BAB II
TINJAUAN KONSEP DAN TEORI
A. Pengertian
Apendiks merupakan perluasan sekum yang rata-rata panjangnya adalah 10 cm.
Ujung apendiks dapat terletak di berbagai lokasi, terutama di belakang sekum.
Apendiksitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi, walaupun
apendiksitis dapat terjadi setiap usia (Gruendemann, 2006).
Apendiktomi menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2010) adalah operasi untuk
mengangkat apendiksitis yang dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko
perforasi.
Jadi appendiktomi adalah Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk
mengangkat apendiks, harus segera dilakukan tindakan untuk menurunkan risiko
perforasi apendiks, peritonitis.
B. Etiologi
Apendiksitis menurut Sjamsuhidajat (2004) merupakan infeksi bakteri yang
disebabkan oleh obstruksi atau penyumbatan akibat :
1. Hiperplasia dari folikel limfoid
2. Adanya fekalit dalam lumen appendiks
3. Tumor appendiks
4. Adanya benda asing seperti cacing askariasis
5. Erosi mukosa appendiks
C. Patofisiologi
Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat terlipat atau
tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari fese), tumor, atau benda asing.
Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen
atas atau menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi di
kuadran kanan bawah dari abdomen. Akhirnya, apendiks yang terinflamasi berisi pus
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
D. Manifestasi Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat (Sjamsuhidajat, 2004).
Nyeri terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan. Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney
bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri
tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada
beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar di belakang sekum,
nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi
menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi. Tanda Rovsing
dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial
menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila apendiks telah
ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik
dan kondisi klien memburuk.
Tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda tersebut
dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit lainya.
Klien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks.
Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari klien-
klien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat klien-klien lebih muda
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
E. Pengkajian fokus
Pengkajian merupakan dasar utama dan yang terpenting didalam melakukan
asuhan keperawatan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit ataupun selama
pasien di rawat di rumah sakit.
1. Pengkajian demografi sangat berkaitan dengan masalah kesehatan pasien dengan
appendiktomi menurut Yayan (2008) meliputi:
a. Umur
Biasanya apendiksitis lebih sering terjadi pada usia 10-30 tahun.
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih sering terkena apendikssitis dari pada wanita.
c. Lingkungan
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita
akan lebih baik dari pada tinggal di lingkungan yang kotor. Hal itu akan
mencegah masuknya cacing askariasis ke dalam lumen apendiks.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama pasien post appendiktomi adalah merasakan nyeri di
sekitar epigastrium menjalar ke perut kanan bawah.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti
hipertensi, operasi abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk rumah
sakit, obat-obatan yang pernah digunakan apakah memounyai riwayat alergi
dan imunisasi yang pernah diderita.
3. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung tidak terlihat pada
pasien dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah dapat
dilihat pada masa atau abses periapendikular (Muttaqin & Kumala, 2011).
b. Palpasi
Pada abdomen kanan bawah akan didapatkan peningkatan respons
nyeri. Nyeri pada palpasi terbatas pada regio iliaka kanan, dapat disertai nyeri
lepas. Kontraksi otot menunjukkan adanya rangsangan peritoneum perietale.
Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri diperut kanan bawah
yang disebut tanda Rovsing (Sjamsuhidayat, 2005).
c. Psoas Sign
Pasien terlentang, tungkai kanan lurus dan ditahan oleh pemeriksa.
Pasien disuruh aktif memfleksikan articulatiocoxae kanan, akan terasa nyeri
perut kanan bawah (cara aktif). Pasien miring ke kiri, paha kanan di
hiperekstensi oleh pemeriksa, akan terasa nyeri di perut bawah atau cara pasif
(Dermawan & Rahayuningsih, 2010).
d. Obturator Sign
Dengan gerakan fleksi dan endorotasi articulotio coxae pada posisi
supine akan menimbulkan nyeri. Bila nyeri berarti kontak dengan m.obturator
internus, artinya appendiks terletak di pelvis (Dermawan & Rahayuningsih,
2010).
e. Colok dubur
Diperlukan untuk mengevaluasi adanya peradangan apendiks, pertama-
tama tentukan diameter anus dengan mencocokkan jari. Apabila yang
diperiksa adalah pediatrik, maka jari kelingking diperlukan untuk melakukan
colok dubur. Pemeriksaan colok dubur dengan manifestasi nyeri pada saat
palpasi mencapai area inflamasi. Misalnya pada appendiksitis pelvika
(Sjamsuhidayat, 2005).
