10
BAB II
KERANGKA TEORITIK
A. Landasan Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Majelis Pengawas Notaris
a. Definisi Pengawasan
a. Pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh
kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua
pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan
rencana yang telah ditentukan sebelumnya.12
b. Menurut P. Nicolai, pengawasan merupakan langkah preventif
untuk memaksakan kepatuhan.13
c. Menurut Lord Acton, pengawasan merupakan tindakan
mengendalikan kekuasaan yang dipegang pejabat administrasi
negara (pemerintah) yang cenderung disalahgunakan. Tujuan
pengawasannya untuk membatasi pemerintah agar tidak
menggunakan kekuasaan diluar batas kewajaran yang
bertentangan dengan ciri Negara Hukum, untuk melindungi
masyarakat dari tindakan diskresi Pemerintah dan melindungi
Pemerintah agar menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar
menurut hukum atau tidak melanggar hukum.14
d. Menurut Staatblad Tahun 1860 Nomor 3 mengenai Peraturan
Jabatan Notaris (PJN), pengertian pengawasan dalam Pasal 50
alinea (1) sampai alinea (3), yaitu tindakan yang dilakukan
Pengadilan Negeri berupa penegoran dan/atau pemecatan
selama 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan terhadap Notaris yang
mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya atau
melakukan pelanggaran terhadap peraturan umum atau
12 Sujamto, Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hlm. 53. 13 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hlm. 311. 14 Diana Hakim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Tangerang, 2004,
hlm. 70.
11
melakukan kesalahan-kesalahan lain, baik di dalam maupun
diluar jabatannya sebagai Notaris, yang diajukan oleh penuntut
umum pada Pengadilan Negeri pada daerah kedudukannya.15
Mencermati pada pendapat para ahli dan juga peraturan tersebut
diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan
bentuk tindakan mengamati dan memperhatikan kegiatan yang
terjadi sebagai bagian dari proses pencegahan agar tidak terjadi
penyimpangan terhadap tujuan yang diinginkan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, pengawasan pemeriksaan dan penjatuhan
sanksi terhadap Notaris dilakukan oleh badan peradilan yang ada
pada waktu itu, sebagaimana diatur dalam :
1) Pasal 14 Reglement op de Rechtelijke Organisatie en Het Der
Justitie (Stbl.1847 no.23);
2) Pasal 96 Reglement Buitengewesten;
3) Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen,
Lembaran Negara tahun 1946 Nomor 135; dan
4) Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris.16
Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam pasal 32 dan pasal
54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan
dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung,
kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan
terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata
Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, dan
15 Pasal 50 Staatblad Tahun 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris. 16 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 27.
12
terakhir dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004.
Dalam kaitan tersebut, meski Notaris diangkat Pemerintah (dahulu
Menteri Kehakiman, sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia), namun pengawasannya dilakukan
oleh Badan Peradilan.
b. Majelis Pengawas Notaris
Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Notaris merupakan
suatu badan yang berwenang melakukan pembinaan/pengawasan
terhadap Notaris. Pengawasan tersebut dilakukan agar Notaris tetap
menjalankan perannya sesuai dengan kewajiban yang ditentukan
oleh Undang-Undang dan tidak melakukan larangan-larangan yang
ditentukan oleh Undang-Undang. Berikut akan Penulis paparkan
terkait kewajiban dan larangan bagi Notaris yang ditentukan oleh
Undang-Undang.
Ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris mengenai kewajibannya yaitu:
1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:
a) bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak,
dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum;
b) membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan
menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c) melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap
pada Minuta Akta;
d) mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
e) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
13
f) merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya
dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta
sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
g) menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi
buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan
jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta
tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan
mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun
pembuatannya pada sampul setiap buku;
h) membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga;
i) membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
j) mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf
i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat
daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima)
hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan;
l) mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan;
m) membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri
oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang
saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan,
dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,
dan Notaris; dan
n) menerima magang calon Notaris.
14
2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris
mengeluarkan Akta in originali.
3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
1) Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
2) Akta penawaran pembayaran tunai;
3) Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya
surat berharga;
4) Akta kuasa;
5) Akta keterangan kepemilikan; dan
6) Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap,ditandatangani pada waktu,
bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta
tertulis kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU
BERLAKU UNTUK SEMUA".
5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama
penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m
tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta
tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri,
mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal
tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan
terhadap pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok
Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.
15
9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
m dan ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku
untuk pembuatan Akta wasiat.
Larangan-larangan yang wajib untuk dihindari oleh Notaris
ditentukan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris yang meliputi :
1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alas an yang sah;
3) merangkap sebagai pegawai negeri;
4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5) merangkap jabatan sebagai advokat;
6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha
swasta;
7) merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah
dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan
Notaris;
8) menjadi Notaris Pengganti; atau
9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
Agar Notaris menjalankan jabatannya sesuai dengan kewajiban
yang ditentukan Pasal 16 dan tidak melakukan perbuatan hukum
sebagaimana dilarang dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tersebut diatas maka Menteri
melakukan pengawasan terhadap kinerjanya. Bahwa telah penulis
16
paparkan pula diatas, pengawasan terhadap kinerja Notaris dalam
menjalankan jabatannya Menteri membentuk Majelis Pengawas.
Pengawasan kepada notaris tersebut agar Notaris dalam
menjalankan jabatan profesinya sebagai pejabat umum senantiasa
meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerjanya sehingga dapat
memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi
penerima jasa Notaris dan masyarakat luas.
c. Tingkatan dan Unsur Majelis Pengawas Notaris
Majelis Pengawas yang dibentuk oleh Pemerintah untuk
melakukan tugas pengawasan berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri
atas unsur Pemerintah, Organisasi Notaris dan ahli atau akademisi.
Pengawasan tersebut meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan
jabatan Notaris. Ketentuan mengenai pengawasan tidak hanya
berlaku bagi Notaris saja namun termasuk Notaris Pengganti dan
Pejabat Sementara Notaris. Disebut sebagai Notaris Pengganti
adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk
menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara
berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris sedangkan
yang disebut sebagai Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang
untuk sementara menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan
jabatan dari Notaris yang meninggal dunia.
Majelis Pengawas Notaris dibentuk dengan unsur-unsur
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, terdiri dari
unsur:
1) Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
2) Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
3) Ahli Akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
17
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris dapat Penulis katakan bahwa pengawasan terhadap
Notaris memiliki jenjang/tingkatan-tingkatan dan masing-masing
tingkatan memiliki tugas dan kewenangan pengawasan masing-
masing. Pengawasan terhadap Notaris di Kabupaten/Kota dilakukan
oleh Majelis Pengawas daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal
69 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota. Di dalam hal
di suatu Kabupaten/Kota, jumlah Notaris tidak sebanding dengan
jumlah anggota Majelis Pengawas Daerah, dapat dibentuk Majelis
Pengawas Daerah gabungan untuk beberapa Kabupaten/Kota.
Majelis Pengawas Daerah terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi
Notaris dan ahli atau akademisi di masing-masing Kabupaten/Kota
tersebut.
Di dalam Majelis Pengawas Daerah akan dipilih siapa yang
akan menjadi Ketua, Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dan
anggota. Pemilihan tersebut dipilih dari dan oleh diantara angota
Majelis Pengawas Daerah sebagaimana perintah dari Pasal 69 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas
Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
Tingkatan berikutnya adalah pengawasan yang dilaksanakan
Majelis Pengawas Wilayah Notaris. Lembaga ini dibentuk dan
berkedudukan di Ibukota Propinsi. Masing-masing tingkatan dalam
Majelis pengawas Notaris selain dilihat dari tempat kedudukannya
juga dilihat dari pembagian tugas dan kewenangannya. Majelis
Pengawas Wilayah memiliki tugas dan kewajiban yang tidak
dimiliki oleh Majelis Pengawas Daerah. Oleh Undang-Undang
18
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris majelis pengawas
wilayah berdasarkan pasal 73 diberikan wewenang untuk:
1) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
keputusan atas laporan masyarakat yang dapat disampaikan
melalui Majelis Pengawas Daerah;
2) memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas
laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
3) memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu)
tahun;
4) memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas
Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
5) memberikan sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan
tertulis;
6) mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat berupa:
a) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6
(enam) bulan; atau
b) pemberhentian dengan tidak hormat.
Keputusan Majelis Pengawas Wilayah dalam memberikan
sanksi baik peringatan lisan maupun peringatan tertulis bersifat final
dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada huruf e dan huruf f dibuatkan wajib dibuatkan berita
acara.
