6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermiformis, dan sampai saat ini masih merupakan penyebab akut abdomen yang
paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Apendisitis akut jarang
ditemukan pada zaman dahulu. Sejak Hippocrates sampai Moses Maimonides,
data mengenai apendisitis masih belum tercatat (Petroianu, 2012).
Jean Fernel dari Prancis memberikan deskripsi acute typhlitis (berasal dari
bahasa Yunani “typhlon” yang berarti sekum) sewaktu mengotopsi anak
perempuan berusia 7 tahun yang meninggal karena apendiks perforasi di tahun
1554. Dia menemukan obstruksi lumen sekum dan apendiks dengan nekrosis,
perforasi dan spillage dari isi usus ke dalam kavitas abdomen. Tahun 1711,
Lorenzo Heister untuk pertama kalinya mengemukakan apendiks sebagai suatu
infeksi primer dan tempat terbentuknya abses pada kasus acute typhlitis. Tahun
1735, Claudius Amyand untuk pertama kalinya melakukan operasi apendisektomi
(Williams, 1983; Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).
Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh
Reginald Heber Fitz pada tahun 1886. Dia mengemukakan hubungan antara
apendisitis dengan penyakit inflamasi yang berasal dari perut kanan bawah serta
penanganan apendisektomi sedini mungkin. Charles McBurney di tahun 1889
mendeskripsikan pengalamannya mengoperasi penderita apendisitis akut. Dia
memperkenalkan titik McBurney dan mengembangkan insisi muscle-splitting atau
7
“Gridiron” yang sampai sekarang masih dipakai. Pada tahun 1902, kasus
apendisitis akut mulai dikenal oleh mayarakat umum pada saat Raja Edward VII
terkena penyakit tersebut dan membaik setelah Lord Joseph Lister dan Sir
Frederic Treves melakukan operasi (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).
2.1 Struktur Apendiks
Apendiks merupakan saluran yang buntu seperti cacing dengan panjang
bervariasi, dari agenesis komplit sampai lebih dari 30 cm, akan tetapi biasanya
berukuran 5-10 cm dan lebar sekitar 0,5-1 cm. Jarak apendiks sekitar 2,5 cm di
bawah katup ileosekal dari pangkalnya di sekum (Prystowsky, 2005). Posisi
apendiks sangat bervariasi, mulai dari parakolika (35%), retrosekal (65,3%),
pelvik (31%), preileal (1%), postileal (1,5%), promontorik (1%) dan subsekal
(2,3%) (Gambar 2.1) (Wakeley, 1933; Rybkin dan Thoeni, 2007). Pangkal
apendiks vermiformis letaknya tetap, dan proyeksinya di titik McBurney (batas
sepertiga bagian lateralis dan sepertiga bagian tengah dari garis Monro-Richter,
yaitu garis antara spina iliaka anterior superior dan umbilikus) (Shelton, dkk.,
2003).
Gambar 2.1. Variasi letak apendiks vermiformis (Wakeley, 1933)
8
Sekum mendapat darah dari arteri sekalis dan apendiks vermiformis dari
arteri apendikularis, keduanya cabang dari arteri ileokolika. Darah vena dialirkan
ke vena ileokolika, terus ke vena mesenterika superior. Limfe sekum dialirkan
nodus limfatik presekalis dan dari apendiks vermiformis ke nodus limfatikus pada
mesoapendiks dan dari keduanya dialirkan ke nodi limfatik ileokolika, terus ke
nodi limfatik mesenterika superior. Persarafan sekum dan apendiks vermiformis
diurus oleh saraf-saraf simpatis dan parasimpatis dari pleksus mesenterikus
superior. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral
pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Prystowsky, 2005).
Apendiks menghasilkan lendir 2-3 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya
hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab
timbulnya apendisitis. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoar
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang merupakan
zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan
immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun
demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks
kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain dan di
seluruh tubuh (Deshmukh, dkk., 2014).
9
2.2 Epidemiologi Apendisitis Akut
Apendisitis akut merupakan kegawatdaruratan abdomen yang paling
sering ditemukan. Di Inggris terdapat 40.000 pasien dengan apendisitis akut yang
dirawat setiap tahunnya (Humes dan Simpson, 2006) sedangkan di Amerika
didapatkan angka insidensi yang meningkat setiap tahunnya, yaitu dari 7,62
menjadi 9,38 per 10.000 orang antara tahun 1993-2008 (Buckius, dkk., 2012).
Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya sebesar 9% dimana
pada laki-laki didapatkan angka sebesar 9% dan pada perempuan sebesar 6%
(Anderson, dkk., 2012; Petroianu, 2012). Apendisitis akut dapat terjadi pada
semua kelompok usia, akan tetapi hal ini sangat jarang pada orang dengan usia
sangat lanjut. Frekuensi apendisitis akut tertinggi ditemukan pada kelompok usia
10-19 tahun. Perbandingan rasio laki-laki dengan perempuan yang menderita
apendisitis akut adalah 1,4:1. Rasio apendisitis sederhana dengan apendisitis
kompleks adalah 3:1 (Buckius, dkk., 2012). Apendisitis akut banyak didapatkan
pada ras kulit putih yaitu sebesar 74% dan paling jarang pada kulit hitam yaitu
sebesar 5% (Petroianu, 2012). Buckius, dkk. (2012) mendapatkan angka kenaikan
yang signifikan pada ras hispanik, asia dan orang asli amerika sedangkan pada ras
kulit putih dan kulit hitam terjadi penurunan (Tabel 2.1).
Beberapa penelitian di Eropa menunjukkan kecenderungan penurunan
angka kejadian apendisitis akut pada dewasa muda yaitu usia 10-19 tahun (Humes
dan Simpson, 2006; Buckius, dkk., 2012) . Sebuah studi di Denmark
menunjukkan penurunan insiden apendisitis akut antara tahun 1996 dan 2004.
Penurunan apendisitis akut pada laki-laki kelompok usia 10-14 tahun adalah
10
Tabel 2.1.
Frekuensi pasien dengan apendisitis sederhana maupun komplikata
(Buckius, dkk., 2012)
sebesar 27,8% dan pada kelompok usia 15-19 tahun adalah 12,8%. Tren ini juga
sama pada populasi perempuan dengan penurunan insiden sebesar 35,9% pada
kelompok usia 10-14 tahun dan menurun menjadi 22,5% pada kelompok usia 15-
19 tahun. Sebuah studi retrospektif di Spanyol yang dilakukan antara tahun 1998-
2007 juga mendapatkan penurunan angka insiden apendisitis (Buckius, dkk.,
2012).
Rasio terjadinya perforasi lebih tinggi pada anak kecil dan orang lanjut
usia. Angka terjadinya perforasi pada anak kecil berumur kurang dari 5 tahun
sebesar 82% dan mendekati 100% pada anak usia 1 tahun. Secara keseluruhan,
angka perforasi bervariasi antara 20-76% (Morrow dan Newman, 2007).
