26
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Karakter
1. Pengertian Karakter
Secara bahasa, kata karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu
“charassein”, yang berarti barang atau alat untuk menggores, yang di
kemudian hari dipahami sebagai stempel/cap. Jadi, watak itu stempel atau
cap, sifat-sifat yang melekat pada seseorang. Watak sebagai sikap
seseorang dapat dibentuk, artinya watak seseorang berubah, kendati watak
mengandung unsur bawaan (potensi internal), yang setiap orang dapat
berbeda. Namun, watak amat sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal,
yaitu keluarga, sekolah masyarakat, lingkungan pergaulan, dan lain-lain.1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat
kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain.2
Sutarjo Adisusilo, dengan mengutip pendapat F.W. Foerster
menyebutkan bahwa karakter adalah sesuatu yang mengualifikasi seorang
pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang tetap,
yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Jadi karakter
adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup sehingga
1 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai Karakter (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada,
2013), hlm. 77. 2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
2013), hlm. 521.
27
menjadi sifat tetap dalam diri seseorang, misalnya kerja keras, pantang
menyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain.3
Menurut Darmiyati Zuchdi, karakter adalah seperangkat sifat
yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebajikan, dan
kematangan moral seseorang. Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan
pendidikan karakter adalah mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu,
nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik
dan bertanggung jawab.4
Arismantoro, dengan mengutip pendapat Alwisol, menyebutkan
bahwa karakter diartikan sebagai gambaran tingkah laku yang menonjolkan
nilai benar-salah, baik-buruk, baik secara eksplisit maupun implisit.
Karakter berbeda dengan kepribadian, karena pengertian kepribadian
dibebaskan dari nilai. Meskipun demikian, baik kepribadian (personality)
maupun karakter terwujud tingkah laku yang ditunjukkan ke lingkungan
sosial.5
Menurut Thomas Lickona, karakter diartikan sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral. Lickona menekankan
tiga hal dalam mendidik karakter, yang dirumuskan dengan indah:
knowing, loving, and acting the good.6
3 Sutarjo Adisusilo, op.cit., hlm, 78.
4 Darmiyati Zuchdi, Humanisasi Pendidikan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 11.
5 Arismantoro, Character Building (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), hlm. 27.
6 Thomas Lickona, Mendidik untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah dapat
Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat & Tanggung jawa, alih bahasa Juma Abdu
Wamaungo (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hlm. 81.
28
Menurut Ngainun Naim karakter adalah serangkaian sikap
(attitude), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan
(skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal
yang terbaik, kapasitas intelektual, seperti sikap kritis dan alasan moral,
perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-
prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal
dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif
dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkonstribusi dengan
komunitas dan masyarakatnya.7 Menurut kemendiknas, karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. 8
Dari berbagai definisi sebagaimana telah diuraikan diatas, dapat
diperoleh sebuah pengertian bahwa, karakter merupakan serangkaian sikap
(attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan
(skills) seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak, sehingga ia dapat hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
7 Ngainun Naim, op.cit., hlm. 55.
8 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), hlm. 67.
29
2. Nilai-Nilai Karakter
Nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa berasal dari nilai-
nilai luhur universal, yakni:
a. Cinta Tuhan dan ciptaan-Nya
b. Kemandirian dan tanggung jawab
c. Kejujuran/amanah dan diplomatis
d. Hormat dan santun
e. Dermawan, suka menolong, gotong-royong, dan kerja sama
f. Percaya diri dan kerja keras
g. Kepemimpinan dan keadilan
h. Baik dan rendah hati
i. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.9
Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, nilai karakter bangsa
terdiri atas sebagai berikut:
Tabel 1
No Karakter Indikator
1 Religius Ketaatan dan kepatuhan dalam
memahami dan melaksanakan ajaran
agama (aliran kepercayaan) yang dianut,
termasuk dalam hal ini adalah sikap
toleransi terhadap pelaksanaan ibadah
9 Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: (Pendidikan Berbasis
Agama dan Budaya Bangsa) (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2013), hlm. 54.
