5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Budiawan, Lucky, dkk. (2014), melakukan penelitian untuk
mengetahui karakteristik dari briket bio arang dengan
menggunakan bahan campuran antara kulit kopi dan serbuk
kayu dimana proses pengarangan yang digunakan adalah
pyrolisis. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan karakteristik
dari bioarang campuran kulit kopi dan serbuk gergaji dengan
rancangan percobaan berupa RAL (Rancangan Acap Lengkap)
non faktorial dengan 3 level 30%, 50% dan 70% kulit kopi. Hasil
terbaik diperoleh pada perlakuan konsentrasi kulit kopi 30%
dengan karakteristik, nilai kalor 4.923,9 Kkal/kg, kadar air
6,275%, karbon terikat 43,185%, kadar abu 32,82%, volatile
mass 17,7%, dan kuat tekan 0,101 kg/cm2.
Djafar, Zuryati (2008), penelitian yang dilakukan memiliki
tujuan yaitu untuk menghitung jumlah kalor yang dikandung
briket kulit kopi, mengetahui pengaruh kanji dan tanah lempung
pada suhu pembakaran dan kepadatan briket serta
mengevaluasi kualitas briket kulit kopi dari hasil pengukuran
suhu dan uji fisik. Pada penelitian ini dibuat briket kulit kopi
silinder berongga dengan variasi komposisi arang kulit kopi,
kanji dan tanah lempung (100:3:5, 100:3:5, 100:7:3, 100:15:3,
100:15:5). Setiap komposisi mempunyai 3 variasi kuat tekan
yang berbeda [A:(9800, 14700, 19600) N/m2; B:(19600, 39200,
58800) N/m2; C:(39200, 49000, 58800) N/m2; D:(68600, 14700,
29400) N/m2; E:(9800, 14700, 19600) N/m2]. Pengujian ini
menggunakan metode eksperimen yaitu: pengukuran suhu,
pengujian kuat tekan, pengukuran massa dan volume. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa besar kuat tekan mengurangi
ukuran volume masa bakar briket kulit kopi berlangsung lama.
Sudarsono, Putri Eka dan Idaa W. (2010), penelitian yang
dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi dan
6
karakteristik eco-briquette yang paling baik. Variabel yang
digunakan berupa metode dalam proses pembriketan dan
komposisi briket. Hasil penelitian menunjukkan briket K1 (32%
plastik LDPE, 48% lumpur karbonisasi dan 20% kulit kopi
karbonisasi) memiliki nilai kalor 5.416,28 kal/g. hasil uji emisi
menunjukkan emisi eco-briquette K1 lebih rendah dari
komposisi lain. Biaya yang diperlukan dalam pembuatan eco-
briquette briket K1 adalah Rp 3.226,45/kg.
2.2 Tanaman Kopi
Kopi merupakan salah satu hasil perkebunan di Indonesia
yang sudah lama dibudidayakan. Namun pada dasarnya,
tanaman kopi bukan tanaman yang asli Indonesia. Tanaman
kopi berasal dari benua Afrika yang konon di bawa pada
pertengahan abad XV dan masuk ke Indonesia pada tahun
1696 yang waktu itu masih dalam taraf percobaan. Setelah
masa taraf percobaan selesai, ternyata hasil dari penanaman
tersebut berlangsung dengan baik dan dapat dikatakan berhasil.
Kemudian, hasil-hasil tersebut diserahkan kepada VOC dengan
penyerahan secara paksa. Lalu, setelah dilakukan penanaman
berulang kali, dapat diketahui hasil panen tanaman kopi
meningkat, sehingga perluasan tanaman terus ditingkatkan,
terutama di pulau Jawa. Sehingga penanaman kopi tersebut
dilakukan dengan adanya sistem “Cultrstelsel” yang digunakan
oleh para penjajah.
Ahli tumbuh-tumbuhan (botanis), Linnaeus, menjelaskan
taksonomi secara lengkap berikut ini (Rahardjo, 2012):
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan penghasil biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (Tumbuhan berkeping
dua/dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
7
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian)
Genus : Coffea
Spesies : Coffea sp.
Tanaman kopi termasuk dalam genus Coffea dengan
famili Rubiaceae. Famili tersebut memiliki banyak genus, yaitu
Gardenia, Ixora, Cinchona, dan Rubia. Genus Coffea mencakup
hampir 70 spesies, tetapi hanya ada dua spesies yang ditanam
dalam skala luas di seluruh dunia, yaitu kopi arabika (Coffea
arabica) dan kopi robusta (Coffea canephora var. robusta).
Sementara itu, sekitar 2% dari total produksi dunia dari dua
spesies kopi lainnya, yaitu kopi liberika (Coffea liberica) dan kopi
ekselsa (Coffea excelsa) yang ditanam dalam skala terbatas,
terutama di Afrika Barat dan Asia (Rahardjo, 2012). Buah kopi
memiliki bagian-bagian yaitu lapisan kulit luar (exocarp), daging
buah (mesocarp), kulit tanduk (parchment), dan biji
(endosperm). Kulit buah kopi sangat tipis dan mengandung
klorofil serta zat-zat warna yang dapat dilihat dari kulit luar kopi
yang bermacam-macam, yaitu merah, kuning, hijau dan hitam.
