20
BAB II
TEORI, ASAS DAN SISTEM HUKUM
PEMILIHAN UMUM KDH DAN WKDH
A. Teori – Teori dalam Pemilihan Umum KDH
dan WKDH
1. Teori Keberlakuan Hukum
Suatu sistem hukum yang berlaku di
masyarakat tidaklah berdiri sendiri tanpa
dipengaruhi faktor lainnya, semisal faktor sosial,
politik, ekonomi, budaya dan lainnya.1 Hal ini
mengawali dikenalnya sosiologi hukum sebagai
suatu ilmu yang menelaah hubungan antara
faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi
efektifitas keberlakuan hukum. Hal ini seperti
diungkapkan Chambliss dan Seidman seperti
dikutip Satjipto Raharjo berikut :2
“Para justisiabel yang menjadi sasaran dari
peraturan perundang-undangan tidak hanya menerima pengaruh dari norma-norma hukum
saja, melainkan dari berbagai macam faktor dan
kekuatan disekelilingnya, seperti adat istiadat,
norma-norma agama, kehidupan ekonomi, dan
sebagainya. Bahkan masih dapat ditambahkan
bekerjanya kekuatan-kekuatan intern psikis di dalam diri pemegang peranan itu sendiri”
1 Satjipto Raharjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni,
Bandung: 1980. Hal 117. 2 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Genta Publishing, Bandung: 2010.
Hal 54.
21
Senada dengan Chambliss dan Seidman,
Lawrence Friedman memberikan gambaran
mengenai kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja
mempengaruhi hukum dan menyebutnya sebagai
kultur hukum sebagai berikut :3
“kekuatan-kekuatan sosial terus – menerus
menggerakkan hukum-merusak di sini,
memperbaharui di sana; menghidupkan di sini, mematikan di sana; memilih bagian mana dari
„hukum‟ yang akan beroperasi, bagian mana yang
tidak; mengganti, memintas dan melewati apa
yang muncul; perubahan-perubahan apa yang
akan terjadi secara terbuka atau diam-diam. Karena tidak ada istilah lain yang tepat lagi, kita
bisa namakan sebagian dari kekuatan-kekuatan
ini sebagai kultur hukum”
Menurut Friedman, suatu sistem hukum
dalam operasi aktualnya merupakan sebuah
organisme kompleks di mana struktur, substansi,
dan kultur hukum berinteraksi. Demikian halnya
dengan sistem hukum dalam Pemilihan Umum
KDH dan WKDH yang sarat dengan muatan
politis, pengaruh-pengaruh faktor non-hukum
sangat mempengaruhi keberlakuan dan
penegakan dari norma hukum yang ada.
Pengaruh kepentingan-kepentingan sosial
dan ekonomis semakin menguat dalam
masyarakat Indonesia yang cenderung membuka
diri terhadap liberalisme dimana pengakuan
terhadap hak-hak individual semakin menguat
yang mengarah pada kapitalisme. Tekanan pada
3 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum-perspektif ilmu sosial, penerjemah:M. Khozim, Nusa Media, Bandung: 2009. Hal 17.
22
kepentingan yang bertentangan ini didekati
dengan pendekatan konflik seperti dikemukakan
Chambliss seperti dikutip Soerjono Soekanto :4
“… every detailed study of the emergence of legal norms has consistently shown the immense
importance of interest-group activity, not „the public interest,‟ as the critical variable in determining the content of legislation.”
Selanjutnya Chambliss mengatakan,5
“Deviancy is not a moral question; it is a political question. No act, nor any set of acts can be defined as inherently „beyond the pale‟ of „community tolerance.‟ Rather, there are in effect an infinite number and variety of acts occurring in any society which may or may not be defined and treated as criminal. Which acts are so designated depends on the interest of the persons with sufficient political power and influence to manage to have their views prevail. Once it has been established that certain acts are to be designated as deviant, then how the laws are implemented will likewise reflects the political power of the various affected groups.”
Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan
bahwa kutub-kutub kekuasaan politis begitu
mempengaruhi penegakan hukum dan
keberlakuan hukum sehingga pada akhirnya
mempengaruhi pola hidup masyarakat. Pula
dalam pelaksanaan pemilihan KDH dan WKDH
dimana kekuasaan dalam hal ekonomi(modal)
begitu kentara.
4 Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta: 1985. Hal 58-59. 5 Loc. Cit.
23
Lebih jauh bila terjadi suatu situasi dimana
pemegang wewenang gagal untuk menurunkan
gangguan-gangguan terhadap tertib sosial maka
akan terjadi pembubaran terhadap tertib sosial
tersebut yang kemudian berdampak pada
terciptanya suatu tatanan struktur sosial baru
dengan tertib sosial yang baru pula.
2. Teori Negara Hukum dan Negara Hukum
Pancasila
“Omnes legume servi sumus ut liberi esse
posimus”(kita semua harus tunduk kepada
hukum jika kita tetap ingin hidup bebas)6,
ungkapan tersebut merupakan ungkapan
mengenai konsep negara hukum (Rechstaat) yang
dianut banyak negara termasuk Indonesia
dimana kebebasan masyarakat tercipta dengan
adanya hukum dan hukum merupakan dasar
dari segala tindakan masyarakat.
Istilah Rechstaat muncul di kawasan Eropa
Kontinental(Civil Law Sistem) sekitar abad ke-18,
yang diawali dengan kodifikasi hukum oleh
Bangsa Romawi, sehingga sistem ini sering
disebut pula sistem hukum Eropa Kontinental
atau secara historis disebut sistem hukum
6 Ungkapan Cicero yang dikutip oleh Munir Fuady dalam bukunya M. Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, Bandung:
2009. Hal 1.
24
Romawi-Jerman7. Adapun kodifikasi modern yang
diakui secara nasional adalah Code Napoleon
pada tahun 1804. Elemen – elemen hukum dalam
sistem ini hampir sama dengan sistem rule of
Law (Common Law) hanya penekanan dalam
sistem hukum ini adalah pada kodifikasi undang
– undang dalam kitab undang – undang yang
diberlakukan dalam sistem peradilannya.
Dalam sistem Civil Law Sistem menurut
Freidrich Julius Stahl dalam bukunya
Constitutional Government and Democracy:
Theory and Practice in Europe and America,
seperti dikutip oleh Mukhtie Fajar8, ditandai
dengan empat unsur, yaitu adanya:
“a) hak-hak dasar manusia; b) pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi
manusia itu yang biasa dikenal sebagai Trias
Politika; c) pemerintah berdasarkan peraturan-
peraturan (wetmatigheid van bestuur); dan d)
peradilan administrasi dalam perselisihan.”
Dalam tradisi Anglo Amerika, konsep
negara hukum dipelopori oleh A. V. Dicey dengan
istilah rule of Law, yang mengartikan negara
hukum dalam tiga pandangan yaitu :9
1. Supremasi absolut ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif
penguasa.
7 Satjipto Rahardjo , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung:
1991. 8 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,
Malang : 2005. 9 M. Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama,
Bandung: 2009.
25
2. Berlakunya prinsip persamaan dalam hukum
(equality before the law), dimana semua orang
harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun yang berada di atas hukum (above
the law).
3. Konstitusi merupakan dasar dari segala hukum
bagi negara yang bersangkutan. Dalam hal ini,
hukum yang berdasarkan konstitusi harus
melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan
kemerdekaan rakyat.
Dalam sistem hukum rule of Law, penekanan
lebih ditujukan pada putusan hakim
(yurisprudensi) yang dianggap netral dalam
memberikan pertimbangan dalam memutus
suatu perkara. Dalam perkembangannya, Jimly
Asshidiqqie dalam buku berjudul Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, merumuskan 12
prinsip pokok negara hukum (Rechstaat) sebagai
prasyarat utama dari sebuah negara hukum,
yakni sebagai berikut:10
“(1) Supremasi Hukum (Supremacy of Law); (2)
Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law);
(3) Asas Legalitas (Due Process of Law); (4)
Pembatasan Kekuasaan; (5) Organ-Organ Eksekutif
Independen; (6) Peradilan Bebas dan Tidak
Memihak; (7) Peradilan Tata Usaha Negara; (8) Peradilan Tata Negara (Constitutional Court); (9)
Perlindungan Hak Asasi Manusia; (10) Bersifat
Demokratis (Democratische Rechsstaat); (11)
Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan
Bernegara (Welfare Rechtsstaat); (12) Transparansi
dan Kontrol Sosial.”
Perkembangan pemikiran negara
hukum(Rechstaat) itu sendiri menggambarkan
dinamisnya konsep negara hukum di era modern
10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
Konsititusi Press, Jakarta: 2005.Hal 127-133.
26
ini. Selain konsep negara hukum Rechstaat dan
rule of Law terdapat sistem hukum lain yang
berkembang di negara-negara sosialis, komunis
atau di negara bekas negara komunis.
Menurut Munir Fuady, sistem hukum sosialis
banyak dipengaruhi oleh mazhab hukum alam
antara lain : 11
a) Prinsip pacta sun servanda (janji itu
mengikat), antara lain yang dikembangkan oleh
Grotius; b) Doktrin kontrak sosial dari Thomas
Hubbes; c) konsep aequum et bonum, sebagaimana yang terdapat dalam hukum tentang restitusi dalam
sistem hukum sosialis; d) kewajiban melakukan
ganti kerugian bagi yang bersalah dan merugikan
orang lain.
Masih menurut Munir Fuady bahwa dalam
sistem hukum sosialis sangat erat kaitannya
dengan ideologi sosialis yang dianut oleh negara
tersebut sehingga dinyatakan oleh Munir :
“….sesuai dengan ideologinya yang komunis , mempunyai karakter yang amat fundamental untuk
lebih melindungi kepentingan masyarakat dari
kepentingan individu, dan lebih melindungi
kepentingan buruh dari kepentingan pengusaha,
sehingga organisasi buruh memegang peranan yang
penting. Dalam hal ini hukum merupakan
subordinat dari kondisi politik, sosial dan ekonomi ”
Hukum dalam sistem sosialis dapat dipahami
sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai(netral
dalam penegakannya) hal ini berkaitan erat
dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi serta
kecenderungan atau keberpihakan hukum pada
11 M. Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung:
2007.