Apendisitis akut yang terjadi pada orang lanjut usia atau lebih dari 50 tahun
11
sangatlah jarang. Keadaan ini lebih disebabkan oleh penyakit lain, seperti tumor
(Carr, 2000).
2.3 Patofiologi Apendisitis Akut
Hingga saat ini etiologi dari apendisitis akut masih belum jelas diketahui
dengan pasti. Selama ini dipercaya bahwa obstruksi lumen apendiks merupakan
penyebab tersering, diikuti oleh infeksi bakteri sekunder pada dinding apendiks.
Fekalit, hiperplasi limfoid, benda asing, parasit dan tumor merupakan penyebab
obstruksi pada apendisitis akut (Prystowsky, 2005; Birnbaum dan Wilson, 2000).
Pada penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Wangensteen dan
Dennis (1939) ditemukan obstruksi lumen yang pada akhirnya menjadi apendisitis
akut. Dasar teori ini adalah obstruksi menyebabkan inflamasi, meningkatkan
tekanan intralumen dan pada akhirnya terjadi iskemia. Apendiks mempunyai
lumen yang relatif lebih kecil apabila dihubungkan dengan panjangnya.
Konfigurasi ini merupakan predisposisi terbentuknya obstruksi “closed-loop” dan
berlanjut menjadi inflamasi. Obstruksi lumen yang terjadi pada bagian proksimal
membuat tekanan intralumen di distal dari obstruksi meningkat. Kapasitas lumen
apendiks hanya 1 ml, dimana peningkatan volume intralumen sebesar 0,5 ml dapat
meningkatkan tekanan intralumen sebesar 50-65 mmHg. Sekali tekanan
intralumen melebihi 85 mmHg, terjadilah trombosis pada vena yang
menyebabkan kongesti pembuluh darah, drainase limfatik terganggu dan apendiks
membengkak. Pada saat pembuluh darah kongesti, mukosa apendiks menjadi
hipoksik dan terjadi ulserasi. Hal ini menimbulkan kerusakan pada barrier
12
mukosa menyebabkan invasi bakteri intralumen ke dinding apendiks. Kebanyakan
bakteri yang teridentifikasi merupakan bakteri gram negatif, yaitu Escherichia
coli (70%), Bacteroides fragilis (70%), Enterococcus (30%) dan Pseudomonas
(20%). Secara umum, lebih dari 10 jenis bakteri dapat ditemukan. Perbandingan
bakteri anaerobik dan aerobik adalah 3:1. Pada tahap awal apendisitis akut,
kerusakan mukosa yang terjadi oleh karena infeksi dan inflamasi merupakan
karakteristik yang ditemukan pada pemeriksaan patologi. Proses inflamasi dapat
berlanjut pada serosa apendiks, melibatkan peritoneum parietalis sehingga
menyebabkan nyeri yang spesifik pada perut kanan bawah. Jika proses ini
terlampaui, tekanan intralumen meningkat merangsang terjadinya infark vena,
nekrosis “full-thickness” dan akhirnya perforasi. Perforasi dapat berlanjut menjadi
peritonitis atau berkembang membentuk abses. Waktu untuk terjadinya gangren
dan perforasi bervariasi. Waktu terjadinya nyeri abdomen pada apendiks
gangrenosa adalah 46,2 jam dan pada perforasi adalah 70,9 jam (Prystowsky,
2005; Petroianu, 2012).
Fekalit yang diduga sebagai penyebab obstruksi pada apendisitis akut
seringkali tidak ditemukan pada saat operasi (Carr, 2000). Pada penelitian dalam
skala kecil yang dilakukan oleh Horton (1977), dilaporkan fekalit hanya
ditemukan sebanyak 9% sedangkan 25% lumen berisi kosong. Sisa kasus lainnya
lumen berisi feses yang lembek dan material purulen. Penelitian tersebut diperkuat
oleh Arnbjörnsson dan Bengmark (1984) yang mengukur tekanan intralumen pada
33 pasien yang menjalani apendisektomi. Mereka melaporkan tekanan intralumen
yang tidak meningkat pada sebagian besar kasus, terutama pada apendisitis
13
phlegmonosa. Obstruksi apendiks dengan peningkatan tekanan intralumen timbul
oleh karena proses inflamasi dan berhubungan dengan apendisitis gangrenosa.
Sisson, dkk. (1971) melaporkan ulserasi yang terbentuk pada mukosa
superfisial terjadi lebih awal daripada dilatasi apendiks. Infeksi virus disinyalir
memiliki peran penting terbentuknya ulserasi tersebut. Hal ini diikuti oleh invasi
bakteri sekunder yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya apendisitis akut.
Apendisitis akut lebih sering dijumpai di negara maju dibanding negara
berkembang. Kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi berperan dalam timbulnya penyakit apendisitis. Feses yang
keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan
menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Sayuran hijau dan tomat memegang peran sebagai pelindung mukosa
apendiks dari invasi bakteri (Prystowsky, 2005).
2.4 Klasifikasi Apendisitis Akut
Perubahan yang terjadi akibat proses inflamasi pada apendiks dapat
melibatkan seluruh struktur apendiks ataupun hanya sebagian dari panjang
apendiks tersebut, akan tetapi, biasanya hanya melibatkan bagian distal dari
apendiks. Pada penglihatan secara kasat mata, akan terlihat pembuluh darah
apendiks yang melebar dan serosa yang mengkilap. Seiring dengan perkembangan
penyakit, abses intramural terbentuk, dilatasi lumen dan edema pada dinding
14
apendiks. Pada tahap ini, mesoapendiks biasanya ikut terlibat dalam proses
inflamasi (Carr, 2000).
Secara histologis, inflamasi akut pada apendiks dapat dibedakan menjadi
beberapa kelompok. Hal ini terangkum dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2.
Klasifikasi apendisitis akut dan hubungan antara gambaran makro dan
mikroskopik (Carr, 2000)
Secara mikroskopik, inflamasi akut pada apendisitis terbagi menjadi
apendisitis akut kataral, supuratif/flegmonosa dan gangrenosa. Pada permulaan
apendisitis akut, inflamasi hanya terbatas pada mukosa apendiks sehingga disebut
apendisitis mukosal atau kataralis. Hal ini ditandai dengan ditemukannya netrofil
di dalam mukosa ditambah dengan ulserasi mukosa. Apabila mukosa apendiks
terlihat normal dan netrofil ditemukan di dalam lumen, terminologi apendisitis
intraluminal akut digunakan. Hal ini biasa ditemukan secara kebetulan ketika
15
dilakukan apendisektomi dan kejadian ini dianggap bukan merupakan inflamasi
apendiks yang sebenarnya. Pada pemeriksaan histopatologis, akan didapatkan
eksudat fibropurulen atau netrofil purulen di dalam lumen apendiks. Secara klinis,
apendisitis intraluminal akut sering tidak menunjukkan gejala apendisitis (Carr,
2000).