Menurut Widyotomo (2013), buah kopi atau sering disebut juga
sebagai kopi gelondong basah hasil panen memiliki kadar air
antara 60-65%, dan biji kopi masih terlindungi oleh kulit buah,
daging buah, lapisan lendir, kulit tanduk dan kulit ari. Berikut
adalah gambar dari anatomi buah kopi.
Gambar 2.1 Anatomi Buah Kopi
(Widyotomo, 2013)
8
Tanaman kopi di Indonesia dapat tumbuh pada ketinggian
di atas 700 mdpl. Curah hujan yang sesuai ialah 1500 hingga
2500 m per tahun. Menurut Aak (1988), tanaman kopi
menghendaki tanah yang lapisan atasnya dalam, gembur,
subur, banyak mengandung humus dan permeable, atau
dengan kata lain tekstur tanah harus baik. Kondisi tanah yang
buruk akan mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman kopi
tersebut. Akar pada tanaman kopi mempunyai kebutuhan
oxygen yang tinggi. Tanaman kopi menginginkan tanah dengan
kondisi kisaran pH yaitu antara 5 ½ - 6 ½.
Menurut Rahardjo (2012), pembudidayaan kopi dimulai
dengan kegiatan awal yaitu pembibitan. Dalam suatu
pembibitan kopi, hal-hal yang harus diperhatikan ialah
penentuan lokasi dan tempat pembibitan, wadah dan media
tumbuh, pemindahan kecambah ke tempat pembibitan, dan
pemeliharaan bibit. Pada pemeliharaan bibit dilakukan kegiatan
penyiraman rutin yaitu 2 kali dalam sehari yaitu pada pagi hari
dan sore hari, kemudian kegiatan pemupukan, pengendalian
hama dan penyakit, dan yang terakhir ialah penyiangan gulma.
2.3 Briket
Briket adalah bahan bakar alternatif yang digunakan
sebagai proses pembakaran. Biasanya briket dibuat dari bahan-
bahan limbah pertanian yang pemanfaatannya masih belum
optimal. Briket ini berupa sebuah blok padatan yang dapat
mempertahankan nyala api apabila dibakar. Briket merupakan
bahan yang mampu menyuplai energi dalam jangka panjang.
Briket dapat menggantikan kayu bakar yang sudah meningkat
nilai konsumsinya. Kayu bakar sangat berpotensi merusak
ekologi hutan dan isinya. Briket memiliki kelebihan dan
kelemahan. Kelebihan daripada briket ialah aman dalam
penggunaan dan dapat menghemat bahan bakar, praktis dan
mudah dibuat. Sedangkan kelemahan yang terdapat pada briket
9
ialah berasap sehingga lebih baik penggunaan dilakukan di
ruangan terbuka.
Menurut Joel (2010), salah satu cara yang dapat
mengurangi limbah pertanian di negara berkembang adalah
dengan membuat briket, karena briket dianggap sebagai bahan
bakar yang efisien dalam penggunaan limbah yang terbuang.
Kemudian, menurut Hartono (2008), briket adalah padatan
yang umumnya berasal dari limbah pertanian. Briket merupakan
salah satu upaya mengatasi ketergantungan terhadap
pemakaian bahan bakar minyak. Penggunaan briket dapat
mengurangi misi polutan dan mengurangi kabut asap di
pembakaran. Briket juga merupakan cara yang efektif untuk
memasok bahan baku gasifikasi dan meningkatkan efisiensi
ekonomi (Wang dan Xiangfei, 2014). Kemudian, Mustelier dkk
(2012) menjelaskan bahwa, penggunaan briket digunakan
sebagai energi terbarukan dengan mengevaluasi parameter
yaitu kadar air, ukuran partikel, nilai kalor, laju pembakaran,
tekanan dan temperatur. Kriteria sederhana suatu bahan dapat
menjadi bahan bakar adalah (Khusna dan Joko, 2015):
1. Memiliki nilai kalor tinggi yang mencukupi standar.
2. Jumlah ketersediaan bahannya yang cukup.
3. Mudah terbakar.
4. Nyaman dalam penggunaan.
Pada dasarnya, proses pembuatan briket dibagi menjadi
tiga tahap. Adapun proses pembuatan briket khususnya pada
briket organik menurut Yuliani dan Suyanti (2012), adalah
sebagai berikut:
1. Pembuatan serbuk arang
Pembuatan serbuk arang ini dimulai dengan cara
membakar limbah yang sebelumnya telah dikeringkan.