27
kepentingan masyarakat sekalipun merugikan
individu lainnya.
Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum
agama, dalam hal ini yang paling berkembang
dan agresif adalah sistem hukum Islam yang
mendasarkan diri pada al-quran dan sunnah
Nabi Muhammad. Dalam bukunya Tipe Negara
Hukum, Mukhtie Fadjar menjelaskan bahwa12,
“….Islam telah mengambil ketetapan bahwa hukumlah yang harus berkuasa setinggi-tingginya
dalam negara. Hal itu tersebut dalam surat
Almaidah ayat 27 sampai dengan 50. Dicelanya
dengan keras suatu negara yang tidak berdasarkan
hukum, yang diatur hanya menurut kemauan
orang seseorang atau segerombolan orang, mempermainkan nasib berjuta-juta rakyat dengan
tidak ada kepastian hukum yang harus dijunjung
bersama-sama. Dicapnya negara-negara yang tidak
berdasarkan hukum (hukum yang diridhoi Tuhan,
yaitu hukum yang benar dan adil), merupakan negara biadab, negara jahiliyah. „Dan siapa(negara)
yang tidak mendasarkan hukum dengan barang
yang diturunkan Allah maka mereka adalah kafir‟
(Alquran: S.V:44). „Dan siapa (negara) yang tidak
mendasarkan hukum dengan barang yang
diturunkan Allah maka mereka adalah negara yang Zalim‟ (Alquran: S.V:45). „Dan siapa (negara) yang
tidak mendasarkan hukum dengan barang yang
diturunkan Allah maka mereka adalah negara yang
fasik‟ (Alquran: S.V:45).”
Lebih lanjut Mukhtie Fadjar memberikan
penjelasan dari cita hukum negara Islam,13
“Negara hukum yang dikehendaki oleh Islam supaya hukum itu ditegakkan tanpa pilih bulu,
12 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,
Malang : 2005. 13 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,
Malang : 2005.
28
tanpa memandang orangnya, berdasarkan
perasaan dan kejujuran, seperti tersebut dalam
Alquran: „Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu supaya menunaikan amanah kepada ahlinya dan
apabila kamu menghukum antara manusia supaya
kamu menghukum secara adil….‟. kemudian
disebutkan pula dalam Alquran yaitu
„…tegakkanlah hukum di antara manusia
berdasarkan kebenaran, janganlah mengikuti hawa nafsu sebab dia hanya menyesatkan engkau dari
jalan Allah. Sesungguhnya, orang-orang yang
keras, mereka lupa kepada hari perhitungan,
jaumul-hisab‟ “.
Meskipun Negara Indonesia mayoritas
masyarakat Islam, namun sejak awal
didirikannya tidak menghendaki suatu bentuk
Negara agama melainkan bentuk Negara modern
Republik dimana Pancasila sebagai landasan
negara. Hal ini seperti diungkapkan oleh
Soepomo dalam pidatonya di Sidang BPUPKI
tanggal 31 Mei 1945,14
“…..jadi seandainya kita disini mendirikan negara Islam, pertentangan pendirian itu akan timbul juga di masyarakat kita dan barangkali Badan Penyelidik inipun akan susah……….Oleh karena itu, cita-cita Negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita Negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang
telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara.”
Dalam pidato yang sama Soepomo
menyampaikan konsep Negara integralistik yang
diidealkan bagi Negara Indonesia. Konsep Negara
Integralistik tidak berpihak pada kepentingan
14 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nanie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Jakarta: 1995.
29
pribadi maupun kepentingan golongan melainkan
kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai
persatuan. Konsep ini dinyatakan oleh Soepomo
sebagai berikut;15
“Negara ialah suatu susunan masyarakat yang
integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam Negara yang berdasarkan aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan….”
Berdasarkan pemikiran yang dinyatakan oleh
Soepomo, Soekarnopun memberikan pandangan
terhadap bentuk dan dasar Negara yaitu Negara
berdasarkan Pancasila. Dalam konsep yang
dicetuskan Soekarno, Pancasila ditempatkan
sebagai Philosofische grounslag yang merupakan
fundamen, filasafat, pikiran sedalam-dalamnya,
jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk
diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka
yang kekal dan abadi. Berkenaan hal ini,
Soerjanto Poespowardojo menyatakan bahwa16
“…..Pancasila sebagai dasar negara. Artinya
sebagai landasan yang punya kekuatan yuridis
15 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nanie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Jakarta: 1995. 16 Poespowardojo,S , Filsafat Pancasila, LPSP-Gramedia, Jakarta: 1989.
30
konstitusional. Padahal Pancasila juga merupakan
landasan ideologis, artinya sebagai ideologi harus
mampu memberikan orientasi, wawasan, asas, dan pedoman yang normatif dalam seluruh bidang
kehidupan negara.”
Sedangkan Prof Sri Soemantri menyampaikan
empat unsur yang ditemukan dalam negara
hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila :17
1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak
asasi manusia dan warga negara;
2. Adanya pembagian kekuasaan; 3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, pemerintah harus selalu
berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam
menjalankan kekuasaannya merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah,
sedang khusus untuk Mahkamah Agung harus
juga merdeka dari pengaruh-pengaruh lainnya.
Menurut Padmo Wahjono seperti dikutip oleh
Mukhtie Fadjar, negara hukum Pancasila
mengandung lima unsur sebagai berikut.18
1. Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum, yang berarti kita menghendaki satu sistem hukum nasional yang dibangun
atas dasar wawasan kebangsaan, wawasan
nusantara, dan wawasan bhinneka tunggal ika.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
lembaga tinggi negara, yang berwenang
mengubah dan menetapkan undang-undang dasar yang melandasi segala peraturan
perundang-undangan lainnya, dimana undang-
undang dibentuk oleh DPR, DPR bersama-sama
presiden. Hal itu menunjukkan prinsip legislatif
17 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia,
penerbit alumni, Bandung, 1992. 18 Fadjar, Mukhtie, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing,
Malang : 2005.
31
khas Indonesia, kekeluargaan, atau
kebersamaan.
3. Pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, yaitu suatu sistem yang tertentu yang pasti dan
jelas dimana hukum yang hendak ditegakkan
oleh negara dan yang membatasi kekuasaan
penguasa/ pemerintahan agar pelaksanaannya
teratur dan tidak simpang siur harus
merupakan satu tertib dan satu kesatuan tujuan. Konstitusi merupakan suatu hukum
dasar yang dalam bernegara dimana semua
peraturan hukum (baik yang tertulis maupun
tidak tertulis) dapat dikembalikan. Rumusan itu berbeda dengan rumusan rechstaat atau rule of law yang lebih menekankan rumusan negara
berdasarkan undang-undang atau negara
berdasarkan atas hukum atau negara yang
bermanfaat jadi lebih luas.
4. Segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan itu dengan
tiada kecualinya (Pasal 27 ayat 1 UUD 1945). Prinsip itu lebih jelas dan lengkap daripada prinsip equality before the law dalam konsep
rule of law, karena selain menyangkut
persamaan dalam hak-hak politik, juga
menekankan persamaan dalam kewajiban.
5. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Prinsip itu
dimaksudkan terutama untuk menjamin
adanya suatu peradilan yang benar-benar adil dan tidak memihak (fair tribunal and independent yudiciary). Prinsip itu juga
merupakan salah satu prinsip negara hukum Indonesia seperti yang disimpulkan dalam
symposium negara hukum tahun 1966, juga menjadi prinsip rule of law yang dikembangkan
oleh International commission of jurist.
Dari berbagai pendapat dikemukakan diatas,
disimpulkan bahwa Negara Hukum Pancasila
merupakan suatu bentuk Negara Hukum yang
berbeda dari lainnya. Kekhususan terletak pada
konsep-konsep Pancasila yang digali dari kearifan
32
lokal yang ada untuk kemudian menjadi suatu
landasan Negara.
3. Teori Demokrasi dan perkembangannya
di Indonesia
Sistem Negara Hukum Pancasila
berkonsekuensi logis pada sistem pemerintahan
yang dianut di Indonesia yaitu Demokrasi
Pancasila. Teori demokrasi menurut Sri
Soemantri M19, secara historis berasal dari kata
demos yang berarti rakyat dan cratein yang
berarti memerintah, sehingga demokrasi
diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.
Konsep demokrasi bermula dari pencarian
Aristoteles tentang konsep Negara ideal dengan
mengemukakan teori siklus. Konsep Negara ideal
dimulai dari bentuk monarki sebagai
pemerintahan Negara yang baik yang
memberikan ruang bagi para filsuf bijak untuk
memimpin, namun demikian manusia tidaklah
kekal sehingga konsep inipun akan runtuh.
Akhirnya muncullah konsep demokrasi yang
disebut juga mobocracy. Konsep sistem
demokrasi sendiri mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Hal ini dipengaruhi pandangan
demokrasi secara material(substansial) dan
19 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia,
penerbit alumni, Bandung, 1992.
33
formal(prosedural) seperti diungkapkan Sri
Soemantri:
“….demokrasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu demokrasi dalam arti material dan
demokrasi dalam arti formal. Demokrasi dalam
arti yang pertama adalah demokrasi yang
diwarnai oleh falsafah atau ideologi yang dianut
oleh suatu bangsa atau Negara. Perbedaan dalam demokrasi yang dianut oleh masing-
masing Negara menunjukkan adanya
perbedaan yang mendasar dalam demokrasi ini.
