5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pengertian Kolom Komposit Kolom adalah komponen struktur vertikal yang menyalurkan beban tekan aksial
dengan atau tanpa momen. Dimensi penampang kolom umumnya lebih kecil
dibandingkan dengan tingginya, sedangkan menurut Jensen kolom adalah suatu
batang struktur yang mengalami beban diujung batang dimana garis kerja sejajar
dengan batang tersebut dan umumnya panjangnya 10 kali atau lebih dari
dimensi lateral terkecil. Bila garis kerja beban ujung berimpit dengan sumbu
kolom, maka kolom tersebut dibebani secara aksial kosentris. Bila garis kerja
beban ujung tidak berimpit, maka kolom tersebut dibebani secara eksentris.
Kolom komposit baja-beton adalah kolom yang terbentuk dari material baja dan
beton yang bekerja bersama-sama dalam menahan beban tekan aksial maupun beban
lateral. Pada awal ditemukan, kolom komposit ini direncanakan sebagai konstruksi
baja semata-mata dimana beton hanya berfungsi sebagai selubung pelindung
terhadap bahaya kebakaran dan karat. Hal ini merupakan suatu kemunduran
terhadap perencanaan yang ekonomis, dimana bangunan semakin berat dan
akibatnya biaya pondasi semakin mahal. Pada akhirya, dengan adanya selubung
beton akan memberikan sumbangan yang positif, dimana efek kelangsingan dari
kolom menjadi berkurang, sehingga bahaya tekuk dapat dikurangi juga.
Spesifikasi AISC-LRFD mendefinisikan kolom komposit sebagai kolom baja
yang dibuat dengan cara dirol yang diselimuti dengan beton struktural atau pipa
atau tabung baja yang diisi dengan beton struktural, sedangkan peraturan ACI
mendefenisikan kolom komposit sebagai komponen tekan beton yang diperkuat
secara longitudinal dengan bentuk penampang struktural, pipa atau tabung dengan
atau tanpa tulangan longitudinal. Spesifikasi AISC memberi batasan yang lebih
ketat dibandingkan peraturan ACI, dimana luas penampang baja, pipa atau tabung
minimal 4 persen dari luas penampang kotor kolom, jika dibawah 4 % maka kolom
6
tersebut masuk dalam klasifikasi kolom beton bertulang dan harus direncanakan
sesuai peraturan ACI.
II.2. Karakteristik Material Beton Mutu Tinggi
Beton mutu tinggi sering didefinisikan sebagai beton yang mempunyai kepadatan
dan ketegaran retak yang tinggi. Definisi kuat tekan beton mutu tinggi disetiap
negara berbeda satu sama lain (Diniz & Frangopol (1997)). Di Australia beton
mutu tinggi adalah beton beton yang mempunyai kuat tekan 50 Mpa ke atas,
sedangkan di Eropa beton mutu tinggi mempunyai kuat beton di atas 60 Mpa..
Beton mutu tinggi dapat dibuat dengan menggunakan bahan-bahan yang hampir
sama dengan beton biasa, tetapi dengan memilih mutu bahan dasar yang baik
(pasir, agregat) ditambah dengan bahan aditif tertentu, seperti,fly ash, silica fume
atau super plastisizer, atau bahan-bahan serat lainnya. Penelitian yang diadakan
oleh Munaf dan kawan-kawan berhasil membuat beton dengan kekuatan sebesar
85 MPa dengan jumlah optimum fly ash 15 % dan faktor air semen w/c 0,28.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fly ash berpengaruh terhadap proses
pencapaian kekuatan dan juga disimpulkan untuk mencapai kekuatan minimal
beton mutu tinggi diperlukan kekuatan batu sebesar 700 kg/cm 2. Definisi beton
mutu tinggi yang terbuat dari bahan-bahan yang hampir sama dengan beton biasa
berdasarkan peraturan ACI adalah beton yang mempunyai batas kuat tekan
sebesar 41 MPa.
Beton mutu tinggi mempunyai prilaku tegangan–regangan terhadap beban
unuaksial yang berbeda jika dibandingkan dengan beton mutu normal. Beton
mutu tinggi menunjukkan perilaku yang lebih getas [Cusson & Paultre(1993),
Ghose (1997), Razvi & Saatcioglu (1999)]. Pada kurva tegangan-regangan,
setelah respon puncak terjadi penurunan tegangan yang relatif lebih cepat pada
beton mutu tinggi dibandingkan dengan beton mutu normal, yang mengakibatkan
beton mutu tinggi mempunyai daktilitas yang lebih rendah.
Perbedaan perilaku tegangan-regangan ini disebabkan oleh perbedaan pada
mekanisme terbentuknya retak. Pada beton mutu normal, retak terjadi pada daerah
7
transisi antara agregat dan pasta, yang menghasilkan permukaan retakan yang
lebih kasar. Permukaan retakan yang kasar ini akan memberikan mekanisme
pelepasan energi secara bertahap selama terjadi keruntuhan. Inilah yang
menyebabkan beton mutu normal lebih daktai, yang terlihat pada gambar II.1,
dimana penurunan tegangan lebih landai dibandingkan dengan penurunan
tegangan beton mutu tinggi.
Pada beton mutu tinggi, retakan dan penjalarannya terjadi pada agregat, yang
menghasilkan permukaan retakan yang relatif lebih halus, sehingga gesekan
antara permukaan retakan menjadi lebih kecil, yang tidak memungkinkan
terjadinya mekanisme untuk melepaskan energi secara bertahap selam terjadi
keruntuhan. Terjadinya retakan agregat ini karena kekuatan ikatan antara unsur-
unsur penyusun beton mutu tinggi relatif sama dengan agregat dan kekutan pasta
semennya, sehingga proses penjalaran retakan akan melalui lintasan yang
membutuhkan energi yang terendah.
