7
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 E-learning
Saat ini, teknologi informasi telah dijadikan sebuah solusi untuk
universitas dalam mengatasi permasalahan di bidang biaya serta kualitas.
Teknologi informasi dalam proses belajar mengajar diciptakan untuk
mengubah cara belajar mahasiswa dengan menggunakan alternatif yang
lebih modern, efektif, dan efisien. Alternatif tersebut adalah dengan
menggunakan e-learning.E-learning sering juga disamakan dengan web
based learning (WBL), internet based training (IBT), advance distributed
learning (ADL), web based instruction (WBI), online learning (OL) dan
open/flexible learning (OFL)(M.Selim, 2005).
2.1.1 Pengertian E-learning
E-learning menurut Drucker (2005) adalah suatu metode
pembelajaran yang terintegrasi dengan rantai nilai kecepatan yang tinggi
dan memberikan learningcontent yang mandiri, komprehensif, dan
dinamik yang realtime serta bertujuan untuk mengembangkan
pengetahuan, keterikatan pembelajar serta pelatihan dengan
pakarnya(Alsultanny, 2006).
Menurut Olson & Wisher(2002) dan Richardson & Swan (2003) e-
learning tumbuh menjadi komponen yang signifikan pada bidang
8
pendidikan di seluruh dunia. E-learning lebih memiliki biaya yang
efektif, tepat, dan meningkatkan kesempatan pada dunia pendidikan untuk
kedepannya(Suanpang & Petocz, 2006).
Menurut Berge (1997) E-learning juga memberikan beberapa
keuntungan dibandingkan metode belajar tradisional khususnya dengan
memberikan kesempatan belajar kapan dan dimanapun.Mahasiswa dapat
mengkases materi pembelajaran secara online di tempat dan waktu yang
mereka inginkan (Suanpang & Petocz, 2006).
Sedangkan Clark dan Mayer (2003) mendefinisikan e-learning
sebagai instruksi yang disampaikan di komputer dengan menggunakan
CD-ROM, internet atau intranet dengan fitur-fitur sebagai berikut :
a) Menyertakan materi yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
b) Menggunakan metode instruksional seperti contoh dan latihan
untuk membantu pembelajaran.
c) Menggunakan elemen-elemen multimedia seperti text dan gambar
untuk menyampaikan materinya.
d) Membangun knowledge baru dan keahlian yang berhubungan
dengan tujuan pembelajaran secara individual atau untuk
meningkatkan kinerja organisasi.
Dari beberapa definisi e-learning diatas, dapat disimpulkan bahwa
e-learning merupakan sebuah metode pembelajaran menggunakan media
elektronik serta elemen teknologi informasi seperti multimedia sebagai
alat penyampaian materi.
9
Binusmaya dapat dianggap sebagai penerapan e-learning di Binus
University dilihat dari segi pengaksesan nya yang bisa dilakukan kapan
dan dimanapun serta konten dari binus maya juga dinamik dan real time
dilihat dari fitur forum diskusi yang tersedia.
2.1.2 E-learning dan Metode Tradisional
Yatrakis & Simon (2002) mengatakan bahwa secara umum tidak
ada perbedaan learningoutcome yang didapatkan antara proses
pembelajaran e-learning dan tradisional. Russel (1999) juga mengatakan
tidak ada fenomena perbedaan yang signifikan yang terjadi dan dikatakan
juga bahwa metode e-learning memang efektif tetapi tidak lebih efektif
dibandingkan dengan cara tradisional.
Walaupun begitu beberapa penelitian menunjukan bahwa e-
learning memberikan dampak yang lebih positif dimana penelitian oleh
Meyer (2002) menunjukan bahwa pencapaian dan kepuasan mahasiswa
lebih meningkat walaupun nilai akhir yang mereka dapatkan tidak berbeda
jauh dengan menggunakan metode tradisional.Penelitian ini juga didukung
oleh Sandercoc dan Shaw (2000) yang menemukan indikasi bahwa dengan
metode e-learning, mahasiswa dapat meningkatkan keahlian dan kualitas
pembelajaran mereka. Dalam penelitian lainnya Hoton (2001) mengatakan
dari penelitian yang ia lakukan menunjukan bahwa 20% dari mahasiswa
yang menggunakan metode e-learning akan mendapatkan nilai akhir yang
lebih besar dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan metode
tradisional karena dengan metode e-learning membuat mahasiswa terlihat
10
lebih percaya diri dan memiliki komunikasi yang lebih baik(Suanpang &
Petocz, 2006).