30
agama (aliran kepercayaan) lain, serta
hidup rukun dan berdampingan.
2 Jujur Sikap dan perilaku yang mencerminkan
kesatuan antara pengetahuan, perkataan
dan perbuatan (mengetahui yang benar,
mengatakan yang benar dan melakukan
yang benar), sehingga menjadikan orang
yang bersangkutan sebagai pribadi yang
dapat dipercaya.
3 Toleransi Sikap dan perilaku yang mencerminkan
penghargaan terhadap perbedaan agama,
aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa,
ras, etnis, pendapat, dan hal-hal lain
yang berbeda dengan dirinya secara
sadar dan terbuka, serta dapat hidup
tenang di tengah perbedaan tersebut.
4 Disiplin Kebiasaan dan tindakan yang konsisten
terhadap segala bentuk peraturan atau
tata tertib yang berlaku.
5 Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya
secara sungguh-sungguh (berjuang
hingga titik darah penghabisan) dalam
menyelesaikan berbagai tugas,
31
permasalahan, pekerjaan, dan lain-lain
dengan sebaik-baiknya.
6 Kreatif Sikap dan perilaku yang mencerminkan
inovasi dalam berbagai segi dalam
memecahkan masalah, sehingga selalu
menemukan cara-cara baru, bahkan
hasil-hasil baru yang lebih baik dari
sebelumnya.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak
tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan berbagai tugas maupun
persoalan. Namun dalam hal ini bukan
berarti tidak boleh kerjasama secara
kolaboratif, melainkan tidak boleh
melemparkan tugas dan tanggung jawab
kepada orang lain.
8 Demokratis Sikap dan cara berpikir yang
mencerminkan persamaan hak dan
kewajiban secara adil dan merata antara
dirinya dengan orang lain.
9 Rasa ingin tahu Cara berpikir, sikap dan perilaku yang
mencerminkan penasaran dan
keingintahuan terhadap segala hal yang
32
dilihat, didengar, dan dipelajari secara
lebih mendalam.
10 Semangat kebangsaan Sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau individu dan
golongan.
11 Cinta tanah air Sikap dan perilaku yang mencerminkan
rasa bangga, setia, peduli dan
penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, budaya, ekonomi, politik, dan
sebagainya, sehingga tidak mudah
menerima tawaran bangsa lain yang
dapat merugikan bangsa sendiri.
12 Menghargai prestasi Sikap terbuka terhadap prestasi orang
lain dan mengakui kekurangan diri
sendiri tanpa mengurangi semangat
berprestasi yang lebih tinggi.
13 Bersahabat/komunikatif Sikap dan tindakan terbuka terhadap
orang lain melalui komunikasi yang
santun sehingga tercipta kerja sama
secara kolaboratif dengan baik.
14 Cinta damai Sikap dan perilaku yang mencerminkan
suasana damai, aman, tenang dan
33
nyaman atas kehadiran dirinya dalam
komunitas atau masyarakat tertentu.
15 Gemar membaca Kebiasaan dengan tanpa paksaan untuk
menyediakan waktu secara khusus guna
membaca berbagai informasi, baik buku,
jurnal, majalah, koran, dan sebagainya,
sehingga menimbulkan kebijakan bagi
dirinya.
16 Peduli lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
menjaga dan melestarikan lingkungan
sekitar.
17 Peduli sosial Sikap dan perbuatan yang
mencerminkan kepedulian terhadap
orang lain maupun masyarakat yang
membutuhkan.
18 Tanggung jawab Sikap dan perilaku seseorang dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya,
baik yang berkaitan dengan diri sendiri,
sosial, masyarakat, bangsa, negara
maupun agama.10
10
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), hlm. 8-9.