Oleh karena itu, dikenal adanya demokrasi
Pancasila, demokrasi terpimpin, demokrasi
liberal, demokrasi sosialis, demokrasi rakyat dan demokrasi sentralisme. Kedua, demokrasi
dalam arti formal mengalami perkembangan,
yaitu dari demokrasi langsung, sebagaimana
pernah dilaksanakan dalam Negara-Kota (City
State) di Yunani Kuno, menjadi demokrasi tidak
langsung…….”
Sejalan dengan Soemantri, Mukhtie Fadjar
menekankan bahwa pemilu merupakan suatu
proses demokrasi prosedural yang mungkin saja
tidak substansial namun demikian keduanya
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, “qonditio
sine qua non”, the one can not exist without the
others.20
Demokrasi prosedural yang dijalankan untuk
memilih pejabat publik baik legislatif maupun
eksekutif ditinjau dari perspektif politik
20 Fadjar. M, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Jurnal
Konstitusi, Volume 6, Nomor 1, April 2009.
34
demokrasi dalam perspektif politik didefinisikan
oleh Hendry B. Mayo sebagai berikut :21
“A democratic political sistem is one in which publik policies are made on a majority basis, by representatives subject to effective popular control at periodic elections which are conducted on the principle of political equality and under
conditions of political freedom (Sistem Politik
yang demokratis ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh
rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik)”
Kebebasan politik dalam masyarakat modern
yang dikemukakan Hendry B. Mayo berbasis
pada partisipasi aktif masyarakat sehingga sering
disebut sebagai demokrasi langsung atau
demokrasi partisipatif sehingga meninggalkan
model demokrasi lainnya yakni demokrasi
perwakilan dan demokrasi partai tunggal.22
Perkembangan pemikiran tentang demokrasi
memunculkan suatu konsep demokrasi
konstitusional atau konstitusionalisme. Konsep
ini memberikan peranan kepada eksekutif untuk
menjalankan pemerintahan berdasarkan
konstitusi yang telah dibuat oleh rakyat melalui
perwakilan parlemen sehingga pembatasan
kekuasaan eksekutif dapat dijangkau oleh
rakyat. Hal ini berarti dalam suatu negara
21 Hendry B. Mayo, An Introduction to Democratic Theory, Oxford
University Press, New York: 1960. Hal 70 22 M. Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung:
2007.Hal 134.
35
hukum menghendaki adanya supremasi
konstitusi. Supremasi konstitusi disamping
merupakan konsekuensi dari konsep negara
hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan
demokrasi karena konstitusi adalah wujud
perjanjian sosial tertinggi.23
Dalam pembahasaan Arief Budiman konsep
negara konstitusionalisme disebut sebagai negara
pluralis, dimana setiap kebijaksanaan yang
dikeluarkan bukanlah timbul atas inisiatif dari
negara akan tetapi inisiatif tersebut timbul dari
rakyat melalui proses penjaringan aspirasi
masyarakat secara penuh melalui parlemen.24
Carl J. Friederick mengemukakan bahwa,
konstitusionalisme adalah gagasan bahwa
pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas
yang diselenggarakan atasnama rakyat, tetapi
yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang
dimaksudkan untuk memberi jaminan bahwa
kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah
itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang
mendapat tugas untuk memerintah. Hal ini
dalam rangka mencegah suatu negara totaliter
yang mengarah pada kekuasaan pada suatu
23 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
Konsititusi Press, Jakarta: 2005. Hal 152-162. 24 Arief Budiman, Negara, Kelas dan Formasi Sosial, (wawancara
Majalah Keadilan, No 1 Tahun XII/1985), dalam Mahfud MD,
Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2003.
36
partai politik tertentu maupun pribadi seorang
penguasa tertentu.25
Secara historis, pelaksanaan demokrasi di
Indonesia telah mengalami perubahan dari awal
kemerdekaan hingga saat ini. melampaui 4
(empat) masa dan bentuk, yaitu: demokrasi
liberal/parlementer (1950-1959), demokrasi
terpimpin (1959-1966), demokrasi orde
baru/Pancasila (1966-1997), dan demokrasi
pasca orde baru (1998-sekarang).26
Dalam era Demokrasi Liberal ada beberapa ciri
yang dikemukakan oleh JD Legge seperti dikutip
Sihombing F. B yaitu :27
“1) Masa Demokrasi Liberal adalah zaman
pemerintahan partai-partai. Masing-masing partai menonjolkan peranannya untuk
memegang tampuk pemerintahan.
2) Kesediaan untuk mengorbankan kepentingan
golongan demi kepentingan nasional sulit
dilaksanakan.
3) proses politik pada masa itu berkisar pada
masalah-masalah harmonisasi kehidupan
tradisional versus modern, kepentingan yang
sempit versus kepentingan skala nasional, dan
25 Carl J. Friederich, Constitutional Government and Democracy : Theory and Practice in Europe and America, (5th edition: Weldham,
Mass: Blaisdell Company, 1967), dalam Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta: 1993. 26 Wasino, 2009, Disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah
Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan
dan Pariwisata, di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret
2009. 27 Legge, JD, Indonesia, Englewood Cleffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc, 1974, dalam Sihombing, F. B, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik, Erlangga, Jakarta: 1984.
37
keseimbangan kepentingan ekonomi versus
politik.
4) Partai-partai yang besar pada masa itu
adalah NU, PNI, Masyumi dan PKI.”
Selama masa itu juga terjadi beberapa kali
pergantian kabinet dalam waktu relatif singkat,
yaitu kabinet syahrir I, II, III serta kabinet
Syarifudin dalam kurun waktu (1945-1949). Hal
ini menunjukkan betapa partai politik dalam
parlemen memiliki kemampuan berlebih untuk
menjatuhkan pemerintahan yang dirasa tidak
sesuai. Ini pula yang menyebabkan kondisi
politik dan hukum menjadi kacau.
Setelah masa demokrasi liberal/parlementer,
Indonesia masuk pada era Demokrasi Terpimpin
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Secara
konseptual model demokrasi ini baik seperti
dikemukakan oleh Syafii Maarif dalam kutipan
Mahfud MD:28
“Demokrasi kekeluargaan yang dia (Soekarno-pen) maksudkan adalah demokrasi
yang mendasarkan sistem pemerintahannya
kepada musyawarah dan mufakat dengan
pimpinan serta kekuasaan sentral ditangan
seorang „sesepuh‟ seorang tertua yang tidak mendiktatori, tetapi memimpin, mengayomi-.
Siapa yang dia maksudkan dengan terma-terma
„sesepuh‟ atau „tetua‟ pada waktu itu tidak lain
adalah dirinya sendiri sebagai penyambung
lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang
serba bijak dari keluarga besar Bangsa Indonesia.”
28 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta: 1993.
38
Konsep itupula oleh Ismail Suni dicatat
beberapa ciri yang terjadi selama masa itu
sebagai berikut:29
“1) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di
segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan
yang meliputi bidang-bidang politik, ekonomi,
sosial;
2) Oposisi dalam arti melahirkan pendapat yang
sehat dan yang membangunkan „diharuskan‟ dalam alam demokrasi terpimpin yang penting
adalah cara bermusyawarah dan
pemusyawaratan perwakilan yang harus
dipimpin dengan hikmat kebijaksanaan;
3) Sebagai alat, maka demokrasi terpimpin
mengenal juga kebebasan berfikir dan
berbicara, tetapi dalam batas-batas tertentu, yakni batas keselamatan Negara, batas
kepentingan rakyat banyak, batas kepribadian
bangsa dan batas pertanggungjawab kepada
Tuhan”
Meski secara konseptual ide demokrasi
terpimpin Soekarno ternyata mendapat banyak
pro dan kontra. Serta telah terjadi penyimpangan
dalam ketatanegaraan ketika dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan
konstituante dan mengembalikan konstitusi pada
UUD 1945 serta membentuk DPR-GR yang
ditunjuk oleh Soekarno sendiri. Dalam masa itu
pula Soekarno benar-benar melaksanakan apa
yang dianggapnya benar, terlebih setelah
29 Suni. I, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, dalam Sihombing, F.
B, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik, Erlangga, Jakarta:
1984.
39
mundurnya Muhammad Hatta dari jabatan wakil
presiden.30
Masa orde baru demokrasi Pancasila (menurut
pembacaan penulis Demokrasi Pancasila yang
tidak sebenarnya) diawali ketika Jenderal
Soeharto diberi mandat dengan munculnya Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)31 untuk
menjaga stabilitas nasional. Supersemar
ditindaklanjuti dengan munculnya Ketetapan
MPRS melalui Sidang Istimewa 1967 untuk
mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia. Meskipun dalam sidang
MPRS ini tidak jelas siapa yang menjadi anggota,
namun ketetapan tersebut menjadi legitimasi
bagi Soeharto untuk menyingkirkan Soekarno
beserta para pendukungnya.32
Sama halnya dengan Presiden Soekarno,
dalam tataran konsep, Demokrasi Pancasila
merupakan penggalian dari nilai-nilai luhur
Bangsa yang dinilai baik untuk diterapkan.
Konsep ini muncul dalam pidato Soekarno sendiri
30 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta: 1993. 31 Beberapa akademisi mengkritisi keberadaan Surat Perintah 11
Maret 1966 yang hingga saat ini tidak pernah ada manuskrip asli
dari surat perintah tersebut. Hal ini kemudian hari dinyatakan sebagai suatu kebohongan publik serta pemutar balikan fakta
sejarah untuk menjatuhkan Presiden Soekarno. 32 Wasino, 2009, Disampaikan dalam Diskusi Sejarah “Wajah Demokrasi Indonesia” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Departmen Kebudayaan
dan Pariwisata, di Gedung LPMP, Semarang, tanggal 30-31 Maret 2009.
40
sebagai Penggagas Pancasila yang kemudian
dikuatkan Soepomo dengan konsep integralistik.