Kemudian, bahan yang dibakar hendaknya tidak dibiarkan
habis terbakar hingga menjadi abu. Pembakaran yang
tidak habis terbakar menjadi abu disebut juga dengan
pembakaran tidak sempurna. Lalu, saat bahan berubah
10
menjadi arang, api yang terdapat pada pembakaran
tersebut harus segera dipadamkan.
Setelah menjadi arang, hasil pembakaran tersebut
ditumbuk sampai halus. Arang yang semakin halus akan
semakin baik karena rongga antarpartikel bahan juga
semakin berkurang. Selain itu, arang menjadi semakin
padat. Arang yang padat juga mempengaruhi suatu
karakteristik dari briket tersebut.
2. Pencampuran serbuk arang dengan pengikat
Setelah menjadi serbuk, bahan dicampur dengan
bahan pengikat untuk menguatkan struktur briket. Bahan
pengikat yang digunakan hendaknya tidak mudah
menimbulkan bau busuk jika dibakar, mempunyai daya
ikat yang baik, murah, dan mudah diperoleh. Campuran
serbuk arang dan bahan pengikat tersebut diaduk hingga
rata sampai menjadi adonan liat.
3. Pencetakan briket
Setelah menjadi adonan liat, proses selanjutnya adalah
memasukkan adonan tersebut ke dalam cetakan.
Selanjutnya, adonan dipadatkan. Semakin padat, briket
akan semakin kokoh, tidak rapuh, dan tidak mudah
hancur. Selanjutnya arang briket dikeluarkan dari cetakan
dan dijemur hingga kadar air dalam briket sekitar 4,34%.
Mulyantono dan Isman (2008) menjelaskan bahwa
terdapat pengklasifikasian tipe dan bentuk briket menjadi 5
(lima) yaitu sarang tawon, persegi panjang, jengkol atau
telur, bantal dan yang terakhir ialah tiram. Berikut ini
adalah gambar dari tipe-tipe bentuk cetakan briket
tersebut.
11
Gambar 2.2 Bentuk-bentuk Cetakan Briket
(Kurniawan dan Marsono, 1966)
Sedangkan Kurniawan dan Marsono (1966) juga
mengklasifikasikan bentuk briket menurut penggunaan dan
spesifikasi suatu media pembakarannya. Ada berbagai macam
jenis bentuk briket. Berikut adalah klasifikasi bentuk briket
tersebut.
1. Bentuk silinder
2. Bentuk kubus
3. Bentuk persegi panjang
4. Bentuk piramid
5. Bentuk bolu
6. Bentuk heksagonal
7. Bentuk tablet
2.4 Karbonisasi
Karbonisasi merupakan suatu proses dari reaksi endoterm
dan eksoterm. Proses ini dipengaruhi oleh temperatur dan suatu
12
reaksi yang terjadi. Dalam proses karbonisasi ini, ada suatu
proses yang mengubah bahan organik menjadi arang. Biasanya
proses karbonisasi ini dilakukan pemanasan tanpa atau sedikit
oksigen dengan suhu berkisar. Tujuan dari proses karbonisasi
ini adalah meningkatkan nilai kalor, menaikkan kadar karbon
padat dan menghilangkan zat terbang (volatile matter) yang
terkandung dalam suatu bahan serendah mungkin. Hal yang
sama juga dijelaskan oleh Putro dkk. (2015) bahwa prinsip
karbonisasi adalah pembakaran biomassa tanpa adanya
kehadiran oksigen. Sehingga yang terlepas hanya bagian
volatile matter, sedangkan karbonnya tetap tinggal di dalamnya.
Kemudian, hasil dari proses karbonisasi ini akan berupa arang
dengan pembakaran yang bersih dan tidak menimbulkan
banyak asap sebagaimana dikemukakan oleh Junary dkk
(2015). Terdapat 3 macam proses karbonisasi menurut Sariadi
(2009) adalah sebagai berikut:
1. Karbonisasi suhu rendah, berkisar antara 500 – 750oC
2. Karbonisasi suhu menengah, berkisar antara 750 –
900oC
3. Karbonisasi suhu tinggi, berkisar antara 900 – 1175oC.
Dalam penjelasan Khusna dan Joko (2015), terdapat
seorang tokoh Hcock dan Olson mengemukanan secara garis
besar pembuatan arang. Pembuatan arang (karbonisasi)
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Proses karbonisasi dengan memasukkan udara di
dalam bahan.
2. Proses karbonisasi dengan sirkulasi gas api terhadap
massa bahan.
3. Proses karbonisasi dengan pemanasan di luar tempat
pembakaran.
4. Proses karbonisasi dalam tempat tertutup dan bahan
dimasukkan secara teratur ke dalam dapur pemanasan.
13
2.5 Komposisi Pembuatan Briket
Terdapat komposisi-komposisi pada pembuatan briket.
Komposisi pembuatan briket tersebut ialah kulit kopi robusta,
perekat yang terdiri dari tepung tapioka, tepung sagu dan tetes
tebu (molase) serta komposisi yang terakhir ialah air. Beberapa
analisa komposisi-komposisi briket kulit kopi yang akan dibuat
tersebut adalah sebagai berikut.