Perbedaan antara e-learning dan metode tradisional menurut
Maurer dan Sapper (2001) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perbedaan e-learning dan metode tradisional(Alsultanny,
2006)
Dimensi Metode Tradisional Metode
e-learning
Delivery Pengajar menentukan
agenda pembelajaran
Mahasiswa yang
menentukan agenda
pembelajaran
Responsiveness Kurang memberikan
respon
Memberikan respon
Access Linear Non linear
Symmetry Proses pembelajaran
tidak terintegrasi
Proses pembelajaran
terintegrasi
Modality Terpisah Berkelanjutan
Authority Materi tersentralisasi
dari pengajar
Materi berasal dari
interaksi mahasiswa
dan pengajar
Personalisation Konten pembelajaran
harus memenuhi
banyak kebutuhan
Konten ditentukan
oleh
kebutuhan individu
11
dan bertujuan untuk
memenuhi
kebutuhan setiap
pengguna
Adaptivity Konten pembelajaran
tetap dalam bentuk
yang awal
tanpa memperhatikan
perubahan lingkungan
Perubahan konten
konstan
melalui masukan
mahasiswa,
pengalaman, praktik
baru, aturan bisnis dan
heuristik
2.1.3 E-learning di Indonesia
E-learning memiliki 4 pilar pendukung yaitu infrasturktur, content,
sumber daya manusia, dan policy yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Pilar Pendukung E-learning(Prabowo, 2006)
Di Indonesia, E-learning dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok
pengguna yang berbeda berdasarkan kebutuhannya, objektivitasnya, dan
12
motif dalam mengadopsi teknologi. Ketiga kelompok tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pendidikan formal, seperti penggunakan e-learning yang dibahas
dalam penelitian ini.
2. Pendidikan non formal, dimana pemerintah tidak mempunyai
regulasi dalam jenis pendidikan ini. Selain itu, pasar dari
pendidikan non formal didominasi oleh kurikulum paket yang
disediakan vendor dari luar negri.
3. Pelatihan perusahaan, yeng merupakan bidang area yang paling
memajukan pembangunan dari e-learning
2.1.4 Manfaat E-learning
John Chambers menyatakan dalam pertumbuhan terbesar di
internetdan suatu daerah yang akan terbukti menjadi salah satu agen
perubahanterbesar adalah e-learning(Alsultanny, 2006).
Menurut Rosenberg (2001) e-learning memberikan sejumlah
manfaat yang dapat diuraikan sebagai berikut (Alsultanny, 2006):
1. Informasi yang didapatkan konsisten dan bisa di kustomisasi sesuai
kebutuhan.
2. Isi dari konten e-learning dapat di-update secara cepat dan akurat
serta dapat didistribusikan dengan cepat juga ke pengguna.
3. Metode e-learning membuat pengguna dapat melakukan
pembelajaran kapan dan dimanapun yang mereka inginkan.
13
4. Bersifat universality yang artinya e-learning dapat membuat setiap
pengguna yang menggunakannya mendapatkan konten
pembelajaran yang sama pada saat yang bersamaan.
5. Sifat dari e-learning yang scalability karena dapat dikembangkan
dengan usaha dan biaya yang kecil.
6. E-learning membantu pengguna untuk membentuk suatu komuniti
yang dapat digunakan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman
dan menjadi motivator dalam proses pembelajaran.
7. Biaya yang cukup rendah karena dapat mengurangi biaya
perjalanan, waktu, dan ruangan tempat pembelajaran secara
signifikan.