Gbr. II.1. Kurva tegangan-regangan beton mutu tinggi dan mutu normal [collins & Mitchell (1991)]
8
Gambar 11.1 memperlihatkan perilaku beton mutu tinggi yang mempunyai grafik
tegangan-regangan yang lebih tinier ebelum puncak dibandingkan dengan beton
normal. Pada beton normal, setelah regangan mencapai 0,3-0,4 dari regangan
puncaknya, perilaku tegangan-regangannya mulai non-linier. Ini disebabkan oleh
mulai terbentuknya retakan pada daerah antara pasta semen dengan agregat. Pada
beton mutu tinggi grafik tegangan-regangan masih linear pada regangan yang
lebih besar dan modulus elastisitas pada beton mutu tinggi juga lebih tinggi
daripada modulus elastisitas beton mutu normal. Sedangkan Poisson ratio pada
beton mutu tinggi lebih rendah daripada Poisson ratio beton mutu normal. Mehta
dan Monteiro (1993) menjelaskan bahwa kekuatan ikatan antar mortar, dan antara
mortar dengan agregat relatif hampir sama jika dibandingkan dengan kekuatan
agregat. Peningkatan kekuatan antar mortar, dan antara mortar dengan agregat ini
akan menghasilkan kekuatan puncak yang lebih tinggi dibandingkan dengan beton
mutu normal.
Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino dalam penelitiannya mencatat bahwa
perlu kehati-hatian ketika beton mutu tinggi dikombinasikan dengan tabung baja
mutu normal, sebab penggunaan beton mutu tinggi dapat mengurangi kapasitas
deformasi kolom CFST. Kapasitas deformasi kolom CFST yang menggunakan
beton mutu tinggi dapat ditingkatkan dengan menggunakan tabung baja mutu
tinggi atau penampang tabung yang kompak.
II.3. Karakteristik Material Baja
Untuk mengetahui sifat-sifat mekanis material baja, dilakukan uji tarik dari batang
baja sampai batang patah. Tarikan total pada batang selama pengujian, diukur
dengan menggunakan skala yang merupakan bagian dari mesin. Dari pengukuran
ini tegangan dan regangan satuan yang terlihat, dihitung dan kemudian diplot
sehingga menghasilkan diagram tegangan-regangan seperti yang ditunjukkan pada
Gbr. II.2. Pada kurva terdapat 3 bagian utama, yaitu bagian elastis, plastis dan
strain hardening.
9
Pada bagian elastis, regangan akan kembali ke nilai nol jika beban dilepas, dengan
kata lain batang akan kembali ke panjang awal setelah beban dilepas. Pada daerah
elastis akan berlaku hukum Hooke, karena tegangan yang diperoleh sebanding
dengan regangan yang didapat. Sedangkan nilai Modulus Elastisitas baja Es
merupakan nilai tangen pada bagian kurva elastis, yang pada umumnya
mempunyai nilai sebesar 200.000 sampai 210.000 MPa.
Pada bagian daerah plastis, regangan tidak akan kembali ke nilai nol jika beban
dilepas, dengan kata lain batang tidak akan kembali ke panjang awal setelah beban
dilepas. Kurva pada daerah plastis berbentuk non linear dan pada daerah ini akan
terjadi tegangan leleh baja yf yaitu tegangan minimum yang terjadi pada saat baja
akan mengalami pertambahan regangan tanpa adanya penambahan tegangan.
Bagian yang terakhir adalah daerah strain hardening. Bagian ini merupakan
bagian dari daerah plastis, dimana regangan tidak akan kembali ke nilai nol
setelah beban dilepas. Tetapi tegangan bertambah lagi seiring dengan
bertambahnya regangan sampai mencapai tegangan batas (maksimum) uf .
Gbr.II.2 Hubungan tegangan-regangan baja lunak dan baja keras
10
Pada gbr II.2. diatas ada dua jenis tegangan, yaitu tegangan satuan sesungguhnya
dan tegangan satuan yang terlihat. Kurva tegangan satuan yang terlihat (garis
putus-putus) didapat apabila tegangan dihitung berdasarkan luas penampang
batang tarik sesungguhnya ketika di uji tarik, sedangkan kurva tegangan satuan
sesungguhnya dihitung berdasarkan luas potongan penampang awal batang
sebelum di uji tarik. Untuk baja keras, kekuatan lelehnya lebih tinggi dibanding
baja lunak tetapi pada umumnya lebih getas dibanding baja lunak sehingga
keruntuhannya akan terjadi secara tiba-tiba.
II.4. Model Konstitutif
Salah satu pendekatan yang umum digunakan untuk mengetahui respon
penampang kolom CFST adalah dengan menggunakan model penampang yang
dibagi-bagi menjadi beberapa lapis yang tipis, dan tegangan yang terjadi ditiap
lapis pada potongan penampang kolom digabungkan untuk mendapatkan resultan
tegangan seperti gaya dan momen. Ada beberapa asumsi yang digunakan pada
pendekatan ini, yaitu
1. Penampang datar tetap datar, sebelum dan setelah melentur. Anggapan ini
dianggap benar bahkan hingga sampai ke daerah plastis.
