanan ekonomis yang dilakukan untuk
mencapai tujuan organisasi. Untuk suatu produk, biaya menunjukan ukuran
moneter sumber daya yang digunakan, sebagai bahan, tenaga kerja dan overhead.
Untuk suatu jasa, biaya merupakan pengorbanan moneter yang dilakukan untuk
menyediakan jasa (Wilson & Rascati, 2001).
Biaya dapat diperkirakan ketika mempertimbangkan biaya-biaya dari
setiap intervensi. Biaya yang dipilih untuk diperkirakan tergantung perspektif
18
yang digunakan dari jenis studinya. Beberapa jenis biaya yang penting dalam
analisis biaya (cost analysis) yaitu:
3.1 Direct medical cost atau biaya medis langsung. Biaya ini adalah biaya
yang langsung dibayar untuk pelayanan kesehatan, meliputi biaya staf, modal, dan
biaya perolehan obat.
3.2 Direct non-medical cost atau biaya langsung non medis yaitu biaya
yang terkait dengan perawatan, namun tidak bersifat medis, misalnya biaya
perjalanan pulang dan pergi ke dokter atau rumah sakit, perawatan pasien, makan
dan penginapan untuk pasien dan keluarganya selama perawatan di luar kota.
3.3 Indirect cost atau biaya tidak langsung, merupakan biaya-biaya yang
dialami oleh pasien atau keluarga, teman-teman, atau masyarakat, contohnya
hilangnya pendapatan atau produktifitas. Biaya ini sulit untuk diperkirakan tetapi
seharusnya mendapat perhatian secara keseluruhan dari masyarakat.
3.4 Intangible cost atau biaya tak terukur yaitu biaya yang tidak dapat
diraba seperti nyeri, khawatir, atau kesukaran pasien maupun keluarganya. Biaya
ini merupakan hal yang mustahil diperkirakan untuk sistem moneter dan evaluasi
ekonomi. Meskipun demikian ini merupakan hal yang harus diperhatikan oleh
dokter dan pasien.
C. Analisis Biaya
Analisis biaya merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
total penggunaan biaya baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung seperti
biaya obat-obatan, biaya non obat dan biaya terapi. Analisis biaya menunjukkan
total biaya yang dikeluarkan dari terapi yang dijalani. Metode yang digunakan
dalam analisis biaya adalah real cost dengan konsep biaya langsung dan biaya
tidak langsung (Kumar dan Baldi, 2013)
Tujuan dilakukannya analisis biaya adalah mendapatkan gambaran
mengenai unit/bagian yang merupakan pusat biaya (cost center) serta pusat
pendapatan (revenue center), mendapatkan gambaran biaya pada tiap unit
tersebut, baik biaya tetap (fixed cost) atau biaya investasi yang disetahunkan
maupun biaya tidak tetap (variable cost) atau biaya operasional dan pemeliharaan,
19
mendapatkan gambaran biaya satuan pelayanan di sarana pelayanan kesehatan
mendapatkan gambaran tariff dengan menggunaakan Break Even Point,
mendapatkan gambaran dan peramalan pendapatan sarana pelayanan kesehatan
(Sulistyorini & Moediarso, 2012).
Manfaat dari dilakukannya analisis biaya yaitu, Pricing informasi biaya
satuan sangat penting dalam penentuan kebijaksanaan tarif rumah sakit. Dengan
diketahuinya biaya satuan (unit cost) dapat diketahui apakah tarif sekarang
merugi, break event, atau menguntungkan. Dan juga dapat diketahui berapa besar
subsidi yang dapat diberikan pada unit pelayanan tersebut misalnya subsidi pada
pelayanan kelas III rumah sakit, Budgeting planning informasi jumlah biaya (total
cost) dari suatu unit produksi dan biaya satuan (unit cost) dari tiap-tiap output
rumah sakit, sangat penting untuk alokasi anggaran dan untuk perencanaan
anggaran, Budgetary control hasil analisis biaya dapat dimanfaatkan untuk
memonitor dan mengendalikan kegiatan operasional rumah sakit. Misalnya
mengidentifikasi pusat-pusat biaya yang strategis dalam upaya efisiensi rumah
sakit, evaluasi dan pertanggung jawaban analisis biaya bermanfaat untuk menilai
performance keuangan rumah sakit secara keseluruhan, sekaligus sebagai
pertanggungan jawaban kepada pihak-pihak berkepentingan (Sulistyorini &
Moediarso, 2012).