Tingkatan terakhir dalam lembaga pengawasan yang dibentuk
oleh Menteri adalah Majelis Pengawas Pusat Notaris yang
berkedudukan di Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimana Penulis paparkan tersebut diatas bahwa setiap
tingkatan majelis pengawas Notaris memiliki perbedaan dalam hal
tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Ketentuan terkait tugas dan
wewenang yang dimiliki oleh Majelis Pengawas Pusat masih tunduk
19
pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris. Ketentuan terkait jabatan Notaris tidak seluruhnya
dirubah oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, oleh sebab itu terhadap Pasal-Pasal yang tidak
berubah tetap diberlakukan ketentuan yang ada pada Undang-
Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Disebutkan
dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris mengenai wewenang dari Majelis Pengawas Pusat
yaitu:
1) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil
keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan
penolakan cuti;
2) memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
3) menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
4) mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan
tidak hormat kepada Menteri.
Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Pusat
sebagaimana dimaksud tersebut diatas bersifat terbuka untuk umum
dan layaknya sidang maka Notaris berhak untuk membela diri dalam
pemeriksaan sidang Majelis Pengawas Pusat. Apabila sidang
pemeriksaan telah selesai maka Majelis Pengawas Pusat
berkewajiban menyampaikan keputusannya kepada Menteri dan
Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis
Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan
serta Organisasi Notaris. Majelis Pengawas Pusat juga memiliki
kewenangan yakni dalam hal terdapat Notaris yang diberhentikan
sementara dari jabatannya maka Majelis Pengawas Pusat akan
mengusulkan seorang pejabat sementara Notaris kepada Menteri
kemudian jika telah disetujui maka Menteri akan menunjuk Notaris
20
yang akan menerima Protokol Notaris dari Notaris yang
diberhentikan sementara.
d. Majelis Pengawas Daerah (Majelis Pengawas Daerah)
Pada tiap kabupaten atau kota dibentuklah Majelis Pengawas
Daerah yang bekerja melakukan pengawasan terhadap Notaris.
Sebagai pelaksanaan dari perintah undang-undang Nomor 30 tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris maka dibentuklah peraturan-peraturan
pelaksananya. Meskipun sekarang atas undang-undang tersebut telah
dilakukan perubahan dengan undang-undang nomor 2 tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, namun sampai saat ini peraturan
pelaksananya belum dibentuk yang baru. Untuk lebih mengenal
Majelis Pengawas Daerah maka berikut Penulis paparkan terkait
Surat Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (SK Dirjen
AHU) Nomor C.HT.03.10-05. Tentang Pembentukan Majelis
Pengawas Daerah Notaris disebutkan bahwa pembentukan Majelis
Pengawas Daerah Notaris yang berkedudukan di Kabupaten/Kota,
keanggotaannya terdiri dari:
1) Unsur Pemerintah adalah pegawai Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kepala Bagian Hukum
Pemerintah Kabupaten/Kota setempat atau Pegawai Balai Harta
Peninggalan bagi daerah yang ada Balai Harta Peninggalan.
Tidak semua propinsi di Indonesia memiliki lembaga Balai
Harta Peninggalan. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk
daerah dengan Lembaga Balai Harta Peninggalan bergabung
dengan Propinsi Jawa Tengah. Pengawasan dari unsur
pemerintah di Daerah Istimewa Yogyakarta dijalankan oleh
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2) Unsur Organisasi Notaris adalah anggota Notaris yang diusulkan
oleh pengurus daerah Ikatan Notaris Indonesia (INI) setempat;
21
3) Unsur Ahli/Akademisi adalah staf pengajar/dosen dari fakultas
hukum universitas negeri/swasta atau perguruan tinggi ilmu
hukum setempat.
Lebih konkrit lagi tugas Majelis Pengawas Daerah dijabarkan
oleh Arief Dwi Meiwanto, SH. MH., seorang anggota Majelis
Pengawas Daerah Notaris Jakarta Selatan dari unsur pemerintah,
tugas Majelis Pengawas Daerah Notaris dapat digolongkan menjadi
2 (dua) aspek, yaitu:
1) Pemeriksaan terhadap pengaduan oleh masyarakat, berupa
pengaduan masyarakat yang merasa dirugikan oleh Notaris;
2) Pemeriksaan secara berkala, dimana Majelis Pengawas Daerah
Notaris langsung datang ke kantor-kantor Notaris untuk
memeriksa Minuta Akta, Buku Repertorium, Legalisasi Akta,
Waarmerking Akta, wasiat dan administrasi kantor Notaris.17
Terkait dengan wewenang Majelis pengawas Daerah tidak
diadakan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, sehingga tetap pula tunduk pada ketentuan
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris yang menyebutkan bahwa Majelis Pengawas Daerah
berwenang:
1) menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan
jabatan Notaris;
2) melakukan pemeriksaan; terhadap Protokol Notaris secara
berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang
dianggap perlu;
3) memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam)
bulan;
17 Arief Dwi Meiwanto, “20 (dua puluh) Notaris Dipanggil Polisi”, Majalah Renvoi, Edisi Nomor
01/58, Maret 2008, hlm. 17.
22
4) menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul
Notaris yang bersangkutan;
5) menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada
saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh
lima) tahun atau lebih;
6) menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang
sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
7) menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam
Undang-Undang ini; dan
8) membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf
g kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Mencermati dari wewenang yang dimiliki oleh Majelis
Pengawas Daerah terdapat pula ketentuan terkait wewenang
menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan
Notaris. Ranah kode etik juga merupakan kewenangan dari Majelis
Pengawas Daerah untuk memeriksanya sedangkan dari sisi kode etik
profesi Notaris, wewenang untuk melakukan penegakan terhadap
kode etik dilaksanakan oleh lembaga Dewan Kehormatan. Oleh
sebab itu hal tersebut akan menjadi salah satu bahan kajian Penulis
dalam Bab Pembahasan penelitian ini.
Setelah mencermati terkait kewenangan Majelis Pengawas
Daerah maka selanjutnya perlu dilihat pula kewajiban Majelis
Pengawas Daerah. Kewajiban yang ada masih tunduk pada ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris Pasal 71 yang menjabarkan bahwa Majelis Pengawas Daerah
berkewajiban:
23
1) mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris
dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta
jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat
sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
2) membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya
kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan
kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan
Majelis Pengawas Pusat;
3) merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
4) menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar
lain dari Notaris dan merahasiakannya;
5) memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan
menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis
Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan
tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang
bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
6) menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan
penolakan cuti.
Perbedaan yang paling signifikan dengan terbitnya Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah
dirubahnya Pasal 66 dari Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris terkait wewenang yang dimiliki oleh Majelis
Pengawas Daerah. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik,
penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas
Daerah berwenang:
1) untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat
yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris dan;
24
2) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Kewenangan tersebut dirubah oleh Undang Nomor 2 tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris Pasal 66 sehingga berbunyi untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim
dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:
1) mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
2) memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris.
Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis
kehormatan Notaris. Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh)
orang yang terdiri atas unsur:
1) Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
2) Pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
3) Ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
Pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tugas untuk
menjalankan pembinaan dan pengawasan merupakan kewenangan
dari Majelis Pengawas namun setelah terbitnya Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris fungsi dari Majelis
Pengawas tidak lagi melakukan pembinaan karena yang melakukan
pembinaan adalah Majelis Kehormatan yang dibentuk berdasarkan
undang-undang tersebut.
25
2. Tinjauan Umum Tentang Dewan Kehormatan
UUJN mengamanatkan kepada para notaris untuk berhimpun
dalam satu wadah organisasi notaris sesuai dengan Pasal 82 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang berbunyi
sebagai berikut: “Notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi
notaris.”
Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud tersebut adalah
Ikatan Notaris Indonesia. Ikatan Notaris Indonesia merupakan satu-
satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk
Undang-Undang dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas
profesi Notaris. Ikatan Notaris Indonesia menjadi perkumpulan yang
berbentuk badan hukum yang diakui oleh pemerintah sebagai organisasi
profesi bagi Notaris.
Terwujudnya organisasi notaris yang solid, diharapkan mampu
membawa dan menjaga para anggotanya bersifat profesional dalam
menjalankan jabatannya. Hakikat organisasi profesi yang selalu melekat
dan menjadi identitas utamanya yaitu selalu meningkatkan
kemampuannya melalui peningkatan kualitas, baik kualitas ilmu, maupun
integritas moralnya, serta senantiasa menjunjung tinggi keluhuran
martabatnya berdasarkan kode etik profesi. Untuk menjaga kehormatan
dan keluhuran martabat jabatan notaris, perkumpulan mempunyai kode
etik notaris yang ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral
yang wajib ditaati oleh setiap anggota perkumpulan.
a. Dewan Kehormatan
Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan
perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang anggota yang dipilih
dari anggota biasa dan werda notaris, yang berdedikasi tinggi dan
loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana,
sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan diangkat oleh
26
kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan
kepengurusan.
