4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jalan
2.1.1 Pengertian jalan
Menurut Alamsyah (2001:1) bahwa sejarah perkembangan jalan di Indonesia
yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia adalah pembangunan jalan Daendels
pada zaman belanda, yang dibangun dari Anyer di Banten sampai Panarukan di
Banyuwangi Jawa Timur. Yang diperkirakan 1000 km. Pembangunan tersebut
dilakukan dengan kerja paksa pada akhir abad 18. Tujuan pembangunan saat itu untuk
kepentingan strategi dan dimasa tanam paksa untuk pengangkutan hasil bumi.
Menurut PP RI NO 34 Tahun 2006 tentang jalan, jalan merupakan prasarana
transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk bagian pelengkap dan
perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada pada permukaan
tanah, diatas bawah permukaan tanah, diatas permukaan tanah dan atau air, serta diatas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
2.1.2 Klasifikasi Jalan
Menurut Alamsyah (2001:2) bahwa berkembangnya angkutan darat terutama
kendaraan bermotor yang meliputi jenis ukuran dan jumlah maka masalah kelancaran
arus lalu lintas, keamanan, kenyamanan, dan daya dukung dari perkerasan jalan perlu
pembatasan – pembatasan. Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan
suatu fungsi/ kegunaan jalan, administrasi pemerintahan, muatan sumbu yang
menyangkut tentang dimensi suatu kendaraan, serta berat kendaraan.
Menurut PP RI NO 34 Tahun 2006 klasifikasi jalan terbagi menjadi 3 bagian,
yaitu :
1. Berdasarkan Sistem Jaringan Jalan
a. Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang
menghubungkan simpul – simpul jasa distribusi. Jaringan jalan primer
5
menghubungkan secara menerus kota jenjang kesatu dengan kota jenjang
yang lain antar satuan wilayah pengembangan. Jalan primer akan berakhir
pada suatu kawasan primer (PP RI NO 34 Tahun 2006).
b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata
ruang kota yang menghubungkan kawasan – kawasan yang memiliki fungsi
primer, fungsi sekunder dan sampai ke perumahan (PP RI NO 34 Tahun
2006).
2. Berdasarkan Fungsinya
a. Jalan Arteri Primer
Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan kota kegiatan
nasional dengan pusat kegiatan wilayah (PP RI NO 34 Tahun 2006). Untuk
jalan arteri primer wilayah perkotaan memiliki beberapa kriteria, yaitu :
- Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar
kota.
- Jalan arteri melalui atau menuju kawasan primer
- Dirancang kecepatan rencana minimal 60 km/jam
- Lebar jalan tidak kurang dari 11 meter
- Lalu lintas jalan arteri primer tidak boleh terganggu lalu lintas lokal
- Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan
menggunakan jalan arteri primer.
- Persimpangan diatur sesuai volume lalu lintas
b. Jalan Kolektor Primer
Jalan kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan kota pusat
kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal jenjang ketiga (PP RI NO 34
Tahun 2006). Untuk wilayah perkotaan beberapa kriterinya, yaitu :
- Jalan kolektor menuju kawasan primer atau jalan arteri primer
- Dirancang kecepatan rencana 40 km/jam
- Lebar badan jalan tidak kurang dari 9 meter
6
- Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan
menggunakan jalan ini
- Persimpangan diatur sesuai volume lalu lintas
- Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian rata –
rata
- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi dan tidak diijinkan pada jam
sibuk
c. Jalan Lokal Primer
Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan pusat kegiatan lokal
dengan pusat kegiatan lingkungan (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria
untuk jalan lokal primer, yaitu :
- Menuju kawasan primer atau jalan primer
- Dirancang untuk kecepatan rencana 20 km/jam
- Lebar jalan tidak kurang dari 7,5 meter
- Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan
menggunakan jalan ini.
d. Jalan Lingkungan Primer
Jalan Lingkungan Primer adalah jalan yang menghubungkan antarpusat
kegiatan didalam kawasan pedesaan dan jalan yang ada di lingkungan desa.
Kriteria untuk jalan lokal primer, yaitu :
- Kecepatan paling rendah 15 km/jam
- Lebar badan jalan paling sedikit 6,5 m
Kawasan primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi
primer adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai
pelayanan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota dan wilayah pengembangannya.
e. Jalan Arteri Sekunder
Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan kawasan
sekunder (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan arteri sekunder,
yaitu :
7
- Dirancang kecepatan paling rendah 30 km/jam
- Lebar badan jalan tidak kurang dari 11 meter
- Kendaraan angkutan berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini
diadaerah permukiman
- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi
f. Jalan Kolektor Sekunder
Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
kawasan sekunder kedua (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan
kolektor sekunder, yaitu :
- Dirancang kecepatan paling rendah 20 km/jam
- Lebar badan jalan tidak kurang dari 9 meter
- Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata
- Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi
g. Jalan Lokal Sekunder
Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder dan kawasan
perumahan (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan lokal sekunder,
yaitu :
- Dirancang kecepatan paling rendah 10 km/jam
- Lebar badan jalan tidak kurang dari 7,5 meter
- Kendaraan angkutan berat dan bus tidak diijinkan melalui fungsi jalan
ini didaerah permukiman.
h. Jalan Lingkungan Sekunder
Jalan lingkungan sekunder menghubungkan kawasan persiil dan kawasan
perkotaan (PP RI NO 34 Tahun 2006). Kriteria untuk jalan lingkungan
sekunder, yaitu :
- Dirancang kecepatan paling rendah 10 km/jam
- Lebar badan jalan tidak kurang dari 6,5 meter
3. Berdasarkan Wewenang Pembinaan
a. Jalan Nasional
8
Penerapan status jalan sebagai jalan nasional dilakukan dengan keputusan
menteri (PP RI NO 34 Tahun 2006).
Jalan yang termasuk dalam jalan nasional, yaitu :
- Jalan arteri primer
- Jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota provinsi
- Jalan strategi nasional
b. Jalan Provinsi
Jalan yang termasuk kelompok jalan provinsi adalah jalan kolektor primer
yang mneghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota
kabupaten/kotamadya atau antar ibukota kabupaten/kotamadya. Penerapan
status jalan sebagai jalan provinsi dilakukan dengan keputusan Menteri
Dalam Negeri atas usulan Pemda tingkat I yang bersangkutan (PP RI NO
34 Tahun 2006). Jalan yang termasuk dalam jalan provinsi, yaitu :
- Jalan kolektor primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan
ibukota kabupaten atau kota
- Jalan kolektor primer yang menghubungkan antaribukota kabupaten
atau kota
- Jalan strategi provinsi
- Jalan di daerah khusus ibukota Jakarta
c. Jalan Kabupaten
Jalan yang termasuk kelompok jalan kabupaten adalah jalan kolektor
primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, jalan lokal
primer dan jalan sekunder. Penerapan status jalan sebagai jalan provinsi
dilakukan dengan keputusan Gurbenur atas usulan Pemda tingkat II yang
(PP RI NO 34 Tahun 2006). Jalan yang termasuk dalam jalan kabupaten,
yaitu :
- Jalan kolektor primer yang tidak termasuk jalan nasional
- Jalan local primer yang menghubungkan antaribukota kabupaten sengan
pusat desa, antaribukota kecamatan, ibukota kecamatan dengan desa,
dan antardesa.