Apendisitis supuratif atau flegmonosa dikarakteristikkan dengan adanya
infiltrat netrofil yang melibatkan lapisan muskularis propria. Mukosa apendiks
biasanya mengalami inflamasi disertai dengan ulserasi. Pada tahap ini biasanya
gejala nyeri pada perut kanan bawah sudah mulai muncul. Perubahan lain yang
terjadi antara lain edema, serositis fibrinopurulen, mikro abses yang terjadi pada
dinding apendiks dan thrombus pada pembuluh darah (Gambar 2.2.) (Carr, 2000).
Gambar 2.2. Mikroskopis apendisitis akut supuratif. Tampak infiltrat inflamasi
akut transmural disertai dengan ulserasi mukosa, pus intraluminal dan serositis
fibrionpurulen (Carr, 2000)
Pada apendisitis gangrenosa, apendiks mengalami nekrosis pada dinding
apendiks dan hal ini merupakan tanda yang signifikan ditemukan pada
16
pemeriksaan secara makroskopis maupun histopatologis (Gambar 2.3.). Pada
kasus yang tidak tertangani dengan baik, perforasi akan terjadi. Bila tekanan
lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark
dan gangren. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan ataupun merah
kehitaman (Carr, 2000).
Gambar 2.3. Makroskopis apendisitis akut gangrenosa. Panjang apendiks 75 mm
dan membengkak oleh karena edema. Tampak gambaran kehitaman pada
apendiks disertai dengan eksudat fibrinopurulen pada permukaan serosa (Carr,
2000)
2.5 Diagnosis Apendisitis Akut
2.5.1 Anamnesis
Diagnosis apendisitis akut tergantung dari riwayat penyakit yang detail
dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Kompleksitas diagnosis terletak pada
bervariasinya gejala yang muncul (Ahmad, dkk., 2011; Chong, dkk., 2010).
Kesulitan ini akan muncul terutama pada anak kecil, sedangkan pada usia lanjut
dapat berupa nyeri abdomen yang samar dan bahkan tanpa rasa nyeri. Seringkali
17
keterlambatan dalam mendiagnosis mencapai 72 jam apabila dihubungkan dengan
penderita usia lanjut (Shafi, dkk., 2011).
Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada apendisitis akut. Nyeri
progresif ini bermula sebagai nyeri kolik yang dirasakan pada bagian
periumbilikus disertai rasa mual dan muntah, dan kemudian bermigrasi serta
menetap di fossa iliaka kanan dalam 24 jam pertama. Nyeri ditemukan pada lebih
dari 95% pasien dengan apendisitis akut. Seringkali nyeri ini tidak dirasakan di
fossa iliaka kanan, akan tetapi dapat terjadi pada lokasi yang berbeda, contoh
apendiks retrosekal, kehamilan, pelvik dan lain-lain. Nyeri abdomen tersebut akan
bertambah bila pasien bergerak, batuk atau bersin. Anoreksia sering merupakan
fitur yang predominan, diikuti dengan rasa mual dan bahkan muntah (Petroianu,
2012; Froggatt dan Harmston, 2011; Hung, dkk., 2012; Lewis, dkk., 1975;
Prystowsky, 2005).
Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami gejala demam.
Demam ini dikarateristikkan sebagai demam yang tidak terlalu tinggi (38ºC).
Kejadian perforasi patut diwaspadai apabila demam melampaui 38,3ºC
(Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).
Gejala klasik apendisitis akut ini terdapat pada setengah sampai dua
pertiga penderita. Kegagalan dalam mengenali gejala dan tanda apendisitis akut
akan membuat penatalaksanaan tertunda dan meningkatkan angka morbiditas
(Prystowsky, 2005).
18
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan abdomen akan ditemukan nyeri tekan pada fossa iliaka
kanan. Hal ini terdapat pada 95% pasien dengan apendisitis akut. Penekanan
maksimal dilakukan pada titik McBurney, yaitu titik sepertiga lateral dari garis
khayal yang menghubungkan Spina iliaka anterior superior kanan dengan
umbilikus. Nyeri tekan lepas (rebound tenderness) tidak dianjurkan dilakukan
apabila gejala nyeri sudah jelas karena akan membuat pasien tidak nyaman
(Petroianu, 2012).
Adanya rigiditas otot juga merupakan tanda yang bermakna untuk
apendisitis akut. Hal ini dikarenakan rangsangan peritoneal akibat apendisitis
yang berlanjut sampai ke peritoneum parietalis dan merupakan hal yang sangat
penting sebagai indikasi operasi. Nyeri ketok, rigiditas otot dan nyeri tekan lepas
merupakan tanda klinis yang paling dapat diandalkan terutama dalam
mendiagnosis apendisitis akut (Shelton, dkk., 2003; Humes dan Simpson, 2006).
Selain pemeriksaan tersebut, dapat juga dilakukan pemeriksaan lain seperti
tanda Blumberg, Rovsing, Psoasstretch dan Obturator. Pemeriksaan ini terdapat
pada kurang dari 10% pasien dengan apendisitis akut (Humes dan Simpson,
2006).
Nyeri pada pemeriksaan rektal dan vagina dapat ditemukan, bahkan tidak
jarang normal. Kegunaan pemeriksaan ini masih dipertanyakan. Pemeriksaan
yang berulang terutama pada anak-anak sangatlah menyiksa dan menyediakan
sedikit informasi sebagai diagnostik. Pemeriksaan ini hanya dilakukan apabila
kecurigaan apendisitis yang terletak di retrosekal atau pelvik (Petroianu, 2012).
19
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium
Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium yang berdiri
sendiri yang dapat mendiagnosis apendisitis akut. Data laboratorium awal
biasanya disertai peningkatan sel darah putih (lekositosis) dan jumlah netrofil.
Lekositosis (> 10.000/mm3) ditemukan pada 70-90% apendisitis akut. Netrofilia
ditemukan pada lebih 75% sebagian besar kasus. Akan tetapi, peningkatan ini juga
ditemukan pada pasien usia lanjut dan kehamilan yang menderita apendisitis akut.
Pada pasien gangguan sistem imun seperti penderita Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS), lekositosis ditemukan pada 12-14% kasus (Petroianu, 2012).
Pada penelitian prospektif yang dilakukan Cardall, dkk. (2004) untuk menilai
penggunaan klinis lekositosis dan demam dalam mendiagnosis apendisitis,
mereka mendapatkan angka sensitivitas 76%, spesifisitas 52%, nilai prediksi
positif 42%, nilai prediksi negatif 82% untuk lekosit dan sensitivitas 47%,
spesifisitas 64%, nilai prediksi positif 37%, nilai prediksi negatif 72% untuk
demam lebih dari 99,0ºF. Mereka menyimpulkan bahwa lekositosis dan demam
merupakan alat diagnostik yang tidak dapat diandalkan dalam mendiagnosis
apendisitis.
Dalam dua dekade terakhir, terdapat peningkatan penggunaan panel
diagnostik tambahan dalam memprediksi kejadian apendisitis. Di samping
diterapkannya pemeriksaan laboratorium rutin seperti jumlah lekosit dan hitung
netrofil, beberapa tes laboratorium lain dapat dipakai secara luas dan bersifat
praktis. Pengukuran CRP, suatu reaktan fase akut, telah mulai ditingkatkan.