Berdasarkan Pasal 1 angka (8) Kode Etik Notaris, Dewan
Kehormatan merupakan alat perlengkapan Perkumpulan (INI)
sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari
keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk :
1) Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, dan
pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik.
2) Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak
mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara
langsung.
3) Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas
dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris.
b. Tingkatan dan Unsur Dewan Kehormatan
Dewan Kehormatan merupakan lembaga pengawasan yang
dibentuk oleh Organisasi agar kode etik tetap dipatuhi oleh anggota
profesi. Pengawasan dan penegakan terhadap kode etik tersebut
dilakukan secara berjenjang. Berdasarkan Pasal 7 kode etik
ditentukan bawah pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris
Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah.
2) Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris
Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah.
3) Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris
Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.
Pasal 19 Anggaran Rumah Tangga INI menyebutkan bahwa
Dewan Kehormatan Daerah terdiri dari tiga orang anggota
diantaranya, seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, dan seorang
Sekretaris. Dewan Kehormatan Daerah merupakan badan yang
27
bersifat otonom di dalam mengambil keputusan yang mempunyai
tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan dari melakukan
pengawasan dalam pelaksanaan serta pentaatan kode etik oleh para
anggota perkumpulan di daerah masing-masing. Sudah seharusnya
dan sudah waktunya Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai
kelompok profesi yang terinstitusi mampu secara lebih nyata
memberikan kontribusinya dalam upaya penegakkan hukum.18
3. Tinjauan Umum Tentang Notaris
a. Pengertian notaris
Pada jaman Romawi Kuno, notaris awalnya dikenal sebagai
penulis umum atau publieke schrijvers dengan berbagai sebutan,
antara lain:
1) Notarius (pluralnya notarii) pada abad ke enam dan ke lima
lebih dikenal sebagai sekretaris raja, sedangkan pada akhir abad
ke lima sebutan ini ditujukan kepada pegawai-pegawai istana
yang melaksanakan pekerjaan admnistratif.
2) Tabularius (tabularii) adalah pegawai–pegawai yang ditugaskan
untuk memegang dan mengerjakan buku keuangan, serta
mengadakan pengawasan terhadap administrasi dari magistraat
atau pejabat kota. Selain itu mereka juga bertugas untuk
menyimpan dokumen-dokumen dan membuat akta.
3) Tabellio atau tabelliones ialah pejabat yang menjalankan tugas
untuk pemerintah serta melayani publik yang membutuhkan
keahliannya. Fungsi mereka sudah agak mirip dengan notaris
pada jaman sekarang, tetapi karena tidak mempunyai sifat
18 N.G. Yudara, “Notaris dan Permasalahannya, Pokok-pokok Pemikiran di Seputar Kedudukan
dan Fungsi Notaris Serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia”, Materi Seminar Ikatan
Notaris Indonesia, Jakarta, Januari 2005, hlm. 11.
28
ambtelijk atau jabatan negeri, sehingga surat yang dibuatnya
tidak bersifat otentik.19
Dalam perkembangannya, perbedaan antara notarius,
tabularius dan tabullio ini menjadi kabur dan akhirnya ketiga
sebutan tersebut dilebur menjadi satu yaitu notarii.20
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris mendefinisikan notaris sebagai pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Definisi yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dimiliki
oleh notaris, artinya notaris sebagai pejabat umum memiliki
wewenang untuk membuat akta otentik serta kewenangan lainnya
yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris. Seorang notaris menurut pendapat Tan Thong Kie
yaitu:21
“Notaris adalah seorang fungsionaris dalam masyarakat,
hingga sekarang jabatan seorang notaris masih disegani.
Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat
tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh
diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan
(konstatir) adalah benar, ia adalah pembuatan dokumen yang
kuat dalam suatu proses hukum.”
19 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, CV Rajawali,
Jakarta, 1982, hlm. 13-14. 20 Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, 1984, hlm. 10. 21 Tan Thong Kie, Op Cit, hlm. 157.
29
Menurut Colenbrunder dalam G.H.S.Lumban Tobing22,
Notaris adalah:
“Pejabat yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang
menyuruhnya mencatat semuanya yang dialami dalam suatu
akta, Demikianlah ia membuat berita acara dan pada apa yang
dibicarakan dalam rapat pemegang saham, yang dihadiri atas
permintaan pengurus perseroan atau tentang jalannya
pelelangan yang dilakukan atas permintaan penjual,
Demikianlah ia menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang
keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh
kliennya.”
Menurut Habib Adjie, sebagai pejabat umum Notaris
mempunyai karakteristik, yaitu:23
1) Sebagai jabatan
Undang-undang Jabatan Notaris merupakan unifikasi
dibidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan
hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur jabatan
Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan
Notaris di Indonesia harus mengacu kepada Undang-undang
Jabatan Notaris.
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan
oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan
suatu pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan
hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta
berkesinambungan sebagai suatu lingkup pekerjaan tetap.
2) Notaris mempunyai kewenangan tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada
aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan
dengan baik, dan tidak berbenturan dengan wewenang jabatan
lainnya. Jika seseorang pejabat (Notaris) melakukan suatu
22 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 33. 23 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Op Cit, hlm. 15-16.
30
tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.
3) Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
Ditentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi
kenotariatan. Notaris meskipun secara administratif diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah. Dengan demikian Notaris
dalam menjalankan jabatannya :
a) Bersifat mandiri (autonomous)
b) Tidak memihak siapapun (impartial),
c) Tidak tergantung pada siapapun (independent), yang berati
dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri
oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
4) Tidak menerima gaji atau pensiun dari pihak yang
mengangkatnya Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan
oleh Pemerintah tapi tidak menerima gaji, pensiun dari
pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari
masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberi
pelayanan Cuma-Cuma untuk mereka yang tidak mampu.
5) Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat Kehadiran
Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang
hukum perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab
untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara
perdata Notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika
ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk
akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum,
Menurut Habib Adjie, perlu bagi Notaris untuk memegang asas-asas
yang harus dijadikan pedoman sebagai asas-asas pelaksanaan tugas
31
jabatan Notaris yang baik dengan substansi dan pengertian untuk
kepentingan Notaris, yaitu :24
1) Asas Persamaan
Dalam Memberikan pelayanan kepada masyarakat tidak
membeda-bedakan satu dengan yang lainnya berdasarkan
keadaan sosial ekonomi atau alasan lainnya. Alasan-alasan
seperti ini tidak dibenarkan untuk dilakukan oleh Notaris dalam
melayani masyarakat hanya alasan hukum yang dapat dijadikan
dasar bahwa Notaris dapat tidak memberikan jasa kepada orang
yang menghadap Notaris. Bahkan dalam keadaan tertentu
Notaris wajib memberikan jasa Hukum kepada yang tidak
mampu.
2) Asas Kepercayaan
Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus
selaras dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan Notaris
sebagai orang yang dapat dipercaya. Notaris sebagai jabatan
kepercayaan tidak berarti apa-apa, jika ternyata mereka yang
menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris sebagai orang yang
tidak dipercaya, sehingga hal tersebut, antara jabatan Notaris
dan Pejabatnya (yang menjalankan tugas Jabatan Notaris) harus
sejalan bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan.
Salah satu bentuk dari Notaris sebagai jabatan kepercayaan,
maka Notaris mempunyai kewajiban merahasiakan segala
sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan
yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.
3) Asas Kepastian Hukum
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib
berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang
24 Ibid, hlm. 34-38.
32
berkaitan dengan segala tindakan yang diambil untuk kemudian
dituangkan dalam akta. Bertindak berdasarkan hukum yang
berlaku akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa
akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris telah sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku, sehingga jika terjadi
permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman para pihak.
4) Asas Kecermatan
Notaris dalam mengambil suatu tindakan harus
dipersiapkan dan didasarkan pada aturan hukum yang berlaku.
Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan
mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib
dilakukan sebagai bahan dasar untuk dituangkan dalam akta.
Asas kecermatan ini mempunyai penerapan dari pasal 16 ayat
(1) huruf a, antara lain dalam menjalankan tugas jabatannya
wajib bertindak seksama.
5) Larangan Pemberian Alasan
Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus
mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang
bersangkutan atau ada pertimbangan hukum yang harus
dijelaskan kepada pihak/penghadap.