4. Perubahan pola fungsi
Data yang di peroleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000) adalah
sebagai berikut :
a. Aktivitas/istirahat : Malaise
b. Sirkulasi : Takikardi
c. Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang),
distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada
bising usus.
d. Makanan/cairan : Anoreksia, mual/muntah.
e. Nyeri/kenyamanan : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus
yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney (setengah jarak
antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkatkan karena berjalan,
bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau
infark pada appendiks).
Keluhan berbagai rasa nyeri/gejala tidak jelas (sehubungan dengan lokasi
appendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : perilaku berhati-hati, berbaring kesamping atau terlentang dengan
lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi
ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak. Nyeri lepas pada sisi kiri diduga
inflamasi peritoneal.
f. Pernapasan :Takipnea, pernapasan dangkal.
g. Keamanan : Demam (biasanya rendah).
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Darah : Ditemukan leukosit 10.000 – 18.000 mn.
Urine : Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit .
b. Pemeriksaan Radiologi
BOF, tampak distensi sekum pada appendisitis akut.
c. USG
Menunjukkan densitas kuadran kanan bawah/kadar aliran udara terlokalisasi.
d. CT scan
Pemeriksaan CT scan pada abdomen mendeteksi apendiksitis dan adanya
kemungkinan perforasi.
F. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik dari pembedahan (NANDA,
2012).
2. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan akibat
proses inflamasi (Monica, 2001).
G. Fokus Intervensi
Fokus intervensi keperawatan pada pasien post appendiktomi merujuk pada
NANDA NIC-NOC (2013) :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik dari pembedahan
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri.
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi :
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Rasional : Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan faktor yang
penting untuk menentukkan terapi yang cocok serta mengevaluasi keefektifan
dari terapi.
b. Kurangi faktor prepitasi nyeri
Rasional : Tindakan alternatife untuk mengurangi nyeri dan menghilangkan
ketidaknyamanan.
c. Berikan tindakan kenyamanan, misal latihan nafas dalam, berikan aktivitas
hiburan, kompres
Rasional : Memnfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan
dapat meningkatkan koping. Tindakan alternatif mengontrol nyeri.
d. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Rasional : Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme/nyeri otot atau untuk
menghilangkan ansietas dan meningkat istirahat.
2. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan akibat
proses inflamasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x7 jam di harapkan
infeksi berkurang.
Kriteria hasil :
a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang mempengaruhi
penularan serta penatalaksanaannya
c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
d. Menunjukkan perilaku hidup sehat
Intervensi :
a. Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan
mental, meningkatnya nyeri abdomen.
Rasional: Dugaan adanya infeksi/ terjadinya sepsis, abses, peritonitis.
b. Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka/ drein (bila
dimasukkan), adanya eritema.
Rasional: Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan atau
pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.
c. Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik.
Rasional: Menurunkan resiko penyebaran infeksi.
d. Berikan informasi yang tepat, jujur, dan jelas pada klien/ orang terdekat.
Rasional: Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi,
membantu menurunkan ansietas.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional: Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah
mikroorganisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk menurunkan
penyebaran dan pertumbuhanya pada rongga abdomen.
H. Manajemen Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial (Smeltzer, Bare, Hinkle &
Cheever, 2010).. Nyeri adalah suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
eksistensinya diketahui nila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Nyeri post operasi merupakan nyeri yang disebabkan oleh luka operasi, tetapi
kemungkinan sebab lain harus di pertimbangkan. Pencegahan nyeri sebelum operasi
sebaiknya direncanakan agar penderita tidak terganggu oleh nyeri setelah
pembedahan. Cara pencegahannya tergantung pada penyebab dan letak nyeri dan
keadaan penderitannya (Jong, 2002).
Individu yang merasakan nyeri merasa tertekan atau menderita dan mencari
upaya untuk menhilangkan nyeri. Perawat menggunakan berbagai intervensi untuk
menghilangkan kenyamanan. Perawat tidak dapat melihat atau merasakan nyeri yang
klien rasakan. Nyeri bersifat subjektif, tidak ada dua individu yang mengalami nyeri
yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu. Nyeri
merupakan sumber frustasi, baik klien maupun tenaga kesehatan (Potter dan Perry,
2006).