Dalam era Demokrasi Pancasila, Presiden
Soeharto menetapkan suatu ideal dimana akan
menjalankan Pemerintahan berdasarkan UUD
1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Konsep Demokrasi Pancasila dinyatakan oleh
Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraannya
tanggal 16 Agustus 1967 seperti dikutip Mahfud
MD:33
“….menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi, kedaulatan rakyat yang
dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila
lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam
menggunakan hak-hak demokrasi haruslah
selalu disertai dengan rasa tanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, haruslah
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
sesuai dengan martabat dan harkat manusia,
haruslah menjamin dan mempersatukan
bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila
berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan
gotong royong.”
Jauh sebelum Presiden Soeharto
mengemukakan konsep kekeluargaan dan gotong
royong, Soekarno dalam pidatonya dalam Sidang
BPUPKI menyatakan:34
33 Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta: 1993. 34 Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nanie Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Jakarta: 1995.
41
“…Dan demokrasi yang bukan Barat, tapi politiekeconomische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid,
demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie……..Alangkah
hebatnya! Negara Gotong Royong!..........Gotong
Royong adalah faham yang dinamis, lebih
dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara!
Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu
usaha, satu amal, satu pekerjaan,………Gotong
Royong adalah pembantingan tulang bersama,
pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-binantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua. Holopis-kuntul-baris buat
kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!”
Pandangan Sri Soemantri lebih lanjut
mengenai Demokrasi dibedakan menjadi tiga,
yakni: 35
1. Demokrasi yang mendasarkan diri atas kemerdekaan dan persamaan;
2. Demokrasi yang mendasarkan diri atas
kemajuan di bidang sosial dan ekonomi;
3. Demokrasi yang mendasarkan diri atas
kemerdekaan serta persamaan dan atas
kemajuan social dan ekonomi sekaligus.
“……..dengan demikian Demokrasi Pancasila
dilihat dari aspek materialnya tidak hanya
mendasarkan diri atas kemerdekaan dan
persamaan saja, ataupun hanya mendasarkan diri atas kemajuan di bidang sosial dan
ekonomi saja, melainkan mendasarkan diri atas
keduanya sekaligus.”
Dalam perkembangan Demokrasi Pancasila
masa kepemimpinan Presiden Soeharto terjadi
banyak penyimpangan mengatasnamakan
Demokrasi Pancasila. Penyimpangan yang terjadi
35 Soemantri, S , Bunga Rampai Hukum Tatanegara Indonesia,
penerbit alumni, Bandung, 1992.
42
dalam demokrasi Pancasila adalah tidak adanya
rotasi kekuasaan eksekutif khususnya
ditingkatan Pusat (Presiden) maupun Daerah;
Rekrutmen politik yang bersifat tertutup; sistem
Pemilihan Umum yang dikondisikan sedemikian
rupa untuk mengkondisikan agar terpilihnya
Presiden Soeharto kembali selama 6 kali
Pemilihan Umum yang berlangsung di Indonesia
dalam masa Orde Baru.36
Situasi Orde Baru berdampak pada krisis
kepercayaan terhadap pemerintah. Pada akhirnya
situasi dan kondisi nasional sangat tidak stabil
menuntut Presiden Soeharto mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai Presiden Republik
Indonesia yang kemudian digantikan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia masa itu, B.J.
Habbibie.
Indonesia pasca orde baru, mengalami periode
pencarian konsep demokrasi yang diidealkan oleh
para pendiri bangsa atas nama rakyat Indonesia.
Model demokrasi yang diterapkan dikembalikan
pada Demokrasi Pancasila dimana kedudukan
perwakilan rakyat dikembalikan. Akan tetapi,
pola ini ternyata tidak diterima oleh masyarakat
sehingga menuntut pola demokrasi lansung,
dimana pemimpin eksekutif ditentukan langsung
oleh rakyat.
36 Afan Gaffar, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar, Jogjakarta:2004.
43
Model demokrasi pasca orde baru seolah
kembali pada suatu sistem demokrasi kuno
Athena dimana kedaulatan rakyat ada pada
masyarakat secara langsung, yang pada waktu
itu ada dalam suatu Majelis(Ecclesia) yang terdiri
dari 6.000 orang dengan intensitas pertemuan
untuk mengadakan pemilihan maupun
menyelesaikan masalah-masalah luar biasa
sebanyak 40 kali dalam setahun. Kisah
Xenophon dalam History of Greece digarisbawahi
oleh David held sebagai berikut :37
“Kisah Xenophon menggarisbawahi betapa
rakyat bertanggungjawab atas Majelis, kontrol
orang banyak atas pejabat, debat terbuka yang
sering terjadi, dan keputusan oleh sidang missal....cerita ini juga menggambarkan
ketergantungan partisipasi penuh atas
keterampilan dalam berorasi; pertentangan
antara kelompok-kelompok pemimpin yang
bermusuhan; jaringan informal dari komunikasi dan tipu daya; munculnya faksi-faksi yang
sangat bertentangan yang siap mendorong
secepatnya langkah-langkah yang menentukan;
mudah dipengaruhinya Majelis oleh keramaian
sesaat; landasan yang tidak tetap dari
keputusan tertentu yang melibatkan orang banyak; dan potensi ketidakstabilan politik
secara umum…..”
Hal ini pula berkembang dalam masa
pascaorde baru ketika euphoria demokrasi
seluas-luasnya menciptakan konsep sendiri dari
konsep Demokrasi Pancasila yang dicitakan para
pendiri bangsa.
37 Held. D, Models of Democracy, Polity press, Cambridge: 2006.
44
Meski demikian diakui bahwa demokrasi
prosedural yang dilaksanakan selama kurun
waktu pasca orde baru dapat dinyatakan sukses,
meski tidak serta merta secara substansi
Demokrasi Pancasila itu terpenuhi.
4. Teori Pemerintahan Daerah
Sistem ketatanegaraan Indonesia menganut
negara kesatuan(unitary) sejak diproklamasikan
17 Agustus 1945, hal ini berarti Negara Indonesia
tidak menerapkan sistem negara serikat(federasi).
Meski Negara Indonesia menganut sistem negara
kesatuan, hadirnya pemerintahan dalam cakupan
yang lebih sempit(pemerintahan daerah) tidak
serta merta merubah sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Alasan hadirnya pemerintahan daerah
dikemukakan oleh Umbu Rauta yaitu:38
1. Perwujudan fungsi negara modern, yang lebih
menekankan pada kesejahteraan umum(welfare state) sehingga diperlukan campur tangan pemerintah yang lebih luas hingga ke ranah lokal.
2. Pemencaran kekuasaan negara (dispersed of power) dari tingkatan suprastruktur hingga
infrastruktur.
3. Dari perspektif manajemen pemerintahan, adanya kewenangan yang diberikan kepada
daerah yaitu keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya, merupakan perwujudan dari
38 Umbu Rauta, Bunga Rampai hukum Tata Negara Indonesia, FH-
UKSW, Salatiga: 2000.
45
adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi
mewujudkan kesejahteraan umum.
Tujuan Bernegara yang dikemukakan oleh
Umbu Rauta diimplementasikan dan
dilaksanakan secara luas dengan mendelegasikan
beberapa kewenangan dengan tujuan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan The Liang Gie, seperti dikutip oleh
Umbu Rauta, mengemukakan sejumlah alasan
hadirnya satuan pemerintahan territorial yang
lebih kecil, yang memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya,
yaitu39
“(1) guna mencegah penumpukan kekuasaan yang bisa membuka ruang bagi terjadinya tirani; (2) sebagai upaya pendemokrasian; (3) untuk memungkinkan tercapainya pemerintahan yang efisien; (4) guna dapat memberikan perhatian terhadap kekhususan-kekhususan yang menyertai setiap daerah; dan (5) agar Pemerintah Daerah dapat lebih langsung membantu penyelenggaraan
pembangunan.”
Menurut Jimly Asshidiqie, Pemerintahan
daerah dikembangkan berdasarkan asas otonomi
(desentralisasi) dan tugas perbantuan. Oleh
karena itu, hubungan yang diidealkan antara
Pemerintah Pusat dan daerah adalah hubungan
yang tidak bersifat hierarkis. Namun demikian
fungsi koordinasi pembinaan otonomi daerah dan
39 Umbu Rauta, Bunga Rampai hukum Tata Negara Indonesia, FH-
UKSW, Salatiga: 2000.
46
penyelesaian permasalahan antar daerah tetap
dilakukan oleh Pemerintah Pusat.40
Pandangan Riggs berkaitan dengan otonomi
daerah menyatakan bahwa desentralisasi
mengandung 2 makna yaitu: pelimpahan
wewenang sering disebut sebagai “delegation”
yang berarti pelimpahan wewenang atau
penyerahan tanggung jawab kepada bawahan
untuk mengambil keputusan tetapi
pengawasannya masih ada dalam tangan
Pemerintah Pusat. Makna yang kedua adalah
“devolution” atau pelimpahan kekuasaan yang
berarti adanya pelimpahan tanggung jawab
penuh kepada pihak bawahan atau daerah.41
Dalam desentralisasi (otonomi daerah),
menurut Uphroff, menganut tiga unsur utama
yaitu: terjadinya proses pertanggungjawaban oleh
penyelenggara pemerintahan kepada rakyat;
adanya partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan yang dilakukan secara
transparan; dan dipegangnya kaidah-kaidah
demokrasi di dalam menjalankan
pemerintahannya.42 Selain itu, Cornelis Lay
40 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia,
Konsititusi Press, Jakarta: 2005. Hal 220. 41 F Putra, Devolusi, Politik Desentralisasi sebagai media rekonsiliasi ketegangan politik negara-rakyat, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 1998. 42 Uphoff, N. T and John.N. Cohen, 1979. Development and Participation Operational Implication for Social Welfare. New York:
Colombia University Press dalam K Suwondo, Otonomi Daerah dan
47
menyatakan ada 4 hal paling sensitif yang
diakomodasi dalam otonomi daerah yakni sharing
power, sharing of revenue, empowering lokalitas
serta pengakuan dan penghormatan terhadap
identitas kedaerahan.43
a. Asas Pemerintahan Daerah
Didalam konsep pemerintahan daerah
terdapat tiga asas utama yang digunakan44
yaitu:
i. Desentralisasi, menurut asal katanya,
desentralisasi terdiri dari gabungan
imbuhan “de-” yang bermakna penurunan
atau pelepasan dengan kata “sentral” yang
berarti pusat(dalam hal ini yang dimaksud
adalah Pemerintah Pusat) serta imbuhan
“-isasi” yang bermakna proses. Menurut
Sadu Wasistiono45, dekonsentrasi
dimaknai sebagai transfer kewenangan
dimana kewenangan sepenuhnya menjadi
hak dan kewajiban penerima kewenangan.