6) Larangan Penyalahgunaan Wewenang
Pasal 15 UUJN merupakan batas kewenangan Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya. Penyalahgunaan
wewenang, yaitu suatu tindakan yang dilakukan oleh Notaris di
luar wewenang yang telah ditentukan. Jika Notaris membuat
suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka
tindakan Notaris dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan
wewenang. Jika tindakan seperti merugikan para pihak, maka
para pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut Notaris yang
bersangkutan dengan kualifikasi sebagai suatu tindakan hukum
yang merugikan para pihak. Para pihak yang menderita kerugian
33
untuk menuntut penggantian biaya ganti rugi dan bunga kepada
Notaris.
7) Larangan Bertindak Sewenang-wenang
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dapat
menentukan tindakan para pihak dapat dituangkan dalam bentuk
akta Notaris atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti
itu, Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua
dokumen yang diperlihatkan kepada Notaris. Dalam hal ini
Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan
dapat dituangkan dalam suatu bentuk akta atau tidak dan
keputusan yang diambil harus didasarkan pada alas an hukum
yang harus dijelaskan kepada para Pihak.
8) Asas Proposionalitas
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf a, Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya wajib bertindak menjaga
kepentingan para pihak yang terkait dalam perbuatan hukum
atau dalam menjalankan tugas jabatan Notaris, wajib
mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban
para pihak yang menghadap Notaris.
Notaris dituntut untuk senantiasa mendengar dan
mempertimbangkan keinginan para pihak agar tindakannya
dituangkan dalam akta Notaris, sehingga kepentingan para pihak
terjaga secara proporsional yang kemudian dituangkan dalam
bentuk akta Notaris.
9) Asas Profesionalitas
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf d, Notaris wajib memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN, kecuali ada
alasan untuk menolaknya. Asas ini mengutamakan keahlian
(keilmuan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
berdasarkan UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris. Tindakan
professional Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
34
diwujudkan dalam melayani masyarakat dan akta yang dibuat
dihadapan atau oleh Notaris.
b. Tugas dan wewenang notaris
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tugas sebagai
kata sifat memiliki pengertian wajib dikerjakan atau yang ditentukan
untuk dilakukan; pekerjaan yg menjadi tanggung jawab seseorang;
pekerjaan yg dibebankan. Contohnya adalah : pegawai hendaknya
menjalankan tugas masing-masing dengan baik sedangkan jika
mendapat awalan ber- (ber-tugas) akan membentuk kata kerja
(sedang) menjalankan tugas; ada tugas; mempunyai tugas.25
Wewenang sebagai kata sifat memiliki pengertian sebagai (1)
hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan; (2) kekuasaan
membuat keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggung jawab
kepada orang lain; (3) Hak fungsi yang boleh untuk tidak
dilaksanakan.26
Beberapa ahli dalam buku yang ditulis Moekijat memberikan
pengertian kata tugas dan wewenang. Menurut pendapat John dan
Mary Miner tugas adalah kegiatan pekerjaan tertentu yang dilakukan
untuk suatu tujuan khusus, sedangkan menurut Moekijat tugas
adalah suatu bagian atau satu unsur atau satu komponen dari suatu
jabatan. Wewenang menurut G.R. Terry memiliki pengertian
kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk menyuruh pihak lain
supaya bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang
itu.27
Tugas dan wewenang notaris secara umum terdapat dalam
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
25 Kementerian Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, terdapat dalam
http://Bahasa.Kemdiknas.Go.Id/Kbbi/Index.Php, diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, jam 12.00
WIB. 26 Ibid. 27 Moekijat, Administrasi Kepegawaian Negara Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm.
33.
35
Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa notaris berwenang
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain
yang ditetapkan oleh undang-undang.
Menurut Habib Adjie28, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menegaskan salah
satu kewenangan notaris adalah membuat akta secara umum, dengan
batasan sepanjang:
1) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
2) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
ketetapan yang diharuskan oleh aturan umum atau dikehendaki
oleh yang bersangkutan.
3) Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan.
4) Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini
sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris.
5) Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus
menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang
tercantum dalam akta.
28 Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011,
hlm. 8.
36
Selanjutnya pada Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris diatur mengenai wewenang
khusus notaris antara lain :
1) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal
surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
2) membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
3) membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa
salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan
digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
4) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat
aslinya;
5) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan
akta;
6) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7) membuat akta risalah lelang.
Pasal 15 ayat (3) menyebutkan bahwa selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) dan (2), notaris
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
c. Kewajiban dan Larangan Notaris
Menurut KBBI kewajiban berasal dari kata dasar wajib yang
memiliki pengertian (1) harus dilakukan; tidak boleh tidak
dilaksanakan (ditinggalkan). Contoh: seorang muslim wajib salat
lima kali dalam sehari semalam; (2) sudah semestinya; harus. Kata
dasar wajib jika mendapat awalan ke- dan akhiran -an akan
membentuk benda (n) kewajiban yang memiliki arti (1) sesuatu yang
diwajibkan; sesuatu yang harus dilaksanakan; keharusan, (2)
pekerjaan, (3) hukum (tugas menurut hukum) sedangkan larangan
37
memiliki pengertian sebagai perintah (aturan) yang melarang suatu
perbuatan.29
Menurut Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (INI) kewajiban
dan larangan telah disebutkan pengertiannya dalam ketentuan umum
Pasal 1 kewajiban memiliki pengertian sikap, perilaku, perbuatan
atau tindakan yang harus dilakukan anggota Perkumpulan maupun
orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam
rangka menjaga dan memelihara citra wibawa lembaga notariat,
menjunjung tinggi keluhuran, harkat, martabat jabatan Notaris.
Larangan memiliki pengertian adalah sikap, perilaku, perbuatan atau
tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh anggota Perkumpulan
maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris, yang dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga notariat
ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris.
Kewajiban dan larangan notaris terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Pasal 16
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris mengatur mengenai kewajiban notaris dalam menjalankan
jabatannya, yaitu :
1) bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
2) membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
3) mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
4) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
29 Kementerian Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, terdapat dalam
http://Bahasa.Kemdiknas.Go.Id/Kbbi/Index.Php, diakses pada tanggal 21 Agustus 2015, jam 12.00
WIB.
38
5) merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai
dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
6) menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika
jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut
dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah
Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul
setiap buku;
7) membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga;
8) membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
9) mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h
atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat
Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu
pertama setiap bulan berikutnya;
10) mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat
pada setiap akhir bulan;
11) mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,
jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
12) membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat
itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
13) menerima magang calon Notaris.
Larangan notaris diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
39
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan
bahwa notaris dilarang:
1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
3) merangkap sebagai pegawai negeri;
4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5) merangkap jabatan sebagai advokat;
6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan
Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha
swasta;
7) merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar
wilayah jabatan Notaris;
8) menjadi Notaris Pengganti; atau
9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma
agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi
kehormatan dan martabat jabatan Notaris.
Disamping kewajiban dan larangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris, notaris juga harus mematuhi kewajiban dan larangan yang
diatur dalam Kode Etik Organisasi Notaris.
Di dalam kode etik ditentukan pula bahwa Notaris wajib
melakukan kewajiban dan menghindari perbuatan yang termasuk
larangan yang telah ditetapkan oleh Kode etik. Berikut Penulis
paparkan kewajiban yang wajib di patuhi oleh Notaris berdasarkan
kode etik Pasal 3 ditentukan bahwa Notaris dan orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris wajib :
1) Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik
2) Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
jabatan Notaris.
40
3) Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4) Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung
jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi
sumpah jabatan Notaris.
5) Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak
terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan
Negara;
7) Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya
untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut
honorarium.
8) Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor
tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang
bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9) Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan
kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm
x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat :
a) Nama lengkap dan gelar yang sah;
b) Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang
terakhir sebagai Notaris.
c) Tempat kedudukan;
d) Alamat kantor dan nomor telepon/fax.
Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam
dan tulisan di papan nama harus ielas dan mudah dibaca.
Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk
pemasangan papan nama dimaksud.
10) Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan
yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati,
mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan
Perkumpulan.
11) Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
41
12) Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat
yang meninggal dunia.
13) Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang
honorarium ditetapkan Perkumpulan.
14) Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya,
kecuali alasan-alasan yang sah.
15) Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha
menjalin komunikasi dan tali silaturahmi.
16) Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
17) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
a) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b) Isi Sumpah Jabatan Notaris;
c) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan
Notaris Indonesia.
Larangan-larangan yang ditetapkan bagi Notaris diatur dalam
Pasal 4 Kode etik yang berbunyi Notaris dan orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan. Notaris dilarang :
1) Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang
ataupun kantor perwakilan.
2) Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/
Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor.
3) Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun
secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan
42
jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau
elektronik, dalam bentuk:
a) Iklan;
b) Ucapan selamat;
c) Ucapan belasungkawa;
d) Ucapan terima kasih;
e) Kegiatan pemasaran;
f) Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan,
maupun olahraga;
4) Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada
hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau
mendapatkan klien.
5) Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah
dipersiapkan oleh pihak lain.
6) Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.
7) Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang
berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan
langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui
perantara orang lain.
8) Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan
dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan
tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap
membuat akta padanya.
9) Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung
yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat
dengan sesama rekan Notaris.
10) Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam
jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan
Perkumpulan.
43
11) Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus
karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu
dari Notaris yang bersangkutan.
12) Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta
yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi
dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat
yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang
serius dan/atau membahayakan klien, make Notaris tersebut
wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan
atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat
menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang
tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun
rekan sejawat tersebut.
13) Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat
ekslusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu
instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi
Notaris lain untuk berpartisipasi.
14) Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
15) Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut
sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain
namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a) Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang JabatanNotaris;
b) Isi sumpah jabatan Notaris;
c) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang
telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia
tidak boleh dilakukan oleh anggota.
Berdasarkan pada paparan tersebut diatas maka menjadi
kewajiban oleh Notaris untuk tunduk pada ketentuan terkait
44
kewajiban dan larangan yang ditetapkan dalam Undang-Undang
maupun yang ditetapkan oleh Kode Etik untuk dilaksanakan.
Apabila tidak dijalankan ketentuan-ketentuan tersebut diatas bahkan
dijalankan yang akhirnya melangar ketentuan tersebut maka Notaris
akan berhadapan dengan lembaga pengawasan yang telah dibentuk
oleh Menteri maupun oleh Organisasi profesinya.
4. Tinjauan Umum Tentang Kode Etik
a. Kode Etik
Kode etik adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang
wajib diperhatikan dan dijalankan oleh profesional hukum.30
“Agar kode etik profesi dapat berfungsi sebagaimana mestinya
maka paling tidak ada dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama, kode etik itu harus dibuat oleh profesi itu sendiri,
Kode etik tidak akan efektif, kalau diterima begitu saja dari
atas, dari instansi pemerintah atau instansi lain, karena tidak
akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam
kalangan profesi itu sendiri. Kedua, agar kode etik berhasil
dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus-
menerus.”31
Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum adalah merupakan
salah satu organ negara yang mendapat amanat dari sebagian tugas
dan kewenangan negara yaitu berupa tugas, kewajiban, wewenang
dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat umum di
bidang Keperdataan.
b. Pengertian Etika Profesi
Pengertian etika berasal dari dua kata Yunani yang hampir
sama bunyinya namun berbeda artinya. Pertama berasal dari kata
ethos yang berarti kebiasaan atau adat sedangkan yang kedua dari
30 Magnis Suseno, et al., Etika Sosial, Buku Panduan Mahasiswa, APTIK Gramedia, Jakarta,
1991, hlm. 9. 31Ibid, hlm. 73.
45
kata ethikos artinya perasaan batin atau kecenderungan batin yang
mendorong manusia dalam perilakunya.32
“Dalam isitilah latin ethos atau ethiokos selalu disebut dengan
mos sehingga dari istilah tersebut lahirlah moralitas atau yang
biasa diistilahkan dengan perkataan moral. Moral berasal dari
bahasa latin mos yang jamaknya mores, memiliki arti yang
sama dengan etika yakni kebiasaan atau adat. Frans Magnis-
Suseno membedakan antara moral dan etika. Maksud dari
moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-
khotbah, kumpulan peraturan hidup dan ketetapan tertulis
maupun lisan tentang bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar menjadi manusia yang baik.”33
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan etika dalam tiga
arti yaitu :
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak);
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan masyarakat.34
Dari ketiga arti etika ini dapat dipertajam lagi sebagai
berikut:35
a. Kata etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok masyarakat dalam mengatur perilakunya.
b. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
c. Etika memiliki arti sebagai ilmu tentang yang baik dan
yang buruk.
Profesional hukum yang mencintai profesinya merupakan
tugas yang mulia dan akan menjunjung tinggi etika profesi karena
dengan profesi hukum tersebut, profesional hukum mengabdi kepada
sesama bukan karena kemampuan intelektual dan ilmu hukumnya
melainkan integritas diri, hak asasi manusia, kebenaran dan keadilan
32 Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, CV. Aneka Ilmu, Semarang, 2003,
hlm. 15. 33 Abdul Ghofur Anshori, Op Cit, hlm. 52. 34 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cetakan Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 237. 35 Ibid.
46
sebagai komitmen profesinya meskipun sampai sekarang masih
terdapat perdebatan terkait dengan etika profesi sebagaimana
diungkapkan oleh William H. Simon:36
The most basic division among legal ethicists is about whether
legal ethics practice norms should take the form of rules or
principles. Not all scholars address this issue, and no one has
comprehensively analysed it. Yet, it seems to be the concern
that most drives differences in both specific conclusions and
general perspectives.
Etika dengan profesi hukum sangat berkaitan erat karena
dengan etika inilah para profesional dapat melaksanakan tugas
pengabdian profesinya dengan baik untuk menciptakan kehormatan
terhadap martabat manusia yang pada akhirnya akan melahirkan
keadilan ditengah-tengah masyarakat. Etika berkaitan erat dengan
moral, integritas dan perilaku yang tercermin dari hati nurani
seseorang.37 Hati Nurani merupakan kesadaran yang diucapkan
dalam menjawab pertanyaan apakah sesuatu yang dilakukan
seseorang, baik atau tidak baik, etis atau tidak etis. Nilai adalah suatu
fenomena, yang tiap kali mewujudkan diri dalam kaitannya dengan
apa yang “baik” dan “benar”.38 Nilai ada banyak ragam dan
macamnya dan nilai-nilai tersebut diramu dan kegiatan meramu
tersebut disebut budaya. Moralitas merupakan kualitas perbuatan
manusiawi dalam arti perbuatan baik dan buruk, benar atau salah,
patut atau tidak patut yang ditentukan oleh tiga faktor yaitu motivasi,
lingkungan perbuatan, tujuan akhir yang didasarkan pada budaya
atau nilai-nilai yang telah “diramu”sedangkan moral adalah (ajaran)
36 William H. Simmon, “Legal Ethics Should be Primarily a Matter of Principles, Not Rules”
Legal Ethics, Forum Philosophical Legal Ethics: Ethics, Morals and Jurisprudence Volume 13,
Part 2 37 Frans Hendra Winata, Persepsi Masyarakat Terhadap Profesi Hukum di Indonesia, 2003,
rajawali perss,hlm. 4 38 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian
berlandasakan Asas-asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hlm.83.
47
mengenai baik dan buruk yang diterima umum mengenai perbuatan,
sikap, kewajiban dan sebagainya.39
Etika pada umumnya merupakan usaha-usaha manusia di
dalam mencari mana yang baik dan buruk.40 Dari makna yang
terkandung di dalamnya maka etika memiliki hubungan yang erat
dengan nilai, dalam hal etika mengandung dua nilai yaitu baik dan
benar buruk dan salah pada masyarakat. Sesuatu yang dianggap baik
dan buruk dalam kehidupan bermasyarakat harus senantiasa ditaaati
oleh semua orang didalamnya tanpa terkecuali dan nilai-nilai
tersebut akan mempunyai kekuatan mengikat karena akan
memberikan petunjuk bagi perilaku manusia dalam kehidupan
bersama.
Menurut pendapat Liliana Tedjosaputro, etika merupakan
aspek yang sangat mendasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
tetap memperhitungkan kerangka nilai-nilai etis dalam budaya
masyarakat. Etika dan moral menjadi landasan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, karenanya peranan etika dan moral
mempunyai aspek yang mendasar pada kepentingan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yaitu memberi arah pengkajian dan
mengantisipasi akses negatif dari ilmu pengetahuan dan teknologi.
Peran etika dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi antara lain:41
a. Etika sebagai landasan berpikir dan bekerja;
b. Etika sebagai pengendali;
c. Etika sebagai pendorong;
d. Etika sebagai penyeimbang;
e. Etika sebagai norma-norma.
39 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional,
Balai Pustaka, Jakarta 2005, hlm.754. 40 Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Profesi Tentang Profesi Hukum, CV. Wahyu Pratama,
Semarang, 1988, hlm. 36. 41 Ibid, hlm. 13.
48
Hubungan antara etika dan profesi hukum adalah bahwa etika
profesi adalah sebagai sikap hidup berupa kesediaan untuk
memberikan pelayanan profesional dibidang hukum terhadap
masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai
pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban
terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan
disertai refleksi yang seksama dan oleh karena itulah di dalam
melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika
profesi.42 Secara garis besar etika profesi muncul karena dua
alasan:43
1) Etika profesi berfungsi sebagai mekanisme yang dilakukan oleh
organisasi untuk mengontrol perbuatan para anggotanya dan
kemudian untuk mengkoreksinya apabila perbuatan anggota
tersebut dipandang kurang etis.