20
Angka normal CRP adalah < 10 mg/l sedangkan pada penderita dengan
apendisitis akut meningkat >25 mg/l. Pada apendiks gangrenosa, angka CRP
melampaui 55 mg/l dan pada apendiks perforasi > 66 mg/l. Peningkatan CRP
pada apendisitis akut memiliki angka sensitivitas sebesar 47-75% dan spesifisitas
sebesar 56-82%. CRP ini meningkat dalam 12 jam sejak munculnya gejala.
Kombinasi dari lekositosis, netrofilia lebih dari 75% dan peningkatan CRP
meningkatkan sensitivitas sebesar 97-100% dalam mendiagnosis apendisitis akut
(Petroianu, 2012; Shogilev, dkk., 2014). Tsioplis, dkk. (2013) melaporkan bahwa
disamping riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, lekosit, CRP dan
ultrasonografi masih merupakan faktor yang penting dalam menegakkan diagnosis
apendisitis.
Level CRP pada penderita apendisitis akut sering dihubungkan dengan
beratnya derajat infeksi dan bahkan kadar CRP dipakai untuk membedakan
apendisitis flegmonosa dengan perforasi apendisitis (Kaya, dkk., 2012). Nilai cut-
off CRP yang diberikan oleh Moon, dkk. (2011) sebesar 7,05 mg/dL
mengindikasikan bahwa penanganan apendisitis harus segera dilakukan oleh
karena kemungkinan terjadinya perforasi sangat tinggi, terutama pada anak kecil
dan orang tua. Yokoyama, dkk. (2009) melaporkan bahwa hanya CRP yang
konsisten dengan derajat keparahan apendisitis dan merupakan tanda yang
mengindikasikan dilakukannya pembedahan apendisektomi dengan nilai cut-off
4,95 mg/dl. Asfar, dkk. (2000) mencatat angka sensitivitas CRP dalam
mendiagnosis apendisitis akut sebesar 93,6%, spesifisitas sebesar 86,6%, nilai
prediksi positif 96,7%, nilai prediksi negatif 76,5% dan kejadian apendisektomi
21
negatif sebesar 19,2% (15 dari 78 pasien yang dioperasi; dimana dari 15 pasien
tersebut didapatkan kadar CRP normal pada 13 pasien). Mereka menilai bahwa
kadar CRP pre-operatif yang normal pada pasien dengan kecurigaan apendisitis
akut berhubungan dengan apendiks yang normal. Hal yang serupa dilaporkan oleh
Gurleyik, dkk. (1995) dalam penelitiannya yang membandingkan CRP dengan
penilaian klinis ahli bedah mengenai apendisitis akut. Mereka mendapatkan
sensitivitas 93,5%, spesifisitas 80%, akurasi 91%, negatif palsu 3%, positif palsu
11% kadar CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut dan merekomendasikan
pemeriksaan CRP sebagai laboratorium rutin pada pasien dengan kecurigaan
apendisitis akut. Apabila parameter laboratorium lekositosis dan CRP
digabungkan, maka didapat angkasensitivitas 85%, spesifisitas 100%, nilai
prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 81% (Kumar, dkk., 2011). Hal
serupa juga dikemukakan oleh Mohammed, dkk. (2004), mereka melaporkan
evaluasi klinis ditambah dengan pemeriksaan lekosit, netrofil dan CRP dapat
meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis dan mengurangi insiden terjadinya
perforasi dan apendisektomi negatif. Kwan dan Nager (2010) melaporkan
penggunaan CRP yang dikombinasi dengan lekositosis merupakan alat bantu yang
berguna dalam mendiagnosis apendisitis akut pada anak-anak. Studi yang
dilakukan oleh mereka tersebut juga mirip oleh penelitian yang dilakukan
Mekhail, dkk. (2011). Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gavela, dkk.
(2012) tentang evaluasi procalcitonin (PCT) dan CRP sebagai prediktor derajat
keparahan apendisitis pada anak kecil, mereka mendapatkan bahwa CRP dan PCT
dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi hasil akhir apendisitis akut pada
22
anak kecil. Kadar CRP > 3 mg/dl dan/atau PCT > 0,18 mg/mL memiliki resiko
untuk terjadinya komplikasi yang pada akhirnya menentukan tindakan intervensi.
Mereka juga mendapatkan angka sensitivitas 95%, spesifisitas 74%, nilai prediksi
positif 68%, nilai prediksi negatif 96,2% untuk CRP dan sensitivitas 97%,
spesifisitas 80%, nilai prediksi positif 72%, nilai prediksi negatif 89,3% untuk
PCT. Hal serupa juga dilaporkan oleh Wu, dkk. (2005), mereka mendapatkan nilai
cut-off CRP selama 3 hari berturut-turut memberikan nilai prediksi yang berguna
terutama untuk mendiagnosis apendisitis akut pada tahap awal. Untuk kasus
apendisitis akut pada anak kecil yang menderita obesitas, kadar CRP bukan
merupakan marker inflamasi yang bisa dipercaya. Hal ini disebabkan lemak
viseral merupakan organ endokrin penting yang terlibat secara kompleks dalam
hubungannya dengan inflamasi sistemik yang dapat mengganggu kadar CRP pada
pasien dengan apendisitis akut (Kutasy, dkk., 2010).
Akan tetapi pada penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Hallan dan
Asberg (1997), mereka melaporkan CRP merupakan alat bantu diagnostik untuk
apendisitis akut dengan tingkat akurasi yang medium dan sedikit lebih inferior
dibanding pemeriksaan lekosit. Dari 22 artikel yang diteliti, mereka mendapatkan
angka sensitivitas 40%-99%, spesifisitas 27%-90%, nilai cut-off untuk apendisitis
yang positif bervariasi antara 5 sampai 25 mg/l serta hanya 2 artikel yang
melaporkan penambahan pemeriksaan CRP memberikan informasi yang
bermakna dalam mendiagnosis apendisitis akut.
Penggunaan serum biomarker tunggal dan diambil dalam waktu yang
berbeda untuk menegakkan apendisitis akut pada anak kecil apabila dibandingkan
23
dengan skor Alvarado dan pemeriksaan radiologis mempunyai beberapa
keuntungan, antara lain biaya yang relatif lebih murah, obyektif dan lebih mudah
dilakukan oleh karena tanpa resiko terpapar radiasi atau kebutuhan sedasi untuk
anak kecil (Wu, dkk., 2012).