34
3. Tahap Pembentukan Karakter
Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan
penting untuk dilakukan oleh sekolah dan stakeholders-nya untuk menjadi
pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan
pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak
yang baik dengan tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan
mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas komitmennya untuk
melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan
benar serta memiliki tujuan hidup. Masyarakat juga berperan dalam
membentuk karakter anak melalui orang tua dan lingkungan.
Karakter peserta didik dikembangkan melalui beberapa tahapan,
yaitu:
a. Tahap pengetahuan (knowing)
b. Pelaksanaan (acting)
c. Kebiasaan (habit)
Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang
memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai
dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk
melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi
dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter
yang baik (components of good character), yaitu:
35
1) Pengetahuan tentang moral (moral knowing)
Dimensi-dimensi dalam moral knowing yang akan mengisi ranah
kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan
tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut
pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), dan
pengenalan diri (self knowledge).
2) Perasaan/penguatan emosi (moral feeling)
Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk
menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-
bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran
akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap
derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good),
pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility).
3) Perbuatan bermoral (moral action)
Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang
merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk
memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik
(act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu
kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Hal ini diperlukan agar peserta didik atau warga sekolah lain yang
terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami,
merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai
kebajikan (moral). Pengembangan atau pembentukan karakter dalam suatu
36
sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter
yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak
secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai
perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa, dan
negara, serta dunia internasional.
Pengembangan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain
affection atau emosi). Komponen ini dalam pendidikan karakter disebut
juga dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan.
Pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek
“knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau
“loving the good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action).
Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh
suatu paham tertentu. Dengan demikian jelas bahwa karakter
dikembangkan atau dibentuk melalui tiga langkah, yaitu:
a) Mengembangkan moral knowing
b) Mengembangkan moral feeling
c) Mengembangkan moral action
Dengan kata lain, semakin lengkap komponen moral yang dimiliki
manusia maka akan semakin membentuk karakter yang baik atau unggul
dan tangguh.
Pengembangan karakter dapat direalisasikan dalam mata
pelajaran agama, kewarganegaraan, atau mata pelajaran lainnya, yang
37
program utamanya cenderung mengolah nilai-nilai secara kognitif dan
mendalam sampai ke panghayatan nilai secara efektif. Pengembangan
karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif,
pengenalan nilai secara afektif, akhirnya ke pengenalan nilai secara nyata.
Untuk sampai ke arah praktis, ada satu peristiwa batin yang sangat penting
dan harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang sangat
kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa tersebut disebut conatio,
dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut
langkah konatif. Pendidikan karakter seharusnya mengikuti langkah-
langkah yang sistematis, dimulai dari pengenalan nilai secara kognitif,
langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah
pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantara
menerjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, dan karsa.11
Sri Narwanti, dengan mengutip pendapat Anis Matta
menyebutkan ada beberapa kaidah pembentukan karakter dalam
membentuk karakter muslim, yaitu sebagai berikut:
a) Kaidah kebertahapan
Proses pembentukan dan pengembangan karakter harus dilakukan
secara bertahap. Orang tidak bisa dituntut untuk berubah sesuai yang
diinginkan secara tiba-tiba dan instan. Namun, ada tahap-tahap yang
harus dilalui dengan sabar dan tidak terburu-buru. Orientasi kegiatan ini
adalah pada proses bukan pada hasil.
11
Zainal Aqid dan Sujak, Panduan & Aplikasi Pendidikan Karakter (Bandung: Yrama
Widya, 2011), hlm. 9-11.