2. Gaya geser dan torsi diabaikan.
3. Tidak terjadi slip antara material beton dan baja.
4. Hubungan konstitutif beton yang digunakan dapat berbentuk uniaksial atau
multiaksial yang memperhitungkan pengaruh kekangan tabung baja
terhadap peningkatan kuat tekan beton.
Dengan merujuk pada asumsi penampang datar tetap datar, dan hubungan
konstitutif material yang digunakan, maka tegangan-tegangan yang terjadi pada
tiap lapis dapat diketahui. Dengan demikian keakuratan model konstitutif material
beton dan tabung baja yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap
keakuratan analisis penampang kolom CFST secara keseluruhan.
11
II.4.1. Model Konstitutif Beton
Hajjar dan Gourley dalam penelitiannya terhadap kolom CFST penampang
persegi, mengusulkan model konstitutif beton yang terkekang dalam tabung baja
yang mengalami beban tekan uniaksial merupakan perpaduan dari model yang
diusulkan oleh Popovics (1973) dan Tomii-Sakino (1979). Untuk daerah kurva
yang menanjak (ascending branch) digunakan model popovics untuk beton mutu
normal dan beton mutu tinggi yang tidak terkekang (unconfined), sedangkan
daerah sisanya digunakan model yang diusulkan oleh Tomii dan Sakino, dimana
Tomii dan Sakino melaporkan bahwa tabung baja persegi yang digunakan pada
waktu itu diasumsikan hanya memberi pengaruh kekangan pada tercapainya
daktilitas beton yang lebih besar sedangkan peningkatan kekuatan beton tidak
terjadi. Untuk kurva tegangan-regangan tarik digunakan model yang diusulkan
oleh Vecchio dan Collins (1986). Gbr.II.3. merupakan bentuk dasar kurva
tegangan regangan uniaxial untuk beberapa kombinasi kuat tekan beton tidak
terkekang fc' dan rasio B/t yang digunakan oleh Hajjar dan Gourley dalam
penelitiannya.
Zhang dan Shahrooz menegaskan bahwa prilaku beton yang dikekang oleh
tabung baja berbeda dengan beton yang dikekang oleh tulangan lateral seperti
yang biasa digunakan pada kolum beton bertulang. Pada kolom CFST, fungsi
tabung baja selain memberikan kekangan pada beton, juga berfungsi untuk
menahan beban aksial dan momen lentur sehingga tabung baja akan mengalami
tegangan biaksial, sedangkan fungsi utama tulangan lateral pada kolom beton
bertulang adalah memberikan tekanan lateral pada inti beton. Melihat perbedaan
prilaku yang sangat mendasar tersebut, Zhang dan Shahrooz mempertimbangkan
bahwa model-model kekangan yang telah ada untuk kolom beton bertulang
(Mander dkk, 1982 dan 1988; Sheikh dan Uzumeri, 1982; Saatcioglu dan
Razvi,1982) tidak dapat diterapkan untuk kolom CFST. Zhang dan Shahrooz
menggunakan model yang di usulkan oleh Tomii dan Sakino (1979).
12
Seperti yang terlihat dalam gbr.II.3., bagian kurva yang menaik hingga ke
regangan 0,002 berbentuk parabola yang merepresentasikan persamaan
Hognestad, sedangkan Hajjar dan Gourley mengusulkan bagian ascending branch
mengikuti persamaan Popovics. Respon pasca puncak setelah regangan beton
0,005 bergantung pada rasio B/t. Interpolasi linear dapat digunakan untuk nilai-
nilai B/t yang berbeda dari nilai B/t pada gbr.II.3. Beton di asumsikan mernpunyai
tegangan yang konstan setelah regangan 0,0 15. peningkatan kekuatan tekan beton
akibat pengaruh kekangan tabung baja diabaikan untuk tabung baja berpenampang
persegi. Model konstitutif ini berlaku untuk beton mutu normal yang dikekang
oleh tabung baja berkekutan normal.
Penelitian terhadap perilaku kolom CFST yang merupakan bagian dari tahap
kelima kerjasama program penelititan kegempaan Amerika Serikat-Jepang yang
dilakukan oleh Sakino, Nakahara, Morino dan Nishiyama mengusulkan model
matematik tegangan-regangan beton yang dikekang oleh tabung baja berdasarkan
persamaan II.7. Persamaan tegangan-regangan betom pada kolom CFST yang
diusulkan oleh Sakino dkk tersebut.telah memperhitungkan pengaruh kekangan
Tegangan-Regangan Beton
0
20
40
60
80
100
120
0 0,005 0,01 0,015 0,02 Regangan
Tega
ngan
(MPa
) fc'=100 MPa ; D/t=24
fc'=40 MPa ; D/t=40
fc'=30 MPa ; D/t=64
Gbr.II.3. Model konstitutif beton Tomii dan Sakino (1979)
13
tabung baja penampang lingkaran terhadap peningkatan kekuatan dan peningkatan
perilaku setelah kekuatan maksimum tercapai (daktilitas). Sedangkan pada kolom
CFST penampang bujursangkar, hanya diperhitungkan daktilitasnya saja. Pada
model ini juga telah diperhitungkan pengaruh skala pada kekuatan beton, sehingga
kuat tekan beton pada dimensi penampang yang lebih besar dari dimensi silinder,
akan lebih kecil dibanding kuat tekan silinder betonnya.