2.5.3.2 Sistem Skoring
Sejumlah sistem skoring telah dikembangkan dalam mendiagnosis
apendisitis akut dan mempengaruhi penatalaksanaan kasus tersebut. Sistem
tersebut merupakan penunjang diagnosis berharga dalam membedakan suatu
apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem
skoring diagnosis yang dikenal, antara lain skor Alvarado, skor RIPASA, versi
modifikasi skor Alvarado, skor apendisitis pediatri, serta yang jarang dipakai
seperti skor Kharbanda dan Lintula (Wray, dkk., 2013; Chong, dkk., 2010;
Memon, dkk., 2013). Skor Alvarado sendiri merupakan sistem skoring yang
sederhana, mudah diterapkan dan paling banyak diadopsi oleh klinisi. Pada tahun
1986, Alfredo Alvarado mengembangkan sebuah sistem skoring untuk membantu
mendiagnosis apendisitis akut serta penatalaksanaannya. Sistem ini disebut juga
MANTRELS oleh karena terdiri dari kombinasi 8 gejala klinis dan tanda yang
ditemukan pada pemeriksaan klinis maupun penunjang. Jumlah skor yang
diperoleh akan menentukan apakah pasien yang dicurigai tersebut akan
dipulangkan, diobservasi atau dioperasi. Rentang skor dari 0-10, dimana skor < 5
merupakan indikasi bagi pasien untuk dipulangkan, skor 5-6 dilakukan observasi
dan pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi serta skor ≥ 7 merupakan
24
indikasi tindakan pembedahan (Wray, dkk., 2013; Ohle, dkk., 2011). Berdasarkan
skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor < 5
adalah 30%, skor 5-6 adalah 66% dan skor ≥ 7 adalah 93% (Tabel 2.3.) (Ohle,
dkk., 2011). Penilaian obyektif adalah nyeri pada fossa iliaka kanan. Ali, dkk
(2013) melaporkan validasi skor Alvarado dalam mendiagnosis apendisitis akut.
Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas sebesar 88,13%, spesifisitas
sebesar 70,96%, angka prediksi positif 85,24%, angka prediksi negatif 75,86%
dan 16,9% untuk apendisektomi negatif. Nizamuddin dkk. (2009) melaporkan
sensitivitas sebesar 86% pada grup dengan skor ≥ 7 dan 90,6% pada grup dengan
skor 5-6. Nilai prediksi positif sebesar 85,4% (laki-laki 88,3% dan perempuan
81,4%) dan tingkat akurasi sebesar 85,4%. Penelitian ini serupa dengan studi yang
dilakukan Memon, dkk. (2013) dimana mereka mendapatkan sensitivitas sebesar
93,5%, nilai prediksi positif sebesar 92,3% dan akurasi sebesar 89,9%. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Ohle, dkk. (2011) mendapatkan angka sensitivitas
sebesar 94-99% untuk skor < 5, 82% untuk skor ≥ 7 dan spesifisitas sebesar 81%.
Data yang terkumpul mengindikasikan bahwa skor Alvarado dapat digunakan
sebagai alat diagnostik yang efektif dan cepat dalam mendiagnosis apendisitis
akut.
2.5.3.3 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan
mendiagnosis berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengaruh tehnik
pencitraan dengan angka kejadian apendisektomi negatif masih belum sepenuhnya
25
Tabel 2.3.
Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan strategi
penatalaksanaan (Ohle, dkk., 2011)
jelas. Beberapa penelitian melaporkan angka kejadian apendisektomi negatif yang
tidak berubah walaupun banyak muncul tehnik pencitraan. Di sisi lain,
penggunaan ultrasonografi dan CT-scan menurunkan jumlah rawat inap dan
apendisektomi yang tidak diperlukan (Birnbaum dan Wilson, 2000; Humes dan
Simpson, 2006).
Pada tahun 1986, Puylaert mengusulkan penggunaan ultrasonografi
dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada ultrasonografi, kompresi secara
gradual pada abdomen kanan bawah meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis
apendisitis akut. Tehnik kompresi ini memiliki peran yang penting dalam
mengurangi jumlah apendisektomi yang negatif. Ultrasonografi merupakan alat
26
bantu yang cepat, non-invasif, murah dan tidak memerlukan persiapan ataupun
kontras. Kegunaan ultrasonografi sangatlah membantu klinisi dalam mendiagnosis
apendisitis akut terutama pada pasien yang hamil dan anak kecil. Anielski, dkk.
(2010) mencatat bahwa meskipun ultrasonografi merupakan alat yang membantu
dalam diagnosis preoperatif untuk kasus-kasus akut abdomen, kegunaannya untuk
apendisitis akut terbatas. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari
operator yang memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk
menghindari penafsiran yang berlebihan. Akan tetapi hal ini tertutup oleh
pentingnya ultrasonografi dalam memeriksa pasien dengan nyeri perut kanan
bawah. Kurva pembelajaran dibutuhkan operator dalam memeriksa dan
menganalisa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Kekurangan lain
dari ultrasonografi antara lain letak atau posisi apendiks yang menyulitkan, biaya
yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di
dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau
berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor
yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010; Lee, J.
H., 2003).
Di tangan yang ahli, sensitivitas ultrasonografi dilaporkan sebesar 75-90%,
spesifisitas 86-100%, akurasi 87-96%, nilai prediksi positif sebesar 91-94% dan
nilai prediksi negatif sebesar 89-97% dalam mendiagnosis apendisitis akut
(Birnbaum dan Wilson, 2000). Akurasi yang diberikan oleh ultrasonografi dapat
menekan angka apendisektomi negatif sebesar 10-20% (Morrow dan Newman,
2007; Wray, dkk., 2013; Kurane, dkk., 2008). Pada penelitian meta-analisis yang
27
dilakukan oleh Doria, dkk. (2006) mengenai penggunaan ultrasonografi atau CT-
Scan dalam mendiagnosis apendisitis akut pada pasien anak kecil, mereka
mendapatkan angka sensitivitas dan spesifisitas CT-scan yang lebih tinggi
dibanding ultrasonografi (94% dan 95% vs 88% dan 94%). Ultrasonografi harus
dilakukan dengan memeriksa abdomen dan organ pelvis. Hal ini penting terutama
untuk membedakan apakah apendiks terletak di rongga pelvis atau terdapat
kelainan di bidang ginekologi. Bendeck, dkk. (2002) melaporkan keuntungan
pemeriksaan radiologis berupa ultrasonografi atau CT-scan pada penderita
perempuan dewasa dengan kecurigaan apendisitis akut. Mereka mendapatkan
angka kejadian apendisektomi negatif yang lebih rendah dibandingkan yang tidak
dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif. Akan tetapi pada kelompok lain,
tidak didapatkan perbedaan secara bermakna angka kejadian apendisektomi
negatif pada kelompok yang dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif
maupun yang tidak.
Secara spesifik, ultrasonografi dilakukan dengan penekanan pada perut
kanan bawah. Menempatkan pasien dengan posisi dekubitus lateral kiri sangat
membantu memvisualisasi apendiks retrosekal. Pada pemeriksaan ultrasonografi,
apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter 6 mm atau lebih.
Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya pada
jaringan lemak yang mengelilinginya (Gambar 2.4.). Pada apendiks perforasi
gambaran ultrasonografi menunjukkan bentuk apendiks yang irregular dan adanya
penumpukan cairan di sekitar sekum (Birnbaum dan Wilson, 2000; Kaiser, dkk.,
28
2002; Morrow dan Newman, 2007; Rybkin dan Thoeni, 2007; Kurane, dkk.,
2008; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009).