38
b) Kaidah kesinambungan
Seberapapun kecilnya porsi latihan yang terpenting adalah
kesinambungan. Proses yang berkesinambungan inilah yang nantinya
membentuk rasa dan warna berpikir seseorang lama-lama akan menjadi
kebiasaan dan seterusnya menjadi karakter pribadi yang jelas.
c) Kaidah momentum
Penggunaan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan
dan latihan. Misalnya bulan Ramadhan untuk mengembangkan sifat
sabar, kemauan yang kuat, kedermawanan, dan seterusnya.
d) Kaidah motivasi intrinsik
Karakter yang kuat akan terbentuk sempurna jika dorongan yang
menyertainya benar-benar lahir dari dalam diri sendiri. Jadi, proses
“merasakan sendiri”, “melakukan sendiri” adalah hal penting. Hal ini
sesuai dengan kaidah umum bahwa mencoba sesuatu akan berbeda
hasilnya antara yang dilakukan sendiri dengan yang hanya dilihat atau
diperdengarkan saja. Pendidikan harus menanamkan motivasi atau
keinginan yang kuat dan lurus serta melibatkan aksi fisik yang nyata.
e) Kaidah pembimbingan
Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru dan
pembimbing. Kedudukan seorang guru atau pembimbing ini adalah
untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan sesorang. Guru atau
39
pembimbing juga berfungsi sebagai unsur perekat, tempat “curhat” dan
sarana tukar pikiran bagi muridnya.12
4. Metode pembentukan karakter
Pembentukan karakter peserta didik tentunya membutuhkan suatu
metodologi yang efektif, aplikatif, dan produktif agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai dengan baik. Menurut Doni Koesoema A,
metodologi dalam membentuk karakter peserta didik adalah sebagai
berikut:
a. Mengajarkan
Pemahaman konseptual tetap membutuhkan sebagai bekal konsep-
konsep nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter
tertentu. Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada
peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan (bila
dilaksanakan), dan maslahatnya (bila tidak dilaksanakan). Mengajarkan
nilai memiliki dua faedah, pertama memberikan pengetahuan
konseptual baru, kedua menjadi pembanding atas pengatahuan yang
dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses mengajarkan
tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik.
b. Keteladanan
Keteladanan menempati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih
dahulu memiliki karakter yang diajarkan. Guru adalah sosok yang
digugu dan ditiru, peserta didik akan meniru apa yang dilakukan
12
Sri Narwanti, Pendidikan karakter: Pengintegrasian 18 Pembentukan Karakter dalam
Mata Pelajaran (Yogyakarta: Familia, 2011), hlm. 6-7.
40
gurunya ketimbang apa yang dilaksanakan sang guru. Bahkan, sebuah
pepatah kuno memberi suatu peringatan pada para guru bahwa peserta
didik akan meniru karakter negatif secara lebih ekstrem ketimbang
gurunya “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Keteladanan tidak hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari
seluruh manusia yang ada di lembaga pendidikan tersebut, dan juga
bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering
berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter
membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan
karakter.
c. Menentukan skala prioritas
Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar suatu proses
evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas.
Tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus, sehingga
tidak dapat dinilai berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter
menghimpun kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan
dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
memiliki beberapa kewajiban:
1) Menentukan tuntutan standar yang akan ditawarkan pada peserta
didik
2) Semua pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus
memahami secara jernih apa nilai yang ingin ditekankan dalam
lembaga pendidikan karakter
41
3) Jika lembaga ingin menetapkan perilaku standar yang menjadi ciri
khas lembaga maka karakter standar itu harus dipahami oleh anak
didik, orang tua, dan masyarakat.
d. Praktis prioritas
Unsur lain yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah bukti
dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Berkaitan
dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang menjadi
visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan harus mampu membuat
verifikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan dalam
lingkup pendidikan skolastik melalui berbagai macam unsur yang ada
di dalam lembaga pendidikan itu sendiri.
e. Refleksi
Karakter yang dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai
macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan
direfleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Sebab sebagaimana
yang dikatakan oleh Sokrates “hidup tidak direfleksikan merupakan
hidup yang tidak layak dihayati.”