II.4.2. Model Konstitutif Tabung Baja
Kebanyakan model konstitutif tabung baja yang digunakan dalam analisis
penampang fiber adalah hubungan tegangan-regangan uniaksial. Beberapa studi
terdahulu menggunkan hubungan tegangan-regangan sederhana yang berbentuk
bilinier dengan atau tanpa strain hardening dan mendapatkan hasil yang hapir sam
dengan hasil pengujian (Uy dan Vrcelj )
II.5. Hubungan Konstitutif Beton
Hubungan konstitutif material beton yang digunakan pada penulisan tesis ini ada
dua model, yang pertama adalah model Tomii dan Sakino (1979) dan yang kedua
adalah model Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino (2004). Kedua model ini
nantinya akan dibandingkan untuk mendapatkan model mana yang paling
representatif digunakan dalam menganalisis perilaku penampang kolom CFST
pendek.
II.5.1. Model Konstitutif Beton Tomii dan Sakino (1979)
yang diusulkan oleh Tomii dan Sakino hanya mempertimbangkan Peningkatan
Model daktilitas beton akibat kekangan yang diberikan oleh tabung baja,
sedangkan peningkatan kekuatan beton tidak diperhitungkan. Seperti yang terlihat
pada gbr.II.3, untuk beton normal bagian kurva yang menaik hingga ke regangan
0,002 berbentuk parabola yang merepresentasikan persamaan Hognestad sebagai
berikut :
2
' 2 c cc c
o o
f f ε εε ε
⎡ ⎤⎛ ⎞⎢ ⎥= − ⎜ ⎟⎢ ⎥⎝ ⎠⎣ ⎦
(II.1)
14
Sedangkan untuk beton mutu tinggi bagian kurva yang menaik hingga ke
regangan 'cε saat tegangan puncak, mengikuti persamaan Thorenfeldt,
Tomaszewicz dan Jensen (1987) sebagai berikut :
' ' '1 ( )c c
nc c c c
f nf n
εε ε ε
=− +
(II.2)
dimana,
'
0.817
cfn = + (II.3)
'
'
1c
cc
f nE n
ε =−
(II.4)
'3320 6900c cE f= + (II.5) Setelah beton mencapai tegangan puncak '
cf , tegangan puncak tersebut
dipertahankan dengan nilai konstan hingga ke regangan beton 0,005. Respon
pasca puncak setelah regangan beton 0,005 bergantung pada rasio B/t, dimana
tegangan yang terjadi sesudahnya cpf menurun mengikuti rumus berikut :
'(1.6 0.025 )cp cBf ft
= − (II.6)
Persamaan II.6 dikembangkan oleh Tomii dan Sakino menggunakan data
pengujian dari kolom CFST penampang persegi dengan rasio B/t antara 24 dan
44. mempertahankan tegangan beton cpf dengan nilai konstan mulai dari
regangan 0,005 hingga 0,015, sedangkan penampang dengan rasio D/t lebih dari
24 mengikuti persamaan II.6. Pada rasio B/t sebesar 64, cpf menjadi nol. Semua
penampang dengan rasio B/t yang lebih besar dari 64 mengikuti bentuk kurva
yang sama dengan penampang yang memiliki rasio B/t sebesar 64. Beton
kemudian diasumsikan mempunyai tegangan yang konstan setelah regangan 0,015
tercapai.
15
II.5.2. Model Konstitutif Beton Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino
(2004)
Model ini merupakan persamaan matematika yang diturunkan dari hasil pengujian
keempat peneliti diatas (Fujimoto, Mukai, Nishiyama dan Sakino) untuk
hubungan tegangan-regangan beton terkekang yang memperhitungkan
peningkatan kekuatan dan daktilitas beton (gbr.II.5). Bentuk kurva tegangan-
regangan beton yang diusulkan merupakan fungsi dari kuat tekan beton tak
terkekang cpσ , kuat leleh baja yf dan rasio D/t untuk penampang lingkaran atau
rasio B/t untuk penampang bujursangkar. Model ini juga dapat digunakan pada
kolom tabung baja yang diisi beton mutu normal atau beton mutu tinggi dan telah
diterapkan oleh para peneliti dari Jepang tersebut pada program penelitian
kerjasama kegempaan tahap lima antara negara Amerika Serikat dan Jepang.
Hubungan tegangan-regangan beton pada model ini telah memperhitungkan
pengaruh kekangan tabung baja penampang lingkaran terhadap peningkatan
kekuatan dan peningkatan prilaku setelah kekuatan maksimum tercapai
(daktilitas). Sedangkan pada kolom CFST penampang bujursangkar, hanya
diperhitungkan daktilitasnya saja. Faktor lain yang juga telah diperhitungkan pada
model ini adalah pengaruh skala pada kekuatan beton, sehingga beton yang
dimensi penampangnya lebih besar dari dimensi silinder beton, kuat tekannya
Gbr.II.4. Model kurva tegangan regangan beton Tomii dan Sakino (1979)
16
akan lebih kecil dibanding kuat tekan silinder betonnya (persamaan II.6, II.8a dan
II.8b).