Sedangkan Bagir Manan seperti dikutip
Pipin Syarifin menyatakan bahwa tujuan
Dinamika Politik Lokal, Kritis, vol XIII No. 6, PPs-UKSW, Salatiga:
Maret 2001. 43 C Lay, Otonomi Daerah dan “Ke-Indonesiaan”. Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta: 2006. 44 S Wasistiono, dkk, Memahami Tugas Asas Tugas Pembantuan,
Fokus media, Bandung: 2006. 45 Loc. Cit,
48
penyelenggaraan pemerintahan daerah
dari perspektif desentralisasi yaitu:
“Meringankan beban pekerjaan pusat. Dengan desentralisasi, berbagai tugas dan pekerjaan dialihkan kepada daerah, dengan demikian Pusat lebih memusatkan perhatian
pada hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional atau negara secara keseluruhan. Pusat tidak perlu memiliki aparat sperti di daerah. Namun demikian, tidak berarti dalam lingkungan desentralisasi tidak boleh ada fungsi dekonsentrasi. Fungsi-fungsi dekonsentrasi dapat dilaksanakan pada alat kelengkapan daerah yang ada seperti yang selama ini berjalan, yaitu Kepala Daerah. Dalam hal demikian, Kepala Daerah merupakan „de
hand van central gouvernement‟ di daerah. Kepala Daerah adalah primat desentralisasi; bukan primat dekonsentrasi.”
ii. Dekonsentrasi, merupakan asas delegasi
kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah. Adapun tujuan dalam
pendelegasian ini adalah untuk menjadi
kepanjangan tangan dari Pemerintah
Pusat untuk menjangkau ke pelosok
daerah.
Dalam konsep dekonsentrasi,
Pemerintah Daerah melaksanakan tugas
yang diberikan oleh Pemerintah Pusat,
dalam hal ini terdapat perbedaan dengan
konsep desentralisasi dimana dalam
desentralisasi proses perencanaan,
pelaksanaan hingga evaluasi dilakukan
oleh Pemerintah Daerah sedangkan dalam
49
konsep dekonsentrasi proses perencanaan,
keuangan dan lainnya dilakukan oleh
Pemerintah Pusat sedangkan Pemerintah
Daerah hanya melaksanakan saja.
iii. Tugas Pembantuan, Tugas pembantuan
atau dikenal dengan istilah “medebewind”
memiliki ciri pelaksanaan seperti
diungkapkan Sadu Wasistiono46 yaitu;
kewenangan tetap melekat pada institusi
pemberi, sedangkan dana dan personil
pelaksana dibantu dari pusat namun
sebagian besar personil pelaksananya
dibantu dari daerah.
b. Sistem Rumah Tangga Pemerintahan Daerah
Implementasi dari ketiga asas
pemerintahan daerah diwujudnyatakan dalam
suatu sistem sistem rumah tangga
pemerintahan daerah yang terbagi pula dalam
tiga kategori yakni:
i. Sistem Rumah Tangga Materiil, menurut
Umbu Rauta dan Darumurti47, sistem
rumah tangga (otonomi) daerah materiil
dinyatakan sebagai berikut;
“….antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ada pembagian tugas
46 S Wasistiono, dkk, Memahami Tugas Asas Tugas Pembantuan,
Fokus media, Bandung: 2006. 47 Rauta. U & Darumurti. K, Otonomi Daerah-Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti,
Bandung: 2003.
50
(wewenang dan tanggungjawab) yang eksplisit (diperinci secara tegas) dalam undang-undang pembentukan daerah. Artinya otonomi daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu per satu, jadi bersifat definitif. Hal itu berarti pula, apa yang tidak tercantum dalam undang-undang pembentukan daerah, tidak termasuk urusan Pemerintah Daerah Otonom, tetapi urusan pemerintah pusat.”
Dalam sistem rumah tangga
semacam ini pembagian tugas antara
pusat-daerah menjadi sangat jelas dan
memiiki legalitas hukum karena diatur
dalam undang-undang. Hal ini dalam
upaya mencegah ketidakteraturan dalam
pelaksanaan teknis urusan di daerah.
ii. Sistem Rumah Tangga Formil, dalam sistem
rumah tangga formil tidak dibedakan
unsur-unsur yang menjadi tugas Pusat
maupun Daerah karena asumsi bahwa
semua urusan yang bertujuan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
dapat dikerjakan oleh Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah. Dalam
implementasinya ketika ada pembagian
tugas antara Pusat-Daerah semata-mata
hanya didasarkan pada pertimbangan
rasional dan praktis saja.
Penggunaan sistem otonomi daerah
formil ini memiliki beberapa kendala
51
seperti diungkapkan oleh Bagir Manan
yang dikutip Umbu Rauta, yaitu:48
“1)Tingkat hasil guna dan daya guna sistem otonomi formil sangat tergantung pada kreatifitas dan aktivitas daerah otonom. Daerah harus mampu melihat urusan yang
menurut pertimbangan mereka penting bagi daerah, wajar, tepat diatur dan diurus oleh pemerintah daerah. Bagi daerah-daerah yang kurang mampu memanfaatkan peluang, dalam kenyataannya akan banyak bergantung pada Pusat atau daerah-daerah tingkat atasnya; 2)Keterbatasan dalam hal keuangan daerah. Meskipun mempunyai peluang yang luas untuk mengembangkan urusan rumah tangga daerah, hal ini tidak mungkin terlaksana tanpa ditopang oleh sumber keuangan yang memadai;
3)Kemungkinan terjadi persoalan yang bersifat teknis. Daerah tidak dapat secara mudah mengetahui urusan yang belum diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya.”
iii. Sistem Rumah Tangga Nyata atau Riil,
sistem Rumah Tangga yang ketiga dan
merupakan perpaduan dari kedua sistem
yang telah disebutkan adalah Sistem
Rumah Tangga Nyata yang memiliki ciri
khas:49
“1)menurut urusan pangkal yang ditetapkan pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberikan kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi pada sistem rumah
tangga formil; 2)disamping urusan-urusan
48 Rauta. U & Darumurti. K, Otonomi Daerah-Perkembangan Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bakti,
Bandung: 2003. 49 Loc. Cit,
52
rumah tangga yang ditetapkan secara materiil, daerah-daerah dalam rumah tangga riil dapat mengatur dan mengurus pula semua urusan pemerintahan yang menurut pertimbangan adalah penting bagi daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atasnya; 3)Otonomi dalam rumah tangga riil didasarkan pada faktor-faktor nyata suatu daerah. Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis urusan-urusan rumah tangga daerah sesuai dengan
keadaan masing-masing.”
Dalam sistem rumah tangga riil,
lokalitas dari suatu daerah sangat
mewarnai kebijakan yang diambil oleh
seorang Kepala Daerah sehingga sistem ini
menjadi ideal bagi perkembangan suatu
daerah yang memiliki lokalitas yang begitu
beragam.
Penjelasan mengenai teori
pemerintahan daerah menjadi suatu
landasan filosofis untuk terlaksananya
demokrasi hingga tingkatan lokal dalam
hal ini Pemilihan KDH dan WKDH. Lebih
lanjut bila ditinjau dari segi pemilihan
KDH dan WKDH dalam bangunan sistem
pemerintahan daerah secara historis,
Indonesia mengalami beberapakali
perubahan dari awal kemerdekaan hingga
sekarang.
53
5. Teori Pengisian Jabatan KDH dan
WKDH
Demokrasi berkonsekuensi pada
penyerahan kekuasaan secara “mutlak” kepada
rakyat, meski demikian tidak serta merta
pemimpin atau penguasa yang telah dipilih
rakyat akan selamanya berada pada posisi
tersebut. Apabila hal ini terjadi, justru akan
menimbulkan sebuah tirani yang berakibat pada
kekuasaan yang korup seperti disampaikan Lord
Acton.50
Aristoteles dalam karyanya, Politics,
menjelaskan bahwa :51
“The Basis of a democratic state is liberty;which, according to the common opinion of men, can only be enjoyed in such a state; this they affirm to be the great end of every democracy. One principle of liberty is for all to rule and be ruled in turn, and indeed democratic justice is the application of numerical not proportionate equality”
Pada dasarnya demokrasi menganut prinsip
keadilan numerik dan tidak berdasarkan pada
keadilan jasa dimana sebaik-baiknya pemimpin
atau penguasa tidak serta merta selamanya
berhak ditunjuk menjadi pemimpin. Sehingga
Aristoteles mengemukakan suatu pendapat
bahwa pada akhirnya satu prinsip dari
kebebasan adalah hukum dan kembali kepada
50 Lord Acton menyatakan bahwa Power tends to corrupt and absolutely Power tends to corrupt absolutely. 51 Aristoteles, Politics, translated by:Benjamin Jowet, Batoche
books, Kitchner:1999.