Tanpa ada usaha sadar untuk melihat kembali sejauh mana proses
pendidikan karakter ini direfleksikan dan dievaluasi, tidak akan pernah
terdapat kemajuan. Refleksi merupakan kemampuan sadar khas
42
manusiawi, dengan kemampuan sadar ini, manusia mampu mengatasi
diri dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan baik.13
Metodologi pembentukan karakter tersebut menjadi catatan
penting bagi semua pihak, khususnya guru yang berinteraksi langsung
kepada peserta didik. Tentu, lima hal ini bukan satu-satunya, sehingga
masing-masing tertantang untuk menyuguhkan alternatif dan gagasan untuk
memperkaya metodologi pembentukan karakter yang sangat dibutuhkan
bangsa ini dimasa yang akan datang.14
5. Evaluasi pembentukan karakter
Penilaian karakter dimaksudkan untuk mendeteksi karakter yang
terbentuk dalam diri peserta didik melalui pembelajaran yang telah
diikutinya. Pembentukan karakter memang tidak bisa sim salabim atau
terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi indikator perilaku dapat
dideteksi secara dini oleh setiap guru. Satu hal yang harus diperhatikan
adalah bahwa penilaian yang dilakukan harus diperhatikan adalah bahwa
penilaian yang dilakukan harus mampu mengukur karakter yang diukur.15
Tujuan penilaian karakter adalah untuk mengukur sejauh mana
nilai-nilai yang telah dirumuskan sebagai standar minimal telah
dikembangkan dan ditanamkan di sekolah serta dapat dihayati, diamalkan,
diterapkan, dan dipertahankan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-
13
Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009), hlm. 108-110. 14
Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi pendidikan karakter disekolah
(Yogyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 67-70 15
E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013 (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2013), hlm. 147.
43
hari. Penilaian dilaksanakan pada setiap saat, baik di kelas maupun di luar
kelas, dengan cara pengamatan dan pencatatan.16
B. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
1. Pengertian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
a. Pengertian Pembelajaran
Istilah pembelajaran (instrucction) bermakna upaya untuk
membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya
dan strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang
telah direncanakan.17
Pembelajaran merupakan suatu sistem atau proses
membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau
didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek
didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara
efektif dan efisien.18
Dari beberapa pengertian pembelajaran yang telah
dikemukakan maka dapat disimpulkan beberapa ciri pembelajaran
sebagai berikut:
1) Merupakan upaya sadar dan sengaja
2) Pembelajaran harus membuat siswa belajar
16
Nurul Zuriah, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), hlm. 250. 17
Abdul Majid, Strategi Pembelajaran (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm.
4. 18
Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual (Bandung: PT. Refika Abditama,
2010), hlm. 3.
44
3) Tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses
dilaksanakan
4) Pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses, maupun
hasilnya.19
Dari berbagai difinisi sebagaimana telah diuraikan diatas,
dapat diperoleh sebuah pengertian bahwa, pembelajaran adalah usaha
yang dilaksanakan secara sengaja, terarah, dan terencana, dengan tujuan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses tersebut
dilaksanakan, serta pelaksanaanya terkendali, dengan maksud agar
terjadi belajar pada diri seorang peserta didik.
b. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Moh. Hailami Salim dan Syamsul Kurniawan, dengan
mengutip pendapat Hasan Langgulung, menyebutkan bahwa
pendidikan agama Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak,
intelektual, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan
memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan teladan ideal dalam
kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akhirat.20
Pendidikan agama Islam adalah menanamkan akhlak mulia di
dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya
dengan air petunjuk dan nasehat, sehingga akhlak itu menjadi salah satu
kemampuan (meresap dalam) jiwanya kemudian buahnya berwujud
19
Eveline Siregar dan Hartini Nara, Teori Belajar dan Pembelajaran (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010), hlm. 12-13. 20
Moh. Hailami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2012), hlm. 32-33.
45
keutamaan kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.