Analisis biaya rumah sakit menggambarkan sebuah proses yang tersusun
secara dinamis yang memberikan informasi tentang jumlah biaya dan
penyebarannya pada tiap unit di rumah sakit serta perhitungan biaya satuan
produk layanan dalam rumah sakit. Langkah awal yang dilakukan dalam analisis
biaya kesehatan adalah menggolongkan jenis biaya yang ditanggung oleh pasien
seperti biaya langsung (direct cost), biaya tidak langsung (indirect cost) dan biaya
yang tidak dapat diprediksi (intangible cost) (Kumar dan Baldi, 2013).
D. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah jaminan berupa
perlindungan kesehatan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh
manfaat pada segi pemeliharaan dan pelayanan kesehatan yang dikelola dan
20
diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosisal) yang
merupakan badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (Khariza, 2015).
Tujuan adanya program JKN ialah pemerataan dan penyediaan pelayanan
kesehatan yang bias diakses oleh semua lapisan masyarakat khususnya bagi
masyarakat miskin dan kurang mampu, sehingga dengan adanya program JKN
dapat mewujudkan masyarakat yang sehat (Khariza, 2015).
Pemerintah bertanggungjawab terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan
perorangan (Kemenkes, 2018). Pada tahun 2004 telah dikeluarkan Undang-
Undang No.40 tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
menyatakan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh masyarakat, ditujukan untuk
memberikan manfaat berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif dan dapat
memenuhi kebutuhan medik yang diperlukan untuk memelihara, memulihkan dan
meningkatkan kesehatan peserta dan anggota keluarganya (Kemenkes, 2018).
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Dimana prinsip asuransi
sosial meliputi kegotongroyongan antar peserta kaya dan miskin, sehat dan sakit,
tua dan muda, serta yang beresiko tinggi dan rendah. Kepersertaan bersifat wajib
dan tidak selektif. Iuran berdasarkan presentasi upah/penghasilan untuk pekerja
yang menerima upah atau suatu jumlah nominal tertentu pekerja yang tidak
menerima upah. Dikelola dengan prinsip nirlaba, yaitu pengelolaan dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta dan setiap surplus akan disimpan
sebagai dana cadangan yang digunakan untuk peningkatan manfaat dan kualitas
layanan (Depkes, 2014).
Prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medis yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah
dibayarkan. Prinsip ini diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar persentase
tertentu dari upah bagi yang memiliki penghasilan dan pemerintah membayarkan
iuran bagi yang kurang mampu. Kepersertaan wajib berlaku pula bagi pekerja
asing yang bekerja sekurang-kurangnya enam bulan di Indonesia (Depkes, 2014).
21
E. INA-CBG’s (Indonesian Case Based Group)
Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola
pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah dengan INA-
CBG’s sesuai dengan peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 64
tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan menteri kesehatan nomor 52 tahun
2016 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program
jaminan kesehatan (Permenkes RI, 2016). INA-CBG’s (Indonesian Case Based
Group) adalah sistem pengelompokan penyakit pasien berdasarkan ciri klinis dan
sumber daya yang digunakan dalam pengobatan sama. Tujuan dari
pengelompokan ini adalah sebagai pembiayaan kesehatan dalam penyelenggaraan
jaminan kesehatan nasional sebagai pola pembayaran prospektif (Kemenkes,
2014).
Sesuai dengan Permenkes no 28 tahun 2014 mengenai Pedoman
Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS Kesehatan selaku
penyelenggara jaminan, menggunakan 2 sistem pembayaran penyakit untuk
membiayai kesehatan peserta, yaitu dengan sistem Kapitasi dan INA-CBG’s.
