15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian tentang Peran
Peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Artinya
apabila seseorang telah melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya, maka orang tersebut telah melaksanakan suatu peran.
Keduanya tidak dapat dipisahkan karena satu dengan yang lain saling tergantung,
artinya tidak ada peran tanpa status dan tidak ada status tanpa peran (J. Dwi Narwoko
dan Bagong Suyanto, 2004:158). Sedangkan menurut Abu Ahmadi (2007:106) peran
adalah suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus
bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.
Setiap orang mempunyai macam-macam peran yang berasal dari pola-pola
pergaulan hidupnya. Hal tersebut berarti bahwa peran seseorang menentukan apa
yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan
oleh masyarakat kepadanya. Suatu peran menyebabkan seseorang pada batas tertentu
dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain, karena peran diatur oleh norma-
norma yang berlaku di masyarakat (Soerjono Soekanto, 2012:213).
Peran yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau
tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat
16
(social-position) merupakan unsur statis yang menunjukan tempat individu dalam
organisasi masyarakat. Sedangkan peran lebih banyak menunjuk pada fungsi, artinya
seseorang menduduki suatu posisi tertentu dalam masyarakat dan menjalankan suatu
peran. Soerjono Soekanto (2012:213) menjelaskan bahwa suatu peran mencakup tiga
hal berikut:
1. Suatu peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat.
2. Peran merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh
individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.
Peran dapat membimbing seseorang dalam berperilaku, karena fungsi peran
sendiri adalah sebagai berikut:
1. Memberi arah pada proses sosialisasi;
2. Pewarisan tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma dan
pengetahuan;
3. Dapat mempersatukan kelompok atau masyarakat; dan
4. Menghidupkan sistem pengendali dan kontrol, sehingga dapat
melestarikan kehidupan masyarakat.
17
Sementara itu, berdasarkan cara memperolehnya, suatu peran dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Peran bawaan (ascribed roles), yaitu peran yang diperoleh secara
otomatis, bukan karena usaha, misalnya peran sebagai nenek, anak dan
sebagainya.
2. Peran pilihan (achives role), yaitu peran yang diperoleh atas dasar
keputusannya sendiri, misalnya seseorang yang memutuskan untuk
memilih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Airlangga dan menjadi mahasiswa program studi Sosiologi (J. Dwi
Narwoko dan Bagong Suyanto, 2004:160).
2.2 Kajian tentang Gender
2.2.1 Gender dan Jenis Kelamin (Seks)
Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial
oleh Ann Oakley (1972, dalam Fakih, 2013:8), dan sejak saat itu menurutnya gender
lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan
diskriminasi (ketimpangan) terhadap kaum perempuan secara umum. Gender berbeda
dengan jenis kelamin (seks). Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan
secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, konsep jenis
kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis dan
18
anatomi tubuh (Tuttle, Lisa, Encyclopedia of Feminism, 1986 dalam Narwoko,
2010:334).
Menurut Fakih (2013:8) jenis kelamin (seks) merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat
pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah
manusia yang memiliki penis, jakala (kala menjing) dan memproduksi sperma.
Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim, memproduksi telur,
memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis
melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara
biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan secara permanen dan merupakan
ketentuan (kodrat) Tuhan.
Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud untuk
menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat bawaan
(ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Seringkali orang
mencampuradukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan
yang bersifat non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah (Sasangko, 2009:6).
Sunarto (2012:305) menyatakan bahwa gender adalah pembedaan sifat atau peran
sosial antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada perbedaan biologis dan
dikonstruksi oleh masyarakat.
19
Menurut BKKBN (2009:6) gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan
tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi
sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan seks adalah
perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik
sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan
Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal.
Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan
antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan
perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.
Margert Mead (Sex and Temperament in Three Primitive Societies, 1935)
menyatakan bahwa jenis kelamin adalah biologis dan perilaku gender adalah
konstruksi sosial. Menurut Oakley (1972, dalam Fakih, 2013:10), gender adalah
pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan dan lain
sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut bukan kodrat, karena tidak selamanya dan dapat pula
dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, keibuan dan
sebagainya, sebaliknya perempuan juga ada yang kuat, rasional, perkasa dan
sebagainya (Narwoko, 2010:334).
Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan
atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan, yang terjadi
20
melalui proses sosialisasi, penguatan konstruksi sosial, kultural, keagamaan dan
melalui kekuasaan Negara. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau
kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peran masing-masing
dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian gender sebagai suatu konsep
merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat
sehingga gender bersifat dinamis dapat dibedakan melalui perbedaan adat istiadat,
budaya, agama dan sistem nilai dari bangsa (Narwoko, 2010:335).
Istilah gender memiliki beberapa pengertian, sebagaimana dikemukakan oleh
Heddy Shri Ashima Putra (2000) dalam Mufidah (2004:4), sebagai berikut:
1. Gender sebagai Suatu Istilah Asing dengan Makna Tertentu
Gender berasal dari istilah asing gender yang maknanya tidak banyak
diketahui secara benar, sehingga wajar jika istilah gender menimbulkan kecurigaan
tertentu pada sebagian orang yang mendengarnya. Seringkali orang memandang
perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks (jenis kelamin) sehingga
menimbulkan pengertian yang salah.
2. Gender sebagai Suatu Fenomena Sosial Budaya
Perbedaan jenis kelamin (seks) adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri yang
jelas dan tidak dapat dipertukarkan. Oleh karena itu, diskriminasi gender tanpa
21
mengindahkan perbedaan jenis kelamin yang ada, sama halnya dengan mengingkari
suatu kenyataan.
Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang
dikenal dalam masyarakat Bali misalnya, berbeda dengan yang dikenal di masyarakat
Minang, demikian juga dalam masyarakat Jawa. Hal ini sebagai akibat dari
konstruksi sosial budaya yang membedakan peran berdasarkan jenis kelamin.
3. Gender sebagai Suatu Kesadaran Sosial
Konsep gender dalam wacana akademik dimaknai sebagai suatu kesadaran
sosial. Pembedaan sexual dalam masyarakat merupakan suatu konstruksi sosial.
Berawal dari sinilah kemudian masyarakat menyadari bahwa pembedaan tersebut
merupakan produk sejarah dan interaksi warga dengan komunitasnya. Hal inilah yang
melahirkan kesadaran bahwa ada banyak hal yang perlu diubah agar hidup ini
menjadi lebih baik, harmonis dan berkeadilan. Masyarakat sadar akan adanya jenis
kelamin tertentu yang lebih unggul sehingga terjadi dominasi jenis kelamin terhadap
jenis kelamin yang lain dan di sini gender menjadi persoalan budaya.
4. Gender sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya
Pembedaan laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan menjadi masalah bagi
sebagian besar masyarakat. Pembedaan tersebut menjadi masalah ketika melahirkan
ketidakadilan dan ketimpangan, karena jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari jenis kelamin yang lain. Oleh karena itu, untuk mengahpus
22
ketidakadilan gender tidak mungkin dilakukan tanpa melihat akar permasalahannya,
yaitu pembedaan atas dasar jenis kelamin.
5. Gender sebagai Sebuah Konsep untuk Analisis
Fakih (2013:3) menyebutkan bahwa pemahaman dan perbedaan antara konsep
jenis kelamin dan gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk
memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan.
Menurutnya, hal ini disebabkan ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender
differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur
ketidakadilan masyarakat secara luas.
6. Gender sebagai Sebuah Perspektif untuk Memandang Suatu Kenyataan
Dalam kaitan ini, gender menjadi sebuah paradigma atau kerangka teori
lengkap dengan asumsi dasar, model dan konsep-konsepnya. Peneliti menggunakan
ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin beserta
implikasi-implikasi sosial budaya yang ditimbulkannya.
2.2.2 Kesenjangan Gender
Perbedaan yang dikonstruksikan masyarakat sebagai gender tidak akan
menimbulkan masalah apabila perbedaan ini tidak berubah menjadi suatu pembedaan.
Apabila salah satu pihak dirugikan dari perbedaan gender tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa terjadi suatu permasalahan gender. Permasalahan gender inilah
23
yang sering disebut sebagai kesenjangan gender. Kesenjangan gender ini tidak
semata-mata muncul akibat pembedaan gender saja, melainkan juga oleh persepsi
identitas peran gender yang dicampuradukkan dengan perbedaan jenis kelamin oleh
masyarakat (Mugniesyah, 2006:26). Adapun definisi dari kesenjangan gender (gender
gap) adalah menunjukkan adanya perbedaan dalam pendidikan, ekonomi, kesehatan
dan hak berpolitik (memberi suara) dan bersikap antara laki-laki dan perempuan
(Hubeis, 2010:33).