2) Etika profesi berfungsi sebagai penyelaras hubungan antara
rekan seprofesi.
Etika yang pertama disebut bergaya hukuman yang artinya
adalah etika yang menginginkan semuanya berjalan sempurna.
Sebagai konsekuensi dari pendekatan hal tersebut adalah
keberpihakan (condong) membela kepentingan eksternal dan lebih
banyak mempertimbangkan manfaat umum daripada kesejahteraan
anggota seprofesinya. Etika dengan gaya hukuman cenderung
menghabiskan sumber dayanya untuk mengawasi para anggotanya.
Etika ini melihat para profesional harus dicurigai, karena berpotensi
menyalahgunakan keahlian untuk kepentingan dirinya sendiri yang
pada akhirnya akan merusak citar luhur profesi. Etika Kedua disebut
bergaya konsolidasi yang memperlihatkan paradigma dan
pendekatan berbeda. Etika dengan gaya konsolidasi adalah etika
42 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 40. 43 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan Di
Masa Datang, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 196.
49
yang hendak menyerahkan dan mempercayakan segala perputaran
kegiatan profesional kepada rekan seprofesinya.
Menyangkut etika profesi hukum ini diungkapkan bahwa etika
profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup
dalam menjalani kehidupan sebagai pengembang profesi. Hanya
pengemban profesi yang bersangkutan sendiri yang dapat atau yang
paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban
profesi memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak.44
Oleh karena itu hal-hal yang sifatnya tidak etis dan harus
dihindari sebagai bentuk tanggung jawab terhadap moralitas peran
yang diemban profesi Notaris diatur didalam kode etik Notaris.
Sebagai contoh beberapa sikap yang harus dihindari karena telah
memasuki perilaku etik yakni :45
1) Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang
berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan
langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui
perantara orang lain. Melakukan pemaksaan kepada klien
dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan
dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar
klien tersebut tetap membuat akta padanya.
2) Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung
yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat
dengan sesama rekan Notaris.
3) Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam
jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan
Perkumpulan.
4) Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus
karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu
dari Notaris yang bersangkutan.
44 Ibid, hlm. 41. 45 Pasal 4 Kode Etik Notaris.
50
5) Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta
yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi
dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat
yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang
serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut
wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan
atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat
menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang
tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun
rekan sejawat tersebut.
Suatu profesi umumnya mempunyai kode etik profesi guna
mengawasi anggotanya dalam melaksanakan profesinya. Kode etik
dalam arti materiil adalah norma atau peraturan yang praktis baik
tertulis maupun tidak tertulis mengenai etika berkaitan dengan sikap
serta pengambilan putusan hal-hal fundamental dari nilai dan standar
perilaku orang yang dinilai baik atau buruk dalam menjalankan
profesinya yang secara mandiri diluruskan, ditetapkan dan
ditegakkan oleh organisasi profesi.46
5. Tinjauan Umum Tentang Sistem
Menurut kamus besar bahasa Indonesia sistem didefinisikan
sebagai: 1. perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan
sehingga membentuk suatu totalitas, 2. susunan yang teratur dari
pandangan, teori, asas, dan sebagainya, 3. Metode.47
Istilah sistem paling sering digunakan untuk menunjuk pengertian
metode atau cara dan sesuatu himpunan unsur atau komponen yang
saling berhubungan satu sama lain menjadi satu kesatuan yang utuh.
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mengandung
46 Abdul Ghofur Anshori, Op Cit, hlm. 161-162. 47 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit., hlm. 874.
51
arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara
teratur dan merupakan satu keseluruhan (a whole).48
Pengertian sistem sangat luas tergantung pada pokok bahasannya.
Kajian penelitian ini adalah tentang hukum oleh sebab itu maka perlu
dicermati pengertian sistem dalam definisi sistem hukum. Beberapa
pakar hukum memberikan pengertian terkait sistem hukum yaitu: 49
1) Pengertian sistem hukum menurut pendapat Sudikno
Mertokusumo adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur
yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk
mencapai tujuan kesatuan tersebut.
2) Menurut Bellefroid, pengertian sistem hukum ialah rangkaian
kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib
menurut asas-asasnya.
3) Scolten mengatakan, pengertian sistem hukum adalah kesatuan di
dalam sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang
bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum lain dari sistem
itu.
4) Pengertian sistem hukum menurut pendapat Subekti merupakan
suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan
dimana terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain,
tersusunan menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu
pemikiran tersebut untuk mencapai suatu tujuan.
Dari pengertian sistem hukum diatas dapat disimpulkan bahwa,
pengertian sistem hukum adalah suatu kesatuan peraturan-peraturan
hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang mempunyai kaitan
(interaksi) satu sama lain, dimana berfungsi untuk mencapai tujuan.
Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri, tetapi saling terikat. Arti
pentingnya yaitu setiap bagian terletak pada ikatan sistem, dalam
kesatuan dan hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan
hukum lainnya. Sistem hukum yang menyeluruh ini oleh pakar hukum
Lawrence M. Friedman tidak lepas dari substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum yang berlaku dimana sistem tersebut
berkembang.
48 Siti Annisa, “Teori Sistem”, terdapat dalam http://www.kompasiana.com/sitiannisa/teori-
sistem, diakses pada tanggal 30 Oktober 2015, jam 09.00 WIB. 49 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2006, hlm. 14.
52
According to Friedman, law has its own culture a legal culture that
can interact with media to transform popular images into “legal
dress and shape 50
Sistem yang dibangun oleh hukum tidak boleh bertentangan antara
satu dengan yang lainnya agar tujuan terciptanya sistem tersebut
terwujud. Menurut Jo Corillo jangan hanya hukum bertransformasi dan
dipengaruhi oleh budaya yang kemudian menjadi kebiasaan, lebih dari
itu meski hukum tidak dapat dilepaskan dari budaya namun struktur dan
substansi hukum yang ada hendaknya berjalan seimbang. Oleh sebab itu
maka terciptanya sistem hukum adalah agar ada suatu susunan atau
tatanan yang dapat diatur, suatu keseluruhan terdiri atas bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola,
hasil dari suatu pemikiran, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
6. Tinjauan Umum Tentang Peran
a. Definisi tentang peran
Peran merupakan kosakata bahasa yang sering didengar pada
dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus bermain sebagai
seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia
diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia ada dua istilah yang muncul terkait peran yakni:
1) Peran dan;
2) Peranan
Peran adalah seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki
oleh orang yang berkedudukan di masyarakat sedangkan peranan
adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan.51 Dalam
definisi ini, peran dikonstruksikan sebagai fungsi atau posisi dari
subjek dalam organisasi dan dalam hubungannya dengan
50 Jo Carillo, “Links and Choices: Popular Legal Culture in The Work of Lawrence m.
Friedman”, Southern California Interdisciplinary Law Journal, Vol. 17:1, 2007, hlm. 4. 51 Kamus Besar Bahasa Indonesia,Op.Cit., hlm. 667.
53
masyarakat. Fungsi disamakan dengan jabatan atau pekerjaan
yang dilakukan atau kegunaan sesuatu hal.52
Menurut Jenping peran yaitu cara berinteraksi yang
melibatkan tingkah laku oleh dan untuk individu, yang pada
akhirnya ada igproses penempatan seseorang dalam keluarga
organisasi, masyarakat dan lain sebagainya sedangkan menurut
Biddle dan Thomas, kebanyakan definisi itu menyatakan bahwa
peran adalah serangkaian rumusan yang membatasi perilaku-perilaku
yang diharapkan dari pemegang kedudukan tertentu.53
b. Teori peran
Teori peran atau yang disebut role theory (bahasa inggris)
dalam bahasa Belanda disebut theorie van de roll merupakan
teori yang menganalisis tentang tugas-tugas yang harus
dilaksanakan oleh orang-orang atau lembaga-lembaga yang
mempunyai kedudukan dalam masyarakat, baik kedudukan
formal maupun informal.