Sistem kapitasi adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan
dimana Pemberi Pelayanan Kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima
sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu (bulanan), untuk
pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu yang berlaku untuk Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Dokter umum praktek mandiri,
Puskesmas, dan Klinik utama yang bekerjasama dengan BPJS. Sementara untuk
FKRTL, seperti Rumah Sakit, digunakan sistem pembiayaan berdasarkan INA-
CBG’s, suatu sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan penyakit
yang diderita pasien. Dalam sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Nefropati
diabetik termasuk dalam penyakit kronis yang mendapat jaminan dan pelayanan
berobat secara gratis bagi peserta baik di tingkat Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
Penerapan INA-CBG’s mengatur layanan kesehatan menjadi kelompok-kelompok
yang memiliki arti yang sama. Selain itu, setiap pasien dirawat di rumah sakit
22
diklasifikasikan ke dalam kelompok dengan biaya pemeliharaan yang relatif
rendah serta gejala klinis yang sama (PermenKes, 2016).
Konsep INA-CBG’s sebelumnya dikenal dengan nama INA-DRG
(Indonesia Diagnosis Related Group) diterapkan di Indonesia sejak tahun 2006
menggunakan sistem casemix, kemudian diganti menjadi INA-CBG’s pada tahun
2010 dengan melakukan perubahan penggunaan software grouper dari 3M
grouper ke grouper dari United University (UNU Casemix Grouper). Sejak
diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia, telah terjadi empat kali
perubahan besaran tarif yaitu tarif INA-DRG tahun 2008, tarif INA-CBG’s tahun
2013, tarif INA-CBG’s 2014 dan tarif INA-CBG’s 2016 (PermenKes, 2016).
Tarif INA-CBG’s merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen
sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun
non medis. Perhitungan tarif INA-CBG’s berbasis pada data costing dan data
koding rumah sakit. Data costing merupakan data biaya yang dikeluarkan oleh
rumah sakit baik operasional maupun investasi, yang didapatkan dari rumah sakit
terpilih yang menjadi representasi rumah sakit. Sedangkan data koding diperoleh
dari data klaim JKN. Tarif INA-CBG’s dikelompokkan ke dalam tujuh kluster
rumah sakit yang terdiri dari tarif RS tipe A, tipe B, tipe C, tipe D, RS Khusus
Rujukan Nasional dan RS Umum Rujukan Nasional (Kemenkes RI, 2014).
Perhitungan tarif INA-CBG’s untuk penyusunan tarif JKN berdasarkan pada data
costing 137 rumah sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta data koding (kasus) di
rumah sakit (PermenKes, 2016).
Tarif INA-CBG’s memiliki 1.079 kelompok tarif yang terdiri dari 789
kode grup rawat inap dan 288 kode grup rawat jalan. Pengelompokan INA-CBG’s
didasari acuan ICD-10 (Internasional Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problem) untuk diagnosis dan ICD-9-CM (Internasional
Classification of Diseases Revision Clinical Modification) untuk tindakan atau
prosedur (Kemenkes, 2014). Koding sangat menentukan dalam sistem
pembiayaan prospektif yang akan menentukan besarnya biaya yang dibayarkan ke
rumah sakit setiap kelompok kode INA-CBG’s dilambangkan dengan kode
kombinasi alphabet dan numeric. Kode INA-CBG’s dan deskripsinya tidak selalu
23
menggambarkan diagnosis tunggal, tetapi bisa merupakan hasil satu diagnosis
ataupun kumpulan diagnosis dan prosedur (Depkes, 2016 a).
