5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menurut Saanin (1984), ikan tuna berdasarkan taksonominya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridei
Family : Scombridae
Genus : Thunnus
Spesies : Thunnus sp.
Berdasarkan ukuran tuna, di Indonesia terdapat dua kelompok tuna yaitu
tuna besar dan tuna kecil. Ikan tuna besar yang hidup di perairan laut Indonesia
yaitu tuna madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus),
tuna albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii).
Gambar dari beberapa jenis ikan tuna besar seperti pada Gambar 1.
A. Tuna madidihang (Thunnus albacares) B. Tuna mata besar (Thunnus obesus)
C. Tuna albakora (Thunnus alalunga) D. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii)
Gambar 1. Jenis-jenis Ikan Tuna
Sumber: Maulana (2012)
6
Ikan tuna madidihang dan tuna mata besar terdapat di seluruh wilayah
perairan laut Indonesia. Tuna albakora hidup di perairan sebelah Barat Sumatera,
Selatan Bali sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Ikan tuna sirip biru hanya
hidup di perairan sebelah Selatan Jawa sampai ke perairan Samudera Hindia
bagian Selatan yang bersuhu rendah (Widiastuti 2008).
Menurut Widiastuti (2008), ikan tuna memiliki warna biru kehitaman pada
bagian punggung dan berwarna keputih-putihan pada bagian perut. Tubuh ikan
tuna berbentuk cerutu menyerupai torpedo serta tertutup oleh sisik sisik kecil.
Ikan tuna pada umumnya mempunyai panjang antara 40–200 cm dengan berat
antara 3-130 kg (Novriyanti 2007). Daging yang dimiliki berwarna merah muda
sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin
dari pada ikan lainnya (Mc Afee et al. 2009).
2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna Ikan tuna merupakan jenis ikan yang mengandung lemak rendah (kurang
dari 5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi gizi ikan
tuna bervariasi tergantung spesies, jenis, umur, musim, laju metabolism, aktivitas
pergerakan, dan tingkat kematangan gonad (Stansby dan Olcott 1963). Komposisi
kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Tuna (g/100g)
Komponen Komposisi Kimia (g/100g)
Madidihang Tuna ekor biru Cakalang
Air 74,0±0,28 70,1±1,98 69,9±0,71
Protein 23,2±1,34 25,5±4,03 26,0±0,28
Lemak 2,4±1,41 2,1±0,92 2,0±0,07
Karbohidrat 1,0±1,27 0,9±1,13 0,7±0,42
Abu 1,3±0,4 1,4±0,21 1,4±0,07
Sumber: Wahyuni (2011)
2.3 Keadaan Umum Perusahaan Penanganan Tuna Loin Beku
PT. Awindo International merupakan salah satu perusahaan pengolahan
hasil perikanan yang terletak di Jalan Muara Baru nomor 12, Kelurahan
7
Penjaringan, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. PT. Awindo International
tepat berada di komplek Pelabuhan Perikanan Nusantara Samudera Nizam
Zachman sehingga dapat mempermudah masuknya bahan baku dari kapal
penangkap ikan dan pengiriman barang ke Tanjung Priok untuk di ekspor ke
negara tujuan
Produk yang dihasilkan PT. Awindo International adalah produk
penanganan dari ikan pelagis dalam bentuk loin beku, stik beku, dan fillet beku.
Ikan pelagis yang diproduksi yaitu ikan Marlin (Makaira spp.), Swordfish
(Xiphias gladius), Oilfish (Lepidocybium flavobruneus), dan Sailfish (Istioporus
oriental). Komoditas produksi utama milik PT. Awindo International adalah ikan
tuna yang ditangani dalam bentuk tuna loin beku, tuna saku beku, tuna stik beku,
serta tuna filet beku. Tujuan ekspor PT. Awindo International adalah Asia
(Jepang, Malaysia, dan Cina), USA, dan Uni Eropa. PT. Awindo International
telah menerapkan HACCP dalam berproduksi sesuai dengan sertifikat penerapan
HACCP dalam Lampiran 1.
PT. Awindo International memiliki beberapa fasilitas bangunan untuk
menunjang kelancaran proses produksinya, yaitu fasilitas bangunan proses fresh,
proses frozen, serta fasilitas penunjang. Tata letak bangunan (layout) perusahaan
dapat dilihat pada Lampiran 2.
2.4 Penurunan Mutu Ikan Tuna
Ikan tuna yang mati setelah ditangkap akan mengalami serangkaian
perubahan yang mengarah pada proses penurunan mutu yang disebabkan oleh tiga
kegiatan utama yaitu penurunan secara bakteriologis, kimia, dan fisik. Seluruh
proses perubahan ini pada akhirnya dapat mengarah pada pembusukan (Murniyati
dan Sunarman 2000).