Jadi, pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh
seorang dewasa kepada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia
memiliki kepribadian muslim.21
c. Pengertian Budi Pekerti
Budi pekerti adalah watak atau tabiat khusus seseorang untuk
berbuat sopan dan menghargai pihak lain yang tercermin dalam
perilaku dan kehidupannya. Sedangkan watak itu merupakan
keseluruhan dorongan sikap, keputusan, kebiasaan, dan nilai moral
seseorang yang baik, yang dicakup dalam satu istilah kebajikan.22
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di
sekolah ynag bertujuan mengembangkan watak atau tabiat siswa
dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai
kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya,
disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan dan
sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional) dan ranah
skill/psikomotorik (keterampilan, terampil mengolah data,
mengemukakan pendapat, dan kerja sama).
Pendidikan budi pekerti dapat ditinjau secara konseptual dan
operasional, yaitu sebagai berikut:
1) Pengertian budi pekerti secara konseptual
21
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam 1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm. 11. 22
Nurul Zuriah, op.cit., hlm. 18.
46
Pendidikan budi pekerti secara konseptual mencakup dua hal,
sebagai berikut:
a. Usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia
seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya
sekarang dan masa yang akan datang.
b. Upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan,
pemeliharaan dan perilaku peserta didik agar mereka mau dan
mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras,
serasi, seimbang (lahir batin, material spiritual, dan individual
sosial).
c. Upaya pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi
pribadi seutuhnya yang berbudi pekerti luhur melalui kegiatan
bimbingan, pembiasaan, pengajaran dan latihan serta
keteladanan.
2) Pengertian budi pekerti secara operasional
Pendidikan budi pekerti secara operasional adalah upaya untuk
membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan
latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai
bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih,
berperangkat baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan
kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Dengan demikian,
terbentuklah pribadi yang tercermin pada perilaku berupa ucapan,
perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya
47
berdasarkan nilai-nilai agama serta norma dan moral luhur
bangsa.23
Dari berbagai difinisi sebagaimana telah diuraikan diatas,
dapat diperoleh sebuah kesimpulan bahwa, pembelajaran pendidikan
agama Islam dan budi pekerti adalah proses penanaman ajaran agama
Islam oleh seorang guru kepada peserta didik, sehingga mampu
terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak yang mulia dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Tujuan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Secara umum tahap-tahap tujuan pendidikan agama Islam meliputi:
a. Tujuan tertinggi/terakhir
Tujuan tertinggi/terakhir dalam pendidikan agama Islam bersifat
mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum karena sesuai
dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan
universal. Tujuan tertinggi ini pada akhirnya sesuai dengan tujuan
hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Tuhan, yaitu:
1) Menjadi hamba Allah SWT
2) Mengantarkan subyek didik menjadi khalifah fi al-Ardh, yang
mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya dan lebih jauh
lagi, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan
tujuan penciptanya, dan sebagai konsekuensi setelah menerima
Islam sebagai pedoman hidup.
23
Ibid., hlm. 20.
48
3) Untuk memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan hidup di dunia
sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat.24
b. Tujuan umum
Tujuan umum pendidikan agama Islam bersifat empirik dan realistik.
Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat
diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian
peserta didik.25
c. Tujuan khusus
Tujuan khusus pendidikan agama Islam ialah pengkhususan atau
operasionalisasi tujuan tertinggi/terakhir dan tujuan umum (Pendidikan
Islam). Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk
diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan
tertinggi/terakhir dan umum itu. Pengkhususan tujuan tersebut
didasarkan pada:
1) Kultur dan cita-cita suatu bangsa
2) Minat, bakat, dan kesanggupan subyek didik
3) Tuntutan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.
24
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 66. 25
Ibid, hlm. 68.