Penentuan koding INA-CBG’s ditentukan oleh diagnosis yang dilakukan
dokter yang tercantum dalam rekam medis, selanjutnya dirangkum sehingga
menjadi diagnosis utama dan diagnosis sekunder. Diagnosis utama ialah diagnosis
akhir yang dipilih dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling
banyak menggunakan sumber data atau hari perawatan paling lama. Sedangkan
diagnosis sekunder adalah diagnosis yang menyertai diagnosis utama pada saat
pasien masuk rumah sakit atau yang terjadi selama episode perawatan. Diagnosis
sekunder merupakan komorbid maupun komplikasi (Kemenkes, 2014).
Kegiatan grouping tarif berdasarkan data yang berasal dari resume medis
yang dilakukan menggunakan software INA-CBG’s yang sudah terinstal di rumah
sakit yang melayani peserta JKN. Rumah sakit harus memiliki kode registrasi
yang dikeluarkan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Upaya
Kesehatan, kemudian akan dilakukan aktifasi software INA-CBG’s setiap rumah
sakit sesuai dengan kelas rumah sakit serta regionalisasi.
Proses entri data pasien ke dalam aplikasi INA-CBG’s dilakukan oleh
petugas koder setelah pasien selesai mendapat pelayanan di rumah sakit dengan
menggunakan data resume medis yang berisi informasi klinis (kode ICD-10 dan
ICD-9CM), harus dilengkapi juga data sosial pasien selanjutnya dilakukan
grouping oleh software INA-CBG’s. Selanjutnya akan muncul kode INA-CBG’s
yang akan digunakan untuk melakukan klaim tariff atas pelayanan yang telah
diberikan pada pasien.
Regional tarif INA-CBG’s dikelompokkan menjadi 5 regional yang
bertujuan untuk mengakomodir perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan
di Indonesia. Dasar penentuan regionalisasi menggunakan Indeks Harga
Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS. Kesepakatan mengenai
pembagian regional dilaksanakanoleh BPJS Kesehatan dengan Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) (Depkes RI, 2016b).
24
Tabel 4. Daftar regionalisasi tarif INA-CBG’s
I II III IV V
Banten Sumatra Barat NAD Kal. Selatan NTT
DKI Jakarta Riau Sumatra Utara Kal. Tengah Maluku
Jawa Barat Sumatra Selatan Jambi Maluku Utara
Jawa Tengah Lampung Bengkulu Papua
DI Yogyakarta Bali Bangka Belitung Papua Barat
Jawa Timur NTB Kepulauan Riau
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
(Menkes RI, 2016)
Rumah Sakit Umum Daerah Ir. Soekarno Sukoharjo merupakan rumah
sakit tipe B pemerintah yang masuk dalam regional 1. Tarif INA-CBG’s untuk
penyakit nefropati diabetik yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
Indonesia pada tahun 2016 berdasarkan regional 1 rumah sakit kelas B pemerintah
dengan kode INA-CBG’s N-4-15-I sebesar Rp.2.930.400, N-4-15-II sebesar
Rp.3.748.500 dan N-4-15-III sebesar Rp.4.277.700 masing-masing tarif
diperuntukkan untuk pasien nefropati diabetik kelas 3, N-4-15-I sebesar
Rp.3.516.500, N-4-15-II sebesar Rp.4.498.300 dan N-4-15-III sebesar
Rp.5.133.300 untuk kelas 2 dan N-4-15-I sebesar Rp.4.102.500, N-4-15-II sebesar
Rp.5.248.000 dan N-4-15-III sebesar Rp.5.988.800 untuk kelas 1 (Permenkes RI,
2016).
F. Landasan Teori
Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular pada
diabetes melitus. Sindrom klinik yang dialami penderita nefropati diabetik
ditandai dengan laju filtrasi glomerulus, penurunan yang progresif dan tekanan
darah arteri yang meningkat (ADA, 2018). Parameter yang dapat digunakan
sebagai penanda nefropati diabetik adalah kenaikan kadar serum kreatinin
(Hendromartono, 2009) dan kenaikan kadar BUN (Martini et al., 2010). Secara
histologis, tanda dari nefropati diabetik adalah membran basalis yang menebal,
terjadi ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan
25
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo
interstitial (Hendromartono, 2009).