2.4.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi
Menurut Hadiwiyoto (1993) penurunan mutu secara kimia adalah
penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan
tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri dari penurunan mutu secara
autolisis, oksidasi dan akibat histidin.
8
1) Kemunduran Mutu Secara Autolisis
Autolisis adalah penguraian protein dan lemak menjadi senyawa yang
lebih sederhana seperti asam amino dan asam lemak. Menurut Ilyas (1983) enzim
yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolysis (pengurai protein) dan
enzim liposis (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna,
tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis
berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian
pertama setelah ikan tuna mati.
Kecepatan autolisis sangat tergantung pada suhu, semakin rendah suhu
semakin lambat kecepatan autolisis. Kecepatan autolisis tidak dapat dihentikan
namun hanya dapat memperlambat laju proses autolisis. Kegiatan enzim dapat
direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, dan
pengasaman atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan (Ilyas 1983).
2) Kemunduran Mutu Secara Oksidasi
Menurut Faustman dan Cassens (1990), oksidasi adalah reaksi antara suatu
senyawa kimia dengan oksigen. Salah satu kemunduran mutu ikan tuna yang
disebabkan oleh proses oksidasi yaitu terjadinya penambahan kation Fe2+
(ferrous) dalam mioglobin menjadi bentuk Fe3+ (ferric) yang dapat
mengakibatkan perubahan warna daging ikan tuna dari merah segar menjadi
coklat.
Penyuntikan karbonmonoksida pada daging ikan tuna dapat
mempertahankan warna merah daging ikan tuna pada saat penyimpanan dan
pengangkutan. Senyawa karbonmonoksida dapat bereaksi dengan myoglobin
menjadi karboksimioglobin yang merupakan bentuk stabil dari pigmen merah
dalam daging ikan tuna. Karboksimioglobin dapat mencegah terjadinya proses
oksidasi dibanding oksimioglobin karena senyawa karbonmonoksida memiliki
daya ikat yang lebih kuat terhadap mioglobin dibanding oksigen (Livingston dan
Brown 1981).
9
3) Penurunan Mutu Akibat Histidin dan Histamin
Menurut Hadiwiyoto (1993), histamin terbentuk dari degradasi
histidin yang dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin
tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi
berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun dan dapat menimbulkan keracunan
yang disebut “Scromboid Food Poisoning”.
Kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis
Horse mackerel, Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung
antara 4% dan 6% histidin, bahkan cakalang, yellowtail, madidihang, daging
bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al. 2011).
Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dari spesies ikan
lainnya, sehingga kadar histamin dapat meningkat jika dilakukan penyimpanan
dan penanganan yang salah (Wahyuni 2011).
Penyimpanan ikan pada kondisi suhu rendah sejak ikan ditangkap hingga
dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan
dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri
penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Widiastuty 2007).
2.4.2 Kemunduran Mutu secara Fisik
Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan
tuna yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang kurang baik sehingga
dapat mempengaruhi mutu. Penanganan lebih awal akan sangat berpengaruh
terhadap kualitas mutu yang dihasilkan. Menurut Kushardiyanto (2010),
perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari
air adalah:
1) Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih saat ikan
mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang
terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan
menjadi memar dan luka-luka.
2) Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari
ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung
10
dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai
terlihat yaitu berupa perubahan-perubahan seperti berkurangnya kekenyalan
perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan
dan warna mata ikan, sisik lebih mudah lepas dan kehilangan kecemerlangan
warna ikan, berubahnya bau dari segar menjadi asam.
3) Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya
tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk
dikonsumsi atau busuk.
Kesegaran ikan dapat dinilai menggunakan metode inderawi atau
organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap
perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa,
kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut,
bau atau aroma.
2.4.3 Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis
Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu
yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari lingkungan dan
dalam tubuh ikan (Junianto 2003). Menurut Sarmono (2002), ikan hidup memiliki
kemampuan untuk mengatasi aktivitas bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan.
Bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, serta
permukaan kulit tidak dapat menyerang bagian-bagian tubuh ikan karena masih
memiliki daya tahan terhadap serangan bakteri.
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), ikan yang telah mati tidak dapat
mempertahankan aktivitas bakteri karena kemampuan daya tahan tubuh ikan telah
hilang, sehingga bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan
menyerang tubuh ikan. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan
tempat hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil
penguraiannya dalam proses autolisis, dan substansi-substansi non-nitrogen.
Penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition)
menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti
CO2, H2S, amoniak, indol, skatol, dan lain-lain.
11
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), setiap jenis bakteri memerlukan
suhu tertentu untuk dapat hidup dengan baik. Ada tiga macam jenis bakteri
bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat pada Tabel 2.
Pencegahan yang dilakukan untuk menghambat aktivitas bakteri yaitu dengan
menurunkan suhu hingga di bawah 0oC atau menaikkan hingga di atas 100oC.