9
- Jalan strategi kabupaten
- Jalan sekunder yang tidak termasuk jalan provinsi
d. Jalan Kotamadya
Jalan yang termasuk kelompok jalan kotamdya adalah jalan sekunder
didalam kotamdya. Penerapan status jalan sebagai jalan kotamya dilakukan
dengan keputusan Gurbenur atas usulan Pemda kotamadya yang
bersangkutan (PP RI NO 34 Tahun 2006).
e. Jalan Khusus
Jalan yang termasuk kelompok jalan kabupaten adalah jalan yang dibangun
dan dipelihara oleh instansi atau badan hukum atau perorangan untuk
kepentingan masing - masing . Penerapan status ruas jalan khusus
dilakukan oleh instansi atau badan hukum atau perorangan yang memiliki
ruas jalan tersebut dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh
Menteri Pekerjaan Umum (PP RI NO 34 Tahun 2006).
f. Jalan Tol
Jalan tol adalah jalan yang dibangun dimana pemilikan dan hak
penyelenggarannya ada pada Pemerintah atas usul Menteri, Prsiden
menetapkan suatu ruas jalan tol dan haruslah merupakan alternative lintas
jalan yang sudah ada. Persyaratan lainnya jalan tol harus memberikan
keandalan yang lebih tinggi kepada para pemakainya daripada jalan umum
yang ada, dan pelaksanaanya diatur dengan peraturan pemerintah (PP RI
NO 34 Tahun 2006).
2.1.3 Daerah Penguasaan Jalan
Daerah penguasaan jalan adalah suatu daerah termasuk segala sesuatu termasuk
di dalam daerah tersebut yang dikuasai untuk segala keperluan suatu jalan
(Hendarsin,2000).
Daerah penguasaan jalan diberlakukan untuk pengembangan suatu jalan demi
kelancaran dan kenyamanan arus lalu lintas bagi pengguna jalan itu sendiri seperti
10
pengemudi, pejalan kaki serta pengguna jalan di sekitarnya seperti tempat tinggal, dan
ruang untuk kegiatan perekonomian atau industri.
Daerah penguasaan jalan terbagi atas 3 bagian, yaitu :
1. Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA)
Damaja adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan
kedalaman dengan ketentuan batas tertentu (Hendarsin,2000). Ruang tersebut
digunakan untuk medan utama suatu jalan yang berupa perkerasan jalan, jalur
pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar, lereng, ambang pengaman,
timbunan dan galian, goronggorong, perlengkapan jalan dan bangunan
pelengkap lainnya. Ruang untuk Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA) ini
mempunyai ketentuanketentuan yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi
b. ketinggian berada pada 5 m di atas permukaan perkerasan pada sumbu
jalan
c. Kedalaman ruang bebas sebesar 1,5 m di bawah permukaan jalan
2. Daerah Milik Jalan (DAMIJA)
Damija adalah ruang sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan
kedalaman dengan ketentuan batas tertentu (Hendarsin,2000). Damija
digunakan untuk keperluan Damaja dan pelaksanaan maupun penambahan jalur
lalu lintas di kemudian hari serta kebutuhan ruang untuk pengamanan jalan.
Ketentuan yang harus diperhatikan di dalam Damija adalah :
a. Penambahan ambang pengaman konstruksi jalan dengan ketinggian
sebesar 5 m
b. Kedalaman ruang bebas sebesar 1,5 m
3. Daerah Penguasaan Jalan (DAWASJA)
Dawasja adalah ruang sepanjang jalan di luar Damaja yang dibatasi oleh tinggi
dan lebar tertentu (Hendarsin,2000). Ruang dawasja ini penggunanya diawasi
oleh pembina jalan dengan tujuan supaya pandangan pengemudi saat
berkendara dan konstruksi bangunan jalan tidak terganggu. Dawasja ditentukan
berdasarkan kebutuhan terhadap pandangan pengemudi oleh Pembina Jalan.
11
Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang bebas serta dibatasi
oleh lebar yang diukur dari as jalan.
Dawasja juga memiliki ketentuan yang harus diperhatikan bagi pengguna jalan
dan di sekitarnya yang meliputi :
a. Jalan arteri primer tidak kurang dari 20 m
b. Jalan arteri sekunder tidak kurang dari 20 m
c. Jalan kolektor primer tidak kurang dari 15 m
d. Jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 m,
e. Jalan lokal primer tidak kurang dari 10 m
f. Jalan lokal sekunder tidak kurang dari 4 m
g. Jembatan tidak kurang dari 100 m ke arah hulu dan hilir.
2.2 Perkerasan Jalan Raya
Perkerasan jalan adalah bagian dari jalan raya yang diperkeras menggunakan lapis
konstruksi tertentu yang mempunyai ketebalan, kekuatan, kekakuan dan kestabilan
tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu-lintas diatasnya ke tanah dasar secara
aman. Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan
tanah dasar dan roda kendaraan,yang terdiri dari campuran agregat dan bahan ikat.
Agregat yang dipakai terdiri dari batu pecah, batu belah, batu kali atau bahan lainnya,
sedangkan bahan ikat yang dipakai ialah aspal, semen ataupun tanah liat. Menurut
Sukirman (1999:4) berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat
dibedakan atas:
a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan perkerasan
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Sifat dari
perkerasan ini adalah memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
Pengaruhnya terhadap repitisi beban adalah timbulnya rutting
b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu perkerasan yang
menggunakan semen (portland cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton
dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis
12
pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. Sifat
lapisan utama (plat beton) yaitu memikul sebagian besar beban lalu lintas.
Pengaruhnya terhadap repitisi beban adalah timbulnya retak-retak pada
permukaan jalan.
c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu perkerasan kaku
yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa perkerasan lentur
diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasan lentu
Perbedaan utama perkerasan kaku dan lentur diberikan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku
Perkerasan Lentur Perkerasan Kaku
1 Bahan pengikat Aspal Semen
2 Repetisi beban Timbul Rutting (lendutan pada
jalur roda)
Timbul retak-retak pada
permukaan
3 Penurunan tanah
dasar
Jalan bergelombang
(mengikuti tanah dasar)
Bersifat sebagai balok di
atas perletakan
4 Perubahan
temperature
Modulus kekakuan berubah.
Timbul tegangan dalam yang kecil
Modulus kekakuan
tidak berubah Timbul
tegangan dalam yang
besar
Sumber : Sukirman,1999
2.3 Pengertian Perkerasan Kaku
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:3) Perkerasan beton semen
atau perkerasan kaku merupakan suatu struktur bangunan yang umumnya terdiri dari
tanah dasar, lapis pondasi bawah dan lapis beton semen dengan atau tanpa tulangan.