Beberapa pendapat dan ahli hukum telah mengemukakan
terkait dengan teori yang berhubungan dengan peran:
1) Menurut Fajar Mukti ND dan Yulianto Achmad fokus kajian
teori peran adalah pada perilaku masyarakat. Teori peran
adalah teori yang mengkaji bahwa masyarakat akan
berperilaku sesuai dengan status dan perannya. Sementara
menurut Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani teori yang
disampaikan oleh Fajar Mukti ND dan Yulianto Achmad
kurang tepat karena menurutnya tidak hanya masyarakat
saja yang diminta untuk berperan. Oleh karena itu dilengkapi
oleh Salim HS dan Erlies Septianan Nurbani mendefinisikan
teori peran dengan pengertian:54
52 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Loc Cit. 53 Devini Rahayu, “Pengertian Peran”, terdapat dalam http://repository.uinjkt.ac.id, diakses pada
tanggal 30 Oktober 2015, jam 09.15 WIB. 54 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op Cit, hlm. 142.
54
“teori yang mengkaji dan menganalisis tentang peran dari
institusi-institusi dan masyarakat dalam memecahkan,
menyelesaikan dan mengakiri masalah-masalah dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”
2) B.J. Biddle mengemukakan tentang peranan dari teori peran
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Ia mengemukanan
bahwa:55
“rule theory concerns one of the most important of
social life, characteristic, behavior patters or role. It
explains roles by presuming that person or members of
social position and expectations for their own
behaviors and those of other person”
Artinya bahwa teori peran merupakan salah satu teori
yang sangat penting yang mengkaji tentang kehidupan
sosial, karakteristik (ciri) perilaku terpola atau peran. Teori
ini menjelaskan peran dengan suatu anggapan bahwa orang
tersebut merupakan anggota dalam masyarakat dan dengan
harapan supaya mereka sendiri dapat berperilaku seperti
orang lain.
Tidak hanya mendefinisikan teori peran namun B.J
Biddle juga mengkaji peran dari aspek ruang lingkupnya.
Ada dua ruang lingkup kajian teori peran menurutnya
yaitu:56
a) Kehidupan sosial dan
b) Ciri-ciri perilaku masyarakat.
Dibagi lagi oleh B.J. Biddle model utama dari teori
peran tersebut yakni meliputi:
a) Functional role theory (teori peran fungsional);
Teori ini mengkaji perkembangan peran sebagai norma-
norma sosial bersama untuk posisi sosial tertentu.
55 BJ. Biddle, “Recent Development In Role Theory”, Annual Reviews Inc. Social, 1986, hlm. 67-
92. 56 Ibid, hlm. 67-92.
55
b) Symbolic interactionist role theory (teori peran interaksi
simbolik)
Teori ini meneliti perkembangan peran sebagai hasil
interaksi simbolik terhadap tanggapan atas perilaku
masyarakat.
c) Structural role theory (teori peran struktural)
Teori memberikan arah pada pengaruh masyarakat
dalam berperan dengan menggunakan model
matematika.
d) Organizational role theory (teori peran organisasi)
Teori ini mengkaji peran dalam berorganisasi.
e) Cognitive role theory (teori peran kognitif)
Teori ini mengkaji tentang hubungan antara harapan dan
perilaku.
3) Robert Linton dalam Disertasi yang dipublikasikan oleh Dwi
Cahyono menggambarkan teori peran sebagai berikut:57
“Interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang
bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
Budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan
peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun
kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari”
Berdasarkan teori-teori peran tersebut diatas maka jika
dikaitkan dengan kajian penelitian ini seseorang yang memiliki
peran tertentu seperti Notaris sebagai pejabat umum mempunyai
peranan tertentu dalam hukum yang ditentukan oleh Undang-
Undang. Diharapkan Notaris dapat berperilaku sesuai dengan
peran tersebut. Dengan statusnya sebagai Notaris maka orang
(klien) yang datang kepadanya dilayani untuk diberikan
konsultasi hukum terlebih lagi untuk membuat akta otentik,
perilaku sosialnya juga harus menentukan bagaimana caranya
berperilaku sesuai harkat dan martabatnya sebagai pejabat.
57 Ibid. hlm 93.
56
Untuk menjaga agar Notaris tetap menjalankan tugas dan
kewajibannya sesuai amanah Undang-Undang dan berperilaku
sesuai dengan kode etik yang ditentukan maka dibentuklah lembaga
pengawasan yakni Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan.
Kedua lembaga ini menjalankan peran untuk mengawasi kinerja
Notaris. Peran yang diemban oleh kedua lembaga pengawas tersebut
melekatkan fungsi tujuan dari munculnya teori peran. Diharapkan
peran yang dilaksanakan oleh kedua lembaga tersebut sesuai dengan
harapan tujuan dibentuknya peran tersebut. Peran yang melekat bagi
kedua lembaga pengawasan Notaris merupakan satu sistem yang
dibentuk oleh hukum positif. Apabila dikaitkan pula dengan peran
ini dengan definisi sistem maka tujuan dibentuknya peran dalam
sistem hukum tersebut agar keseluruhan yang terdiri atas bagian-
bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu
rencana atau pola yang merupakan hasil dari suatu pemikiran
ditujukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang diharapkan.
7. Tinjauan Umum Tentang Organisasi Ikatan Notaris Indonesia
Awal Berdirinya Ikatan Notaris Indonesia dimulai sejak masa
pemerintahan Hindia Belanda. Semakin berkembangnya peran notaris
dan bertambahnya jumlah notaris mendorong para notaris di Indonesia
mendirikan suatu organisasi perkumpulan bagi para notaris Indonesia.
Perkumpulan yang didirikan pada awalnya hanya ditujukan bagi ajang
pertemuan dan bersilaturahmi antara para notaris yang menjadi
anggotanya.
Pada waktu itu perkumpulan satu-satunya bagi notaris Indonesia
adalah de-Nederlandsch-Indische Notarieële Verëeniging, yang didirikan
di Batavia (sekarang Jakarta) pada tanggal 1 Juli 1908 (menurut anggaran
dasar ex Menteri Kehakiman pada tanggal 4 Desember 1958 No. J.A.
5/117/6). Verëeniging ini berhubungan erat dengan 'Broederschap van
Candidaat-Notarissen in Nederland en zijne Koloniën' dan
57
'Broederschap der Notarissen' di Negeri Belanda, dan diakui sebagai
badan hukum (rechtspersoon) dengan Gouvernements Besluit (Penetapan
Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9. Mula-mula sebagai
para pengurus perkumpulan ini adalah beberapa orang notaris
berkebangsaan Belanda yaitu L.M. Van Sluijters, E.H. Carpentir Alting,
H.G. Denis, H.W. Roebey dan W. an Der Meer. Anggota perkumpulan
tersebut pada waktu itu adalah para notaris dan calon notaris Indonesia
(pada waktu itu Nederlandsch Indië).58
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, maka para notaris
Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan lama, dengan diwakili
oleh seorang pengurus selaku ketuanya, yaitu Notaris Eliza Pondaag, lalu
mengajukan permohonan kepada Pemerintah c.q. Menteri Kehakiman
Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 17 November 1958 untuk
mengubah anggaran dasar (statuten) perkumpulan maka dengan
penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 4 Desember
1958 No. J.A. 5/117/6 perubahan anggaran dasar perkumpulan
dinyatakan telah sah dan sejak hari diumumkannya anggaran dasar
tersebut dalam Tambahan Berita Negara Indonesia tanggal 6 Maret 1959
Nomor 19, nama perkumpulan Nederlandsch-Indische Notarieële
Verëeniging berubah menjadi Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang
mempunyai tempat kedudukan di Jakarta dan hingga saat ini masih
merupakan satu-satunya perkumpulan bagi notaris di Indonesia.
8. Tinjauan Umum Tentang Sanksi
Berdasarkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi dari
sanksi adalah :
a. Tanggungan (tindakan, hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa
orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan 1022 undang-
undang (anggaran dasar, perkumpulan dan sebagainya): dulu aturan
58 Ikatan Notaris Indonesia Pengurus Pusat, “Sejarah Ikatan Notaris Indonesia”, terdapat dalam
www.ikatannotarisindonesia.web.id, diakses pada tanggal 22 Agustus 2015, jam 19.00 WIB.
58
tata tertib harus ditegaskan apalagi kalau ada anggota yang
melanggar aturan-aturan itu;
b. Tindakan (mengenai perekonomian) sebagai hukuman kepada suatu
negara;
c. Hukum dalam imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan
yang ditentukan dalam hukum; hukum dalam imbalan positif, yang
berupa hadiah atau anugerah yang ditentukan dalam hukum.
Terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran jabatan maka akan
dikenakan sanksi. Di dalam Pasal 16 ayat (11) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris dapat dikenai sanksi jika melakukan
pelanggaran yakni berupa sanksi :
a. Peringatan tertulis;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
Menurut kode etik Ikatan Notaris Indonesia sanksi adalah suatu
hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan sifat pemaksa
ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan maupun orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris, dalam menegakkan Kode
Etik dan disiplin organisasi. Bentuk sanksi bagi Notaris dalam Kode etik
diatur dapat berupa :
a. teguran lisan maupun tertulis,
b. peringatan,
c. schorsing (pemecatan sementara) serta pemecatan dari keanggotaan
(ontzetting)
d. pemberhentian dari keanggotaan secara tidak hormat.