Tabel 2. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri.
Jenis Bakteri Suhu Minimum Suhu Optimum Suhu Maksimum
Thermophylic 25-45oC 50-55oC 60-80oC
Mesophylic 5-25oC 25-37oC 43oC
Psycrophylic 0oC 14-20oC 30oC
Sumber: Murniyati dan Sunarman (2000)
2.5 Tuna Loin Beku
Menurut Ditjenkan (1993), Tuna loin beku adalah suatu produk
penanganan hasil perikanan dengan bahan baku ikan tuna segar yang mengalami
perlakuan sebagai berikut:
- Sortasi
- Pemotongan kepala
- Pemotongan sirip dan ekor
- Pencucian
- Pembuatan loin
- Pembuangan daging hitam
- Pembuangan kulit dan perapihan
- Pembekuan dengan atau tanpa penggelasan
- Pengepakan
- Penyimpanan beku.
Menurut BSN (2006), semua jenis tuna dapat dibuat menjadi produk tuna
loin beku namun pada umumnya bahan baku yang digunakan adalah yellowfin,
bluefin, bigeye dan longfin. Produk tuna loin beku dapat dilihat pada Gambar 2 di
bawah ini.
12
Gambar 2. Tuna Loin Beku
2.5.1 Persyaratan Bahan Baku
Menurut BSN (2006), bahan baku tuna loin beku adalah semua jenis tuna
yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa tuna loin beku. Ikan tuna yang
digunakan untuk produksi tuna loin beku harus memenuhi persyaratan di bawah
ini:
- Ikan tuna dalam keadaan bersih,
- Bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,
- Bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,
- Bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak
membahayakan kesehatan,
- Berasal dari perairan yang tidak tercemar.
Menurut Fadly (2009), secara organoleptik bahan baku tuna loin beku
dikelompokan menurut standar atau kualitas daging yang terbagi menjadi empat
tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan D. Pengujian tingkatan mutu ikan
dilakukan dengan menusukkan coring tube yang merupakan suatu alat berbentuk
batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube dimasukkan pada kedua sisi ikan
(bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri) sehingga didapatkan potongan
daging ikan tuna yang selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik. Ciri-ciri
untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut:
1) Grade A
Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:
- Warna daging untuk tuna ekor kuning adalah merah seperti darah segar
dan untuk tuna mata besar dagingnya berwarna merah tua seperti bunga
mawar
13
- Mata bersih, terang, dan menonjol
- Kulit normal, warna bersih dan cerah
- Tekstur daging untuk tuna ekor kuning keras, kenyal, dan elastis, dan
untuk tuna mata besar dagingnya lebut, kenyal dan elastis
- Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh
2) Grade B
Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:
- Warna daging merah, otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah
- Mata bersih, terang dan menonjol
- Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir
- Tidak ada kerusakan fisik
3) Grade C
Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut:
- Warna daging kurang merah
- Kulit normal dan berlendir
- Otot daging kurang elastis
- Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau
dada
4) Grade D
Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut:
- Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan
pudar
- Otot daging kurang elastis dan lemak sedikit
- Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah
- Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan yang sudah sobek, mata ikan yang
hilang, dan kulit terkelupas
2.5.2 Persyaratan Mutu Tuna Loin Beku
Persyaratan mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu
berdasarkan SNI 01-4104-2006, seperti yang terlihat pada Tabel 3.
14
Tabel 3. Standar SNI 01-4104-2006 Mutu Tuna Loin Beku
JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN
Organoleptik Skala hedonik 1-9 Minimal 7
Cemaran mikroba*:
ALT Koloni/gram 5 x 105
Eschericia coli APM/gram <2
Salmonella APM/gram negatif
Vibrio cholera APM/gram negatif
Cemaran kimia*
Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 1
Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 0,4
Histamin mg/kg Maksimal 100
Cadmium (Cd) mg/kg Maksimal 0,5
Fisika:
Suhu pusat oC Maksimal -18
Parasit ekor Maksimal 0
Catatan* bila diperlukan
Sumber: BSN (2006)
2.5.3 Bahan Pembantu Penanganan Tuna
Bahan pembantu yang digunakan untuk penanganan tuna loin beku harus
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh SNI 01-4104.3-2006 tentang
penanganan dan pengolahan tuna loin beku. Bahan pembantu atau penolong
terdiri dari air dan es.
Air untuk penanganan dan pengolahan harus aman dan saniter dan berasal
dari sumber yang diijinkan dengan angka Coliform (Angka Paling
Memungkinkan/APM) maksimal 2 dalam 100 ml air serta memiliki tekanan
minimal 142,26 g/cm2. Air yang digunakan untuk unit pengolahan harus
memenuhi persyaratan air minum dan dilakukan pengujian mikrobiologi, kimia,
dan fisika secara berkelanjutan oleh laboratorium yang telah terakreditasi oleh
pemerintah (Maulana 2012).