Diagnosis stadium klinis nefropati diabetik secara klasik adalah dengan
ditemukannya proteinuria >0,5 gram/hari. Diagnosis klinis nefropati diabetik
sudah dapat ditegakkan apabila didapat makroalbuminuria persisten (albuminuria
>300 mg/24 jam atau 200 microgram/menit). Dikatakan persisten/menetap apabila
dua dari tiga kali pemeriksaan yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan
memberikan hasil posistif (Roesli et al., 2001). Hasil diagnosis tersebut yang akan
digunakan untuk menentukan pengelompokan diagnosa penyakit yang selanjutnya
akan dilakukan grouping untuk menentukan apakah pasien masuk dalam daftar
paket INA-CBG’s dengan kode N-4-15-I/II/III (Depkes RI, 2016b).
Berdasarkan penelitian Sari (2014) menunjukkan bahwa nilai rata-rata
biaya rumah sakit untuk perawatan pasien diabetes melitus dengan tingkat
keparahan II dan III lebih besar dari tarif INA-CBG’s. Untuk biaya obat/ barang
medik menempati posisi teratas dari biaya total pengobatan pasien diabetes
mellitus dengan tingkat keparahan II sebesar 32,38% dan tingkat keparahan III
sebesar 41,76%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
Riewpalboon et al., (2007), dimana biaya obat dan jasa kefarmasian memiliki
persentase sebesar 45% dari total biaya pengobatan. Hal ini terjadi karena
semakin tinggi tingkat keparahan, maka obat yang digunakan akan semakin
banyak tergantung dari banyaknya komorbid yang diderita pasien. Semakin tinggi
tingkat keparahan, maka biaya obat yang dikeluarkan akan semakin meningkat.
Biaya yang digunakan untuk pemeriksaan patologi klinik pada penelitian
Sari (2014) berada pada posisi kedua setelah biaya obat/ barang medik dengan
tingkat keparahan II dan III masing-masing sebesar 23,17% dan 20,85%.
Sedangkan pada penelitian Riewpalboon et al., (2007) menempati urutan ketiga
dari komponen biaya total pasien diabetes di rumah sakit yaitu sebesar 11%.
Besarnya biaya pemeriksaan ini disebabkan karena adanya pemeriksaan serum
kreatinin, BUN/ureum, kadar ion (Na+, K
+, Cl
-) yang sering dilakukan pada pasien
diabetes melitus dengan tingkat keparahan II dan III. Hal ini berkaitan dengan
komplikasi yang dialami yaitu nefropati diabetik, dimana terjadi penurunan dan
26
kerusakan dari fungsi ginjal sehingga terjadi peningkatan dari kadar serum
kreatinin, BUN (Blood Urea Nitrogen)/ureum dalam darah serta terjadi
ketidakseimbangan kadar elektrolit dalam darah sehingga akan berpengaruh
terhadap besarnya biaya yang digunakan untuk pasien nefropati diabetik (Sari,
2014).
Berdasarkan hasil penelitian Fitri (2015) menunjukkan bahwa faktor
komplikasi dan lama rawat inap menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap
biaya riil pasien diabetes melitus, terdapat perbedaan antara biaya riil dengan tarif
INA-CBGs pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan total biaya riil lebih besar
dibandingkan total tarif paket INA-CBGs. Komplikasi yang dialami pasien
diabetes melitus tipe 2 rawat inap diantaranya nefropati diabetik, neuropati,
multiple complication diabetic dan gangren/ ulcer dengan rata-rata lama rawat
inap lebih dari 10 hari. Tingginya prevalensi dan timbulnya komplikasi pada
penderita diabetes melitus sebagai penyakit tidak menular kronis yang
menimbulkan beban ekonomi yang sangat signifikan bagi pembiayaan kesehatan.