2.5.1 Kulit Kopi Robusta
Kulit kopi robusta merupakan suatu limbah dari hasil
proses pengolahan biji kopi robusta. Limbah kulit kopi
robusta biasanya hanya digunakan sebagai pupuk saja
dan sisanya tidak digunakan lagi. Sehingga, Limbah kulit
kopi robusta yang ada masih belum dimanfaatkan secara
optimal, padahal kulit kopi robusta ini cukup potensial
untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar, mengingat
kandungan bahan kimia yang terdapat pada kulit kopi
robusta tersebut. Kandungan kimia yang terdapat pada
kulit kopi robusta ditunjukkan pada tabel berikut (Rabitah,
2013):
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Kulit Kopi Robusta
Nama Kandungan Kimia Persen (%) kandungan kimia
Protein Kasar 6,11%
Serat Kasar 18,6%
Tannin 2,47%
Kafein 1,36%
Lignin 52,59%
Telah diketahui kandungan kimia kulit kopi di atas.
Kulit kopi juga memiliki selulosa dan hemiselulosa.
Sedangkan selulosa, hemiselulosa dan lignin adalah salah
satu komponen yang menyusun tanaman sehingga
membentuk bagian struktural dan sel tanaman itu sendiri.
Menurut Dep. Pertambangan dan Energi (1995), kalori
14
yang terkandung dalam kulit buah kopi ialah cukup besar.
Untuk kulit kopi mentah kalori yang terkandung yaitu 1850
kal/gram, sedangkan untuk arang kulit kopi sebesar 2250
kal/gram. Kalori inilah yang disebut sebagai satuan ukur
untuk menyatakan nilai energi.
Terdapat istilah-istilah kulit kopi, yakni kulit tipis
bagian luar yang disebut exocarp. Lapisan kulit luar ini ada
yang berwarna merah, kuning (bangcuk), hijau ataupun
hitam. Kemudian ada istilah kulit tanduk atau kulit dalam
(endocarp). Kulit tanduk ini merupakan lapisan tanduk
yang menjadi batas kulit dan biji yang memiliki keadaan
agak keras. Lalu, yang terakhir ada istilah kulit ari atau
yang disebut juga dengan selaput perak. Kulit ari atau
selaput perak ini merupakan selaput tipis yang membalut
biji kopi.
2.5.2 Serbuk Kayu
Serbuk kayu merupakan suatu limbah yang berasal
industri perkayuan. Serbuk kayu ini berupa partikel-partikel
kecil yang hanya dibiarkan menumpuk dan akhirnya
dibuang ataupun dibakar. Pada industri perkayuan ini
serbuk kayu masih belum dimanfaatkan secara optimal.
Padahal, serbuk kayu memilik beberapa keuntungan
antara lain (Sutrisna, 2012):
1. Memiliki berat relatif ringan sehingga cocok digunakan
untuk bahan bangunan.
2. Memiliki daya hantar panas dan listrik relatif rendah.
3. Mempunyai sifat isolasi dan akustik sehingga bahan ini
cocok untuk bahan kedap suara.
4. Relatif lebih tahan terhadap rayap dan jamur dibanding
dengan papan kayu.
Pada pemanfaatan serbuk kayu ini, akan menambah
nilai guna bahan dan hal ini akan meningkatkan nilai
15
ekonomis. Serbuk kayu merupakan bahan organik yang di
dalamnya terdapat kandungan selulosa, lignin, pentosan
dan air. Berikut adalah gambar dari limbah serbuk kayu.
Gambar 2.3 Limbah Serbuk Kayu
(Sutapa dkk., 2013)
2.5.3 Perekat
Perekat adalah bahan yang mampu mengikat dua
permukaan sejenis maupun tidak sejenis dengan kekuatan
tarik dan kekuatan geser. Pemberian perekat ini
digunakan untuk menarik air dan membentuk tekstur yang
padat serta menggabungkan dua substrat yang akan
direkatkan. Kekuatan pada rekatan inilah yang
mempengaruhi sifat dari rekatan serta teknik
perekatannya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Ndraha (2009) bahwa, penggunaan bahan perekat
dimaksudkan untuk membentuk tekstur yang padat dan
mengikat substrat yang akan direkatkan agar susunan
partikel semakin baik, teratur dan lebih padat pada proses
pengempaan.
Dumanauw (2001) menyatakan bahwa perekat
dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu perekat tahan
kelembaban (moisture resistence), perekat tahan panas
dan cuaca (dry resistance), dan perekat tahan air (water
16
resistance). Terdapat beberapa jenis perekat yang berasal
baik dari tumbuhan atau hewan serta dari bahan kimia.