Selain itu, dia juga menjelaskan tentang pertimbangan infrastruktur
dan teknologi yang mendukung keberhasilan suatu e-learning.Banyak
sistem e-learning yang gagal karena kurangnya akses, kecepatan dari
internet maupun platform yang digunakan.
2.1.5 Critical Success Factor (CSF) dari E-learning
CSF menurut Freund (1988) adalah segala sesuatu yang harus bisa
dilakukan oleh sebuah perusahaan jika mereka ingin mencapai kesuksesan
(M.Selim, 2005).
Faktor kritis penentu kesuksesan e-learning yang diidentifikasikan
oleh Hammer & Champy (2001) yaitu biaya, kualitas, pelayanan, dan
kecepatan. Dari segi biaya e-learning akan menghemat banyak biaya
operasional dibandingkan metode tradisional. Kualitas akan ditentukan
14
dari bagaimana mengevaluasi konten serta peningkatan performa. Untuk
sisi pelayanan, hal ini ditunjukan dari akses yang mudah ke dalam konten
e-learning sedangkan kecepatan akan ditentukan dengan seberapa cepat
perubahan kebutuhan yang ada dapat diatasi serta kecepatan aksesnya.
Rossenberg juga menyarankan untuk menentukan stakeholder yang
berkaitan untuk pengembangan strategi, penganalisisan lingkungan bisnis
saat ini, serta penilaian batasan dari tujuan yang ada(Sanderson, 2002).
Papp (2000) mengatakan bahwa intellectual property, kesesuaian
course untuk lingkungan e-learning, pembuatan e-learning course, isi dari
e-learning course, pemeliharan course, platform dari e-learning, dan
pengukuran kesuksesan dari e-learning course adalah CSF dari e-learning
Benigo dan Tretin (2000) mengatakan bahwa diperlukan sebuah
framework untuk mengevaluasi e-learning, yang fokus pada 2 aspek yaitu
evaluasi proses pembelajaran dan evaluasi performa dari pengguna dimana
faktor yang perlu diperhatikan adalah karakteristik pengguna, interaksi
pengguna, dukungan yang efektif, materi dari pembelajaran, lingkungan
pembelajaran serta teknologi informasi.
Volery dan Lord (2000) melakukan survey terhadap 47 pelajar
yang menggunakan e-learning di sebuah universitas di Australia dan dia
mendefinisikan 3 CFS dalam e-learning yaitu
a. Teknologi
Dari segi kemudahan dalam pengaksesan dan navigasi yang
dimiliki serta perancangan interface dan interaksinya
b. Instruktur
15
Dari segi perilaku pengguna, kompetensi teknis dari instruktur,
serta interaksi di kelas
c. Teknologi terdahulu yang digunakan dari sisi pengguna
Soong, Chan, Chua, dan Loh (2001) menggunakan multiple case
study dan menyimpulkan bahwa faktor manusia, kompetensi teknik
antara instruktur dan pengguna, mindset tentang e-learning dari
instruktur dan pengguna, tingkat kolaborasi dan infrastruktur
teknologi informasi.
Dillon dan Guawardena (1995) serta Leidner dan Jarvenpaa (1993)
mengatakan bahwa teknologi, karakteristik instruktur dan pengguna
adalah CSF dalam sebuah e-learning.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Selim pada tahun 2005 CSF
dalam e-learning terdiri dari karakteristik instruktur, karakteristik
pengguna, teknologi, dan dukungan (M.Selim, 2005).
2.1.6 Karakteristik dan Fitur E-learning
Asimina, and Eleni (2005) mengemukakan bahwa sebuah e-
learning yang efektif memiliki beberapa kriteria. Kriteria tersebut antara
lain adalah sebagai berikut (Steen, 2008):
a. Successful in reaching learning objectives
b. Easy accessibility
c. Consistent and accurate message
d. Easy to use
e. Entertaining
16
f. Memorable
g. Relevant
h. Reduced training costs
Dengan kombinasi dari kriteria tersebut, sistem e-learning yang
ada akan memberikan motivasi kepada pengguna e-learning dan
membantu mereka untuk mengerti konsep, teknik, dan pesoalan yang ada
terdapat pada suatu mata kuliah dalam metode e-learning tersebut (Bajwa,
Farooq, & Khan, 2010)
Sebuah istem e-learning yang baik memiliki beberapa fitur antara
lain sebagai berikut (iadt, 2007):