54
hukum itu sendiri sehingga perlu suatu
mekanisme rotasi jabatan publik yang
merepresentasikan suara rakyat lewat Partisipasi
Politik.52
Sistem rotasi pengisian jabatan publik
merupakan suatu fenomena yang pasti terjadi
dalam suatu birokrasi pemerintahan. Pengisian
terkait jabatan publik (dan atau politis) sebagai
KDH dan WKDH pun tak lepas dari sistem
pengisian jabatan ini. Sistem pengisian jabatan
KDH dan WKDH tersebut dibagi menjadi dua
bagian besar yakni penunjukan langsung dan
sistem pemilihan. Sedangkan sistem pemilihan
sendiri dibagi lagi dalam sistem pemilihan melalui
perwakilan dan pemilihan langsung.53
Dalam studi ilmu politik, dikenal dua model
dalam rekrutmen politik, yakni sistem terbuka
dan sistem tertutup. Dalam sistem terbuka,
semua warga negara yang memenuhi syarat
tertentu (umur, kemampuan/kecakapan, dan
pendidikan) mempunyai peluang yang sama
untuk mengisi jabatan politik. Sementara, dalam
sistem tertutup, pengisian jabatan politik
52 Menurut Robert P Clark, ada tiga jenis konsep partisipasi politik
namun dalam hal ini yang dimaksud adalah pola perilaku untuk
ikut terlibat aktif mempengaruhi rotasi pejabat publik melalui
kegiatan pemilihan umum, memberikan suara, dan melakukan kampanye. (Robert P.Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta : 1986) 53 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005. Hal 102-106.
55
hanyalah melibatkan sekelompok kecil kalangan
elite.54
a. Sistem Pemilihan
i. Pemilihan Langsung, sistem pemilihan
langsung, dimaksudkan bahwa calon KDH
dan WKDH dipilih secara langsung oleh
rakyat yang memiliki Hak pilih. Sistem ini
populer di Negara yang menganut sistem
federal atau federasi, seperti Jerman,
Amerika dan Kanada. Pelibatan rakyat
secara langsung dalam pemilihan
menyebabkan legitimasi dari proses hingga
hasil pemilihan sangat besar.55
ii. Pemilihan Tak Langsung (perwakilan),
sistem pemilihan perwakilan digunakan
oleh dua pertiga negara yang menganut
sistem kesatuan. Sistem ini bertumpu pada
kemampuan elite politik dari parlemen atau
Dewan Perwakilan Rakyat (versi Indonesia)
sebagai subjek perwakilan masyarakat.
Melalui Dewan Perwakilan yang ada,
partisipasi masyarakat tidak secara
langsung dapat diberikan dalam memilih
KDH dan WKDH karena seringkali terbatas
pada suara anggota Dewan Perwakilan
Rakyat.
54 Mosche Czudnowski, Political Recruitment, dalam fredderick
Greenstein-Nelson W. Polsby, Handbook of Political Science, Vo 2, dalam Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005. 55 Loc. Cit.,
56
Joko J. Prihatmoko mencatat, dalam
sistem ini lazimnya digunakan sistem
mayoritas absolut maupun mayoritas
sederhana. Dalam mayoritas absolut,
Kepala Daerah diduduki calon yang
memperoleh suara lebih dari separuh
jumlah pemilih (parlemen atau Dewan
Perwakilan Rakyat) dengan konsekuensi
pemilihan dilakukan dalam dua putaran.
Sedangkan dalam mayoritas sederhana,
calon yang memiliki suara terbanyaklah
yang berhak ditetapkan sebagai Kepala
Daerah.56
iii. Pemilihan Tak Langsung Semu, pemilihan
perwakilan semu adalah mekanisme atau
sistem Pemilihan Umum KDH dan WKDH
yang seolah-olah dilakukan oleh DPRD
namun penentu sesungguhnya adalah
pejabat pusat(pejabat yang memiliki
hierarki lebih tinggi).
b. Pengangkatan / Penunjukan langsung
Sistem penunjukan langsung
merupakan sistem yang sentralistik dari
Pemerintah Pusat kepada daerah dalam hal
pengangkatan KDH dan WKDH. Dalam sistem
ini pejabat pusat memiliki kewenangan sangat
tinggi dalam mengatur dan mengendalikan
56 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005
57
Kepala Daerah. Sistem ini berkembang di
Indonesia semasa pemerintahan Orde Baru.57
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan
daerah peran seorang KDH dan WKDH
sangatlah besar, hal ini tidak sama dengan
pejabat legislatif yang ada sehingga meskipun
dinyatakan bahwa kepala eksekutif sejajar
dengan anggota legislatif namun prinsip
Primus Inter Pares(yang terutama dari yang
utama) berlaku didalamnya. Syaukrani
memaparkan beberapa alasan prinsip Primus
Inter Pares berkaitan dengan jabatan KDH dan
WKDH sebagai berikut:58
Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tugas dan kewenangan tidak hanya untuk membuat kebijaksanaan, tetapi juga mengimplementasikannya, dan mengadakan evaluasi terhadap kebijaksanaan tersebut. Sementara itu, DPRD hanyalah membentuk kebijaksanaan publik, dan bahkan hampir sama sekali tidak terlibat dalam implementasi kebijaksanaan tersebut.
Seorang Kepala Eksekutif mempunyai tanggungjawab dalam bidang sosial, ekonomi
dan keuangan, serta politik karena memang dipilih untuk itu, sementara seorang anggota DPR/DPRD hanyalah memiliki tanggung jawab dalam bidang politik saja. Dalam bidang sosial seorang Kepala Eksekutif harus memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan warga masyarakatnya, kemudian mewujudkannya dalam sejumlah langkah kebijaksanaan tertentu. Dia harus memikirkan bagaimana lingkungannya mengalami perkembangan kearah yang lebih baik, merangsang dengan sejumlah
57 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005 58 Syaukani H, HR. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002.
58
kebijaksanaan dengan insentif-insentif tertentu, sehingga akan membawa dampak yang positif bagi perkembangan perekonomian di daerahnya. Sementara itu, DPRD hanyalah mendukung dengan menyiapkan seperangkat legislasi yang kondusif.
Seorang Kepala Eksekutif harus memiliki kapasitas yang sangat tinggi untuk memobilisasi semua sumber daya yang ada di lingkungannya. Dia harus menggerakkan semua stafnya untuk terlibat secara maksimal, dan harus pula kreatif mendorong kegiatan ekonomi dan bisnis di daerahnya. Seorang Gubernur, Bupati, Walikota harus mencari inisiatif agar pajak dan retribusi di daerahnya dapat meningkat, melakukan lobi-lobi yang kuat dan meluas agar orang mau menanamkan modal di daerahnya sehingga, dengan demikian, lapangan kerja tersedia buat rakyatnya. Tugas-tugas seperti itu tidak merupakan hal-hal yang rutin yang dilakukan oleh DPRD. DPRD harus menyiapkan suasana politik lokal yang kondusif bagi masyarakat di daerahnya.
Sedemikian pentingnya peranan seorang
Kepala Daerah, menyebabkan pengisian
jabatan KDH dan WKDH menjadi begitu
kompleks karena dipengaruhi berbagai faktor
internal maupun eksternal. Pemilihan KDH
dan WKDH itu sendiri mengalami perubahan
konsep dan mekanisme dari waktu ke waktu.
6. Kepala Daerah dari waktu ke waktu
Secara historis, diawal kemerdekaan
pengangkatan pemerintah daerah dalam hal ini
Kepala Daerah (KDH) dilakukan oleh pemerintah
pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah. KDH pada
59
saat itu merupakan KDH yang diangkat
sebelumnya pada masa penjajahan. Menurut
Syarifin,59 UU No. 1 Tahun 1945 menganut
sistem rumah tangga formal dimana KDH selain
berkedudukan sebagai organ daerah otonom,
berkedudukan juga sebagai alat pemerintah
pusat didaerah karena KDH diangkat oleh
Pemerintah Pusat, bukan dipilih oleh KND.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
mengisyaratkan bahwa pemilihan KDH tingkat
Provinsi diangkat oleh Presiden, dalam Pasal 18
Ayat (1) sebagai berikut;
“Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit-dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya
empat orang calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi”
sedangkan untuk KDH Kota/Kabupaten diangkat
oleh Menteri Dalam Negeri, dalam Pasal 18 Ayat
(2) sebagai berikut;
“Kepala Daerah Kabupaten (Kota Besar) diangkat
oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua
atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten (Kota Besar)”
sedangkan untuk Kepala Desa dan Kota Kecil
diangkat oleh Gubernur, dalam Pasal 18 Ayat (3)
sebagai berikut;
59 Syarifin. P & Jubaedah. D, Hukum Pemerintahan Daerah,
Pustaka Bani Quraisy, Bandung: 2005.
60
“Kepala Daerah Desa (Kota Kecil) diangkat oleh
Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-dikitnya dua
atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Desa (Kota Kecil)”
Menurut Joko J. Prihatmoko, berdasarkan
interpretasi dari Penjelasan Pasal 23 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, disebutkan
bahwa;
“Pada bagian penjelasan (Ad. 3) disebutkan,
ketentuan demikian karena Kepala Daerah adalah
orang yang dekat kepada dan dikenal baik oleh
rakyat didaerahnya. Oleh karena itu harus dipilih
secara langsung oleh rakyat. Atas dasar itu,
dibandingkan dengan UU terdahulu dan bahkan
setelahnya, nuansa demokrasi dalam arti membuka
akses rakyat berpartisipasi, sangat tampak dalam
Pemilihan KDH dan WKDH yang diatur dalam UU.
1/1957.”