49
d. Tujuan sementara
Tujuan sementara pendidikan agama Islam adalah tujuan yang akan
dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang
direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.26
Tujuan pembelajaran budi pekerti, meliputi:
a) Mendorong kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan
sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang
religius.
b) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik
sebagai penerus bangsa.
c) Memupuk ketegaran dan kepekaan mental peserta didik terhadap situasi
sekitarnya sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang
menyimpang, baik secara individual mapun sosial.
d) Meningkatkan kemampuan untuk menghindari sifat-sifat tercela yang
dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.27
Adapun tujuan pembelajaran pendidikan agama Islam dan budi pekerti,
yaitu sebagai berikut:
a. Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan
pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan,
serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya
26
Ibid., hlm. 70-71. 27
Nurul Zuhriah, op.cit., hlm. 240.
50
kepada Allah SWT demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat.
b. Mewujudkan peserta didik yang taat beragama, berakhlak mulia,
berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis,
santun, disiplin, toleran, dan mengembangkan budaya Islami dalam
komunitas sekolah.
c. Membentuk peserta didik yang berkarakter melalui pengenalan,
pemahaman, dan pembiasaan norma-norma dan aturan-aturan yang
Islami dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, sesama, dan
lingkungan secara harmonis.
d. Mengembangkan nalar dan sikap moral yang selaras dengan nilai-nilai
Islami dalam kehidupan sebagai warga masyarakat, warga negara, dan
warga dunia.28
3. Metode Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode
diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai setelah pengajaran berakhir. Dalam mengajar hendaknya
guru menggunakan metode yang bervariasi agar pembelajaran tidak
membosankan tetapi menarik perhatian peserta didik, penggunaan metode
yang bervariasi juga hendaknya disesuaikan dengan kondisi psikologis
28
Novy Eko Permono. “Pengantar Mapel PAI dan Budi Pekerti Kurikulum 2013”.
file:///C:/Users/User/Downloads/PAI/PAI BUDI.htm. (23 November 2013). Diakses, 14 Oktober
2014. Pukul 08.10 WIB.
51
anak didik oleh karena itu guru dituntut untuk memiliki kompetensi dalam
pemilihan metode yang tepat dalam mengajar.29
Adapun metode-metode yang dapat dipakai dalam pembelajaran
pendidikan agama Islam dan budi pekerti, antara lain:
a. Metode pembiasaan
Metode pembiasaan adalah suatu cara yang mengutamakan proses
untuk membuat seseorang menjadi terbiasa. Metode pembiasaan ini
hendaknya diterapkan sedini mungkin, sebab ia memiliki daya ingat
yang kuat dan sikap yang belum matang, sehinga mudah mengikuti,
meniru, dan membiasakan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari.
Metode pembiasaan ini sangat efektif dan efisien dalam menanamkan
kompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik dengan
sendirinya.30
b. Metode keteladanan
Metode keteladanan adalah hal-hal yang dapat ditiru dan dicontoh oleh
peserta didik dari orang lain.31
Metode ini digunakan untuk
mewujudkan tujuan pengajaran dengan memberi keteladanan yang baik
pada diri siswa agar dapat berkembang fisik, mental dan kepribadiaanya
secara benar.32
29
Zaenal Mustakim, Strategi & Metode Pembelajaran (Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press, 2011), hlm. 53. 30
Ibid., hlm. 118. 31
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta: Ciputat Pers,
2002), hlm. 117. 32
Zaenal Mustakim, op.cit., hlm. 119.
52
c. Metode pemberian reward dan punishment
Pemberian reward adalah suatu cara yang mengedepankan
kegembiraan positif thingking, yaitu memberikan hadiah pada anak
didik yang berprestasi akademik maupun yang berperilaku baik.