Perekat juga dapat berasal dari tepung-tepungan yang
memiliki pati di dalamnya. Pati termodifikasi secara
enzimatis sebagai komponen perekat bahan. Pati-pati
yang termodifikasi sebagai bahan perekat adalah tepung
tapioka dan tepung sagu. Keuntungan dalam penggunaan
perekat dari bahan pati ini antara lain harga lebih murah,
ketersediaan bahan baku cukup banyak, mudah didapat,
mudah dalam pemakaiannya serta dapat menghasilkan
kekuatan rekat kering yang tinggi. Dari penjelasan-
penjelasan tersebut perlu memperhatikan hal-hal yang
berkaitan dengan pemilihan bahan perekat dalam
pembuatan briket ini. Faktor yang mempengaruhi
pemilihan dan penggunaan bahan perekat untuk briket
antara lain daya serap terhadap air, harga jual dari
perekat, serta kemudahan dalam mendapatkan perekat
tersebut.
2.5.3.1 Tepung Tapioka
Tepung tapioka merupakan tepung yang
berasal dari singkong (Manihot esculenta Crantz)
yang dikeringkan. Tepung tapioka disebut dengan
tepung kanji (bahasa Jawa) atau aci (dalam bahasa
Sunda). Tepung tapioka umumnya berbentuk butiran
pati yang terdapat di dalamnya. Tapioka juga
banyak digunakan sebagai bahan pengental dan
bahan pengikat. Menurut Suprapti (2005), tepung
tapioka memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
dengan bahan bakunya (singkong), yaitu lebih tahan
dalam penyimpanan, lebih mudah didistribusikan
karena praktis, ringan, dan aman, daya jangkau
pemasarannya jauh lebih luas, dan kegunaannya
17
lebih banyak selain itu, tepung tapioka juga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thckener),
bahan pemadat/pengisi (filler), bahan pengikat pada
industri makanan olahan serta dapat juga sebagai
bahan penguat benang. Inilah gambar dari tepung
tapioka.
Gambar 2.4 tepung Tapioka
(Yuyun, 2007)
Menurut USDA (2014), komposisi kimia
tepung tapioka per 100 gram bahan disajikan dalam
tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Tepung Tapioka per 100 gram
Bahan
Komponen Jumlah
Kalori (kal) 358
Protein (g) 0,19
Lemak (g) 0,02
Karbohidrat (g) 88,69
Kalsium (mg) 20
Fosfor (mg) 7
Besi (mg) 1,58
Vitamin A (IU) 0
Vitamin C (mg) 0,0
Air (g) 10,92
18
Tepung tapioka memiliki SNI yang digunakan
sebagai pedoman syarat mutu. Isi dari syarat mutu
tersebut tercantum pada SNI 3451:2011 yang
terdapat pada tabel berikut ini (Badan Standardisasi
Nasional, 2011):
Tabel 2.3 Syarat Mutu Tepung Tapioka
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan:
a. Bentuk
b. Bau
c. Warna
-
-
-
Serbuk halus
Normal
Putih, khas tapioka
Kadar air (b/b) % Maks. 14
Abu (b/b) % Maks. 0,5
Serat kasar (b/b) % Maks. 0,4
Kadar pati (b/b) % Min. 75
Derajat putih
(MgOO = 100) - Min. 91
Derajat asam Ml NaOH 1 N/100g Maks. 4
Cemaran logam:
a. Cadmium (Cd)
b. Timbal (Pb)
c. Timah (Sn)
d. Merkuri (Hg)
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Mg/kg
Maks. 0,2
Maks. 0,25
Maks. 40
Maks. 0,05
Cemaran arsen (As) Mg/kg Maks. 0,5
Cemaran mikroba:
a. Angka
lempeng total
(35oC, 48 jam)
b. Escherichia
coli
c. Basillus cereus
d. Kapang
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Koloni/g
Maks. 1 x 106
Maks. 10
< 1 x 104
Maks. 1 x 104
2.5.3.2 Tepung Sagu
Tepung sagu berasal dari batang atau
empulur tanaman sagu (Metroxylon sp.). Menurut
19
Auliah (2013), tepung sagu adalah salah satu
sumber karbohidrat dan mengandung beberapa
komponen lain seperti mineral dan fosfor. Menurut
Fattah (2016), tepung sagu memiliki ciri fisik yang
mirip dengan tepung tapioka. Berikut adalah gambar
dari tepung sagu yang sudah dicairkan menjadi
semacam bubur.