Sementara itu, Fakih (2013:10) menggunakan istilah kesenjangan gender
dengan istilah ketidakadilan gender. Menurut Fakih, ketidakadilan gender adalah
suatu sistem dan struktur dimana laki-laki dan perempuan menjadi korban sistem
tersebut. Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi
persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan, baik bagi kaum
laki-laki dan perempuan.
Adapun ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk, yaitu
sebagai berikut:
1. Gender dan Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis
kelamin tertentu dalam hal ini perempuan disebabkan oleh perbedaan gender. Ada
beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme
24
marginalisasi perempuan karena perbedaan gender. Dari aspek sumber misalnya,
marginalisasi atau pemiskinan perempuan dapat bersumber dari kebijakan
pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi atau kebiasaan bahkan asumsi ilmu
pengetahuan. Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat kerja, akan tetapi
juga terjadi di semua tingkat seperti dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan
bahkan sampai pada tingkat negara.
2. Gender dan Subordinasi
Subordinasi adalah penomorduaan terhadap salah satu jenis kelamin. Adanya
anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam
berfikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin (sebagai pengambil
keputusan), maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting
dan tidak strategis.
3. Gender dan Stereotip
Stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap pihak tertentu yang selalu
berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut Amir
(2007:6), stereotip adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak
sesuai dengan kenyataan empiris yang ada atau disebut pelabelan negatif. Salah satu
stereotip yang dikenalkan dalam bahasan ini adalah stereotip yang bersumber pada
pandangan gender yang terjadi terhadap salah satu jenis kelamin sehingga
mengakibatkan terjadinya ketimpangan dan berbagai ketidakadilan yang merugikan.
25
Misalnya, pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki, bahwa laki-laki adalah
manusia yang keras. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lemah, irasional
dan emosional.
4. Gender dan Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan (assault) baik terhadap fisik maupun
integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia bisa terjadi
karena berbagai macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber
pada anggapan gender. Kekerasan semacam itu disebut gender-related violence, yang
pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam
masyarakat. Ada beberapa kategori jenis kekerasan gender yaitu, pemerkosaan
terhadap perempuan, tindakan pemukulan dan serangan fisik, bentuk kekerasan yang
mengarah kepada alat kelamin (genital mutilation), kekerasan dalam bentuk
pelacuran (prostution), pornogrofi, pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana
dan molestation atau kejahatan terselubung, ini biasanya terjadi di dalam bis atau di
tempat pekerjaan memegang bagian tubuh seseorang tanpa seizin pemilik tubuh.
5. Gender dan Beban ganda
Beban ganda adalah adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat
memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala keluarga, berakibat
bahwa semua pekerjaan domestik keluarga menjadi tanggung jawab kaum perempuan
(J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2004:341-344).
26
Dalam kaitannya dengan beban ganda tersebut, Moser (1999, dalam Narwoko,
2010:345) menyebutkan bahwa perempuan tidak saja berperan ganda, akan tetapi
perempuan memiliki triple role (triple burden) yakni: peran reproduksi, yaitu peran
yang berhubungan dengan peran tradisional di sektor domestik; peran produktif, yaitu
peran ekonomis di sektor publik; dan peran sosial, yaitu peran di komunitas.
2.2.3 Faktor-faktor Penyebab terjadinya Kesenjangan Gender
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender
adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman Agama
Faktor yang menyebabkan munculnya kesenjangan gender terkait dengan
pemahaman agama adalah pandangan dari religion feminist, yakni feminis yang
memiliki backround studi agama atau pengetahuan keagamaan berpandangan bahwa
interpretasi terhadap agama memberikan kontribusi terhadap tumbuh dan
lenggengnya ketimpangan di masyarakat (Rohmaniyah, 2014:33). Agama selalu
dianggap kambing hitam atas terjadinya ketimpangan gender, karena banyaknya
pemahaman yang keliru yang dipengaruhi oleh kultur yang dikenal dengan kultur
patriarki.