Meski demikian dalam praktek demokrasi
sesungguhnya partisipasi masyarakat tidaklah
dilibatkan secara langsung. Hal ini dikarenakan
pembentukan undang-undang yang mengatur
mengenai hal tersebut perlu waktu lama, maka
disiasati untuk sementara waktu pemilihan
Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD yang
bersangkutan.60
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebagai berikut:
60 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005
61
Ayat (1) Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh
Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya
empat orang calon yang diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
Hal ini dipahami sebagai suatu proses pemilihan yang demokratis (demokrasi tidak langsung) dimana DPRD bertindak sebagai
reperesentasi rakyat. Akan tetapi dalam Ayat (2) dan (3) Pasal 12 UU Nomor 18 Tahun 1965
dinyatakan pula:
Ayat (2) Apabila dari pencalonan itu tidak ada
calon yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri
dengan persetujuan Presiden, maka Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan
diminta oleh Menteri Dalam Negeri untuk
mengajukan pencalonan yang kedua dengan disertai
keterangan tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap pencalonan pertama.
Ayat (3) Apabila juga dalam pencalonan yang
kedua seperti dimaksud dalam ayat (2) diatas tidak
ada calon yang memenuhi syarat untuk diangkat
menjadi Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri dengan persetujuan Presiden, maka Presiden
mengangkat seorang Kepala Daerah diluar
pencalonan.
Hal ini dipahami sebagai bentuk pengambil alihan kekuasaan rakyat(pada DPRD) oleh
pemerintah pusat dalam menentukan Kepala Daerah.
9(sembilan) tahun setelah UU Nomor 18
Tahun 1965 muncul Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daeah sebagai revisi dari undang-undang
sebelumnya. Dalam Pasal 16 UU Nomor 5 Tahun
62
1974 berisi mengenai cara pemilihan KDH tingkat
II(Kota/Kabupaten) :
Ayat (1) Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Gubernur
Kepala Daerah.
Ayat (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Gubernur Kepala Daerah
sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah
seorang diantaranya.
Dari interpretasi pasal tersebut terjadi
pergeseran cara pemilihan yang semula
penunjukkan langsung oleh Pemerintah Pusat
bergeser menjadi dicalonkan dan “dipilih” oleh
DPRD Daerah. Meskipun demikian pengaruh
Pemerintah Pusat sangat besar dalam pemilihan
KDH meskipun tidak dinyatakan secara terbuka.
Hal ini dinyatakan dalam proses pemilihan KDH
itu sendiri terdapat Gubernur yang merupakan
KDH yang lebih tinggi sebagai representasi dari
Pemerintah Pusat. Sehingga dalam sistem ini
Joko J. Prihatmoko menyebutnya sebagai sistem
pemilihan semu.
Sistem pemilihan umum KDH dan WKDH61
tingkat kota/kabupaten berubah setelah melalui
masa reformasi dimana terjadi aksi yang
61 Wakil kepala Daerah mulai diakui sejak ditetapkannya UU
Nomor 22 Tahun 1999. Dalam kaitan tugas, pokok, dan fungsi dari Wakil kepala Daerah diatur dalam Pasal 56, 57 dan 58.
63
menentang pemerintahan rezim Soeharto.
Bergantinya orde Baru menjadi Orde Reformasi
memberikan dampak pada perubahan sistem
Pemilihan Umum KDH dan WKDH dengan
munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam
undang-undang ini mengatur tata cara pemilihan
KDH dan WKDH tingkat I(Provinsi) dan tingkat
II(Kota/Kabupaten), yang tidak berbeda. Dalam
Pasal 34 Ayat (1), (2), dan (3) disebutkan:
Ayat (1) Pengisian jabatan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan.
Ayat (2) Calon Kepala Daerah dan calon Wakil
Kepala Daerah, dite-tapkan oleh DPRD melalui
tahap pencalonan dan pemilihan.
Ayat (3) Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dibentuk Panitia Pemilihan.
Dalam beberapa pasal selanjutnya diatur
mengenai mekanisme Pemilihan KDH dan WKDH
secara teknis. Melalui peraturan ini, demokrasi
tak langsung dijalankan dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Dalam sistem ini
pengakuan terhadap kedaulatan rakyat melalui
DPRD mulai berkembang. Meski demikian,
tuntutan dari masyarakat terus berlangsung
untuk menuju suatu sistem demokrasi yang
partisipatif. Pada akhirnya memunculkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah sebagai Revisi dari undang-
undang sebelumnya.
64
Sejak diundangkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, Indonesia mengalami babak baru dalam
sistem Pemilihan KDH dan WKDH. Dalam Pasal
24 Ayat (2) dan (3) didefinisikan:
Ayat (2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota
disebut walikota.
Ayat (3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala
daerah.
Lebih lanjut mengenai sistem pemilihan
KDH dan WKDH dinyatakan dalam Pasal 24 Ayat
(5) sebagai berikut:
Ayat (5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Sistem Pemilihan KDH dan WKDH yang
dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (5)
diimplementasikan lewat Pemilihan Umum KDH
dan WKDH yang melibatkan masyarakat secara
langsung untuk memilih pasangan calon KDH
dan WKDH didaerah setempat.
Secara keseluruhan sistem dan mekanisme
pemilihan KDH dan WKDH dari masa ke masa
disajikan dalam Tabel (1) Perbandingan
Mekanisme Pemilihan KDH dan WKDH dalam
beberapa Peraturan Perundangan-undangan.
65
Peraturan Perundangan
Mekanisme Pengisian Mekanisme Pemberhentian
1. UU No.1/1945 Tidak diatur, dalam praktik sangat tergantung pada pejabat pusat. Tidak diatur, dalam praktik sangat tergantung pada pejabat
pusat.
2. UU No.22/1948 Diajukan DPRD Diangkat Presiden u/ KDH I &
MenDagri u/KDH II
Diusulkan DPRD Diberhentikan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH
II
---
3. UU No.1/1957 Pemilihan oleh Rakyat Disahkan Presiden u/ KDH I &
MenDagri u/KDH II
Karena situasi saat itu, dipilih DPRD dan disahkan
Presiden/Mendagri
Diberhentikan oleh DPRD
Disahkan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II
---
4. Penetapan
Presiden
No.6/1959
Diajukan DPRD
Diangkat Presiden
u/ KDH I & MenDagri u/KDH II
1. Memperhatikan pertimbangan instansi
sipil dan militer. 2. Boleh di luar
pencalonan.
Diajukan DPRD
Diberhentikan oleh Presiden
u/ KDH I & MenDagri u/KDH II
---
5. UU No.18/1965 Diajukan DPRD Diangkat Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II
Presiden/Mendagri dapat mengangkat di luar pencalonan
Tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD
Diberhentikan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II
---
6. UU No.5/1974
Dimusyawarahkan pimpinan DPRD, Fraksi, dan Gubernur untuk KDH II &
Menteri dalam Negeri untuk KDH I
Diangkat Presiden u/ KDH Tk I & MenDagri u/ KDH
Tk II
Presiden dan Mendagri tidak terikat pada jumlah suara pemilihan DPRD
--- Diberhentikan oleh Presiden u/ KDH I & MenDagri u/KDH II
---
7. UU No.22/1999 Pemilihan oleh DPRD Pengesahan oleh Presiden
Dipilih oleh DPRD Diusulkan oleh DPRD Pengesahan oleh Presiden ---
8. UU No.32/2004** Pemilihan Umum Pengesahan oleh Presiden
Dipilih langsung oleh rakyat
Diusulkan oleh DPRD Pengesahan oleh Presiden ---
* Dikutip dari Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005
** Tambahan penulis.
Tabel 1. Perbandingan Mekanisme Pemilihan KDH dan WKDH Dalam Beberapa Peraturan Perundangan-undangan
66
B. Asas – Asas Pemilihan Umum berdasarkan
Undang - Undang dan Konvensi
Internasional
1. Asas – Asas Pemilihan Umum berdasarkan Undang-Undang.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dinyatakan bahwa
berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pengertian asas
Pemilu adalah :
a. Langsung Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak
untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang
memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
c. Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih
bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
67
d. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
e. Jujur Dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap
penyelenggara Pemilu, aparat Pemerintah, peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f. Adil
Dalam penyelenggaraan Pemilu, setiap pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan
yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
Dalam penyelenggaraan Pemilihan KDH dan
WKDH, Undang-Undang mengatur pula mengenai
asas yang digunakan sebagai pedoman bagi
penyelenggara Pemilu untuk menjamin
terciptanya suatu Pemilu yang demokratis. Dalam
UU Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah
dirubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
disebutkan mengenai asas yang dijadikan
pedoman bagi penyelenggara yaitu sebagai
berikut :62
a. mandiri;
b. jujur;
c. adil(tidak memihak pada salah satu peserta); d. kepastian hukum;
e. tertib penyelenggara Pemilu;
62 Tim KPU, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Salatiga Tahun 2011, Salatiga : 2011.
68
f. kepentingan umum(melayani kepentingan masyarakat);
g. keterbukaan;
h. proporsionalitas;
i. profesionalitas;
j. akuntabilitas(akurat); k. efisiensi(cukup dari sisi penyajian informasi); dan
l. efektivitas(dampak bagi KPU dan masyarakat).
2. Asas – Asas dalam Pemilihan Umum berdasarkan Konvensi Internasional.
Secara internasional telah disepakati bersama
melalui berbagai deklarasi dan konvensi
internasional maupun regional, seperti Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia 1948, Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
1960, Konvensi Eropa 1950 untuk Perlindungan
Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi, juga
Piagam Afrika 1981 tentang Hak Manusia dan
Masyarakat. Berdasarkan dokumen-dokumen
tersebut, dirumuskan 15 aspek pemilu
demokratis, yaitu:63
1. Penyusunan Kerangka Hukum
Istilah ‟kerangka hukum pemilu‟ mengacu pada
semua undang-undang dan dokumen hukum
yang terkait dengan pemilu. Secara khusus, kerangka hukum pemilu meliputi ketentuan
konstitusional, undang-undang pemilu, dan
semua undang-undang lain yang berdampak
pada pemilu.