Gambar 2.1 skala pengukuran nyeri
(Priyanto & Sumarji, 2009)
2. Klasifikasi nyeri
Menurut Tamsuri (2007), nyeri dapat di klasifikasikan berdasarkan: waktu,
tempat, organ.
a. Nyeri berdasarkan waktu :
1) Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari 1 detik
sampai dengan kurang dari enam bulan.
2) Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam
bulan.
b. Nyeri berdasarkan tempat :
1) Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulusasi terhadap kulit
seperti laserasu, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri ini memiliki durasi
yang pendek, terkolalisir, dan memiliki sensasi yang tajam.
2) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi
pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri
bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan
iskemia.
3) Nyeri viseral adalah nyeri yang di sebabkan oleh kerusakan organ
internal. Nyeri yang timbul bersifat difusi dan durasinya cukup lama.
Sensasi yang di timbulkan biasanya tumpul.
4) Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal
ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti
berjalan atau bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau ke
sepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermiten atau
konstan.
5) Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang
mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsi berada pada organ
yang telah di amputasi seolah-olah organnya masih ada.
6) Nyeri alih (referred pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri
viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga di rasakan nyeri pada
beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena
masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam
medula spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf yang
berada pada bagian tubuh lainnya. nyeri ini timbul biasanya pada
beberapa tempat yang kadang jauh dari lokasi asal nyeri.
c. Nyeri berdasarkan organ :
1) Nyeri organik adalah nyeri yang di akibatkan adanya kerusakan (aktual
atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya mudah di kenali
sebagai akibat adanya cidera, penyakit atau pembedahan terhadap
salah satu atau beberapa organ.
2) Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron. Nyeri ini dapat
terjadi secara akut amupun kronis.
3) Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis.
Gangguan ini lebih mengarah pada gangguan psikologis dari pada
gangguan organ. Klien yang menderita memang benar-benar
mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik
seperti cemas dan takut timbul pada klien.
3. Penyebab rasa nyeri
Menurut Tamsuri (2007) penyebab rasa nyeri antara lain :
a. Respons fisik
Timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula
spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi,
sehingga menimbulkan respons yang serupa dengan respons tubuh terhadap
stres.
Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri
superfisial,tubuh bereaksi membangkitkan “General Adaptation Syndrome”
(Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis. Sedangkan
pada nyeri yang berat dan tidak dapat di toleransi serta nyeri yang berasal dari
organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis.
b. Respons psikologis
Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan
nyeri sebagai sesuatu yang “negatif” cenderung memiliki suasana hati sedih,
berduka, ketidak berdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan
frustasi. Sebaliknya pada klien yang memiliki persepsi nyeri sebagai
pengalaman yang “positif” akan menerima nyeri yang di alaminya.
Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat di penaruhi tingkat
pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu, dan juga faktor sosial budaya.
4. Faktor yang mempengaruhi nyeri
Menurut Tamsuri (2007) faktor yang mempengaruhi nyeri yaitu :
1) Usia
Respon nyeri pada semua umur berbeda-beda dimana pada anak masih
belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi.
2) Jenis kelamin
Laki-laki dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespons
nyeri, justru lebih di pengaruhi faktor budaya (tidak pantas kalau laki-laki
mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus di terima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
bagaimana mengatasinya.
5) Kecemasan
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.
6) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri di masa lalu, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri.
7) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.
5. Pengkajian nyeri
Pengkajian nyeri menurut Hidayat (2008), dapat dilakukan dengan cara:
P (pemacu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Q (quality) dari nyeri seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau tersayat.
R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri.
S (severity) adalah keparahan atau intensitas nyeri.
T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
Intensitas nyeri adalah salah satu karakteristik yang paling subjektif dan paling
berguna dalam pelaporan nyeri adalah “kehebatannya” atau intensitasnya. Variasi
skala nyeri telah tersedia bagi klien untuk mengomunikasikan intensitas nyeri
mereka ( Potter & Perry, 2010).