Perkerasan beton semen adalah struktur yang terdiri atas pelat beton semen yang
bersambung (tidak menerus) menggunakan atau tidak menggunakan tulangan, atau
menerus menggunakan tulangan, terletak di atas lapis pondasi bawah atau tanah dasar,
tanpa atau dengan lapis permukaan beraspal. Struktur perkerasan beton semen secara
tipikal sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1
13
Gambar 2.1 Tipikal struktur perkerasan beton semen
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
Susunan dari perkerasaan ini antara lain :
1. Lapisan pelat beton (Concrete Slab), merupakan lapisan beton tebal yang
berupa gabungan lapisan base dengan surface. Umumnya tebal lapisan ini
berkisar antara 20 – 30 cm (tergantung permintaan/ kondisi lalu lintas). Lapisan
ini biasanya diberikan tambahan tulangan kembang susut (Shringkage Bar) dan
tulangan konstruksi (Construction Bar) antar segmennya. Untuk ukuran tiap
segmennya bervariasi tergantung permintaan/ kondisi lalu lintas yaitu dengan
lebar segmen beton sekitar 2,5 – 3 m, dan panjangnya berkisar 4 – 5 m. Pada
sambungan antar segmen umunya digunakan campuran aspal emulsi atau
sealant guna mereduksi pergerakan akibat pemuaian. Serta pada permukaannya
lapisan ini dibuat grid untuk menambah gaya gesekan yang terjadi dengan ban
roda kendaraan.
2. Lapisan pondasi bawah (Sub-base Course), lapisan pondasi bawah ini berupa
pelat beton tipis dengan ukuran 5 – 10 cm yang terletak di atas tanah dasar atau
disebut Lean Concrete. Pada lapisan ini harus direncanakan dan diperhitungkan
dengan baik mengenai material yang digunakannya, dikarenakan pada lapisan
ini merupakan lapisan pelindung bagi tanah dasar terhadap rembesan air.
Sebelum pekerjaan lapisan ini biasanya diberi plastik guna mencegah rembesan
air dari permukaan yang bisa membuat kerusakan.
3. Lapisan tanah dasar (Sub Grade) merupakan lapisan dasar dari perkerasan
lainnya yang berupa tanah asli galian atau timbunan yang dipadatkan
14
Struktur perkerasan beton semen secara tipikal sebagaimana terlihat pada
gambar 2.5.
Perkerasan beton semen dibedakan ke dalam 4 jenis :
a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan(Jointed reinforced
Concrete Pavement)
b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan (Jointed Reinforced
Concrete Pavement)
c. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan (Continously Reinforced
Concrete Pavement)
d. Perkerasan beton semen pra-tegang (Prestressed Concrete Pavement)
Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari
pelat beton. Sifat daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton semen.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan, dan
perubahan kadar air selama masa pelayanan.
Pada perkerasan beton semen, daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari
pelat beton. Sifat daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton semen.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah kadar air pemadatan, kepadatan, dan
perubahan kadar air selama masa pelayanan.
Lapis pondasi bawah pada perkerasan beton semen adalah bukan bagian utama
yang memikul beban, tetapi bagian yang berfungsi sebagai berikut:
- Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
- Mencegah intrusi dan memompaan pada sambungan, retakan dan tepi-tepi
pelat.
- Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.
- Sebagai perkerasan lantai kerja selama perkerasan.
Pelat beton semen memiliki sifat yang cukup kaku serta menyebarkan beban
pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan-lapisan
di bawahnya.
15
2.4 Komponen Konstruksi Perkerasan Kaku
Adapun Komponen Konstruksi Perkerasan Beton Semen (Rigid Pavement) adalah
sebagai berikut:
2.4.1 Tanah Dasar (Subgrade)
Menurut Hendarsin (2000: 212) Daya dukung lapisan tanah dasar adalah hal
yang sangat penting dalam perencanaan tebal lapis perkerasan, jadi tujuan evaluasi
lapisan tanah dasar ini untuk mengestimasi nilai daya dukung subgrade yang akan
digunakan dalam perencanaan.
2.4.2 Lapis Pondasi (Subbase)
Menurut Alamsyah (2001:149) Alasan dan keuntungan digunakannya lapisan
pondasi bawah (Subbase) di bawah perkerasan kaku adalah sebagai berikut:
a) Menambah daya dukung tanah dasar
b) Menyediakan lantai kerja yang stabil untuk peralatan konstruksi
c) Untuk mendapatkan permukaan daya dukung yang seragam
d) Untuk mengurangi lendutan pada sambungan pada – sambungan sehingga
menjamin penyaluran beban melalui sambungan muai dalam jangka waktu
lama
e) Untuk membantu menjaga perubahan volume lapisan tanah dasar yang
besar akibat pemuaian atau penyusutan
f) Untuk mencegah kaluarnya air pada sambungan atau tepi-tepi pelat
(pumping)
2.4.3 Tulangan
Menurut Alamsyah (2001:155) Tujuan dasar distribusi penulangan baja adalah
bukan untuk mencegah terjadinya retak pada pelat beton tetapi untuk membatasi lebar
retakan yang timbul pada daerah dimana beban terkonsentrasi agar tidak terjadi
pembelahan pelat beton pada daerah retak tersebut, sehingga kekuatan pelat tetap dapat
dipertahankan.
Banyaknya tulangan baja didistribusikan sesuai denga kebutuhan untuk
keperluan ini yang akan ditentukan oleh jarak sambungan susut, dalam hal ini
16
dimungkinkan pengguna pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah
sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan.
1) Kebutuhan Penulangan pada Perkerasan Bersambung Tanpa Tulangan
Pada perkerasan bersambung tanpa tulangan, penulangan tetap dibutuhkan
untuk mengantisipasi atau meminimalkan retak pada tempattempat dimana
dimungkinkan terjadi konsentrasi tegangan yang tidak dapat dihindari.
Tipikal penggunaan penulangan khusus ini antara lain :
a. Tambahan pelat tipis
b. Sambungan yang tidak tepat
c. Pelat kulah atau struktur lain
2) Penulangan pada Perkerasan Bersambung dengan Tulangan Luas tulangan pada
perkerasan ini dihitung dari persamaan sebagai berikut:
Dimana :
As= luas tulangan yang diperlukan (mm2/m lebar)
F= koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya
L = jarak antara sambungan (m)
h = tebal pelat (mm)
fs = tegangan tarik baja ijin (Mpa)
3) Penulangan pada Perkerasan Menerus dengan Tulangan
a. Tulangan Memanjang
Dimana :
Ps =
Presentase tulangan memanjang yang dibutuhkan
terhadap penampang beton (%)
ft = Kuat tarik beton yang digunakan 0,4-0,5 f (Mpa)
fy = Tegangan leleh rencana baja, fy < 400Mpa
17
n = Angka ekialen antara baja dan beton = Es/Ec
F =
Koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan
di bawahnya
Es = Modulus elastisitas baja
Ec = Modulus elastisitas beton
Presentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton
menerus adalah 0,6% dari luas penampang beton.
b. Tulangan Melintang
Luas tulangan melintang yang diperlukan pada perkerasan beton
menerus, dihitung dengan persamaan yang sama seperti pada perhitungan
penulangan perkerasan beton bersambung tanpa tulangan.
4) Sambungan atau Joint
Menurut Hendarsin (2000:254) Perencanaan sambungan pada perkerasan
kaku, merupakan bagian yang harus dilakukan pada perencanaan, baik jenis
perkerasan beton bersambung tanpa atau dengan tulangan, maupun pada jenis
perkerasan beton menerus dengan tulangan.