Gambar 2.5 Bubur Tepung Sagu
(Fattah, 2016)
Komposisi kandungan kimia per 100 gram
bahan yang terdapat pada tepung sagu menurut
Putra (2005) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.4 Komposisi Kimia Pati Sagu per 100 gram bahan
Komponen Kadar/100 g bahan
Kalori (kal) 357
Protein (g) 0,7
Lemak (g) 0,2
Karbohidrat (g) 84,7
Air (g) 14,0
Pospor (mg) 13
Kalsium (mg) 11
Besi (mg) 1,5
Tepung sagu memiliki SNI yang digunakan
sebagai pedoman syarat mutu suatu tepung sagu
tersebut. SNI tersebut ialah SNI 01-3729-1995. Isi
20
dari SNI syarat mutu tepung sagu tersebut adalah
sebagai berikut (Badan Standardisasi Nasional,
1995):
Tabel 2.5 Syarat Mutu Tepung Sagu
Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan:
a. Bau
b. Warna
c. Rasa
d. Bentuk
-
-
-
-
Normal
Normal
Normal
Benda asing - Tidak boleh ada
Serangga (dalam segala
bentuk stadia dan
potongannya)
- Tidak boleh ada
Jenis pati lain selain pati sagu - Tidak boleh ada
Kadar air % (b/b) Maks. 13
Kadar abu % (b/b) Maks. 0,5
Kadar pati % (b/b) Min. 65
Kadar serat kasar % (b/b) Maks. 0,1
Derajat asam ml NaOH
1 N/100 gr Maks. 4,0
Residu SO2 mg/kg Maks. 20
Bahan tambahan makanan % (b/b) Sesuai dengan SNI
01-0222-1995
Kehalusan, lolos ayakan 100
mg/kg mesh mg/kg Min. 95
Cemaran logam:
a. Timbal (Pb)
b. Tembaga (Cu)
c. Seng (Zn)
d. Raksa (Hg)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks. 1,0
Maks. 10,0
Maks. 40,0
Maks. 0,05
Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,005
Cemaran mikroba:
a. Angka lempengan total
b. E.coli
c. Kapang
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Maks. 106
Maks. 10
Maks. 104
21
2.5.3.3 Tetes Tebu
Tetes tebu merupakan limbah dari hasil industri
pembuatan gula. Tetes tebu disebut juga dengan molase.
Menurut Juwita (2012), molase tidak dapat lagi dibentuk menjadi
sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar tinggi
50-60%, asam amino dan mineral. Walaupun tetes tebu
(molase) sebagai produk samping pembuatan gula, tetes tebu
dapat digunakan sebagai bahan perekat dalam pembuatan
biobriket (Chandra dkk., 2015). Puspitasari (2008) menyatakan
bahwa molase digunakan sebagai media untuk produksi alkohol
secara komersial pada industri fermentasi alkohol karena
molase mudah didapatkan secara luas, murah serta dianggap
sebagai bahan baku berkualias. Kemudian molase berupa
cairan kental seperti sirup dan memiliki warna coklat gelap atau
coklat kemerahan yang bersifat asan dengan pH 5,5 hingga 6,5
yang disebabkan oleh adanya asam-asam organik bebas.
Gambar 2.6 Tetes Tebu (Molase)
(Purwendro dan Nurhidayat, 2006)
22
Komposisi kimia dari tetes tebu adalah sebagai berikut
(Hambali dkk., 2007):
Tabel 2.6 Komposisi Kimia Tetes Tebu (Molase)
Unsur Kisaran (%) Rata-rata (%)
Air 17-25 20
Sukrosa 30-40 35
Dektrosa (glukosa) 4-9 7
Laevulosa (fruktosa) 5-12 9
Karbohidrat lain 2-5 3
Abu 7-15 4
Unsur nitrogen 2-6 12
Unsur bukan nitrogen 2-8 4,5
Lilin, sterol, phospolipid 0,1-1,0 5
Pigmen - 0,4
Vitamin - -
2.5.4 Air
Air adalah senyawa yang yang sangat diperlukan
bagi kehidupan makhluk hidup. Air memiliki senyawa
gabungan antara dua atom hidrogen dan satu atom
oksigen menjadi H2O. Air juga disebut dengan pelarut
universal, karena air memiliki kemampuan melarutkan
banyak zat kimia. Air tidak memiliki rasa, warna dan bau.
Berikut adalah gambar dari suatu penampakan air.
Sekitar 71% permukaan bumi diliputi oleh air yang
terdiri dari air asin dan air tawar. Air berperan dalam
kehidupan manusia sehari-sehari. Fungsi air sebagai
kehidupan tidak dapat digantikan oleh senyawa lain.
Menurut Kodoatie dan Roestam (2010), air mempunyai
kemampuan merubah fisik. Perubahan fisik bentuk air
tergantung dari lokasi dan kondisi alam, ketika dipanaskan
sampai 100oC, air berubah menjadi uap dan pada suhu
tertentu uap air berubah kembali menjadi air, sedangkan
pada suhu di bawah 0oC air berubah menjadi benda padat
yang disebut es atau salju.
23
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990
mengelompokkan kualitas air menjadi beberapa golongan
menurut peruntukannya adalah sebagai berikut
(Departemen Kesehatan, 1990):
1. Golongan A, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air
minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih
dahulu.
2. Golongan B, yaitu air yang dapat digunakan sebagai air
baku air minum.
3. Golongan C, yaitu air yang dapat digunakan untuk
keperluan perikanan dan peternakan.