Es yang digunakan harus dibuat dari air bersih dan memenuhi persyaratan
air minum. Penggunaan es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih
agar terhindar kontaminasi silang dari lingkungan. Es kering digunakan untuk
mempertahankan suhu ikan selama proses pengangkutan agar tetap rendah dan
terjaga kesegarannya. Es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang
terkondensasi menjadi bentuk padat, selain itu es kering memiliki temperatur yang
lebih rendah dari es biasa yaitu -790C (Maulana 2012).
15
2.5.4 Peralatan Penanganan Tuna
Peralatan utama yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan tuna
loin beku yaitu, meja kerja stainless steel, timbangan digital, pisau filet, ABF (Air
Blast Freezer), cold storage, chilling room, bak penampungan ikan, rak
penyusunan ikan, alat suntik CO, vacuum sealer (Lampiran 3). Semua peralatan
dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan tuna loin beku harus
mempunyai permukaan yang halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat,
bukan merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak, dan mudah
dibersihkan. Seluruh peralatan dipastikan dalam keadaan bersih, sebelum, selama,
dan sesudah digunakan (Maulana 2012).
2.6 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Tuna Loin Beku
Menurut Ilyas (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk
perikanan adalah suhu, lama proses penanganan, kebersihan, serta cara kerja.
2.6.1 Suhu
Suhu memiliki peranan penting dalam upaya mempertahankan mutu
produk beku. Faktor suhu berperan dalam keseluruhan usaha produk, baik sejak
awal ditangkap hingga menjadi produk akhir. Suhu ikan tuna di atas 0oC akan
mengalami kemunduran mutu yang terjadi secara kimia maupun mikrobiologi
(Hadiwiyoto 1993). Proses pembusukan pada ikan tuna yang disimpan pada suhu
3o-5oC terjadi pada hari ke 12. Bakteri pembusuk hidup pada suhu antara 0o-30oC
dengan suhu optimal 15oC. Suhu yang diturunkan dengan cepat hingga di bawah
0oC atau pada kisaran suhu -1o-5oC maka proses pembusukan akan terhambat,
pada suhu ini kegiatan enzim perusak akan terhambat, sedangkan kegiatan bakteri
patogen akan terhenti (Moelyanto 1992). Dasar inilah yang digunakan untuk
proses penanganan pada tuna loin beku, yakni penggunaan suhu rendah dengan
teknik pendinginan dan pembekuan.
Pendinginan merupakan proses pengawetan dengan suhu rendah (-1o-5oC)
yang bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroorganisme, proses kimia, dan
proses fisik lainnya yang dapat mempengaruhi kesegaran mutu. Pembekuan tuna
loin merupakan salah satu cara menghentikan terjadinya proses penurunan mutu
16
dengan suhu yang digunakan yaitu -18oC sampai -30oC (Ilyas 1993). Menurut
BSN (2006), proses penanganan tuna loin beku harus mempertahankan suhu
produk maksimal 4,4oC dan proses pembekuan maksimal -18oC. Suhu tuna loin
yang tidak diperhatikan akan berpengaruh terhadap mutu produk akhir tersebut.
Keberhasilan penanganan tergantung pada stabilitas suhu selama
penanganan. Semakin rendah suhu yang dapat diturunkan dan semakin stabil suhu
tersebut dipertahankan selama penanganan, maka mutu atau kualitas yang didapat
akan semakin baik (Afrianto dan Liviawaty 1989).
2.6.2 Lama Proses Penanganan
Lama proses berkaitan dengan lamanya waktu suatu proses penanganan,
perlakuan dan waktu penyimpanan yang dialami oleh produk beku. Tertundanya
waktu proses penanganan dapat mempengaruhi mutu dari produk tersebut, maka
dari itu proses penanganan harus dilakukan sesegera mungkin dengan
menggunakan suhu rendah antara -1o - 5oC. Semakin panjang waktu penyimpanan
produk pada suhu rendah, maka semakin besar pengaruhnya terhadap produk beku
tersebut (Ilyas 1983). Produk yang disimpan dalam waktu lama sebaiknya
digunakan suhu penyimpanan yang rendah yaitu berkisar pada -18oC untuk
mencegah terjadinya dehidrasi pada produk.
2.6.3 Kebersihan
Faktor kebersihan memiliki peranan yang sangat penting dalam
pemantapan mutu produk. Faktor kesehatan dan higienis selalu ditunjukkan oleh
keadaan bakteri dari kesegaran produk dan faktor suhu produk. Indikator yang
digunakan yaitu jumlah bakteri yang terdapat pada produk beku, kondisi tempat
penanganan, peralatan, dan bahan yang terlihat dalam proses produksi (Nasution
2009).