6. Strategi penatalaksanaan nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri yaitu mencakup farmakologis dan non
farmakologis (Tamsuri, 2006).
a. Penatalaksanaan nyeri farmakologis
Strategi penatalaksanaan nyeri yaitu kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian analgesik dan anestesi. Analgesik merupakan metode yang
umum untuk mengatasi nyeri. Anestesi lokal dan regional, anestesi lokal
adalah suatu keadaan hilangnya sensasi pada lokalisasi bagian tubuh.
Analgesia epidural adalah suatu anestesi lokal dan terapi yang efektif
untuk menangani nyeri pasca operasi akut, nyeri persalinan dan
melahirkan, dan nyeri kronik (Potter & Perry, 2010).
b. Penatalaksanaan nyeri non farmakologis
Metode pereda nyeri non farmakologis biasanya mempunyai resiko
yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan
pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin di eprlukan atau
tidak sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya
beberapa detik atau menit. Dalam hal ini terutama saat nyeri hebat yang
berlangsung berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik non
farmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang paling efektif untuk
menghilangkan nyeri (Tamsuri, 2006).
Penatalaksanna nyeri secara non farmakologis untuk mengurangi nyeri
terdiri dari beberapa teknik yaitu :
1) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari focus perhatian terhadap nyeri
ke stimulus lain (Tamsuri, 2006).
2) Relaksasi
Menganjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan mengisi
paru-paru dengan udara, menghembuskan secara perlahan,
melepaskan otot-otot tangan, kaki, perut, dan punggung, serta
mengulangi hal yang sama sambil terus berkonsentrasi hingga
didapat rasa nyama, tenang, dan rileks (Hidayat, 2006).
3) Kompres
Penggunaan panas dingin meliputi penggunaan kantong es,
masase mandi air hangat atau dingin. Kompres panas atau dingin
selain bisa menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan
proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan
(Tamsuri, 2007).
4) Masase
Tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak, biasanya
otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran atau
perubahan posisi sendi guan menurunkan nyeri, menghasilkan
relaksasi, dan atau meningkatkan sirkulasi (Henderson, 2006).
5) Musik
Musik dapat mengobati nyeri akut atau kronis, stres,
kecemasan, dan depresi. Musik mengalihkan perhatian seseorang
dari nyeri dan membangun respons relaksasi (Potter & Perry,
2010).
6) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang
dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai
efek positif tertentu (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
I. Relaksasi nafas dalam
1. Pengertian
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stress,
karena dapat mengubah persepsi kognitif dan motivasi afektif pasien. Teknik
relaksasi membuat pasien dapat mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman
atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri (Potter & Perry, 2005).
Teknik relaksasi merupakan tindakan keperawatan untuk mengurangi nyeri
dengan cara merelaksasikan ketegangan otot (Tamsuri, 2007).
Teknik relaksasi adalah tindakan relaksasi otot rangka yang di percaya dapat
menurunkan nyeri dengan merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa
nyeri.Teknik relaksasi juga merupakan suatu tindakan untuk membebaskan mental
dan fisik dari ketegangan dan stress, sehingga dapat meningkatkan toleransi
terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).
Tujuan teknik relaksasi adalah mencapai keadaan relaksasi menyeluruh,
mencakup keadaan relaksasi secara fisiologis,secara kognitif, dan secara
behavioral. Secara fisiologis, keadaan relaksasi ditandai dengan penurunan kadar
epinefrin dan non epinefrin dalam darah, penurunan frekuensi denyut jatung
(sampai mencapai 24 kali per menit), penurunan tekanan darah, penurunan
frekuensi nafas (sampai 4-6 kali per menit), penurunan ketegangan otot,
metabolisme menurun, vasodilatasi dan peningkatan temperatur pada extermitas
(Rahmayati, 2010).
2. Prosedur teknik relaksasi nafas dalam
Adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam menurut (Priharjo,
2002) adalah sebagai berikut :
a. Ciptakan lingkungan yang tenang
b. Usahakan tetap rileks dan tenang
c. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui
hitungan 1, 2, 3
d. Perlahan-lahan udara dihembusakan melalui mulut sambil merasakan
ekstremitas atas dan bawah
e. Anjurkan bernapas dengan irama normal 3 kali
f. Menarik napas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara
perlahan-lahan
g. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
h. Usahakan agar tetap konsentrasi/mata sambil terpejam
i. Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri
j. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
k. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
l. Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernapas secara dangkal dan cepat.