4. Golongan D, yaitu air ang dapat digunakan untuk
keperluan pertanian, usaha di perkotaan, industri, dan
PLTA.
2.5.5 Kapur
Kapur adalah sebuah benda putih yang halus
membentuk bebatuan. Kapur terdiri dari mineral kalsium di
dalamnya. Kapur terbuat dari batuan sedimen,
membentuk bebatuan yang terdiri dari mineral kalsium.
Kapur ini terbentuk di laut dalam dengan kondisi bebatuan
yang mengandung lempengan kalsium plates (coccoliths)
yang dibentuk oleh mikroorganisme coccolithophores.
Penggunaan komposisi kapur pada pembuatan briket ini
dilakukan untuk memberikan sifat yang keras serta kokoh
pada briket. Menurut Mulyadi dkk (2013), penambahan
komposisi bahan tambahan berupa kapur agar briket
memiliki ketahanan terhadap kelembaban dan
meningkatkan kekuatan mekanik serta dapat mengikat
senyawa biomassa yang dapat mempercepat atau
mempermudah proses pembakaran dan menyerap emisi
gas SO2. Menurut, Rizqiah (2008), penambahan bahan
kapur yang optimal pada briket adalah 2 hingga 4%.
24
Jenis-jenis kapur bergantung dari tujuan
pengapurannya antara lain, kapur giling (kalsit super),
kapur tohor atau kapur hidup (kalsit, quicklime), dolomit,
kapur ati atau kapur tembok (slaked llime, Ca(OH)2), kapur
liat atau marl, kapur bara (slag), dan cangkang kerang.
2.6 Nilai Kalor
Nilai kalor atau Heating Value adalah ukuran dari energi
panas yang dihasilkan oleh pembakaran sempurna atau
pembakaran dengan oksigen. Menurut Napitupulu (2006), nilai
kalor merupakan jumlah energi kalor yang dilepaskan bahan
bakar pada waktu terjadinya oksidasi unsur-unsur kimia yang
ada pada bahan bakar tersebut. Dalam sistem SI (Satuan
Internasional), nilai kalor dinyatakan dalam satuan Kj/kg.
Badan Standarisasi Nasional (2000) nomor SNI 01-6235-
2000 menyatakan bahwa, kualitas standar nilai kalor yang baik
pada briket yaitu minimal 5000 kal/gram. Apabila telah
memenuhi standar tersebut, briket dapat dijadikan sebagai
bahan bakar. Kemudian, menurut Budiawan dkk. (2014), nilai
kalor perlu diketahui dalam pembuatan briket guna mengetahui
nilai panas pembakaran yang dapat dihasilkan oleh briket
sebagai bahan bakar, karena semakin tinggi nilai kalor yang
dihasilkan oleh briket, maka akan semakin baik pula
kualitasnya. Nilai kalor terdiri dari 2 jenis, yaitu nilai kalor atas
atau yang disebut dengan HHV (Highest Heating Value) dan
nilai kalor bawah atau yang disebut juga dengan LHV (Lower
Heating Value). Nilai kalor atas atau HHV adalah nilai kalor yang
diperoleh dari pembakaran 1 kg bahan bakar dengan
memperhitungkan panas kondensasi uap (air yang dihasilkan
dari pembakaran berada dalam wujud cair). Sedangkan nilai
kalor bawah atau LHV merupakan nilai kalor yang diperoleh dari
pembakaran 1 kg bahan bakar tanpa memperhitungkan panas
kondensasi uap (air yang dihasilkan dari pembakaran berada
25
dalam wujud gas/uap). Rumus yang digunakan untuk HHV dan
LHV menurut formula Dulong yaitu:
Formula Dulong untuk HHV (nilai kalor atas),
* (
)+
[Btu/lb]……………………..............................................(1)
Dimana:
HHV = Nilai kalor atas (Btu/lb)
C = Persentase massa carbon (%)
H2 = Persentase massa hydrogen (%)
S = Persentase massa sulfur (%)
O2 = Persentase massa oksigen (%)
Formula Dulong untuk LHV (nilai kalor bawah),
( )
[Btu/lb]……………………………………………………...(2)
Dimana:
LHV = Nilai kalor bawah (Btu/lb)
HHV = Nilai kalor atas (Btu/lb)
H2 = Persentase massa hyrogen (%)
Nilai kalor dapat ditentukan dengan menggunakan alat
ukur berupa bomb calorimeter. Bomb calorimeter adalah alat
yang digunakan untuk mengukur jumlah kalor atau nilai kalori
yang dibebaskan pada pembakaran sempurna dengan
menggunakan oksigen pada suatu senyawa, bahan makanan
ataupun bahan bakar. Bomb calorimeter ini menggunakan
kondisi volume konstan yang artinya tidak menggunakan nyala
api namun menggunakan gas oksigen dengan volume konstan
atau tegangan tinggi. Prinsip kerja yang terjadi pada alat ukur
bomb calorimeter ini yaitu dengan sistem tersisolasi, sehingga
tidak adanya perpindahan baik energi maupun massa.