27
2. Konstruksi Budaya Patriarki
Menurut kaum feminis penyebab dari munculnya kesenjangan gender adalah
kultur patriarki (Rohmaniyah, 2014:32). Budaya patriarki adalah sistem budaya yang
menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam segala
aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. Keberadaan budaya ini telah
memberikan keistimewaan pada jenis kelamin laki-laki, budaya inilah yang kemudian
mewujudkan garis keturunan berdasarkan garis laki-laki.
3. Kebijakan yang Bias Gender
Kebijakan di sini diartikan sebagai struktur masyarakat yang menomorduakan
atau menempatkan perempuan sebagai kelompok tertindas dan kelas nomor dua di
bawah kelompok laki-laki. Pandangan ini lahir dari kelompok feminis marxis
(Rohmaniyah, 2014:32). Kebijakan pemerintah yang bias gender, mengakibatkan
ketimpangan gender khususnya untuk perempuan menjadi mapan. Kebijakan
pemerintah yang bias gender salah satunya adalah sedikitnya peluang untuk
perempuan bekerja di ranah politik dan pembangunan.
4. Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Penyebab dari langgengnya kesenjangan gender khususnya yang menimpa
kaum perempuan, menurut kelompok feminis liberal disebabkan oleh persoalan yang
ada pada perempuan sendiri sebagai agensi yang pewerless (tidak berdaya)
(Rohmaniyah, 2014:33). Ketimpangan gender khususnya terhadap kaum perempuan
akan terus terjadi jika kaum permpuan sendiri tidak mau berubah. Berubah berarti
28
meningkatkan kualitas diri dengan salah satu caranya adalah menempuh jenjang
pendidikan yang tinggi serta berani untuk bersuara di depan publik.
2.3 Peran Gender
Salah satu perwujudan konsep gender adalah peran gender. Hubeis (2010:25)
mendefinisikan peran gender (gender role) sebagai peran perempuan atau peran laki-
laki yang diaplikasikan dalam bentuk nyata menurut kultur setempat yang dianut dan
diterima. Sementara itu Mugniesyah (2006:51), mengemukakan bahwa peran gender
adalah suatu perilaku yang diajarkan dalam masyarakat, komunitas dan kelompok
sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab
tertentu dipersepsikan berdasarkan umur, kelas, ras, etnik, agama, lingkungan
geografi, ekonomi dan sosial. Definisi ini menunjukkan bahwa peran gender di suatu
wilayah akan berbeda dari peran gender lainnya sesuai dengan karakteristik
wilayahnya.
Walaupun peran gender pada tiap wilayah berbeda, namun peran ini dapat
digolongkan ke dalam beberapa tipe secara universal. Moser (1993) dalam Hubeis
(2010:26), mengemukakan tiga tipe peran gender, yakni peran reproduktif, peran
produktif dan peran masyarakat (sosial). Peran reproduktif adalah peran yang
dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan
pemeliharaan sumber daya insani (SDI) dan tugas dalam keluarga seperti menyiapkan
29
makanan, menyiapkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan
keluarga dan mengasuh serta mendidik anak. Peran produktif merupakan pekerjaan
yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan. Peran ini
memperhitungkan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam aktivitas
kesehariannya. Sementara itu, peran masyarakat (sosial) merupakan kegiatan jasa dan
partisipasi politik. Peran jasa masyarakat seringkali dilakukan oleh kaum wanita,
sementara peran politik seringkali dilakukan oleh kaum pria.
Scanzoni dan Supriyantini (2002) dalam Rachmawati (2010:16),
mengemukakan bahwa peran gender juga dapat digolongkan menjadi dua bagian,
yakni peran gender tradisional dan peran gender modern. Peran gender tradisional
adalah pembagian tugas atau kerja dibedakan secara tegas berdasarkan jenis kelamin.
Sementara itu, peran gender modern merupakan pembagian tugas atau kerja tidak
dibedakan secara kaku berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan berada
dalam posisi seimbang atau sejajar, baik dalam minat maupun kepentingannya.
Oposisi gender tradisional sangat terkait dengan pembagian kerja pada setiap
strata dalam masyarakat. Pembagian kerja berarti pembagian nilai (mengingat
beberapa pekerjaan dan jangkauan yang dimilikinya mengandung prestise lebih di
bidang lainnya). Pada berbagai masyarakat, pembagian kerja bergender melibatkan
kekuatan dan status diferensial. Pekerjaan laki-laki (atau yang lebih dikenal sebagai
wilayah laki-laki) memiliki kekuatan kemasyarakatan yang lebih besar dan masuk
30
melalui penempatan barang, jasa, serta kontrol ritual (Sugihastuti dan Itsna Hadi
Saptiawan, 2010:54).