2.5 Perencanaan Perkerasan Kaku
Menurut Hendarsin (2000:210) berbagai pertimbangan yang diperlukan dalam
perencanaan tebal perkerasan antara lain meliputi:
2.5.1 Pertimbangan konstruksi dan pemeliharaan
Konstruksi dan pemeliharaannya kelak setelah digunakan, harus dijadikan
pertimbangan dalam merencakan tebal perkerasan. Faktor yang perlu dipertimbangkan,
yaitu:
- Perluasan dan jenis drainase
- Penggunaan konstruksi berkotak-kotak
- Ketersediaan peralatan
- Penggunaaan Konstruksi Bertahap
- Penggunaan Stabilitas
18
- Kebutuhan dari segi lingkungan dan keamanan pemakai
- Pertimbangan Sosial dan Strategi pemeliharaan
- Resiko-resiko yang mungkin terjadi.
2.5.2 Pertimbangan lingkungan
Faktor yang dominan berpengaruh pada perkerasan adalah:
a. Kelembaban
Kelembapan secara umum berpengaruh terhadap penampilan
perkerasan, sedangkan kekakuan/kekuatan material yang lepas dan tanah
dasar, tergantung kadar air materialnya.
b. Suhu Lingkungan
Pada perkerasan dengan beton, temperature yang tinggi juga akan
berpengaruh besar, terutama pada saat perkerasan konstruksi.
2.5.3 Evaluasi lapisan tanah dasar (subgrade)
Daya dukung lapisan tanah dasar adalah hal yang sangat penting dalam
merencanakan tebal lapisan perkerasan, jadi tujuan evaluasi lapisan tanah dasar ini
untuk mengestimasi nilai daya dukung subgrade yang akan digunakan dalam
perencanaan
1. Faktor pertimbangan untuk estimasi daya dukung
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengestimasi nilai
kekuatan dan kekakuan lapisan tanah dasar.
- Urutan pekerjaan tanah
- Penggunaan kadar air (w) pada saat pemadatan (kompaksi) dan kepadatan
lapangan (γd) yang dicapai
- Perubahan kadar air selama usia pelayanan
- Variabilitas Tanah Dasar
- Ketebalan lapisan perkerasan total yang dapat diterima lapisan lunak yang
ada di bawah lapisan tanah dasar.
-
19
2. Pengukuran daya dukung subgrade
Pengukuran daya dukung subgrade (lapisan tanah dasar) yang digunakan,
dilakukan dengan cara :
- California Bearing Ratio (CBR)
- Modulus Reaksi Tanah Dasar (k)
- Parameter Elastis
- Pengambilan Nilai CBR Perkiraan.
2.5.4 Material perkerasan
Material perkerasan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori
sehubungan dengan sifat dasarnya,, akibat beban lalu lintas, yaitu:
- Material berbutir lepas
- Material terikat
- Aspal
- Beton semen
2.5.5 Lalu lintas rencana
Kondisi lalu lintas yang akan menentukan pelayanan adalah :
- Jumlah sumbu yang lewat
- Beban sumbu
- Konfigurasi sumbu
Untuk semua jenis perkerasan, penampilan dipengaruhi terutama oleh kendaraan
berat.
2.6 Perencanaan Tebal Perkerasan Kaku
2.6.1 Metode Bina Marga 2003
Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode Bina Marga 2003 terdiri dari:
2.6.1.1 Tanah Dasar
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:7) Daya dukung
tanah dasar ditentukan dengan pengujian CBR insitu sesuai dengan SNI 03-173101989
atau CBR laboratorium sesuai dengan SNI 031744-1989, masing-masing untuk
20
perencanaan tebal perkerasan lama dan perkerasan jalan baru. Apabila tanah dasar
mempunyai nilai CBR lebih kecil dari 2 %, maka harus dipasang pondasi bawah yang
terbuat dari beton kurus (Lean-Mix Concreate) setebal 15 cm yang dianggap
mempunyai nilai CBR tanah dasar efektif 5%.
2.6.1.2 Pondasi Bawah
Menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:8) Bahan
pondasi bawah dapat berupa :
a. Bahan berbutir.
b. Stabilisasi atau dengan beton kurus giling padat (Lean Rolled Concrete).
c. Campuran beton kurus (Lean-Mix Concrete).
Lapis pondasi bawah perlu diperlebar sampai 60 cm diluar tepi perkerasan
beton semen. Untuk tanah ekspansif perlu pertimbangan khusus perihal jenis dan
penentuan lebar lapisan pondasi dengan memperhitungkan tegangan pengembangan
yang mungkin timbul. Pemasangan lapis pondasi dengan lebar sampai ke tepi luar lebar
jalan merupakan salah satu cara untuk mereduksi perilaku tanah ekspansif. Tebal lapis
pondasi bawah minimum yang disarankan dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan CBR
anah dasar efektif didapat dari Gambar 2.2
Gambar 2.2 Tebal pondasi bawah minimum untuk perkerasan beton semen
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
21
Gambar 2.3 CBR tanah dasar efektif dan tebal pondasi bawah
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
2.6.1.3 Beton Semen
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:9) Kekuatan beton
harus dinyatakan dalam nilai kuat tarik lentur (flexural strenght) umur 28 hari, yang
didapat dari hasil pengujian balok dengan pembebanan tiga titik (ASTM C-78) yang
besarnya secara tipikal sekitar 3-5 MPa (3050 kg/cm2).
Kuat tarik lentur beton yang diperkuat dengan bahan serat penguat seperti
serat baja, aramit atau serat karbon harus mencapai kuat tarik lentur 5–5,5 MPa (50-55
kg/cm2). Kekuatan rencana harus dinyatakan dengan kuat tarik lentur karakteristik
yang dibulatkan hingga 0,25 MPa (2,5 kg/cm2) terdekat.
Hubungan antara kuat tekan karakteristik dengan kuat tarik-lentur beton dapat
didekati dengan rumus berikut :
fcf = K (fc’)0,50 dalam Mpa atau..............................(1)
fcf = 3,13 K (fc’)0,50 dalam kg/cm2..........................(2) Dengan pengertian :
fc’ : kuat tekan beton karakteristik 28 hari (kg/cm2) fcf : kuat
tarik lentur beton 28 hari (kg/cm2)
K : konstanta 0,7 untuk agregat tidak dipecah dan 0,75 agregat pecah.
22
Kuat tarik lentur dapat juga ditentukan dari hasil uji kuat tarik belah beton
yang dilakukan menurut SNI 03-2491-1991 sebagai berikut :
fcf = 1,37.fcs, dalam Mpa atau..............................(3)
fcf = 13,44.fcs, dalam kg/cm2................................(4) Dengan pengertian :
fcs : kuat tarik belah beton 28 hari
2.6.1.4 Lalu-lintas
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:10) Penentuan beban
lalu-lintas rencana untuk perkerasan beton semen, dinyatakan dalam sumbu kendaraan
niaga (commercial vehicle), sesuai dengan konfigurasi sumbu pada lajur rencana
selama umur rencana.
Lalu-lintas harus dianalisa berdasarkan hasil perhitungan volume lalulintas
dan konfigurasi sumbu. Jenis kendaraan yang ditinjau untuk perencanaan perkerasan
beton semen adalah kendaraan niaga (commercial vehicle) yang mempunyai berat total
minimum 5 ton.
Konfigurasi sumbu untuk perencanaan terdiri dari atas 4 jenis kelompok
sumbu sebagai berikut :
- Sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
- Sumbu tunggal roda ganda (STRG).