26
2.7 Nilai Kadar Air
Kadar air merupakan persentase kandungan air suatu
bahan yang dapat dinyatakan berat basah (wet basis) atau
berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah
mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen,
sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari
100 persen.
Kadar air dapat dikurangi melalui dua cara, yaitu
penjemuran (sun drying) dan pengeringan menggunakan oven.
Pada penelitian ini, penentuan kadar air dilakukan untuk setiap
perlakuan pada setiap kali ulangan. Kadar air dapat diperoleh
dengan menggunaan persamaan (Ndraha, 2009):
( )
............................................................................(3)
G0 = berat contoh sebelum dikeringkan (gram)
G1 = berat contoh setelah dikeringkan (gram)
Menurut Badan Standardisasi Nasional (2000) pada
nomor SNI 01-6235-2000 menyatakan bahwa, kualitas standar
nilai kadar air yang baik pada briket yaitu maksimal 8%. Apabila
telah memenuhi standar tersebut, briket dapat dijadikan sebagai
bahan bakar.
Menurut Mulyantono dan Isman (2008), kadar air yang
terlalu tingi sangat berpengaruh terhadap pembakaran, karena
panas yang dihasilkan oleh briket digunakan untuk menguapkan
air terlebih dahulu. Pada umumnya, setiap 1% kadar air
membutuhkan panas sebesar 9,6 kkal/kg.
2.8 Laju Pembakaran
Pembakaran merupakan serangkaian proses reaksi-reaksi
kimia eksotermal antara bahan bakar dan oksidan berupa udara
yang disertai dengan produksi energi berupa panas dan
konveksi senyawa kimia. Pada proses pembakaran, dikenal
27
dengan istilah laju pembakaran. Laju pembakaran
diperhitungkan agar dapat mengetahui seberapa besar
kecepatan pembakaran tersebut dalam menghabiskan bahan
bakar itu sendiri. Menurut Kusna dan Joko (2015), perhitungan
laju pembakaran dapat dihitung melalui rumus berikut.
( )
( ) …...………..(4)
Dimana:
Ma = Massa bahan bakar sebelum pembakaran (kg)
Mb = Massa bahan bakar sesudah pembakaran (kg)
t = Waktu yang dibutuhkan selama pembakaran (detik)
Perumusan laju pembakaran yang sama juga dinyatakan
oleh Lestari dan Siti (2015), yaitu selisih antara berat sebelum
pembakaran dengan berat setelah pembakaran kemudian
dibagi dengan waktu pembakaran. Dimana laju pembakaran
menggunakan satuan gram/menit. Sehingga, berat sebelum dan
sesudah pembakaran menggunakan satuan gram, sedangkan
waktu pembakaran menggunakan satuan menit.
2.9 Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Rancangan percobaan adalah cara untuk
menyelenggarakan suatu percobaan, baik di lapangan maupun
di laboratorium. Rancangan acak sangat diperlukan dalam suatu
percobaan, karena rancangan acak merupakan indikasi ada
atau tidaknya pengaruh keragaman respon terhadap hasil uji
percobaan tersebut. Menurut Sastrosupadi (1999), ada dua hal
penting dalam suatu rancangan percobaan yaitu adanya
perlakuan (treatment = hal-hal yang dicoba untuk diteliti = objek
percobaan) dan pengaturan lingkungan percobaan.
Rancangan Acak Lengkap disebut dengan Fully
Randomized Design atau pula Completely Randomized Design.
Rancangan acak lengkap ini digunakan pada suatu percobaan
28
yang memiliki media atau tempat percobaan yang seragam
ataupun homogen. Arti dari kata seragam ini ialah media atau
tempat percobaan yang tidak memberikan pengaruh respon
pada pengamatan. Model yang diperhitungkan dalam suatu
Rancangan Acak Lengkap adalah sebagai berikut
(Sastrosupadi, 2009):
; i = 1,2, … t……………………………..…(5)
j = 1,2, … t……………………................(6)
= respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
= nilai tengah umum
= pengaruh perlakuan ke-i
= pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan
ulangan ke-j
Asumsi yang digunakan agar dapat dilakukan pengujian
secara statistika adalah:
a. µ dan Ti bernilai tetap.
b. µ, Ti dan ij saling aditif.
c. ij ≈ N (0, σ2) artinya ij menyebar secara normal dengan
nilai tengah = 0 dan ragam sebesar σ2.
d. ij bebas satu sama lain.
Model tersebut sesuai dengan tabel ANOVA dari RAL
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.7 Anova
SK db JK KT Fhitung F5% F1%
Perlakuan
Galat
t – 1
(rt – 1)
– (t – 1)
JKP
JKG
JKP/(t-1)
JKG/(rt-
1)
KTP/KTG
Total rt – 1 JKP +
JKG
Top Related