Biaya kesehatan dan pertambahan beban penyakit diabetes mellitus dengan
keparahan komplikasi kronis terutama nefropati diabetik yang terus meningkat
menimbulkan dampak negatif jangka panjang yang cukup besar bagi
pembangunan kesehatan dan pertumbuhan ekononomi nasional. Beban ekonomi
penyakit tersebut menjadi perhatian dari pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Secara umum pengeluaran kesehatan untuk diabetes mencapai $ 471
milyar atau setara dengan 11,7% dari total pengeluaran kesehatan (ADA, 2018).
Hasil studi finkelstein et al., (2014) memperkirakan ditahun 2020 diabetes melitus
akan meningkatkan beban ekonomi Indonesia mencapai lebih dari $ 1,27 milyar.
Analisis biaya rumah sakit menggambarkan suatu proses yang tersusun
secara dinamis, memberi informasi terkait jumlah biaya dan penyebarannya pada
tiap unit di rumah sakit serta perhitungan biaya suatu layanan medik dalam rumah
sakit. Langkah pertama yang dapat dilakukan ialah dengan menggolongkan jenis
biaya yang ditanggung oleh pasien diantaranya biaya langsung (direct cost), biaya
tidak langsung (indirect cost), dan biaya yang tidak dapat diprediksi (intangible
cost) (Kumar dan Baldi, 2013). Komponen biaya yang akan diukur adalah biaya
27
langsung (direct cost) yaitu biaya langsung medis (direct medical cost) dan biaya
langsung non medis (direct nonmedical cost).
Pembiayaan kesehatan merupakan bagian terpenting dalam implementasi
jaminan kesehatan nasional yang telah diatur pola pembayarannya kepada fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan dengan paket INA-CBG’s. Tarif paket INA-CBG’s
adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan
rujukan tingkat lanjutan atas paket layanan yang didasarkan pada penggolongan
diagnosis suatu penyakit dan prosedur tindakan (Depkes RI, 2016a). Dari
pengelompokan diagnosis dan prosedur yang telah dilakukan oleh pasien, maka
untuk penyakit nefropati diabetik dilakukan grouping untuk mengetahui jenis
tingkat keparahan apakah pasien termasuk dalam pasien dengan kode INA-CBG’s
N-4-15-I, N-4-15-II atau N-4-15-III. Hasil grouping ini yang menentukan pasien
mendapatkan biaya paket INA-CBG’s. Dasar pengelompokan dalam INA-CBG’s
menggunakan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan atau
prosedur (Depkes RI, 2016b).
INA-CBG’s merupakan pola pembayaran yang digunakan oleh BPJS
Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang dijelaskan pada
kemiripan diagnosis dan prosedur, sehingga dengan sistem tersebut dapat dicapai
upaya kesehatan yang lebih efektif dalam meningkatkan sumber daya kesehatan.
Biaya paket INA-CBG’s dengan biaya riil sering menimbulkan selisih, hal ini
menjadi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program BPJS. Berdasarkan
pengamatan terhadap klaim pelayanan pasien peserta JKN, besaran klaim yang
menggunakan paket INA-CBG’s berbeda dengan biaya riil yang dikeluarkan oleh
pihak rumah sakit, lebih besar biaya riil dibandingkan dengan paket INA-CBG’s
(Sari, 2014).
28
G. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis
1. Terdapat perbedaan antara biaya riil dengan tarif INA-CBG’s pada terapi
pasien nefropati diabetik rawat inap di RSUD Ir.Soekarno Sukoharjo tahun
2018.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biaya riil dengan tarif INA-CBG’s
pada terapi pasien nefropati diabetik rawat inap di RSUD Ir.Soekarno
Sukoharjo diantaranya umur, lama rawat inap dan kelas perawatan.
Pasien JKN Nefropati Diabetik
- Diagnosa primer
- Diagnosa sekunder
- Prosedur
- Umur
- LOS (Length of Stay)
- Kelas perawatan
Biaya medis langsung:
- IGD
- Biaya rawat inap
- Biaya tindakan medis
- Biaya pemeriksaan penunjang
- Obat/ barang medik
- Biaya lain-lain
Jenis (grouping)
tingkat keparahan
Biaya paket
INA-CBG’s Biaya riil
Top Related