- Sumbu tandem roda ganda (STdRG).
- Sumbu tridem roda ganda (STrRG).
2.6.1.4.1 Lajur rencana dan koefisien distribusi
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan
raya yang menampung lalu-lintas kendaraan niaga terbesar. Jika jalan tidak memiliki
tanda batas lajur, maka jumlah lajur dan koefsien distribusi (C) kendaraan niaga dapat
ditentukan dari lebar perkerasan sesuai Tabel 2.2
23
Tabel 2.2 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan dan koefisien distribusi
(C) kendaraan niaga pada lajur rencana
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
2.6.1.4.2 Umur rencana
Umur rencana adalah jangkawaktu dalam tahun sampai perkerasan harus
diperbaiki atau ditinngkatkan. Perbaikan terdiri dari pelapisan ulang, penambahan, atau
peningkatan. Umumnya perkerasan beton semen dapat direncanakan dengan umur
rencana (UR) 20 tahun sampai 40 tahun.
2.6.1.4.3 Pertumbuhan lalu-lintas
Volume lalu-lintas akan bertambah sesuai dengan umur rencana atau
sampai tahap dimana kapasitas jalan dicapai dengan faktor pertumbuhan lalu-lintas
yang dapat ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut :
R = (1 + 𝑖)UR − 1/𝑖 .................................................(5)
Dengan pengertian :
R : Faktor pertumbuhan lalu lintas
i : Laju pertumbuhan lalu lintas per tahun dalam %.
UR : Umur rencana (tahun)
Faktor pertumbuhan lalu-lintas (R) dapat juga ditentukan berdasarkan Tabel
2.3 berikut ini :
Tabel 2.3 Faktor pertumbuhan lalu- lintas (R)
Umur
Rencana
(Tahun)
Laju Pertumbuhan (i) per tahun (%)
0 2 4 6 8 10
5 5 5,2 5,4 5,6 5,9 6,1
24
10 10 10,9 12 13,2 14,5 15,9
15 15 17,3 20 23,3 27,2 31,8
20 20 24,3 29,8 36,8 45,8 57,3
25 25 32 41,6 54,9 73,1 98,3
30 30 40,6 56,1 79,1 113,3 164,5
35 35 50 73,7 111,4 172,3 271
40 40 60,4 95 154,8 259,1 442,6
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
2.6.1.4.4 Lalu-lintas rencana
Lalu-lintas rencana adalah jumlah kumulatif sumbu kendaraan niaga pada
lajur rencana selama umur rencana, meliputi proporsi sumbu serta distribusi beban
pada setiap jenis sumbu kendaraan. Beban pada suatu jenis sumbu secara tipikal
dikelompokkan dalam interval 10 kN (1 ton) bila diambil dari survai beban.
Jumlah sumbu kendaraan niaga selama umur rencana dihitung dengan
rumus berikut :
JSKN = JSKN x 365 x R x C ...............................(6)
Dengan pengertian :
JSKN : Jumlah total sumbu kendaraan niaga selama umur rencana .
JSKNH : Jumlah total sumbu kendaraan niaga per hari pada saat jalan dibuka.
R : Faktor pertumbuhan kumulatif dari Rumus (4) atau Tabel 2 atau
Rumus (5), yang besarnya tergantung dari pertumbuhan lalu lintas
tahunan dan umur rencana.
C : Koefisien distribusi kendaraan
2.6.1.4.5 Faktor keamanan beban
Pada penentuan beban rencana, beban sumbu dikalikan dengan faktor
keamanan beban (FKB). Faktor keamanan beban ini digunakan berkaitan adanya
berbagai tingkat realibilitas perencanaan seperti terlihat pada Tabel 2.4
25
Tabel 2.4 Faktor keamanan beban (FKB)
No. Penggunaan Nilai
FKB
1
Jalan bebas hambatan utama (major freeway) dan jalan berlajur
banyak, yang aliran lalu lintasnya tidak terhambat serta volume
kendaraan niaga yang tinggi. Bila menggunakan data lalu lintas dari
hasil survey beban (weight-in-motion) dan adanya kemungkinan route
alternatif, maka nilai faktor keamanan beban dapat dikurangi menjadi
1,15
1,2
2 Jalan bebas hambatan (freeway) dan jalan arteri dengan volume
kendaraan niaga menengah 1,1
3 Jalan dengan volume kendaraan niaga rendah 1,0
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
2.6.1.5 Bahu
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:12) Bahu dapat
terbuat dari bahan lapisan pondasi bawah dengan atau tanpa lapisan penutup beraspal
atau lapisan beton semen. Perbedaan kekuatan antara bahu dengan jalur lalu-lintas akan
memberikan pengaruh pada kinerja perkerasan. Hal tersebut dapat diatasi dengan bahu
beton semen, sehingga akan meningkatkan kinerja perkerasan dan mengurangi tebal
pelat. Yang dimaksud dengan bahu beton semen dalam pedoman ini adalah bahu yang
dikunci dan diikatkan dengan lajur lalu-lintas dengan lebar minimum 1,50 m atau bahu
yang menyatu dengan lajur lalu-lintas selebar 0.60 m, yang juga dapat mencakup
saluran dan kereb.
2.6.1.6 Sambungan
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:13) Sambungan
pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
- Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh
penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.
- Memudahkan pelaksanaan.
- Mengakomodasi gerakan pelat.
Pada perkerasan beton semen terdapat beberapa jenis sambungan antara lain:
26
a) Sambungan memanjang dengan batang pengikat (tie bars)
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan
terjadinya retak memanjang. Jarak antar sambungan memanjang 3 – 4 m.
Sambungan memanjang harus dilengkapi dengan batang ulir dengan mutu
minimum BJTU-24 dan berdiameter 16 mm. Ukuran batang pengikat dihitung
dengan persamaan sebagi berikut :
At = 204 x b x h dan
l = (38,3 x ø) +75
Dengan pengertian :
At = Luas penampang tulangan per meter panjang sambungan (mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi
perkerasan (m).
h = Tebal pelat (m).
l = Panjang pengikat batang pengikat(mm).
Ø = Diameter batang pengikat yang dipilih (mm).
Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 75 cm.
b) Sambungan pelaksanaan memanjang
Sambungan perkerasan memanjang umumnya dilakukan dengan cara
penguncian. Bentuk dan ukuran penguncian dapat berbentuk trapezium atau
setengah lingkaran.
27
Gambar 2.4 Tipikal sambungan memanjang
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
c) Sambungan susut memanjang
Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara
ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton masih plastis dengan
kedalaman sepertiga dari tebal pelat.
d) Sambungan susut dan sambungan pelaksanaan melintang
Ujung sambungan ini harus tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan dan
tepi perkerasan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan melintang harus
dipasang dengan kemiringan 1:10 searah perputaran jarum jam.
e) Sambungan susut melintang
Jarak sambungan susut melintang untuk perkerasan beton bersambung
dengan tulangan sekitar 4 - 5 m, sedangkan untuk perkerasan beton bersambung
dengan tulangan 8 – 15 m dan untuk sambungan perkerasan beton menerus
dengan tulangan sesuai dengan kemampuan pelaksanaan.