Sanitasi perlu diperhatikan baik bagi produknya maupun yang
berhubungan selama proses penanganan. Sarana dan peralatan yang digunakan
serta kebersihan para pekerja diusahakan agar terhindar dari kontaminasi silang
dengan produk (Ilyas 1983). Faktor kebersihan ini harus diperhatikan karena akan
mempengaruhi mutu produk akhir yang dihasilkan.
17
2.6.4 Cara Kerja
Kecermatan dalam penanganan harus dilakukan agar tuna loin tidak rusak,
maka dari itu digunakan prosedur penanganan tiap jenis, ukuran dan tujuan
pemanfaatan serta pemasarannya. Semua kerusakan tuna loin akan menyebabkan
tuna loin tidak terjual, masa simpan yang singkat, berkurang mutunya, dan terjadi
penolakan dari negara ekspor (Ilyas 1983). Proses penanganan diperlukan tenaga
kerja yang cermat, cepat dan teliti agar didapatkan produk yang memiliki mutu
baik dan sesuai standar.
2.7 Kelayakan Dasar Unit Pengolahan
Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan pada konsep
HACCP sebagai suatu sistem manajemen mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
harus ditunjang oleh faktor-faktor lain yang menjadi dasar dalam menganalisis
besar kecilnya potensi terjadinya bahaya. Penerapan HACCP dapat berjalan lebih
efektif jika setiap unit pengolahan yang akan menerapkan HACCP memenuhi
persyaratan kelayakan dasar. Persyaratan kelayakan merupakan prosedur yang
terdiri dari cara berproduksi yang baik dan benar atau Good Manufacturing
Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Kedua
faktor tersebut merupakan persyaratan dasar yang harus dipenuhi oleh unit
pengolahan sebelum menerapkan PMMT/HACCP (Ditjenkan 2001).
2.7.1 Cara Berproduksi yang Baik dan Benar
Good Manufactring Practice (GMP) atau Cara Berproduksi yang Baik dan
Benar merupakan suatu pedoman cara berproduksi makanan dengan tujuan agar
produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen
(Thaheer 2005).
Secara umum GMP untuk produk perikanan mencakup semua aspek
operasi unit pengolahan dan karyawan seperti pelakuan/kondisi yang
dipersyaratkan, waktu yang cepat dan tepat, mempertahankan rantai dingin, bahan
baku yang baik, bahan kimia yang diizinkan, jumlah bahan pembantu seperti es
harus cukup untuk mempertahankan suhu tetap rendah, cara penimbangan yang
18
benar, alat timbang yang akurat, teknik pengemasan yang tepat dan bahan
pengemas yang baik, teknik pelabelan yang memenuhi syarat, serta dilakukan
secara teliti dan terampil (Nurrakhmi 2009).
2.7.2 Prosedur Standar Operasi Sanitasi
Prosedur Standar Operasi Sanitasi atau Sanitation Standar Operating
Procedure (SSOP) dalam suatu industri pangan adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari pembinaan mutu secara keseluruhan. Sanitasi dilakukan sebagai
usaha mencegah penyakit dari konsumsi pangan yang diproduksi dengan cara
menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor didalam pengolahan pangan
yang berperan dalam pemindahan bahaya (hazard) sejak penerimaan bahan baku
sampai produk akhir didistribusikan (Thaheer 2005). Menurut Food and Drug
Administration USA dalam Thaheer (2005), SSOP umumnya meliputi delapan
aspek, yaitu:
1) Keamanan Air dan Es
Air untuk penanganan dan pengolahan harus cukup aman dan saniter,
berasal dari sumber yang diizinkan. Es harus dibuat dari air bersih yang
memenuhi persyaratan air minum. Es harus ditangani dan disimpan ditempat yang
bersih dalam pengunaannya agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari
luar.
2) Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Produk
Permukaan peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung
dengan bahan dan produk akhir harus bebas dari lubang-lubang dan celah, halus,
tidak menyerap air, tidak berkarat, dan tidak menimbulkan racun. Perlengkapan
dan peralatan hendaknya dibuat, dirancang dan ditata dengan baik sehingga
mudah dibersihkan dengan sempurna serta menjamin kelancaran proses
penanganan dan pengolahan. Peralatan yang sudah tidak dipergunakan lagi
dipisahkan dengan peralatan yang masih dipakai.
3) Pencegahan Kontaminasi Silang
SSOP ini berisi prosedur-prosedur untuk menghindarkan kontaminasi
silang pada produk dari pekerja, bahan mentah, pengemas dan permukaan yang
19
kontak dengan produk. SSOP ini mencakup tindakan-tindakan yang menyangkut
pembersihan bahan baku untuk mengurangi kontaminasi silang.