3. Efek teknik relaksasi nafas dalam
Menurut Tamsuri (2007) relaksasi memberikan efek secara langsung terhadap
fungsi tubuh, antara lain: penurunan tekanan darah, nadi, dan frekuensi
pernapasan, penurunan konsumsi oksigen oleh tubuh, penurunan ketegangan otot,
meningkatkan kemampuan konsentrasi, menurunkan perhatian terhadap stimulus
lingkungan.
4. Penelitian tentang teknik relaksasi nafas dalam :
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam
menurunkan nyeri pasca operasi. Ini mungkin karena relatif kecilnya peran otot-
otot skeletal dalam nyeri pasca operatif atau kebutuhan pasien untuk melakukan
teknik relaksasi tersebut agar efektif. Teknik tersebut tidak mungkin dipratikkan
bila hanya diajarkan sekali, segera sebelum operasi. Pasien yang sudah
mengetahui teknik relaksasi mungkin hanya perlu diingatkan untuk menggunakan
teknik tersebut untuk menurunkan nyeri. Keefektifan pada kemauan pasien untuk
menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri (Smeltzer, Bare, Hinkle
& Cheever, 2010).
J. Relaksasi guided imagery
1. Pengertian
Relaksasi guided imagery merupakan teknik yang menggunakan imajinasi
seseorang untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer, Bare, Hinkle, &
Cheever, 2010). Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada umumnya yaitu
meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup matanya dan fokus pada
nafas mereka, klien didorong untuk relaksasi mengosongkan pikiran dan
memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang
(Rahmayati, 2010).
Relaksasi guided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayalkan
tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan.
Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki keadaan atau pengalaman
relaksasi ( Kaplan & Sadock, 2010).
Tujuan relaksasi guided imagery menimbulkan respon psikofisiologis yang
kuat seperti perubahan dalam fungsi imun (Potter & Perry, 2009). Menurut
Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever (2010), manfaat dari guided imagery yaitu
sebagai intervensi perilaku untuk mengatasi kecemasan, stres dan nyeri. Imajinasi
terbimbing dapat mengurangi tekanan dan berpengaruh terhadap proses fisiologi
seperti menurunkan tekanan darah, nadi dan respirasi. Hal itu karena teknik
imajinasi terbimbing dapat mengaktivitasi sistem saraf parasimpatis.
2. Langkah-langkah melakukan guided imagery
Ciptakan lingkungan yang tenang, jaga privasi pasien, usahakan tangan dan
kaki pasien dalam keadaan rileks, minta pasien untuk memejamkan mata dan
usahakan agar pasien berkonsentrasi, minta pasien untuk memejamkan mata dan
usahakan agar pasien berkonsentrasi, minta pasien menarik nafas melalui hidung
secara perlahan-lahan sambil menghitung dalam hati “hirup, dua, tiga”, selama
pasien memejamkan mata kemudian minta pasien untuk membayangkan hal-hal
yang menyenangkan atau keindahan, minta pasien untuk menghembuskan udara
melalui mulut dan membuka mata secara perlahan-lahan sambil menghitung dalam
hati “hembuskan, dua, tiga”, minta pasien untuk mengulangi lagi seperti prosedur
sebelumnya sebanyak tiga kali selama lima menit (Elizabeth, 2006).
Langkah mengatasi nyeri atau stres, dorong subjek untuk membayangkan hal-
hal yang menyenangkan. Setelah itu membantu subjek merinci gambaran dari
bayangannya. Mendorong subjek untuk menggunakan semua indranya dalam
menjelaskan bayangan dan lingkungan bayangan tersebut. Langkah berikutnya
meminta subjek untuk menjelaskan perasaan fisik dan emosional yang ditimbulkan
oleh bayangan. Dengan mengarahkan subjek untuk mengeksplorasi respon
terhadap bayangan karena ini akan memungkinkan subjek memodifikasi
imajinasinya. Respons negatif dapat diarahkan kembali untuk memberikan hasil
akhir yang lebih positif. Selanjutnya memberikan umpan balik kontineu kepada
subjek. Dengan memberi komentar pada tanda-tanda relaksasi dan ketenteraman.