Model ini didasarkan pada ekspresi yang diusulkan oleh Sakino dan Sun (1994)
untuk beton yang dikekang oleh tabung baja dan atau sengkang konvensional
dengan mengabaikan kekuatan tarik beton. Hubungan tegangan-regangan beton
pada kolom CFST diekspresikan oleh persamaan matematika :
2
2
( 1)1 ( 2)
VX W XYV X WX+ −
=+ − +
(II.7)
Dimana untuk :
Kolom CFST penampang lingkaran Kolom CFST penampang bujursangkar
/c ccoX ε ε= /c coX ε ε= /c ccBY σ σ= /c cpY σ σ=
. /c cco ccBV E ε σ= . /c co cpV E ε σ= ( / ).re e rk kσ σ= 2½. . .( / )re h sy t bσ ρ σ=
( / ) 1 .( / )ccB cp r cpK kσ σ σ σ= = + ( / ) 1ccB cp Kσ σ = =
-31,5 17,1 x 10 2,39cp reW σ σ= − + (II.8)
( ) 36,90 3,32 x 10c cpE σ= + (II.9)
Gbr.II.5. Model kurva tegangan-regangan beton Fujimoto dkk
17
( )1 4 -30,94 x 10co cpε σ= (II.10)
1 4,7( 1), jika 1.5cco co K Kε ε = + − ≤ (II.11.a) 3,35 20( 1,5), jika >1.5cco co K Kε ε = + − (II.11.b) .ccB cp rkσ σ σ= + (II.12) cp cB Uσ σ γ= × (II.13)
0,1121,67 ,untuk penampang lingkaranU Dγ −= (II.14.a)
0,112
21,67 ,untuk penampang bujursangkarUBγπ
−⎛ ⎞= ⎜ ⎟⎝ ⎠
(II.14.b)
e
2 .0,19., k=4,1 , k 23
2sy
r
tD t
σσ = =
− (II.15)
II.6. Hubungan Konstitutif Tabung Baja dan Baja Tulangan Elastis-Plastis
Hubungan konstitutif material tabung baja dan baja tulangan yang digunakan
pada penulisan tesis ini adalah model elastis-plastis sempurna.Baja dimodelkan
dengan menggunakan kurva tegangan-regangan yang diidealisasikan seperti yang
ditunjukkan pada gbr.II.6. Kurva ini berbentuk elastis pada awalnya kemudian
diasumsikan secara sempurna berbentuk plastis. Kurva ini dianggap cocok untuk
merepresentasikan karakteristik tegangan-regangan pada baja struktural mutu
normal dan mutu tinggi. Hubungan tegangan regangan sebelum mencapai
regangan leleh yε adalah :
.s s sf E ε= (II.16)
Setelah regangan leleh yε tercapai, maka :
s yf f= (II.17)
Gbr.II.6. Model kurva tegangan-regangan baja elastis-plastis sempurna
18
II.7. Jenis-Jenis Kolom Komposit
Beberapa contoh penampang kolom komposit diperlihatkan dalam gbr II.7. Pipa
baja yang diisi beton (gbr II.7.a) atau tabung baja yang diisi beton (gbr II.7.b)
merupakan penampang kolom komposit yang paling umum digunakan. Bentuk
kaison, seringkali digunakan untuk pengeboran lumpur dan juga dapat membantu
mendukung beban (gbr II.7.c). Pada awalnya, lapisan beton digunakan sebagai
pelindung terhadap api (Gbr II.7.d&e). Bentuk penampang kolom CFST
(gbr.II.7.a,b) memberikan keunggulan dibanding penampang kolom steel
reinforced concrete SRC (gbr.II.7.d,e) yaitu lebih fleksibel dan lebih mudah
pengerjaannya. Hal ini terutama berguna dalam pembangunan konstruksi
bangunan gedung bertingkat banyak dimana dibutuhkan sifat workability yang
tinggi dan fleksibilitas ruangan terbuka untuk penggunaan bangunan secara
maksimum. Gbr II.7.f. memperlihatkan bentuk kolom komposit, dimana
penggunaan dari profil struktur untuk melindungi sudut-sudut kolom beton yang
tidak terlindung pada daerah dok dan lalu lintas. Penampang dalam gbr II.7.g.
menunjukkan suatu optimasi tahan gempa terhadap kekuatan geser dari profil
struktur dan daktilitas dari inti beton yang diberi tulangan spiral untuk
menstabilkan mode sesudah kehancuran dari tekuk lokal bentuk tersebut.
Gbr.II.7.Bentuk potongan penampang kolom komposit
19
Struktur bangunan yang menggunakan komponen kolom struktur konvensional
seperti beton bertulang, baja yang diperkuat beton SRC dan baja dapat juga
direncanakan dan dilaksanakan dengan menggunakan kolom CFST dengan segala
kelebihan yang dimilikinya dan ada saatnya penggunaan kolom CFST lebih
ekonomis dibanding jenis kolom lainnya (lihat gbr.II.8.), kolom CFST sangat
cocok diterapkan pada gedung bertingkat tinggi dimana sifat workability dan
fleksibiliry sangat dibutuhkan. Pada kolom CFST, beton yang di isi ke dalam pipa
atau tabung baja dapat menambah kekuatan, kekenyalan dan kekakuan pipa atau
tabung baja. Tipe kolom komposit CFST biasanya digunakan ketika elemen baja
struktur diperlihatkan secara kasat mata untuk alasan arsitektur, dan sifat
ekonomis terwujud dengan berkurangnya penggunaan bekisting atau cetakan
untuk beton.
Schneider dalam percobaannya terhadap kolom CFST yang dibebani secara aksial
konsentris menyimpulkan kolom CFST penampang lingkaran lebih daktail
dibanding kolom CFST dengan penampang bujursangkar atau persegi. Kolom
CFST penampang lingkaran yang diuji dalam studi eksperimentalnya
menunjukkan pengaruh strain hardening bahkan pada kolom CFST dengan
dinding tabung yang paling tipis sekalipun (D/t = 47). Tekuk lokal pada dinding
tabung penampang lingkaran terjadi pada daktilitas aksial sebesar 10 atau lebih,
Gbr.II.8. Perbandingan kolom komposit dan kolom konvensional
20
sementara pada tabung bujursangkar dan persegi tekuk lokal terjadi pada daktilitas
aksial sebesar 2 sampai 8. Sifat-sifat yang terdapat pada kolom CFST penampang
lingkaran ini tentu sangat bermanfaat jika diterapkan pada daerah rawan gempa.