A B
Gambar 2.4. Gambaran ultrasonografi apendisitis akut. (a) Axis memanjang dan
(b) Potongan melintang (Birnbaum dan Wilson, 2000)
CT-scan merupakan alternatif diagnostik pada apendisitis akut. Alat ini
direkomendasikan apabila ultrasonografi belum dapat menyimpulkan apendisitis.
CT-scan merupakan alat diagnostik yang lebih superior dibanding ultrasonografi
dalam hal spesifisitas (96% vs 76%), akurasi (94% vs 83%) dan nilai prediksi
negatif (95% vs 76%). Dalam hal sensitivitas dan nilai prediksi positif, CT-scan
menyerupai ultrasonografi (91% vs 89% dan 95% vs 96%) (Shelton, dkk., 2003;
Hlibczuk, dkk., 2010; Birnbaum dan Wilson, 2000; Doria, 2009; Poortman, dkk.,
2009; Krajewski, dkk., 2011). CT-scan lebih superior dalam mendiagnosis
inflamasi periapendiks, kelainan abdomen akut selain apendisitis akut dan lebih
sensitif menganalisa apendiks normal dibanding ultrasonografi. Pada pemeriksaan
CT-scan, apendiks yang mengalami inflamasi memiliki diameter lebih besar dari 9
mm dan cenderung mengalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya.
Diameter apendiks normal yang ditemukan pada orang dewasa bervariasi mulai
dari 3 mm sampai 10 mm. Kadang kala dijumpai juga apendikolit yang terdapat
pada lumen apendiks yang menyebabkan inflamasi perisekal. Pemeriksaan ini
29
juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat
keganasan. Kekurangan dari pemeriksaan CT-scan adalah waktu yang dibutuhkan
dalam memvisualisasi dan menginterpretasi hasil yang pencitraan serta biaya
untuk melakukan pemeriksaan ini (Shelton, dkk., 2003; Birnbaum dan Wilson,
2000).
Laparoskopi, CT-Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang relatif
mahal dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit, terutama di Unit Gawat
Darurat. Pemeriksaan tersebut hanya akan menunda penegakkan diagnosis yang
pada akhirnya akan meningkatkan jumlah komplikasi, beban biaya dan masa
rawat inap serta waktu untuk beraktivitas kembali. Angka mortalitas akibat
penundaan diagnostik dan penatalaksanaan dilaporkan sebesar 0,2-0,8% dapat
meningkat sampai diatas 20% pada pasien dengan usia diatas 70 tahun (Ali, dkk.,
2013). Lee, dkk. (2001) bahkan melaporkan bahwa CT-scan dan ultrasonografi
tidak meningkatkan akurasi diagnostik apendisitis maupun menurunkan angka
kejadian apendisektomi negatif. Pemeriksaan tersebut hanya akan menghambat
diagnosis dan penanganan pasien dengan apendisitis.
2.6 Penatalaksanaan
Apendisektomi darurat merupakan suatu prosedur operasi yang efektif dan
diterima secara universal serta dilakukan lebih dari 250.000 kali per tahun di
Amerika Serikat. Prosedur apendisektomi merupakan tindakan operasi yang
paling sering dilakukan (Shelton, dkk., 2003). Beberapa studi melaporkan bahwa
30
prosedur ini mencakup 10% dari semua tindakan operasi kegawatdaruratan di
abdomen (Chong, dkk., 2010; Kareem, dkk., 2009).
Tindakan resusitasi yang diikuti dengan operasi apendisektomi merupakan
pilihan pertama pada pasien dengan apendisitis akut. Pemberian analgesia tidak
dianjurkan karena hal tersebut akan mengaburkan gejala yang muncul. Tindakan
operasi adalah pilihan standar dalam menangani kasus apendisitis (Humes dan
Simpson, 2006). Akan tetapi, apendisektomi untuk apendisitis akut bukanlah
tanpa resiko. Resiko jangka panjang terjadinya obstruksi akibat adhesi setelah
apendisektomi sebesar 1,3% selama 30 tahun setelah prosedur operasi. Angka
apendisektomi negatif dilaporkan sebesar 10-20% walaupun CT-scan digunakan
secara luas (Wray, dkk., 2013). Semua pasien harus mendapatkan antibiotika
spektrum luas preoperatif (1 sampai 3 dosis) untuk menurunkan angka kejadian
infeksi paska operasi dan pembentukan abses intraabdomen (Humes dan Simpson,
2006).
Apendisektomi merupakan prosedur yang relatif aman dengan angka
mortalitas 0,8 per 1.000 untuk kasus apendisitis yang belum perforasi dan
meningkat menjadi 5,1 per 1.000 kasus apendiks perforasi. Secara keseluruhan,
perforasi terjadi antara 16-30% dan meningkat secara bermakna pada penderita
usia lanjut dan anak kecil (Humes dan Simpson, 2006; Oliak, dkk., 2000). Infeksi
luka operasi tergantung dari derajat kontaminasi intraoperatif, berkisar antara <
5% untuk apendisitis sederhana dan mencapai 20% untuk apendiks gangrenosa
dan perforasi (Markides, dkk., 2010).
31
Penelitian yang dilakukan oleh Abou-Nukta, dkk. (2006) menunjukkan
tidak adanya perbedaan bermakna komplikasi antara pembedahan yang dilakukan
< 12 jam dengan 12-24 jam. Apabila lebih dari 36 jam sejak gejala pertama
muncul, angka terjadinya komplikasi perforasi meningkat antara 16-36% dan
bahkan meningkat 5% pada setiap 12 jam penundaan operasi. Abou-Nukta,
dkk.(2006) menganjurkan prosedur apendisektomi harus dilakukan setelah
diagnosis apendisitis ditegakkan.
2.7 C-Reactive Protein
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang ditemukan dalam darah
dan meningkat sebagai respon terhadap inflamasi sebagai suatu protein fase akut.
Lebih lanjut CRP merupakan turunan pentraksin dan disintesis oleh hati. CRP
juga diproduksi oleh dinding pembuluh darah seperti sel endotel, sel otot polos
dan jaringan adiposa (Pepys dan Hirschfield, 2003).
CRP ditemukan untuk pertama kalinya oleh Tillet dan Francis pada tahun
1930. CRP adalah protein residual 224 dengan berat molekul 118-144 kDa. Gen
CRP terletak pada kromosom 1. Awalnya penamaan CRP berasal dari
kemampuannya mempresipitasi somatik C-polisakarida dari bakteri Streptococcus
pneumonia dan merupakan protein yang muncul pertama kali pada fase akut
sebagai petanda sistemik yang sensitif terhadap rangsangan inflamasi dan
kerusakan jaringan (Clyne dan Olshaker, 1999; Aziz dkk., 2003). Respon pada
fase akut meliputi respon fisiologik dan biokimia dari mahkluk endotermik
terhadap kerusakan jaringan, infeksi, inflamasi dan proses keganasan. Secara
32
khusus, sintesis jumlah protein diatur di hati melalui kontrol sitokin yang
dihasilkan oleh jaringan yang sakit. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan
protein C ataupun peptida C. Protein fase akut yang lain termasuk inhibitor
proteinase dan sistem koagulasi, sistem komplemen, protein transport dan serum
protein amiloid A. CRP mengaktivasi sistem komplemen dan terikat dengan
reseptornya. Peningkatan CRP yang bermakna mengindikasikan inflamasi yang
terjadi (Pepys dan Hirschfield, 2003).