4) SSOP untuk Kebersihan Karyawan
Sanitasi ini meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan, serta toilet yang
digunakan. Kebersihan personal yang harus senantiasa diperhatikan yaitu,
pembersihan rambut, pencucian tangan, dan pembersihan kuku. Perilaku yang
bersih dan sehat dari karyawan sangat menunjang kebersihan produk yang
dihasilkan. Ruang pengolahan harus mempunyai sejumlah tempat cuci tangan
yang cukup, sekurang-kurangnya satu tempat cuci tangan untuk 10 karyawan.
Ruang pengolahan harus dilengkapi juga dengan air panas, air dingin, sabun,
tissue paper (lap sekali pakai), dan tetap sampah yang bertutup. Tempat cuci
tangan harus diletakan di ruang pengolahan yang dapat dilihat oleh pengawas dan
dekat pintu masuk ruang pengolahan. Air untuk mencuci tangan harus mengalir
dan tidak boleh dipakai berulang. Ruang istirahat harus dilengkapi dengan tempat
cuci tangan dan ganti pakaian serta letaknya harus terpisah dari ruang pengolahan.
Pabrik pengolahan harus dilengkapi dengan toilet yang cukup.
5) SSOP untuk Pencegahan Pencemaran
Pencegahan pencemaran yaitu mencegah tercampurnya bahan non pangan
ke dalam produk pangan yang dihasilkan. Sanitasi ini mencakup prosedur-
prosedur yang digunakan untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan non pangan
ke dalam produk yang dihasilkan. Bahan-bahan non pangan yang dimaksud
meliputi pelumas, bahan bakar, sanitizer, serta cemaran kimia dan cemaran fisik
lainnya (Thaheer 2005). Peralatan dan perlengkapan pembantu yang bersentuhan
dengan bahan yang diolah, kecuali produk akhir yang dikemas harus selalu
dibersihkan dan didesinfeksi sekurang-kurangnya satu kali dalam satu gilir kerja,
kemudian dikeringkan dan disimpan dengan cara saniter (Purwaningsih 1995).
Pestisida, fumigant, desinfektan dan deterjen harus disimpan dalam ruangan
terpisah dan hanya ditangani dibawah pengawasan petugas yang memenuhi
tentang bahayanya untuk menghindari kontaminasi terhadap produk (Nasution
2009).
20
6) SSOP untuk Pelabelan dan Penyimpanan
Syarat pengemas yang digunakan bereaksi dengan produk dan mampu
melindungi produk dan mencantumkan: isi, merk dagang, asal negara, produsen,
berat bersih, komposisi, masa kadaluarsa dan persyaratan penyimpanan. Ruang
penyimpanan harus terjaga kebersihannya dan sesuai persyaratan dan jenis
produk. Produk yang disimpan harus selalu dikontrol agar produk tetap aman dan
baik mutunya.
7) SSOP untuk Pengendalian Kesehatan Karyawan
Karyawan yang dipekerjakan harus sehat dan tidak menderita penyakit
menular atau menyebarkan kuman penyakit menular. Kesehatan para karyawan
harus diperiksa secara berkala untuk menghindarkan penularan penyakit baik
terhadap produk maupun karyawan lainnya. Setiap karyawan harus dilengkapi
dengan pakaian dan perlengkapan kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing.
8) Pemberantasan Hama
Bagian-bagian ruangan penanganan dan pengolahan yang berhubungan
langsung dengan bagian luar harus dilengkapi dengan peralatan untuk mencegah
masuknya serangga, tikus, dan hama lainnya. Jalan dan lobang yang dapat dilalui
tikus dan serangga harus ditutup dengan saringan (screen) logam yang tahan
karat.
2.8 Konsepsi HACCP
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (2007), pengertian Hazard
Analysis and Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem manajemen
mutu untuk penanganan atau pengolahan makanan khususnya hasil perikanan
berdasarkan pada pendekatan sistematis untuk mengantisipasi kemungkinan
terjadinya bahaya (hazard) selama proses produksi dengan menentukan titik kritis
yang harus diawasi secara ketat (Muhandri dan Kadarisman 2006).
2.8.1 Prinsip HACCP
Menurut Thaheer (2005) prinsip sistem HACCP yang diadopsi pada SNI
01-4852-1998 terdiri dari tujuh bagian, yaitu:
21
Prinsip 1. Analisis Bahaya
Analisis bahaya merupakan proses pengumpulan dan penilaian informasi
mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya. Penentuan jenis
bahaya mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan serta harus
ditangani dalam rencana HACCP.
Prinsip 2. Identifikasi Titik Kendali Kritis (CCP)
Identifikasi CCP (Critical Control Point) adalah suatu upaya untuk
menentukan titik atau tahapan tertentu dimana pengendalian dapat dilakukan dan
harus diterapkan untuk mencegah atau mengeliminasi bahaya keamanan pangan,
atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima. Tindakan
pengawasan dan pengendalian yang tidak dilakukan akan menyebabkan resiko
penolakan dan kerugian dari konsumen. Penentuan CCP dapat dilakukan dengan
menggunakan pohon keputusan (Lampiran 4) yang menyatakan pendekatan
pemikiran logis.