2.4 Keluarga
2.4.1 Pengertian Keluarga
Secara historis keluarga terbentuk atas satuan sosial yang terbatas, yaitu dua
orang (laki-laki dan perempuan) yang mengadakan ikatan tertentu yang disebut
perkawinan. Secara berangsur-angsur anggota keluarga semakin meluas, yaitu dengan
kelahiran adopsi anak-anak. Pada saatnya anak-anak itupun akan melangsungkan
ikatan perkawinan sehingga terbentuk keluarga baru (Zulkaidah, 2007:43).
Pengertian lain mengenai keluarga, dalam (Abu Ahmadi, 2007:221)
mendefinisikan keluarga adalah kelompok primer yang paling penting di dalam
masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari perhubungan
laki-laki dan perempuan, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk
menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi, keluarga dalam bentuk yang murni
merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang
belum dewasa.
31
Fitzpatrick seperti dikutip dalam Lestari (2012:7), memberikan pengertian
keluarga dengan meninjaunya berdasarkan tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1. Penegertian Keluarga Secara Struktural
Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota
keluarga, seperti orang tua, anak dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada
siapa yang menjadi bagian dari keluarga. Dari perspektif ini dapat muncul pengertian
tentang keluarga sebagai asal-usul (families of origin), keluarga sebagai wahana
melahirkan keturunan (families of procreation) dan keluarga batih (extended family).
2. Pengertian Keluarga Secara Fungsional
Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan
fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup perawatan, sosialisasi
pada anak, dukungan emosi, materi dan pemenuhan peran-peran tertentu.
3. Pengertian Keluarga Secara Transaksional
Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman
melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family
identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan.
Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya
(Lestari, 2012 : 7-9).
32
Hotman M. Siahaan (2010:428) mengemukakan bahwa ada tiga tipe keluarga,
yaitu keluarga batih (nuclear), keluarga luas (extended) dan persekutuan kelompok
keturunan. Keluarga batih adalah suatu unit kekerabatan yang terdiri dari pasangan
suami istri yang menikah dan keturunan langsung mereka, yang memelihara suatu
rumah tangga bersama dan bertindak bersama-sama sebagai suatu satuan sosial.
Keluarga luas (extended family) ialah suatu kelompok kekerabatan yang terdiri dari
sejumlah keluarga batih yang bertalian menjadi satu dan bertindak sebagai satu
kesatuan. Keluarga luas itu biasanya terdiri dari jaringan-jaringan kerabat yang tidak
begitu besar. Akan tetapi dalam banyak masyarakat ikatan-ikatan kekerabatan
selanjutnya dapat diperluas sehingga mencakup sejumlah besar individu dalam satu
lingkungan kekerabatan. Apabila hal ini terjadi, maka sering terbentuklah
persekutuan kelompok-kelompok keturunan (corporate descent groups).
2.4.2 Fungsi Keluarga
Keluarga merupakan fokus umum dari pola lembaga sosial. Dalam suatu
masyarakat, keluarga merupakan pusat kehidupan secara individual dan di dalamnya
terdapat hubungan yang intim dalam derajat yang tinggi. Terlepas dari persoalan yang
intim ini, fungsi keluarga adalah sebagai berikut:
1. Fungsi melanjutkan keturunan atau reproduksi.
2. Fungsi afeksi (kasih sayang).
33
3. Fungsi sosialisasi menunjukkan kepada peranan keluarga dalam
membentuk kepribadian anak.
4. Fungsi ekonomi.
5. Fungsi pengawasan atau kontrol sosial.
6. Fungsi proteksi, keluarga pada dasarnya akan melindungi keluraganya
sehingga memperoleh ketentraman lahir dan batin (Zulkaidah, 2007:47).
2.5 Petani
2.5.1 Pengertian Petani
Menurut Rodjak (2002:95), petani adalah orang yang melakukan kegiatan
bercocok tanam hasil bumi atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh
kehidupan dari kegiatannya itu. Pengertian lain diungkapkan oleh Abu Ahmadi
(2007:230), petani adalah mereka yang hidup dari pengusahaan sawah di desa yang
suasana kehidupan dalam masyarakat ditandai oleh sifat kekeluargaan.