Telah banyak peraturan di seluruh dunia yang memberikan batasan dan prosedur
perencanaan kolom CFST seperti peraturan AISC LRFD, ACI, Eurocode 4 dan
Architectural Institute of Japan (AIJ). Zhang dan Shahrooz pernah menguji
keakuratan metode ACI untuk memprediksi kekuatan kolom CFST penampang
bujursangkar yang masuk dalam kategori kolom pendek dan kolom panjang dan
diketahui metode ACI standar dapat secara realistis menghitung kapasitas
penampang kolom CFST sejauh tabung baja yang digunakan adalah baja mutu
normal ( yf <400 MPa). Jika tabung baja yang digunakan adalah tabung baja mutu
tinggi maka metode ACI standar perlu dimodifikasi dimana diasumsikan kapasitas
penampang kolom CFST terjadi saat tabung baja telah leleh seluruhnya.
Zhang dan Shahrooz juga membandingkan metode ACI dengan metode AISC
LRFD dalam menentukan kapasitas kolom CFST, dan diketahui hasil yang
diperoleh metode ACI lebih mirip dengan hasil beberapa pengujian yang pernah
mereka dan peneliti lain lakukan.
O’shea dan Bridge dalam penelitiannya telah membandingkan metode Eurocode 4
dan ACI 318 dan diketahui Eurocode 4 dapat memprediksi dengan baik kekuatan
penampang kolom CFST dengan tabung baja tipis yang mengalami kombinasi
gaya tekan dan lentur. Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa peraturan
Eurocode 4 dapat digunakan untuk merencanakan kekuatan kolom CFST pendek
dengan tabung baja tipis yang diisi beton dengan kekuatan tekan silinder hingga
80 MPa, sedangkan pada kolom CFST pendek dengan tabung baja tipis yang diisi
beton mutu sangat tinggi ( 'cf =100 MPa) peraturan Eurocode menghasilkan nilai
kekuatan yang overestimate dibandingkan dengan hasil pengujian. Mereka
menemukan fakta terjadi peningkatan kekuatan yang sangat kecil pada kasus
kolom CFST yang terbuat dari beton mutu sangat tinggi.
21
II.8. Keruntuhan Kolom Komposit
Keruntuhan pada kolom komposit baja-beton dapat terjadi karena kehancuran
bahan yang ditandai dengan melelehnya baja atau hancurnya beton, atau akibat
ketidakstabilan struktur (tertekuk). Jika kolom mengalami keruntuhan yang
disebabkan oleh kehancuran bahan, maka kolom tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai kolom pendek atau juga dapat diklasifikasikan sebagai kolom langsing.
Sedangkan jika kolom mengalami keruntuhan karena tertekuk, maka kolom
tersebut diklasifikasikan sebagai kolom langsing. Keruntuhan yang disebabkan
oleh kehancuran material terbagi dua macam, yaitu keruntuhan tarik yang ditandai
dengan melelehnya baja pada bagian tekan atau tarik, dan keruntuhan tekan yang
ditandai dengan hancurnya beton pada bagian tekan. Kondisi seimbang terjadi
ketika keruntuhan tarik dan tekan terjadi bersamaan. Jika Pn adalah beban aksial
dan Pnb adalah beban aksial yang berhubungan dengan kondisi seimbang, maka
jika Pn lebih kecil daripada Pnb dikatakan keruntuhan tarik, jika Pn lebih besar dari
Pnb dikatakan keruntuhan tekan dan jika Pn sama dengan Pnb dikatakan keruntuhan
seimbang. Kondisi keruntuhan seimbang terjadi ketika baja tarik mencapai
regangan leleh yε tepat pada keadaan beton mencapai regangan batas beton cε
(Peraturan ACI mengasumsikan sebesar 0,003 untuk beton bertulang) dan
kemudian hancur. Apabila baja lebih dulu mencapai tegangan lelehnya sebelum
tegangan tekan beton mencapai maksimum maka dikatakan keruntuhan tarik dan
sebaliknya jika tegangan di serat beton lebih dulu mencapai kapasitas
maksimumnya sebelum tegangan pada baja meleleh disebut keruntuhan tekan.
II.9. Tebal Minimum Tabung Baja
Peraturan ACI dan AISC mensyaratkan ketebalan minimum pipa atau tabung baja
untuk mencegah terjadinya tekuk lokal sebelum pipa atau tabung baja meleleh,
yaitu sebesar :
min 8.y
s
ft h
E= untuk penampang lingkaran dengan diameter h (II.18)
min 3.y
s
ft b
E= untuk penampang persegi dengan lebar b (II.19)
22
sedangkan untuk tujuan ketahanan gempa, peraturan gempa AISC memberikan
batasan tebal minimum yang lebih ketat untuk kasus penampang bujursangkar,
yaitu :
min 2.y
s
ft b
E= (II.20)
sedangkan untuk penampang lingkaran, peratuan gempa AISC belum memberikan
batasan minimum tebal pipa, dikarenakan dari hasil pengujian kolom CFST
penampang lingkaran menunjukkan hasil yang memuaskan untuk perencanaan
tahan gempa.