Sambungan ini harus dilengkapi dengan ruji polos panjang 45 cm, jarak
antara ruji 30 cm, lurus dan bebas dari tonjolan tajam yang akan mempengaruhi
gerakan bebas pada saat pelat beton menyusut. Setengah panjang ruji polos
harus dicat atau dilumuri dengan bahan anti lengket untuk menjamin tidak ada
ikatan dengan beton.
Diameter ruji tergantung pada tebal pelat beton sebagaimana terlihat pada
Tabel 2.5
Tabel 2.5 Diameter Ruji
No. Tebal pelat beton, h (mm) Diamater ruji (mm)
1. 125 < h ≤ 140 20
2. 140 < h ≤ 160 24
28
3. 160 < h ≤ 190 28
4. 190 < h ≤ 220 33
5. 220 < h ≤ 250 36
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
f) Sambungan pelaksanaan melintang
Sambungan pelaksanaan melintang yang tidak direncanakan (darurat) harus
menggunakan pengikat berulir, sedangkan pada sambungan yang direncanakan
harus menggunakan batang tulangan polos yang diletakkan di tengah tebal
pelat.
Gambar 2.5 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak
direncanakan untuk pengecoran per lajur
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
Gambar 2.6 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak
direncanakan untuk pengecoran per lajur
(Sumber: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah,2003)
29
2.6.1.7 Prosedur Perencanaan
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2003:20) Prosedur
perencanaan perkerasan beton semen didasarkan atas dua model kerusakan yaitu:
1) Retak fatik (lelah) tarik lentur pada pelat.
2) Erosi pada pondasi bawah atau tanah dasar yang diakibatkan oleh lendutan
berulang pada sambungan dan tempat retak yang direncanakan.
Prosedur ini mempertimbangkan ada tidaknya ruji pada sambungan atau
bahu beton. Perkerasan beton semen menerus dengan tulangan dianggap sebagai
perkerasan bersambung yang dipasang ruji. Data lalu lintas yang diperlukan adalah
jenis sumbu dan distribusi beban serta jumlah repetisi masing-masing jenis
sumbu/kombinasi beban yang diperkirakan selama umur rencana.
2.6.2 Metode American Association of State High-way Transportation Officials
atau AASHTO 1993
Parameter perencanaan perkerasan kaku Metode AASHTO 1993 terdiri dari:
2.6.2.1 Lalu-lintas
Menurut Suryawan (2009:27) Perhitungan lalu-lintas berdasarkan nilai
ESAL (Equivalent Single Axle Load) selama umur rencana (traffic design).
Rumus umum :
Dimana:
W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas, ESAL
LHRj = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j.
VDFj = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j.
DD = Faktor distribusi arah.
30
DL = Faktor distribusi lajur.
N1 = Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.
Nn = Lalu-lintas pada akhir umur rencana.
Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan kaku adalah
lalu-lintas kumulatif selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan
beban gandar standar kumulatif pada jalur rencana selama setahun (W18) dengan
besaran kenaikan lalu-lintas (traffic growth).
Rumus lalu-lintas kumulatif sebagai berikut :
Dimana :
Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif.
W18 = Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun.
n = Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun).
g = Perkembangan lalu-lintas (%).
2.6.2.2 Tanah Dasar
Menurut Suryawan (2009:28) Dalam perencanaan perkerasan kaku CBR
(California Bearing Ratio) digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi
tanah dasar (k).
CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6% untuk lapis
tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (versi Departemen Pekerjaan Umum 2005 dan
versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta 2004). Akan tetapi tanah dasar dengan nilai
CBR 5% dan atau 4% pun dapat digunakan setelah melalui geoteknik, dengan CBR
kurang 6% ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan.
31
2.6.2.3 Material Konstruksi Perkerasan
Menurut Suryawan (2009:28) Material perkerasan yang digunakan dengan
parameter yang terkait dalam perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut:
1. Pelat beton
Flexural strength (Sc’) = 45 kg/cm2
Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : Fc’ = 350 kg/cm2
(disarankan)
2. Wet lean concrete
Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : Fc’ = 105 kg/cm2
Sc’ digunakan untuk penentuan Flexural strength, Fc digunakan untuk
penentuan parameter modulus elastisitas beton (Ec).
2.6.2.4 Reliability
Menurut Suryawan (2009:28) Reliability adalah probabilitas bahwa
perkerasan yang direncanakan akan tetap memuaskan selama masa layannya.
Penetapan angka reliability dari 50% sampai 99,99% menurut AASHTO
merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi kemungkinan
melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability yang
dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih (deviasi)
desain. Besaranbesaran desain yang terkait dengan ini antara lain :
Peramalan kinerja perkerasan
Peramalan lalu-lintas.
Perkiraan tekanan gandar.
Pelaksanaan konstruksi.
Mengkaji keempat faktor di atas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya
sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi tidak ada satu
jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor tersebut menyimpang. Penetapan
Reliability mengacu pada Tabel 2.6, Standar normal deviasi (ZR) mengacu pada Tabel
2.7. Sedangkan standar deviation rigid pavement : So = 0,30 – 0,40.
32
Tabel 2.6 Reliability (R) disarankan
Klasifikasi Jalan Reliability
Urban Rural
Jalan tol 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50 – 80
(Sumber: AASHTO 1993)
Tabel 2.7 Standar normal deviation (ZR)
R (%) ZR
R
(%) ZR
50 -0,000 93 -1,476
60 -0,253 94 -1,555
70 -0,524 95 -1,645
75 -0,674 96 -1,751
80 -0,841 97 -1,881
85 -1,037 98 -2,054
90 -1,282 99 -2,327
91 -1,340 99,9 -3,090
92 -1,405 99,99 -3,750
(Sumber: AASHTO 1993)
Penetapan konsep Reliablity dan Standar Deviasi :
Parameter reliability dapat ditentukan sebagai berikut :
• Berdasar parameter klasifikasi fungsi jalan
• Berdasar status lokasi jalan urban / rural
• Penetapan tingkat reliability (R)
33
• Penetapan standar normal deviation (ZR)
• Penetapan standar deviasi (So)
• Kehandalan data lalu-lintas dan beban kendaraan.
2.6.2.5 Koefisien Drainase (Drainage Coefficient)
Menurut Suryawan (2009:33) :
a. Variabel faktor drainase AASHTO memberikan 2 variabel untuk
menentukan nilai koefisien drainase :
• Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good, fair,
poor, very poor. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat
dibebaskan dari pondasi perkerasan.
• Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun terkena
air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan variasi < 1
%, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 %.
b. Penetapan variabel mutu drainase
Penetapan variabel pertama mengacu pada Tabel 2.7 dengan
pendekatan sebagai berikut :
• Air hujan atau air dari atas permukan jalan yang akan masuk kedalam
pondasi jalan, relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 - 95 %
air yang jatuh di atas jalan aspal / beton akan masuk ke sistem drainase.
• Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan
relatif kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga
muka air tertinggi didesain terletak di bawah subgrade.
• Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi
hujan selama 3 jam per hari dan jarang sekali hujan terus menerus
selama 1 minggu.
Tabel 2.8 Quality of drainage
Quality of drainage Water removed within
Excellent 2 jam
34
Good 1 hari
Fair 1 minggu
Poor 1 bulan
Very poor Air tidak terbebaskan
(Sumber: AASHTO 1993)
c. Penetapan variabel prosen perkerasan terkena air
Penetapan variabel kedua yaitu persentasi struktur perkerasan dalam 1
tahun terkena air sampai tingkat saturated, relatif sulit, belum ada data
rekaman pembanding dari jalan lain, namun dengan pendekatanpendekatan,
pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai faktor variabel kedua tersebut
dapat didekati.
Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakuan
pendekatan dengan asumsi sebagai berikut :
Dimana :
Pheff = Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh
terkenanya perkerasan (dalam %).
Tjam = Rata-rata hujan per hari (jam).
Thari = Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari).
WL = Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%).
Selanjutnya koefisien drainase mengacu pada Tabel 2.9
Tabel 2.9 Koefisien drainase
Percent of time pavement stucture
Quality of drainage < 1 % 1 – 5 % 5 – 25 % > 25 %
Excellent 1.25 – 1.20 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10
35
Good 1.20 – 1.15 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00
Fair 1.15 – 1.10 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90
Poor 1.10 – 1.00 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80
Very poor 1.00 – 0.90 0.90 – 0.80 0.80 – 0.70 0.70
(Sumber: AASHTO 1993)
Penetapan parameter koefisien drainase :
• Bedasar kualitas drainase
• Kondisi time pavement structure dalam setahun.
2.6.2.6 Load Transfer
Menurut Suryawan (2009:36) Load transfer coefficient (J) mengacu pada
Tabel 2.10
Tabel 2.10 Load transfer coefficient
Shoulder Asphalt Tie PCC
Load transfer devices Yes No Yes No
Pavement type
1. Plain jointed & jointed
reinforced 3.2 3.8 – 4.4 2.5 – 3.1 3.6 – 4.2
2. CRCP 2.9 – 3.2 N/A 2.3 – 2.9 N/A
(Sumber: AASHTO 1993)
Pendekatan penetapan paramater load transfer :
• Joint dengan dowel : J = 2,5 – 3,1
• Untuk Overlay design : J = 2,2 – 2,6
Dalam perencanaan tebal perkerasan beton, perlu dipilih kombinasi yang
paling optimum atau ekonomis dari tebal pelat beton dan lapis pondasi bawah.
36
Penentuan tebal perkerasan beton dapat ditentukan dengan persamaan:
log10W18 = ZR. So + 7,35 log10(D + 1) − 0,6 +log10 [
ΔPSI4,5 − 1,5
]
1 + 1,624 x 107
(D + 1)8,46
+ (4,22 − 0,32. pt) x log10
S′c. Cdx[D0,75 − 1,132]
215,63 x J x [D0,75 −18,42
(Ec: k)0,25]
Dimana :
W18 = Traffic design, Eqiuvalent Single Axle Load (ESAL).
ZR = Standar normal deviasi.
SO = Standar deviasi.
D = Tebal pelat beton (inches).
ΔPSI = Serviceability loss = po - pt
Po = Initial serviceability.
Pt = Terminal serviceability index.
Sc’ = Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).
Cd = Drainage coefficient.
J = Load transfer coefficient.
Ec = Modulus elastisitas (psi).
k = Modulus reaksi tanah dasar (pci).
2.7 Metode Bina Marga 2017
Prosedur desain Perkerasaan kaku Metode Bina Marga 2017 yaitu :
2.7.1 Umur Rencana
Umur rencana perkerasaan baru di nyatakan pada Tabel 2.11
Tabel 2.11 Umur Rencana
Jenis Perkerasaan Elemen Perkerasaan Umur Rencana
(tahun)1
Perkerasaan Lentur Lapisan aspal dan lapisan berbutir 20
37
Fondasi Jalan
40
Semua perkerasaan untuk daerah yang tidak
dimungkinkan pelapisan ulan (overlay).seperti:
jalan perkotaan,underpass,jembataan,terowongan
Perkerasaan Kaku Lapis fondasi atas,lapis pondasi bawah,lapis
beton semen dan fondasi jalan.
Jalan tanpa penutup Semua Elemen (termasuk fondasi jalan) Minimum 10
(Sumber: MDP 2017)
2.7.2 Faktor Pertumbuhan Lalu-lintas
Faktor pertumbuhan lalu lintas berdasarkan data-data pertumbuhan series atau
formulasi korelasi dengan faktor pertumbuhan lain yang berlaku.jika tidak tersedia data
maka Tabel 2.12 dapat digunakan
Tabel 2.12 Faktor Laju Pertumbuhan Lalu Lintas (i) (%)
Jawa Sumatera Kalimantan Rata-rata
Indonesia
Arteri dan
Perkotaan 4,80 4,83 5,14 4,75
Kolektor rural 3,50 3,50 3,50 3,50
Jalan desa 1,00 1,00 1,00 1,00
(Sumber: MDP 2017)
Pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung dengan faktor
pertumbuhan kumulatif :
R =(1+0.01 𝑖)𝑈𝑅−1
0.01 𝑖
Dengan R : Faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif
i : Laju pertumbuhan lalu-lintas tahunan (%)
UR : Umur rencana (tahun)
38
Apabila diperkirakaan akan terjadi perbedaan laju pertumbuhan tahunan
sepanjang total umur rencana (UR) dengan i1% selama periode awal (UR1 tahun) dan
i2% selama sisa periode berikutnya (UR-UR1),faktor pengali pertumbuhan lalu lintas
kumulatif dapat dihitung dari formula berikut :
R=(1+0.01 𝑖1)𝑈𝑅−1
0.01 𝑖 + ( 1+0,01 i1)
(UR1-1) ( 1+0,01 i2){(1+0.01 𝑖2)(𝑈𝑅−𝑈𝑅1−1
0.01 𝑖2}
Dengan R : Faktor pengali pertumbuhan lalu-lintas kumulatif
i1 : Laju pertumbuhan lalu-lintas periode 1 (%)
i2 : Laju pertumbuhan lalu-lintas periode 2 (%)
UR : Umur rencana (tahun)
UR1 : Umur rencana periode 1 (tahun)
2.7.3 Lalu Lintas Pada Lajur Rencana
Lajur rencana adalah salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan yang
menampung lalu lintas kendaraan niaga paling besar.Beban lalu lintas pada lajur
rencana dinyatakan dalam kumulatif beban gandar standar (ESA) dengan
memperhitungkan faktor distribusi arah (DD) dan faktor distribusi lajur kendaraan
niaga (DL).Untuk jalan dua arah,faktor distribusi arah (DD) umumnya diambil 0,50
sedangkan faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban kumulatif
(ESA) pada jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah.Faktor distribusi jalan
yang ditunjukan pada Tabel 2.13
Tabel 2.13 Faktor Distribusi Lajur (DL)
Jumlah lajur setiap arah
Kendaraan niaga pada lajur desain
(% terhadap populasi kendaraan niaga )
1 100
2 80
39
3 60
4 50
(Sumber: MDP 2017)
2.7.4 Faktor Ekivalen Beban
Dalam desain perkerasaan,beban lalu lintas dikonversi kebeban standar (ESA)
dengan mengunakan faktor ekivalen beban. Analisis struktur perkerasaan dilakukan
berdasarkan jumlah kumulatif (ESA) pada lajur rencana sepanjang umur rencana.