Setelah itu membawa subjek keluar dari bayangannya. Setelah pengalaman
imajinasi dan mendiskusikan perasaan subjek mengenai pengalamannya tersebut.
Serta mengidentifikasi setiap hal yang dapat meningkatkan pengalaman imajinasi.
Selanjutnya memotivasi subjek untuk mempratikkan teknik imajinasi (Kozier &
Erb, 2009).
3. Efek relaksasi guided imagery
Membuat responden menjadi rileks dan tenang saat mengambil oksigen di
udara melalui hidung, oksigen masuk kedalam tubuh sehingga aliran darah menjadi
lancar, menyebabkan pasien mengalihkan perhatiannya pada nyeri ke hal-hal yang
membuatnya senang dan bahagia sehingga melupakan nyeri yang sedang
dialaminya. Inilah yang menyebabkan intensitas nyeri yang dirasakan pasien post
operasi berkurang setelah dilakukan teknik relaksasi guided imagery (Elizabeth,
2006).
4. Penelitian tentang teknik relaksasi guided imagery
Penelitian yang di lakukan oleh Syahriyani (2010), tentang pengeruh relaksasi
guided imagery terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi
apendiktomi di ruang perawatan bedah RSU TK II Pelamonia Makassar,
menunjukkan bahwa intensitas nyeri responden sebelum dan sesudah pemberian
teknik relaksasi guided imagery mengalami peningkatan penurunan nyeri dari nyeri
ringan 20,00% ke 16,67%, nyeri sedang 53,33% ke 20,00%, dan nyeri berat
26,67% ke 13,33%. Uji lebih lanjut membuktikan ada pengaruh pemberian teknik
relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi apendiktomi
di ruang perawatan bedah RSU TK II Pelamonia Makassar.
K. Kombinasi relaksasi nafas dalam guided imagery
Teknik relaksasi nafas dalam akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan
beberapa teknik lainnya, seperti guided imagery. Guided imagery merupakan teknik
yang menggunakan imajinasi seseorang untuk mencapai efek positif tertentu
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Teknik ini dimulai dengan proses
relaksasi pada umumnya yaitu meminta kepada klien untuk perlahan-lahan menutup
matanya dan fokus pada nafas mereka, klien didorong untuk relaksasi mengosongkan
pikiran dan memenuhi pikiran dengan bayangan untuk membuat damai dan tenang
(Rahmayati, 2010).
Efek relaksasi nafas dalam dan guided imagery membuat responden merasa
rileks dan tenang. Responden menjadi rileks dan tenang saat mengambil oksigen di
udara melalui hidung, oksigen masuk kedalam tubuh sehingga aliran darah menjadi
lancar serta dikombinasikan dengan guided imagery menyebabkan pasien
mengalihkan perhatiannya pada nyeri ke hal-hal yang membuatnya senang dan
bahagia sehingga melupakan nyeri yang sedang dialaminya. Inilah yang menyebabkan
intensitas nyeri yang dirasakan pasien post operasi appendiktomi berkurang setelah
dilakukan teknik relaksasi nafas dalam dan guided imagery.
Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nikita
(2012) yang meneliti tentang pengaruh teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas
nyeri pada paien post operasi apendiktomi, dengan hasil yaitu ada pengaruh yang
signifikan pada intensitas nyeri pasien post operasi apendiktomi sesudah dilakukan
teknik relaksasi, dari 4 orang yang mengalami nyeri hebat (40,0%) sesudah di lakukan
teknik relaksasi menjadi 2 orang (20,0%), nyeri sedang 5 orang (50,0%) menjadi 2
orang (20,0%), dan tidak nyeri yang semula 1 orang (10,0%) menjadi 6 orang
(60,0%). Namun yang membedakan penelitian ini dan penelitian yang dilakukan
Nikita (2012) adalah tempat penelirian, jumlah responden, tindakan relaksasi, dan
operasi yang dialami responden. Nikita (2012) melakukan penelitian di Irina A pada
10 responden post operasi apendiktomi dan hanya menggunakan teknik relaksasi
nafas dalam saja, sedangkan penelitian ini dilakukan di Irina D pada 20 responden
post operasi apendiktomi dan menggunakan relaksasi nafas dalam yang
dikombinasikan dengan guided imagery.
Top Related