1. Fitur untuk mendukung komunikasi.
Komunikasi dengan menggunakan VLE harus dapat menjadi media
antara mahasiswa dengan pengajar, sesama mahasiswa dan sesama
pengajar.Tools yang dapat digunakan untuk mendukung komunikasi
adalah
• Konferensi yang digunakan untuk memfasilitasi debat dan
diskusi
• Calendar, diaries, dan timetables yang membantu menjadi
gambaran kegiatan pengguna, membantu mengingatkan
deadline pengumpulan tugas, dan kegiatan penting lainnya
yang dapat dihubungkan sesuai dengan course material.
• Adanya email yang dapat membantu siswa berkominikasi
tentang kegiatan pembelajaran mereka.
2. Fitur yang mendukung sistem penilaian
17
• Self test yang dapat digunakan untuk mendapatkan konsep
pembelajaran secara cepat.
• Quiz yang dapat digunakan untuk menilai bagian penting
pembelajaran serta feed back dari pengajar terhadap quiz
tersebut.
• Pengiriman tugas secara eletronik serta penilaian terhadap
tugas tersebut. Dengan sistem seperti ini pengajar dapat
mengetahui tanggal submit dan mahasiswa dapat mengetahui
nilai mereka.
3. Fitur yang mendukung kolaborasi
• Fitur yang memungkinkan mahasiswa dan dosen melakukan
sharing data yang digunakan untuk membantu proses
pembelajaran.
• Whiteboard software yang dapat digunakan pengguna untuk
memvisualisasikan ide dan konsep mereka dan berdiskusi
secara real time dengan fasilitas chatting.
4. Fitur yang mendukung kegiatan lainnya
• Student tracking tools yang memungkinkan pengajar untuk
dapat melacak kegiatan mahasiswa dalam aplikasi e-learning
serta keaktifan mahasiswa tersebut.
• Fitur yang memungkinkan aplikasi e-learning dihubungkan
dengan media pembelajaran lain atau perpustakaan online.
18
2.2 Interaksi Manusia dan Komputer
Interaksi Manusia dan Komputer merupakan sistem yang interaksi
yang mampu menjembati antara user dengan komputer. Elemen-elemen
yang terdapat didalam userinterface antara lain seperti menu, window,
keyboard, mouse dan suara-suara komputer(Daztbaz, 2003).
2.2.1 User Interface
Pengguna aplikasi dapat dikelompokan kedalam 3 bagian yang
spesifik :
a. Novice adalah user awam yang tidak memiliki pengenalan yang
cukup terhadap sistem dan hanya mampu mengoperasikan
komputer dalam secara umum.
b. Knowledge, intermitent user adalah user yang memiliki pengenalan
semantic yang cukup terhadap sistem dan aplikasi yang digunakan
namun kurang mengeksplorasi lebih jauh terhadap fitur yang
disediakan oleh aplikasi.
c. Knowledge, frequent user adalah user yang tidak hanya menguasai
sistem namun juga mampu mengembangkan cara-cara yang kreatif
dalam menggunakan aplikasi dan mampu mengajarkannya kepada
user novice karena pemakaian dan pengenalan yang tinggi terhadap
sistem.
19
2.2.2 Perancangan User Interface
Dalam merancang sebuah user interface terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan. Vaughan(Vaughan, 2008)memberikan beberapa
saran yang dapat digunakan dalam merancang sebuah user interface yaitu
sebagai berikut :
a. Kekontrasan yang terlihat jelas, misalnya besar atau kecil ukuran
font dipakai, terang atau gelap warna yang digunakan, dan
sebagainya.
b. Layar yang bersih dan sederhana dengan banyak area putih.
c. Penarik perhatian seperti drop caps atau sebuah objek berwarna
terang dengan layar abu-abu.
d. Bayangan dalam berbagai perbedaan.
e. Gradien.
f. Grafik yang dibalik untuk menekankan teks penting atau gambar.
g. Objek berbayang dan teks dalam dua dimensi dan tiga dimensi.