Ketentuan pengumpulan data beban gandar ditunjukan pada Tabel 2.14
Tabel 2.14 Pengumpulan Data Beban Gandar
Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan Sumber Data Gandar
Jalan Bebas Hambatan 1 atau 2
Jalan Raya 1 atau 2 atau 3
Jalan Sedang 2 atau 3
Jalan Kecil 2 atau 3
(Sumber: MDP 2017)
Untuk nilai VDF masing masing kendaraan dapat di lihat pada Tabel 2.15
Tabel 2.15 Nilai VDF masing- masing jenis kendaraan niaga
Jenis kendaraan Beban aktual Normal
5B 1 1
6A 0,5 0,5
6B 9,2 5,1
7A1 14,4 6,4
7A2 19 5,6
40
7B1 18,2 13
7B2 21,8 17,8
7C1 19,8 9,7
7C2A 33 10,2
7C2B 24,2 8,5
7C3 34,4 7,7
(Sumber: MDP 2017)
2.7.5 Beban Sumbu Standar Kumulatif
Beban Sumbu Standar kumulatif atau Cumulatif Equivalent Single Axle Load (
CESAL) merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur desain
selama umur rencana yang ditentukan sebagai berikut:
ESATH-1=(∑LHR x VDF ) x 365 x DD x DL x R
Dengan ESATH-1 : Kumulatif lintasan sumbu standar ekivalen
(equivalent standart axle ) pada tahun pertama
LHR : Lintas Harian rata-rata tiap jenis kendaraan
Niaga ( satuan kendaraan per hari )
VDF : Faktor Ekivalen Beban
DD : Faktor Distribusi Arah
DL : Faktor Distribusi Lajur
R : Faktor Pengali Pertumbuhan Lalu lintas kumulatif
2.7.6 Tebal Plat Beton
Penentuan tebal plat beton mengacu pada Tabel 2.16
41
Tabel 2.16 Perkerasaan Kaku untuk Jalan dengan Beban Lalu-lintas
Berat
Struktur Perkerasaan R1 R2 R3 R4 R5
Kelompok sumbu kendaraan
berat (overloaded) <4.3 <8.6 <25.8 <43 <86
Dowel dan Bahu Beton Ya
STRUKTUR PERKERASAN (mm)
Tebal Plat Beton 265 275 285 295 305
Lapis Fondasi LMC 100
Lapis Drainase 150
(Sumber: MDP 2017)
2.8 Rencana Anggaran Biaya
2.8.1 Pengertian Rencana Anggaran Biaya
Menurut Syawaldi dan Siswanto (2014: 3) :
Rencana Anggaran Biaya (RAB) adalah :
- Perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah,
serta biayabiaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan
atau proyek tertentu.
- Merencanakan sesuatu bangunan dalam bentuk dan faedah dala
penggunaannya, beserta besar biaya yang diperlukan susunan - susunan
pelaksanaan dalam bidang administrasi maupun pelaksanaan pekerjaan
dalam bidang teknik
Anggaran biaya adalah : Harga dari bangunan yang dihitung dengan teliti,
cermat dan memenuhi syarat.
Dua cara yang dapat dilakukan dalam penyusunan anggaran biaya antara
lain :
42
Anggaran Biaya Kasar (Taksiran), sebagai pedomannya digunakan harga
satuannya tiap meter persegi luas lantai. Namun anggaran biaya kasar
dapat juga sebagai pedoman dalam penyusunan RAB yang dihitung secara
teliti.
Anggaran Biaya Teliti, proyek yang dihitung dengan teliti dan cermat
sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat penyusunan anggaran biaya.
2.8.2 Analisa Harga Satuan Dasar
Komponen untuk menyusun Harga Satuan Pekerjaan (HSP) memerlukan
analisa Harga Satuan Dasar (HSD) tenaga kerja, Harga Satuan Dasar (HSD) alat, dan
Harga Satuan Dasar (HSD) bahan. Berikut ini diberikan langkah-langkah perhitungan
Harga Satuan Dasar (HSD) komponen Harga Satuan Pekerjaan (HSP). Kementrian
Pekerjaan Umum(2013: 290).
2.8.2.1 Langkah perhitungan HSD tenaga kerja
Dalam Kementrian Pekerjaan Umum (2013: 290) untuk menghitung harga
satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu bahan rujukan harga standar untuk
upah sebagai HSD tenaga kerja. Langkah perhitungan HSD tenaga kerja adalah sebagai
berikut:
a. Tentukan jenis keterampilan tenaga kerja, misal pekerja (P), tukang (Tx),
mandor (M), atau kepala tukang (KaT)
b. Kumpulkan data upah yang sesuai dengan peraturan daerah (Gubernur,
Walikota, Bupati) setempat, data upah hasil survai di lokasi yang berdekatan
dan berlaku untuk daerah tempat lokasi pekerjaan akan dilakukan
c. Perhitungkan tenaga kerja yang didatangkan dari luar daerah dengan
memperhitungkan biaya makan, menginap dan transport
d. Tentukan jumlah hari efektif bekerja selama satu bulan (24 – 26 hari), dan
jumlah jam efektif dalam satu hari (7 jam).
e. Hitung biaya upah masing-masing per jam per orang
f. Rata-ratakan seluruh biaya upah per jam sebagai upah rata-rata per jam.
2.8.2.2 Langkah perhitungan HSD alat
43
Analisis HSD alat memerlukan data upah operator atau sopir, spesifikasi alat
meliputi tenaga mesin, kapasitas kerja alat (m³), umur ekonomis alat (dari pabrik
pembuatnya), jam kerja dalam satu tahun, dan harga alat, sesuai dengan uraian dalam
5.2.2.1. Faktor lainnya adalah komponen investasi alat meliputi suku bunga bank,
asuransi alat, faktor alat yang spesifik seperti faktor bucket untuk Excavator, harga
perolehan alat, dan Loader, dan lain-lain.
2.8.2.3 Langkah perhitungan HSD bahan
Untuk menghitung harga satuan pekerjaan, maka perlu ditetapkan dahulu
rujukan harga standar bahan atau HSD bahan per satuan pengukuran standar.Analisis
HSD bahan memerlukan data harga bahan baku, serta biaya transportasi dan biaya
produksi bahan baku menjadi bahan olahan atau bahan jadi. Produksi bahan
memerlukan alat yang mungkin lebih dari satu alat. Setiap alat dihitung kapasitas
produksinya dalam satuan pengukuran per jam, dengan cara memasukkan data
kapasitas alat, faktor efisiensi alat, faktor lain dan waktu siklus masing-masing. HSD
bahan terdiri atas harga bahan baku atau HSD bahan baku, HSD bahan olahan, dan
HSD bahan jadi. Perhitungan harga satuan dasar (HSD) bahan yang diambil dari quarry
dapat menjadi dua macam, yaitu berupa bahan baku (batu kali/gunung, pasir
sungai/gunung dll), dan berupa bahan olahan (misalnya agregat kasar dan halus hasil
produksi mesin pemecah batu dan lain sebagainya). Harga bahan di quarry berbeda
dengan harga bahan yang dikirim ke base camp atau ke tempat pekerjaan, karena perlu
biaya tambahan berupa biaya pengangkutan material dari quarry ke base camp atau
tempat pekerjaan dan biaya-biaya lainnya seperti retribusi penambangan Galian C dan
biaya operasional alat-alat berat.
Top Related