2.5.2 Keluarga Petani
Salah satu bentuk keluarga di Indonesia adalah keluarga petani. Menurut
Badan Pusat Statistik (2013), keluarga petani merupakan keluarga yang salah satu
atau lebih anggota keluarganya mengelola usaha pertanian dengan tujuan sebagian
atau seluruhnya dijual, baik usaha pertanian milik sendiri, secara bagi hasil atau milik
orang lain dengan menerima upah dalam hal ini termasuk jasa pertanian. Keluarga
34
petani umumnya memiliki ketergantungan yang kuat dengan sektor pertanian sesuai
dengan komoditas yang dikembangkannya.
2.6 Perspektif Sosiologi Fungsionalisme Struktural
Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang
suatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-
cara tertentu dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi yang menjadi
dasarnya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan
dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara
rasional. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah kerangka kerja
konseptual, sekumpulan asumsi, nilai, gagasan yang mempengaruhi perspektif
manusia sehingga menghasilkan tindakan dalam konteks situasi tertentu (Yesmil
Anwar dan Adang, 2013:10).
Dalam konteks sosiologi, perspektif didasarkan pada sekumpulan asumsi,
nilai dan gagasan yang melingkupi proses sosial yang terjadi dalam mengamati
perubahan ekonomi, politik dan sosial. Pada perkembangan selanjutnya, terdapat
empat perspektif dalam sosiologi, yaitu: perspektif struktural fungsional, perspektif
konflik, perspektif evolusi dan perspektif interaksionalisme simbolik.
35
Penulis memfokuskan pada perspektif struktural fungsional, karena perspektif
ini lebih relevan dengan masalah penelitian. Seperti yang dinyatakan Robert Nisber
bahwa fungsionalisme sturktural adalah satu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Sedangkan Kingsley Davis
berpendapat bahwa fungsionalisme struktural adalah sinonim dengan sosiologi
(George Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2012:117).
Aliran fungsionalisme struktural atau sering disebut aliran fungsionalisme
adalah aliran arus utama (mainstream) dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh
Talcott Parsons dan Robert King Merton. Teori ini tidak secara langsung
menyinggung persoalan perempuan, akan tetapi penganut aliran ini berpendapat
bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan
(agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian
selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan (equilibirium) dan keharmonisan,
sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan (Fakih, 2013:80). Teori ini
berkembang untuk menganalisis tentang struktur sosial masyarakat yang terdiri dari
berbagai elemen yang saling terkait meskipun memiliki fungsi yang berbeda.
Perbedaan fungsi tersebut justru diperlukan untuk saling melengkapi sehingga suatu
sistem yang seimbang dapat terwujud. Oleh karena itu, konsep gender menurut teori
struktural fungsional dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi masing-masing
laki-laki dan perempuan secara dikotomi agar tercipta keharmonisan laki-laki dan
perempuan.
36
Menurut penganut teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner, sehingga
konflik dalam masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan
keseimbangan. Teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional,
bernilai tinggi dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti dihindarkan. Jadi, teori
ini menentang setiap upaya yang akan menggoncang status quo, termasuk hubungan
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat selama ini (Fakih, 2013:347).
Teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons dapat dianggap sebagai
perpindahan dari teori fungsionalisme tradisional ke suatu model sistem yang umum.
Fungsionalisme struktural merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori
sistem umum dimana pendekatakan fungsinalisme yang diadopsi dari ilmu alam
khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara
mengorganisasikan dan mempertahankan sistem.
Pendekatan fungsionalisme struktural sebagaimana yang telah dikembangkan
oleh Parsons dapat kita kaji melalui sejumlah masalah anggapan dasar mereka seperti
bahwa masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari pada bagian-bagian yang
saling berhubungan satu sama lain. dengan demikian hubungan pengaruh dan
mempengaruhi diantara baagian-bagian tersebut adalah bersifat ganda dan timbal
balik (Nasikun, 2012:13).
Menurut teori fungsionalisme struktural berbagai struktur dan pranata dalam
masyarakat cenderung berhubungan secara selaras. Masyarakat dipandang sebagai
37
berada dalam keadaan berubah secara berangsur-angsur tetapi tetap dalam
keseimbangan. Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan
konflik serta perubahan-perubahan dalam masyarakat (George Ritzer, 2009:88).