Merancang pun tidak terlepas dari kesalahan, karena itu beberapa
kesalahan yang perlu dihindari adalah :
a. Warna yang saling bertabrakan.
b. Layar sibuk karena terlalu banyak content.
c. Menggunakan gambar dengan banyak warna atau tingkat
kecemerlangan yang kontras sebagai latar belakang.
d. Pengulangan animasi yang tidak pada tempatnya.
e. Memiliki pola yang terlalu ramai.
20
f. Suara yang muncul ketika sebuah tombol ditekan.
g. Kata-kata quote yang tidak pada tempatnya.
h. Butuh menekan lebih dari dari dua tombol untuk keluar.
i. Terlalu banyak tulisan.
j. Terlalu banyak elemen kata benda yang dimunculkan dengan
cepat.
5 (lima) kriteria program yang userfriendly(Shneiderman &
Plaisant, 2010)adalah sebagai berikut:
a. Waktu belajar yang tidak terlalu lama
Hal ini berarti berapa lama waktu yang diperlukan oleh pengguna
untuk dapat mempelajari cara menggunakan perintah-perintah
yang berhubungan dengan suatu pekerjaan dalam web.
b. Kecepatan penyajian informasi yang tepat
Hal ini berarti berapa lama waktu yang diperlukan dalam
menjalankan suatu task.
c. Tingkat kesalahan penggunaan yang rendah
Hal ini berarti berapa banyak dan kesalahan apa saja yang
dilakukan oleh pengguna dalam menjalankan suatu task.
d. Penghafalan melampaui jangka waktu
Hal ini berarti berapa lama pengguna dapat mempertahankan
pengetahuan mereka setelah jangka waktu tertentu. Retensi dapat
dihubungkan dengan waktu belajar dan frekuensi pengguna juga
memegang perna penting dalam hal ini.
e. Kepuasan pribadi
21
Hal ini berarti apakah pengguna sering menggunakan berbagai
aspen dari sistem. Jawabannya dapat diperoleh dari wawancara
atau survei yang digunakan untuk memuat skala kepuasan
pengguna.
2.2.3 Delapan Aturan Emas Perancangan
Dalam merancang sistem interaksi manusia dan komputer yang
baik maka harus diperhatikan aturan-aturan yang biasanya disebut 8 aturan
emas (Shneiderman & Plaisant, 2010) antara lain sebagai berikut:
a. Strive for consistency (harus konsisten)
Urutan yang konsisten dari aksi-aksi yang seharusnya digunakan
pada situasi-situasi yang mirip. Terminologi yang sama seharusnya
digunakan dalam menu, prompt, dan helpscreen. Perintah
konsisten yang seharusnya dijalankan secara menyeluruh kecuali
seperti tidak adanya pengulangan password atau konfirmasi untuk
perintah deleite atau hapus yang harus dapat dipahami dan terbatas
jumlahnya.
b. Enablefrequent user to user shortcuts (memungkinkan pengguna
untuk rutin dalam menggunakan shortcut)
Para pengguna biasanya ingin mengurangi jumlah interaksi-
interaksi dan meningkatan langkah dari interaksi, singkatan-
singkatan, kunci-kunci khusus, dan perintah-perintah tersembunyi.
c. Offer informative feedback (memberikan umpan balik yang
informatif)
22
Bagi setiap aksi dari operator seharusnya terdapat sistem yang
bolak balik dalam artian terdapat umpan balik untuk pengguna.