Konsentrasi median CRP di tubuh orang dewasa sehat adalah 0,8 mg/l, 90
persentil mencapai 3,0 mg/l dan 99 persentil mencapai 10 mg/l. CRP sebagai
petanda inflamasi akut mengalami kenaikan 100-1.000 kali setelah terjadinya
infeksi ataupun trauma. Bahkan pada reaksi fase akut CRP dapat meningkat
10.000 kali lipat (< 50 µg/l - > 500 mg/l). Plasma CRP diproduksi oleh hepatosit
melalui kontrol sitokin IL-6. CRP dapat meningkat melebihi 5 mg/l dan timbul 4-
6 jam setelah terjadinya rangsangan, berduplikasi setiap 8 jam dan mencapai
puncaknya dalam 48 jam. Waktu paruh di dalam plasma adalah 19 jam dan
membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal. Apabila rangsangan
sebagai pencetus inflamasi dihilangkan maka CRP akan kembali ke angka normal
secara cepat. Kadar CRP > 10 mg/l mengindikasikan reaksi inflamasi yang
bermakna. Kadar serum CRP yang meningkat terlihat pada kondisi trauma,
nekrosis jaringan, infeksi, pembedahan, infark miokardium dan berhubungan
dengan meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler. Beberapa keadaan
noninflamasi juga dapat meningkatkan kadar CRP, seperti obesitas, depresi,
bertambahnya usia, inaktivitas fisik, radioterapi serta merokok. Hubungan antara
33
produksi CRP dan polimorfisme genetik IL-1 dan IL-6 juga telah dikemukakan.
Pada penyakit atherosklerosis, CRP merupakan faktor resiko yang independen.
Kadar CRP yang tinggi sering dihubungkan dengan meningkatnya angka
mortalitas dan morbiditas (Aziz, dkk., 2003; Pepys dan Hirschfield, 2003;
Marnell, dkk., 2005; Volanakis, 2001). Pada kebanyakan kasus, representasi CRP
bervariasi menandakan inflamasi yang terjadi seperti dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4.
Respon CRP berbagai penyakit (Pepys dan Hirschfield, 2003)
CRP termasuk dalam turunan pentraksin protein calcium dependent
ligand-binding plasma. Molekul CRP pada manusia tersusun atas lima subunit
polipeptida nonglikosilasi yang identik, masing-masing terdiri dari 206 sisa asam
amino. Protomer CRP dihubungkan secara nonkovalen dalam konfigurasi annular
yang berbentuk penta siklik. Masing-masing protomer mempunyai karakteristik
34
“lectin fold” yang terdiri atas lembaran 2 lapis β dengan topologi jellyroll yang
datar. Situs yang mengikat ligan tersusun atas lengkungan dengan 2 ion kasium
yang terikat 4 Å terpisah oleh ikatan protein dan terletak pada bagian konkaf,
sedangkan bagian lain membawa heliks α tunggal (Gambar 2.5.) (Pepys dan
Hirschfield, 2003; Thompson, dkk., 1999).
Gambar 2.5. Struktur molekul dan morfologi CRP. (a). Dengan mikrograf
elektron menunjukkan struktur pentamerik, (b). Struktur kristal dengan diagram
berwarna yang menunjukkan “lectin fold” dan dua atom kalsium yang terikat
pada masing-masing protomer, dan (c) Molekul CRP dengan molekul fosfokolin
tunggal yang terletak pada masing-masing protomer (Pepys dan Hirschfield,
2003)
2.8 Hubungan C-Reactive Protein Dengan Apendisitis Akut
Inflamasi didefinifikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau
cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun didapat.
Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti
infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat bersifat lokal, sistemik, akut dan
kronis yang menimbulkan kelainan patologis. Petanda respon inflamasi lokal
pertama digambarkan oleh orang Romawi sekitar 2000 tahun yang lalu berupa
kemerahan, bengkak, panas dan nyeri. Pada abad ke-2, Galen menambahkan
35
petanda inflamasi ke-5 berupa gangguan fungsi alat yang terkena. Dalam beberapa
menit setelah terjadi cedera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan
peningkatan volume darah di tempat. Volume darah yang meningkat di jaringan
dapat menimbulkan perdarahan. Permeabilitas vaskular yang meningkat
menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah yang menimbulkan edema
(Gambar 2.6.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Gambar 2.6. Respon vaskuler terhadap inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis,
2014)
Dalam beberapa jam lekosit menempel ke sel endotel di daerah inflamasi
dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut
36
ekstravasasi. Pada pemeriksaan histologik ditemukan cairan edema dan infiltrasi
sel lekosit. Berbagai faktor plasma seperti immunoglobulin, komplemen, sistem
aktivasi kontak koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil,
mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit,
limfosit dan sitokin berinteraksi satu dengan yang lain. Patogen yang menembus
sawar luar imunitas nonspesifik seperti kulit, membran mukosa, infeksi atau
cedera jaringan dapat memacu kaskade reaksi inflamasi yang kompleks
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Neutrofil merupakan sel utama pada inflamasi dini, bermigrasi ke jaringan
dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi hal tersebut
diperlukan peningkatan produksi neutrofil dalam sumsum tulang. Orang dewasa
normal memproduksi lebih dari 1010
neutrofil per hari tetapi pada inflamasi dapat
meningkat sampai 10 kali lipat. Pada inflamasi akut, neutrofil dalam sirkulasi
dapat meningkat dengan segera dari 5000/µl sampai 30.000/µl. Peningkatan
tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum
tulang dan persediaan marginal intravaskular. Persediaan marginal ini merupakan
sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskular yang keluar dari
sirkulasi. Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pertama terhadap
mikroorganisme yang masuk membutuhkan komponen seluler untuk
membersihkan debris lokal dan meningkatkan perbaikan jaringan (Baratawidjaya
dan Rengganis, 2014).
Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi
mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat yang
37
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Inflamasi distimulasi
oleh faktor kimia (histamin, bradikini, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin)
yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem
kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi (
Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Pada inflamasi akut, pelepasan berbagai mediator sel mast (histamin dan
bradikinin) disertai aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel inflamasi dan sel
endotel yang masing-masing melepaskan mediator yang menimbulkan efek
sistemik seperti panas, neutrofil dan protein fase akut seperti CRP. Inflamasi akan
pulih bila mediator tersebut menjadi tidak aktif. Bila penyebab tidak dapat
disingkirkan atau timbul pajanan ulang maka akan terjadi inflamasi kronik
(Baratawidjaya dan Rengganis, 2014).