Prinsip 3. Menentukan Batas-batas Kritis (Critical Limit)
Batas kritis adalah persyaratan dan toleransi yang harus dipenuhi oleh
CCP. Batas kritis ini tidak boleh terlampaui, karena batas-batas kritis ini
merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Batas kritis
harus ditentukan untuk setiap CCP. Kriteria yang dipergunakan mencakup
pengukuran suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, klorin yang digunakan, jumlah
bakteri total, serta parameter yang berhubungan dengan panca indera
(organoleptik). Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan
tidak aman sehingga proses produksi dapat dilakukan pada tingkat yang aman.
Batas kritis ini harus selalu dipantau untuk menjamin bahwa CCP dapat
mengendalikan bahaya mikrobiologi, kimia, dan fisik secara efektif.
Prinsip 4. Menetapkan Prosedur Pemantauan (Monitoring)
Monitoring dalam konsep HACCP adalah tindakan dari pengujian atau
observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Kegiatan
ini untuk menjamin bahwa batas kritis tidak terlampaui. Untuk menyusun
prosedur monitoring pertanyaan-pertanyaan apa yang harus dievaluasi dengan
22
metode apa, kapan dilakukan, dimana dilakukan, siapa yang melakukan, jumlah
dan frekuensi yang ditetapkan harus terjawab. Monitoring batas kritis ini
ditujukan untuk memeriksa apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada
CCP telah terkendali, efektif dan terencana untuk mempertahankan keamanan
produk.
Prinsip 5. Menetapkan Tindakan Koreksi (Corrective Action)
Tindakan koreksi adalah prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan
ketika ditemukan penyimpangan pada tahap CCP yang melebihi batas kritis.
Kegagalan yang terjadi dalam pengawasan pada CCP, maka tindakan koreksi
harus dilakukan. Tindakan koreksi harus mengurangi atau mengeliminasi potensi
bahaya dan resiko yang terjadi ketika batas kritis terlampaui pada CCP dan
menjamin bahwa penyimpangan yang terjadi tidak mengakibatkan potensi bahaya
yang baru. Setiap tindakan koreksi yang dilaksanakan harus didokumentasikan
untuk tujuan modifikasi suatu proses.
Prinsip 6. Menetapkan Prosedur Verifikasi
Verifikasi adalah unsur yang sangat penting dari HACCP dan harus selalu
disertakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tambahan untuk
meyakinkan produsen (dan inspektur) bahwa aplikasi hasil HACCP dalam
memproduksi makanan yang aman. Pengamatan prosedur dan pengujian,
termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis dapat digunakan untuk
menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi
harus cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.
Prinsip 7. Menetapkan Cara Pencatatan (Record Keeping)
Pencatatan (record keeping) merupakan elemen penting dari penerapan
HACCP. Catatan tetap memastikan bahwa informasi yang dikumpulkan selama
instalasi, modifikasi dan pengoperasian alur proses produksi mudah diakses oleh
semua orang yang terlibat dalam proses sebagai auditor luar. Dokumentasi dan
pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi. Rekaman
harus termasuk penjelasan CCP telah didefinisikan, deskripsi prosedur
pengendalian dan modifikasi alur, monitoring dan verifikasi data. Data
23
penyimpangan dari praktek normal serta tindakan koreksi (Schothorst, V.M
2004).
2.8.2 Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP
Menurut BSN (1998) dalam SNI 01-4852-1998 penerapan prinsip-prinsip
HACCP terdiri dari tugas-tugas berikut sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
Tahap-tahap penerapan HACCP sebagai berikut:
1) Pembentukan Tim HACCP
Pengembangan rencana HACCP yang efektif dapat dicapai dengan
pembentukan sebuah tim HACCP dari berbagai disiplin ilmu. Jika ada beberapa
keahlian tidak tersedia, maka diperlukan konsultan dari pihak luar. Seluruh
lingkup yang ada harus diidentifikasi oleh program HACCP. Lingkup tersebut
harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang
terlibat secara umum dalam potensi bahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi
semua bahaya atau hanya bahaya tertentu).
2) Deskripsi Produk
Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai
komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk Aw, pH), perlakuan-perlakuan seperti
perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan, keadaan
pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta metode
pendistribusiannya.
3) Identifikasi Rencana Penggunaan Produk
Rencana penggunaan harus berdasarkan pada kegunaan-kegunaan produk
untuk pengguna produk atau konsumen. Pengelompokan penggunaan produk
perlu diperhatikan apakah sasaran konsumen untuk dewasa, anak-anak atau balita.
Cara penggunaan produk perlu diinformasikan agar produk tepat dan baik dalam
penggunaannya.