Bagi aksi rutin dan aksi tambahan, tanggapan dapat sederhada,
sedangkan bagi aksi-aksi yang tidak rutin dan utama seharusnya
umpan balik lebih kuat. Presentasi visual dari objek-objek penting
menyediakan suatu lingkungan yang sesuai untuk menunjukan
perubahan secara eksplisit.
d. Design dialogs to yield closure (merancang dialog untuk
menghasilkan keadaan akhir)
Urutan aksi dapat diorganisasikan menurut kelompok yang terdiri
dari awal, tengah dan akhir. Umpan balik yang informatif kepada
pengguna ketika penyelesaian sekelompok aksi yang dapat
memberikan kepuasan bahwa sistem telah menyelesaikan
keinginan mereka daengan baik. Hal ini memberikan kesan yang
baik kepada pengguna sehingga mereka akan berusaha
mempertahankaan penggunaan sistem tersebut.
e. Offer simple error handling ( menyediakan penanggulan error yang
sederhana)
Jika suatu kesalahan dibuat, sebaiknya ssitem mengetahui
kesalahan dan membuatnya menjadi mudah dengan mekanisme
yang dapat dipahami dalam mengatasi kesalahan. Pengguna
sebaiknya tidak mengetik kembali seluruh perintah tetapi lebih
baik hanya membenarkan bagian yang salah.
23
f. Permit easy reversal of actions ( mengijinkan pengembalian aksi
atau undo yang mudah)
Sebanyak mungkin dari aksi-aksi yang ada sebaiknya dapat
dikembalikan ke awal. Fitur ini mengurangi ketidaknyamanan
karena pengguna mengetahui bahwa kesalahan dapat diulang. Hal
ini memberanikan penjelajahan terhadap pilihan-pilihan yang tidak
dikenal. Kesatuan dari kemampuan untuk pengembalian mungkin
sebagai sebuah aksi sendiri, sebuah data entry, atau sebuah
kumpulan utuh dari aksi-aksi.
g. Support internal locus of control ( mendukung pengengalian secara
internal)
Operator-operator berpengalaman memiliki keyakinan bahwa
mereka bertanggung jawab terhadap sistem dan sistem menanggapi
terhadap aksi mereka. Aksi yang tidak umum, urutan data entry
yang tidak sesuai, kesulitan dalam memperoleh informasi yang
dibutuhkan, dan ketidakmampuan untuk menghasilkan aksi yang
meyakinkan semua ketidaknyamanan dan ketidakpuasan.
h. Reduce short term memory load ( mengurangi beban ingatan
jangka pendek)
Keterbatasan dari pemrosesan informasi manusia pada memori
jangka pendek membuthkan tampilan-tampilan yang dapat dijaga
dengan mudah, tampilan halaman yang banyak dapat digabung,
frekuensi pergerakan window dapat dikurangi dan waktu pelatihan
yang cukup dapat dibagikan untuk codes, mnemonics, dan urutan
24
dari aksi-aksi. Di saat yang tepat, akses online untuk form-form
sintaks perintah, singkatan-singkatan, dan kode-kode, dan
informasi lainnya sebaiknya disediakan.
2.3 Studi Kasus
2.3.1 Pengertian Studi Kasus
Studi kasus adalah pengujian secara rinci terhadap satu latar atau
satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu
peristiwa tertentu (Bodgan & Biklen, 2006)
Menurut Surachmad (1982) yang membatasi pendekatan studi
kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu
kasus secara intensif dan rinci. Batasan Studi kasus meliputi (Bodgan &
Biklen, 2006)
a. Sasaran penelitian dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan
dokumen.
b. Sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatau
totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing
dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada
diantara variabel-variabelnya.
2.3.2 Keuntungan Studi Kasus
Dengan menggunakan studi kasus, memungkinkan peneliti untuk
membandingkan sejumlah pendekatan yang berbeda-beda terhadap suatu
25
masalah dengan cukup rinci untuk mengambil pelajaran yang dapat
diterapkan secara umum.
2.3.3 Kelemahan Studi Kasus
Studi kasus sering digunakan untuk memperjelas proses yang
rumit, hasilnya, dan apa yang terjadi sebelumnya. Cara ini dapat
merupakan proses yang banyak menyita waktu, terutama jika mengamati
perubahan organisasi, penelitian bisa berlangsung berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Kelemahan dari studi kasus ialah bahwa bagian lain dari
dunia tidak menunggu hasil penelitian dan sehingga ketika hasil studi
kasus itu muncul, sering sudah ditinggalkan oleh keadaan.