Peraturan di negara Jepang membatasi nilai rasio kelangsingan pelat D/t untuk
penampang lingkaran dan B/t untuk penampang persegi sebesar :
235001,5.Dt F≤ untuk penampang lingkaran dengan diameter D (II.21)
7351,5.Bt F≤ untuk penampang persegi dengan lebar B (II.22)
dimana F adalah kekuatan standar untuk menentukan tegangan baja yang
diizinkan = nilai terkecil tegangan leleh dan 0,7 kali kuat tarik baja (MPa).
II.10. Prilaku Kolom Komposit
Pipa baja dalam kolom CFST menyumbang kekakuan lentur yang terbesar
dibanding beton di dalam pipa dan kekuatan tekan kolom adalah minimal sebesar
penjumlah kekuatan masing-masing bahan yaitu pipa baja dan beton tak
terkekang. Ketika beban konsentris diberikan pada baja dan beton secara merata,
rasio poisson baja menyebabkan dinding pipa mengembang secara lateral lebih
besar dibanding beton hingga gaya tekan yang diberikan menghasilkan tegangan
beton yang cukup untuk menyebabkan retak-retak kecil di dalam beton dan
membesarnya volume beton. Retak-retak kecil yang disertai dengan membesarnya
volume beton terjadi ketika tegangan lebih besar dari '0,5 cf setelah beton mulai
23
retak, dorongan beban yang ada menyebabkan beton mengembang secara lateral
dan ditahan oleh dinding pipa. Akhirnya dinding pipa mencapai tegangan lelehnya
akibat kombinasi gaya tekan longitudinal dan gaya tarik transversal yang
menyebabkan penggelembungan terjadi pada pipa baja dan beton tidak dapat
ditahan oleh dinding pipa akhirnya hancur bersamaan dengan runtuhnya kolom.
Kekangan triaksial dari dinding pipa dapat meningkatkan kekuatan efektif beton.
Secara teoritis, kekangan triaksial seharusnya dapat meningkatkan kekuatan
sebesar tiga kali kapasitas nominal beton di dalam pipa baja. Jika panjang kolom
lebih dari tiga kali diameternya, kekakuan longitudinal dinding pipa tidak cukup
untuk menahan tekuk inelastis saat beban tekan melebihi kapasitas yang
ditentukan tanpa peningkatan 'cf dari kekangan lateral. Pada kolom yang lebih
langsing, lokasi dimana kekuatan beton bertambah akibat kekangan menjadi
berkurang karena kekakuan longitudinal tidak dapat menahan terjadinya tekuk
inelastis. Grauers dkk dalam penelitiannya terhadap kolom CFST langsing,
menemukan bahwa pengaruh kekangan hanya terjadi pada kolom pendek, dimana
beban ultimit penampang komposit melebihi penjumlahan dari kapasitas nominal
penampang beton dan tabung baja sekitar 6%, sedangkan kapasitas dukung beban
kolom CFT langsing ditentukan dengan melelehnya tabung baja bagian tekan.
Pada kasus kolom langsing beton bertulang, kekangan yang diberikan oleh
tulangan sengkang hanya berpengaruh kecil terhadap peningkatan kapasitas
kolom, baik dalam hal kapasitas beban aksial maupun lendutan yang terjadi
sebelum mengalami keruntuhan.
Pada kolom pendek biasanya dapat mencapai kuat tampangnya (cross-sectional
strength), sedemikian hingga keruntuhan ditentukan oleh kekuatan komponen
materialnya, yaitu kuat tekan beton dan tegangan leleh baja. Meskipun demikian,
inti beton pada kolom pendek juga mengalami kekangan lateral (lateral
confinement) yang diberikan oleh tabung baja, sehingga kolom komposit mampu
mendukung beban lebih besar daripada beban aksial yang dapat didukung pada
kondisi tak-terkekang. Lebih jauh, dan mungkin yang lebih penting, perilaku
24
beton terkekang menjadi lebih liat (ductile), sehingga mempengaruhi perilaku
struktur secara keseluruhan
Beban konsentris umumnya jarang terjadi. Pada kenyataannya di lapangan,
kolom-kolom pada bangunan struktur akan menerima gaya aksial eksentris.
Dengan adanya kurvatur yang disebabkan oleh lenturan-maka dinding pipa baja
akan menekan inti beton, yang mengakibatkan terjadinya transfer geser sepanjang
kontak permukaan. Lekatan yang baik antara dinding pipa dengan inti beton dapat
merepresentasikan kondisi batas yang umum dimana hanya ada satu profil
regangan pada penampang kolom saat terjadinya kurvatur lentur. Hasil pengetesan
menunjukkan tidak ada perbedaan prilaku kolom CFST yang tidak dioles
pelumas. Studi yang dilakukan oleh Johansson menjelaskan bahwa kolom CFST
dengan dimensi penampang yang tidak terlalu besar tidak memerlukan shear
connector pada permukaan dinding pipa bagian dalam karena aksi komposit dapat
terwujud melalui lekatan yang alami antara inti beton dengan dinding bagian
dalam pipa baja.
II.11. Kombinasi Gaya Aksial Tekan Nominal dan Momen Nominal
Dalam praktek kolom mengalami beban aksial tekan dan momen. Momen yang
terjadi dapat disebabkan karena beban eksentris yang disengaja atau tidak
disengaja, juga dapat karena ketidaklurusan kolom. Sementara kemampuan
dukung kolom pendek ditentukan oleh kuat tampangnya.
Interaksi antara kedua gaya dalam tersebut seperti ditunjukan pada gambar di
bawah ini.