Parsons melihat sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan
sosial bisa terorganisir. Disamping itu, terdapat dua sistem tindakan lain yang saling
melengkapi yaitu sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta
sistem kepribadian para pelaku individual. Parsons sangat terikat sekali dengan teori
sistem sosial. Parsons memandang masyarakat adalah sebagai sistem sosial yang
dilihat secara total. Dia memandang sistem sosial tersebut sebagai sistem parsial,
maka masyarakat itu dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang
kecil-kecil (Margareth M. Poloma, 2007:171). Yang pokok dari perspektif ini adalah
pengertian sistem, yang diartikan sebagai suatu himpunan atau kesatuan dari unsur-
unsur yang saling berhubungan selama jangka waktu tertentu, atas dasar pola tertentu
(Yesmil Anwar dan Adang, 2013:392).
Menurut Parsons sistem sosial cenderung bergerak ke arah keseimbangan atau
stabilitas. Dengan kata lain keteraturan merupakan norma sistem. Bilamana terjadi
kekacauan norma-norma, maka sistem akan mengadakan penyesuaian dan mencoba
kembali mencapai keadaan normal. Sistem sosial yang diasumsikan Talcott Parsons
adalah untuk memunculkan sui generis, yaitu masyarakat memiliki suatu realitas
independen untuk melintasi eksistensi individu sebagai suatu sistem interaksi.
Menurutnya, sistem sosial sebaiknya terdiri dari empat subsistem yaitu komunitas
38
masyarakat atau norma-norma integratif, pola pertahanan atau nilai-nilai integratif,
bentuk pemerintahan dan ekonomi atau adaptasi (Graham C. Kinloch, 2009:189).
Jika melihat kepada teori fungsionalisme strukturalnya Parsons dapat terlihat
bahwa masyarakat adalah bagian dari keseluruhan sistem kehidupan. Seperti yang
diungkapkan oleh Parsons mengenai AGIL (Adaptation, Goal Attainment, Integration
dan Lattency Maintanancy). Masyarakat memiliki sistem sosial yang didasarkan pada
norma-norma yang mengikat individu dan masyarakatnya melalui integrasi normatif,
memiliki sitem budaya, nilai generalisasi, memiliki sistem kepribadian atas basis
pembedaan dan sistem ekonomi.
AGIL sebagai suatu fungsi yaitu kumpulan kegiatan yang ditunjukan ke arah
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Suatu sistem harus memiliki
empat fungsi ini:
1. Adaptation (adaptasi), yaitu sebuah sistem harus menanggulangi situasi
eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
2. Goal attainment (pencapaian tujuan), yakni sebuah sistem harus
mendefinisikan dan mencapai tujuannya.
3. Integration (integrasi), yaitu sebuah sistem harus mengatur antar
hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus
mengelola antar hubungan tiga fungsi lainnya (A, G, L).
39
4. Latency Maintanancy (Latensi atau pemeliharaan pola), yaitu sebuah
sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi
individual maupun pola-pola kultural yang diciptakan dan menopang
motivasi (Ritzer dan Goodman, 2012:121).
Konsep AGIL bisa juga dibentuk secara hirarki menjadi LIGA, dimana pola-
pola nilai dalam sistem kultural (L), mengendalikan sistem-sistem sosial (I), yang
kemudian mengendalikan motif-motif dalam sistem pesonal (G), yang
mengendalikan sistem baru, yakni relasi antara organisme-organisme yang berprilaku
(yang akhirnya menjadi sistem) dengan lingkungan fisiknya (A) (Peter Beilharz,
2005:297).
Demikian menurut fungsionalisme struktural, faktor yang paling penting
untuk mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus antara para anggota
masyarakatnya mengenai nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. Sistem nilai ini
memiliki tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar terhadap sebagian besar anggota
masyarakat yang menganggap serta menerimanya sebagai suatu hal yang mutlak.
Sistem nilai tersebut tidak saja merupakan sumber yang menyebabkan
berkembangnya integrasi sosial, akan tetapi sekaligus juga merupakan unsur yang
menstabilisir sistem sosial budaya itu sendiri (Nasikun, 2012:14-15).
Top Related