Inflamasi lokal yang terjadi memberikan proteksi dini terhadap infeksi
atau cedera jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respon lokal dan sistemik.
Reaksi lokal terdiri atas tumor, rubor, kalor, dolor dan gangguan fungsi. Bila
darah keluar dari sirkulasi darah, kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik
diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang terjadi dini disebabkan oleh efek
langsung mediator enzim plasma seperti bradikinin dan fibrinopeptida yang
menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Beberapa efek
vaskular disebabkan efek anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menginduksi
degranulasi sel mast yang melepas histamin. Histamin menimbulkan vasodilatasi
dan kontraksi otot polos. Prostaglandin juga berperan dalam vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vaskular (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
38
Dalam beberapa jam setelah awitan perubahan vaskular, neutrofil
menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga
jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respon
inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan
TNF-α) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut
menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel
endotel seperti TNF-α yang meningkatkan ekspresi selektin-E, IL-1 menginduksi
peningkatan ekspresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neutrofil, monosit dan limfosit
mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan
selanjutnya ke jaringan. IL-1 dan TNF-α juga memacu makrofag dan sel endotel
untuk memproduksi kemokin yang berperan pada influx neutrofil melalui
peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN-γ dan TNF-α juga mengaktifkan
makrofag dan neutrofil, meningkatkan fagositosis dan penglepasan enzim ke
rongga jaringan. Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar
tidak terjadi kerusakan jaringan. TGF-β membatasi respon inflamasi dan memacu
akumulasi dan proliferasi fibroblast dan endapan matriks ekstraselular yang
diperlukan untuk perbaikan jaringan (Gambar 2.7.) (Baratawidjaja dan Rengganis,
2014).
39
Gambar 2.7. Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat terjadinya
infeksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)
Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan
berlangsung sebentar. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang
disebut respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa
protein plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang
berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulator mikro dengan eksudasi
cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan
respon khas imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan
sel dan berlangsung (beberapa jam – hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab
seperti kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh
makrofag yang melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke
tempat infeksi. Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast residen yang cenderung
menarik eosinofil. Segera setelah inflamasi dipacu berbagai perubahan terjadi
40
dalam endotel vaskular yang memungkinkan ekstravasasi limfosit terutama
neutrofil, tetapi juga monosit dan limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi seperti
IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein
yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan
C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul-molekul tersebut memiliki
sejumlah fungsi antara lain mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP
mengikat C-polisakarida dari S. pneumonia, scavenging (haptoglobin) dan
sebagainya (Gambar 2.8.). Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur
spontan pada fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut
diperlukan untuk menilai derajat inflamasi dan respon terhadap terapi.
Gambar 2.8. Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi
(Hengst, 2003)
41
Perubahan metabolik dan endokrinologi yang terjadi pada hampir semua
penderita dengan apendisitis akut dan perubahan tersebut tergantung pada berat
ringannya infeksi. Mekanisme itu mencakup pertahanan organ tersebut terhadap
infeksi misalnya perlindungan sendiri dan mempertahankan sistem homeostasis.
Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar
berupa acute phase reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling
terkenal adalah C-reactive protein (CRP). APR teraktivasi hasil respon sistemik
terhadap infeksi termasuk pada apendisitis akut. CRP yang merupakan salah satu
protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah
meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas nonspesifik. Sebagai
opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang
membentuk kompleks dan mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran
CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat
100 kali atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan
Ca++
dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan
pada permukaan bakteri/jamur. Sintesis CRP yang meningkat meninggikan
viskositas plasma dan LED. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi
yang persisten. CRP lebih sensitif dibandingkan LED karena dapat dijadikan
indikator respon fase akut dalam 24 jam pertama proses inflamasi sedangkan LED
terjadi setelahnya. Tidak seperti LED, CRP merupakan protein serum stabil yang
pengukurannya tidak dipengaruhi waktu dan komponen serum lain. Besar
inflamasi berhubungan langsung dengan kadar CRP (Clyne dan Olshaker, 1999).
42
Gambar 2.9. Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik
(Hengst, 2003)
Fungsi fisiologi CRP adalah kemampuannya untuk mengikat berbagai
macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang
dilepaskan oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi
darah (Volanakis, 2001).
Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan
kadar CRP berkisar antara 10-40 mg/L, sedangkan pada infeksi bakteri dan
inflamasi berat dapat meningkatkan CRP antara 40-200 mg/L. Beberapa
penelitian menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/L memiliki sensitivitas 80-
85% untuk infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan
inflamasi dan atau kerusakan jaringan yang sedang terjadi dibanding parameter
laboratorium respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap
darah. Lebih lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan
proses makan. Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit
43
obat yang dapat mempengaruhi kadar CRP. Konsentrasi CRP merupakan petanda
inflamasi biokimia nonspesifik yang sangat berguna sebagai alat untuk
mengetahui penyakit organ, untuk memantau respon pengobatan terhadap
inflamasi dan infeksi serta mendeteksi infeksi pada penyakit imunokompromis
dan penyakit yang dikarakteristikkan dengan absennya CRP pada respon fase akut
(Aguiar, dkk., 2013).
Dalam menginterpretasikan hasil CRP, ada beberapa hal yang
mempengaruhinya yang berhubungan dengan inflamasi. Supaya pengukuran CRP
mempunyai arti klinis maka variasi biologis yang harus diperhatikan supaya tidak
mempengaruhi interpretasi. Hal-hal yang meningkatkan kadar CRP adalah
kegemukan, DM, hipertensi, merokok, sedangkan keadaan yang menurunkan
kadar CRP adalah diet dan penurunan berat badan, latihan fisik, berhenti
merokok, terapi aspirin dan statin (Huang, dkk., 2013).
Pemeriksaan klinis untuk CRP dapat dilakukan tanpa memandang waktu
pemeriksaan dan tidak perlu puasa. Sampel serum akan stabil dalam
penyimpanan 3 hari dengan suhu 20-250C, 8 hari pada suhu 2-8
0C dan untuk
jangka waktu lama disimpan pada suhu -700c (Ridker, dkk., 2000).
Awalnya metode yang umum dipakai adalah ELISA yang secara tunggal
digunakan beberapa studi epidemiologi. Metode ini semikuantitatif terutama
hanya untuk riset, tidak secara rutin disediakan di laboratorium klinis kemudian
dikembangkan metode CRP (metode kuantitatif) yang otomatis dan dapat
digunakan secara rutin di laboratorium klinis. Uji CRP yang disetujui oleh Food
and Drug Administration (FDA) adalah metode imunonefelometri dari Dade
44
Behring karena banyak digunakan dalam penelitian dalam skala besar dan
hasilnya terdapat kesesuaian dengan metode sebelumnya yang telah disahkan
yaitu metode IRMA dan ELISA serta mempunyai kepekaan tinggi yaitu 0,15
mg/dl (Roberts, dkk., 2001).
Top Related