25
Pno
Regan
gan
tarik
sam
a de
ngan
0
B
t
Mn
Kondisi Balance
Pn
topcε
bottomsε
topcε
bottom s yε ε>
topcε
bottom s yε ε>
to pcε
bottomsε
bottomsε
topcε
topcε
bottomsε
topcε
bottomsε
Pb
Pn maks
1
2
3
4
5
6
7
Asr
Asr’d’
dt
Diagram interaksi tersebut dibagi dalam dua daerah, yaitu daerah keruntuhan
tekan (Compression control region) dan daerah keruntuhan tarik (Tension
control region) serta titik keseimbangan (balance) sebagai pembatasnya.
Jika suatu gaya normal bekerja pada kolom pendek, maka dapat dilihat berbagai
kasus sehubungan dengan lokasi gaya normal terhadap titik berat plastisnya.
1. Gaya Tekan Aksial (Po)
Adalah kasus dimana secara teoritis dianggap bekerja suatu gaya aksial yang
besar dan mempunyai titk tangkap pada titik berat plastisnya (plastic
centroid) atau e=0 dan M = 0.
2. Gaya Aksial Nominal yang Diijinkan ( Pnmaks)
Adalah kasus dimana gaya normal yang bekerja pada penampang
mengandung eksentrisitas minimum sesuai dengan standar tata cara yang
digunakan. Pada keadaan ini keruntuhan kolom terjadi akibat kehancuran
beton ( ctε mencapai uε ).
3. Keruntuhan Tekan
Gbr.II.9. Diagram Interaksi antara Momen dan Gaya Normal
26
Adalah kasus dimana bekerja gaya aksial yang besar disertai eksentrisitas
yang kecil, dimana nilai Pn terletak pada kisaran Pnmaks ≤ Pn ≤ Pnb. Pada
keadaan ini keruntuhan kolom terjadi akibat kehancuran beton( ctε mencapai
cuε ) dan tegangan tulangan tarik lebih kecil dari tegangan lelehnya
yf ( s yε ε< ), Pn > Pnb serta e < eb.
4. Keruntuhan Tarik
Adalah kasus dimana bekerja gaya aksial yang yang relatif kecil disertai
eksentrisitas yang besar. Pada keadaan ini lelehnya tulangan tercapai lebih
dahulu sebelum kehancuran beton, sehingga pada saat keruntuhan ( s yε ε< )
dan c cuε ε= , Pn < Pnb serta e > eb.
5. Kondisi keadaan seimbang
Pada kasus ini keadaan seimbang dicapai dimana regangan tekan beton ( cε )
mencapai regangan hancurnya ( cuε ) dan regangan tarik tulangan ( sε )
mencapai regangan lelehnya ( yε ) secara bersamaan, dengan demikian
keruntuhan beton terjadi bersamaan pada saat tulangan mengalami
pelelehan, Pn = Pb serta e = eb.
6. Kondisi Lentur Murni
Adalah kasus dimana dengan secara teoritis gaya normal yang bekerja (Pn)
sama dengan nol yang bersesuian dengan harga momen lentur tertentu (Mn).
II.12. Daktilitas
Daktilitas adalah kemampuan elemen struktur untuk berrespon secara inelastik
tanpa kehilangan kekuatan secara signifikan dan dinyatakan sebagai perbandingan
antara deformasi ultimit terhadap deformasi lelehnya. Level daktilitas tertentu
menentukan tingkat keamanan yang diperlukan agar tidak terjadi keruntuhan
secara tiba-tiba. Shin et al mendefinisikan daktilitas sebagai kemampuan elemen
struktur berdeformasi setelah mencapai kekuatan puncak tanpa terjadi penurunan
kekuatan yang lebih besar (Shin et al.1990).
Jenis-jenis daktilitas menurut Paulay dan Priestly, terdiri dari empat jenis, yaitu :
1. Daktilitas Regangan (Strain ductility)
Daktilitas regangan adalah perbandingan antara regangan maksimum dan
27
regangan leleh pada balok yang dibebani aksial tekan/tarik.
u
y
εμε
= (II.23)
2. Daktilitas Kelengkungan (Curvature ductility)
Daktilitas kelengkungan adalah perbandingan antara sudut kelengkungan
(putaran sudut per unit panjang) maksimum dengan sudut kelengkungan
leleh dari suatu elemen struktur akibat momen lentur.
u
y
ϕμϕ
= (II.24)
3. Daktilitas Rotasi (Rotation ductility)
Daktilitas rotasi adalah perbandingan putaran sudut maksimum terhadap
putaran sudut pada saat leleh.
u
y
θμθ
= (II.25)
4. Daktilitas Perpindahan (Displacement ductility)
Daktilitas perpindahan adalah perbandingan struktur maksimum terhadap
perpindahan struktur pada saat leleh.
Dalam penulisan tesis ini daktilitas yang ditinjau adalah daktilitas kelengkungan
dari elemen struktur kolom CFST pendek. Hal ini karena pada level elemen
deformasi yang berpengaruh adalah deformasi penampang yang menyebabkan
perubahan kelengkungan dari penampang. Perubahan kelengkungan ini
direpresentasikan oleh hubungan momen-kurvatur untuk satu beban aksial
tertentu.
Yield curvature adalah untuk perhitungan daktilitas kurvatur ditentukan dengan
mengambil nilai-nilai dari grafik momen-kurvatur. Nilai yϕ didapatkan dengan
menarik garis lurus dari titk (0,0) melewati grafik di besaran 0.75 Mnmaks hingga
memotong garis horisontal yang berimpit dengan nilai Mnmaks.
28
(0,0) φy φmaks
Mnmaks
φ
Mn
Gbr.II.10. Penentuan Besaran Daktilitas
0.75Mnmaks
Top Related