2.3.4 Jenis-Jenis Studi Kasus
Studi kasus dapat dibagi menjadi beberapa jenis antara lain adalah
sebagai berikut (Bodgan & Biklen, 2006) :
a) Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi, dipusatkan pada
perhatian organisasi tertentu dan dalam kurun waktu tertentu,
dengan rnenelusuri perkembangan organisasinya. Studi ini sering
kurang memungkinkan untuk diselenggarakan, karena sumbernya
kurang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.
b) Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan
datanya melalui observasi peran-serta atau pelibatan
(participantobservation), sedangkan fokus studinya pada suatu
organisasi tertentu. Contoh bagian-bagian organisasi yang menjadi
26
fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam
sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
c) Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu
orang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan
kepemilikan sejarah yang khas. Wawancara sejarah hidup biasanya
mengungkap konsep karier, pengabdian hidup seseorang, dari lahir
hingga sekarang. masa remaja, sekolah. topik persahabatan dan
topik tertentu lainnya.
d) Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus
kemasyarakatan (community study) yang dipusatkan pada suatu
lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar (komunitas),
bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus
organisasi dan studi kasus observasi.
e) Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba
menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu.
Misalnya terjadinya pengeluaran siswa pada sekolah tertentu, maka
haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang terkait,
mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala
sekolah, guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
f) Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada
unit organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang
kelas atau suatu kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada
anak-anak yang sedang belajar menggambar.
27
2.3.5 Langkah-Langkah Penelitian Studi Kasus
Dalam melakukan studi kasus, ada beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan antara lain adalah langkah-langkah dalam penulisan studi
kasus. Dimana langkah-langkahnya adalah sebagai berikut(Bodgan &
Biklen, 2006):
a) Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan
secara bertujuan (purposive) dan bukan secara rambang. Kasus
dapat dipilih oleh peneliti dengan menjadikan objek orang,
lingkungan, program, proses, dan masyarakat atau unit sosial.
Ukuran dan kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal,
sehingga dapat diselesaikan dengan batas waktu dan sumber-
sumber yang tersedia.
b) Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalarn pengumpulan
data, tetapi yang lebih dipakai dalam penelitian kasus adalah
observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti sebagai
instrumen penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data
dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat
mengumpulkan data yang berbeda secara serentak.
c) Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat mulai
mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi
unit-unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses
mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna
menemukan pola umum data. Data dapat diorganisasi secara
kronologis, kategori atau dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis
28
data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan
data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai dan
lapangan.
d) Perbaikan (refinement): meskipun semua data telah terkumpul,
dalam pendekatan studi kasus hendaknya dilakukan
penyempurnaan atau penguatan (reinforcement) data baru terhadap
kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru
mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali
harus membuat kategori baru, data baru tidak bisa dikelompokkan
ke dalam kategori yang sudah ada.
e) Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif,
mudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan
sosial secara jelas, sehingga rnernudahkan pembaca untuk
mernahami seluruh informasi penting. Laporan diharapkan dapat
membawa pembaca ke dalam situasi kasus kehidupan seseorang
atau kelompok.
2.3.6 Struktur Penulisan Laporan Studi Kasus
Untuk dapat membuat penulisan laporan studi kasus yang baik
diperlukan struktur sebagai berikut(Yin, 2003):
1. Struktur analisis linier, uraian sub-sub topiknya mencakup isu/
persoalan yang diteliti, temuan dikumpulkan dan dianalisa
2. Struktur komparatif, membandingkan antara 2 atau lebih kasus
dengan menggunakan standar yang sama
29
3. Struktur kronologis, menyajikan berdasarkan waktu atau kejadian
secara berurutan
4. Struktur pengembangan teori, untuk mengembangkan teori
sehingga harus mengikuti alur logika pengembangan teori.