B. Penelitian Yang Relevan
Sepengetahuan peneliti, dengan melakukan penelusuran bahan hukum
sekunder, penelitiaan dengan judul “Peranan Majelis Pengawas Daerah Dan
59
Dewan Kehormatan Daerah Dalam Sistem Pengawasan Terhadap Notaris Di
Kabupaten Sleman.” belum pernah dilakukan, namun berdasarkan
penelusuran kepustakaan tersebut terdapat beberapa hasil penelitian yang
terkait dengan judul penelitian ini yang antara lain sebagai berikut :
1. Kristiana Meinalita Samosir, penelitian jurnal dengan judul: “Efektifitas
pelaksanaan kewenangan Pengawasan Majelis Notaris di Kota
Pontianak” dibuat oleh Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum
Universitas Tanjung Pura dan telah dipublikasi pada tahun 2013.59 Pada
karya ilmiah ini memuat rumusan masalah mengenai upaya apa yang
seharusnya dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan
kewenangan Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak. Pada
penelitian ini disimpulkan bahwa pelaksanaan kewenangan pengawasan
Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak belum sepenuhnya
efektif karena dari tujuh kewenangan yang diberikan Pasal 70 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan selama masa
jabatannya. Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Pontianak baru
melaksanakan satu kewenangan yaitu Pemeriksaan Protokol Notaris.
Selain itu, meskipun dari hasil temuan pemeriksaan protokol notaris
terdapat indikasi yang kuat adanya pelanggaran kode etik dan
pelaksanaan jabatan notaris, namun Majelis Pengawas Daerah Notaris
Kota Pontianak tidak menindaklanjutinya ke sidang untuk memeriksa
adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran
pelaksanaan jabatan Notaris. Upaya yang seharusnya dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas
Daerah Notaris Kota Pontianak ke depan adalah dengan merekrut unsur
anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris, unsur anggota Majelis
59 Kristiana Meinalita Samosir, “Efektivitas Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Majelis
Pengawas Daerah Notaris Terhadap Notaris Di Kota Pontianak (Studi Terhadap Implementasi
Pasal 70 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris)”, Vol 3, No 5 (2013)
Jurnal Mahasiswa S2 Hukum Untan.
60
Pengawas Wilayah Notaris dan unsur anggota Majelis Pengawas Pusat
Notaris dari anggota Dewan Kehormatan Notaris.
Adapun perbedaan dari penelitian yang disusun oleh peneliti dengan
karya ilmiah yang diangkat oleh saudara Kristiana Meinalita Samosir
adalah karya ilmiah dari saudara Kristiana Meinalita Samosir masih
tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris dan mengkaji Majelis Pengawas Daerah di Kota
Pontianak sedangkan karya ilmiah Peneliti mengkaji Majelis Pengawas
Daerah di Kabupaten Sleman dan Dewan Kehormatan Daerah di
Kabupaten Sleman serta tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris.
2. Michael Silalahi penelitian karya ilmiah tesis dengan judul penelitian
“Penegakan Kode Etik Notaris Oleh Dewan Kehormatan Daerah di
Kabupaten Sleman” dan telah dipublikasi pada tahun 2015.60 Pada karya
ilmiah ini diangkat rumusan masalah mengenai penegakan kode etik
notaris oleh Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Sleman dan faktor-
faktor yang mempengaruhi kinerja Dewan Kehormatan Daerah
Kabupaten Sleman. Penelitian ini dihasilkan kesimpulan bahwa belum
ada ketegasan terhadap keanggotaan Notaris dalam suatu wadah
organisasi, dimana seorang Notaris yang telah dikeluarkan dari
keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia pada kenyataannya masih dapat
melakukan praktek. Hal ini mengakibatkan sanksi yang diberikan Dewan
Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Sleman
hanya dipandang sebelah mata. Faktor yang menghambat dalam
penegakan kode etik adalah keterbatasan waktu dalam melakukan
pengawasan dan adanya rasa sungkan dalam menegakan Kode Etik
Notaris terhadap teman sejawat.
60 Michael Silalahi, 2015, “Penegakan kode etik notaris Oleh Dewan Kehormatan Daerah Di
Kabupaten Sleman”, tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
61
Adapun perbedaan dari penelitian yang disusun oleh peneliti dengan
karya ilmiah yang diangkat oleh saudara Michael Silalahi adalah kajian
yang dilakukan oleh saudara Michael Silalahi hanya berfokus pada
penegakan Kode Etik yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah
sedangkan peneliti mengkaji lebih lengkap dari kedudukan Majelis
Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah dalam pengawasan
dan pembinaan terhadap notaris dalam menjalankan jabatannya di
Kabupaten Sleman, mekanisme pemberian sanksi dalam sidang
pelanggaran jabatan dan kode etik kepada Notaris yang melakukan
pelanggaran di Kabupaten Sleman serta faktor penunjang dan
penghambat yang dihadapi oleh Majelis Pengawas Daerah dan Dewan
Kehormatan Daerah dalam pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris.
Apabila dalam mengkaji memang memiliki kesamaan dengan penelitian
sebelumnya, maka penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini
diharapkan dapat melengkapi penelitian terdahulu.
62
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir penelitian hukum ini adalah sebagai berikut :
Majelis Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten
Sleman diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan
kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris yang ditetapkan oleh INI sebagai organisasi wadah tunggal Notaris.
Sebagai profesi hukum, Notaris harus profesional dalam melayani masyarakat
yang membutuhkan jasanya. Dasar utama dari profesi ini adalah kepercayaan
dan tanggungjawab yang merupakan amanah atas kepercayaan yang
diembankan kepadanya. Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur)
Notaris
Peran dalam
Pengawasan
Majelis Pengawas Daerah Kabupaten Sleman
Profesionalitas dan
Moralitas
Kepastian Hukum dan
Perlindungan Hukum
Masyarakat
Pengguna Jasa
Notaris
Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Sleman
Undang-Undang
Nomor 30 tahun
2004 tentang Jabatan
Notaris
Juncto
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun
2004 Tentang
Jabatan Notaris
Kode Etik
63
yang keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang
tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan kepastian
hukum kepadanya. Oleh sebab itu dipandang perlu adanya sistem
pengawasan terhadap kinerja profesionalisme seorang Notaris melihat peran
penting Notaris dalam sistem pembuktian. Selain harus profesional, Notaris
dituntut untuk memiliki moralitas yang baik. Hal tersebut tercermin dalam
aturan perundang-undangan dan kode etik Notaris yang mana Notaris dituntut
harus selalu jujur dan amanah. Oleh sebab itu dalam mengemban jabatannya
notaris wajib mengangkat sumpah jabatan karena pertanggungjawaban
profesionalitasnya selain kepada masyarakat juga kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus selalu dilandasi pada suatu
integritas dan kejujuran yang tinggi dari pihak Notaris sendiri karena hasil
pekerjaanya yang berupa akta-akta maupun pemeliharaan protokol-protokol
sangat penting dalam penerapan hukum pembuktian, yaitu sebagai alat bukti
otentik yang dapat menyangkut kepentingan bagi pencari keadilan baik untuk
kepentingan pribadi maupun kepentingan suatu usaha, maka pelaksanaan
tugas dan jabatan Notaris harus didukung oleh suatu itikad moral yang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya yang menjadi tugas pokok
pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang
diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang
diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan diatas
jalur yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar
moral dan etika profesi demi terjaminya perlindungan hukum dan kepastian
hukum bagi masyarakat. Penulis akan mengkaji sistem pengawasan yang
dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah
Kabupaten sleman serta mekanisme pemberian sanksi dalam sidang kode etik
kepada Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang
melekat pada jabatannya maupun larangan-larangan yang telah ditentukan.
Efektifitas pengawasan dan pembinaan seyogyanya merupakan refleksi
keberhasilan Notaris itu sendiri dalam menegakkan kode etik untuk dirinya
64
dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang telah memberikan
kepercayaan terhadapnya, namun Notaris perlu mengingat bahwa untuk
melihat kesalahan dan kekurangan pada dirinya perlu ada pihak lain yang
memberikan saran dan arahan.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas peneliti tertarik meneliti dan
mengangkat judul tersebut diatas termasuk untuk mengkaji peranan Majelis
Pengawas Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah dalam sistem pengawasan
terhadap Notaris di Kabupaten Sleman.
Top Related