2. Pemilihan Sistem Pemilu
Standar internasional menyebutkan, di dalam sistem pemilu harus terdapat badan-badan
63 Topo Santoso, dkk., Penegakan Hukum PEMILU – Praktik PEMILU 2004, Kajian PEMILU 2009-2014, Tim PERLUDEM, Jakarta: 2006.
69
yang dipilih, frekuensi pemilu, dan lembaga penyelenggara pemilu.
3. Penetapan Daerah Pemilihan
Kerangka hukum pemilu harus memastikan
bahwa daerah pemilihan dibuat sedemikian
rupa sehingga setiap suara setara untuk mencapai derajat keterwakilan yang efektif.
4. Hak untuk Memilih dan Dipilih
Kerangka hukum harus memastikan semua
warga negara yang memenuhi syarat dijamin
bisa ikut dalam pemilihan tanpa diskriminasi.
5. Badan Penyelenggara Pemilu Badan penyelenggara pemilu harus dijamin bisa
bekerja independen. Hal ini merupakan
persoalan penting karena mesin-mesin
pelaksana pemilu membuat dan melaksanakan
keputusan yang dapat mempengaruhi hasil
pemilu. 6. Pendaftaran Pemilih dan Daftar Pemilih
Kerangka hukum harus mewajibkan
penyimpanan daftar pemilih secara transparan
dan akurat, melindungi hak warga negara yang
memenuhi syarat untuk mendaftar, dan mencegah pendaftaran orang secara tidak sah
atau curang.
7. Akses Kertas Suara bagi Partai Politik dan
Kandidat
Semua partai politik dan kandidat dijamin
dapat bersaing dalam pemilu atas dasar perlakuan yang adil. Pendaftaran partai politik
dan ketentuan akses kertas suara pada waktu
pemilu perlu diatur secara berbeda.
8. Kampanye Pemilu yang Demokratis
Kerangka hukum harus menjamin setiap partai politik dan kandidat menikmati kebebasan
mengeluarkan pendapat dan kebebasan
berkumpul, serta memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak terkait (stakeholder)
dalam proses pemilihan.
9. Akses Media dan Kebebasan Berekspresi Semua partai politik dan kandidat memiliki
akses ke media. Kerangka hukum harus
menjamin mereka diperlakukan secara adil oleh
media yang dimiliki atau dikendalikan oleh
negara. Tidak ada pembatasan terhadap
kebebasan berekspresi partai politik dan para kandidat selama kampanye.
70
10. Pembiayaan dan Pengeluaran Kerangka hukum harus memastikan semua
partai politik dan kandidat diperlakukan secara
adil oleh ketentuan hukum yang mengatur
pembiayaan dan pengeluaran kampanye.
11. Pemungutan Suara Kerangka hukum harus memastikan tempat
pemungutan suara dapat diakses semua
pemilih. Terdapat pencatatan yang akurat atas
kertas suara dan jaminan kerahasiaan kertas
suara. Standar internasional mengharuskan
suara diberikan dengan menggunakan kertas suara yang rahasia atau dengan menggunakan
prosedur pemungutan suara lain yang setara,
bebas, dan rahasia.
12. Penghitungan dan Rekapitulasi Suara
Penghitungan suara yang adil, jujur, dan
terbuka merupakan dasar dari pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, kerangka hukum
harus memastikan agar semua suara dihitung
dan ditabulasi atau direkapitulasi dengan
akurat, merata, adil, dan terbuka.
13. Peranan Wakil Partai dan Kandidat Guna melindungi integritas dan keterbukaan
pemilu, perwakilan partai dan kandidat harus
dapat mengamati semua proses pemungutan
suara. Kerangka hukum harus menjelaskan
hak dan kewajiban perwakilan partai dan
kandidat di tempat pemungutan suara dan penghitungan suara.
14. Pemantau Pemilu
Kehadiran pemantau pemilu dari dalam
maupun luar negeri di negara-negara yang
demokrasinya sedang berkembang cenderung menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap
proses pemilu yang dipantau. Pemantauan juga
berguna untuk mencegah kecurangan pemilu,
khususnya pada saat pemungutan suara.
15. Kepatuhan terhadap Hukum dan Penegakan
Peraturan Pemilu Kerangka hukum pemilu harus mengatur
mekanisme dan penyelesaian hukum yang
efektif untuk menjaga kepatuhan terhadap
undang- undang pemilu. Dalam hal ini hak
memilih dan dipilih setiap warga harus dijamin dan pelanggaran terhadap penggunaan hak
memilih dan dipilih akan dikenakan sanksi.
71
Lima belas standar tersebut secara
internasional diterapkan di negara-negara
demokrasi modern. Sehingga berdasarkan
standar ini pula pemantau internasional dapat
melaporkan maupun menilai proses pemilihan
umum di suatu negara.
C. Sistem Hukum Pemilihan Umum KDH
Dan WKDH.
Diagram alir 2. Sistem Hukum Pemilihan Umum KDH dan WKDH
Sistem hukum dalam Pemilihan Umum KDH
dan WKDH didasarkan pada konstitusi Pasal 18 ayat
(4) Perubahan kedua UUD 1945 yang menyatakan :
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
DPRD
Hukum Pilkada
Peserta Pilkada
Masyarakat Pemilih
KPUD
PPS PPK KPPS
PanWasLu
72
Interpretasi dari kata demokratis kemudian
mengacu pada suatu sistem Pemilihan Umum KDH
dan WKDH yang dipilih secara langsung oleh rakyat
tanpa melalui perwakilannya(DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota).
Konsekuensi logis dari interpretasi hukum
mengenai sistem Pemilihan Umum yang diterapkan
menuntut dibentuknya suatu kerangka hukum
spesifik yang mengatur. Hal ini yang melatar
belakangi munculnya UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya
mengatur mengenai Pemilihan KDH dan WKDH.
Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004
menyatakan : “Pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang
bertanggungjawab kepada DPRD”. Sehingga
berdasarkan ini KPUD diberikan wewenang sebagai
penyelenggara dan DPRD(representatif dari rakyat)
sebagai penanggungjawab(lihat diagram alir 2).
Dalam rangka menjaga netralitas KPUD dalam
penyelenggaraan Pemilihan KDH dan WKDH, maka
dalam rekrutmen calon anggota KPUD dibentuklah
tim seleksi yang diatur dalam UU No. 22 Tahun
2007 Pasal 22 Ayat (2) :
Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berjumlah 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur akademisi, profesional, dan masyarakat yang
memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai
politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.
73
Komisi Pemilihan Umum yang telah terbentuk
kemudian membentuk Panitia Pengawas, Panitia
Pemilihan Kecamatan(PPK), Panitia Pemungutan
Suara(PPS), dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara(KPPS).
Pasal 57 ayat (3) dan (4) UU No. 22 Tahun
2007 memberikan mandat untuk diadakan suatu
lembaga pengawasan(Panitia Pengawas Pemilu)
dengan tujuan memastikan suatu proses Pemilihan
Umum KDH dan WKDH yang demokratis secara
prosedural maupun substansial. Bunyi Pasal 57
Ayat (3) dan (4) adalah :
Ayat (3) Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah, dibentuk
panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur
kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan
tokoh masyarakat.
Ayat (4) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang
untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota
dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.
Dalam kaitannya dengan peserta Pemilihan
Umum KDH dan WKDH diatur dalam Pasal 58 UU
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
atas UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sebagaimana dipersyaratkan bagi calon
KDH dan WKDH :
Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
warga negara Republik Indonesia yang memenuhi
syarat:
a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik
74
Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
Pemerintah;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah
lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh)
tahun bagi calon gubernur/wakil gubernur dan
berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima)
tahun bagi calon bupati/wakil bupati dan
walikota/wakil walikota;
e. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim
dokter;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
h. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan
bersedia untuk diumumkan;
j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara
perseorangan dan/atau secara badan hukum
yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
l. dihapus; m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau
bagi yang belum mempunyai NPWP wajib
mempunyai bukti pembayaran pajak;
n. menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang
memuat antara lain riwayat pendidikan dan
pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o. belum pernah menjabat sebagai kepala daerah
atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali
masa jabatan dalam jabatan yang sama;
p. tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah; dan.
75
q. mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih
menduduki jabatannya.
Proses rekrutmen politik untuk menetapkan
calon peserta Pemilihan Umum KDH dan WKDH
memberikan kesempatan bagi Partai Politik untuk
mengusulkan pasangan calon serta memberikan
kesempatan bagi perseorangan untuk mendaftarkan
diri dengan persyaratan yang telah ditentukan
dalam undang-undang. Proses ini diatur dalam
undang-undang sebagai norma publik serta
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga maupun
mekanisme internal partai sebagai norma non-
publik.
Proses rekrutmen calon peserta Pemilihan
Umum KDH dan WKDH ini melibatkan partisipasi
masyarakat dan demokrasi prosedural dalam partai
politik untuk memberikan pertimbangan bagi KPU
dalam menentukan pasangan calon peserta
Pemilihan Umum KDH dan WKDH sesuai Pasal 59
Ayat (4) dan (4a) UU No 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut:
Ayat (4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik
memperhatikan pendapat dan tanggapan
masyarakat.
Ayat (4a) Dalam proses penetapan pasangan calon
perseorangan, KPU provinsi dan/atau KPU
kabupaten/kota memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
76
Pengaturan Pemilihan Umum KDH dan WKDH
berlaku pula untuk masyarakat pemilih. Pengaturan
ini berkaitan dengan mekanisme pendaftaran
sebagai pemilih, mekanisme pencoblosan, peran
serta dalam kampanye dan mengawal proses
demokrasi itu sendiri.
Setelah seluruh proses Pemilihan Umum KDH
dan WKDH selesai KPUD harus menyampaikan
Laporan Pertanggungjawaban kepada DPRD seperti
dinyatakan dalam Pasal 57 ayat (2) : “Dalam
melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan
laporan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah kepada DPRD.”
Top Related