5. Struktur ketegangan, menyajikan inti penemuan di tengah sampai
akhir laporan
6. Struktur tidak berurutan, tidak ada standar, yang dipentingkan
disini pengungkapan data secara menyeluruh.
2.3.7 Ciri-Ciri Studi Kasus Yang Baik
Ciri-ciri studi kasus yang baik (Yin, 2003)adalah studi yang patut
untuk dicontoh dan bersifat signifikan, lengkap menunjukan bukti-bukti
yang memadai, mempertimbangkan perspektif alternatif, dan disusun
dalam gaya yang menarik.
Orientasi teoritik dan pemilihan pokok studi kasus dalam penelitian
kualitatif bukanlah perkara yang mudah, tetapi tanpa memperdulikan
kedua hal tersebut akan cukup menyulitkan bagi peneliti yang akan turun
ke lapangan. Dengan memahami orientasi teoritik dan jenis studi yang
akan dipilih maka setidaknya seorang peneliti akan mempersiapkan diri
sebelum terjun dalam kancah penelitian. Di dalam penyusunan desain
penelitian kedua hal tersebut hendaknya sudah dapat ditentukan, meskipun
masih bersifat sementara.Untuk dapat mengatasi kesulitan dalam
menentukan orientasi teoritik pemilihan pokok studi, terutama studi kasus.
30
Berikut ini adalah beberapa saran yang dapat digunakan untuk
mengatasi kesulitan tersebut (Lincoln & Guba, 2000):
1. Bagi peneliti pemula hendaknya banyak membaca sebanyak
mungkin laporan-laporan kasus yang ada sehingga mereka dapat
mempelajari bagaiman para peneliti menyusunnya.
2. Mereka hendaknya bergabung dengan para penulis kasus yang baik
untuk memahami bagaiman mereka bekerja.
3. Mereka harus berlatih harus menulis laporan kasus.
4. Mereka harus meminta kritik yang positif dan para ahli.
2.3.8 Skala Linkert
Skala linkert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan
persepsi seseorang atau kelompok.Jawaban penelitian dengan skala linkert
mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Contohnya
adalah sebagai berikut:
Contoh pertama :
a. Selalu
b. Sering
c. Kadang-kadang
d. Tidak Pernah
31
Contoh kedua:
a. Sangat Baik
b. Baik
c. Tidak Baik
d. Sangat tidak Baik
Contoh penggunaan skala linkertadalah sebagai berikut:
1. Pencahayaan alam tiap ruangan
a. Sangat Baik
b. Baik
c. Tidak Baik
d. Sangat Tidak Baik
2. Pencahayaan buatan/listrik tiap ruangan
a. Sangat Baik
b. Baik
c. Tidak Baik
d. Sangat Tidak Baik
3. Warna lantai sehingga tidak menimbulkan pantulan cahaya yang
dapat mengganggu pegawai
e. Sangat Baik
f. Baik
g. Tidak Baik
h. Sangat Tidak Baik
32
Dari pertanyaan tersebut kita dapat melakukan analisis setiap
pertanyaan dengan menghitung berapa banyak repsonden yang menjawab
sangat baik, baik, tidak baik, dan sangat tidak baik. Misalnya, untuk
pertanyaan pertama ada 6 orang menjawab sangat baik, 2 orang baik, 1
orang tidak baik, dan 1 orang sangat tidak baik. Setiap jawaban sangat
baik akan mendapat nilai 4, baik mendapata point 3, tidak baik mendapat
point 2, sangat tidak baik mendapat point 1. Sehingga hasil perhitungan
nya adalah 6*4 + 2*3 + 1*2 + 1*1 yang akan menghasilkan nilai 33. Dari
nilai tersebut dapat dibuat rata-rata nilai yang dapat dilihat pada Gambar
2.2.
Gambar 2.2. Nilai dari skala linkert
Dari contoh tersebut berarti dapat dikatakan bahwa rata-rata
responden menganggap pencahayaan alam tiap ruangan (pertanyaan no
1) adalah sangat baik.
Top Related