Penghargaan/hadiah ini dianggap sebagai media pengajaran yang
preventif dan representatif untuk membuat senang dan menjadi
motivator belajar anak didik. Pemberian punishment adalah suatu cara
yang digunakan untuk memperbaiki kesalahan siswa, sehingga siswa
tidak mengulangi kesalahan yang sama, metode ini diterapkan agar
siswa merasakan akibat dari perbuatannya sehingga ia akan
menghormati guru dan dirinya sendiri.33
d. Metode sosiodrama
Metode sosiodrama adalah suatu cara penguasaan bahan pelajaran
melalui pengembangan dan penghayatan anak didik. Pengembangan
imajinasi dan penghayatan yang dilakukan oleh anak didik dengan
memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Dengan kegiatan
memerankan ini akan membuat anak didik lebih meresapi
perolehannya.34
e. Metode penugasan
Metode penugasan adalah suatu cara dalam proses belajar mengajar
bilamana guru memberi tugas tertentu dan murid megerjakannya,
kemudian tugas tersebut dipertanggungjawabkan kepada guru/dengan
33
Zaenal Mustakim, op.cit., hlm. 120. 34
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2000), hlm. 199.
53
cara demikian diharapkan agar murid belajar secara bebas tetapi
bertanggung jawab dan murid-murid akan berpengalaman mengetahui
berbagai kesulitan kemudian berusaha untuk ikut mengatasi kesulitan-
kesulitan itu.35
f. Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran dimana
guru memberi kesempatan kepada para siswa untuk mengadakan
pembicaraan ilmiah guna mengumpulkan pendapat, membuat
kesimpulan atau menyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu
masalah.36
g. Metode ceramah
Metode ceramah adalah suatu metode di dalam pendidikan dimana cara
penyampaian materi-meteri pelajaran kepada anak didik dilakukan
dengan cara penerangan dan penuturan secara lisan.37
h. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk
pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada murid atau
dapat juga dari murid kepada guru.38
i. Metode kisah
Metode kisah adalah dalah suatu cara dalam menyampaikan materi
pelajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana
35
Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), hlm. 298. 36
Armai Arief, op.cit.,164. 37
Ibid, hlm. 136. 38
Ibid, hlm. 141.
54
terjadinya sesuatu hal baik yang sebenarnya terjadi ataupun hanya
rekaan saja. Metode kisah mampu menyentuh hati peserta didik jika
dilandasi oleh ketulusan hati yang mendalam.39
j. Metode drill/latihan
Metode drill/latihan adalah suatu metode dalam menyampaikan
pelajaran dengan menggunakan latihan secara terus menerus sampai
anak didik memiliki ketangkasan yang diharapkan.
k. Metode demonstrasi
Metode demonstrasi adalah salah satu metode mengajar dengan
menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk
memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu dengan jalan
mendemonstrasikannya terlebih dahulu. Metode ini dapat
menghilangkan verbalisme sehingga siswa akan semakin memahami
materi pelajaran.40
4. Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Tahap akhir suatu proses pendidikan adalah evaluasi. Tujuan
evaluasi adalah untuk mengetahui sejauh mana proses pembelajaran itu
sampai (mencapai) tujuan yang telah ditentukan sebagai landasan berpijak
aktivitas suatu pendidikan. Dari evaluasi tersebut kita akan mengetahui
pada aspek-aspek mana suatu usaha pendidikan harus dibenahi. Salah satu
aspek yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi belajar
mengajar adalah alat penilaian itu sendiri, baik dari segi validitas maupun
39
Ibid., hlm. 160. 40
Ibid., hlm. 195.
55
reabilitas. Dalam pendidikan murid, evaluasi yang harus dilakukan adalah
sejauh mana murid dapat menghayati, memahami nilai-nilai tauhid Islam
sehingga rasa keimanan yang tertanam dalam jiwa dan memberi impact
pada seluruh gerak motor, fisik, psikis mereka.41
Hasil penilaian ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang
menyeluruh tentang nilai budi pekerti peserta didik yang tercermin dalam
kualitas hidup sehari-hari, bukan nilai-nilai dalam bentuk kuantitatif.
Informasi yang diperoleh melalui hasil penilaian dapat memberikan
gambaran perilaku peserta didik secara individual.42
41
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
(Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2011), hlm. 247. 42
Nurul Zuriah, op.cit, hlm. 251.
Top Related