4) Penyusunan Bagan Alur Proses
Tim HACCP menyusun bagan alur proses produksi. Diagram alur harus
memuat segala tahapan dalam operasional produksi. HACCP yang diterapkan
24
pada suatu operasi tertentu harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah
operasi tersebut.
5) Konfirmasi Bagan Alur Produksi
Tim HACCP sebagai penyusun bagan alur produksi harus
mengkonfirmasikan cara kerja produksi dengan semua tahapan dan jam operasi
saat produksi serta jika perlu mengadakan perubahan bagan alur produksi
dilapangan bila alur produksi tidak sesuai dengan yang disusun.
6) Pencatatan Semua Bahaya yang Berkaitan dengan Tahapan, Pengadaan Suatu
Analisis Bahaya dan Menyarankan Berbagai Pengukuran Untuk
Mengendalikan Bahaya yang Teridentifikasi
Tim HACCP harus membuat daftar analisis bahaya yang mungkin terdapat
pada tiap tahapan alur produksi dari awal bahan baku, pengolahan dan
menghasilkan produk akhir sampai distribusi ke tangan konsumen. Tim HACCP
harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP
dimana bahaya yang mungkin ditemukan, karena sifatnya mutlak semua bahaya
harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga
produksi pangan tersebut dinyatakan aman. Tim HACCP harus
mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat dilakukan untuk
setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk
mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan jika perlu ditemukan satu bahaya yang
harus dikendalikan dengan tindakan pengawasan yang tertentu.
7) Penentuan Titik Kendali Kritis/ Critical Control Point (CCP)
Pengendalian bahaya yang sama mungkin ditemukan lebih dari satu CCP
pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari CCP pada sistem HACCP dapat
dibantu menggunakan Pohon keputusan (Lampiran 4).
8) Penentuan Batas-Batas Kritis (Critical Limits) pada Setiap CCP
Batas-batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP. Beberapa kasus lebih
dari satu batas kritis mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu,
tingkat kelembaban, pH, Aw, keberadaan klorin, dan parameter sensori seperti
kenampakan visual dan tekstur.
25
9) Penyusunan Sistem Pemantauan untuk Setiap CCP
Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan dari setiap CCP
yang dibandingkan dengan batas kritisnya. Pemantauan dapat memberikan
informasi yang tepat untuk dilakukan perbaikan proses dalam memastikan proses
dapat mencegah bahaya yang melebihi batas kritis. Penyesuaian proses harus
dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan terjadinya
penyimpangan pada suatu CCP. Perubahan proses perlu dilaksanakan sebelum
terjadi penyimpangan.
Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi
tugas, berpengetahuan dan berkewenangan untuk melaksanakan tindakan
perbaikan yang diperlukan. Pemantauan yang tidak berkesinambungan harus
dilakukan pemantauan dengan frekuensi yang cukup untuk menjamin CCP dapat
terkendali. Sebagian besar prosedur pemantauan untuk CCP perlu dilaksanakan
secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia
waktu lama untuk melaksanakan pengujian analitis. Pengujian yang dilakukan
berupa uji fisik, kimia dan mikrobiologi.
Semua catatan dan dokumen yang terkait dengan kegiatan pemantauan
CCP harus ditanda tangani oleh orang yang melakukan pengamatan dan oleh
petugas yang bertanggung jawab melakukan peninjauan kembali terhadap alur
produksi dalam perusahaan tersebut.
10) Penetapan Tindakan Perbaikan
Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap CCP
dalam sistem HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi.
Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah
kendali dan tindakan harus yang tepat. Penyimpangan dan perubahan prosedur
produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.
26
Gambar 3. Urutan Logis Penerapan HACCP
Sumber: BSN (1998)
11) Penetapan Prosedur Verifikasi
Penetapan prosedur verifikasi dapat dipergunakan untuk menentukan
sistem HACCP bekerja secara benar. Prosedur verifikasi ini meliputi metode
audit, verifikasi, pengujian, serta pengambilan contoh secara acak dan analisis.
Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem
HACCP bekerja secara efektif.
Pembentukan Tim HACCP
Deskripsi Produk
Identifikasi Rencana Penggunaan
Penyusunan Bagan Alir
Konfirmasi bagan alir di lapangan
Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang
Berkaitan dengan Analisis Bahaya, Penentuan
Tindakan Pengendalian
Penentuan Titik Pengendalian Kritis
Penentuan Batas Kritis untuk setiap CCP
Penyusunan Sistem Pemantauan untuk setiap CCP
Penetapan Tindakan Perbaikan untuk setiap
Penyimpangan yang terjadi
Penetapan Prosedur Verifikasi
Penetapan Dokumen dan Pencatatan
27
12) Penetapan Dokumentasi dan Pencatatan
Pencatatan yang efisien serta akurat merupakan hal penting dalam
penerapan sistem HACCP. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai
sesuai sifat dan besarnya operasi.
Top Related